Tampilkan postingan dengan label Urgensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Urgensi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Agustus 2020

5 Shalat Wajib Di 3 Waktu


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/274701369241333/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 12 November 2011 pukul 14:54


Sang Pecinta: Salam ustadz. Mohon keterangan Waktu Sholat wajib marja Sayyid Ali Khamenei. Adakah waktu yang dilarang untuk sholat (seperti yang ada di sunni), ustadz?

Mohon penjelasan jenis puasa sunat AB? Terimakasih, ustadz.

Selasa, 14 Agustus 2018

Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah, Bag: 2-a (Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan)




by Sinar Agama (Notes) on Saturday, November 6, 2010 at 9:48 pm


Semoga Pahala Dilimpahkan Allah Kepada Para Penduka Atas Syahidnya Imam Ke 9, Muhammad Jawad as Oleh Mu’tashim bin Harun al-Rasyid (Khalifah Bani Abbas) pada tanggal 30-Dzilqo’dah-220 H, amin


LANJUTAN BAHASAN:

2. KEIMANAN SYI’AH TENTANG ADILNYA TUHAN 


a). Iman terhadap ke-Adilan Allah. 

Orang Syi’ah mengimani ke-Adilan Allah swt. Adil ini sebenarnya merupakan cabang bahasan dari Tauhid, khususnya Tauhid-Sifat. Akan tetapi karena sangat memiliki unsur penting dalam kehidupan beragama, maka ia telah menjadi point tersendiri setelah bab Tauhid tersebut. 

Orang Syi’ah (bc: muslim) diseyogiakan untuk mengimani ke-Adilan Allah, karena tanpa keimanan itu, maka akan memporak-porandakan seluruh nilai ke-Islaman, baik dari sisi keimanan atau hukum-hukum syariatnya. Artinya, tanpa keyakinan terhadap ke-AdilanNya itu, maka agama Islam akan menjadi sama dengan agama-agama lainnya atau bahkan kehidupan tanpa agama. Atau kalaulah ia beragama sekalipun, maka agamanya tidak lebih dari sebuah kegersangan dan kehancuran yang nampak hijau dan teratur secara lahiriahnya. Begitu pula kalau seorang muslim mengimani ke-AdilanNya, namun dengan makna yang salah, sebagaimana nanti akan lebih jelas.

b). Arti Adil Allah 

Adil, artinya tidak melakukan kezhaliman dan/atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan/atau tidak mengambil hak orang lain, bukan sama rata yang pada umumnya tidak masuk akal. 

Misalnya, kalau jenis kelamin manusia sama, maka tidak akan ada perkawinan; atau wajahnya sama, maka tidak akan bisa dikenali; atau sifat-sifatnya sama, maka tidak akan ada saling mengisi; atau hobinya sama, juga tidak akan ada saling mengisi dan kehidupan manusia akan menjadi sangat monoton; atau pekerjaannya sama misalnya petani, maka tidak akan ada pabrik baju dan pabrik cangkul; atau bayarannya sama, maka yang sekolah dan pangkatnya lebih tinggi akan merasa dianiaya; atau posisi sosialnya sama, misalnya presiden, maka siapa yang mau jadi rakyatnya? ......dan seterusnya.

c). Dalil ke-Adilan Allah 

Dalil dari ke-AdilanNya ini juga mudah seperti point-point di atas. Yaitu berangkat dari ketidak terbatasanNya. Karena kalau Tuhan tidak terbatas, maka Dia tidak akan kekuarangan apapun; atau tidak akan tidak tahu terhadap sesuatu; atau tidak akan lengah; atau tidak akan lelah, ngantuk, bosan, jengah ... dan seterusnya., hingga perlu melakukan aniaya, penipuan, mengambil hak orang lain, pembakhilan dan semacamnya.

d). Hikmah atau sasaran dari keimanan pada ke-Adilan Allah 

(d-1). Tidak mungkin adanya penggarisan nasib atau takdir bagi manusia 

Maksud dari nasib di sini adalah seperti yang dipercayai oleh agama selain Islam, seperti Arab Jahiliyyah sebelum Islam, Hindu, Budha dan lain-lainnya. Yaitu keyakinan terhadap sudah ditentukannya nasib masing-masing manusia sejak dari lahir atau bahkan dari sejak sebelum lahirnya. 

Dalam Islam (bc: Syi’ah), dengan ke-Adilan Allah, maka tidak mungkin Dia menakdirkan nasib masing-masing orang, baik dalam umur, jodoh, rejeki, baik-buruk, celaka-selamat, hidayah- sesat, dan semacamnya. Keyakinan seperti ini hanya ada di agama-agama lain seperti yang sudah disebut di atas. Kalau untuk masa-masa Jahiliyyah di dalam naql atau sejarah kita, dipenuhi dengan itu, sampai dibawa-bawa pada masa setelah Islam oleh Umar ketika lari dari perang Uhud ketika ditanya oleh para wanita Madinah, dimana Nabi saww dan mengapa kamu lari? Ia menjawab “Ini adalah takdir”. Kalau agama Hindu atau Budha bisa dilihat di serial-serial Kungfu Cina yang melimpah di Indonesia. 

(d-1-1). Dalil ketidakmungkinan ditentukannya nasib manusia 

Karena kalau Allah menakdirkan nasib masing-masing manusia, berarti tidak ada gunanya akal diciptaNya dan agama diturunkanNya yang, mengajarkan: kesihatan dan panjang umur, taqwa dan masuk surga, mencari pasangan yang taqwa, mati syahid, mencari rejeki hingga menjadi tangan di atas (karena lebih baik dari tangan di bawah) dan semacamnya. 

Tidak berfungsinya akal, karena tujuan penciptaannya adalah untuk memahami banyak hal dan memecahkan kesulitan-kesuliatan yang dihadapi, hingga selamat dalam kehidupan dunia-akhirat serta hidup sehat, harmonis, teratur, berbudaya tinggi dalam sosial-politik, sukses dalam segala hal ..dan seterusnya. Akan tetapi kalau semua sudah dinasibkanNya, maka daya pikir akal untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia, akan menjadi sia-sia dimana akan berakhir kepada kesia-siaan penciptaanNya. 

Tidak adanya kegunaan agama, karena agama diturunkan Allah untuk mengatur manusia supaya selamat di dunia dan akhirat. Oleh karenanya agama mengajari keimanan dan mengatur masalah-masalah kehidupan yang dimulai dari masuk kamar mandi sampai ke masalah-masalah negara, ekonomi, teknologi dan politik internasional yang makro. Akan tetapi, kalau nasib masing-masing manusia, dari sejak dirinya, rumah tangganya, sosialnya dan negaranya, sudah ditentukan olehNya, maka syariat yang diturunkanNya itu jelas tidak akan berfungsi sedikitpun. 

Agama akan menjadi seseuatu yang paling tidak dapat dipahami dan akan menjadi paling tidak masuk akal, kalau ia mengatakan: 

“Berimanlah supaya masuk surga; Bertaqwalah supaya tidak masuk neraka; Berhati-hatilah dalam sertiap perbuatan karena setiap sebutir atompun darinya akan dicatat dan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak; Bersihlah supaya sihat; Silaturrahmilah supaya panjang umur; Berjuanglah supaya mati syahid; Dasarilah pada ketaqwaan seseorang dalam mencari pasangan hidup; Saling santun dan harmonislah dalam rumah tangga supaya langgeng; Jangan katakan penceraian dalam kemusykilan rumah tangga karena ‘Arsy Allah akan goncang mendengarnya; Jangan cerai karena tidak disukai Allah; Jujurlah dan berusahalah dengan baik dalam bisnis supaya sukses dan tidak bangkrut” atau berkata: 

“Berdoalah kepadaKu tentang iman, sakinah, taqwa, taufik, sihat, panjang umur, mati syahid, pasangan hidup yang baik, keharmonisan rumah tangga, kesuksesan bisnis dan rejeki....dan lain-lain”, 

akan tetapi dilain pihak agama juga berkata: 

“Baik-buruk kalian sudah ditakdirkan dan ditentukan dari sononya (asalnya) oleh Allah, baik dari iman-tidaknya, taqwa-bejatnya, surga-nerakanya, sehat-sakitnya, mati-tidaknya, syahid-tabrakannya, panjang-pendek umurnya, siapa jodohnya, harmonis-cerainya, kaya- miskinnya, jumlah rejekinya....dan seterusnya”. 

Lagi pula kalau Tuhan yang menentukan semuanya, berarti Dia yang akan bertanggung jawab. Bahkan kesalahanNya dua kali. Pertama, karena Dia yang menjadi pelaku hakiki dari setiap perbuatan manusia. Ke dua, karena telah membohongi manusia. Karena setelah menentukan semuanya, masih pula menyuruh manusia supaya menjaga kesehatannya, berusaha panjangkan umurnya, mati syahid, mencari rejeki, mencari pasangan yang taqwa, ..dan seterusnya. 

Padahal Allah sendiri sudah berfirman bahwa sesiapa yang berbuat seatom kebaikan/ keburukan akan melihatnya. Dan “berbuat”, yakni “melakukan”, bukan “yang dibuat berbuat/ melakukan”. Atau menyuruh kita menggunakan akal, hingga dalam Qur'an ada sekitar 24 ayat yang menggunakan kata “Ta’qilun” (kalian memahami, berakal..dan semacamnya), 22 kata “Ya’qilun” (mereka memahami, berakal..dan seterusnya), 13 kata “Yafhamun” (mereka memahami dengan akal). Atau menyuruh kita bertaqwa sampai-sampai perintah puasapun diturunkanNya supaya manusia bisa mencapai derajat taqwa itu.

(d-1-2). Lauhu al-Mahfuuzh dan nasib manusia 

Dengan dalil-dalil akal yang gamblang di atas itu, yakni dalil-mudah yang tidak bisa dibantah oleh siapapun itu, dapat dipahami dan dipastikan bahwa penentuan nasib manusia itu sangat mustahil adanya. Dilain pihak, dalam Qur'an, banyak sekali bukti-bukti tentang keikhtiaran manusia ini, baik langsung atau tidak. Dan sebagiannya sudah saya muat di atas sebagai contoh, walau tidak menyebutkan alamat ayatnya karena hal-hal tersebut adalah hal-hal mudah yang sudah diketahui semua muslimin. 

Tentu saja, pemakaian Qur'an disini sekedar pendekatan dan pelengkap saja. Karena, sebagaimana sudah diterangkan di bagian pertama Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah ini, bahwa Qur'an itu akan bisa dijadikan dalil setelah kita membuktikan kenabian nabi Muhammad saww dan kebenarannya. 

Karena itu pulalah, maka saya ingin melengkapi hal nasib atau takdir ini dengan masalah Lauhu al-Mahfuzh. Yang demikian itu disebabkan oleh dijadikannya Lauhu al-Mahfuzh tersebut sebagai landasan utama bagi orang-orang yang mengimani ditentukannya nasib manusia ini. Karena di Qur'an dikatakan bahwa di Lauhu al-Mahfuzh itu sudah tertulis apapun mengenai makhluk ini sekalipun daun yang jatuh dari pohonnya. Dan, kata mereka, kalau sudah ditulis di Lauhu al-Mahfuzh dari sejak sebelum penciptaan, dan karena penulisnya adalah Allah, maka sudah pasti seluk-beluk kehidupan manusia yang dikenal dengan nasib atau takdir ini, ditentukan oleh Allah. Jadi, sambung mereka, kita hanya bisa berusaha dan Allahlah yang akan menentukannya. 

Pernyataan seperti ini, sudah tentu sangat dipaksakan pada permulaannya, dan sangat berupa taqlid menurun (termasuk wahhaabii/wahabi yang anti taqlidpun) yang diterima secara buta pada tahap berikutnya yang, hanya berdalil dengan baik sangka kepada leluhur atau salaf atau umat yang telah lalu. Padahal mereka saling sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan, berperang dan saling menumpahkan darah. Atau dengan dalil penyan- daran tak akademis pada ayat-ayat Qur'an tersebut. 

Apa maksud pernyataan yang menyatakan “Kita hanya bisa berusaha dan Tuhan pulalah yang akan menentukannya” ??! 

a). Kalau maksudnya bahwa Allah akan menentukannya kemudian, maka berarti ketentuan itu di Lauhu al-Mahfuzh belum tertulis. Ini berarti takdir itu belum ada alias takdir itu tidak ada dalam wujud nyatanya. 

b). Kalau maksudnya adalah Allah sudah metentukannya, maka berarti takdir itu tidak ada dalam wujud keyakinannya. Karena, dalam kenyataannya, mereka sama- sama berjuang dalam hidup, dan dalam perbedaan, sama-sama merasa benar dan melakukan amr/amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan. Ini berarti takdir dan nasib itu tidak ada dalam hati mereka, karena tidak memiliki tanda-tanda apapun dalam kehidupan mereka itu. 

Karena kalau ada, mestinya, masing-masing orang dan golongan harus meyakini bahwa yang ada pada masing-masing orang dan golongan lain dan dirinya adalah taqdir masing-masing yang sudah ditentukan Allah yang tidak boleh ada orang be- rani mengganggunya. Karena sudah ketentuan dari Yang Maha Perkasa dan Kuasa, sementara manusia adalah makhluk lemah. Dan karena sudah ketentuanNya, maka tidak akan bisa dirubah siapapun juga. 

Begitu pula, takdir dan nasib itu akan menjadi terjauhkan dari kehidupan mereka manalaka mereka saling bertengkar, saling menyalahkan, beradu argumentasi, beradu dalil di pengadilan, saling perang, saling serang, saling hukum, menulis buku agama, ceramah agama, menulis buletin-buletin agama, nasihat menasihati serta membaca do’a. 

Karena kalau semua sudah ditentukan Tuhan, maka yang salah itu Tuhan, bukan manusia yang kita salahkan itu dimana sudah tentu argumen apapun tidak akan ada gunanya lagi. Dan kalau terjadi kesalahan yang mengharuskan adanya penghukuman, maka Tuhan-lah yang selayaknya dihukum. 

Bagitu pula, kalau semuanya sudah ditentukan Tuhan dari sisi ketaqwaan dan masuk surga-nerakanya, maka penulisan atau ceramah-ceramah agama itu sama sekali sudah tidak akan berfungi lagi.

Ada orang yang mau bergaya-gaya pakai gaya kecerdasan akal orang-orang Syi’ah, dengan mengatakan bahwa ada seorang murid bertanya kepada gurunya: “Pak Guru, apa takdir itu?”. Sang Guru langsung menamparnya dan berkata: “Inilah takdirmu”. Lah,,,,apakah Pak Guru lupa bahwa pertanyaan si murid itu juga takdir? Lalu mengapa ia kesal dan , menamparnya? Lagi pula, enak saja main tampar dan dosanya dilimpahkan ke takdir Allah. Kalau begitu mengapa mereka membuat persidangan perkara dan hukuman untuk menegakkan keadilan dan ketentraman masyarakat? Toh yang meng- gampar dan yang digampar, atau yang membunuh dan yang dibunuh, atau yang memperkosa dan yang diperkosa, atau yang menabrak dan yang ditabrak mobil,... dan seterusnya semuanya sudah ditentukan takdir. Lalu mengapa para polisi dan penegak hukum pada mengejar, menangkap, memperkarakan dan menghukum meraka? 

c). Kalau dikatakan bahwa mengejar, menangkap, menyidang dan memenjarakan atau memotong tangan pencuri itu juga karena takdir, maka pernyataan ini sangat dipaksakan. Karena sudah benar-benar menjauhi fitrah dan kesadaran yang ada manakala melakukan pengejaran dan seterusnya itu. Memangnya, pencopet HP di pasar yang sampai bengkak-bengkak dipukuli orang sepasar itu, karena orang-orang pasar berniat melaksanakan takdir Tuhan? Atau karena merasa marah, jengkel dan melampiaskan kejengkelannya? Memangnya Pak Hakim dan pelaksana hukum itu melakukan penyidangan dan penghukuman (penjara atau potong tangan) karena ingin mengejawantahkan takdir Tuhan? Atau karena ingin menegakkan keadilan dan supaya si pencuri jera/kapok dan yang lainnya tidak meniru???!!! 

Kalau semuanya karena takdir, berarti Tuhan yang harus dihukum. Dan tentang kapok tidaknya si pencuri, jelas akan sangat tergantung kepada takdirnya kemudian yang, kalau ditulis tidak kapok maka akan tetap mencuri dan kalau ditulis kapok, maka ia pasti akan berhenti mencuri. Begitu pula orang lain yang diharapkan tidak meniru itu. Karena mereka juga akan sangat tergantung kepada takdir mereka sendiri. Apakah sudah ditulis di Lauhi al-Mahfuuzh bahwa meraka mencuri (sekali, dua kali ...dst) hingga meraka akan mencuri sesuai takdirnya itu, atau tidak tertulis demikian hingga tidak akan mencuri dan tidak perlu peringatan apapun seperti pemotongan tangan pencuri tersebut. 

Hal seperti ini semestinya tidak perlu diterangkan sampai sedemikian rupa, namun karena hal jelas ini sering diisukan sebagai hal yang teramat gelap dengan mengatakan bahwa “Masalah takdir adalah daerah gelap yang tidak terjangkau siapapun” dan isu ini sudah membudaya ratusan tahun, maka saya merasa perlu menjelaskannya secara rinci dengan contoh-contoh yang juga sangat jelas itu. Jadi, saya mengharapkan pembaca untuk kembali kepada fitrah kita masing-masing dalam menanggapi masalah takdir ini. 

d). Kalau dikatakan bahwa maksud perkataan “Kita hanya bisa berusaha dan ha- nya Allah-lah yang akan mentukannya” adalah bahwa hanya Tuhan yang bisa merubahnya, berarti ketentuan nasib itu, pada hakikatnya, tidak ada. Artinya, kebera- daannya sama dengan ketiadaannya. Karena apa arti dan guna dari ketentuan kalau bisa dirubah juga? Artinya ketentuan itu hanya akan menjadi dan berfungsi sebagai rancangan saja, bukan ketentuan. 

e). Kalau dikatakan bahwa Tuhan akan merubahnya manakala hambaNya merubah- nya, maka berarti ketentuan Tuhan itu kalah dengan usaha manusia. Hal inilah yang biasa kita lihat di serial-serial Kungfu China yang sering mengatakan sebagai memerangi ketentuan langit dan memerangi ketentuan Tuhan. 

Dan kalaulah manusia tidak merubahnya, yang harus bertanggung jawab terhadap ketentuan nasib manusia itu, tetap harus Tuhan, sebagaimana sudah dipaparkan di atas. Yakni kalau manusia tidak mau merubah racangan Tuhan itu, maka yang salah bukan manusianya, tapi Tuhan yang telah membuat rancangan itu. 

f). Kalau dikatakan “Salah kamu tidak merubah rancanganNya”, maka bisa dijawab dengan perkataan “Salah Tuhan yang telah merancangkannya”. Itupun kalau ada bukti bahwa Tuhan telah menentukan takdir atau rancangan ini. Dimana kalau ketentuan itu berupa takdir, maka tidak akan bisa dirubahnya. Sedang kalau berupa rancangan, maka sekalipun bisa dirubahnya, akan tetapi disamping tidak adanya bukti dari adanya penulisan rancangan itu, juga memiliki konsekwensi-konsekwensi yang sangat tidak masuk akal sebagaimana akan dijelaskan berikuti ini. 

g). Kalau dikatakan “Tuhan merancang karena ada hikmah didalamnya”, maka disamping tidak ada bukti dari adanya rancangan itu, bisa dijawab dengan perkataan “Biarkan aku ikuti hikmahnya, maka aku tidak boleh dihukum”. 

h). Kalau dikatakan “Hikmahnya adalah supaya kamu berusaha”, maka di samping dalil-dalil di atas itu, bisa dijawab dengan perkataan “Hikmah yang kamu katakan ini adalah karanganmu”, atau “Hikmah seperti ini persis dengan yang ada di serial-serial Kungfu atau Dewa-dewa agama Hindu/Budha yang karena gigihnya penentangan manusia atau seseorang di bumi maka tuhan di langit menarik ketentuannya”, atau “Hikmah itu akan sangat tergantung pada ketentuanNya juga, yakni kalau Tuhan menentukanku berusaha maka aku akan berusaha dan kalau tidak, maka bagaimana aku bisa berusaha?”

(d-1-3) Hakikat Lauhu al-Mahfuzh 

Dalam tulisan-tulisan saya tentang Filsafat, Irfan dan Wahdatu al-Wujud, telah sering menerangkan tentang hakikat Lauhu al-Mahfuzh ini secara filsafat dan irfan. Artinya tekanan bahasannya adalah pada dimensi wujudnya. Akan tetapi di sini, saya akan menerangkan kitab Lauhu al-Mahfuzh ini yang berfokus pada fungsinya, bukan pada esensi, substansi dan keberadaannya. Sekalipun, sudah tentu, akan memiliki sentuhan pula terhadapnya. 

Kalau kita mau memperhatikan bunyi ayatnya dan menjauhkan diri dari kecenderungan hati yang telah didekte oleh budaya pemahaman Islam selama ini, dan benar-benar hanya memperhatikan bunyi ayatnya, maka saya merasa bahwa sungguh-sungguh tidak akan terlalu sulit untuk menyentuh makna ayat yang menerangkan tentang kitab Lauhu al-Mahfuzh ini. Terlebih lagi setelah kita tahu dan yakin secara akal-gamblang bahwa penentuan nasib manusia itu adalah suatu yang sangat tidak bisa diterima akal sihat manapun. Perhatikan bunyi ayat berikut ini: 


وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَ يَعْلَمُهَا إِلَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّ يَعْلَمُهَا وَلَ حَبَّةٍ
فِي ظُلُمَاتِ الَْرْضِ وَلَ رَطْبٍ وَلَ يَابِسٍ إِلَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan Dia memiliki kunci-kunci keghaiban, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia tahu yang di daratan dan lautan, dan tidaklah jatuh satu daunpun dari pohonnya kecuali Dia mengetahuinya, dan tidaklah jatuh pula satu bijipun di kegelapan bumi dan tidaklah sesuatu yang basah dan kering, kecuali sudah ada di Kitab Yang Nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 6: 59)

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قرُْآنٍ وَلَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا
يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الَْرْضِ وَلَ فِي السَّمَاءِ وَلَ أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَ أَكْبَرَ إِلَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab Yang Nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 10: 61) 


وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَ يَشْكُرُونَ (37) وَإِنَّ رَبَّكَ لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يعُْلِنُونَ (47) وَمَا مِنْ غَائِبَةٍ فِي السَّمَاءِ وَالَْرْضِ إِلَّفِي كِتَابٍ مُبِينٍ
(57)

“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan (74) Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 27: 74, 75) 


عَالِمِ الْغَيْبِ لَ يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ†فِي السَّمَاوَاتِ وَلَ†فِي الَْرْضِ وَلَ أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلَ أَكْبَرُ إِلَّ فِي
كِتَابٍ مُبِين

“....Maha Mengetahui yang ghaib. Tidak ada yang tersembunyi daripadaNya seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 34: 3) 

Dalam ayat-ayat di atas, terasa sekali bahwa yang ingin disampaikan Tuhan itu adalah masalah ke-Maha PengetahuanNya yang mengetahui yang terang dan yang ghaib atau tersembunyi, bukan tentang penentuan nasib manusia. Dari seluruh ayat-ayat di atas itu, sebelum Allah membicarakan tentang keberadaan dan keadaan semua hal di Lauhu al- Mahfuzh, selalu mengatakan bahwa Dia mengetahui semua keberadaan dan keadaannya, baik dari keberadaan dan keadaan manusia atau selainnya. 

Setelah diketahui dengan mukaddimahNya itu bahwa Allah Maha Tahu, maka hal ini dapat mengantarkan kita untuk memahami Lauhu al-Mahfuzh. Yaitu, bahwa kitab Lauhu al- Mahfuzh itu tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan salah satu gudang keghaiban tentang ilmu-ilmuNya. Itulah mengapa Allah mengatakan memiliki kunci-kunci keghaiban pada ayat pertama di atas. 

Adalah sangat keliru ketika seseorang memaknai ayat-ayat di atas itu dengan mengatakan bahwa “Allah Maha Mengetahui Segala Hal Karena Sudah Ditulis di Lauhu al-Mahfuzh”. Kalau Allah mengatakan bahwa “Semua hal ada di Lauhu al-Mahfuzh oleh karenanya Aku mengetahui semuanya”, maka mungkin masih ada lowongan atau peluang untuk memahami bahwa pengetahuan Tuhan itu karena disebabkan penulisanNya dalam Lauhu al-Mahfuzh. Walaupun peluang ini, jelas bukan satu-satunya. Karena peluang lainnya justru lebih besar. Yaitu karena ilmuNyalah Tuhan menulisnya. Hal itu karena ilmu itu lebih dulu dari pada penulisan, bukan sebaliknya. 

Akan tetapi, Tuhan dengan telaten dan lembut membimbing manusia supaya tidak keliru memahami hidayah dan ayat-ayatNya. Oleh karenanya didahului dengan penekanan pada pemberitaan terhadap ilmu dan ke-Maha PengetahuanNya. Itu semua supaya manusia tahu bahwa yang diinginkan dalam ayat-ayat itu adalah IlmuNya. Ini yang pertama. Yakni mendahulukan pengkabaran tentang tentang ilmuNya sebelum mengkabarkan tentang adanya kitab “nyata” atau Lauhu al-Mahfuzh itu. 

Yang ke dua, sudah diisyaratkan di atas bahwa antara penulisan dan ilmu, sudah pasti didahului dengan ilmu, bukan sebaliknya. Memang, kalau yang menulis itu orang lain, maka pembaca yang membaca tulisan itu yang akan mendapatkan ilmu kemudian. Akan tetapi pembahasan kita ini adalah penghubungan kepada penulisnya itu sendiri. Di sini, sudah tentu sang penulis, memiliki ilmu dulu baru menuliskannya, bukan sebaliknya. 

Yang ke tiga, pendahuluan ilmu itu sangat bermamfaat bagi menutup kemungkinan lainnya. Yaitu Kuasa atau Qudrat. Karena bisa saja seseorang memahami bahwa yang mendahului penulisan itu adalah Kuasa. Yakni yang dimaksudkan Tuhan adalah kependahuluan KuasaNya, bukan kependahuluan IlmuNya, walaupun dua-duanya mendahului penulisanNya. 

Nah, kalau yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah bahwa penulisan itu didahului KuasaNya, maka jelas akan melahirkan “Determinis” atau “Jabariah” alias rukun iman yang ke enam bagi saudara-sauadara kita Ahlussunnah. Karena, apapun yang terjadi di alam ini, tergantung pada penulisanNya, dan penulisanNya tergantung kepada KuasaNya. Dan karena segala hal yang menyangkut manusia itu termasuk bagian dari alam ini, maka sudah pasti semua yang menyangkut baik buruknya setiap manusia, tergantung kepada Lauhu al-Mahfuzh yang bersumber dari Kuasa dan KehendakNya itu. 

Betapa luar bisanya Tuhan kita, betapa luar biasanya, dan Dia lebih besar dari yang kita ketahui. Karena banyak sekali yang mendahului penulisanNya itu. Seperti Wujud, Qadim, Hidup, Kuasa, Kehendak, Ilmu dan semacamnya. Dan di ayat-ayat di atas itu, Allah hanya menyentuhkan Ilmu dan ke-Maha TahuNya kepada telinga, mata dan akal kita manusia. Di sini, jelas dapat dipahami bahwa yang difokus olehNya adalah ke-Maha Pengetahuannya itu, bukan semacam Kuasa dan KehendakNya. 

Dengan semua penjelasan di atas itu, dapat dipahami dengan mudah dan gamblang bahwa maksud ayat-ayat yang memberitahukan tentang Lauhu al-Mahfuzh itu adalah ingin memberitahukan kepada kita bahwa Allah Maha Mengetahui apapun di alam ini termasuk apapun tentang kita manusia sekalipun tersimpan dalam lubuk hati yang paling dalam. 

Dengan demikian maka Lauhu al-Mahfuzh itu adalah tulisan-tulisan tentang ilmu Allah (bc: ilmu Allah) yang berkenaan dengan apa saja, terutama tentang alam materi ini dan perbuatan manusia. 

Allah yang ilmuNya tidak terbatas, sudah pasti mengetahui apapun yang akan terjadi di alam ini sebelum penciptaannya, seperti daun yang akan jatuh dari pohonnya, biji-bijian yang jatuh di malam hari dan semacamnya. Perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri itu, sudah pasti tidak lepas dari ilmuNya tersebut. Nah, ilmuNya itulah yang ditulis olehNya di Lauhu al-Mahfuzh. 

Oleh karena itulah, maka jelas sekali bahwa penulisan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dan tidak akan menyangkut, dengan masalah Determinis (Jabariah) atau penentuan nasib dan takdir. Karena yang ditulisNya adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri yang telah diketahuiNya sekalipun sebelum penciptaan. 

Kalau dikatakan bahwa “ilmuNya pasti benar, dan karena ilmu benarnya itu ditulis sebelum penciptaan, berarti perbuatan dan apapun yang menyangkut kita, akan sangat tergantung kepadanya, dimana hal ini bisa dikatakan sebagai nasib dan takdir manusia”. Maka jawabannya adalah bahwa yang diketahuiNya itu adalah perbuatan manusia yang didahului dengan ikhtiarnya sendiri. Jadi, kepastian benarnya ilmuNya tentang ikhtiar manusia ini, justru keniscayaan ikhtiar manusia itu, bukan sebaliknya. Yakni bukan menjadi terbaliknya masalah dan membuat manusia yang diketahui berikhtiar itu menjadi tidak berikhtiar karena harus mengikuti kebenaran ilmuNya itu. 

Akan halnya kadar-kadar yang difirmankanNya maka maknanya adalah pengkadaran terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan-ketentuanNya, bukan pengkadaran nasib manusia. Misalnya Allah berfirman: 


إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami mencipta segala sesuatu sesuai dengan kadar/ukurannya” (QS: 54: 49). 

Dengan demikian pengkadaran semua makhluk ini tidak bertentangan sama sekali dengan ikhtiar manusia, karena ikhtiar manusia ini adalah salah satu dari takdir manusia. Jadi, pengkadaran bagi manusia adalah bahwa manusia diberi akal, berpanca indra, berfitrah, berfikir, bersosal, berkaki dua, bermata dua, berbuat sesuai ikhtiar dan pilihannya, memiliki balasan sesuai dengan niat dan perbuatannya....dst., bukan dikadar tentang nasibnya. 

Jadi, yang ditulis Allah di Lauhu al-Mahfuzh itu adalah ilmu-ilmu dan ketentuan- ketentuanNya tentang semesta dan apapun yang akan terjadi, sekecil apapun. Namun, yang berkenaan dengan perbuatan manusia adalah ketentuan-ketentuanNya yang berupa peng-ikhtiran manusia dan jenis balasannya, dan ilmuNya tentang detail-detail pilihan masing-masing manusia dan juga balasannya, bukan menentukan nasibnya sebagaimana yang diyakini oleh saudara-saudara Ahlussunnah yang mengambil dari Asy’ariyah. 

Jadi, maksud takdir dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat, adalah ketentuan-ketentuan Allah tentang makhluk dan alam semesta (seperti api panas; pohon kering akan terbakar kalau terkena api; dan semacamnya) dan tentang perbuatan-perbuatan manusia yang ditentukan/ditakdirkan bahwa perbuatannya sesuai dengan pilihannya sendiri (ikhtiar) dan ditentukan/ditakdirkan bahwa akan menerima balasan sesuai dengan pilihannya itu. Begitu pula bahwa diri dan ikhtiar manusia ini juga ditakdirkan saling berhubungan dengan alam dan ikhtiar manusia lain di sekitarannya. Dan maksud Lauhu al-Mahfuzh adalah ilmuNya yang meliputi segala hal termasuk pilihan, ikhtiar manusia dalam detail- detail kehidupannya sampai kepada balasannya. 

Dan ketika salah satu ketentuanNya adalah saling berinteraksinya ikhtiar manusia yang satu dengan inkhtiar manusia yang lainnya, dan pengkabaranNya tentang ilmuNya terhadap segala sesuatu, maka Allah dan agamaNya sering menyuruh kita sabar dan pasrah serta yakin menerima takdir kita. 

Artinya, harus teliti dalam memilih setiap perbuatan kita karena sangat bisa terganjal oleh lingkungan dan ikhtiar-ikhtiar orang lain atau lingkungan sekitar, seperti hujan, dimana kalau hal itu terjadi, maka harus lapang dada, sabar dan ulet mencari jalan keluarnya. Begitu pula, harus teliti dalam memilih lingkungan yang akan banyak mempengaruhi pilihan-pilihan dan ikhtiar-ikhtiar kita itu. Bukan sabar menerima takdir dan nasib kita yang ditentukan secara paksa dari atas di Lauhu al-Mahfuuzh, karena hal itu, yakni penentuan dan penulisan itu, tidak ada. 

Bahkan agama tidak jarang menyuruh manusia/kita membuat lingkungan yang indah dan Islami. Hal itu tidak lain supaya manusia bisa tidak terlalu banyak menghadapi pengaruh atau rintangan yang akan muncul dari lingkungan dan ikhtiar-ikhtiar selainnya. 

Semua ini menjelaskan kepada kita bahwa sama sekali Tuhan dan agama tidak ingin mengatakan bahwa nasib menusia itu sudah ditentukan dari sananya dan menyuruh kita pasrah terhadapnya. Karena itulah maka “Jabariah” yang diyakini sebagai rukun iman ke 6 oleh saudara-saudara Ahlussunnah, hingga sering muncul perkataan semacam “Tuhan adalah paling bagusnya penyusun skenario”, atau “Kita hanya bisa berusaha tapi Tuhanlah yang menentukannya” .....dst. tidak bisa diterima sama sekali dalam pandangan Islam yang dibawa dan diwariskan oleh Ahlulbait Nabi saww yang wajib dishalawati dalam shalat kita sehari-hari itu. 

Tidak jarang saudara-saudara kita Ahlussunnah mengatakan pernyataan yang ke dua itu, untuk lari dari Jabariahnya Asy’ariyah. Mereka tidak mengerti bahwa “berusaha” itu adalah “perbuatan”, bukan “keyakinan”. Sementara “Tuhan menentukan” adalah “keyakinan” dan “Jabariah”. 

Sebenarnya, mau lari kemanakah mereka? Mau ambil Mu’tazilah yang freewill, takut ingkar pada ayat yang menerangkan tentang “Lauhu al-Mahfuzh”, tapi mau ambil Jabriah, sepertinya tidak enak di hati, karena bertentangan dengan fitrahnya. Tentu saja, dengan rukun iman ke 6 mereka itu, sudah dapat dipastikan bahwa pilihan mereka adalah “Jabariah”. Berarti, langsung atau tidak, berarti mereka menolak fungsi akal dan agama serta menolak ke-Adilan Tuhan sebagaimana maklum. 

Di sinilah fungsi terpenting dari iman kepada ke-Adilan Tuhan ini. Karena, bagaimana mungkin Allah menyuruh semua manusia untuk berusaha menjadi baik, berhasil, masuk surga, beriman, taqwa, berjuang dan mati syahid, silaturrahmi supaya panjang umur, bersih supaya sehat dan tidak sakit, sukses dan kaya supaya bisa naik haji dan membantu yang lemah, cari pasangan yang taqwa supaya harmonis dan berketurunan yang baik 

...dst, tapi di lain pihak Dia sudah menentukan baik-buruknya, berhasil-gagalnya, masuk surga-nerakanya, iman-kufurnya, taqwa-bejatnya, berjuang-khianatnya, syahid-ketabrak mobilnya, silaturrahmi-tidaknya, panjang-pendek umurnya, bersih-kotornya, sehat-sakitnya, kaya-miskinnya, haji-tidaknya, membantu-dibantunya, jodoh-tidaknya, harmonis-tidaknya, talaq-tidaknya, punya keturunan-tidaknya, turunan yang baik-tidaknya ...dan seterusnya.??!! 

Bagaimana mungkin seseorang bisa meyakini ke-AdilanNya kalau dia juga meyakni semuanya sudah ditentukanNya? Karena, tidak diragukan, bahwa saudara-saudara Ahlussunnah juga meyakini ke-AdilanNya. Tapi dengan meyakini rukun iman ke 6 itu, yang entah dari mana datangnya (tentu dari al-Asy’ari), maka mereka secara langsung atau tidak, sudah menolak ke-AdilanNya tersebut. Ada benarnya juga manakala orang awam berkata: 

“Kasihan sekali Tuhan. Karena Dia sering difitnah membuat orang sakit, jodoh tak serasi, cerai, tabrakan, bunuh diri, bangkrut, gagal, kafir, bejat, judi, gaul bebas, pendek umur, mabok, judi, dan akhirnya masuk neraka, atau difitnah dengan belum memberi hidayah hingga dikatakan bahwa orang-orang kafir atau yang tidak taqwa itu belum mendapatkan hidayahNya”

berlanjut ke bag: 2-b..

Anwar Mashadi: Terima kasih tag-nya Pak Sinar... Doakan agar saya bisa melihat, semoga cadar yang sedikit dibukanya itu memang isyarat yang ditujukan pada saya...

Bin Ali Ali: SYUKRAN USTADZ ANE JUGA DI TAG.........HEHEHE.

Haerul Fikri: Terima kasih banyak ustadz.. semoga senantiasa kenikmatan tercurah kepada anda hingga tetap teguh dalam ikhtiar untuk mencerahkan umat.. al faatihah ma’a shalawat..

Sinar Agama: Salam terimakasih untuk semua jempol dan koment serta dukungan dan doanya. Semoga kita selalu dalam selimut KasihNya.

Sinar Agama: Ali-A: Terimakasih atas perhatiannya. Tapi afwan ana belum bisa mengukir namaku di fb ini. Doakan semoga Allah selalu membimbing kita ke dan di JalanNya.

Syarifah Hana A. Fathiman: Ilahi amin ya Karim.. Syukran ustad atas ilmu yang diberikan.. Semoga saya bisa menyerap hikmahnya.. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad.

Cut Yuli: Syukron Ustadz..

Sinar Agama: terimakasih untuk semua dukungan dan doanya.

Sinar Agama: Ali-A: Benar, takdir yakni hukum alam yang didalamnya jg hukum-hukum sosial manusia. Yakni hukum-hukum yang didalamnya tidak diisi dengan siapapun dari seorang atau makhluk tertentu. Dia hukum-hukum umum, seperti x+x= 2x. Dan Tuhan tidak mengisi x itu dengan siapapun, kecuali naturalnya. Jadi yang selainya, seperti interaksi dan apalagi ikhtiar- ikhtiar manusia, maka Tuhan tidak mengisinya dengan siapapun, Walau Tuhan sangat tahu siapa- siapa yang akan masuk atau memasukkan dirinya ke dalam x tersebut.

Candiki Repantu: Thank’s ustadz.... semoga antum terus diberkahi ilmu dan rahmat ilahi dalam dakwah suci ahlil bait...! Tak bisa tidak, keadilan adalah tiang semesta..!

Sinar Agama: Candiki , terimakasih bahagia dan doanya.

Sinar Agama: Ali-A: Maha Mengetahui apa saja , termasuk semua perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri tanpa dipaksa Tuhan dan sekaligus tahu akan hasilnya seperti surga-nerakanya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Minggu, 12 Agustus 2018

Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah Bag: 1 (Keimanan Syi’ah Terhadap Tuhan)



by Sinar Agama (Notes) on Friday, October 29, 2010 at 5:32 am


Mukaddimah: 
1. Bagi yang memang belum beragama Islam, maka tulisan ini bisa langsung jadi panduan untuk mengetahui keimanan Islam secara madzhab Syi’ah.

2. Bagi yang sudah muslim, baik Syi’ah atau Sunni, maka perlu diketahui bahwa tulisan ini ditulis untuk meningkatkan iman yang ada secara temurun. Artinya, iman yang kita warisi dari orang tua kita adalah iman yang baik dan diterima Allah. Akan tetapi ianya tidak terlalu tinggi sehingga dalam istilah ilmu Kalam/Teologi, berdasarkan kepada QS: 49:14, diistilahkan sebagai Muslim. Yakni, mukminin yang dalam kategori muslim, yakni iman yang berdasarkan kepada “menerima” yang dikatakan orang lain, baik orang tua, guru atau nabi sekalipun, alias belum beragumentasi. Oleh karenanya sangat dianjurkan untuk menelusuri argumentasi keimanannya hingga sampai ke tingkat iman yang sesungguhnya (tidak ikut-ikutan) dan nantinya bisa sampai ke tingkat Yakin. Allah berfirman: 



قَالَتِ الَْعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تؤُْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الِْيمَانُ فِي قلُُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
لَ يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ



“Orang-orang pinggiran berkata: Kami telah beriman. Katakan (Muhammad): Kalian belum beriman, tapi katakanlah: Kami telah menerima (muslim). Sebelum iman itu masuk ke dalam akal/qalb kalian. Kalau kalian taati Allah dan Rasul, Dia tidak akan mengurangi (pahala) dari perbuatan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang”

Belum masuknya iman ke dalam hati, setidaknya disebabkan 2 hal: 


Pertama, karena mereka masih belum memahmi Islam dengan akal mereka. Hingga masih tergolong orang yang hanya ikut-ikut Nabi saww saja (misalnya karena Nabi saww adalah orang yang jujur, baik....dst hingga kata-katanya diterima mereka), dimana karenanya Allah mengatakan bahwa mereka hanya baru menerima Islam. Memang, bahwa mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam, dan mengikuti Nabi saww karena kesadaran mereka. Akan tetapi kesadarannya sebatas semacam mengikuti Nabi saww karena kejujurannya, kebaikannya, keadilannya dan semacamnya. Nah, iman tambah kata ini selamanya tidak akan memberikan keyakinan pada hati manusia, karena belum ditopang dan didasari dengan pengertian. Jadi, walaupun dari luar diri mereka tidak ada pemaksaan, tapi dalam diri mereka sendiri, semacam ada pemaksaan itu yang, datangnya dari kepercayaan mereka kepada Nabi saww itu. Jadi, iman mereka berdasar pada kepercayaan tsb, bukan pada kepahaman akan kebenaran ajaran Nabi saww.

Ke dua, karena memang hati/qalbu dalam ayat ini memiliki makna akal sebagaimana banyak sekali ayat-ayat yang lain dimana dalam bahasa Arabpun, Qalbu juga bermakna akal. Jadi makna ayat itu menjadi jelas, bahwa selama mereka salam mengikuti Nabi saww itu tidak berdasar pada pemahaman akal terhadap kebenaran ajarannya, dari tauhid sampai maad, maka mereka masih tergolong muslim dalam istilah ke-imanan, bukan mukmin. Dimana mukmin artinya mengimani dan meyakini kebenarannya. Nah, kalau sesuatu itu belum dipahami dengan akalnya, bagaimana mungkin bisa diyakini kebenarannya? Contoh-contoh ayat yang menggunakan Qalbu untuk akal sbb: 


... وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالِْنْسِ لَهُمْ قلُُوبٌ لَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَ يبُْصِرُونَ بِهَا



“Dan Kami telah jadikan untuk neraka, manusia dan jin yang banyak, mereka memiliki qalb/hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami, punya mata tapi tidak untuk melihat/memperhatikan...” (QS: 7: 179) 


أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الَْرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قلُُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَ تَعْمَى الَْبْصَارُ وَلَكِنْ
تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Apakah mereka tidak menelusuri bumi, hingga mereka memiliki qalb/hati yang dipergunakan untuk berakal (ya’qiluun = memahami dengan akal), dan telinga yang dipergunakan untuk mendengar, karena sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tapi hati yang di dalam dada” (QS: 22: 46). 

Sudah tentu qalbu, baik yang bermakna akal atau perasaan, tempatnya bukan di dada. Dan yang di dada itu adalah hati yang bermakna pemompa darah, bukan perasa, apalagi pemaham. Jd(Jadi), qalbu, baik bermakna akal pemaham atau hati perasa, tempatnya adalah di ruh kita, bukan di dada. Jadi, kata dada dalam ayat ini adalah, semacam dalam diri, dalam hidup dan hakikat manusia. Karena hati yang di dada adalah untuk memompa darah dimana tanpa itu berarti tidak ada kehidupan bagi manusia. 

كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى قلُُوبِ الَّذِينَ لَ يَعْلَمُونَ

“Begitu pula Allah mengunci qalb/hati2(hati-hati) yg(yang) tidak memahami” (QS: 30: 59) ...dll ayat. 

3. Argumen yang dimaksud dalam poin sebelumnya adalah argumentasi gamblang atau berpremis/dalil ilmu mudah yang tidak perlu perenungan terhadap kebenarannya. Dan argument ini sudah tentu akliah dan bukan Qur'aniah. Tentu saja bukan karena kita tidak percaya Qur'an, tapi karena posisi kita sekarang memposisikan diri sebagai orang yang ingin mencari Tuhan, maka sudah tentu harus membuktikan dulu keberadaanNya, kemudian kebenaran utusanNya sebelum mengimani bawaan nabiNya seperti Qur'an. 

4. Mungkin dengan point 3 itu akan ada orang berkata bahwa akal terbatas dan Qur'an tidak terbatas karena dari Tuhan. Jawabannya, pertama, justru karena Qur'an dari Tuhan itulah maka ia bermula dan karenanya menjadi terbatas. Yang ke dua, kalau Qur'an tidak terbatas dan akal sebaliknya, maka Qur'an akan menjadi sia-sia diturunkan karena tidak akan dipahami siapapun. Yang ke tiga, dan kalaulah akal yang terbatas ini dipaksakan untuk memahaminya, maka pahamannya akan jelas menjadi terbatas, dimana kalau karena keterbatasan akal, membuatnya harus ditinggalkan, maka pahamannya tentang Qur'an ini juga harus ditinggalkan. Yang ke empat, pernyataan “akal itu terbatas maka tidak boleh diikuti”, ini pernyataan dari mana. Kalau dari akal, berarti dia juga pernyataan yang kebenarannya terbatas dan tidak boleh diikuti. Dan kalau tidak diikuti berarti kita harus ikut akal yang terbatas. 

Dan kalau pernyataannya itu dari Qur'an, maka justru Qur'an di puluhan tempat dan ayat, menyuruh kita menggunakan akal. Dan kalaulah dipaksakan juga bahwa pernyataan itu dari Qur'an, maka mengapa kita mengambil Qur'an ini dan tidak mengambil kitab-kitab lain. Kalau karena Qur'an juga, berarti kita telah menyandarkan sesuatu pada dirinya sendiri alias ber- berputar-putar. Dan kalau karena akal dalam memilih Qur'annya, maka berarti hal ini harus ditinggalkan juga. Yakni berarti harus ikut akal. Jadi, mau lari kemana saja, tetap larinya ke akal. 

Apalagi, keterbatasn akal bukan berarti tidak mengertinya dia dalam banyak hal, dimana jutaan atau milyarand hal yang dapat diketahui akal itu sudah teramat cukup untuk dijadikan bekal hidup. Contoh paling gamblangnya adalah bahwa kita dengan akal telah memilih agama dan madzhab serta pemahaman-pemahaman tentangnya. 

Atau akan berkata bahwa akal itu relatif dan Qur'an itu hakikat, maka kita harus ikuti Qur'an dan meninggalkan akal. Jawabannya adalah, pertama, kita pasti akan mengikuti Qur'an, tapi setelah membuktikan Tuhan dan kenabian Muhammad saww. Sementara tahap kita sekarang ini adalah dalam tahap pembuktian wujud Tuhan dan belum sampai ke Qur'an. Yang ke dua, kalau kita tidak ikut akal, berati kita tidak bisa ikut Qur'an. Karena Qur'an Yang akan kita ikuti adalah Qur'an yang kita pahami dengan akal kita yang katanya relatif ini. Jadi, menolak akal, sama dengan menolak Qur'an. Yang ke tiga, kalau kita tidak ikut akal, maka kita tidak bisa ikuti Qur'an, karena kita memilih Qur'an dan bukan kitab lain seperti Injil, Weda ..dst, dikarenakan akal kita. Jadi, menolak akal, berarti harus menolak pilihannya juga. 

Ke Empat, pernyataan “akal itu relatif maka harus ditinggalkan dan sebagai gantinya harus ikuti Qur'an saja” ini, dari mana? Kalau dari Qur'an, jelas tidak mungkin, karena puluhan ayatnya menyuruh kita menggunakan akal. Kalau dari akal, maka harus ditinggalkan karena kerelatifannya itu. Dan kalau ditinggalkan berarti kita harus ikut akal sebagai lawan dari pernyataan tsb. 

Lagi pula, betapa banyaknya ilmu akal yang sampai ke tingkat Hakiki atau pasti dan bukan relatif. Yakni, keberannya mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Seperti isi dari ilmu-ilmu matematika, kedokteran, fisika, anatomi, kimia, arkeologi, psikologi, logika, tafsir, rijal, matan hadits, filsafat, ushul fiqih, antariksa .....dst. 

Dengan demikian, maka kita tidak bisa memukul rata -dikarenakan belum sampainya akal kepada pengetahuan benar yang mutlak dalam beberapa pengetahuan- dengan mengatakan bahwa ilmu manusia itu tidak pasti. Pernyataan ini jelas salah besar. Karena banyak sekali pengetahuan manusia itu yang pasti dan mutlak kebenarannya, sekalipun yang tidak diketa- huinya secara pasti, lebih banyak dari yang sudah diketahuinya. Tapi yang diketauinya secara pasti itu, sudah sangat lebih dari cukup untuk mencapai jalan selamat dan Ridha serta Ampunan Tuhannya. 

Dengan demikian pula, dengan alasan relatif, kita tidak bisa mengatakan bahwa ilmu-ilmu manusia yang relatif itu harus ditinggalkan. Karena ilmu-ilmu relatif tsb adalah ibarat akar dihadapan ilmu benar mutlak yang diibaratkan rotan. Jadi, manusia harus memperhatikan dan mengamalkan ilmu-ilmu relatifnya itu sambil mencari rotannya. Karena kalau tidak demikian, maka akan terjadi kehingarbingaran dalam masyarakat manusia dan kehidupan tanpa aturan dan hukum seperti binatang di hutan rimba. Lihat catatan kami yang berjudul “Islam Hakiki dan Relatif”. 

Ketahuilah, bahwa Qur'an diturunkan kepada manusia karena manusia memiliki akal. Jadi, akal tidak bisa dipertentangkan dengan Qur'an karena ia adalah alat untuk memahaminya. Sudah tentu yang dikatakan akal di sini adalah “akal-umum/normal” yang tentu tidak lepas dari kerelatifan dimana akan menghasilkan dua kemungkinan, benar atau salah dalam memahaminya. Namun demikian Allah tetap saja menurunkan agamaNya itu untuk manusia. Tentu kemungkinan salahnya ini sudah diusahakan oleh agama supaya banyak terkurangi, seperti suruhan merenungi ((bukan hanya mendengarnya sepintas), bertanya ke Rasul saww, bertanya ke imam makshum as dan ulil albab serta ulama yang telah mempelajari agama secara akademis. 

Sedang akal-pasti, yaitu yang memiliki pijakan ilmu mudah tadi (nessecery knowlege), maka ianya sudah pasti cocok dengan Qur'an. Hal ini, bukan karena akal menguatkan Qur'an atau sebaliknya. Tapi karena akal dan Qur'an, sebagai alat atau petunjuk mencapai ilmu benar dan sesuai hakikatnya, telah sama-sama sampai kepadanya dan bertemu di titik itu. Beda keduanya hanyalah bahwa Qur'an yang Qur'an, yakni yang sesuai dengan yang dimaksudkan Allah (bukan yang kita pahami yang belum tentu sesuai dengan maksudNya dan kalaulah benar dibarengi dengan proses pencapaian) adalah ilmu kebenaran yang tidak melalui proses pencapaian. 

Karena Qur'an adalah bagian kecil dari ilmu Allah yang pasti benar mutlak dan tidak terbatas itu. Sedang akal-pasti ini melalui proses pencapaian. Seperti ilmu anak kecil yang mulai mengeri bahwa dirinya ada secara pasti, 1+1=2, 3+3=6, ayah dan ibunya serta lingkungannya adalah ada secara pasti...dst. Dan beda lainnya adalah, kalaupun keduanya sama-sama terbatas, tapi Qur'an tetap lebih luas dari capaian manusia dengan akal pastinya itu. Dekaplah erat-erat yang satu ini (hbungan Qur'an dan akal-pasti), karena ianya adalah kunci dari banyak hal dan pemecah dari banyak kebingungan. 

5. Pokok keimanan dalam Syi’ah ada 5 perkara, Ke-Tuhan-an, ke-Adilan Tuhan, kenabian, keimamahan/kepemimpinan dan hari akhirat. 

Di sini ada 3 perbedaan dengan keimanan saudara-saudara kita Ahlussunnah yang menyertakan keimanan pada Malaikat-malaikat, Kitab-kitab (QS: 4:136) dan Takdir baik-buruk dari Allah (tidak ada sumber Qur'annya, yang ada adalah Qur'an yang sudah diijtihadi sebagaimana yang akan jelas dalam masalah ke-Adilan Tuhan nanti, inysaAllah). 

Dalam Syi’ah kedua pertama itu adalah bagian dari keimanan-keimanan yang tidak termasuk “Dasar Agama”, jadi mereka adalah keimanan yang “Cabang Dasar Agama”. Keimanan yang “Dasar Agama” adalah suatu keimanan yang kalau tanpanya agama tidak bisa ditegakkan atau diimani dan diamalkan. Yakni, yang menjadi dasar dari sebuah agama hingga bisa diimani dan diamalkan. 

Oleh karenanya konsep dan unsur-unsurnya berupa konsep dan unsur-unsur Akliah, bukan Qur'aniah, walaupun bisa dinisbahkan kepadanya kerena kepencapaian dan keargumenannya yang terlepas dari segala macam doktrin ke-Ilahiahan (bc: Qru an yang berdalil dengan dalil akal). Hal tsb karena keimanan “Dasar Agama” (Ushuluddin) ini diwujudkan untuk meneliti kebenaran sebuah agama, baik yang diwarisi atau yang memang baru dihadapi dan ditelitinya.

Oleh karenanya, kalau konsep tsb diambil dari Qur'an, maka akan menyimpang dari tujuan asalnya dan kembali menjerumuskan sang pewaris yang ingin keluar dari taklid, ke dalam pewarisan dan ketaklidan lagi, dan membuat sang pencari yang baru, dipaksa mempercayai Firman-firman Tuhan sebelum percaya kepada Tuhan dan UtusanNya. Jelas hal ini sulit dicerna, apalagi diterima. 

Ke-Dasaran “Dasar Agama” atau “Ushulu al-Din” ini, dapat Anda lihat dari contoh berikut ini. Yaitu, orang yang tidak percaya bahwa Tuhan itu Ada dan Adil (misalnya yang baik dimasukkan ke surga dan begitu sebaliknya); Atau tidak percaya bahwa nabi itu harus ada dan Muhammad saww adalah nabi; Atau tidak percaya bahwa setelah Nabi saww ada imam- imam makshum; Atau tidak percaya bahwa akan ada akhirat dan surga-neraka; maka orang tersebut tidak akan mau mengamalkan agama. Inilah yang dimaksud “Dasar Agama”. Atau kalaulah mengamalkannya tidak dengan kemantapan yang sebenarnya. 

Misalnya orang-orang yang tidak percaya akan adanya imam makshum setelah Nabi saww. Bagaimana mereka bisa meyakini akan adanya Shiratu al-Mustaqim, yakni jalan Islam yang 100% lengkap dan lurus serta tidak memiliki kesalahan/ketersesatan sedikitpun (wa laa al-Dhaalliin)???!!! Dan kalau mereka tidak meyakini adanya Jalan Lurus tersebut di dunia ini setelah Nabi saww (karena bagi mereka hanya Nabi saww yang makshum), bagaimana mereka akan mantap memintanya dengan membaca surat al-Fathihah (Tunjukkan kepada kami Jalan yang Lurus) dan mantap mencarinya serta mengamalkannya? 

Sedang keimanan terhadap malaikat-malaikat dan kitab-kitab, dalam Syi’ah, tidak beda dengan keimanan kepada adanya Jin, Syethan, Lauhu al-Mahfuzh, Isra’ Mi’roj, Bidadari, Air susu di surga yang tidak pernah basi, Di surga tidak buang kotoran besar-kecil .... dst. Yakni, keimanan-keimanan ini adalah cabang dari keimanan Dasar tadi, khususnya dari keimanan pada Rasul utusan. 

Karena kalau seseorang sudah mempercayai seorang rasul yang makshum, maka sudah pasti akan menerima apa saja yang dibawa dan diberitakannya. Akan tetapi keimanan-keimanan tsb bukanlah Dasar Agama hingga kalau ada seseorang yang tidak tahu terhadap keberadaannya dalam Islam, maka orang tersebut tidak akan mengamalkan syariat agama atau tidak mantap dalam pengamalannya. Misalnya, kalau Tuhan tidak mengirimi nabi Muhammad al-Qur'an, atau dalam Qur'an tidak diceritakan akan adanya kitab-kitab terdahulu, malaikat-malaikat, bidadari-bidadari...dan seterusnya., maka hal tersebut tidak akan membuat seseorang tidak mempercayai dan tidak mengamalkan agama yang diajarkan Nabi Muhammad saww setelah meyakini kerasulannya. 

Akan tetapi sebaliknya, barang siapa yang tidak mempercayai keimanan-keimanan cabang tersebut, setelah dia beriman kepada Allah, nabi Muhammad saww dan Islam yang dibawanya, dan setelah tahu bahwa keimanan-keimanan itu dibawa nabi Muhammad saww, baik dalam Qur'an atau hadits-hadits yang mutawatir atau shahih dan tidak bertentangan dengan akal dan Qur'an, maka ia bisa kafir karena sama dengan mengingkari pembawa agama (Nabi saww) dan pengirimnya (Tuhan). 

6. Tiga hal yang perlu diketahui oleh segenap pembaca: 

(a) Bahwa dalam keyakinan Syi’ah, Shiratu al-Mustaqim pada masa sekarang adalah imam Mahdi as. Orang-orang yang mengimaninya dan tentu saja 11 imam as sebelumnya juga, adalah orang-orang yang berada dalam naungan imam-imam makshum as atau jalan-lurus (Shiratu al-Mustaqim). Artinya mereka sudah ada pada posisi yang benar dan terarah ke jalan lurus itu. Karena mereka memang telah mengimani jalan-lurus itu (dengan mengimani adanya penjelas yang makshum, yaitu Nabi saww dan 12 imam makshum as) dan selalu mendengar bimbingannya (kalau hadir bersama mereka as), atau mengumpulkan data-data bimbingannya sejak jaman makshum pertama (Rasul saww) sampai ke makshum ke 11 as dan ke 12 as sebelum ghaibnya, yang sudah tentu lebih baik perawian dari perawian golongan lain, karena diawasi para makshum dalam 2 abad lebih. Oleh karenanya orang-orang itu layak untuk selalu meminta kepada Allah jalan- lurus ini. Jadi, orang-orang tsb adalah orang-orang Islam yang benar, diridhai, diampuni dan diterima Allah swt. Lebih rincinya lihat catatan saya tentang Islam Hakiki dan Relatif. 

(b) Dalam pandangan Syi’ah, agama lain dari Islam atau juga kelompok lain dari Syi’ah, adalah agama dan/atau kelompok yang salah. Setidaknya, mereka memiliki kesalahan dalam ajaran agama atau kelompoknya itu. Namun demikian, kalau kebenaran Islam/Syi’ah belum sampai kepada mereka secara benar (melalui muballigh-muballigh, tulisan-tulisan dan sarana-sarana yang benar) dan kalau mereka belum memahaminya dengan benar, dan kalau mereka tidak terhitung malas/anti/tak-perduli untuk mencari yang benar, maka mereka-mereka itu masih dimaafkan Allah dan bisa masuk surga melalui pintu maaf tersebut. 

Jadi, di mata orang-orang Syi’ah, yang bisa masuk surga adalah orang yang benar yang, mengamalkan kebenarannya itu, dan orang-orang yang salah tapi tidak layak diazab karena tidak ada dalil/hujjah terhdapnya karena belum sampai dan belum dipahaminya kebenaran Islam/Syi’ah. Dan orang yang salah ini, juga bisa dari golongan Syi’ah itu sendiri, yaitu orang-orang yang belum dan/atau salah memahmi Syi’ah tsb atau bagian-bagian ajaran tertentunya. 

Jadi, semua yang salah itu, kalau tidak sengaja, dan tidak terhitung sengaja (misalnya: yang bukan Syi’ah malas mencari yang benar sementara peluang itu ada; atau yang Syi’ah malas mencari pemahaman yang benar, atau sengaja mencarinya dengan tidak profesional, misalnya belajar Syi’ah/agama kepada orang-orang yang tidak belajar secara akademik dan meninggalkan yang akademik), maka akan dimaafkan Allah swt. Allah berfirman: 


وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا

“...dan barang siapa keluar dari rumahnya untuk berhijarah kepada Allah dan RasulNya, kemudian dia mati (sebelum sampai), maka telah ditetapkan pahalanya di sisi Allah, sesung- guhnya Allah itu Maha Pengampun dan Pemaaf” (QS: 4: 100) 

Hijrah menuju Allah swt, jelas tidak bisa diartikan dari tempat ke tempat. Oleh karena itu maksud dari hijrah kepada Allah dan Rasul saww, setidaknya, adalah agamaNya dan ajarannya. Berarti rumah di sini adalah rumah ketidaktahuan (kalau belum tahu), atau kesalahan (kalau sudah tahu tapi keliru), dan/atau kekurang kekurangsempurnaan (kalau kebenarannya belum lengkap dalam ilmu dan aplikasinya). 

Kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan itu, akan dimaafkanNya, karenanya mengatakan bahwa Dia Maha Pengampun. Dan bahkan dipahalaiNya, karena sudah berusaha keluar dari kesalahan dan kekurangan-kekurangan itu. Oleh karenanya Dia mengatakan bahwa Dia Maha Penyayang.

Oleh karena itu, dengan hanya alasan relatif, baik dalam sanad/penukilan atau matan/ arti dari agama (Qur'an-Hadits) dan seluruh ajaran-ajarannya itu, tidak bisa kita katakan bahwa info-info agama itu tidak bisa diterima dan diamalkan. Justru sebaliknya, sampai dimana dan di derajat manapun info dan pemahaman itu dicapai dengan profesional, maka di sana pulalah hujjah dan argumentasi Tuhan untuk mempahalai pencapai dan pengamalnya atau mendosai pencapai yang tidak mengamalkannya. Inilah yang dikatakan “Munajjiziyyat” dalam peristilahan ilmiahnya. Yakni “Penjelas/Pembeda”, karena kebenaran sudah sampai dan dipahami dengan benar pula. Dan disana pulalah Tuhan akan akan menjadikannya dalil dan argumen untuk memaafkan yang belum mencapainya tapi sudah berusaha secara profesional, baik dalam pencapaian info/ sanadnya atau pemahaman/matannya. 

Dan ketidaksampaiannya itu pula akan menjadi dalil bagi hambaNya untuk menerima ampunanNya, karena kalau tidak diampuniNya berarti Dia telah memerintahkan manusia tidak sesuai kemampuannya. Hujjah Tuhan untuk mengampuni dan hujjah manusia untuk memohon ampun itulah yang diistilahkan dalam bahasa ilmiahnya dengan “Mu’adzdziriyyat”, yakni “Peng-uzuran”

Begitu pula sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak menerima dan/atau tidak mengamalkan kebenaran yang sampai kepadanya sesuai dengan ukuran usaha dan profesionalismenya itu (relatif), maka ia akan didosa dan dihukum, sekalipun pada kenyataannya yang ia ketahui itu adalah kesalahan. Karena kalau Tuhan tidak mempahalai pengamalnya dan tidak mendosai atau menghukum pelanggarnya, maka berarti sama dengan menyuruh kita hidup tanpa aturan dan hukum sedikitpun. 

Karena pengetahuan kita terhadap kebenaran Islam itu sangat terbatas. Yakni sebatas sejauh mana kita telah mendudukkan argumentasinya itu di atas ilmu-mudah dan gamblang. Yakni yang diterima semua akal-normal dan tidak bisa ditolak siapapun. Dan hal ini, akan sangat sedikit kalau dibanding dengan Islam secara keseluruhan. Karena yang bisa dibangun di atas ilmu-ilmu mudah dan gamblang itu, paling-paling hanya pokok-pokok ajarannya, dan akan sedikit kalau sudah sampai pada detail-detail dan tingkatan-tingkatannya. 

Begitu pula tentang penerapan Islamnya. Misalnya, kita harus selalu melaboratoriumkan masakan istri sebelum dimakan, tubuh istri sebelum dikumpuli, makanan restoran....dst supaya dapat diketahui secara hakiki (bukan relatif) bahwa mereka atau makanannya bersih dari najis, penyakit yang mudharat, bukan bangkai ..dst karena akan menjadikan keharaman dan dosa. 

Hal itu karena, sekalipun mereka tsiqah secara akal-normal dalam sanad, tapi belum tentu jujur kala itu, dan kalau jujur juga kala itu dalam sanadnya, belum tentu benar dalam pemahaman atau matannya, hingga info dan pemahaman dan perbuatannya masih tergolong relatif. Begitu pula harus melaboratoriumkan laboratoriumnya setiap saat supaya dapat diyakini secara pasti, bukan relatif, bahwa ianya tidak rusak. Begitu pula laboratoriun ke dua, ke tiga ..dst dimana pada akhirnya kita tidak bisa makan apapun dan mati kelaparan. 

Dengan demikian maka jelaslah bahwa meninggalkan akal-umum atau akal-normal yang relatif ini, baik dari sisi sanad atau matan, sama dengan hidup barbarian atau mati sama sekali. Namun sebaliknya, tidaklah dengan alasan kerelatifan dalam sanad dan matan itu, kita bisa membolehkan ajaran sesat yang dikenal dengan “Pluralisme” yang dikemas rapi oleh Bapak Pluralisme John Hick dalam bukunya “Problems of Religious Pluralism” itu. Karena Pluralisme bukan Plural sebagaimana arti kata dasarnya. Tapi bermakna “Semua agama dan pandangan –sekalipun seperti atheis komunis liberalis- adalah benar di hadapan Tuhan”. 

Pada awalnya, Pluralisme ini hanya fokus pada kebenaran agama-agama, tapi pada kelanju- tannya menyebar sampai pada kebenaran pahaman-pahaman dan ide-ide. Memang, bagi Islam atau Syi’ah, orang kafir juga bisa masuk ke dalam surga, tapi lewat pintu maafNya, bukan kebenaranNya. Jadi, Islam atau Syi’ah adalah agama yang Toleran dan menerima ke- Pluralan, baik dalam agama, madzhab dan pahaman-pahaman tentangnya, akan tetapi tidak menerima Pluralisme. 

Karena bagaimana mungkin hal yang kontradiktif itu bisa bertemu dalam kebenaran dan hakikat, hingga dikatakan sama-sama banar dan dikatakan bahwa kebenaran itu satu tapi jalannya banyak, seperti yang dikatakan Syurus di Iran yang menafsirkan Jalan Lurus itu dengan Jalan-jalan yang Lurus, dimana telah membuat para ulama Iran menjawabnya dalam berbagai buku, makalah dan lain-lainnya. Lihat tentang pluralisme ini dalam “Islam Hakiki dan Relatif” (catatan Sinar Agama). 

(c) Persatuan antara kaum muslimin, menurut Syi’ah, adalah wajib hukumnya. Terutama dengan dijarahnya negara-negara dan hak-hak muslimin oleh kafirin sejak ratusan tahun lalu sampai dengan hari ini. Begitu pula dengan adanya alasan adanya konsep yang sama dalam aliran-aliran Islam bahwa “tidak ada paksaan dalam agama”. 

Namun demikian, bukan berarti tidak boleh bedialog, berdebat dan salah-salahan. Semua itu boleh asal tidak dengan saling emosi, memaksa, berpecah dan bermusuhan serta tidak saling menolong. Karena ketika saling beda sudah pasti saling menyalahkan, tidak bisa tidak. Tapi karena diantara kita tidak ada yang nabi/rasul, maka penyalahan-penyalahan kita itu, bukanlah menjadi tolok ukur kafirnya seseorang secara hakiki dan masuknya orang tsb ke neraka secara hakiki pula. Karena yang menyalahkan, mengafirkan dan memasukkan ke neraka, adalah sesama kita yang bukan nabi yang makshum dan bukan Tuhan yang punya neraka-surga. 

Namun demikian pula, sebagaimana maklum di atas, penyalahan dan penghakiman itu akan terjadi di akhirat dengan sesungguhnya. Dan dalil yang akan dipakai Allah, sebagaimana maklum di atas, adalah kebenaran yang dicari dan dicapai secara profesional dan diamalkan dengan ikhlash serta dipergaulkan secara Toleran dan Plural, tapi bukan secara Pluralisme. 

7. Bahwa yang saya tulis disini –dan dimana saja- adalah sejauh pengetahuan saya tentang Islam secara Syi’ah. Dan karena saya bukan orang yang mewakili Syi’ah, sekalipun saya seorang Syi’ah yang sudah lama sekali memeluki dan mempelajarinya, maka seluruh kesalahannya –kalau ada- adalah dari kekeliruan saya sendiri. 

Oleh karena itu janganlah dinisbatkan kesalahan-kesalahan itu kepada Islam dan Syi’ah, tapi nisbahkanlah kepada saya pribadi. Dan saya memohon ampun kepada Allah, memohon maaf pada seluruh Makshumin as begitu pula pada seluruh ulama dan segenap kaum muslimin, baik Sunni atau Syi’i, kalau hal itu terjadi. Namun demikian, kalaulah yang saya tulis ini mengandung kebenaran, baik sebagian atau keseluruhannya, maka itupun juga bukan dari saya sama sekali. Akan tetapi pasti dariNya. Baik yang melalui tajalliNya yang berupa Qur'an, Rasul saww (hadits), Imam-imam Makshum as (hadits), Ulama-ulama, Guru-guru, Akal, Fitrah, Lingkungan sekitar dan Alam Semesta.

POKOK-POKOK KE-IMANAN SYI’AH: 

1. KEIMANAN SYI’AH TERHADAP TUHAN 

a). Tentang Adanya Tuhan 

Orang Syi’ah mengimani akan Adanya Tuhan. Dan yang dimaksud AdaNya, adalah Adanya Tuhan yang tidak terbatas yang telah menciptakan alam ini dimana Dia, karena ketidak terbatasanNya itu, berarti selalu ada dan jadi, serta tidak pernah terjadi dan bermula. Dalilnya adalah, kita dan lingkungan kita adalah wujud-wujud terbatas. Dan karena alam ini rangkapan dari wujud-wujud terbatas itu, maka alam ini juga pasti terbatas. Keterbatasan alam ini membuatnya memiliki awal dan akhir. Dan karenanya, sebelum awal ia tidak mungkin ada (tiada). Dan karena sebelum awal ia tidak ada, lalu kemudian setelah awal itu ia menjadi ada, maka ia, pasti diadakan. Karena yang tak ada, tak mungkin mengadakan siapapun, terlebih dirinya sendiri. 

Pengada alam ini, memiliki dua kemungkinan, terbatas atau tidak terbatas. Kalau terbatas, maka ia mestilah memiliki pengada sebagaimana alam ini. Kalau tidak terbatas, maka Ia-lah yang kita katakan Tuhan. Karena tidak berawal dan berakhir dimana karenanya pula maka Dia selalu ada dan tidak diadakan. Pengada ini, seandainya memiliki rantaian, bagaimanapun juga, harus bermuara pada Pengada yang tidak terbatas. Karena kalau semua mata tantainya terbatas, berarti semuanya memiliki batasan yang, membuat mereka memiliki awal dan akhir, sehingga sebelum awal, mereka semua, adalah tidak ada atau tiada. Dan kalau semuanya tiada, lalu dari mana keberadaan kita dan alam kita ini? 

Dengan ini semua maka terbuktilah bahwa Tuhan Yang Tidak Terbatas itu adalah kenyataan yang tidak bisa diingkari. Dia adalah Ada Yang Tak Berpangkal/Berawal (Qadiim) dan Tidak pula Berujung/Berakhir (Azali). Sedang tentang EsaNya (Tauhid), memiliki beberapa pengertian. Esa dalam Zat, Sifat, Penciptaan, Pengaturan alam dan manusia dan Esa dalam Ibadah dllnya. 

b). Tentang Esa Tuhan dalam AdaNya 

Esa dalam Zat adalah tunggal/satu dalam WujudNya. Dalilnya adalah, ketika kita sudah buktikan bahwa keberadaan Tuhan itu tidak terbatas, maka sudah tentu tidak mungkin lebih dari satu. Karena kalau lebih dari satu, pasti semua tuhan-tuhan itu menjadi terbatas, karena sudah pasti, secara otomatis, masing-masing keberadaan mereka (bc: dari sisi eksistensi/ adanya) akan saling membatasi. Dan kalau saling membatasi, berarti masing-masingnya menjadi terbatas. Dan kalau sudah terbatas, berarti semua mereka adalah makhluk, karena pernah tiada sebagaimana maklum di atas. 

c). Tentang Esa Tuhan dalam SederhanaNya (tidak terangkap) 

Maksud Esa dalam SederhanaNya adalah, Tidak Terangkap dari Apapun. Baik dari zat dan zat atau zat dan sifat. 

Dalil SederhanaNya atau KetidakberangkapanNya itu, juga sama seperti dalil ke-Esa-anNya dalam wujudNya, yakni ke-Tidak TerbatasanNya. Karena, ketika Dia adalah wujud yang tidak terbatas, maka sudah pasti tidak akan terdiri dari bagian-bagian. Karena masing-masing bagian akan saling membatasi, dan karenanya semua bagiannya akan menjadi terbatas. Dan kalau Tuhan terdiri dari bagian-bagian dan batasan-batasan, maka Ia pasti juga terbatas sebagaimana maklum. Karena gabungan keterbatasan hasilnya juga keterbatasan seperti alam ini. Dan kalau demikian, maka Ia tidak lagi bisa dikatakan Tuhan, karena Ia pasti memiliki awal-akhir, hingga sebelum awal Ia pasti tidak ada, dan kalau ada setelah itu, maka pasti diadakan seperti alam ini. 

Oleh karena itulah apa yang dikatakan Masehi bahwa Tuhan itu tiga dalam satu dan satu dalam tiga, tidak bisa dibenarkan akal-gamblang. Karena membuat ketiganya dan gabungan mereka menjadi terbatas yang, sudah pasti pernah tiada yang, kalau ada pasti diadakan. Sementara kita tahu yang diadakan itu adalah makhluk, bukan Tuhan. 
d). Tentang Esa Tuhan dalam SifatNya 

Pengertian Esa dalam sifat adalah meyakini bahwa seluruh sifat-sifatNya itu adalah berhakikat sama, begitu pula dengan ZatNya. Oleh karenanya mereka adalah hakikat yang satu, bukan kesatuan dan rangkapan. 

Dalilnya adalah ketdk ketidakterbatasanNya juga. Yakni, manakala Ia adalah wujud yang tidak terbatas, maka sudah pasti tidak akan terdiri dari rangkapan-rangkapan. Dengan demikian, sifat-sifatNya itu, sebenarnya, berhakikat yang sama dan satu. Sementara keberbedaanya hanyalah dalam pahaman kita yang tidak mungkin menggapai hakikat ketidakterbatasan tsb. Memang kita memahami arti tidak terbatas, tapi kita tidak mungkin menggapai ketidakterbatasan itu. Karena keberadaan akal kita terbatas, dan kalau mencapaiNya, maka Ia akan menjadi terbatas pula. 

Namun demikian, kita bisa mengerti arti ketidakterbatasan dan konsekuensinya, yakni sebagai wujud yang mustahil berangkap. Dengan demikian, maksud pensifatanNya dalam Qur'an terhdp DiriNya sendiri, bukan berarti membuat DiriNya terangkap. Tapi hanya ingin menerangkan kepada manusia bahwa Dia tidak kurang suatu apapun alias wujud tak terbatas. Dia tidak memiliki kekurangan ilmu, makanya Maha Alim, tidak kekurangan kekuasaan, makanya Maha Kuasa, tidak mati, makanya Maha Hidup ....dst. 

Kepada manusia yang tidak mengenal apapun dari kebaikan kecuali terbatas dan tidak mampu mengenali apapun kecuali yang terbatas karena keterbatasan akalnya, maka Tuhan mengenalkan DiriNya dengan yang terbaik dari pahaman-pahaman yang terbatas itu. Sebab kalau tidak demikian, maka manusia sama sekali tidak akan terbimbing untuk mengenaliNya sama sekali. Oleh karenanya, Ia tetap mengatakan bahwa Ia tidak sama dengan apapun dan menyuruh manusia untuk menggunakan akal. Seandainya maksud Tuhan dalam pensifatanNya dalam Qur'an itu sebagai rangkapan, maka Tuhan akan menjadi sembilan puluh sembilanitas atau seratusnitas (sesuai dengan jumlah AsmaulhusnaNya), na’udzubillah. 

Tentu saja, tidak semua sifatNya memiliki ciri demikian, yakni tidak terbatas (Qodim-Azali) sehingga dikatakan bahwa semua sifatNya adalah hakikat ZatNya dan tidak berbeda. Karena sebagian sifat-sifatNya ada yang bisa dipahami tanpa menisbahkan atau menghubungkan DiriNya dengan makhlukNya dimana sifat-sifat ini diistilahkan dengan Sifat-Zat, dan ada pula yang harus dihubungkan dengan makhlukNya yang kemudian diistilahkan dengan Sifat- Perbuatan. Sifat-Perbuatan ini adalah bermula dan baru (Haaditsun). Misalnya sifat Pencipta, Pemberi rejeki, petunjuk, pengampun dan sebagainya. Karena sebelum ada makhluk, maka Dia tidak bisa dikatakan Pencipta, Pemberi rejeki, petunjuk, dst. Karena arti Pencipta adalah yang mencipta, Pemberi rejeki adalah yang memberi rejeki begitu pula seterusnya. Namun demikian Dia pasti Mampu dan Kuasa untuk melakukan semua itu. Dengan demikian maka sifat-sifat seperti itu harus dikembalikan dulu pada sifat Zat sebelum kemudian di-sama/esa- kan dengan ZatNya.

e). Tentang Esa Tuhan dalam PenciptaanNya 

Tauhid dalam Penciptaan maksudnya adalah semua yang ada ini, baik yang baik dan/atau kelihatan buruk, semuanya adalah ciptaanNya dan tidak ada yang bisa mencipta kecuali DiriNya. Sudah tentu, penciptaan yang dimaksud bukan berarti harus langsung dari Tangan dan DiriNya. Karena bisa saja, dan bahkan kenyataannya, alam ini tidak langsung dariNya. Kita saja sebagai manusia, badan kita berasal dari janin, janin dari segumpal daging, daging dari darah, darah dari mani, mani dari makanan .....dan seterusnya sampai kepadaNya. 

Dalilnya adalah, akibatnya akibat, akibat pula bagi sebabnya. Oleh karenanya, semua yang ada ini adalah bersumber dari DiriNya. Dan karena kesebabanNya tidak disebabkan siapapun, berbeda dengan kesebaban yang lainNya yang dikarenakan DiriNya baik langsung atau tidak, maka sebenarnya hanya Dialah Sebab yang hakiki itu. Inilah arti tauhid dalam penciptaan. Apalagi kalau ditambahkan suatu kenyataan bahwa akibat tidak akan pernah berpisah/mandiri dari sebabnya, maka sudah pasti bahwa semua akibat yang diakibatkan oleh akibatNya, juga merupakan akibatNya. 

Oleh karena itu kenyataan filosofis tentang makhluk –sebagaimana telah dibuktikan di filsafat (lihat Wahdatu al-Wujud 1-6)- bahwasannya hanya Akal-satu yang dicipta langsung oleh Allah, dan yang lainnya dengan perantaraan, maka sama sekali tidak merusak konsep tauhid ilmu Kalam ini, yakni ketauhidan dan ke-EsaanNya dalam penciptaan. Oleh karena itu, tidak ada sekutu bagiNya. 

f). Tentang Esa Tuhan dalam PengaturanNya 

Maksud tauhid dalam pengaturan alam dan manusia ini adalah hanya Tuhan yang mampu dan berhak mengatur manusia dan alam semesta ini. 

Dalilnya jelas, yaitu ketika hanya Dia yang tidak terbatas, berarti hanya Dia yang tidak kurang sesuatu apapun. Oleh karenanya hanya Dia yang tahu alam/kita ini dari mana, dalam mana dan hendak kemana, apa maslahat dan tidak maslahatnya, bagaimana seharusnya hidup ..dst. Dengan demikian barang siapa yang tidak meyakini hal ini, artinya ia merasa bahwa dalam kehidupan ini merasa ada peraturan/hukum lain yang lebih baik dari yang datang dari DiriNya, atau ada peraturan lain yang diyakini kebenarannya dan mesti diikutinya, atau dirinya merasa mampu membuat peraturan dalam kehidupan ini, maka ia telah melakukan ketidaktauhidan dalam pengaturan ini. Yakni kafir dalam Esa-Pengaturan ini, sehingga ia dalam istilah ilmu Kalam disebut dengan Musyrik, yakni menyekutukan Tuhan dalam kepengaturanNya itu. 

Karena itulah Allah dalam Qur'an mengatakan bahwa siapapun yang menghukum tidak dengan hukumNya maka ia telah kafir (QS: 5:44). Tentu saja, maksudnya di sini adalah kafir dalam pengaturan ini, bukan kafir dalam zat dimana hukumannya adalah dibunuh kalau tidak taubat (bc: kalau murtad, bukan kalau belum masuk Islam), Allahu A’lam. 

Tapi kalau kekufurannya itu disertai dengan keyakinan bahwa hukum-hukum selain hukum- hukum Tuhan tersebut diyakini lebih baik dari hukumNya dan apalagi dia memerangi hukum- hukumNya, maka sangat dimungkinkan bahwa orang seperti ini, telah benar-benar membawa kekufuran dalam pengaturanNya itu, ke dalam kekufuran terhadap ZatNya. 

Karena berarti ia meyakini bahwa Allah telah salah dalam kepengeturanNya itu, atau mengatur tidak dengan hukum yang terbaik dan semacamnya, dimana pada akhirnya mengusik kesucian dan kesempurnaan Zat dan Sifat-sifatNya.

g). Tentang Esa Tuhan dalam Ibadah 

Maksud Tauhid dalam Ibadah adalah, bahwa kita harus beribadah dan/atau mengabdi dan/ atau taat hanya kepadaNya. 

Dalilnya juga jelas, yaitu ketika kita melihat bahwa Dia Ada, Tidak Terbatas dan telah memberi banyak kebaikan kepada kita seperti kehidupan dan segala yang menyertainya (dari nikmat badaniah, ruhaniah, akal, agama dan sampai ke alam dunia-akhirat), maka sudah selayaknya kita mengagungkan dan bersyukur kepadaNya dengan menaatiNya. Terlebih ketika kita tahu bahwa hanya Dia yang berhak dan mampu mengatur kita, maka sudah tentu kita wajib menaatiNya untuk mengagungkan dan mensyukuriNya. 

Apalagi kita juga sudah tahu bahwa karena ketidak ketidakterbatasanNya maka Dia tidak memerlukan apapun, dimana membuat kita sadar bahwa semua peraturan yang dibuatNya demi kepentingan dan kebaikan kita sendiri, maka sudah tentu kita mengerti dengan sepenuh pengertian bahwa kita wajib menaatiNya. Karenanya rukuk dan sujud kita, tidak akan menambah sedikitpun dari keutamaan dan kekayaanNya, karena Dia adalah wujud yang tidak terbatas. Dengan demikian tauhid dalam ibadah yakni menaatiNya sesuai dengan peraturan yang telah dibuatNya. 

Tentu saja –tauhid dalam ibadah dan taat ini- harus ditambah dengan niat karena DiriNya. Sebenarnya, ikhlash yang benar dan profesional, adalah dua unsur ini, yakni taat kepadaNya sesuai aturanNya dan dilakukan karena DiriNya semata. Inilah yang disebut dengan Tauhid/ Esa dalam Ibadah. 

h). Tentang Esa Tuhan dalam sifat-sifat dan hal-hal Negasi (yang harus dinafikan dariNya) 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu, yakni ketidakterbatasan Tuhan, maka dapat dipasti- kan bahwa Tuhan: 

1. Bukan bendawi hingga terikat (seperti ‘Arsy) seperti yang diyakini sebagian golongan. 

2. Bukan bendawi hingga turun dari ‘Arsy ke langit dunia tiap sepertiga akhir malam seperti yang di Sunni (Bukhari hadits ke 1145; 6321; 7494; Muslim hadits ke 1265; 1813). Karena kalau hal ini terjadi, berarti Tuhan akan terikat dengan ruang dan waktu dan tidak akan pernah naik lagi ke ‘Arsy karena 1/3 malam itu terus berputar di bumi sampai kiamat. 

3. Bukan bendawi hingga terlihat dengan mata di surga seperti bintang purnama atau matahari seperti yang ada dikeyakinan saudara Sunni (Bukhari hadits ke 4581; 6573; 7437; 7439; Muslim 5270; 7628). Padahal kalau terlihat, akan menjadi terikat dengan surga dan depan, karena peristiwa melihatNya itu di surga dan di depan yang melihat, dimana berarti di tempat lain tidak akan ada. Sementara di lain tempat Allah berfirman pada nabi Musa as bahwa ia tidak akan pernah melihatNya (QS: 7:143). Dan arti tidak akan pernah, adalah sampai kapanpun sekalipun di surga. 

4. Bukan bendawi hingga dikatakan punya betis untuk ditunjukkan sebagai bukti keTuhananNya di akhirat hingga orang-orang yang tadinya menolakNya menjadi menerima dan bersujud padaNya setelah betisNya ditnjukkan (Bukhari hadits ke 7439; 6886; Muslim hadits ke 209; 302; 472). 

5. Bukan bendawi hingga dikatakan punya kaki untuk dimasukkan ke neraka yang selalu kurang hingga neraka berkata “cukup-cukup” (Bukhari hadits ke 4848; 4849; 4850; 6661; 7449; Muslim hadits ke 5082; 5083; 5084; 5085; 7354; 7356; 7358; dan lain-lain).

6. Bukan bendawi hingga dikatakan punya rumah di akhirat dimana nanti Nabi saww akan mengunjungiNya di rumahNya itu (Bukhari hadits ke 7002; 7440; 6886). 

7. Bukan bendawi hingga dikatakan tertawa ketika memperlihatkan DiriNya di akhirat (Muslim hadits ke 278; 316; 489) dan lain sebagainya. 

Subhanallahi ‘anma yashifuun, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan kepadaNya. Berlanjut ke: 2- Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan (insyaaAllah). Shalawat!!!! 

Bande Husein Kalisatti and 41 others like this.

Bin Ali Ali: Syukran ya ustadz atas khasanah ilmunya..............he he he. 

Gazali Rahman: Syukron ustad atas tulisan yang sangat bermanfaat ini, izin copy. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua dukungan, komentar dan doanya. 

Mohammad Diponegoro: Syukron ustadz.... belum sempat baca tapi suka banget...hehe. 

D-Gooh Teguh: Oom kalau ada tulisan-tulisan semacam ini saya ditag dunk. Agar tidak terlewat menikmatinya. Saya share juga ya. InsyaaAllah saya akan membacai semua note-nya sedikit demi sedikit. 

Bener beginilah. Daripada melayani para tutul yang gak jelas tetapi ikutan menjadi gak jelas dan cela-mencela. Mantap. Salute untuk Anda. 

Zarranggie Syubeir: Subhanallah Note ini sungguh berharga buat saya untuk menambah pengetahuan... Syukran ustad. 

Mohammad Eka Yulianto: Luar biasa.... saya juga mau di Tag note-note seperti ini.... saat ini saya mohon ijin share...

Sinar Agama: Terharu mendengar dukungan dan melihat jempol-jempolnya. Hati terasa bahagia karena bisa menyenangkan friend yakni ikhwan dan akhwat di fb. Tapi, ingat, karena akidah itu tidak taklid, tapi memahami dalil, maka kalau memang ada yang mau didiskusikan atau didebatkan, saya tidak sedih. Tapi usahakan bahasanya yang santun, jangan saling ejek, supaya tidak keluar dari ibadah. Saya tidak menyangkal, bahwa ejekan kadang juga ibadah. 

Tapi menentukan obyeknya supaya jadi ibadah itu sangat sulit dimasa sekarang, khususnya di tempat umum dan dimana harus menggalang persatuan dimana sering demi pihak ke tiga, maka yang ingin bersatu jadi bercerai berai. Ok, mas Teguh, insyaAllah aku kirim nantinya. Saya sering lihat antum di beranda, kirain nggak suka. Oh iya, siapapun yang akan menggunakan tulisanku untuk kebaikan silahkan saja. 

Diskusi Lanjutan Di Kiriman Yang Lain 

23 people like this. 

Etika Maria: Syukran ustadz, atas notenya.. Tika sangat senang baca note-note ustadz!! 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua friend karena dukungannya, komentar dan doanya. Oh iya saya tidak tahu berapa banyak bisa ngirim tag, oleh karena itu yang biasa saya kirimi, sudah dikirimi, tapi kalau tidak sampai berarti, sudah kebanyakan. Padahal sudah kukirim dua kali. Jadi tolong kasih tahu kalau masih ada yang belum dikirimi. 

Dhani Toc: Akal itu bukan materi mengbuktikannya kebenaran itu dengan cara mengilhami kebenaran yang pasti adanya seperti 2 akhir dari penjabaran penjumlahan / Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: ”Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ”Ini adalah sihir yang nyata.” shalli ala Muhammadin wa ala alihi Muhammad. 

Kas Jim: Mencerahkan...

Sinar Agama: Terimakasih atas semua komentarnya. Akan tetapi tulisanku, masih mampu menjawabnya. Dan untuk keberadaan imam Mahdi as pasti bisa dibuktikan dengan akal. Misalnya, tanpa imam Mahdi as berarti jalan lurus sudah tidak bisa lagi diminta dimana akan berakhir pada kesia-siaan hukum Tuhan yang mewajibkan kita memintanya dalam setiap shalat kita sahari-hari. Hanya sekedar nyentil, bahwa 1+1=2, adalah salah satu kebenaran mutlak dalam akal. Dan yang menambahi salah satu atau keduanya dengan identitas yang lain, maka dosa besar, karena dalam contoh tidak ada identitasnya.

Ali Abu Hasan Bafagih: Syukron Alloh yuwassik alaina waalaikum... Penanya Imam Sodiq As: apakah akal itu wahai Imam? ASSODIQ AS: YANG DIBUAT MENYEMBAH ALLOH YANG ROHMAN DAN YANG DIBUAT MENDAPATKAN SURGA-SURGA!.. PENANYA: TERUS YANG DI KEPALANYA MUAWIYAH ITU? ASSODIQ AS: ITU NAKROK SYAITONAH (KEJAHATAN KELICIKAN).... AFWAN SOAL 

1+2=2.. Itu fakta hitungan.. dia bukan ilmu dan bukan akal..! 

Komar Komarudin: Sukron atas pencerahannya Akhi.....semoga bagian kedua bisa cepat terbit... Amin.

Sinar Agama: Terimakasih untuk semua komentarnya dan salam untuk semuanya. 

Sinar Agama: G-R: Dalam pemahaman tentang Islam yang luas dan dalamnya berlapis-lapis, sangat tidak mungkin dijadikan satu tingkatan kebakuan. Itu namanya mengurung kemampuan manusia untuk tidak berkembang. Nah, Islam sudah menyediakan ajarannya sejak dari kemampuan standar terendah sampai tidak terbatas. Nah, kita bebas, mau tidak ambil ilmu, ambil secuil, dua cuil atau sesamudra. 

Sinar Agama: A-A-H-B: Terimakasih komentarnya. Akal itu adalah untuk memahami, sebagaimana nampak dalam puluhan ayat Qur'an dan akal sederhana atau ilmu mudah alias ‘ilmu al-dharuri atau al-badihi. Akan tetapi memahami itu ada dua unsur penting yang tanpa salah satunya, tidak bisa dikatakan akal. 

(1) Memahami masalah dengan akal. Yaitu melalui proses pikir, bertanya ke makshum dan berfikir tentang jawabannya...dan seterusnya yang semua pahamannya itu tidak boleh sembarang memahami. Kalau sembarang memahami maka Qur'an dan Hadits akan menjadi kacau dan keluar dari maknanya. Oleh karenanya memahami perkataan Allah dan makshumin harus pakai kaidah. Misalnya dikomperasikan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang lain...dst.

Walhasil memahami makshumin juga harus pakai akal. Dimana pendek katanya adalah: Berenung sendiri atau belajar dengan guru yang makshum atau tidak, semuanya harus pakai akal. Dan yang dikatakan akal, adalah pengetahuan yang cocok dengan kenyataannya dan faktanya. Dan obor untuk ke arah fakta ini adalah ilmu-ilmu mudah, seperti 1+1= 2, saya ada, antum ada, lingkungan kita ada, akal ada, Qur'an ada, Islam itu agama Tuhan, manusia itu berfikir, fikiran itu inayah Allah yang harus dipergunakan, angka itu tidak ada wujudnya, esensi itu batasan wujud, Zat Tuhan sama dengan Sifat-sifat-zatiNya......dst dari ilmu-ilmu mudah atau ilmu-ilmu yang bersandar kepada ilmu mudah yang tidak bisa diingkari oleh siapapun. Ini yang pertama. 

(2) Memahami bahwa yang dipahaminya dari ilmu-ilmu itu memiliki konsekuensi, yakni harus diamalkan. Inilah yang dikatakan ”akal-’amali”, dalam ilmu akhlak. Yakni akal yang memahami bahwa yang diketahuinya itu harus diaplikasikan. Misalnya, kita tahu kalau nyetir mobil sambil pejam mata, maka pasti dengan ilmu mudah bahwa kita akan nabrak. Ini akal dan pahaman tingkat pertama. Dan yang ke dua, akal kita mengerti bahwa kita harus mengamalkan ilmu tsb supaya tidak nabrak. Nah, kalau kita tahu masalahnya, tapi tidak mengamalkannya, maka kita belum tahu namanya. Yakni belum tahu secara benar dan sempurna. Karena itulah imam Ali as mengatakan bahwa siapa yang tahu tapi tidak mengamalkan maka ia tidak tahu. Dengan ini dapat dipahami bahwa Muawiyyah itu hanya tahu separuh saja. Yakni tahu kalau imam Ali as itu imam dan makshum yang harus ditaati. Tapi karena dia tidak mengamalkannya, maka akal dia tidak sempurna. Jadi, benarlah apa yang dikatakan imam Jakfar as bahwa akal adalah alat yang dengannya Tuhan itu ditaati. Karena tanpa akal, bagaimana memahami masalahnya hingga dilakukan. Dan tanpa akal bagaimana memahami bahwa yang diketahuinya itu harus diaplikasikan? 

(3) Dan tentang kelicikan-kelicikan dan tipuan-tipuan Muawiyah itu juga demikian. Dia tahu hanya separuh masalahnya saja. Misalnya dia tahu bahwa akal adalah pemberian Tuhan, dia tahu kalau Tuhan akan menghisab kita di akhirat, dia tahu kalau akal untuk mengerti jalan selamat menuju surga yang tentu dengan agama dan ajaran Tuhan. Tapi karena dia tidak mengamalkan yang dikatakan akalnya yang ke dua, bahwa akal itu harus dipergunakan di jalan agama dan Tuhan serta imam Ali as, dimana akalnya juga memahami bahwa harus diapliksikan dalam taat itu, maka, karena tidak mengamalkannya, berarti dia tidak berakal secara sempurna. Karena itulah imam Ja’far as ingin melengkapi pengertian penanya tsb yang melihat bahwa Muawiyah sering menggunakan tipuan dimana pasti menggunakan akal, dengan mengajarinya bahwa akal Muawiyah itu belum sempurna karena akalnya belum mengaplikasikannya atau mengaktualkannya. Maka itu beliau as mengatakan bahwa ”akal adalah alat yang dengannya Tuhan itu ditaati”. Nah, sudah tentu dengan cara memahami dulu masalahnya, lalu memahami bahwa harus diaplikasikan. Karena itulah di tempat lain imam Ja’far as mengatakan bahwa orang taat atau mengabdi atau menyembah yang tidak pakai ilmu (yakni akal pertama yang memahami masalahanya), maka ibarat musafir yang berjalan tidak di atas jalannya yang benar, maka semakin dia cepat berjalan (semakin taat) maka semakin cepat pula jauhnya dari tujuannya. Nah, di hadits tentang Muawiyyah itu adalah penekanan pada akal ke duanya, dan di hadits ini penekanan pada akal pertamanya.

Sinar Agama: F-E-K: Saya sudah lambat ke kelas (jadi hrus pergi sekarang). Nanti kulihat komentar antum. I-Allah. 

Sinar Agama: F-E-K, saya tidak bisa merasakan sepenuhnya ungkapan hati antum itu. Yakni nggak terlalu paham dengan bahasa antum. Tapi secara acak saya akan berusaha mengomentarinya. Jangan ngakak kalau nggak kena. 

(1) Ana melihat bahwa seperti yang dulu ana pernah katakan bahwa kita memiliki perbedaan bahasa dan selera. Tapi nggak masalah karena itulah uniknya hidup. Jadi ya...ra’syih ghitu. 

(2) Pembuktian jalan lurus dengan Qur'an itu sangat mudah. Misalnya di surat Fatihah yang diwajibkan untuk dibaca setiap shalat, kita disuruh meminta jalan lurus. Dan jalan lurus di ayat tsb diterangkan memiliki 3 ciri, yaitu yang diberi nikmat, tidak dimurka dan tidak sesat sedikipun. Kalau ciri pertama di ayat lain diterang bahwa mereka yang diberi nikmat itu adalah para nabi as, Shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Di sini kita lihat masih bisa terjadi pencampuaran antara makshum dan tidak. Karena shalihin, syuhada dan shiddiqin, bisa saja sebelumnya memiliki dosa lalu taubat dan mendapat derajat tinggi itu. Atau orang syahid tidak mesti makshum dulu. Bisa saja dalam keadaan punya dosa dalam masalah lain tapi syahid di jalan Allah. Begitu pula tentang yang tidak dimurka. Tapi ciri ke 3 yakni tidak tersesat sedikitpun, di sini sudah pasti makshum. Nah dengan demikian, ketika Tuhan menyuruh kita meminta jalan lurus itu, berarti ia ada. Dan itulah orang-orang makshum. Dan karena secara ikhtiar orang-orang yang memilih makshum itu hanya dari keturunan Nabi saww yakni yang 12 imam itu, maka merekalah Aalu Ibrahim atau keturunan Ibrahim. Dan ini klop dengan yang diminta nabi Ibrahim as supaya keturunannya juga jadi imam. Karena Tuhan menerima doanya, tapi untuk keturunan-keturunan yang tidak aniaya, yakni yang tidak punya dosa. Karena dosa adalah aniaya untuk dirinya sendiri. Jadi, jalan lurus adalah imam dan dua hal ini harus makshum karena kalau tidak makshum ilmu dan amalnya berarti dia tidak lurus, tersesat, sekalipun tidak sengaja. Dan kalau sengaja berarti aniaya pada diri sendiri. 

(3) Sekali lagi saya tegaskan bahwa dalam bahasa arab qalb itu juga bermakna akal. Sebenarnya ada 3 makna. Untuk badan hati adalah alat pemompa darah. Untuk ruh atau jiwa hati memiliki 2 makna, yang satu maknanya adalah akal pikir dan ke dua jiwa untuk merasa seperti cinta, marah, benci...dll. Nah, Qalbu yang dipakai oleh Tuhan dalam ayat-ayatNya juga memiliki dua makna terakhir ini. Jadi, mengunci mati hati, bisa bermakna nggak mau belajar ilmu yang bermanfaat dan memberi jalan petunjuk kepada jalan keselamatan. Dan saya sangat merasa bahwa kebanyakan hati yang dipakai dalam ayat-ayatNya lebih banyak ke makna akal ini. Makanya mengunci hati yakni tidak mau berdalil dalam ilmu yang manfaat dan/atau tidak mau mendengarkan dalil. 

(4) Tentang Ahmad itu karena memang disukai nabi saww sendiri. Ahmad artinya Yang Memuja. Sama persis dengan dua pangkat yang kontras lainnya, yaitu Budak/hamba dan kerasulan. Nabi kurang suka kalau ada orang bersaksi bahwa beliau adalah rasul dan hambaNya. Tapi lebih suka Hamba dan RasulNya. Yakni Hamba dulu dimana di situlah Nabi saww suka, karena Nabi saww cinta Tuhan dan membudakkan diri padaNya dimana selalu mengarah kepada ketawadhuan. Tapi kalau kerasulan dimana ianya pangkat kemuliaan, maka Nabi saww lebih suka di nomor duakan saja. Tentang Ahmad, karena beliau memulainya dari Memuja itu dan bahkan terus senang dengan memuja itu sampai kakinya bengkak-bengkak karena ibadah walau sudah menjadi nabi dan rasul. Sedang Muhammad adalah terpuji atau terpuja. Jadi Nabi saww lebih suka Pemuja dari Terpuji. Pendek katanya karena yang diberitakan nabi Isa as itu adalah aktifitas Nabi saww karena memang disukainya. Yang kedua nabi Isa as mengenalkan dengan nama Pemuja itu supaya diketahui umatnya dengan mudah. Kalau memakai Terpuji, maka siapa tahu kalau Nabi saww itu terpuji di langit sana. Jadi, Pemuja adalah nama beliau di bumi yang bisa dikenali orang banyak, sedang Terpuji yang nama beliau dilangit itu tidak akan dikenali kecuali oleh para malaikat dan para nabi serta washi/ imam. Ini baru sedikit dari mengapa nabi Isa as mengenalkannya dengan nama Ahmad atau Pemuja, bukan dengan nama Muhammad atau Terpuja. 

(5) Tentang injil, saya tidak tahu apa yang ditanyakan. Tapi yang jelas injil dlm artian Syi’ah bukan injil yang ada ini. Karena dalam Syi’ah injil yang sekarang ini bukan injil yang dulu yang sudah dicampur, bukan. Tapi injil sekarang ini adalah semacam kitab biografi nabi Isa as yang ditulis oleh murid-muridnya. Nah baru setelah itu terjadi penambahan atau pengurangan bisa saja terjadi. Tapi tidak terjadi pada injil yang dulu Tuhan turunkan, karena kitab itu sudah tidak ada lagi. Memang dalam injil sekarang ini bisa saja ada bagian-bagian injil yang kitab Allah itu, karena sangat norma kalau dalam buku biografi seorang nabi dalam sejarah sehari- harinya juga membacakan kitab Tuhan. 

(6) Matematika itu dalam filsafat dan hakikat., tidak memiliki wujud di luar akal. Dia hanya merupakan pahaman akal saja yang tidak memiliki wujud nyata. Tapi bisa diisyarahi. Jadi kuantitas atau anggap yang merupakan kuantitas terpisah ini yang menjadi lawan dari kuantitas menyatu seperti 2 meter, semua kuantitas itu adalah tidak eksis di alam nyata. Dia hanya bisa diisyarahi saja. Inilah yang dalam istilah filsafatnya dikatakan sebagai ”Pahaman Akal ke dua Filsafat” atau ”Ma’qutalu al-Tsaanawiyyati al-Falsafiyah”. Yakni yang keberadaannya hanya di dalam akal dan di luar akal tidak ada wujudnya tapi hanya bisa diisyarahi saja. Misalnya ini 2 telur , 3 telur ..dst. Pahadal yang ada hanya telur-telur yang tidak saling memahami dan menggubris satu sama lain. Tapi kita saja yang menyatukannya dalam kelompok hingga dikatakan 2 atau 3 telur. Nah, ”akal-amali” yang artinya akal yang menyuruh mengaplikasikan apa-apa yang diketahuinya itu yakni yang diketahui ”akal-teori”nya. Jadi akal amali dalam matematika adalah seperti menyuruh mengaplikasikan bahwa barang dagangan yang dibeli 2000 rupian itu dijual diatasnya, jangan dibawahnya, karena bisa rugi. 

(7) Mukjizat Qur'an itu dari berbagai segi. Termsuk dari angka-angka ini. Dan orang-orang barat baru mengerti beberapa tahun atau beberapa puluh tahun terakhir ini. Mereka, karena ingin menyelewengkan muslimin dari tujuan Qur'an sesungguhnya, yakni hidayat menuju jalan hidup merdeka itu, yakni merdeka dari tekanan syetan manusia dan jin dan hawa nafsu, maka mereka membesar-besar mukjizat Qur'an yang angka-angka ini. Bahkan ketika mereka meledakkan gedung kembar yang difitnahkan ke Muslimin demi menjarah afghanistan yang kaya uranium dan strategis untuk mengurung Iran, juga dicocokkan dengan simetris Qur'an ini. Yakni simetris yang dipaksakan tentunya. Karena mereka sudah memasang pondasi pemikiran sebelumnya di kalangan kaum muslimin bahwa Qur'an itu ajib, yakni mengandungi rahasia angka dimana banyak sekali korbannya dalam hal ini dimana akhirnya di semua diskusinya hanya membahas angka-angka itu. Misalnya surat fulan memiliki sekian huruf alif, atau ba’ ...dst, ini berarti cocok dengan yang ini dan yang itu...dst. Memang semua itu, kalau benar, adalah mukjizat Qur'an, karena mukjizat Qur'an adalah dari sisi sastranya. Tapi mukjizatnya ini tidak memberi apa-apa kecuali menyadarkan manusia bahwa ianya dari Tuhan. Nah, tujuan utama Qur'an adalah menghidayahi manusia dengan isi dan makna yang terkandung di dalamnya, bukan di sastranya. Jadi, sastra dimana termasuk keajaiban angka dan jumlah huruf dan ayat-ayat Qur'an adalah hidayah pertama dan mukaddimah supaya manusia tahu kalau itu adalah dari Allah. Tapi setelah itu hidayahnya adalah isi masing- masing ayatnya itu, bukan dari sisi keajaiban angka atau huruf yang dipakai. 

(8) Memang beberapa keajaiban sastra Qur'an seperti huruf dan angkanya, memang terkadang langsung berhubungan dengan beberapa hidayah. Tapi dalam kehidayahannya itupun tetap global, seperti ternyata jumlah kandungan angka ayat fulan sama dengan jumlah angka nama imam, atau jumlah imam dan semacamnya. Tapi semua itu tetap global biasanya. Nah, sekarang ini setelah Qur'an dan Nabi saww dan Imam makshum as itu adalah satu, trus mau apa? Kan pasti jawabannya adalah mau mengkaji ajarannya. Nah, kalau mau mengkaji ajarannya tapi kembali lagi ke penisbatan atau pembuktian mereka, ini kan berarti kita telah berputar-putar di tempat?. Nah, tahapan saya yang saya tulis ini adalah tahapan memahami ajaran Tuhan, Nabi saww dan Qur'an serta imam as, yang mana dalam rahasia angka-angka Qur'an dan Taurat dan Injil bisa dibuktikan kebenaran mereka atau bahwa mereka as adalah satu dan semacamnya. Nah, memahami satu sudut harus dilanjutkan ke sudut yang lain, dan tidak boleh berhenti dan mojok di sudut itu. 

(9) Antum yang katakanlah mempelajari matematika Qur'an itu, mengapa tidak membicarakannya di sini, supaya kita mengambil manfaat, walaupun manfaat awal, yakni mengerahkan audien ke kehebatan Qur'an dan Nabi saww serta imam. Supaya saya juga bisa memudahkan orang lain melanjutkannya dengan penjelasan isinya sejauh kemampuan. Tentu saja saya bisa dengan ijin Allah membuktikan kebenaran Islam, Qur'an, Nabi saww, imam as ..dst, tapi dari filsafat dan semacamnya. Yang bersifat angka itu, memang saya hanya taruh buku dan kitab- kitabnya diantara sekitar 90.000 jilid kitab di rumah. Karena saya memang kurang tertarik walau kadang asyik mendengar beberapa teman atau buku yang membahasnya. Tentu sekali lagi pembahasan sebagai hidayah pertama dan mukaddimah, bukan inti hidayahnya. 

(10) Antum tahu, diantara rahasia angka yang ada di kitab-kitab itu, sampai-sampai bisa meraba hal ghaib. Misalnya ayatullah Hasan Zodeh Omoli/Aamuli hf, waktu kecurian kitab-kitab berharganya, konon melapor ke polisi dan mengatakan sekaligus orang yang mencurinya berdasar kepada ilmu angka itu, termasuk namanya siapa dan rumahnya dimana,...dst. Tapi karena hal itu bukan hujjah lahiriah yang bisa dikontrol langsung oleh makshumin dimana sedang ghaib ini, maka beliau sendiri dan semua ulama syi’ah, tidak ada yang tertarik mengajarkannya dan juga tidak merangsang orang mempelajarinya seperti para imam Makshum dalam beberapa hadits mereka. 

Antum tahu, semua hari, bulan dan tahun dan apa saja dari angka-angka yang terpahami ini memiliki hubungan satu sama lain. itu juga yang dikatakan ilmu falak. Tapi Islam yang dibawa Ahlulbait tidak merangsang hal itu. Karena hal itu adalah hujjah relatif dan ghaib dimana keluar dari dalil dan hujjah kehidupan sehari-hari. Nah, para imam hanya menyuruh kita mempelajari agama ini dengan baik dan mengamalkannya supaya selamat di dunia dan akhirat. Tahu ghaib dsb itu tidak beda dengan tahu lahir. Artinya dia hanya bisa lebih banyak melihat wujud-wujud yang ajaib. Tapi tujuan Islam diturunkan bukan untuk menonton yang lahir dan yang ghaib itu, tapi untuk menaati Allah dalam segala aturan syariatnya yang bergradasi itu. Jadi, kalaulah antum bercerita tentang keajaiban angka ini, jangan bawa audien antum itu hanya kepada menganga-nganga karena ketaajjuban dan keheranan saja. Tapi katakan bahwa setelah kita mengerti bahwa memang Qur'an, Nabi saww dan imam adalah Hak dan benar, mari bersama-sama mengikuti ajaran syariatnya. afwan. 

Sinar Agama: Antum cerita saja yang antum tahu, kita belajar dari antum. 

Sinar Agama: Siti-H: Saudari bisa kunjungi catatan-catatanku semoga bisa bermanfaat. Kalau ada yang mau ditanya dan atau didiskusikan juga boleh. 

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ