Tampilkan postingan dengan label Madzhab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Madzhab. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Agustus 2018

Lensa (Bgn 1) : Analisis Kritis Pluralisme dalam Al Quran « HMINEWS.COM.



Oleh : Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:44


Ketahuilah bahwa di Iran sempat muncul beberapa saat tentang pemikiran pluralisme ini, tetapi dengan gigihnya ulama dan Sayyid Ali Khamenei Rahbar kita, maka usaha Sayaurus dan sebangsannya untuk menyebarkan pluralisme ini menjadi mentah total. 

Dalam makalah yang jauh dari keselarasan dan penuh dengan kontradiksi itu, serta jauh dari spesialisasi Qur'an, penulis telah me-robek-robek tatanan berfikir logis-filosofis dan tentu saja me-robek Qur'an itu sendiri. Dan dengan tanpa memahami dasar pemikiran Rahbar kita hf, penulis juga telah merendahkan petuah-petuah Logis, filosofi dan agamisnya, menjadi sastrais- sayaairis, na’udubillah. 

Mungkin orang-orang mengira bahwa buku-buku semacam karya Sayaurus tersebut seperti “Jalan-jalan Lurus Yang Banyak” telah diberangus di Iran oleh para intelektual dan ulama serta Rahbar hf. Sama sekali tidak. Tetapi yang diberangus itu adalah dalil-dalil dan argumennya yang sastarais yang berusaha menipu manusia menjadi logis, filosofi, agamis dan Qur’anis. 

Mungkin juga Anda berkata, bahwa “Kalau ghitu berarti plural dong higga tidak dilarang bukunya terbit? “ 

Jawabanya: “Iya Plural, tetapi bukan Pluralisme”. Plural yakni majemuk, dan konsekwensinya adalah Toleransi, Bukan Pembenaran. Sementara kita tahu (bagi yang tahu bukan sok tahu), Pluralisme adalah “Semua agama dan pemikiran adalah benar” seperti yang dibawa penciptanya John Hick, walaupun dia juga terilhami dari beberapa Pastor dan tulisan-tulisan lama sekiter(sekitar) abad 18. 

Penulis makalah di situs ini, bukan hanya tidak tahu Qur'an yang memang tidak pernah ia pelajari dengan sistematis dan akademis, tetapi tentang pemaknaan dan konsekwensi Pluralisme ini saja dia tidak memahami hakikatnya. Dia kadang-kadang menukik ke Pluralisme, kadang turun lagi ke Plural. Maju mundur dan turun naiknya pemikirannya menandakan ketidakjelasannya dalam masalah ini. Buru-buru tentang Qur'an yang dia jelaskan sok tahu padahal jelas tidak pernah mempelajarinya secara akademis. 

Inti kebenaran Islam, terkhusus yang dibawa oleh Ahlulbait as, adalah Kebenaran Agama itu Satu, begitu pula tentang madzhab. Tetapi bukan berarti agama dan madzhab yang tidak benar itu mesti masuk neraka. Tidak sama sekali. Yakni, orang yang beragama atau bermadzhab yang tidak benar itu, bisa masuk surga kalau kebenaran agama atau madzhab belum sampai kepadanya, atau kalaulah telah sampai, tetapi belum terlalu jelas baginya sementara ia telah berusaha memahaminya. 

Dengan demikian, walau kita menghadapi tetangga kita yang kafir atau yang Sunni, maka kita tidak boleh menveto bahwa mereka pasti masuk neraka, karena sudah bertemu Islam atau Syi’ah dan sudah berulangkali diskusi. Karena mungkin mereka telah berusaha dan belum mendapatkan titik kuatanya kita atau agama/madzhab yang benar. 

Namun demikian, bukanlah tidak masuknya mereka ke neraka atau bisa masuknya ke surga itu karena mereka benar seperti yang dikumandangkan Pluralisme, tetapi karena memang tidak ada alasan untuk dimasukkan ke neraka lantaran tidak melakukan kezhaliman atau penganiayaan terhadap diri, agama dan orang lain. Jadi, yang masuk neraka itu hanya yang zhalim pada dirinya atau agamama/zhhab yang benar. Dan itu maknanya adalah menolak kebenaran setelah ia tahu yang ditolaknya itu kebenaran. 

Tetapi kalau dia belum benar, atau mungkin menolaknya, dikarenakan belum sampainya kebe- naran itu padanya baik secara lahir atau secara pemahaman, sementara dia sudah berusaha, maka orang seperti ini tidak layak dimasukkan ke neraka. Artinya ia akan mendapat maaf dari Allah sesuai janjiNya dalam Qur'an dan akal/fitrah. 

Jadi, masuk surganya karena dimaafkan, bukan karena dibenarkannya agama atau madzhabnya seperti yang digaungkan Pluralisme. 

Tentang pidato Rahbar hf yang tidak dipahami penulis itu, adalah bentuk dari Toleransi yang dianjurkan agama sebagai Tidak Ada Paksaan Dalam Agama. Sebenarnya bagi yang jeli dan hatinya bersih, ayat toleransi ini sadah menunjukkan bahwa yang benar itu satu, tetapi tidak boleh dipaksakan di dunia ini. Artinya mau ikut silahkan dan nanti masuk surga, dan kalau tidak mau juga silahkan dan nanti di akhirat masuk neraka. 

Toleransi, selain memiliki makna tidak memaksa, juga memiliki makna bekerjasama dalam hal-hal yang sama. 

Nah, Rahbar hf tercinta kita, dalam pidatonya itu, mengajak para agamawan selain Islam dalam forum yang sama untuk mengentas ber-sama-sama apa-apa yang bisa dientas dari kezhaliman dan ketidak adilan di dunia ini, bukan membenarkan agama dan madzhab meraka. 

Kalau kita melihat orang jatuh, apakah kita tanya dulu agama dan madzhabnya sebelum kita menolongnya? 

Atau kalau kita dirampok dan dijajah, apakah kita tanya dulu agama orang yang lewat dekat kita sebelum kita minta tolong padanya? Atau kalau kita mau gotong royong bikin jembatan di kampung kita, apa kita hanya mengajak yang Islam atau Syi’ah, dan melarang mereka yang kafir atau yang bermadzhab lain? 

Nah, Rahbar hf tercinta itu berpidato di hadapan mereka yang kafir itu dengan bahasa yang sama untuk memerangi kazhaliman dan pejajahan. Oleh karenanya sudah tentu wajar dan bahkan harus, untuk membawa dalil-dalil yang sama di antara agama-agama tersebut. 

Jadi, sangat wajar dan wajib bahkan, untuk menyebut sekalipun dalam siratan, tentang keadilan dan memerangi kezhaliman yang disebutkan dalam semua agama. Tetapi bukan pembenaran terhadap agama atau madzhabnya, tetapi pembenaran terhadap ajaran yang dinukilkannya itu. Persis kalau kita menukil hadits Abu Bakar atau Mu’awiyah tentang misalnya fadhilah imam Ali as. 

Kita dengan penukilan itu bukan membenarkan mereka, tetapi membenarkan apa yang mereka nukil Islamnya kita, Syi’ahnya kita, belajarnya kita dan seterusnya adalah bukti dari ketidakbenaran secara fitrawi dan agami (seperti yang penulis katakan) konsep Pluralisme ini. Bukan sebaliknya seperti yang dikatakan penulis. Adalah sangat tidak fitrawis, agamis, Qur'anis dan logis-filosofis, manakala kita seumur hidup jungkir balik belajar mencari kebenaran dan memintanya pada Tuhan, terkhusus jalan lurus, dan seterusnya, manakala kita dalam pada itu, mengimani dan mengatakan bahwa kebenaran itu milik semua orang, semua agama dan madzhab. 

Untuk dalil-dalil penguat lainnya mungkin di tempat dan waktu yang lain, semoga saya sempat menulisnya, karena sekarang sedang sangat sibuk hadapi kelas, seminar, wahhabi, soal-jawab wahdatul wujud dan Pokok-pokok ajaran Syi’ah yang sedang dikerjakan. 

Tambahan: Di Iran selama puluhan tahun ini, kalau ngadain seminar nasional atau internasional tentang persatuan, selalu mengatakan bahwa: “Bukan tujuan kami untuk saling pindah agama/ madzhab, atau saling membenarkannya, tetapi untuk saling toleransi dan mengerjakan hal- hal yang sama terkhusus dalam menghadapi kezhaliman global dunia dan semacamnya, oleh karenanya konsentrasi kita kepada yang sama-sama tersebut, tetapi tidak terlarang siapapun membahas yang berbeda kalau diinginkan, asal dalam koridor ilmiah dan santun serta tidak mengarah kepada perpecahan. 

Wassalam dan afwan.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ