Senin, 03 Agustus 2020

Wahdatu Al-Wujud, bagian 16


seri tanya jawab: Giri Sumedang dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250780354966768/ by Sinar Agama (Notes) on Saturday, September 17, 2011 at 7:01am


Giri Sumedang: Salam kak..mau nanya..

  1. Sejauh mana kita bisa menembus ke-Tuhan-an kita?
  2. Bagaimana (sedikit) gambaran alam ahadiyah?
  3. Bisakah ada pertemuan esensi kemanusiaan dan esensi keTuhanan? Sebelumnya terimakasih ya kak he..senang berteman dengan kakak ku yang pinter.

Dharma Narendra T P, Faqir Man, dan Giri Sumedang menyukai ini.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Beberapa kali saya ditanya adik, tapi sungguh seperti merasa asing dan seperti-nya ada lain alam dan bahasa. Padahal kita sering sekali berkomunikasi. Misalnya dalam pertanyaan pertama ini. Saya benar-benar tidak dapat memahami maksudnya. Apa maksud ke-Tuhanan kita dan menembusnya itu. Saya jadi sangat khawatir, jangan-jangan adik belajar irfan ke kelompok-kelompok tertentu yang menuhankan semuanya hingga adik bertanya bahwa bagaimana menembus ketuhanan itu (saya sengaja pakai t huruf kecil karena memang bukan Tuhan).

Kalau adik belajar ke kelompok seperti itu, maka saran kakak, berhentilah belajar kepada mereka karena mereka benar-benar tidak tahu Irfan, sekalipun mengaku orang Syi’ah. Karena saya sendiri sering menampung keluhan seperti itu dari kelompok tertentu. Saya di sini merasa wajib mengatakan ini tapi adik bebas memilihnya.

Ketahuilah bahwa kita ini sama sekali tidak memiliki dimensi keTuhanan sedikitpun. Karena kita ini terbatas. Itu kalau mau bicara filsafat. Sementara Tuhan itu tidak terbatas. Dan kalau mau bicara Irfan maka kita ini tidak memiliki ada karena hanya Tuhan yang ada. Nah, kalau kita tidak ada, lalu apanya yang mau ditembus-tembus? Kita ini hanya wajahNya, bayangNya, ceritaNya. Jadi, kalau alam ini dan kita ini dilihat, maka sebenarnya hanya mengantarkan perhatian arif kepada wujud yang tidak terbatas, tidak ternodai oleh apapun, tidak terwarnai apapun, tidak tercemari apapun ...dan seterusnya.

Karena itu, kakak nasihatkan untuk rajin membaca tulisan Irfan yang berjudul wahdatulwujud itu, tapi dengan pemahaman kakak, jangan dengan pemahaman orang lain. Itu kalau adik mau. Dan kalau tidak, maka kakak juga tidak dapat memaksanya. Minimal, dimanapun adik belajar, jangan sesekali tergoda dengan penampilan dan tangisan, tapi fokuslah pada argumentasinya. Kalau sudah jelas dan gamblang hingga tidak bisa didebat lagi, maka waktu itulah bisa diambil, kalau tidak, maka sebaiknya jauhi saja.

(2). Pertanyaan ke dua ini juga tidak kalah asingnya dengan tulisan-tulisan kakak tentang Irfan.

Adik mengatakan bahwa Ahadiah itu alam, padahal ia adalah maqam keTuhanan atau maqam zat Tuhan, yakni maqam Nama Allah. Jadi, wujud sebenarnya Allah itu yang dikatakan Ahadiah, lalu wujud sebenarnya dari sifat-sifatNya itu dikatakan maqam (derajat) Wahidiyyah. Kemudian setelah itu baru ke derajat alam-alam yang disebut dengan Jabaruut (akal), lalu Malakuut (Barzakh) dan terakhir Naasuut (materi).

(3). Pertanyaan ke tiga ini juga demikian. Kan sudah sering saya tulis dan seingat saya dulu pernah menjawab adik, bahwa Tuhan itu tidak terbatas dan esensi itu adalah batasan. Terus bagaimana mungkin Tuhan memiliki esensi? Karena sudah dibuktikan di filsafat bahwa Tuhan itu hanya wujud sana dan tidak memiliki esensi apapun. Memang esensi itu juga berarti hakikat, tapi hakikat dari yang terbatas, bukan yang tidak terbatas. Karena hakikat yang tidak terbatas itu tidak memiliki esensi.

Esensi ini juga disebut limit, batasan atau definisi yang terdiri dari Genus dekat dan Pembeda dekat. Nah, Tuhan itu tidak memiliki genus dan, apalagi pembeda. Binatang adalah pahaman yang lebih luas setingkat dari pahaman manusia, karena itu binatang adalah genusnya. Dan ketika dalam genus itu banyak esensi-esensi lain seperti harimau, bangau, kerbau, ...dan seterusnya, maka dicari pembedanya (differentianya) lalu ditemukanlah yang bernama Rasional. Karena itu definisi, esensi dan limit manusia itu adalah Binatang Rasional.

Nah, Tuhan tidak memiliki pahaman yang lebih luas di atasnya. Karena arti genus itu selain lebih luas, juga merupakan kumpulan dari esensi-esensi. Karena itu, Tuhan tidak memiliki Genus. Dan kalau tidak memilikinya, maka sudah tentu tidak akan memiliki pembeda.

Nah, ketika dikatakan dalam Irfan bahwa manusia itu dan semua wujud selain Allah itu, hanyalah esensi yang tak wujud, maka bagaimana bisa bertemu dengan Allah?

Dan dari sisi bahwa Tuhan tidak memiliki esensi atau batasan apapun kecuali hanya Wujud, dan yang lainnya hanya esensi, maka bagaimana mungkin bisa ditemui yang lainNya? Yakni bagaimana mungkin esensi bisa menyentuh wujud?

Apalagi sudah pernah saya jelaskan di catatan-catatan tentang wahdatulwujud itu bahwa esensi itu memiliki jarak dengan wujud sejauh 5 derajat dengan wujud. Karena esensi itu harus mungkin dulu baru bisa diwajibkan (wajib karena yang lain), dan baru wajib dengan yang lain dulu (dengan Tuhan) baru bisa menjadi wajib ada karena yang lain (karena Tuhan). Dan setelah wajib karena yang lain itu baru diwujudkan olehNya (oleh Tuhan). Dan setelah diwujudkan itulah baru ia menjadi wujud.

Nah, ketika di filsafat saja jarak esensi itu terhadap wujud ada 5 derajat dan tahapan, maka bagaimana mungkin esensi tersebut bisa menyentuh wujud?

Dan kalau dikatakan bahwa esensi itu diwujudkan, maka ini yang namanya batasan dari filsafat itu dan merupakan pemisah dari Irfan. Karena ketika filsafat ditanya oleh Irfan bukankah dengan adanya wujud terbatas dapat membatasi wujud Tuhan yang tidak terbatas? Maka filsafatpun tidak bisa menjawabnya (tentu saja masih banyak dalil lain tentang kebenaran Irfan dan wahdatulwujud ini, lihat catatan).

Nah, kalau dari filsafat saja esensi itu sudah berjarak 5 derajat dari wujud dan di Irfan dikatakan bahwa tidak ada yang ada/wujud itu kecuali Tuhan, maka bagaimana bisa keduanya itu bersentuhan hingga adik tanyakan bisakah keduanya itu bisa bersentuhan?


Giri Sumedang: Kakakku yang pinter...giri bertanya seperti ini dengan landasan pertanyaan seperti ini...pertama setiap eksistensi pasti memiliki 2 hal yaitu wujud (ada) dan batasan (keapaan, mahiyah, kuiditas, esensi, aksidentalitas dalam substansi).. nah karena Tuhan itu ADA dan ADA itu ya Tuhan itu sendiri, maka rumus yang diambil yang bisa dipersamakan adalah TUHAN=ADA... Nah berangkat dari rumusan sederhana seperti ini, ketika manusia (bahkan alam seluruhnya) itu ada maka manusia itu adalah kehadiran dari ADA.. dengan makna bahwa tanpa ADA kita tidak akan mampu eksis, bisa diindra, bisa dibahas, dan seterusnya..namun kak yang juga harus dipahami bahwa ADA itu bukan lah alam..karena tanpa alam, maka ADA bisa sebagai diriNYA sendiri..itulah kak yang bisa sedikit giri paparkan bahwa alam (termasuk kita) adalah sebenarnya tidak ada. Karena yang ada hanya ada, selain ada itu tiada. Jadi kita ada, itu berarti kita itu tuhan (pakai t kecil dengan makna itu adalah kehadiranNYA, bayang-bayangNYA, manifestasiNYA, tajaliyyahNYA, wajah-wajahNYA, dan seterusnya..tapi sebaliknya itu tadi bahwa ADA itu bukan kita..


Abdy Ayae Nana: Salam ustadz. ijinkan saya yang bodoh ini bertanya.

Bila kita tidak bisa bertemu atau menyentuh dimensi Tuhan, terus apa makna & pemahaman kita dalam besyahadat itu, bahwasannya aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah....

Bersaksi kan lebih dari sekedar melihat yang bisa saja salah tapi ini bersaksi yang merupakan menyaksikan....

Apa makna & pemahaman ini ustadz?

Giri Sumedang: Terus yang ke dua kak..maaf kalau istilahnya salah..sebab giri pikir selain Tuhan adalah alam (yang tercipta) jadi giri memakai bahasa alam kak.

Giri Sumedang: Memang Tuhan tidak bisa diesensikan..sebab yang bisa diesensikan adalah sesuatu yang terbatas..dan dia jauh dari penglihatan seperti ini..namun kak kenapa giri memakai bahasa itu karena eksistensi itu hanya satu. tidak lebih. maka esensi Tuhan, kalau mau disetujui untuk bisa dibahas, adalah kehadiranNYA (eksistensiNYA) itu sendiri..maaf kak bukan giri tidak setuju dengan yang kakak paparkan..bahkan giri berterima kasih sekali sudah mencerahkan dan memperjelas pemahaman giri tentang hal-hal seperti ini, hingga setiap tulisan kakak semakin mempertajam dan semakin memeperkokoh argumen giri untuk pada tahapan yakin dan taqwa.. mudah-mudahan dan kita semua termasuk digolongkan pada kelompok ini..amin.


Sinar Agama: Giri:

Dalam pahamanmu itu masih rancu antara ada dan tiadanya kita. Kalau tidak ada mengapa kamu selalu mengatakan kita dan kita? Nah, kita itu apa? Kalau tidak ada, berarti ia yang jauh dari ada sejauh 5 tingkat itu, tidak akan pernah menyentuh Tuhan atau tuhan. Jadi, di dunia ini tidak ada yang namanya tuhan, dan yang ada hanyalah Tuhan. Jadi, di samping kita tidak ada yang hanya bayang dari ada, maka kita bukan Tuhan dan bukan pula tuhan.

Sinar Agama: Ahadiyyah itu Tuhan, bagaimana bisa dikatakan alam dan selain Tuhan?


Giri Sumedang: Jadi kalau ada bahasa kita itu ada bermakna apa ya kak? Jadi ada di situ untuk menjelaskan ada yang bagaimana? he maaf.


Sinar Agama: Kamu mau pakai bahasa apa terserah kamu sajalah. Yang penting sudah kuberi tahu tentang ketidakmungkinan Tuhan beresensi itu. Jadi, kamu seperti mengatakan bahwa “Tuhan yang tidak terbatas itu adalah terbatas”.

Kalau kamu menukil dari suatu tulisan atau seorang guru, maka entah tulisannya yang tidak benar atau gurunya yang kurang pandai. Dalam filsafat juga sering dikatakan bahwa “Esensi Tuhan itu adalah EsksistensiNya”, tapi pernyataan itu hanya basa basi dan keluar dari istilah yang sebenarnya dari esensi.

Jadi, ada esensi yang esensi dan esensi yang basa basi serta keluar dari istilah yang sebenarnya. Nah, ketika kamu menyandingkan esensi Tuhan dengan esensi kita dan apalagi ditanyakan bisakah menembus dari yang satu ke yang lainnya, atau bisakah berhubungan dari yang satu ke yang lainnya, maka jelas ini adalah penyelewengan pahaman. Artinya, kamu tidak paham kebasa- basian istilah esensi pada Tuhan itu. Karena itu kamu sandingkan. Dan secara retorika, maka ketika disandingkan seperti itu, maka jelas makna kedua esensi itu adalah sama. Nah, karena sama berarti kamu keluar dari basa basinya filsafat dan masuk dalam kerancuan, karena itu dipahami membatasi Tuhan dan mengesensikanNya.


Giri Sumedang: Baiklah kak kalau begitu..terus kak...jadi, kita itu ada bermakna apa ya?


Sinar Agama: Ketika kamu bertanya tentang ada yang bagaimana, ini jelas kerancuanmu. Karena ketika kamu berbicara tentang irfan dan wahdatulwujud, maka ada itu jelas tidak dicemari apapun hingga bisa ditanya ghimana, dimana, seperti apa, terus apa ...dan seterusnya.

Wujud itu ketika tidak terbatas dan kita ketika jauh dari wujud, lalu bagaimana bisa membagaimanakan wujud itu?

Kalau kamu mau bahasa filsafat, maka kita ada bermakna wujud mungkin yang telah menjadi wajib karena yang lain.

Tapi kalau kamu mau irfan, maka kita sama sekali bukan wujud. Dan karena bukan wujud, maka kita tidak bisa ditanyakan wujud yang bagaimana, karena tidak ada obyeknya.

Kamu hanya Giri dan manusia, aku hanya sinar agama dan manusia, tapi tidak memiliki artian ada sedikitpun. Jadi, kamu dan aku serta selain Tuhan itu, tidak memiliki wujud walau sesedikit apapun. Jadi, kamu hanya Giri, anak pak Fulan, tinggi sekian, binatang rasional, wanita, berat badan sekian ...dan seterusnya. Tapi tidak memiliki wujud/ada sedikitpun.


Sinar Agama: Abdy:

(1). Kalau kita bicara ilmu Kalam dan Filsafat, maka kesaksian itu bisa dari melihat alam semesta dan keagungan dan keanggunannya serta kerapiannya. Bersaksi juga bisa dari sisi kuatnya argument yang dimiliki akan keAdaan dan keEsaan Tuhan. Dan bersaksi juga bisa berarti lebih tinggi dari itu, yaitu dengan merasakan kehadiranNya.

(2). Tapi kalau berbicara tentang Irfan dan wahdatulwujud, maka kesaksian itu bermakna “Tiada wujud kecuali Allah.” Nah, ketika kesaksiannya adalah tidak wujud atau tiada yang ada itu kecuali Allah, maka sudah tentu kita ini tidak ada. Dan kalau sudah tidak ada, berarti kita tidak akan pernah menyentuh Ada itu sendiri sekalipun kita bergantung pada Ada itu. Jadi, kita adalah bukan ada dan hanya bayangan yang bergantung pada Ada dan Si Empunya Bayangan.Jadi, penyaksian dan penyentuhan itu hanya sebatas Bayangan Menyentuh Si Empunya Bayangan. Kalau boleh didekatkan dengan bayang pohon, maka sentuhan bayang pohon sebatas ketergantungannya pada pohon itu, tapi ketergantungan sebagai bayangan, bukan pohon itu sendiri. Jadi, kita sebagai penyaksi ini, bersentuhannya dengan ada, adalah sebatas ketergantungannya kepada ada itu, tapi bukan ada itu sendiri.


Giri Sumedang: Lantas apa makna doa dari orang sholeh..Robbi adkhilni fi lujjati ahadiyyatika...
ya Tuhan masukkanlah aku ke dalam samudera tak terbatas keTunggalan Mu... jadi kak kalau kita memang bukan wujud (dalam konteks irfan menurut kakak) lantas kenapa kalau bukan wujud kita bisa bergerak, bisa dimaknai, bisa diesensikan, bisa dibahas dan diceritakan? Jadi kita ini apa?


Sinar Agama: Dengan pertanyaanmu yang terakhir ini, maka saya semakin yakin bahwa kamu belajar Irfan bukan dari catatan-catatanku. Dan itu merupakan hakmu seratus persen. Dan hal itu memang sudah kakak rasakan dari awal kamu berkomunikasi. Jadi, sekarang kamu sedang mengadakan perbandingan (kalau ikhlash), atau bisa dikatakan menguji (kalau tidak ikhlash). Apapun itu, maka di samping merupakan hakmu, kakak juga tetap menghormatinya dan akan tetap berusaha menjawabnya.

Kata-kata di atas itu sebenarnya merupakan jeritan batin kakak, karena kakak tidak bisa mengembalikanmu ke catatan-catatan sebelumnya. Dalam arti, kakak tidak tahu susunan pahaman yang adik sekarang miliki, hingga kakak harus memeras kepala dulu menyusun pahamanmu lalu memberikan solusi yang paling bijak.

Tapi kalau kamu belajarnya dari catatan kakak, maka sudah bisa kakak raba susunannya dan bisa lebih mudah memberikan solusinya.

Ketika sudah dikatakan dalam Irfan (ingat ini bukan kata-kata kakak, tapi dari kitab-kitab dan guru- guru dan dalil-dalil yang kakak pelajari puluhan tahun. Kakak katakan ini karena kamu mengatakan “kata kakak”), bahwa yang Ada itu hanya Tuhan, maka selainNya sudah tentu tidak ada. Dan ketika sudah tidak ada, maka proses apapun, gerakan apapun, doa apapun, dan seterusnya yang dirasa ada dan dilakukannya itu, bukanlah suatu keberadaan. Akan tetapi sebagai bayang dari ada itu sendiri.

Jadi, kalau esensi dan bayang wujud ini berdoa kepada wujud:

“Ya ...Tuhan,,,,masukkanlah aku ke dalam samudera AhadiyyahMu” yang berarti “Ya Wujud

masukkan aku ke dalam wujudMu di tingkat Ahadiah itu” Atau “Masukkan aku ke dalam samudra AllahMu”....dan seterusnya maka ia bermakna:

“Wahai Ada, tinggikan derajat bayangku ini menjadi bayang/tajalli AhadiahMu atau bayang WujudMu atau bayang AllahMu”

Jangankan di Irfan, di filsafat saja (yang masih mengakui keberadaan selain Tuhan, yaitu kebera- daan yang terbatas bagi selainNya dan bersumber dariNya), ketika dikatakan masuk ke dalam Ahadiah, dikatakan bahwa yang masuk itu adalah kita manusia. Artinya yang memiliki dimensi badani materi, badani barzakhi, barzakhi tingkat tinggi, dimensi Akal-akhir, dimensi Akal sebelum akhir, dimensi Akal-satu dan seterusnya dimana semua itu adalah dimensi-dimensi

keterbatasan. Nah, ketika manusia yang masuk ke Ahadiyyah atau ke Allah itu atau ke Wujud itu dimana manusia ini adalah wujud yang terbatas (masih dalam bahasa filsafat), lalu bagaimana bisa menyentuh yang tidak terbatas? Bukankah jarak antara yang terbatas itu dengan yang tidak terbatas itu juga tidak terbatas?

Nah, kalau di filsafat saja seperti itu, apalagi di Irfan yang diyakini bahwa selain Tuhan itu tidak ada, maka berarti yang akan menyentuh ke tingkat Ahadiyyah atau Allah itu, tetap saja yang tiada. Jadi, seperti jawabanku pada mas Abdy di atas, bahwa penyentuhan itu hanya berlaku antara sang bayang untuk menyentuh sang yang punya bayang. Jadi, sama sekali tidak akan pernah ada penyentuhan.

Kamu kira manusia bisa masuk ke dalam tak terbatas? Kalau ia masuk, maka akan membuat yang tak terbatas itu menjadi terbatas. Karena yang tak terbatas itu akan menampung banyak sekali keterbatasan yang masuk di dalamnya yang datang dari para nabi dan imam dan wali. Nah, kalau Yang Tak Terbatas itu sudah menampung keterbatasan, maka ia menjadi terbatas. Karena dijangkau oleh yang terbatas, atau karena Ia sekarang sudah memiliki rangkapan keterbatasan dimana Ia sendiri akan menjadi terbatas karena kumpulan keterbatasan itu. Karena kumpulan keterbatasan hasilnya juga keterbatasan. Lagi pula ketika dikatakan masuk dalam Tuhan atau Ahadiah, berarti yang mau masuk itu dari luar Tuhan dan Ahadiah. Karena itu, Tuhan dan Ahadiah ini jelas menjadi tertabas. Karena ada Tuhan/Ahadiah dan ada selainnya yang akan memasukiNya. Jadi, keduanya berhadap-hadapan dimana hal ini jelas memahamkan keterbatasan pada masing- masingnya, yaitu Tuhan/Ahadiah dan yang berhadapan dengannya yaitu yang akan memasukiNya.


Giri Sumedang: Maaf sebelumnya giri koreksi..bahwa giri belajar dari ayah semenjak kecil bahwa ada Tuhan yang bisa dilihat dalam arti adalah kuasa Tuhan..jadi Ia bathin sekaligus dhohir kak... jadi ini pun bukan rumusan giri juga kak tapi rumusan dari mbah giri juga yang menyandarkan tauhidnya pada ilmu kakek-kakek giri yang lain..jadi warisan turun temurun gitu kak he maaf.. jadi kakak tidak usah resah insyaALLAH giri tidak sepertiyang kakak bayangkan..mungkin giri harus banyak bersentuhan secara intens dengan kakak untuk meluruskan pahaman keluarga giri..kapan-kapan kalau main ke lamongan jawa timur..kakak boleh singgah ke keluarga giri.. insyaALLAH..

Giri Sumedang: Terus selanjutnya..memang berapapun yang terbatas dijumlahkan ia akan tetap terbatas..dan tidak mungkin yang terbatas menjadi tidak terbatas..tapi logika giri akan langsung mengatakan bahwa yang terbatas pastilah bagian dari yang tidak terbatas atau dengan kata lain ada di dalam yang tidak terbatas itu..istilah tidak terbatas lahir dari logika kontradiktif setelah melihat segala sesuatu itu terbatas..jadi berdasarkan ini pula giri mengambil kesimpulan yaitu ..kenapa tidak sesuatu yang terbatas berada di dalam yang tidak terbatas..sebab yang tidak terbatas itu sendiri adalah makna hakiki dari keberadaan kak ya kan? Sehingga giri perlu menekankan bahwa kita juga berenang-renang di dalam yang tidak terbatas..sehingga kita itu adalah bagian dari yang tidak terbatas..jadi ada Dia yang tidak terbatas dan ada ia (bayanganNYA) yang terbatas

Sinar Agama: Ketika kamu bertanya seperti ini: “Kenapa kalau bukan wujud bergerak, bisa dimaknai, bisa diesensikan, bisa dibahas dan diceritakan?” Membuat kakak semakin sedih, karena nampak sekali kerancuan pahamanmu. Mengapa kamu tidak tanya, kalau kita tidak ada mengapa kita diskusi, mengapa kita tukar menukar pikiran, kenapa kita kawin, makan, berdebat, berdiskusi, salah menyalahkan toh kita tidak ada?

Nah, pertanyaanmu ini menandakan bahwa pahamanmu tentang dalil kebenaran wahdatulwujud itu masih tidak jelas. Karena itu, ketika kita sudah membahas hal-hal di langkah 5 katakanlah, kamu kembali lagi ke langkah pertama.

Kalau kamu masih merasa bahwa dirimu ada dan alam ini ada atau selain Allah itu ada, maka kamu sama sekali tidak layak dan tidak boleh membahas wahdatulwujud dan konsekuensi- konsekuensinya, seperti Ahadiyyah dll. Karena Ahadiyyah akan benar dipahami kalau Hanya Ahadiyyah itu yang ada dan selainNya tidak ada. Jadi, kalau yang lainNya masih ada, maka Ahadiyyah itu bukan Ahadiyyah.

Contohnya, kamu mengatakan Tuhan itu tidak terbatas (dan ini Ahadiyyah). Tapi di lain pihak kamu masih meyakini keberadaanmu dan alam semesta. Sudah tentu kamu meyakini keterbatasan ADAMU dan ADANYA ALAM SEMESTA.

Nah, sekarang, apakah Yang Tidak Terbatas itu benar-benar Tidak Terbatas, manakala ada wujud lain yang terbatas?

Saya mau tanya padamu, ketika ada air yang tidak terbatas, apakah masih ada air lain di dalam gelas atau setetes air lain dari air yang tidak terbatas itu? Atau masih adakah kita yang melihat air itu? Atau masih adakah ikan-ikan yang berenang di air itu? Atau masih adakah karang-karang dan pesisir dari samudra air yang tidak terbatas itu?

Sudah tentu kalau kita yang melihat air itu juga ada, atau ikan-ikan, karang-karang, pesisir, air lain dalam gelas, setetes air. dan seterusnya itu, juga ada, maka sudah dapat dipastikan bahwa

air itu sebenarnya bukan tidak terbatas, tapi sangat terbatas sekali. Yakni dibatasi oleh kita, ikan, karang, pesisir, air lain yang setetes itu, dan seterusnya.

Nah, kamu yang meyakini wujud Tuhan itu tidak terbatas, bagaimaa mungkin mengatakan bahwa dirimu dan alam sekitaranmu itu ada? Bukankah ini berarti kamu sangat-sangat telah membatasi AdaNya?

Bukankah pembahasan ini baru di langkah Awal-awal wahdatulwujud? Dan bukankah kamu sudah mutar lagi ke langkah awal itu dari bahasan yang sudah jauh dari yang kamu tanyakan itu?

Nah, ketika sudah terbukti bahwa hanya Allah yang ada berarti kita dan semua selainNya itu, bukanlah ada, tapi bayang ada, cerita ada, dan seterusnya.

Nah, kalau kita bergerak, berarti bayangan yang bergerak, kalau kita diceritakan berarti bayangan yang diceritakan atau cerita yang diceritakan, kalau kita bisa dimaknai, diesensikan-i dan dibahas, adalah bayangan yang dimaknai, diesensikan dan dibahas. Apakah mustahil membahas, men- ceritakan, memaknai dan mengesensikan bayangan ada?

Begitu pula dengan bergeraknya, berdoanya, berdiskusinya, berkawinnya, beranaknya, dan bertaqwanya kita, adalah bayangan yang bergerak, berdoa, berdiskusi, berkawin, beranak dan bertaqwa. Jadi, apa susahnya kalau semua proses itu terjadi di bayangan ada ini? Yakni terjadi di esensi kita dan alam ini, karena memang hanya punya esensi dan tidak punya eksistensi/ada??!!!

Giri Sumedang: Baiklah kak setuju kita memakai pahaman kakak sekarang ini..kemudian giri lanjutkan pertanyaannya.

Giri Sumedang: Kalau semesta alam ini adalah bayanganNYA tanpa ada eksistensinya (non eksistensi)..berarti kan semua aktifitas alam (termasukmanusia) adalah efek dari siEmpunya Bayangan kan? karena Dia lah yang aktual, sibuk sendirain, maka efekNya pun ikut sibuk (tindakan)..lantas setelah ada penilaian benar dan salah, halal dan haram, baik dan buruk, maka ketika bayangan ada tindakan yang masuk dalam kategorisasi salah, buruk, dan memilih yang haram..bagaimana bayangan ini bisa melakukan tindakan seperti itu? Padahal mereka kan adalah bayanganNya saja.. Jadi kalau begitu Dia lah yang memilihkan tindakan tersebut? sebab efeknya sampai di mari kak (eh maaf bahasanya gaul he maksudnya sampai di sini yaitu ditingkatan nasut ini)..mohon penjelasannya kak!! maaf banyak nanya he.

Sinar Agama: Kamu ini mau ikut istilahku tapi tetap mengikuti pahamanmu.

Kalau selain Tuhan itu adalah bayangan, maka nilai apapun termasuk syariat itu adalah bayangan. Dan semua proses itu terjadi di bayangan itu. Jadi apa masalahnya?

Ketika kitanya saja sudah bayangan ada (bukan ada itu sendiri), apalagi perbuatan kitanya, apalagi sifat dari perbuatan kitanya? Dengan pertanyaan terakhirmu itu maka terlihat jelas kerancuan dan kegaduhan pahaman adik. Campur aduk antara pandangan fikih, akhlak, kalam, filsafat dan Irfan.

Kalau masih ada hal, tulis saja, nanti kakak kembali dari suatu kerjaan di luar, akan kakak jawab. Tapi tolong pahami dulu tulisan kakak dengan maunya kakak, jangan dengan maunya adik. Setelah itu, kalau pahamannya sudah benar, maka boleh adik mendebatnya kalau tidak setuju.


Tambahan:

Para urafa’ dan guru-guru Irfan mengatakan bahwa ketika seseorang itu masih merasa ada, maka ia tidak akan pernah mencium bau fana (apalagi fanaa’nya). Dan kalau tidak akan pernah mencium bau fana, maka ia tidak akan pernah hancur lagi di tingkatan Waahidiyyah dan apalagi Ahadiyyah. Nah, ketika orang itu sudah sampai di Ahadiyyah, maka ia benar-benar sudah tahu ketidakadaannya. Kalau setelah sedetik saja, hanya sedetik saja, atau sepersejuta detik saja, merasa ada, apalagi merasa penting dan berderajat tinggi, maka ia akan terhempas lagi ke alam kekacauan dan kejauhan dari wahdatulwujud itu.

Nah, sebenarnya, manusia itu dari awal sudah tidak ada. Akan tetapi ia merasa ada dan merasakan keberadaan lingkungannya (alam).

Nah, ketika ia mencapai fana (ketiadaan), sebenarnya bukan mencapai ketiadaan, tapi mencapai pengetahuan akan ketiadaan dirinya. Karena itu ia akan merasa sangat aniaya yang mana derajat ini dipujikan Tuhan kepada manusia “Zhaluuman”. Dan ketika ia sampai ke derajat fana itu pula ia baru tahu kalau sebelumnya itu tidak tahu sama sekali tentang Tuhannya Yang Tidak Terbatas. Karena sebelumnya merasa ada dan merasa tahu sesuatu. Kini setelah dirinya saja tidak ada, maka apalagi ilmunya. Inilah yang dikatakan sebagai derajat “Sangat bodoh” atau yang dipujikan Tuhan dengan “Jahuulan”.

Nah, ketika orang sudah sampai ke fanaa’ itu, yakni tahu akan ketiadaan dirinya, dan setelah sampai ke derajat fana di atas fana, maka perasaan dan pengatahuan dirinya akan ketidakadaan dirinya juga akan hilang. Nah, kala itu, ketika ia baru bisa melanglangi maqam-maqam Waahidiyyah (Asmaa’ sifat-sifat Tuhan) dan Ahadiyyah (Asmaa’ Zat Tuhan), ia adalah bukan ada, akan tetapi Tiada.

Jadi, orang yang di Ahadiyyah itu semilyard derajat sebelumnya sudah tidak lagi merasakan keadaannya, yakni perasaan yang salah sebelumnya yang merasakan bahwa dirinya ada itu, sudah tidak ada lagi dan ia sudah tahu dengan mata keyakinan bahwa dirinya tidak ada (dan hanya tajalli atau bayang atau cerita atau wajah dari ada).

Jadi yang melanglang di maqam Sifat yang disebut dengan Waahidyyah dan setelah itu melanglang ke derajat Ahadiyyah yang disebut Tuhan, adalah ketiadaan. Dengan kata lain Bayangan, Esensi non eksis, Cerita, Cermin dll, tapi bukan si Ada yang punya bayangan, atau si eksistensi yang tidak bisa diberlenggu dengan esensi, atau obyek cerita yang bukan ceritanya, atau sang Ada yang bukan di cerminnya dan seterusnya.

Jadi, hati-hatilah belajar hal seperti ini. Terlebih dari guru-guru yang tidak tahu belajar dari mana. Bukan saya mau membatasi kebebasanmu, tapi hanya sebagai penasihat yang menasihatimu saja. Karena sudah lama kakak mendengar ada orang yang sudah mengaku Tuhan dan kemauannya sebagai kemauan Tuhan. Dan yang saya dengar adalah dari orang-orang yang mengaku pengikut Syi’ah. Jadi, berhati-hatilah, berhati-hatilah ....


Syair Pengembara: Maha Suci Allah, penjelasan ustadz sangat gamblang bagi saya yang bodoh ini.

Giri Sumedang: Semoga Tuhan menjauhkanku dari perdebatan ini semacam ini kak. sungguh tidak ada niatan untuk mendebat sesorang, apalagi terhadap kakak yang pinter ini.. maafkan adikmu yang bodoh ini kak ya he...dan semoga Tuhan senantiasa merahmati kakak dalam derajat yang selayaknya..amin.

Giri Sumedang: Entah kenapa kerancuan masih menyelimuti pemahaman giri tentang yang satu ini...semoga Tuhan mengampuni ku..

Giri Sumedang: Pertanyaan selanjutnya kak...seandainya alam (termasuk kita sebagai bayangan, wajah, nama, rupa, manifestasi, dan seterusnya apa pun sebutannya tidak pernah ada yang hadir sebagai realitas, maka untuk mengukuhkan bahwa Dia itu ada dari mana? Dan istilah bahwa Dia itu tidak terbatas, termasuk sebagai ketakterbatasan sebagai keberadaan, maka ketika kita sebagai keberadaan juga apakah tidak bisa disebut sebagai keberadaanNYa? mohon penjelasannya..tapi giri mau jawaban ga pakai marah kak.. he maaf bercanda. Tapi serius kak sekarang semakin mulai ada titik terang lagi dengan penjelasan kakak tersebut di atas.. terimakasih ya kak.

Sinar Agama: Giri:

(1). Yang kulihat dari tulisanmu ini, sudah bisa kulihat dari orang-orang wahabi yang kalau tidak punya dalil dan tidak bisa membantah, tetap saja tidak ngaku, tapi malah ngajari akhlak dan sok berakhlak. Memang kamu bisa saja berniat lain dan tulus, artinya tidak menyembunyikan kekerasan hati tanpa dalil dengan sengaja. Bayangin kita sudah beberapa tahapan berdebat, dan sudah dilalui, dan aku bawa dalil tapi kamu tidak bawa dalil, tapi tetap saja seperti tidak ada manfaatnya. Karena itu kamu berdebat terus. Artinya kamu belum terima yang kuajukan itu. Dalam hak-hak manusia, kamu boleh saja tidak terima. Tapi dalam hak-hak diskusi, kalau kamu tidak punya dalil, maka sudah selayaknya menerimanya. Jadi, jangan kayak main catur, dimana rajanya sudah tidak bisa lari, tapi tetap saja merasa tidak kalah. Kamu jangan menasihati lagi bahwa diskusi dan mencari ilmu tidak untuk kalah-kalahan dan menang-menangan. Karena nasihat akhlak itu benar di tempatnya, bukan di tempat yang harus mengajukan argumentasi. Karena itu nasihat akhlak itu sama sekali tidak bisa mewakili argumentasi.

(2). Pertanyaanmu yang “Untuk mengukuhkan dia itu dari mana?” semakin menambah kentara kerancuanmu. Karena kamu benar telah mencampur adukkan pandangan Kalam dan Filsafat dengan Irfan. Lucu amat, kita sudah berdebat di Irfan, kamu ngajak lagi ke filsafat yang membuktikan wujud Tuhan yang tak terbatas dengan wujud makhluk yang terbatas.

Kalau kamu sudah bicara Ahadiyyah dan ini dan itu, dimana konsekuensinya adalah selepas melihat kenyataan yang sebenarnya tentang ketiadaan selainNya dimana hal itu diistilahkan dengan fana’, maka kenapa bingung membuktikan adanya Si Pemilik Bayang? Emangnya bisa dipahami bahwa bayangan itu bisa menjadi bayangan tanpa si pemilik bayangan? Tajallinya sesuatu itu terjadi tanpa Pentajalli? Bukankah juga sudah saya katakan bahwa kalau kamu mengira kamu ada dan terbatas justru itu menjadi pembatas bagi adaNya hingga Ia juga menjadi terbatas? Nah, justru ketika kamu tidak ada itu maka kamu telah membuktikan keberadaanNya yang tidak terbatas. Tapi kalau kamu membuktikan Tuhan dengan keberadaan yang terbatas, maka sebenarnya baru membuktikan Tuhan yang tidak terbatas tanpa aplikasi.

Jadi, kamu bisa membuktikan Tuhan yang tidak terbatas dengan wujud-wujud makhluk yang terbatas, akan tetapi setelah itu, yakni ketika sudah terbukti ketidakterbatasan Tuhannya, maka mesti diaplikasikan. Yang itu dengan melenyapkan semua keberadaan terbatas yang tadinya dikira ada itu.

Tapi kalau dengan kacamata irfan, maka ketika kita tahu bahwa diri kita dan alam semesta ini adalah bayang dari Ada atau Wujud Yang Tidak Terbatas yang telah pula diaplikasikan itu (hingga menghapus semua perkiraan ada pada selainNya), maka kita telah dapat membuktikanNya. Yakni membuktikan AdaNya Yang Tidak Terbatas dan Aplikatif. Jadi, bayang atau tajalli atau wajah atau cerita atau cermin dari pada Ada, adalah dalil bagi keberadaan Sang Ada Yang Hanya Satu itu.

Kalau syahadatnya Kalam dan Filsafat:

”Tiada tuhan selain Allah.” atau ”Tiada tuhan selain Tuhan.” Maka kalau syahadatnya ’Aarifiin adalah:

”Tiada ada selain Tuhan.” atau ”Tiada ada selain Allah.” Wassalam.

18 people: like this.



Fan Malaka: ijin copy ustadz. pencerahannya.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentnya.

Sinar Agama: Fan: silahkan saja seperti biasa.


Dedy Hadi: Maaf...saya memberikan sedikit penjelasan agar pemahaman bisa tercapai. Siapapun yang berupaya menguraikan Tuhan dengan akal dan Inderanya...maka sesungguhnya dia belum mengenal Tuhannya. Sinar Agama (SA)....pertanyaan saya mungkin sudah terbantu dengan penjelasan SA. Tapi yang saya pahami...kenalilah dulu akal universal agar kita bisa mencapai Tuhan/ merasakan kehadiranNya. Suatu kali saya penah mencoba mendekatkan diri...tapi timbul rasa takut, gemetar dan bingung. Apakah hal itu adalah sentuhan Ilahi...apakah SA pernah merasakannya ? (namun saya tidak ingin berfantasi dan ber-ilusi) mohon penjelasan....


Sinar Agama: Mas Dedy:

Kita memiliki perbedaan mencolok. Karena bagi saya, siapapun yang mengenal Tuhannya, tidak pakai akalnya atau tidak bisa dibuktikan dengan akal (setidaknya), maka sudah pasti hal tersebut fantasi belaka.

Ketika antum mengatakan bahwa “Siapaun yang berupaya menguraikan Tuhan dengan akal dan Indranya ...maka sesungguhnya dia belum mengenal Tuhannya”, saya mau bertanya, antum mengatakan ini dengan akal antum atau tidak?

Kalau pakai akal, berarti antum mau membatalkan akal dengan akal. Lalu apa argumentnya? Kalau mengatakan dengan ayat Tuhan, maka mana ayatnya? Sementara ayat-ayatnya menyuruh kita menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan. Banyak sekali ayat dan bukan satu dua yang menyuruh kita baik langsung atau tidak untuk mengenali Tuhan dengan akal kita.

Agama, Tuhan, Hadits dan, apalagi kehadiranNya, harus bisa dibuktikan dengan akal hingga dikatakan benar dan dipahami dengan benar. Agama, Tuhan, Hadits dan, apalagi kehadiranNya, tanpa akal, tidak akan pernah berarti karena tidak akan pernah dipahami.

Kata-kata para insan Kamil yang mengatakan bahwa yang mengenali Tuhan dengan dalil pembuktian dan bukan dengan kehadiran itu adalah kebutaan, maka bukan berarti seperti yang antum pahami. Karena yang dimaksud dengan kehadiran di sini adalah setelah dibuktikan kebenarannya lewat akal dan dalil. Jadi, kalau punya konsep tentang Tuhan, apakah dari kahadiran atau bukan, semua harus bisa dibuktikan dengan dalil akal. Setelah itu, setelah terbukti kebenarannya dan dikejar untuk dirasakan atau dihadirkan, maka apapun pertistiwa yang dialaminya itu harus juga bisa dibuktikan dengan dalil akal. Karena kalau tidak, maka syaithanlah yang akan menjadi tuhannya, bukan Tuhan yang sesungguhnya.

Jadi, kalau imam Husain as di doa ‘Arafah mengatakan “Yang membuktikan keberadaanNya dengan pembuktian makhluk, berarti tidak melihatNya alias buta”, maka yang dimaksud penglihatan setelah pembuktian keberadaanNya dengan akal dan penglihatan yang disetujui itupun adalah penglihatan yang sudah didukung dengan pembuktian akal. Jadi, akal adalah kunci kebenaran sebelum menemukan Tuhan, dan ketika merasakan kehadiranNya setelah menemukanNya. Jadi, dalam mencariNya dan menghadirkanNya, semuanya tergantung kepada akal. Karena kalau tidak, maka Tuhan yang ditemukannya bukan Tuhan yang sesungguhnya dan begitu pula Tuhan yang dihadirkannya juga bukan Tuhan yang sesungguhnya. Karena itulah imam Ja’far as mengatakan bahwa apapun yang kamu tahu (dan rasakan) tentang Tuhan, semua itu tetap merupakan makhluk ciptaanmu sendiri.

Akan halnya yang antum rasakan tentang takut dan bingung ketika mendekati Tuhan, sudah jelas hal itu bukan sentuhanNya. Karena Allah itu Maha Indah dan Maha Jelas. Jadi, yang mendapat sentuhanNya, sudah pasti tidak akan takut dan kebingungan. Karena itulah ayatullah Jawadi Omuli hf pernah mengatakan bahwa Tuhan itu suatu yang disenangi, bukan ditakuti. Karena Ia adalah kesempurnaan mutlak dan keindahan mutlak. Kalau kita takut padaNya, itu sebenarnya kita takut pada diri kita sendiri, takut pada kesalahan kita sendiri, bukan takut padaNya karena Ia tidak layak ditakuti atau setidaknya katakanlah ”Dia lebih layak disenangi dari pada ditakuti.”

Antum ketika mengatakan bahwa mengenal akal universal dulu supaya bisa mencapai Tuhan, menunjukkan ketidakberargumenan-akal dari pernyataan antum itu. Karena Tuhan yang tidak terbatas, bagaimana bisa dicapai dengan yang terbatas walaupun dia adalah akal universal. Jarak Tuhan yang tidak terbatas itu dengan apapun selainNya yang pasti terbatas, jaraknya juga tidak terbatas. Sebab kalau dikatakan bahwa akal universal antum itu sudah dekat dan apalagi mencapaiNya, maka berarti Tuhan itu menjadi terbatas. Karena hanya yang terbatas yang bisa didekati dan yang hanya bisa dicapai-i.


Dedy Hadi
: Kebanyakan manusia tidak menyadari akan keterbatasan akal dan logikanya. Dan akal yang saya maksudkan di atas tidak bisa sama dengan akal yang antum maksudkan. Karena yang saya maksudkan adalah akal universal yang penuh dengan keyakinan Kebenaran. Akal yang dimaksud di atas adalah akal konvensional. adalah yang tidak dapat menguraikan Tuhan.


Sinar Agama: Dedy, jadi, siapaun yang ingin menhadirkan Tuhan, maka ia harus mencari Tuhan itu dulu dengan akalnya. Karena kalau sudah mengenal Tuhan dengan akalnya, maka ia tidak gampang ditipu syethan atau perasaannya ketika ia mencari untuk menyentuh atau menghadirkan Tuhannya. Tapi kalau dari awal dia tidak tahu Tuhannya itu apa dan seperti apa (bukan penyerupaan, tapi zat dan sifatNya), maka siapapun yang datang pada perasaannya, apakah itu jin atau perasaannya, maka ia akan mendakwa bahwa yang datang itu adalah Tuhannya.

Lagi pula antum mengatakan bahwa kita harus mengerti dulu akal universal ala antum itu karena dengan mengenalnya baru bisa menyentuh Tuhan. Nah, antum sekarang mau mengenali akal universal antum itu dengan apa? Dengan akal atau dengan penyentuhan juga?

Kalau dengan akal, berarti antum sama seperti kami. Karena yang kami buktikan dengan akal itu adalah kebenaranan tentang keimanan kami terhadap Tuhan, baik dari sisi benar tidaknya keberadaanNya, atau apa sifat-sifatNya. Baru setelah itu kita berusaha dengan jalan taqwa dan pensucian diri untuk menyentuhNya, yakni menyentuh kahadiranNya yang tetap tidak akan pernah dicapai karena ketidakterbatasanNya itu.

Tentu saja, bagi kami tetap beda sekalipun sama-sama pakai akal. Karena kalau kami menggunakan akal itu dalam rangka membuktikan keberadaanNya dan sifat-sifatNya dimana hal itu adalah modal awal untuk mengejarNya, tapi antum dalam rangka mencari alat yang namanya akal universal dimana saya yakini antum juga tidak akan pernah berhubungan dengannya, tapi antum merasa berhubungan dan bahkan menggunakannya untuk mendekatiNya. Ini pengkalauan pertama.

Tapi kalau antum dalam mengenal akal universal itu dengan pendekatakan, maka dari awal apapun yang antum katakan ini tidak bisa diterima. Karena tidak ada bukti kebenarannya. Alat pembuktiannya juga tidak ada. Karena akal universal itu datang di hati antum tapi tidak di hati yang lainnya. Lalu bagaimana antum bisa mengurainya sementara antum melarang penguraian akal?

Saya sangat mencurigai maksud antum dengan akal universal itu adalah Nur Muhammad. Kalau hal ini benar, maka sungguh sudah jauh dari kebenaran atas apa-apa yang antum sampaikan dan inginkan. Karena Nabi saww dan Ahlulbait as itu mengajarkan akal argumentatif ini dan membimbing kita semua supaya tidak sesat dengan pengakuan sendiri. Dan, di samping itu, masih banyak lagi hal yang harus dibentangkan dalam memaknai hadits Nur Muhammad saww itu, yang sudah tentu akan beda jauh dari yang antum inginkan karena kita pakai akal dan antum pakai kehadiran.

Kalau ada waktu, coba jalan-jalan di catatan-catatan alfakir yang berjudul Wahdatu al-Wujud yang sudah 16 seri itu. Bisa di catatan akun ini, dan bisa juga di dokumen yang ada di group berlangganan catatan-catatan sinar agama.


Dedy Hadi: Catatan alfakir ada dimana ? Pertama saya sepakat dengan pendapat antum. karena itu saya katakan untuk tidak mengikuti fantasi dan ilusi. Kedua : akal universal adalah kreativitas yang berputar mengelilingi alam dan wilayah indera kita (dan hal ini tercapai dari perenungan dan refleksi ; sudah termasuk penggunaan hati). Memang tidak ada alat untuk pembuktiannya (karena akal tidak bisa di akses).

Tuhan tidak bisa diuraikan dengan akal...maksud saya adalah dalam mengenal Tuhan. kita tidak bisa menjelaskan Zatnya. PengenalanNya melalui ciptaanNya...dengan kecermatan tatananNya.... dan dengan prinsip hukum kausalitas (sebab akibat).

Saya belum paham dengan Nur Muhammad. (makanya saya sudah katakan dari awal bahwa saya tidak ingin berfantasi dan ber-ilusi). Hal yang saya ceritakan adalah agar mencapai kejelasan.

Akal konvensional dan kehadiran (hudhury).... mencapai akal universal.


Sinar Agama: Mas Dedy:

Saya yakin antum memiliki kekurangjelasan pahaman, Allahu A’lam, karena:

(1). Ilmu Hudhuri itu adalah ilmu yang didapat dari kehadiran obyek yang diketahuinya, seperti kalau antum menyinta, marah, bingung, lapar, dendam dll.

(2). Ilmu Hudhuri tentang Tuhan, yakni menghadirkan Tuhan dalam diri kita.

(3). Diri kita adalah ruh kesadaran kita yang memiliki 4 daya: Daya-tambang; Daya-nabati; Daya- hewani dan Daya-akal.

(4). Daya-tambang yang mengatur putaran atom badan. Daya-nabati, yang mengatur pertumbuhan dan peranakpinakan. Daya-hewani, yang mengatur gerakan ikhtiarnya dan semua perasaan, seperti lapar, cinta, marah, dendam, benci, kangen ...dll. Daya-akal adalah yang untuk mengetahui.

(5). Qalbu dalam ayat dan riwayat yang dijadikan sandaran kebenaran itu adalah yang memahami. Dengan demikian ia adalah akal itu. Dan, dalam bahasa arab, qalbu itu adalah akal. Tapi kebanyakan orang Indonesia, semua qalbu yang di ayat-ayat Qur'an itu, seperti Qalbun salim, qalbun fahim, qalbun batu dan seterusnya diartikan sebagai hati. Padahal ia adalah akal.

Karena itu kebingunngan membedah hati dan akal.

(6). Ada qalbun yang bermakna hati, tapi hati ini bukan jantung. Tapi tempatnya perasaan itu, yakni tempatnya cinta, benci dan seterusnya itu, tapi bukan tempat memahami. Karena

hati yang bermakna seperti ini adalah Daya-hewani itu sendiri, bukan hati yang bermakna daya-akal yang untuk memahami.

(7). Sedang akal yakni akal manusia itu yang memiliki alat otak di badan, seperti Daya-hewani yang juga sebagiannya memiliki alat seperti mata, telinga dllnya sebagai alat dari Daya-

hewani ini. Karena Daya-hewani ini bukan hanya yang mengatur perasaan, tapi juga rasa- rasa dan gerakan bebas dan ikhtiari.

(8). Dengan semua uraian itu, maka dapat disimpulkan bahwa hati yang hewani itu tidak memiliki tempat dalam kesempurnaan manusia, karena semua binatang juga memilikinya. Begitu cintanya ayah-ayah dan ibu-ibu binatang selain manusia hingga ketika anak-anaknya mendapat ancaman dari binatang lain, mereka maju membela anak-anaknya dengan berani dan bahkan mengorbankan diri mereka sendiri.

(9). Dengan semua itu, maka hati dan qalbu yang dipuji dalam Qur'an dan hadits, adalah yang membedakan manusia dari binatang, yaitu akal. Dengan demikian, akal itu mau dikatakan akal atau hati yang paham, yang sehat, yang tidak keras seperti batu, dan seterusnya, adalah sama saja. Yakni akal yang memiliki kerjaan berfikir dan mengetahui serta memahami ini.

(10). Dengan demikian, antum mau mendakwa dengan hati, atau para urafa’ mengatakan dengan hati ...semua dan semua. adalah akal itu.

(11). Nah, apakah akal ini dapat mengetahui Tuhan? Jawabannya bisa. Karena ia adalah satu- satunya yang dapat mengurai apa saja. Ingat, yang ditanyakan adalah mengetahui Tuhan, bukan mencapai Tuhan. Akal terbatas ini sangat bisa mengetahui yang tidak terbatas.

Ketika kita mengatakan ”Tuhan itu tidak terbatas”, berarti akal sudah tahu apa arti tidak terbatas itu. Jadi, antum ketika mengatakan bahwa akal terbatas itu tidak akan memahami Tuhan yang tidak terbatas, maka sudah jelas bahwa antum sendiri sudah melanggar parkataan antum ini. Karena nanti kita bertanya, apa maksud antum tentang Tuhan dan maksud antum tentang yang Tidak Terbatas itu? Kalau antum memahami maknanya dan apalagi menjelaskannya, maka berarti antum telah memahami Tuhan Yang Tidak Terbatas itu. Tapi kalau antum mengatakan dan menjawab: “Aku tidak tahu”, maka buat apa antum katakan pernyataan yang tidak antum pahami itu?

Jadi, akal yang terbatas ini dapat mengerti Tuhan yang Tidak Terbatas.

(12). Lagi pula, kalau dengan dalil tidak terbatas itu membuat kesimpulan bahwa tidak bisa mengerti Tuhan, maka dengan apapun Tuhan itu tidak bisa diketahui. Baik dengan Qur'an, hadits, Nabi saww, akal universal, dan apa saja, atau sekalipun dengan ilmu Huduri. Karena semua itu adalah bukan Tuhan, dan , yang bukan Tuhan itu pasti terbatas. Karena itu, semua itu tidak bisa mengerti dan mengenal dan memahami Tuhan.

(13). Lagi pula, betapa kejamnya Tuhan kalau begitu, karena Ia dalam banyak ayat dalam Qur'anNya telah memerintahkan manusia untuk mengetahuiNya, seperti “Ketahuilah bahwa tiada Tuhan kecuali Allah” (QS: 47: 19) atau “Ketahuilah bahwa Tuhan itu Maha Mulia dan Bijaksana” (QS: 2: 209), atau “Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Pengampun dan Penyayang” (QS: 5: 34), atau “Ketahuilah bahwa Allah itu keras siksaNya” (QS: 5: 98) dll-nya dimana perintah ”ketahuilah” ini adalah perintah kepada manusia. Jadi bukan hanya akal itu tidak bisa mengenali Tuhan, akan tetapi bahkan wajib mengenaliNya.

Belum lagi yang berupa berita-berita di ayat-ayat itu, seperti:

“Dan Allah itu meliputi orang-orang kafir” (QS: 2: 96), atau “Dan Allah itu Maha Mengetahui” (QS: 2: 216), atau “Dan Allah itu Maha Mendengar dan Mengetahui” (QS: 2: 224), atau “Dan Allah itu Maha Pengampun dan Maha Lembut” (QS: 2: 225), atau “Dan Allah itu Maha Mulia dan Bijaksana” (QS: 2: 228), atau “Dan Allah itu mengambil dan memberi” (QS: 2: 245) atau “Dan Allah itu bersama orang-orang yang sabar” (QS: 2: 249) atau “Dan Allah itu Maha Kaya dan Maha Lembut” (QS: 2: 263) dan seambrek lagi dan tak terhitung dari ayat-ayat Qur'an yang ada yang memberitakan tentang Diri Allah kepada manusia dan juga dengan sifat-sifatNya.

Nah, kalau kabar Tuhan itu tidak bisa dipahami, maka buat apa Tuhan mengabarkan DiriNya dan sifat-sifatNya kepada kita?

Dengan demikian, akal manusia ini benar-benar dapat mengenalNya.

(15). Dengan semua pembuktian itu, maka jelas bahwa akal manusia ini dapat mengerti Tuhan yang Tidak Tebatas itu, baik dari mengetahui ZatNya tau Sifat-sifatNya.

(14). Ingat pembahasan kita ini adalah mengenalNya, bukan menjadiNya atau mencapaiNya walau dengan ilmu.

(16). Sekarang, ada berapa macam pengertian atau ilmu itu? Jawabnya ada dua, Hushuli dan Hudhuri.


Dedy Hadi: SA (11) Apakah yang antum maksudkan di sini adalah dzat Tuhan (maaf sedikit menyimpang dari pembahasan) ? Ataukah akal hanya mengetahui dari ciptaanNya ? Kalau untuk mencapai Tuhan memang tidak mungkin.


Sinar Agama:

(17). Ilmu Hudhuri adalah hadirnya obyek ilmu dalam akal. Dan ilmu ini dibagi dua seperti yang sudah disebut di atas ini. Ingat, mau pakai istilah hati atau apa, tetap maknanya adalah akal. Jadi, alat satu-satunya mengerti adalah akal. Yang beda itu adalah cara sampainya, ada yang dengan belajar, berenung, membersihkan diri dari hal-hal yang mengotori akal seperti maksiat atau cinta dunia, atau melalui ilham dan wahyu.


Dedy Hadi: Maaf. yang saya maksudkan terbatas adalah kriterianya (orang diluar kita) bukan sesuatu yang diukur kriteria tersebut. Maksud saya tentang Tuhan yang tak terbatas itu adalah sifatNya.

Dedy Hadi: Tapi bagi kita yang ingin mengenal Tuhan bisa menjadi tak terbatas.

Dedy Hadi: SA (15) Apakah Dzat Tuhan itu ?

Dedy Hadi: Apakah nur Muhammad itu ?


Sinar Agama:

(18). Ilmu Hushuli, adalah hadirnya obyek ilmu dalam akal yang berupa bukan obyek asilnya. Seperti panasnya api yang kita rasakan, indahnya pemandangan yang kita lihat, manisnya gula yang kita makan, warna warni, bentuk-bentuk dan apa saja yang kita ketahui melalui panca indra kita ini adalah pengetahuan akal yang tidak langsung itu. Yakni yang hadir di akal tersebut adalah copy-an dari obyek sebenarnya.

Membuktikan Tuhan, bisa dengan ilmu Hushuli ini yang antum istilahkan dengan akal konvensional dimana saya juga mengistilahkannya dengan ilmu panca indra atau eksperimen seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Membuktikan Tuhan dengan ilmu-ilmu Hushuli ini juga dapat mencapai pengatahuan tentang Tuhan Yang Tidak Terbatas itu dengan segala sifat-sifatNya. Misalnya dengan berdalil bahwa kita, pohon dan semua yang ada di sekitaran kita ini adalah wujud-wujud terbatas. Dan karena alam itu kumpulan dari wujud-wujud terbatas ini, maka sudah pasti memiliki batasan, seperti awal dan akhir. Dan kalau memiliki awal, berarti sebelum awal itu maka alam ini tidak ada. Dan kalau sekarang ada, maka ia pasti diadakan oleh yang lain, karena yang tidak ada tidak mungkin mengadakan apalagi dirinya sendiri. Dan pengadanya kalau terbatas, maka dengan dalil yang sama ia juga diadakan. Dan kalau semua pengadanya itu terbatas, maka sudah pasti semua juga harus diadakan. Karena itu, karena semua yang ada ini nyata, maka sudah jelas bahwa ada pengadanya yang tidak terbatas. Karena kalau tidak ada yang tidak terbatas itu, maka kita dan semua yang terbatas ini tidak mungkin ada.

Nah, dengan mudah akal dapat mengetahui bahwa alam ini dicipta oleh yang tidak terbatas, baik langsung atau tidak langsung.

Dan begitu seterusnya dari pengenalan dan pengetahuan akal tentang Tuhan yang tidak terbatas ini, bisa melacak terus kepada sifat-sifatNya. Sebenarnya pelajaran ini sangat dasar sekali. Yakni masih di ilmu Kalam dan Filsaat. Bisa dirujuk di catatan alfakir yang berjudul “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah”, bagian pertamnya.

(19). Ilmu Hudhuri adalah hadirnya obyek ilmu dalam akal dimana yang hadir itu adalah obyeknya secara langsung. Ingat hadirnya obyek ilmu di dalam akal adalah akal atau hati/qalbu yang bermakna akal, bukan hati/qalbu yang bermakna rasa dan perasaaan itu.

Ilmu Hudhuri ini ada tiga macam:

  • (1). Ilmu sesuatu pada dirinya sendiri. Seperti kita atas diri kita yang tidak melalaui panca indra. Tapi kalau melalui panca indra maka itu juga Hushuli, seperti kita kalau memperhatikan tangan kita dengan mata. Begitu pula ilmu Tuhan pada DiriNya sendiri juga Hudhuri dari kelompok pertama ini. Begitu juga semua malaikat dan siapa saja yang memiliki akal, maka pengetahuan dirinya terhadap dirinya yang tidak melalui panca indra, adalah ilmu Hudhuri.
  • (2). Ilmu sesuatu atas akibatnya. Seperti ilmu-ilmu kita terhadap akibat diri kita yang ilmunya itu tidak didapat melaui panca indra. Misalnya ilmu kita atas cinta kita, lapar kita, marah kita, sadar kita, duka kita, ilmu-ilmu kita, dll. Begitu pula ilmu Tuhan terhadap semua makhlukNya, karena mereka semuanya adalah akibatNya.

Ilmu sebab terhadap akibatnya ini, jelas meliputi seluruh akibatnya. Yakni tidak ada dimensinya yang tidak diketahui.

  • (3). Ilmu akibat terhadap sebabnya. Dalam ilmu ini sudah jelas seukuran akibatnya itu. Karena akibat jelas lebih rendah derajatnya dibanding sebabnya, maka ilmu akibat ini tidak mungkin terhadap seluruh sebabnya yang lebih luas dari dirinya sendiri itu. Jadi, pengetahuan Hudhuri seuatu akibat terhadap sebabnya, hanya sebatas dirinya saja.

Ada lagi yang ke empat dari ilmu Hudhuri ini tidak disepakati semua filosof, yaitu ilmu satu akibat terhadap akibat lainnya yang bersumber dari satu sebab. Karena di filsafat sudah dibuktikan bahwa satu sebab itu hanya memiliki satu akibat.

(20). Dengan semua penjelasan ulangan dari semua tulisan-tulisan terdahulu itu, ditambah kejernihan dan ketulusan, maka benar-benar akan dapat dipahami bahwa justru ilmu Hudhuri itu yang tidak bisa memahami Tuhan yang tidak terbatas itu. Yakni tidak akan pernah bisa menghadirkanNya dalam akal dan ruhnya itu. Karena kekuatan akibat hanya mampu menghadirkan sebabnya seluas dirinya. Dan manusia, seluas apapun ia menyempurna dalam taqwa dan suluknya, tetap saja ia adalah akibat. Karena itu ia tidak akan pernah mampu menghadirkanNya sebagaimana Dia. Jadi, justru ilmu Hudhuri inilah yang terbatas.

Beda dengan ilmu Hushuli, karena ia hanya bisa mengertiNya, seperti mengerti ketidak- terbatasanNya, mengerti dengan benar KasihNya, RahimNya, LembutNya, KuasaNya, Melihat- Nya, PandaiNya dan DiriNya, maka bisa mengerti sepenuhnya.

Jadi, kelau antum menafikan akal Hushuli (konvensional) dalam mengerti Tuhan dan mene- tapkan dengan akal Hudhuri (universal), maka antum sudah membalik kenyataan dan, inilah yang saya katakan sebagai kurang jelasnya masalah bagi antum.

(21). Tentu saja, ilmu Hushuli itu tidak akan bermakna kalau tanpa aplikasi. Karena itu kalau manusia hanya mengandalkan ilmu Hushulinya itu, maka ketika sudah mati, ilmu itu juga akan pergi seperti perginya panca indranya yang berfungsi sebagai alatnya itu.

Karena itu, maka ilmu Hushuli itu harus diaplikasikan hingga menjadi Hudhuri sajauh kekuatan menampungNya yang, tidak mungkin sebagaimana Dia yang sebenarNya.


Dedy Hadi: SA @ Mohon pelan-pelan agar saya dapat memahaminya juga : pertanyaan saya yang pertama. Apakah dzat Tuhan itu ?


Sinar Agama:

(22). Ingat, semua yang kutulis itu yang alfakir dapatkan dari sekolah agama dan filsafat dan irfan selama beberapa puluh tahun. Jadi bukan dari kocek sendiri. Kalimat ini saya katakan, supaya yang tidak konsen pada dalil dan argumentasi, dapat terbantu dalam diskusi ini. Bukan untuk menyombongkan diri yang dina ini apalagi hanya terhadap ilmu-ilmu Hushuli ini.

(23). Kembali ke masalah:

Ketika kita melanglang dalam taqwa dan suluk itulah maka manusia harus ekstra hati-hati. Karena taqwa dan suluk yang diterima itu hanyalah yang dimaui oleh Tuhan, bukan oleh kita dan bukan yang sesuai dengan definisi kita. Jadi, taqwa dan suluk ala Allah yang akan diterima, bukan suluk ala kita.

(24). Untuk memastikan taqwa dan suluk ala Allah itu, tidak ada jalan kecuali sekali lagi dan sekali lagi menggunakan akal kita. Jadi, kalau akal tidak bisa membuktikan kebenarannya, maka apapun kehadiran dalam ilmu Hudhuri itu tidak bisa dijamin.

(25). Dan kerja Akal-akal Hushuli yang berperan untuk menghudhurikan Tuhan itu, dimulai dari sejak belajar akidah, fikih, akhlak dan Irfan. Jadi, sebelum ia melanglangi apa yang dikatakan syariat, thariqat dan hakikat, ia harus tahu dulu semua itu dengan akalnya. Misalnya, kalau akidah harus tahu hal-hal dasar agama dengan akalnya dan tidak boleh taqlid. Dan kalau dalam fikih, dengan taqlid pada fatwa marja’nya. Sekalipun taqlid ini mudah, tapi sering tidak terlalu mudah memahami fikih, jadi harus ekstra hati-hati. Tentu saja, kalau mujtahid tidak boleh taqlid dan harus beramal dengan fatwanya sendiri.

Kalau dalam filsafat juga harus begitu, harus tahu hakikat-hakikat dengan jelas dan argumentasi yang gamblang. Begitu pula Irfan.

Dalam akidah dan fikih, setiap orang harus mengetahuinya dengan baik dan detail sebelum mengaplikasikannya. Yakni seukuran apa-apa yang akan diaplikasikannya itu. Jadi, kalau akidah cukup tahu dengan baik ushuluddin yang lima itu, dan kalau fikih cukup wajib tahu dari fatwa marja;nya apa-apa yang akan dilakukannya dalam keseharian.

Akan tetapi dalam filsafat dan irfan (baik teori dan amalinya), tidak harus tahu dengan detail sebelum melangkah, asal punya guru yang mendampingi yang tahu dengan detail semua itu. Tapi kalau mengetahuinya sendiri yang detail-detail itu dengan belajar dari guru yang mumpuni yang juga belajar dari guru-guru sebelumnya, maka hal itu jauh lebih baik.

Gunanya guru atau pengetahuan langsung dalam hal ini, tidak lain, kecuali untuk melihat apakah kepercayaannya dalam hal-hal hakikat dan hal-hal irfan itu sudah benar atau tidak. Dan apakah jalan dan hal-hal yang dirasakannya (atau dikasyafnya) itu sudah benar atau tidak. Seperti antum yang merasa takut itu dan mencurigai itu adalah sentuhanNya.


Kesimpulan:

(1). Dengan semua uraian ulang itu, maka dapat dipastikan bahwa apapun itu dan apapun makrifah, baik tentang Tuhan atau selainNya, semua bergantung kepada akal kita. Karena ia pelaku langsung dari semuanya, sekalipun Hudhuri.

(2). Dan Akal Konvensional dalam arti selain Hudhuri, adalah alat pengetes bagi kebenaran jalan dan capaian Akal Universal (Hudhuri).


Tambahan:

(1). Menyermpurnanya manusia itu dengan meluaskan dan meninggikan akalnya.

(2). Meluaskan dan meninggikan akal adalah melepaskan yang dimilikinya disaat ini, yakni batasannya. Jadi, yang dimilikinya itu, kalau disayangi dan tidak dilepas, maka ia akan terikat pada tali obyek ilmunya itu. Karena itu harus dilepaskan supaya tidak terikat. Begitu pula melepaskan keterbatasan ini dan itu, di samping dengan melepaskan keterikatannya, ia juga harus mengaplikasikannya. Karena dengan melepas batasannya dan mengaplikasikannya ia akan mendapat ilmu yang lebih luas. Dengan demikian, batasan semua itu akan hilang.

(3). Kalau seseoarng menyayangi capaiannya, maka ia tidak akan meluas lagi.

(4). Kalau tidak menyayanginya, yaitu dengan membuang batasannya dengan mengisinya dengan yang lebih luas dan juga dengan cara mengaplikasikannya, maka ia akan meluas dan meluas.

(5). Keberluasan ilmu ini berlaku untuk akal konvensional atau universal, dalam arti Hushuli dan Hudhuri.

(6). Kalau proses itu hanya Hushuli, maka ia akan sirna ketika mati. Tapi kalau Hhuduri), maka ia akan ikut sampai mati dan kebangkitan kelak.

(7). Kalau meluasnya Hudhuri itu sebegitu rupa sampai ke Akal-satu, yaitu makhluk terluas dan tertinggi, maka ia sampai pada puncak ketinggian makhluk. Tapi kalau menyayanginya, dan tidak melepasnya,maka ia hanya sampai ke tingkat paling sempurnanya makhluk.

(8). Kalau ia juga meninggalkan batasan Akal-satu itu, maka ia akan menjumpai apa yang dikatakan ketidakterbatasan itu. Yaitu Tuhan yang tidak terbatas. Di sini ia tidak memahamiNya, tapi melihatNya dengan ilmu Hudhuri.

(9). Ketika ia sudah melihatNya dengan akal Hudhuri, yakni tidak lewat akal pemahaman seperti waktu ia belajar dulu, maka ia benar melihat dengan kehadiran atau kekudhuran.

(10). Ketika ia melihat dengan kehudhuran Yang Tidak Terbatas itu, maka sudah jelas ia tahu dengan Hudhuri juga bahwa dirinya tidak ada sama sekali. Karena kalau ada, berarti akan membatasi keberadaanNya Yang Tidak Terbatas itu.

(11). Maqam tahu dengan Hudhuri, bukan dengan Husuhuli sebagaimana dipelajari di kelas-kelas Irfan, tentang KetidakTerbatasan Tuhan hingga melihat dirinya juga dengan Hudhuri yang ternyata tidak ada, itulah yang disebut dengan Fana’.

(12). Setelah ia melewati Fana’, yakni Tahu Hudhuri terhadap ketidakadaan dirinya itulah, baru ia masuk ke maqam Asma-asma Tuhan. Nah, kala itulah ia menyatu dengan Asma-asma itu. Karena non materi satu ditambah satu non materi sama dengan satu non materi.

(13). Akan tetapi karena manusia itu tetap memiliki kemanusiaannya, seperti badan ketika masih hidup, atau barzakhi ketika sudah mati dan sampai kapanpun, atau Akal-akhir sebelum ke Akal-dua, ,,,,,begitu seterusnya sampai ke Akal-pertama itu sampai kapanpun, yakni walau ia sudah lepaskan dalam hatinya tapi tidak terlepas dalam esensi dah hakikatnya, maka sampainya manusia ke maqam Asma-asma itu, tetap saja tidak bisa menyatu seutuhnya. Karena itu ia hanyalah Tajalli dari Asma-asma tersebut. Jadi kalau para imam makshum as mengatakan bahwa mereka adalah Nama-nama Tuhan, maksudnya adalah Tajalli Paling Sempurna Dari Asma-asma Husna Tuhan tersebut.

(14). Dan karena setelah Fana’ itu insan kamil sudah tidak pernah lagi menengok kepada dirinya yang memang tidak ada itu, maka apapun yang dilakukannya setelah itu adalah perbuatan yang bertajalli. Karena itu, apapun kata-kata yang seperti memuji dirinya sendiri seperti wajib taat pada mereka, wajib cinta pada mereka, dan seterusnya, semua itu bukan kata-kata mereka lagi, akan tetapi sudah kata-kata Tuhan yang bertajalli tersebut. Karena itu Tuhan dalam hadits QudsiNya mengatakan bahwa siapa saja yang mengabdiNya semata, maka Tuhan akan menjadi matanya yang dibuat melihat, menjadi telinganya yang dibuat mendengar, menjadi kakinya yang dibuat berjalan dan seterusnya.


Peringatan:

Proses ke Fana’ itu bukan proses menuju tidak ada. Tapi prosesnya ilmu hudhuri untuk melihat kenyataan diri dan semua makhluk Tuhan yang tidak ada itu. Jadi, bukan berarti manusia kamil itu tadinya ada lalu menjadi tidak ada. Bukan begitu. Tapi semuanya memang dari awal tidak ada dan hanya berupa tajalli saja, tapi dirasakan sebagai ada. Lalu dengan proses ilmu Hushuli dan Hudhuri itulah menuju kepada ilmu Hudhuri terhadap hakikat ketidakberadaannya itu. Inilah maqam Zhaluman Jahuula itu.

Wassalam.


Dedy Hadi: SA....catatan antum mengenai wahdatulwujud-kan ada 16....yang 1-15-nya mana ?


Sinar Agama: Mas Dedy: Ada di catatan-catatan di akun ini, antum bisa coba lihat mas. Tapi kalau tidak bisa, karena sepertinya memang dari dulu sudah ada yang mengganggu, maka bisa lihat di akun lain yang merupakan gudangku, yaitu di akun yang bernama Mekar Sari Dua Belas. Di akun ini saya tidak terima pertemanan, supaya catatan yang ada dan yang kukirim dari akun ini, bisa mudah dicari. Tapi kalau belum lengkap, atau kesulitan juga, maka antum bisa melihat di dokumen-dokumen yang ada di Group Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama. Kalau di group ini antum tinggal masuk katalognya, maka setelah didapat yang diinginkan tinggal klik saja. Memang jumlah dokumen-dokumennya yang sudah melebihi 260-an itu, belum termuat semua di katalognya. Akan tetapi untuk wahdatu al-wujud ini sudah ada di katalognya tersebut. Senang antum sudi melihatnya, dan kalau ada kesulitan mengambilnya, atau ada hal-hal yang mau didiskusikan setelah membacanya, maka antum tinggal hubungi ana langsung di dinding akun ini. Senang antum sudi mengunjunginya. Terimakasih dan afwan banget.

September 23, 2011 at 11:30pm · Like



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar