Tampilkan postingan dengan label Dalil Gamblang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dalil Gamblang. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Mei 2019

Urgensi Penilaian Mukmin dan Kafir dengan Dalil dan Tanpa Pemaksaan


Seri Tanya jawab Ais dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on April 3, 2013 at 1:07 am

Pengkafiran dengan dalil Syar’i, by Sang Pencinta (Catatan) on 6 Maret 2013 pukul 0:17 

Ais: Assalamualaikum..USTADZ bukankah hanya Allah yang berhak menentukan kafir/ berimannya seseorang hamba.. ? 

Sinar Agama: Ais: Jangankan kafir, muslim dan mukmin juga hanya hak Allah. Begitu pula hak membuat undang-undang hidup dan peraturan hidup serta hak ketaatan dimana kita tidak menerima seutuhnya aturan-aturanNya itu (karena kita meminuskan hukum-hukum sosialpolitik) dan dimana kita sering menentangNya dengan melakukan maksiat dan tidak melakukan wajib-wajibNya itu. 

Kehakan itu, bukan berarti sekaligus pemberitaannya. Karena kita, bisa dan diperkenankan oleh akal dan Allah dalam agamaNya, untuk memberitakan apapun sesuai dengan yang kita ketahui dan yakini dan dengan bukti (bukan mengada-ada dan fitnah yang tidak dibolehkan dalam agama serta akal). Karena itu, kita bisa mengatakan bahwa si fulan itu muslim. Begitu pula mengatakan bahwa si fulan itu kafir. 

Pemberitaan kita itu, tidak sama dengan pemberitaan Allah tentang muslim atau kafirnya seseorang. Karena kalau beritaNya, pasti benar dan kalau berita kita, belum tentu benar. 

Kebenaran beritaNya itu, karena Ia Maha Tahu dan Maha Benar, sementara ketidakpastian berita kita itu, karena ketidakmaha-an kita dalam ilmu dan kebenaran. Akan tetapi, bukan berarti kita tidak boleh bicara dan mengabarkannya. Akal dan agama, hanya melarang kita memfitnah dengan sengaja atau memberitakan apa-apa yang belum berdasarkan hujjah atau dalil yang kuat. Itu saja. 

Jadi kita, sebagaimana dibolehkan mengabarkan tentang kemusliman seseorang dengan dasar lahiriahnya atau dalil lahiriahnya yang jelas, maka begitu pula dibolehkan mengabarkan tentang kekafiran seseorang dengan hujjah lahiriah yang sama. Jadi, yang tidak boleh hanya pemfitnahan dan kebohongan. 

Jadi, kalau kita percaya kepada Allah dan agamaNya, maka kita harus menaati apa-apa yang diajarkanNya dalam agamaNya. Dan karena pemberitaan itu tidak dilarangNya dan tidak pula dikecam akal, dan hanya fitnah yang dilarang, maka kita tidak bisa membatasi pemberitaan itu kepada kemusliman seseorang saja dan bisa juga tentang kekafiran seseorang. 

Tentu saja, kafir dan muslimnya seseorang itu, harus dilihat dalam ajaranNya yang menggariskan tentang dua hal ini dan beda keduanya. Artinya, Tuhan dalam agamaNya sudah mengajarkan apa itu Islam dan muslimin dan apa itu ingkar dan kafir. 

Nah, kalau kita menerapkan ajaranNya itu kepada diri kita atau kepada orang lain, baik tentang kemuslimannya atau kekafirannya, maka jelas tidak dikecam akal dan tidak dilarangNya dalam agamaNya. 

Yang diajarkan akal dan agama adalah, harus dengan argumentasi yang jelas dan juga harus dengan penuh kehati-hatian. Karena itulah Nabi saww bersabda: 

“Siapa yang mengkafirkan seorang muslim, maka ia sendiri yang kafir.” 


Artinya, Nabi saww tidak melarang pemberitaan tentang kafirnya seseorang itu, tapi hanya 

melarang memberitakan yang ceroboh dan apalagi emosional hingga jatuh pada pengkafiran seorang muslim. Persis seperti yang dilakukan para wahabi yang tidak tahu apa arti tauhid itu hingga penerapan kafirnya juga ngawur. Enak banget mereka kalau diskusi. Kalau mengkafirkan orang, maka lancar. Tapi kalau melihat Syi’ah mengafirkan seseorang dimana hanya dalam masalah imamah sekalipun, mereka sok menjadi wali-wali Allah dan berkata bahwa hanya Allah yang berhak mengkafirkan. Lah, emangnya hanya pengkafiran yang hak Allah tapi pembid’ahan dan pemusyrikan hak para wahabi itu. Bahkan lebih dari itu, mereka sangat-sangat dengan mudah mengkafirkan orang lain hanya karena beda akidah dan informasi dengan mereka. 

Coba pemberitaan kafir itu dilarang dari awal, mestinya Nabi saww bersabda: 

“Jangan sesekali mengatakan si fulan itu kafir, karena pengkafiran itu hanya hak Allah.” 


Karena itu, di samping mengatakan kafir tanpa dalil yang nyata dan benar itu dilarang agama, juga melarang orang mengatakan kafirnya seseorang itu, juga dilarang agama. Dan sebagaimana mengatakan kafir pada seorang muslim itu dilarang agama, maka melarang orang berkata kafir itu juga dilarang agama. Hal itu karena hak membuat ajaran itu hanya Allah dan Allah tidak melarang pengkafiran itu dan hanya melarang kecerobohan tanpa dalil tersebut. 

Wassalam. 

Sang Pencinta: BA: 1110. Kafir Dalam Kamus Syi’ah dan Sunnah Oleh Ustad Sinar Agama =http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/486549254723209/ 

Illa Meilasari: Love it ....lantas apa sih urgensinya pemilahan identitas mukmin dan kafir? 

Sang Pencinta: Illa: saya di sini hanya merangkum dialog. Kalau mau jawaban yang kredibel, silahkan merujuk langsung ke ust sinar. Afwan. 

Illa Meilasari: Bagaimana caranya? Ust sinar tidak masuk daftar teman saya...jadi tak bisa kirim pesan langsung...saya sudah 2x ajukan pertemanan, tapi gak masuk list, hanya setiap ust. Sinar post...pasti saya dapat lihat. 

Sang Pencinta : Ok, nanti saya bawakan ya. 

Illa Meilasari: Bawakan apa ya? ....syukron ya akhi. 

Sang Pencinta: Bawakan ke ust mbak, sudah saya catat nama antum di pertanyaannya. 

Illa Meilasari: Iya barusan saya lihat....baru ngerti maksud bawakan ....syukron ya akhi. 

Sinar Agama: Illa: Saya memang sudah tidak bisa menambah pertemanan karena sudah melebihi 5000. 

Untuk masalah urgensinya ini jelas sekali. Karena
  • 1- Manfaat pada diri sendiri. Karena tanpa mengerti beda keduanya, lalu bagaimana kita bisa beriman dengan baik. Kalau tidak tahu benar dan salahnya, kafir dan mukminnya, lalu bagaimana kita bisa menjadi mukmin dan mukmin yang baik?? 
  • 2- Kalau kita tidak tahu keduanya, lalu bagaimana kita bisa mengajar keluarga dan anak-anak kita serta lingkungan yang memerlukan pengarahan kita? 
  • 3- Kalau kita tidak tahu beda keduanya, lalu bagaimana mau mengambil sikap dalam sosial kita? Bukankah nanti akan menjadikan taman sebagai musuh dan musuh sebagai teman? 
  • 4- Tuhan sendiri memerintahkan untuk menyampaikan ajaranNya walau satu ayat (yang sudah dipahami dengan benar tentunya). Nah, kalau yang benar tidak disampaikan dan tidak dikatakan benar, lalu yang salah tidak dikatakan salah, lalu apakah kita sudah bisa dikatakan mengamalkan perintahNya? 
  • 5- Terjerumusnya banyak muslimin ke perangkat barat, yaitu liberalism, karena mereka tidak mengerti beda keduanya dan konsekuensi dari beda keduanya itu. Dan liberalism ini, jelas merupakan alat keluar dari Islam dengan cara yang sangat cepat melebihi cepatnya cahaya. 
Wassalam. 


Illa Meilasari: Syukron ustad atas penjelasannya.... Sebelumnya saya pernah tahu kalau mukminun dalam alquran itu bermakna ahlubayt dan pecintanya....tapi ternyata tidak sekedar itu. 

Afwan....saya ini sedang banyak belajar tasyayu’... Berusaha mentasyayu’kan paradigma saya ustad. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 16 April 2019

Hukum Merasa Benar Sendiri


Seri tanya jawab Hidayatul Ilahi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:41am

HidayatulIlahi mengirim ke Sinar Agama: Rabu (27-2-2013) Salam ustad,,,,, bagaimana pendapat ustad tentang seseorang yang merasa paling benar dan orang sekitarnya adalah salah (jika tak sependapat dengannya),,, syukran wa afwan.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Merasa paling benar itu memiliki berbagai tinjauan, seperti:

1- Kalau karena kesombongan, yakni memastikan dirinya paling benar dengan tanpa memban- dingkan dengan yang lain secara terbuka di hatinya, yakni antara dia dan Tuhannya, maka jelas hal ini tidak boleh dan berbahaya terutama kalau di masyarakat berfungsi sebagai ayah, guru, pemimpin.... dan seterusnya.

2- Kalau karena argumentasi gamblang dan telah dibandingkan dengan beberapa dalil yang ia temui, maka sekalipun ini tidak bisa dikatakan sombong, tapi secara aplikasinya merupakan kembang api-nya sombong. Karena secara tidak sadar bisa masuk ke dalam kesombongan secara perlahan. Karena itu, bisa saja ia malas mendengarkan dalil-dalil orang-orang yang terlebih dianggapnya di bawah dia dalam keilmuan. Kemalasan ini, lambat laun akanmenjadi acuh tak acuh dan kemudian na’udzubillah, akan menjadi benar-benar kesombongan yang nyata.

3- Kalau karena argumentasi gamblangnya dan hanya merasa paling benar dari argumentasi - argumentasi lain yang pernah dijumpai dimana ia lihat secara ikhlash dan profesional memang lebih lemah dari argumentasinya, tapi ia tetap tidak menutup kemungkinan akan salahnya kalau bertemu dengan argumentasi lain, maka hal ini jelas tidak sombong dan tidak akan pernah masuk kedalam kesombongan selama masih dalam keadaan seperti ini. Karena itu, ia selalu akan mendengar dalil orang lain dengan bijak tanpa meremehkan dalam hati atau dalam aplikasi/ perbuatan (seperti acuh tak acuh) sekalipun secara lahiriah itu orang lebih rendah tingkat pendidikannya atau bahkan orang gila sekalipun.

Kesimpulan:

Kalau merasa lebih benarnya itu hanya dalam hati dan tetap menghargai orang lain dengan mendengarkan keterangan orang lain secara profesional, maka kalaulah ia perbuatan buruk, tidak sampai ke tingkat dosa. Tapi kalau diaplikasikan berupa peremehan, maka bisa masuk dalam dosa, yaitu kesombongan dan menyakiti orang lain yang tidak dihormatinya.

Kalau merasa lebih benarnya itu hanya dalam hati dan itupun tetap tidak menutup kemungkinan akan kesalahan dirinya kalau bertemu argumentasi lain di masa datang, dan tidak diaplikasikan berupa berbagai akhlak yang buruk seperti meremehkan orang lain, menghina, mencaci, memasukkannya ke dalam neraka, melarangnya masuk surga...dan seterusnya..., maka hal itu bukan hanya tidak dosa dan tidak buruk, tapi bahkan merupakan fitrah dari setiap manusia.

Kalaubukankarenafitrahtersebut,lalubagaimanabisamanusiamengambilsikapdalamberbagai agama atau madzhab yang ada dan memilih salah satudiantaranya???!!!

Wassalam.

Hidayatul Ilahi: Afwan ustad,,,,jika misalnya ia selalu menegur orang-orang sekelilingnya yang ia anggap salah karna tak sependapat dengannya sesama syiah apa lagi Sunni, menyalahkan mereka yang hanya dengan tolak ukur banyak mendengar/membaca,,, jadi bukan dengan tolok ukur pengaplikasiannya terhadap kebenaran yang ia dengar dan baca itu,,,,itu gimana ustadz?

Sinar Agama: H.I: Benar salah itu dengan ilmu dan dalil. Kalau fikih, maka harus merujuk fatwa. Dan kalau akidah, maka harus merujuk kepada dalil akal. Karena itu, kalau nasihatnya disertai dalil yang benar dari kedua jalur dalil ini, maka boleh dilakukan dan kita mesti mendengarnya. Tentang niat dia apa, itu urusan dia kepada Allah. Tapi kalau nasihatnya bukan dengan dalil, maka kita tidak mesti memperhatikannya dalam hal-hal yang kita yakin bahwa diri kita benar dengan dalil.

Wassalam.

Marwah Ali: Sangat gamblang : Benar salah itu dengan ilmu dan dalil. Kalau fikih, maka harus merujuk fatwa. Dan kalau akidah, maka harus merujuk kepada dalil akal. Karena itu, kalau nasihatnya disertaidalil yang benar dari kedua jalur dalil ini,  maka boleh di lakukan dan kita mesti mendengarnya. Tentang niat dia apa, itu urusan dia kepada Allah. Tapi kalau nasihatnya bukan dengan dalil, maka kita tidak mesti memperhatikannya dalam hal-hal yang kita yakin bahwa diri kita benar dengandalil.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 19 September 2018

Dasar dan Tauladan Karbala



Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama 


by Sinar Agama (Notes) on Monday, July 30, 2012 at 8:19am


Muhammad Dudi Hari Saputra: Salam ustadz.. Inspirasi apa yang bisa kami ambil dari tauladan imam Hussain terutama ketika para pencinta ahlul-bayt mendapat tantangan yang berat akhir- akhir ini? 

Syukron ya Afwan..


Sinar Agama: Salam dan terimakasih petanyaannya: Banyak sekali tauladan yang dapat diambil, seperti: 

1- Berjalanan di atas jalan yang benar secara profesional dan dalil gamblang. 2- Kebenarannya juga dinyatakan secara gamblang tapi penuh kesantunan. 

3- Kebenarannya selalu dapat dibuktikan kebenaran dirinya dengan mudah di setiap saat dan, selalu dapat menangkis serangan-serangan penyesatan dengan ilmu atau dalil gamblang dimana tidak mencampurkan urusan-urusan perasaan ke dalamnya. 

4- Mengaplikasikan kebenarannya dengan bijak, kokoh dan tidak memaksa siapapun. 

5- Mempertahankan kebenarannya dengan bijak, kokoh, tidak memaksa orang lain dan sampai titik darah penghabisan secara profesional. Artinya, kalau dalam rangka pertahanannya terhadap kebenaran itu memang menginginkan secara dalil gamblang, sampai ke titik darah penghabisan, maka dipertahankannya sampai titik darah penghabisan. Karena itulah imam Husain as, sebagaimana ditulis sejarah, pertamanya meminta kembali saja ke Madinah kepada musuh-musuhnya, yang segera ditolak oleh jendral mereka yang bernama Hur yang segera memberikan pilihan pada imam Husain as untuk tidak memilih jalan Kufah dan Madinah yang, terpilihnya jalan yang dipilih itu akhirnya mengantar mereka ke tanah yang dikenal Karbala itu. 

Dan ketika musuh-musuh itu sudah bertambah yang ternyata adalah orang-orang yang telah mengundangnya untuk datang-pun (akan tetapi, mereka-mereka yang memang tidak percaya pada kemakshuman dan kepemimpinan imam Husain as dan mengundangnya hanya atas dasar paling tepatnya orang untuk memimpin umat sebagaimana mereka-mereka dulu juga ikut, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Mu’awiyyah, maka pada waktu itupun mereka sudah berubah kepada Yazid bin Mu’awiyyah yang menjanjikan harta dan kekuasaan serta mengancam dengan bengis untuk membantai penentangnya), imam Husain as tetap saja tidak pernah memulai perang dan mengajak berperang. Dan baru setelah diserang itulah imam Husain as mempertahankan diri. 

Pertahanan imam Husain as juga tidak dimulai dengan pedang. Akan tetapi dengan bayan- bayan atau keterangan-keterangan yang logis, Islamis dan bahkan perasaan yang diarahkan oleh akal dan agama, seperti kecucuannya terahdap Nabi saww (dalil ini tidak batal kalau tidak dibarengi dengan maksiat dan imam Husain as sudah tentu tidak maksiat dan pada waktu itupun di jalan yang benar), atau seperti mengingatkan mereka bahwa merekalah yang mengundangnya datang, atau seperti mengungkit anak-anak dan para perempuan terutama yang merupakan keluarga Nabi saww. 

6- Benar-benar berjalan karena Allah dan tidak mencampurinya dengan rasa/perasaan sedikitpun dan, apalagi hawa nafsu emosional dan semacamnya. Karena itulah beliau as dapat dengan mudah memaafkan yang kembali ke jalanNya seperti si Hur itu sendiri. 

7- Dalam keadaan perangpun, imam Husain as, tetap berusaha mencegah perang itu dengan sabar dan dengan dalil-dalil Qur'an, akal dan lain-lainnya itu. Artinya, tidak pernah putus asa dalam memberikan petunjuk kepada umat yang sekalipun sudah melecehkan dan membantai shahabat dan keluarganya sekalipun. Semua itu, dilakukannya hanya demi Islam dan umat itu sendiri supaya selamat di dunia dan akhirat. 

8- Dengan semua isyarat-isyarat di atas itu, maka jelas bahwa imam Husain as itu sudah syahid sejak lama sekali sebelum kesyahidannya. Karena itu, maka sudah semestinya kita syahid sebelum berdakwah dan berjuang hingga tidak mencampurkan perasaan, ego, emosi dan kebodohan-kebodohan kita ke dalam agama dan perjuangan kita. 

Kesimpulan

Makrifat/ilmu yang kuat dan gamblang serta siap diuji kapanpun dan oleh siapapun, aplikasi diri yang profesional yang tanpa dibarengi dengan ego-ego diri dan hawa nafsu hingga mencapai taqwa yang hakiki (syahid sebelum syahid), penyampaian yang tidak dibarengi niat apapun kecuali Allah hingga tidak pernah berhenti walau dalam hujan panah dan keberingasan pedang umatnya, pertahanan dan perjuagan yang profesional dan bertahap secara profesional serta ulet (istiqamah) sampai tak mampu berkata-kata karena tenggorokannya digorok, mungkin, merupakan dasar dari nilai-nilai perjuangan imam Husain as tersebut yang wajib kita teladani. 


Tentu saja masih banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik di dalamnya, karena setiap nafas-nafas beliau as itu merupakan nilai Islam yang dapat dibuktikan dengan mudah sesuai dengan ayat-ayat Qur'an dan hadits-hadits Nabi saww. 

Wassalam. 



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 07 September 2018

Logika (Bgn 4) “Akal Pahaman dan Akal Amali”



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:25



ENg’guh Al Ghifari : Salam ustad,, terima kasih banyak ustad atas jawabannya, afwan ustad saya ingin bertanya lagi, apakah benar ilmu bukan untuk di pahami dan pemahaman yang hakiki tardapat pada pelaksanaan hidup, itu baru makna suatu keilmuan. (Pertnyaan ini dari jawaban teman saya ustad, teman saya sendri memahami tntang ilmu yang dia pahami sperti itu.) Syukran ustad.

Sinar Agama : Salam dan terima kasih pertanyaannya, Ilmu jelas untuk dipahami. Dan ilmu, bukan gambaran akal atau keyakinan tanpa dalil, kecuali memang tidak ada predikatnya, seperti putih, panas, manusia, api, gunung dan seterusnya. Tetapi kalau mengandung hukum atau predikat, dan tidak tergolong ilmu mudah seperti api itu panas, maka harus memiliki dalil. Dan dalilnya harus bermuara pada ilmu mudah.

Dengan dua poin di atas itu dapat diketahui bahwa tidak mudah mengatakan ilmu pada sesuatu yang tidak mudah. Karena harus memiliki dalil yang bermuara pada proposisi atau stattement mudah seperti “api panas” itu. Dalam Qur'an dan hadits terlalu banyak yang memerintah kita untuk mencari ilmu, dimana kalau ilmu itu adalah ilmu agama maka yang mati di jalannya adalah mati syahid, dan selalu mendapat karuniaNya. Sampai-sampai dikatakan dalam suatu riwayat: “Orang yang beramal tidak diatas dasarkan pada ilmu, maka ibarat musafir yang tidak berjalan di atas jalannya.

Karena itu, kecepatan jalannya, tidak akan menambah apapun kecuali semakin jauhnya dari tujuannya.” Karena itu salah satu kewajiban yang termasuk terbesar dalam Islam, adalah kewajiban belajar ilmu akidah dan fikih.

Orang yang tidak belajar fikih keseharian adalah dosa hukumnya. Namun demikian, walau ilmu dan menuntutnya agama itu adalah kewajiban dan memiliki pahala yang tinggi dan yang mati di jalannya adalah mati syahid, akan tetapi dalam tingkatan yang lebih tinggi, ia adalah hijab. Artinya hijab yang berupa cahaya dan petunjuk.


Karena ilmu adalah hidayah dan petunjuk, seperti manual bagi setiap barang elektronika yang kita beli. Namun, kalau ia tidak diamalkan, dan dicintainya tanpa menyintai aplikasinya, maka ia adalah hijab. Artinya hijab bagi tingkatan yang lebih tinggi itu. Saking ditekankannya aplikasi itu, hingga imam Ali as. mengatakan bahwa: “Orang yang tahu tapi tidak beramal, maka ia tidak tahu.”. Hal itu karena kalau tahu itu ada tahu akli yakni pemahamannya, dan tahu/ilmu amali yakni yang menyuruh kita mengaplikasikannya. Yakni akal itu ada dua: akal pahaman dan akal amali.

Karena itu maka konsekwenan akal yang berupa ilmu, juga akan ada dua, yaitu ilmu pahaman dan ilmu amalan (bc: ilmu kita yang menyuruh bahwa ilmu yang benar itu harus diaplikasikan dalam kehidupan). Dengan penjelasan di atas itu, maka ilmu dan mencari ilmu itu adalah syarat bagi keselamatan. Namun demikian ia tidak lengkap kecuali dengan aplikasinya. Wassalam.

Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin dan 5 orang lainnya menyukai ini. 


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 26 Agustus 2018

Logika (Bgn 1)



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:20


Fluktuasi Manusia = Ketika manusianya manusia itu ditentukan akalnya, maka dalam hal apapun, seperti tentang dirinya, Tuhannya, agamanya, keluarganya, tetangganya, temannya, lingkungannya, negaranya, dunianya, bisnisnya, seninya, ilmunya, hukumnya, politiknya, kerjanya… dst.. Haruslah diukur dengan akalnya. Jadi, kapan saja ia tinggalkan AKAL dan masuk dalam INGIN, maka kala itulah ia bukan lagi manusia.

Dan AKAL = DALIL GAMBLANG.

Bento B D’Blueisland : Bagaimana dengan daya imajinasi & daya khayal ustadz? Termasuk dalam Akal atau Ingin? Atau malah tidak ada hubngan sama sekali? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Mujahid As-Sakran : Ustad, kaitannya dengan qalbu gimana? Sering disalahfahami antara aqal dengan qalbu, mohon pencerahannya, syukran.

Sinar Agama
Jawaban untuk Bento:

1. Khayal itu ada dua makna, filosofis dan umum. Kalau Filosofis, semua gambaran yang ada di akal itu adalah khayal. Khayal ini dibagi dua, memiliki hukum (subyek predikat) atau tidak, yang tidak dikatakan Gambaran/khayal, dan kalau memiliki hubungan hukum atau diterangkan menerangkan dan diyakini kebenaran atau kesalahannya maka dikatakan Yakin, dan kalau tidak diyakini keduanya, dikatakan Gambaran/khayal. Sedang makna umumnya adalah pikiran yang melantur.

2. Dengan sedikit mukaddimah itu, maka ketahuilah bahwa Akal secara filosofis adalah: Pahaman universal. Tapi makna tersiratnya adalah: Pahaman Universal dan penerapannya pada individunya serta memajukan khazanahnya dan memperbaiki kekeliruan info dan argumentnya.

3. Jadi, selain itu, maka ia adalah bagian dari Ingin atau Rasa atau Nafsu. Artinya, gambaran yang ada di akalnya itu hanyalah sebuah gambaran bagi kepengaturan daya-daya ruh yang dibawahnya, seperti hewani, nabati dan tambangi. Walaupun maksudnya di sini adalah yang hewani karena ia adalah rasa dan gerakan ikhtiar.

4. Resep umumnya, seperti yang kutulis di status itu bahwa Akal = Dalil Gamblang. Yakni Akal yang dimaksudkan dalam status tersebut adalah yang argumentatif gamblang.

Jawaban Untuk Mujahid:

1. Qalbu itu dalam bahasa Arab bisa bermakna Akal. Ini makna bukan kiasan atau majazi atau simbolik dan semacamnya, tetapi memang secara hakikinya. Jadi, makna itu ada dalam kitab-kitab kamus bahasa arab, Qur'an, Hadits, syair-syair arab dan percakapan keseharian arab.

2. Makna ke duanya, adalah hati. Yang dimaksudkan hati di sini adalah yang memompa darah. Dan ini tidak ada hubungannya dengan ilmu kecuali ilmu kesehatan.

3. Makna ke tiganya adalah hati. Yang dimaksud dengan hati di sini adalah tempat rasa dan perasaan manusia, seperti cinta, benci, marah, sabar, rindu, ...dan seterusnya.

4. Dengan sedikit mukaddimah itu akan menjadi mudah mengembalikan masalahnya kepada hati yang dimaksudknannya. Dan, sudah tentu, qalbu yang menjadi pedoman hidup dan harus ditaati adalah yang bermakna akal, bukan perasaan. Dan bahkan yang perasaan ini harus dipimpin oleh akal, yakni oleh argument. Jadi, kalau bingung maka harus mencari dalil dan argumentnya, bukan kembali ke hati yang perasaanis ini.

5. Hati yang perasaanis ini bisa jadi ukuran kalau ia sudah bersih dari keinginan yang tidak diridhai Tuhan. Dan cara membersihkannya adalah dengan cara membiasakannya mengikuti akal (argument). Dan kalau sudah sampai ke tingkat tinggi, seperti maksum, maka ia bisa menjadi cermin bagi kebenaran di alam nyata. Tetapi sebelum itu, jangan sekali-kali mengikutinya, apalagi manakala dalam keadaan bertentangan dengan akal.

6. Memang, hati yang perasaanis ini, bisa dijadikan pengingat, baik kita punya dalil akan kebe- narannya atau tidak. Artinya pengingat agar kita lebih hati-hati dalam menyusun argument dan dalil. Tetapi pedoman terakhirnya tetap akal dan dalil itu.

7. Orang yang ikut akal dan dalil, kalau salah, asal bukan karena egois, sombong dan fanatik dan lain-lain sebab yang bisa mengeluarkan akal dari dalil, maka ia akan dimaafkan Allah, dan cara hidupnya akan dihitung sebagai ibadah dan dipahalai.

Tetapi kalau mengikuti perasaan dan dijadikan pedoman, maka kalau salah tidak akan mendapat ampunan dan kalau benar, belum tentu diberi pahala. Karena ia mengikuti yang ia suka, bukan kebenaran, dan menghindari yang ia tidak suka, bukan yang dilarang Tuhan.

Jadi, sebagaimana amal itu tergantung niatnya, maka pahala dan tidaknya pun akan tergantung niatnya ini, bukan hanya karena mengikut benarnya dan menghindari salahnya. Tetapi karena apa dan siapa mengikuti yang benar dan menghindari yang salah.

Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Ammar Dalil Gisting, Heriyanto Binduni dan 10 lainnya menyukai ini.


Kharisma Kahr: Salam.. maaf ustad, boleh bertanya.. maksud poin ke 6 itu bagaimana ustad? Boleh saya tau contohnya, hati yang perasaanis bisa dijadikan pengingat baik kita punya dalil ataupun tidak..

Zainal Syam Arifin: Ijinkan saya yang dhaif ini ikut berkomentar pak ustadz : Jika kita bahas makna kedua tentang qalbu maka yang lebih tepat adalah hearth (jantung) bukan liver (hati). Dan ini sangat sesuai dengan tafsiran ahlul bayt (Imam ‘Ali) yang menyebutkan segumpal daging dan pembuluh darah dan hanya jantung yang berbuat begitu. Begitu pula di al Qur’an qalbu selalu disebutkan di dalam dada, sedangkan liver (hati) letaknya di bawah rongga data sebelah kanan (bukan termasuk rongga dada). Maka sebaiknya kita mengikuti cara sebutan orang barat atau tetap memakai bahasa arab. Kalaupun mau pakai bahasa Indonesia kenapa tidak dipop- ulerkan dan dibiasakan untuk menyebut “jantung”? Afwan pak ustadz.

Sinar Agama: Sufa: Maksud hati di situ adalah Ruh yang berdaya Hewani. Ruh manusia itu kan memiliki 4 daya: Daya tambang; Daya nabati; Daya Hewani; dan Daya akal. Daya tambang adalah yang mengatur atom-atom badan. Daya Nabati adalah yang mengatur pertumbuhan badan. Daya hewani adalah yang mengatur rasa-rasa dan perasaan, seperti cinta, benci, marah, sakit hati, suka, tidak suka ..dan seterusnya. Sedang Daya akal adalah yang mengatur akal dan pemikiran kita. Ruh kita itu satu dan non materi, akan tetapi dalam satunya itu, memiliki 4 daya yang tidak bisa dipisah seperti bagian-bagian materi.

Nah, pada poin 6 itu, hati yang dimaksud adalah perasaan manusia tersebut. Jadi, kadang ia menjadi petunjuk bagi kita terhadap kebenaran. Misalnya menyintai orang shalih atau imam- imam as dan nabi-nabi as. Akan tetapi karena kebelumtentuan benarnya perasaan tersebut, maka harus terlebih dahulu dibangunkan argumentnya.

Sinar Agama: Mas Zainal: Untuk masalah hati dan Qalbu ini sepertinya saya sudah menjelaskan- nya di asal tulisan di atas.

Dan dada itu, tidak mesti bermakna dada yang terdiri dari tulang dan daging ini. Tapi bisa juga perasaan itu. Karena itu maka penyabar dikatakan lapang dada. Artinya perasaan emosinya dapat ditekan dan perasaan pemaaf dan penyabarnya dilapangkan.

Karena, hati atau jantung atau apa saja, kalau ia berupa bagian materi dari badan, maka tidak berhubungan dengan pengetahuan, perasaan dan pemilihan apapun. Ringkasnya tidak ada hubungannya dengan ikhtiar dan perbuatan manusia.


3 Agustus 2011 pukul 20:52 · Suka · 2


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ