Tampilkan postingan dengan label Kasyaf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kasyaf. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Juni 2020

Syafaat ( Rosul SAWW, dan Aimmah AS ) di Alam Kubur


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/241220355922768/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 31 Agustus 2011 pukul 4:19


Vito Balataw: Salaamualaikum, afwan ya ustad... ana sempat membaca keterangan di alam kubur/ barzakh para pemberi syafaat ( Rosul SAWW, dan Aimmah AS) tidak memberikan syafaatnya, mohon penjelasannya ustad. Afwan.

Rabu, 22 Agustus 2018

Lensa (Bgn 20): Mengartikan Mimpi



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:26


Shifa Albar: Salam alaikum, saya mau bertanya apakah semua orang mempunyai kemampuan untuk mengartikan mimpi kalo dipelajari atau kemampuan ini hanya dimiliki oleh nabi dan imam?

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya, 

Mimpi itu bisa diketahui dengan kebiasaan. Tetapi masalahnya, jangan dipastikan. Karena itu kalau mimpi jelek jangan dipastikan, tetapi banyak sedekah, shalawat dan semacamnya. Jangan ditakuti sebegitu rupa hingga memberikan energi negatif yang dalam Islam dikatakan berburuk sangka pada Tuhan. 

Begitu pula kalau mimpi baik. Jangan dipastikan, supaya kalau tidak mendapatkannya, tidak menjadi kecewa. Terutama kalau berurusan dengan akhlak, misalnya sudah diterima Tuhan, sudah tinggi derajat dan seterusnya. Karena bisa saja tampilan itu dari syethan untuk mengibuli kita. 

Biasanya mimpi itu bisa dirasakan maknanya oleh si pemimpi tadi. Tetapi ingat, hal itu tidak pasti, dan hadapilah kedua jenis mimpinya dengan cara-cara di atas itu. 

Ada lagi megetahui mimpi lewat tafsir mimpi yang biasa atau ditulis oleh para ulama yang ahli dalam hal ini. Akan tetapi, tetap tidak boleh dipastikan. Karena hakikat mimpi, memiliki makna yang sesuai dengan keadaan masing-masing orang. Terutama kondisi batinnya. Jadi, bermimpi melihat api, bagi dua orang yang berbeda, bisa memiliki makna yang berbeda. 

Untuk tafsir mimpi yang dibukukan itu, bisa diambil contoh tafsir mimpinya Ibnu Syiriin. 

Setelah itu, mimpi itu bisa diketahui dengan kasyaf. Akan tetapi, walaupun ia sudah bisa dipastikan, tetap tidak bisa dipastikan. Karena bisa saja terjadi bada’ pada keputusan Tuhan yang disebabkan perubahan pada makhluk atau kebijakanNya. Bada’ adalah perubahan keputusanNya. Misalnya, ketika kita berdosa, maka keputusanNya terhadap kita adalah dosa dan siksa. Akan tetapi setelah Ia melihat kita bertaubat dan Ia menerimanya, maka keputusanNya tadi menjadi berubah hingga menjadi memaafkan kita dan memasukkan kita ke surga. 

Jadi, dengan apapun mimpi itu dijangkau maknanya, tetap pintu ikhtiar dan perubahan itu terbuka bagi kita. Hal itu karena Tuhan Maha Kasih dan Tidak Terburu-buru menyiksa manusia. Wassalam. 

Tika Chi Sakuradandelion dan 2 orang lainnya menyukai ini.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 20 Agustus 2018

Lensa (Bgn 11): Sikap Diam Imam Ali as



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:06



Dari sejarah dan riwayat, kita tahu setidaknya Sayyidah Fathimah as dianiaya beberapa kali. Misalnya, ditonjok Umar hingga memar mukanya, yaitu dikala beliau as kembali dari rumah Abu Bakar dan telah berhasil mendapat surat tanah Fadak yang dirampas oleh Abu Bakar sebelumnya. Yakni, ketika beliau as pulang dari rumah Abu Bakar itu, di tengah jalan, bertemu dengan Umar. 

Umar berkata: “Dari mana?” Dijawab: “Dari rumah Abu Bakar”. Ketika Umar melihat surat ditangannya, maka ia mengerti bahwa sudah pasti surat itu adalah surat pelimpahan tanah Fadak, karena dalam perampasannya, memang dilakukannya berdua dengan Abu Bakar sementara Abu Bakar sering menyesali dan menangis dengan keputusannya membuat kudeta kekhilafaan dan merampas tanah Fadak itu. Maka karuan saja Umar langsung merampas surat tersebut sambil memukul beliau as yang lemah itu seraya merobek habis surat tersebut. 


Ketika siti Fathimah as sampai di rumah yang sembari menangis, melihat imam Ali as sedang duduk di rumah. Beliau as mengatakan kepada imam Ali as: “Ya Ali, andaikata kamu tahu apa yang dilakukan orang kepadaku, maka kamu tidak akan duduk tenang seperti ini”. Imam Ali as menjawab: “Aku tidak akan keluar selangkahpun dari yang telah digariskan Rasulullah saww”. 

Misalnya, ketika rumah Sayyidah Fathimah as dibakar oleh Abu Bakar yang mengutus pasukan yang dipimpin Umar. Dibakar karena ingin memaksa imam Ali as keluar dan berbaiat kepadanya (Abu Bakar). Kala itu, rumah Sayyidah dibakar pintunya, dan ketika pintu dan palangnya (kunci dari dalam pada masa itu) sudah terbakar maka ditendang dari luar sementara beliau as ada di balik pintu yang selalu berteriak “Apa yang kalian lakukan, tidak takutkah kepada Allah, Nabi saww baru saja meninggalkan kalian, aku adalah putri Muhammad saww nabi kalian, dan seterusnya”. Tapi semua kata-kata itu tidak membuat mereka terhanyut, bahkan mereka menendang pintu itu dan mengenai beliau as yang sedang hamil, hingga beliau as tersungkur ke bumi dengan rusuk patah dan kandungan gugur. 

Oh...tak sanggup rasanya kuteruskan tulisan ini, tapi ada daya...harus kutulis pula, harus kutulis....ya ...Zahra’....ya.... Husain....maafkan ...maafkan....bukan maksud hati mengurai kembali masa-masa pahit dan penghinaan terhadap antum semua, tapi karena antum sendiri yang memerintahkan kami semua untuk menceritakan musibah-musibah antum, maka maafkan kelancangan jemari kami hingga melukis robohnya, gugurnya kandungannya...dan seterusnya. 

Masih banyak pengenaiayaan yang beliau as rasakan, tapi kita cukupkan di dua contoh ini saja. Pembahasan yang bisa kita lakukan pada dua peristiwa yang menyayat hati itu banyak sekali. Tapi saya akan mengurai sedikit saja, 

Pada Misal pertama

1. Imam Ali as sudah tahu peristiwa itu terjadi, baik melalui Nabi saww atau kasyafnya. Ketidak bereaksian beliau as sudah diperintahkan Nabi saww. Artinya Nabi saww dalam hal tersebut menyuruhnya sabar dan tidak bereaksi. 

Karena imam Ali as pernah membanting Umar di tempat umum sambil berkata: “Yang ini Rasul saww tidak berpesan”. Yakni ketika imam Ali as menguburkan Sayyidah Fathimah as secara tersembunyi dan membuat 40 kuburan palsu di Baqi’. Karena Sayyidah Fathimah as ingin membuat bukti bersejarah tentang adanya prahara dan kudeta terhadap imam maksum setelah Nabi saww dimana telah menyelewengkan para shahabat dan muslimin dari imam maksumnya dan jalan-lurusnya alias shiratulmustaqimnya maka beliau berwashiat kepada imam Ali as untuk tidak disembahyangi dan dikuburkan oleh musuh-musuhnya. Oleh karena itulah imam Ali as menguburkan beliau as di malam hari. 

Umar, yang memang sudah tidak disapa oleh sayyidah Fathimah as sejak masih hidup dan akan diadukan ke Allah dan Rasul saww nanti di akhirat (Shahih Bukhari, Muslim dan lain- lain), mencium taktik Sayyidah as itu, atau setidaknya takut kejahatannya disaksikan sejarah dengan tidak ketahuannya kubur beliau as. Karena itulah ia, dengan mengajak seluruh penduduk Madinah (karena takut kepada imam Ali as kalau maju sendirian) untuk berkumpul dan mengajak mereka menggali kuburan-kuburan itu lagi untuk menemukan Sayyidah as dengan alasan penghormatan dengan berkata: ”Putri Rasul saww telah meninggalkan kita, tapi kita belum menyolatinya, mari kita bongkar lagi kuburan-kuburan ini dan menyolatinya demi hormat kita dan syukur kita kepada Nabi saw. 

Setelah imam Ali as tahu apa yang dilakukan Umar, maka beliau as langsung mengambil Dzulfiqar dan memakai surban merah yang kebiasannya dipakai kalau perang sedang dahsyat. Imam Ali as datang dan langsung membanting Umar dengan sekali gibas saja sambil berkata: “Demi Allah akan kubelah kamu menjadi dua sebelum menyentuh kuburan- kuburan itu, karena Nabi saww tidak berpesan tentang hal ini”. Umar yang memang sangat takut kepada imam Ali as itu, berkata:”Bagaimana kalau kami semua membongkar kuburan- kuburan itu?”. Imam Ali as menjawab:” Sekalipun”. Yakni sekalipun semua orang Madinah berusaha menyentuh kuburan-kuburan itu, maka akan kuperangi semuanya. 

Haidar/Singa sudah keluar, pintu Khaibarpun yang buka-tutupnya perlu 12 orang diangkat hanya dengan tangan kirinya, maka siapa yang berani mendekatinya? 

2. Semua kejadian itu ada sanad dan riwayatnya, yang sebagiannya di sunni (seperti penyerangan ke rumah dan perampasan tanah Fadak serta penyesalan dan tangisannya Abu Bakar) dan sebagian lainnya di syi’ah (bc: lebih detail). 

Dengan penjelasan di atas, kita menjadi tahu bahwa semua yang dilakuakan imam Ali as, baik diam atau tidaknya, sudah digariskan Tuhan melalui Rasul saww. Dan sudah selayaknya sebagai orang Syi’ah tidak mempertanyakan apa yang dilakuakan para imam as, sekalipun boleh saja menanyakannya atau mencari hikmah di dalamnya. 

3. Guru saya, pernah saya tanyai: "Bukankah sepintas terlihat dari sejarah dan riwayat pertama itu bahwa kedua maksum beda pandangan, karena Sayyidah Fathimah as menginginkan dari imam Ali as untuk membalas Umar, sementara imam Ali as tidak menginginkan hal itu karena bersandar pada perintah dan pesan Rasul saww?”. Beliau menjawab: “Ilmu-ilmu kasyaf, tidak menjadi ukuran fikih dan kehidupan keseharian, karena kalau hal itu terjadi, maka kita, tidak akan pernah tahu apa-apa terhadap yang dialami Ahlulbait as”. Jadi, kalau sepintas kita melihat adanya dua keinginan berbeda dari dua maksum as, maka hal itu bukan berarti merusak kasyaf dan apalagi kemaksuman mereka. Karena mereka harus (kewajiban agama dan akal) sebagaimana hidupnya manusia lahiriah atau biasa. Walaupun, sudah tentu, tetap tidak keluar dari garis kemaksuman atau tidak keluar dari ketaatan atau masuk ke dalam larangan Allah (tidak maksiat). 

Pada Misal ke dua

1. Pada kejadian itu, tentu saja, setelah pintu terdobrak, mereka menyerang masuk dan mengikat imam Ali as dan ditariknya ke masjid untuk berbiat kepada Abu Bakar hingga terjadilah baiat yang terkenal itu yang, selalu dijadikan dalil oleh pembela yang pertama sebagai bukti kebenarannya karena imam Ali as sudah baiat. Padahal, dengan pintu dibakar dan didobrak dan dalam keadaan terikat dimana kalau tidak baiat pada waktu itu diancam akan dipenggal kepalanya. 

Abu Dzar yang pemberani, tidak tahan melihat kejadian itu, dan langsung mengeluarkan pedangnya dan menantang Umar untuk bertanding. Tapi imam Ali as segera memerintahkannya untuk menyarungkan lagi pedangnya dan bersabar. 

Yang mampu mengikat imam Ali as hanya pesan dan perintah Rasul saww, sementara rantai besipun tidak akan mampu menahannya sebagaimana pintu Khaibar. 

2. Pada kejadian itu, ketika imam Ali as sudah diikat dan diseret ke masjid, Sayyidah Fathimah as sempat menahan imam dan suaminya itu dengan memegangi bajunya, akan tetapi para penyerbu menebas tangannya dengan pedang yang bersarung, hingga terlepas. 

Ya ...Zahra’...ya Husain...kami bersaksi terhadap kemazhluman antum semua. ‘Alaikum minna jami’an salamullah ma baqayna wa baqiya al-lailu wa al-nahar.

Simpulan: Dari dua contoh riwayat di atas, dapat dipahami bahwa imam Ali as tidak menolong dalam penyerbuan ke rumah Sayyidah Fathimah as itu karena beliau sendiri menghadapi serangan dan justru karena beliaulah as (imam Ali as) rumah beliau as (Sayyidah Fathimah as) diserang. Dan sudah tentu keterdiaman imam Ali as, karena perintah dan pesan Nabi saww, bukan karena takut dan apalagi tidak acuh terhadap istri. Begitu juga pada kejadian pertama. Yakni, diamnya imam Ali as, karena perintah dan pesan Rasul saww. Sudah tentu demi Islam secara lahiriah sebagaimana banyak dibahas dalam filsafat sejarah. 

Bagi hemat saya, para pengkudeta itu, justru semakin menjadi-jadi karena melihat imam Ali as tidak melawan dimana dapat dipahami oleh mereka bahwa begitulah pesan Nabi saww, yakni tidak melawan. Jadi, hal itu dijadikan kesempatan oleh mereka. Karena kalau imam Ali as sudah mencabut Dzulfiqrnya, maka siapa yang berani mendekatinya? Ya....Haidar...ya ...Haidar... 

Jawaban saya ini, tidak saya ijinkan untuk dijadikan huru hara kepada saudara-saudara kita Ahlussunnah, karena kita harus menjaga persatuan. Saya menjawab ini, karena yang bertanya adalah orang Syi’ah, maka saya tidak bertakiah dalam menerangkannya. Oleh karena itu pula saya tidak terlalu melelahkan diri untuk menyebutkan alamat setiap riwayatnya. 


Artinya, saya menulis jawaban ini kepada orang syi’ah yang mempercayai gurunya yang juga syi’ah bahwasannya tidak mengarang dari kantongnya sendiri. Walau, sudah tentu, hubungan guru dan murid ini sebatas lewat alam maya fb ini. Semoga batin kita semua memanglah diikat olehNya dalam kebaikan setidaknya, sekalipun tidak dalam hubungan guru dan murid, karena saya tidak layak menjadi guru, para hati yang begitu tulus terhadap kebenaran. 

Wassalam. 

Ikhwan Abdullah JongJawi, Khommar Rudin, Irsavone Sabit dan 27 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Sulaeman Eman لّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد وعَجِّلْ فَرَجَهُ

Sulaeman Emanلّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد وعَجِّلْ فَرَجَهُ 

Sulaeman Emanلّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد وعَجِّلْ فَرَجَهُ

Alie Sadewo: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

MOhd. Arvian Taufiq: Sallam Alaika Ya Rosulullah, sallam Alaika ya Imam, Ya Zahra...sungguh membaca penjelasan Ustad, membuat mata ana tergenang air mata. Syukron ustad sudah meringankan dan memberanikan penjelasannya yang sangat tajam dan gamblang. Semoga antum selalu dalam kebaikan dan kesehatan. 

Eman Sulaeman: Allahummal’an Muawiyah wa Syiatuhum ilaa yaumil qiyamah. 

Edo Saputra: Asalamualaiki ya syaidah Fatimah,, aku ikut bersedih atas deritamu, namamu dan hatimu begitu indah, bagaikan rembulan yang sedang bersinar,,, Oh syaidah Fatimah,,, engkaulah satu- satu putri rosul yang sangat dicintai, hingga namamu selalu terukir di hati nabi, tahukah engau ya Fatimah,,, di hati ayahmu hanya ada Allah swt, dan sungguh agung diri mu wahai putri rosulluloh, tidak ada seorangpun yang mempunyai kedudukan di hati rosul hanya Allah swt, dan dirimu. Tahukah engkau wahai wanita penghuni surga, bahwa engkaulah adalah salah satu Wanita yang mendapat ridho NYA. 

2 November 2012 pukul 12:14 · Suka · 4


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 04 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 12)




Seri Tanya Jawab: Sulaim Hilmi dan Ustad Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 7:26 am


Sulaim Hilmi: Assalamualaikum ustadz, Afwan ana mau bertanya: 

1. Apakah benar nabi Muhammad buta huruf (nabi yang ummi) sampai akhir hayatnya, lantas bila benar penulisan segala simbol huruf terhadap yang dimaksud oleh beliau siapa yang mengontrolnya? 

2. Banyak sekali kitab keilmuan yang ditulis Imam Ali seperti Najhul Balaghah yang menunjukkan beliau tidak buta huruf, siapa guru beliau dalam hal kemampuan sastra yang demikian tinggi. 

Sinar Agama: Salam wr wb: 

1. Rasul saww memang buta huruf karena berbagai alasan dan hikmah. Misalnya kalau pandai menulis orang akan mengira bahwa Qur'an itu adalah tulisannya. Setidaknya akan perlu proses panjang untuk meyakinkan masyarakat dimana akan mengganggu pangajaran aga- ma, itupun kalau pada akhirnya ada yang percaya, dan kalau tidak ada, maka sampai akhir kandungan Qur'an tidak bisa diajarkan. 

2. Nabi tidak perlu baca-tulis, karena Nabi saww mencapai ilmu dengan tanpa melalui baca-tulis. Jadi walau buta huruf bagi kita adalah kekurangan, tapi bagi Nabi saww, bukan kekurangan, karena Nabi saww tahu semua itu dan bahkan hati kita tanpa melalui huruf dan tulisanya. Ibarat Nabi saww tidak punya pancing tapi punya ikan sebanyak alam semesta, jadi bukan aib kalau Nabi saww tidak punya pancing. Begitu pula tentang alat mencari ilmu ini, yakni baca tulis. 

3. Mungkin saja guru baca tulis imam Ali as itu adalah ayahnya Abu Thalib, dan mungkin juga sebelum Islam. 

4. Nabi saww yang nafas-nafasnya adalah wahyu Tuhan lebih sastrais dari imam Ali as. Jadi Rasul saww berada di peringkat pertama dalam segala hal. Akan tetapi karena mungkin supaya orang-orang bisa lebih konsen kepada ajarannya, karena di masa-masa awal turunnya agama, maka Nabi saww lebih cenderung tidak menonjolkan sastranya. 

Sulaim Hilmi: Syukron ustadz atas penjelasannya.. bila diijinkan ana mau teruskan bertanya. Dari hikmah keadaan umminya rasul dan kedalaman ilmu sastra Imam Ali (yang ustadz belum tau pasti siapa ”guru”nya dan siapa yang mengontrol kualitas rangkaian huruf dari naskah Al-Quran pada masa itu), sedangkan saya sempat berasumsi semua pendidikan ilmu yang dimiliki Imam Ali diperoleh dari Nabi SAW, menjadikan saya ingin bertanya lanjut tentang bberapa hal: 

1. Apa makna dan hikmah dari ayat pertama ”Iqra” yang turun kepada nabi, dari sisi makna perintah kepada nabi maupun kita umatnya selanjutnya? 

2. Dengan merujuk penjelasan dari ustadz pada catatan wahdatul wujud maupun tahap-tahapan suluk, menunjukkan bahwa tahap-tahap kesempurnaan diri hingga pada puncak fana mestilah dengan jalur akademis hingga ilmu dan hal-hal yang dialami dalam perjalanan dan strategi diri dalam menuntaskan tiap-tiap tahap mesti terarah sesuai dengan ilmu yang baku oleh para ulama. Lantas ”bagaimana pendapat ustadz tentang pandangan bahwa kita dapat meniru jejak rasul dalam beriktiar mencari dan mencapai Kebenaran sejati (Al-Haq) dengan secara mandiri lewat perilaku berkhalwat (mohon penjelasannya juga mengenai riwayat tentang amalan apa yang dikerjakan Rasul selama berikhtiar khalwat di goa hira tersebut)? ” 

3. Sebagaimana saya menyinggung mengenai hal ”guru” di pertanyaan saya sebelumnya , saya mohon penjelasan ustadz tentang arti penting kedudukan Guru ”Mursyid”, yang di kalangan para pelaku tarekat begitu fundamental dalam upaya mendekatkan diri kita dan memastikan bahwa jalur kita menuju fana kepada Allah bakal terjadi. 

4. Apakah bila kita pengikut Ahlul Bait mengenal dan memberlakukan mengenai ”Mursyid” ini lantas siapakah mursyid kita? Apakah Imam Mahdi as? Allahumma solli ala Muhammad wa aali Muhammad fa ajjil farajahum wa ahlik aduwahum minnal jinni wal innsi minal awwalin wal akhirin... afwan. 

Sinar Agama: Salam, Terima kasih atas perhatian dan pertanyaannya: 

1a. Tentang Iqra’ yang harus diketahui adalah tidak mesti membaca tulisan, akan tetapi bisa dengan diktean. Jadi Nabi saw, di sini membaca melalui diktean Jibril as. 

1b. Membaca, memiliki hikmah yang besar bagi semua manusia yang pada umumnya menuntut ilmunya melalui tulisan. Jadi hikmah Iqra’ bagi kita manusia adalah menyuruh kita belajar, dan belajar dimulai dengan belajar tulis menulis alias membaca. Jadi membaca adalah ilmu pertama untuk mencapai ilmu-ilmu lainnya. 

1c. Sekali lagi, karena Nabi saw mendapat ilmunya dari membaca ayat-ayat nyata Tuhan, baik alam ini atau diri beliau saw dan telah sampai ke tingkat mengetahui semua yang bisa diketahui manusia, maka sudah tentu beliau saww tidak perlu lagi belajar tulis-menulis. Beliau saww tahu bahkan suara hati dan niat kita. Semua perbuatan manusia disajikan padanya dan tidak ada yang tidak diketahuinya ( QS: 9: 105) Allah berfirman: “Dan katakanlah pada mereka, berbuatlah kalian sesuka hati, karena Allah akan melihat perbuatan kalian itu, dan RasulNya dan orang-orang mukmin”. Jadi, Nabi saww, dan para imam sebagai hakikat mukmin, melihat semua perbuatan manusia baik lahirnya atau batinnya. Karena yang di- dan-kan pada Nabi saww dan para mukmin itu adalah ”ke-melihatan” Allah yang sudah tentu melihat lahir dan batinnya. 

1d. Dan jangan lupa bahwa ilmu itu bukan gambaran dan ide, tetapi ide yang disertai dalil dan argument. Dengan demikian salah satu hikmah Iqra’ adalah mencari ilmu dengan dalil, karena kalau tidak dengan dalil, maka akan tergolong dakwaan, sangkaan, perkiraan, keyakinan palsu, dan seterusnya. 

Untuk pertanyaan ke 2: 

2a. Melakukan suluk itu memang benar harus dengan mursyid, karena hal itu lebih aman dan terarah. Setidaknya dengan kitab-kitab yang telah diterangkan oleh para ulama. Karena bagaimana bisa seseorang mengamalkan Qur'an dan Hadits, dan diyakininya sebagai jalan yang benar dan pemahaman yang benar, sementara ia tidak mempelajarinya sesuai dengan cara yang akliah dan umum, yakni menimba dari spesialisnya yakni ulamanya? 

Memang, dalam penjelasan ulama, juga diterangkan akan adanya wali-wali Abdal, yakni yang mencapai ketinggian derajat tanpa melalui mursyid, akan tetapi, hal itu, bukan jalan yang dianjurkan, terutama dengan adanya banyak ulama dan kitab. 

Jadi, abdal itu adalah jalan yang dibuka Tuhan bagi orang yang jauh dari mursyid dan buku- buku yang benar. Jadi karena RahmatNya tidak terbatas, maka bagi yang tulus ikhlash (profesional) berusaha mencapaiNya, maka Dia-pun pasti akan mendatangiNya. Akan tetapi kalau orang malas belajar dan mencari guru dan mursyid, maka orang seperti itu telah menjauhi PetunjukNya, maka bagaimana mungkin orang tersebut akan dikatakan telah berusaha mendatangiNya?. 

2b. Pertanyaan antum di soalan ke dua ini, nafasnya seperti menentang nafas dari pertanyaan antum yang pertama. Karena nafas di pertanyaan pertama adalah menyemangati belajar, sampai-sampai Rasul pun seakan-akan disuruh belajar, tetapi di pertanyaan ke dua nafasnya adalah anti belajar, dan mau melanglang ke Fanaa’ dengan tanpa ilmu dan usaha. 

2c. Berlaku berkhalwati itu, akan banyak ditaburi wahyu-wahyu syethan. Artinya kita tidak akan tahu mana kebenaran sejati dan mana yang bukan. Lalu apa yang akan dijadikan hujjah ketika mendapat ilham dari khalwatnya itu? Sementara Nabi saww telah memberikan petunjukknya, yakni dengan Qur'an dan Hadits, dimana telah terkandung dengan nyata supaya bertanya tentang keduanya itu kepada Ahlulbait as dan para ulama pewaris mereka. 

Nah, berlaku khalwat itu menentang Islam yang diajarkan Nabi saww. Tentu saja khalwat yang bertentangan ini adalah khalwat yang antum tanyakan, yakni lawan dari belajar. Tetapi kalau khalwat yang didasari dengan belajar dulu dan melakukan khalwatnya sesuai dengan pelajaran Islamnya yang argumentatif itu, maka sudah pasti khalwat seperti ini sangat dianjurkan dalam Islam. Nabi besar kita saww telah memberikan jalannya kepada kita semua dengan sabdanya: ”Syariat itu adalah perkataannku (bc:ajaranku), dan Tharikat itu adalah perbuatanku, sedang Hakikat itu adalah capaianku, dan Makrifat (mengerti) itu adalah modalku, dan akal itu adalah dasar agamaku, dan cinta itu adalah dasarku, dan kerinduan itu adalah tumpanganku, dan takut itu adalah temanku, dan ilmu itu adalah senjataku”(Ghuraru al-Hikam: 698; Bihar: 78: 83; Mustadraku al-Wasaail: 11: 173 hadits ke 12672; dan lain-lain). Nah, inilah petunjuk Rasul saww, lalu bisakah kita memilih jalan lain? 

2d. Sedang apa yang dikerjakan Nabi saww di gua Hiraa’, maka harus diketahui bahwa Nabi saww mewarisi agama tauhid dari ayah-ayahnya dari nabi Ibrahim as. Jangan dikira bahwa orang Makkah sudah pada murtad dan musyrik semua. Masih sangat banyak orang Arab yang pada waktu itu masih bertauhid dan beragama dengan agama nabi Ibarahim as. Kalau kita lihat ceramah nikahnya Abu Thablib dalam pernikahan Rasulullah saww dengan siti Khadijah as, maka kita tidak akan mendapatkan sepotong kecilpun darinya kata-kata yang mengandung kemusyrikan. Semua berisi tauhid kepada Allah. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kenyataan sejarah pada waktu itu memang masih banyak yang beragama dengan agama nabi Ibrahim as. Karena itulah maka shalat Nabi saww sebelum datangnya perintah shalat dari Allah kepada beliau saww, berbeda dengan setalah Isra’ mi’raj itu. Artinya shalat sebelum isra’ mi’raj adalah shalat yang diterima dari ajaran nabi Ibrahim as. Seingat saya, shalatnya tidak pakai rukuk. 

Dengan demikian, maka jelas bahwa Nabi saww ketika berkhalwat di gua Hiro itu, telah memiliki ilmu agama yang diwarisinya dari nabi Ibarahim as. Ini yang pertama, yakni dengan ilmu. Yang ke dua, beliau sudah pasti di gua itu melakukan semuanya sesuai dengan agama Allah yang diturunkan kepada nabi Ibrahim as tersebut. Tentu saja, selain beribadah, beliau saww membaca dan merenungi semua ayat-ayat Tuhan, baik alam atau dirinya sendiri. Dan tentu saja juga merenungi tentang Tuhannya. 

Untuk pertanyaan 3: 

3a. Guru atau mursyid adalah pembimbing yang dapat membimbing murid karena telah terbuka baginya jalan kebenaran. Yakni, karena dia sudah mencapai Fanaa’ maka semua jalan menuju ke Fanaa’ diketahuinya dengan baik secara ilmu Hudhuri, yakni Kehadiran, bukan lagi ilmu teori atau argumentasi. Jadi ilmunya adalah kasyaf kepada hakikat. 

3b. Dengan pertimbangan itulah maka salah satu arif yang saya tanya tentang keharusan mursyid ini beliau mengatakan bahwa harus pakai mursyid. Tentu saja, maksudnya semaksimal mungkin, artinya tanpa udzur tidak boleh berjalan sendiri. Tetapi bagi ayatullah Bahjat ra, beliau ketika ditanya apakah harus pakai mursyid, beliau menjawab: ”Harus pakai ilmu”. Artinya yang paling penting adalah ilmu yang, sudah tentu argumentatif. Mungkin beliau ingin menjelaskan bahwa mencari mursyid yang benar-benar mursyid itu tidak mudah, karena bisa saja palsu. Yakni ianya dengan bisa terbang sudah dianggap mursyid. Seperti ketika beliau ditanya apakah beliau bisa terbang, beliau menjawab ”Seperti lalat?”. Artinya, terbang itu bukan menunjukkan kewalian, karena lalat saja bisa terbang. Kalau terbang itu ukuran kewalian dan kesempurnaan, maka lalat lebih afdhal dari manusia. Nah, terbang saja bukan ukuran kewalian, apalagi karamat yang dibawahnya. 

Kesimpulannya: Mursyid itu sangat diperlukan kalau ada, dan kalau tidak ada maka yang penting ilmu yang argumentatif, dan kalaulah mau memilih mursyid, maka harus yang benar- benar mursyid, dan hal ini tidak ada yang tahu. 

Jadi harus hati-hati dengan mursyid gadungan yang hanya memiliki beberapa kesaktian. Menurut saya yang banyak hijab ini, maka mursyid itu akan dapat kita terima, kalau semua ajarannya sesuai dengan Islam yang argumentatif, bukan Islam yang dakwaan. 

Untuk pertanyaan 4: 

4a. Imam Mahdi as/ajf, adalah mursyidnya para mursyid. Beliau sudah tentu, mursyid yang tdak ada keraguan di dalamnya. Akan tetapi maksud dari mursyid dalam irfan, bukan hanya beliau as, akan tetapi semua yang sudah mencapai Fanaa’ setidaknya. 

4b. Anjuranku, untuk jaman sekarang, terkhusus di Indonesia, maka bagi yang Syi’ah, jangan sesekali bermursyid. Karena bagi ana yang banyak hijab ini, tidak ada mursyid di Indonesia. Memang yang punya karamah ada dan mungkin banyak, terutama karamah yang diminta dari Allah swt. Saya sendiri dulu bisa menjawab pertanyaan ghaib, seperti apa yang ada di rumah antum, apa yang antum makan sebulan yang lalu dan dimana dan dengan siapa, dst. Semua itu aku capai dengan ijin Allah swt dengan berwirid, berpuasa dan Meminta Kepadanya. Jadi hal-hal seperti itu sebenarnya bahkan dibawah karamat, karena diminta. Yang tidak diminta saja, tetapi yang disukai, dikatakan sebagai main-main atau lalat terbang, apalagi yang diminta. Jadi dari pada tertipu, maka jangan memilih siapapun menjadi mursyid. 

Tetapi jelas, jangan menuduh siapapun dengan tuduhan mursyid palsu. Jadi, kita dalam keadaan tidak memfitnah atau bahkan buruk sangka terhadap siapapun (dengan suara hati), tidak memilih siapapun menjadi mursyid. Kalau saya dipercaya, maka saya akan menjawab secara teori apa-apa yang diketahui dan dialami teman-teman dalam suluk ini, tapi sebatas argument yang memang itu yang telah saya pelajari bertahun-tahun. 

Setelah saya menjadi Syi’ah, maka guru yang saya punya, dan amalan-amalan yang saya lakukan untuk mencapai kekuatan dakhsyat itu, dengan rasa malu yang sangat dalam, saya tinggalkan. Karena para urafa di Syi’ah mengatakan bahwa semua itu adalah permainan dan cinta dunia (yang berupa ghaib). 

Sekian. Terima kasih. Al-fatiha-sholawat. Wassalam. 

Adzar Alistany Kadzimi: Tidak bermursyid...? Menyesatkan..... Tidak bermusyahadah.....? Menyedihkan.... 

Marlin Tigor: Salam . .. hehe jadi inget acara dua dunia - dunia lain di tv indo. Berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia gaib, bahkan bisa menarik benda pusaka. Mohon penjelasannya Ust SA. Apa iya itu ? ... Sekaligus penasaran bagaimana mekanisme mahluk gaib itu berinteraksi dengan manusia, misalnya cara setan mempengaruhi kita .. terimakasih. Wasalam. 

Sinar Agama: Martin: Sebagian soalanmu bisa dijawab dengan tulisan di atas, dan yang lainnya, tentang syethan menggoda manusia, bisa dilihat di catatanku pada hari Ghadir, kalau nggak salah berjudul surga nabi Adam as. Kalau saya jawab di sini maka akan jadi satu. 

Haerul Fikri: Afwan ustad. 

Sepertinya saya kurang sependapat dengan pernyataan bahwa nabi Muhammad saw adalah sorang yang buta huruf, tidak bisa baca dan tulis. Nabi Muhammad saw yang merupakan kota ilmu sudah tentu memiliki pengetahuan sempurna di segala bidang. Baca dan tulis juga adalah pengetahuan, jika nabi Muhammad saw tidak memiliki pengetahuan tentang hal ini, berarti ada pengetahuan yang tidak terdapat di kota ilmu namun bertebaran di luar kota ilmu, yakni pengetahuan baca dan tulis. Qs al- ankabut 48; dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu, andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar- benar ragulah orang yang mengingkari(mu). Ayat ini menjelaskan bahwa rasulullah saw tidak pernah membaca dan menulis. Tidak membuktikan bahwa beliau tidak bisa baca dan tulis. Apakah tidak pernah sama dengan tidak bisa? Apakah tidak melakukan sesuatu, niscaya tidak punya pengetahuan tentang sesuatu itu? Begitu banyak orang yang tidak menulis tapi berkemampuan menulis, mohon tanggapannya, ustad.. 

Sinar Agama

(1). Mengapa antum hanya menggaris bawahi ”kamu tidak pernah membaca” dan tidak menggaris bawahi juga ”niscaya mereka akan meragukanmu”?. Yang antum lakukan ini, sama dengan ayat yang mengatakan ”jangan dekati shalat” dan memotong sebagiannya yang mengatakan ”dikala mabok”. 

(2). Antum tidak bisa dengan hanya menelaah terjemahannya, dan itupun dipotong-potong, lalu menyimpulkan pahaman. Jadi, harus dikaji semuanya, termasuk gaya bahasa Arabnya, ayat- ayat lainnya, hadits-hadits mengenainya, sejarah mengenainya....dst. Jadi, dengan semua yang ada dalam ayat-ayat, hadits-hadits dan sejarahnya, tidak ada keraguan bahwa Nabi saww, tidak bisa baca tulis. 

(3). Entahlah, apa yang membuat antum harus tetap punya pancing dikala ikan-ikan di laut berlomba menari-nari di meja makan antum? Apa yang membuat antum harus mengatakan bahwa orang yang tidak mengerti ucapan dan tulisan, adalah kurang ilmu, sementara ilmu sudah ada di tangannya, termasuk maksud orang yang mengucap dan menulis? Mengapa harus dikatakan kurang ilmu karena tidak bisa bahasa cina, melayu, bahasa kucing, anjing... dst sementara mengerti apa yang dimaksudkan ucapan cinanya, melayunya, ngeongnya, gonggongannya...dan seterusnya. ? 

(4). Kalau antum diberi ilmu oleh Allah swt yang bisa memahami maksud gongongan anjing, dan antum juga diberi kuasa olehNya untuk bisa menyampaikan maksud antum lewat suara hati, apa antum masih mau belajar fasih mengongong supaya tidak dikata kekurangan ilmu? 

(5). Ilmu itu adalah gambaran yang ada di akal yang sesuai dengan yang di luar akal. Jadi, yang tidak punya gambaran dikatakan tidak tahu, dan yang punya gambaran tapi salah, dikatakan tidak tahu dobel (jahil murakkab). Nah, sekarang Nabi saww punya gambaran dari ucapan dan tulisan semua bahasa yang dilihat dan didengarnya tentang suatu makna/maksud, lalu makna yang ada di gambaran Nabi saww itu cocok dengan yang ada diluar akalnya, yakni yang ada dimaksud hati pengucap dan penulisnya, apakah hal itu tidak dikatakan sebagai ilmu? 

(6). Bahasa itu adalah kesepakatan, baik ucapannya atau tulisannya. Jadi dia bukan ilmu. Keilmuan bahasa itu dilihat dari pemaksudan dari ucapan dan tulisannya. Nah, ketika Nabi saww sudah tahu maksudnya sebelum mengucp dan menulis, maka di sini bukan saja Nabi saww kekuarangan ilmu, tapi bahkan memiliki ilmu yang lebih sempurna bahkan dari pembuat bahasa itu sendiri. 

(7). Allah juga tidak bisa bahasa Arab dan mnulis Arab, atau tidak bisa bahasa Indonesia. Artinya karena Allah itu non materi, maka tidak perlu menggunakan materi. Sementara bahasa, adalah materi, bahkan kesepakatan dari materi. Apakah Anda mau mengatakan bahwa Allah swt kekurangan ilmu dan kesempurnaan?. Kalau Anda punya semuanya yang bisa dibeli dengan uang, tapi Anda tidak punya uang, apakah anda kekuarangan harta? sementara apa saja yang anda inginkan sekejab mata ada di depan anda? miskinkah anda? kekurangankah anda karena uang adalah kesempurnaan dan anda tidak memilikinya? Atau Anda akan dikatakan orang sebagai orang gila (maaf) manakala setiap yang anda ingin tersedia dalam sekejab mata, tapi anda masih berkeringat-keringat mencari uang supaya bisa membeli sesuatu?!!!! 

Wassalam. 

Lukman Hadi: Benar apa adanya, kabarkan.. adakah kisah-kisah orang terdahulu tentang ke fana an kepada Allah? 

Haerul Fikri: Terima kasih, ustad. Saya memahami bahwa nabi muhammad saw memamerkan diri sebagai seorang yang buta huruf karena berbagai alasan untuk memudahkan dakwah agama. Namun, bagi saya yang jahil double luar biasa ini, hal itu tidak meniscayakan bahwa beliau tidak tahu atau tidak memiliki pengetahuan baca dan tulis. Yang saya maksud bukan menjadikan kemampuan baca dan tulis sebagai alat untuk menjaring pengetahuan, tapi tanpa perlu berpayah- payah untuk itu, nabi mengetahui makna di balik setiap simbol dan maksud bahasa. Misalnya ; Nabi tidak perlu belajar penambahan dan pengurangan agar bisa melakukan pembagian dan perkalian. Nabi tidak perlu ke negeri China dan berkawan dengan kucing untuk mengerti bahasa mereka semua. Nabi tidak pernah menimba ilmu dari seorang guru karena seluruh kesempurnaan nabi bersumber dari inayah ilahi yg dgn itu maka terbuka semua hijab di balik makna simbol dan maksud bahasa. Jika begitu, apakah nabi Muhammad tetap dikatakan tidak bisa membaca dan menulis? Apakah Tuhan tidak tahu makna di balik huruf Alif, Lam, Wa, Ha, yang mana Dia menjadikan huruf tersebut sebagai simbol akan kebesaran-Nya, dalam bahasa, arab khususnya. 

Misal, jika rasulullah saw dihadapkan dengan secarik kertas berisikan rangkaian huruf-huruf tertulis, Apakah beliau hanya melihat huruf-huruf tersebut sebagai simbol-simbol acak dan asing tanpa mengetahui makna dibaliknya? Jika tahu, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa nabi Muhammad tidak bisa baca dan tulis. Jika tidak, maka hal itu adalah sebuah aib dan kekurangan. 

Sinar Agama: Saya rasa, saya sudah menjelaskannya dengan jelas, dan belum ada ide lagi untuk membuat antum lebih jelas. Sekedar untuk tambahan, bahwa di perjanjian Hudaibiyyah, ketika para kafir tidak mau dengan julukan Rasulullah untuk Nabi saww dalam tulisan itu, dan mereka meminta Nabi saww menghapusnya dan mencukupkan dengan Muhammad saja, maka ketika Nabi saww menyetujinya, tidak ada yang berani menghapuskan kalimat itu dari kertas kulit perjanjian itu. Lalu Nabi saww berkata pada imam Ali as untuk meletakkan tangannya di tulisan itu dan menghapuskannya sendiri. Sekarang kuserahkan antum pada Tuhanku Yang Maha Lembut dan Kasih. Aku dalam hal ini sepertinya hanya setakad/seukuran ini kemampuanku menjelaskannya. Coba renungi, kalau mau, apa-apa yang kutulis sebelumnya di atas itu, dan cobalah keluar dari patokan berfikirmu. cobalah keluar sebentar saja dan membacanya lagi, semoga dapat antum temukan titiknya, amin. 

Haerul Fikri: Apakah dalam kasus ini, tidak terjadi ikhtilaf di antara para mujtahid besar? Apakah saya harus memaksakan akal budi saya untuk menerima ini.. Entahlah, mungkin saya bersalah bahkan berdosa beranggapan bahwa nabi saw bisa baca tulis. Wallahualam, terima kasih ustad! 

Sinar Agama: Tidak ada khilaf di sunni dan syi’ah tentang buta hurufnya Rasulullah saww sebelum kenabian, tapi setelah kenabian di Syi’ah ada dua pendapat, yang paling sedikit yang mengatakan tahu huruf karena seringnya melihat, bukan belajar. Tapi itupun sedikit sekali. Renungi saja yang kutulis itu baik-baik. Ia terang bagai matahari, asal kamu tidak memaksakan pandanganmu yang tanpa dalil itu. Yakni yang mengatakan bahwa orang tidak bisa baca tulis (seperti tidak bisa mengonggong) itu adalah kekurangan. Wassalam. 

Haerul Fikri: Iya ustad, keamburadulan dalil saya mungkin karena keterbatasan dan kejahilan semata. Saya akan coba memahami hujjah yang dibawakan di atas, kalau saya tetap belum menangkap saya akan balik. Terima kasih! 

Linda Herlinda: Maaf pertanyaannya di luar materi pelajaran... Ustadz ko bisa pinter dan sholih, apa yang sudah kedua orangtua ustadz berikan dan ajarkan kepada ustadz? Afwan wa syukran... 

*Saya sedang belajar menjadi orangtua yang baik buat anak-anak* 

Sinar Agama: Mbak Linda, bisa nggak ditulis di dindingku, dan dikirim untuk semua orang, biar bisa dilihat orang lain dan dalam pembahasan mandiri, saya baru melihat hari ini, karena catatan di atas sudah lama, untung juga saya lihat-lihat barusan. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 11)






Seri Tanya Jawab : Herry Yuli Sunarno dan Ustad Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 7:16 am


Herry Yuli Sunarno: Salam ustadz.... afwan ana ingin bertanya lagi, mohon jawaban dari antum.. syukron. Tentang Firman Allah swt: ”Hai, jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan” (Qs. Ar Rahmaan : 33). Apa ya maknanya..? 

Sinar Agama: Bismillaah… 

1. Penjuru langit dan bumi itu, ada dua hal, materi dan non materinya. Materinya yang kita kenal dengan Alam-Materi yang dibatasi dengan langit pertama. Karena Tuhan mengatakan bahwa langit pertama dihiasiNya dengan bintang-bintang. Jadi, galazi-galazi itu berakhir di langit pertama. Memang hal ini tidak pasti seratus persen, tapi Ayatullah Jawadi Omuli hf sangat memungkinkan hal tersebut. 

Tuhan berfirman dalam QS: 37: 6, ”Dan Kami hiasi langit dunia dengan keindahan bintang- gemintang”. Jadi, kemungkinan besar, selama masih materi, yakni dunia, maka ia dibatasi dengan langit pertama. Ini yang materinya atau Alam materinya. 

2. Yang ke duanya adalah non materinya, yakni non materi langit dan bumi. Inipun ada dua: 

a. Non materi yang ruh, yakni ruh setiap materi. Sudah sering saya menulis pembuktian adanya ruh pada setiap materi ini (lihat catatan2 sebelumnya). 

Nah, setiap materi, termasuk bumi dan langit, memiliki wujud nom materi yang me- ngatur dirinya secara langsung seperti manusia, binatang, tumbuhan, bebatuan dan seterusnya. Ruh materi ini disebut juga dengan Malakuuti al-Samaa’i wa al-Ardhi, yakni dimensi non materi dari langit dan bumi yang pernah dilihat nabi Ibrahim as (QS: 6: 75), dimana kita juga diperintahkan untuk melihatnya (QS: 7: 185). 

b. Sedang (b)-nya adalah non materi yang tanpa ikatan materi sama sekali. Inipun ada dua: b-1. Non materi Barzakhi, yaitu non materi yang hanya tidak memiliki beban materi tetapi masih memiliki sifat-sifat lainnya. 

b-2. Non materi Akli atau Akal, yaitu non materi yang sama sekali tidak memiliki sifat- sifat apapun dari materi. 

3. Dalam pembuktian adanya akhluk Akal atau malaikat tinggi ini, dan juga non materi Barzakhi, sudah sering saya katakan bahwa yang Akal adalah sebab bagi Barzakh dan Barzakh bagi materi (pembuktiannya bisa dilihat di catatan-catatan sebelum ini)..Yang ingin saya katakan sekarang, adalah bahwa setiap sebab itu atau sebabnya sebab, maqamnya lebih tinggi dari akibatnya, akan tetapi bukan tempat, tetapi posisi. Artinya tanpa sebab, akibat tidak mungkin terwujud. Nah, ketinggian posisi ini, ada di dalam akibat itu sendiri. Yakni sebab itu, ada di batinnya akibat, dan sebabnya sebab ada di batinnya batin akibat. 

Jadi, untuk mencari sebab, akibat harus mencarinya di dalam dirinya sendiri. Tentu saja, kalau sebabnya itu non materi, maka keberadaan di dalamnya itu bukan berarti tempat dan waktu. 

4. Setelah kita tahu tentang hakikat alam ini, yakni langit dan bumi ini, yakni bahwa memiliki lahir badani dan batin ruhi dan malakuti, kita sekarang akan lebih mengerti apa arti ayat yang ditanyakan itu, yakni peluang yang diberikan Tuhan kepada kita untuk melanglangi langit dan bumi. Begitu juga akan lebih dimengerti akan arti kemampuan di sini. 

5. Untuk obyek pelanglangannya, yakni langit dan buminya, berarti ada dua yang bisa dilanglangi, materi dan non materi. Untuk melanglangi materinya, maka bisa dengan dua cara. Dengan cara materi pula, seperti teknologi, dan bisa dengan non materi yang kita katakan ruh manusia itu. 

Jadi, untuk menelurusi bumi dan langit materi, manusia memiliki dua potensi tersebut, yakni potensi teknologi dan potensi pembersihan ruh dari materi hingga menjadi kuat ke-non materiannya. Yang teknologi jelas bagi setiap orang. Tetapi yang non materi ini mungkin tidak jelas bagi semua. Resepnya, siapa saja yang mengurangi keterhubungannya dengan materi, maka ruhnya akan menjadi semakin kuat dari sebelumnya. Baik jalannya sesuai Islam atau tidak. Kekuatan yang sesuai Islam itu dikatakan mukjizat dan karomah, sedang yang tidak sesuai itu dikatakan sihir dan/permainan. 

Misalnya orang dengan bertapa menjadi kuat ruhnya dan melanglangi bumi/langit materi. Atau dengan wirid-wirid dalam Islam, ia juga bisa melanglangi bumi/langit, tetapi masih tergolong permainan, bukan Islam yang Islam. Karena bagi islam, semua kemampuan batin itu bukan tujuan penciptaan, dia hanya berupa kemampuan, tetapi pencipataan dan kemampuannya ditujukan untuk yang jauh lebih sempurna, yaitu Insan Kamil dimana melewati Akal-Satu sekalipun. Dan perlu dikatahui bahwa kalau manusia sudah mati, maka ia sangat bisa melanglangi bumi/langit materi ini. Jadi, kemampuan petapa atau pemain-main dengan gaya karamat itu, sebenarnya orang yang lengah terhadap tujuan hidupnya dan buru-buru ingin melangnginya sebelum mati. Tetapi para Nabi dan aulia, sekalipun mereka mampu, tetapi kemampuannya itu tidak dicarinya, dan tidak pula digunakannya kecuali dengan perintahNya. 

6. Contoh Islam yang Islamnya, adalah mi’raj Nabi saww. Dimana pelanglangan beliau di tingkat materi ini, jelas dengan kemampuan Ruh beliau saww, dimana telah membawa badannya ke Palestina, ke antariksa dan sampai kepada langit pertama sebagai batasan alam atau dunia ini. Sedang contoh permainan atau juga karomatnya (karena keduanya terlihat sama dan yang membedakan hanya cara mencapai kekuatannya dan niat pelaksanaannya) seperti salah satu wali di jaman nabi Sulaiman as yang mengangkat singgasana ratu Balqis hanya dengan sekedip mata. Atau para penyihir yang terbang kesana kemari seperti Leyak (di Bali), dan lain-lainnya. 

Sedang contoh Islam yang bukan Islam hakikinya, adalah orang-orang yang terbang ke sana kemari, tanpa perintah Tuhan. Yakni yang hanya berdasar pada kemampuan yang didapat dari wirid dan semacam bertapa dan berdasar pada ayat di atas terhadap kehalalannya. Biasanya tentang mereka ini, kita mendengarnya di beberapa wali-wali di Indonesia atau di Yaman. Tetapi sudah tentu tidak ada yang pasti terhadap posisi sebenarnya setiap orang, apakah ia wali yang wali atau wali yang suka main-main. 

7. Sedang untuk dimensi malakuutinya langit dan bumi, maka dengan ruh yang ada pada manusia, manusia memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi tetap saja ada dua cara, Islam yang Islam dan ada juga yang bukan islam atau Islam yang tdak hakiki tadi. Tetapi yang bukan islam dan Islam yang tidak hakiki, memiliki keterbatasan penembusan di langit dan bumi yang batin atau non materi ini. 

Contoh untuk Islam yang Islam, adalah para nabi dan imam serta wali yang wali. Mereka bisa menembus Barzakh tempat ilmu Allah tentang liku-liku semua alam materi termasuk ikhtiar dan perbuatan manusia dan akhir yang akan dicapai masing-masing orangnya (dimana dikenal dengan kitab takdir yang, berarti takdir Tuhan terhadap semua alam materi dan takdir Tuhan untuk berikhtiarnya manusia,,serta ilmu-ilmu pasti Tuhan terhadap pilihan, perubahan, pilihan akhir dan akibat atau hasil dari masing-masing ikhtiar manusia). Dan setelah itu, menembusi ’Arsy atau Akal-Akhir yang juga dikenal dengan al-Lauhu al-Mahfuzh dimana terdapat ilmu Tuhan tentang apa saja secara detail dan pasti dan tidak ada perubahan serta kebermacam-macaman yang dalam artian berdimensi. Jadi dia adalah wujud paling bawah dari yang tidak memiliki dimensi nyata, dan dimensinya hanya berupa i’tibar atau ide. Dan setelah itu terus sampai ke Akal-akal yang lainnya sampai ke Akal-satu, dan ke makam Asma-asma Tuhan seperti yang sudah sering saya katakan dan argumentasikan di catatan lainnya terkhusus tentang Wahdatulwujud 1-10. 

Sedang contoh yang tidak Islaminya, seperti Iblis yang karena pengabdiannya sebelum ingkar kepada perintah Tuhan tentang sujud dan kesombongannya di depan Tuhan serta merasa benarnya sampai sekarang dan merasa salahnya-Tuhan sampai sekarang pula, maka karena pengabdiannya yang luar biasa sebelumnya itu, Tuhan tetap memberikan kemampuan menembusi beberapa langit. 

Kalau Tidak salah sampai pada masa nabi Nuh as ia bisa menembusi langit ke lima, dan pada masa nabi Isa as ia hanya bisa menembusi langit ke 3 dan pada masa nabi Muhammad saww, tinggal satu langit saja. Tentu saja jumlah langit itu bisa salah, tetapi turun bertahapnya benar. Dan langit-langit ini sangat mungkin adalah langit batin atau non materi, bukan materi. Karena langit ke tujuh itu adalah sebelum ’Arsy. 

Jadi, langit pertama adalah materi, lalu langit ke dua dan sampai ke tujuh adalah non materi. Keberadaan langit ke dua ke atas ada di Barzakh, dan paling tingginya adalah langit ke tujuh dimana paling tingginya surga mukminin, menjelang ’Arsy dan Surganya Mukqarrabun atau Akal-akhir sampai ke atas. 

8. Sedang untuk alatnya, jelas juga ada dua, materi dan non materi. Yang materi untuk langit bumi materi seperti teknologi. Tentu saja teknologi inipun tetap bertopang pada ruh manusia karena dicapai dengan kemampuan akal dalam mengolah materi, dan akal salah satu daya ruh manusia. Sedang alat non materinya adalah ruh manusia dalam menembusi langit dan bumi, apakah materinya yang melalui alat akal dalam mengelolah materi itu atau non materinya langsung dalam membawa badannya ke seantero materi dan non materi langit- bumi. Dan cara pencapaiannya yang Islami adalah dengan syariat dan apa-apa yang telah diterangkan dalam teori seperti Suluk Ilallah yang ada dalam catatan alfakir itu. 

9. Yang perlu diperhatikan di sini, pelanglangan ke alam non materi, yakni ke alam sebab kita, yakni Barzakh dan Akal, yakni ke alam dan wujud di atas kita, karena bukan tempat dan waktu, dan karena sebab adalah batin akibat, maka pelanglangannya bukan dari tempat ke tempat, tetapi dari maqam ke maqam. Dan karena itu berarti pelanglangannya itu di dalam diri kita sendiri. Yakni semakin kita mencapai maqam yang tinggi berarti kita telah mencapai maqam yang lebih dalam, dalam batin kita. Jadi, mencarinya di dalam diri sendiri, bukan di luar ruh kita. Itulah mengapa imam Ali as mengatakan ”Apakah kamu kira bahwa kamu adalah sesuatu yang kecil, padahal di dalam dirimu terbentang alam yang lebih luar dari alam ini?” 

10. Sedang Isra’ dan Mi’rajnya Nabi saww, adalah dua-duanya, yakni pelanglangan dari materi ke materi, dari Masjidilharam ke Masjidilaqasha dan dari sana ke langit pertama (katakanlah batas alam materi). Dan dari batas alam materi inilah isra’ mi’raj itu dilakukan dengan ruhani saja, tapi tanpa meninggalkan badannya. Yakni yang naik itu adalah ruhnya saja. Dan ingat bahwa naik yakni menukik ke dalam diri, bukan ke luar sebagaimana maklum. Dalam hal ini, yakni mengapa harus dengan badan dulu sampai ke batas dunia materi, hanya Tuhan yang tahu hikmahnya. Kalau boleh diraba adalah sebagai tambahan pengetahuan kepada Nabi saww, sebagai rahmat buat beliau dan tanda kasih sayangNya, serta hujjah untuk umat manusia, baik umat terdahulu atau super modern sekarang ini. 

Kalau tanpa itu semua, maka isra’ mi’raj cukup dilakukan di rumah, karena yang melanglang itu adalah ruhnya, dan ke dalam diri, bukan ke luar. Karena itulah Nabi saww bersabda ”Shalat itu mi’rajnya mukmin”. Yakni dalam keadaan dia di kamar atau masjid, ruhnya melanglang sampai pada shidratulmuntaha. 

Catatan: Tentang kemampuan syethan melanglangi langit itu, dari sisi jumlah langitnya saya bisa salah, karena sudah tidak ingat lagi secara pasti berapa-berapanya dimasa-masa sebelum nabi Nuh as dan nabi Isa as. Tetapi barusan saya berusaha cari di hadits, baru ketemu bahwasannya sebelum lahirnya nabi Muhammad saww, syethan masih bisa menjangkau langit ke 3. Wassalam, sudah selesai. Silahkan simak dan komentar. Bagi yang tanya tentang energi prana, saya mengharap jelaskan dulu apa maksud energi itu. Karena kalau energi itu adalah energi yang umum, yakni yang materi, maka jelas ianya adalah materi. 

Herry Yuli Sunarno: Luar biasaa... Timbul pertanyaan baru ustadz... Bagaimana caranya kita menemukan alam yang lebih luar dari alam ini yang terdapat dalam diri kita...? 

Sinar Agama: Globalnya, adalah lakukan semua kewajiban dengan benar, tinggalkan semua maksiat, tinggalkan semua makruh, semua itu dengan hati dan raga. Kemudian tinggalkan dengan hati saja, apa-apa yang mubah, yang baik, karomat, ilmu, ibadah, surga, kasyaf, al- lauhu al-mahfuuzh....dst sampai ke Akal-satu. Yakni lakukan semua itu tetapi bukan karena suka, tetapi karena Allah swt semata. Dan jangan melirik semua selainNya. Ini cara Global dari yang Islami (benar). Dan rincinya bisa dipelajari catatan alfakir tentang Suluk Ilallah itu. Tetapi cara tidak Islaminya, maka kurangi keaktifan ruh kita dengan badan kita dan materi lainnya, seperti bertapa...dan seterusnya. 

Maka walau tidak terlalu tinggi, maka akan dapat menguak beberapa diantaranya. Tetapi kemampuan yang tidak Islami ini, bukan kemuliaan, karena nanti kalau kita sudah pada mati maka akan sakti semua dan berkaromah semua. 

Bedanya yang nerakais kesaktiannya menyembur-nyemburkan api, nanah, duri...dst, dan yang surgais mewujudkan kenikmatan-kenikmatan sesuai dengan tingkatannya. Jadi orang mukmin di surga jarinya juga akan mengeluarkan susu kalau dimaui. 

Sekian. Terima kasih. Al-fatiha- sholawat. Wassalam. 

In this note: Sinar Agama, Herry Yuli Sunarno 
Heriyanto Binduni dan 19 orang lainnya menyukai ini. 

Sinar Agama: Salam, belum selesai kok sudah dimuat? Tolong lengkapi tuh. 

Alexander Rofiq Zulkarnain detikcom - Teheran, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengingatkan Israel, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Tunisia dan Libanon. Hal itu disampaikan Ahmadinejad dalam pidatonya di depan warga Iran di Kota Yazd seperti diberitakan media Iran, Press TV, Kamis (20/1/2011). 

Menurut Ahmadinejad, negara-negara Barat bermaksud mengambil hak-hak warga Tunisia melalui perang psikologis. Kerusuhan massal dan aksi-aksiprotes telah melanda Tunisia dalam satu bulan terakhir. Kerusuhan pecah di Tunisia menyusul aksi pembakaran diri seorang pedagang buah berumur 26 tahun, Muhammad Bouazizi, yang membakar dirinya setelah polisi menyita barang dagangannya. Ahmadinejad menyerukan para politikus Tunisia untuk menerapkan kewaspadaan di tengah intervensi asing dan memperhatikan kebutuhan dan suara rakyatnya. Menurut Ahmadinejad, rakyat Tunisia menginginkan pemerintahan Islam. 

Dalam pidatonya, Ahmadinejad juga mengecam pengadilan PBB yang didukung Barat yang menyelidiki pembunuhan mantan Perdana Menteri Libanon Rafiq Hariri. Ahmadinejad mendesak AS dan sekutu-sekutu Eropanya untuk berhenti ikutcampur di Libanon. Libanon saat ini dalam kebuntuan politik menyusul bubarnya pemerintahan Perdana 

Menteri Saad Hariri yang ditandai dengan mundurunya 11 menteriterkait Hizbullah. Pengunduran diri 11 menteri itu terkaitpertikaian soal Pengadilan Khusus untuk Libanon (STL),yang menyelidiki pembunuhan Hariri pada tahun 2005.Pengadilan yang didukung AS itukabarnya akan memvonis beberapa anggota Hizbullah dalam kasus pembunuhan Hariri. Padahal gerakan perlawanan Libanon tersebut selama ini dengan tegas menolak tuduhan keterlibatan pembunuhan Hariri.20 Januari jam 6:18 · Suka · 3 

Anggelia Sulqani Zahra: Iye. ustad. Maaf..udah dilengkapi... 

Sinar Agama: Anggelia, kamu apa kabar? Sekali hilang tidak tahu kemana juntrungannya. Eh ... sekali datang ... terus nulis...he he he...semoga selalu dalam jalanNya. 

Alexander Rofiq Zulkarnain: Marilah Kita Bersatu Melawan Israel. 

Herry Yuli Sunarno: Waduhhh kok termuat di sini yaaa....pertanyaan lanjutan ana di dinding antum belum terjawab ustadz.. afwan. Shalawat dulu ahh.... 

الّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد

Anggelia Sulqani Zahra: ustad..mohon maaf... saya setiap saat mengikuti diskusi-diskusi ustad di fb.. mencoba memahami catatan dan komentar-komentar ustad. Sesuai yang diinginkan setiap goresan ilmu ustad, sungguh dengan keterbatasan logika saya.. (yang hanya belajar dari rekaman-rekaman kajian ustadku, semoga Allah merahmatinya) membutuhkan ketenangan diri dan ketawadhuan untuk menangkap hikmahnya. Mohon maaf ustad... 

Muhammad Romeo Alweni: duuh.. udah pada main politik nih.. emank barusan hilang.. pada belajar di sospol ya? Ana sarankan mendingan kita belajar agama aja,biar gak sesat.. kan rugi, hidup cuma sekali.. dibodohin lagi.. 

Fatimah Zahra: Salam ustad,,, ini yg selalu jadi bahan renungan saya yang tidak ada habis- habisnya mohon jawab ya ustad.. Tentang perbuatan luar biasa manusia.. yaitu ada yang dari Tuhan (seperti mukjizat dan karomah yang diberikan oleh manusai yang suci) dan ada yang BUKAN DARI TUHAN. Saya baca di catatan ustad saya kutip pernyataan : ”contoh Islam yang bukan Islam hakikinya, adalah orang-orang yang terbang ke sana kemari, tanpa perintah Tuhan. Lantas atas perintah atau izin siapa kah perbuatan luar biasa yang di dapatkan manusia itu di dapat? 

Taruhlah seperti di buku yang saya baca, itu di dapatkan dari iblis, orang yang bersekutu dengan iblis.. nah di point ini lah saya yang lemah akal ini kebingungan,, Di mana peran Tuhan pada kejadian ini? Apa Tuhan serta merta tidak ada campur tangan sedikit pun di sini, padahal Tuhan itu sumber kausalitas,, 

Sinar Agama: Ok kalau ghitu, tolong juga diskusi lanjutannya di sana juga dimasukin kalau bisa dan tidak merepotkan. Terimakasih. Aku pamit dulu, tolong mas Herry lihat jawabku, dan untuk Fathimah tulis saja di komentarnya mas Herry itu pertanyaanmu, nanti setelah aku pulang I-Allah akan akan jawab. Mohon doa selalu wassalam ana harus keluar dulu. 

Fatimah Zahra: Baik ustad, saya tunggu jawaban ustad... 

Herry Yuli Sunarno: Iya ustadz... sudah ku lihat dan cukup mumet kepalaku.. panas rasanya baca dan mencoba memahami kalimat antum yang penuh dengan hikmah itu.... 

Komar Komarudin: Afwan PAK HERI perlu mukadimah baca panduan logika muslim dulu karya Ust Hasan Abu amar, terbitan mulla Shadra, sepertinya kayanya antum aga susah dapatkan buku itu, sudah tidak dicetak, kalau mau aku pinjamkan photo copi aja.. yah. Setelah itu tidak berhenti sampai di situ, harus ada pembimbing yang mengarahkan isinya alias ustadnya, baru bisa faham, dan ada ujiannya, saya aja beberapa kali ikut sama ustad dinyatakan lulus test hanya sampai bab EMPAT PERHUBUNGAN. Insyaa Allah saya mau lengkapi sampai selesai ..... 

D-Gooh Teguh: Om Komar: saya dicopykan dunk... sama dikirimken. Saya ganti biaya fotokopi dan jilidnya juga ongkirnya... jika bersedia inbox saya ya... sama nomer rekening dan besarnya... terimakasih... 

Fatimah Zahra: Om teguh saya juga mau dong hehehhee. 

D-Gooh Teguh: Yang punya om Komar gitu kok... kasih info urusan yang kuinboxkan... hadiah bersyarat. Hehehehe... nanti kukopikan dan kirimkan kalau om Komar bisa membantu kopi dan kirimken... 

Sinar Agama: Fatimah Zahra apa syarat hadiahnya?? Hehehehe 

D-Gooh Teguh: Mumetz... 

D-Gooh Teguh: Urusan yang diinbox itu to... sedang mencari jalan tersingkat untuk beroleh kesaktian... 

Fatimah Zahra: Kendalikan diri mu anak muda!!! Tapi jika om masih ingin buru-buru sesuai inbox itu baik. Lah.. In box no hp mu om. Biar aku pandu dari jauh mekanismenya.. 

Ariaan Teoh Abdullah Ariaan: Hurmmm... 

Sinar Agama: Betapa cintaku pada antum semua, saling berbicara seperti pada saudaranya sendiri, semoga Tuhan selalu menjaga kita semua, amin.... 

Sinar Agama: Ya... Anggelia, yang tanya jawab dengan Sulaim Hilmi itu bisa dijadikan Wahdatul- wujud-12, terimakasih, buruan ya... he he he 

Fatimah Zahra: Subhanallah...Kita pun cinta kepada ustad..Yang tak mengharap pamrih berbagi ilmu. 

Sinar Agama: Fathimah: ada dua padeng pamrihku: 

(1) Takut diazab Tuhan karena tidak membagi ilmuNya (tentu kalau ilmu yang benarnya), sebab dalam Qur'an dikatakan bahwa ilmu agama itu harus dibagikan (wajib). 

(2) Ingin mendapat pahalaNya, cintaNya, RidhaNya dan ampunanNya., maka itu sambung doa ma-ki’ (logat Sulawesi). hem.... 

Anggelia Sulqani Zahra: Salam. Terima kasih atas bimbingannya ustad. WW Bgn 12 udah terbit...



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Kamis, 02 Agustus 2018

Suluuk Ilallaah - 1 (9 Tingkatan dari 300 Tingkatan)





by Sinar Agama (Notes) on Saturday, December 25, 2010 at 12:18 pm



Pembukaan

1. Suluk adalah amalan-amalan untuk mencapai Wahdatu al-Wujud. Akan tetapi, bukan berarti sekarang ini tidak wahdatu al-wujud. Karena sudah dibuktikan dengan dalil pada catatan Wahdatul Wujud 1-9, bahwa wujud memang hanya satu. Tentu saja, hal ini tidak diwajibkan secara agama. Artinya, yang tidak percaya, tidak mendapat dosa dan apalagi masuk neraka. Tidak sama sekali.

Jadi, suluk ini, pada hakikatnya, adalah cara mencapai kasyaf dan kesaksian Wahadtu al- Wujud. Artinya, cara untuk mengikis kemerasaan ada dari diri seseorang terhadap dirinya, lingkungannya dan semua dari keberadaan selain Tuhan. Dengan kata yang lebih sering dipakai adalah cara untuk mengangkat hijab “banyak” (tafriqah dan katsrah) hingga tersingkap “satu” (wahdah dan jam’ah).

Jadi, suluk adalah alat mencapai kesaksian Wahdatu al-Wujud, bukan masuk surga. Karena untuk masuk surga cukup dengan melakukan kewajiban dan menjauhi maksiat dengan ikhlash. 

2. Suluk yang akan dipaparkan di sini, memiliki 10 tingkatan. Dari masing-masingnya bercabang menjadi 10 tingkatan lagi. Yang sepuluh ke dua ini juga bercabang menjadi 10 lagi, hingga menjadi 1000 tingkatan. 

Akan tetapi, di sini, dipadatkan menjadi sekitar 300 tingkatan saja. Yakni dari 10 pertama bercabang menjadi 10 ke dua, dan dari 10 ke dua hanya diambil 3 tingkatan dari 10 tingkatannya. Yang diambil dari 10 ke tiga ini adalah tingkatan pertama, tengah dan akhirnya. 

Tujuannya, supaya tidak terlalu melelahkan dan terlalu rinci. Begitulah yang dikatakan oleh penulis buku Manazilu al-Sairin yang saya jadikan pedoman di sini. 

Tentu saja, di sini saya hanya akan mengambil tingkatan-tingkatannya saja dengan ringkasan penjelasannya (dari al-Anshari sendiri dan al-Qasani), serta berusaha menerangkanya se- mampu, semudah dan seringkas mungkin. 


3. Tentu saja, banyak sekali teori yang diberikan ulama pesuluk terhadap teori suluk ini. Jadi, tidak hanya tergantung kepada teori dan tingkatan-tingkatan yang ada di sini. Teori yang di sini diambil dari kasyaf satu orang yang bernama Abdullah al-Anshari dari keturunan Abu Ayyub al-Anshari yang lahir pada tahun 396 H.Q. 

4. Yang mencoba memperaktikkan pedoman ini, adalah merupakan tanggung jawabnya sendiri, baik di dunia atau di akhirat. Artinya, diluar tanggung jawab saya, apapun akibat darinya. Apakah cara ini adalah benar menurutNya, atau tidak. Kalau benar, apakah menghasilkan keberhasilan atau kegilaan dan kehancuran. 

5. Yang bisa saya katakan tentang buku Manazilu al-Sairin ini adalah bahwa ia adalah salah satu buku yang juga mendapat perhatian dan terkadang dipelajarinya di hauzah syi’ah. Jadi, bagi saya pribadi, termasuk buku standar. Ayatullah Niku Noom adalah salah satu ulama kontemporer yang mengatakan bahwa buku tsb adalah buku bagus/baik dan, sekaligus beliau mengajarkannya juga. 

Dan saya melihatnya, terutama di sistematikanya dan penjelasannya, memang bagus dan hebat. Tapi, sekali lagi, penilaian, praktik dan tanggung jawabnya, adalah merupakan tanggung jawab masing-masing, alias bukan tanggung jawab saya lagi. 

6. Kalau tidak mau ruwet/susah tentang suluk ini, cukup dengan apa yang sering dikatakan para ulama dan guru Irfan yang secara umum itu. Yaitu, tinggalkan semua haram dan makruh dengan hati dan badan. 

Setelah itu tinggalkan yang halal dengan hati, yakni kesukaannya (bukan ketergantungannya, karena ketergantungan jauh lebih parah dari suka). 

Setelah itu, tinggalkan dengan hati pula apa saja yang dianggap baik, dari karamat, kasyaf, surga, al-Lauhu al-Mahfuzh dst hingga sampai ke Akal-Satu dan meninggalkannya pula hingga Fanaa’ dan meninggalkan kemerasaan Fanaa’nya (lebih halus dari suka, karena suka lebih parah dari merasa) hingga disebut Fanaa’ dalam Fanaa’, hingga tidak ada lagi yang dirasakannya kecuali Allah swt. 

7. Dalam lingkungan Syi’ah, wali terkecil adalah yang sampai ke tingkat Fanaa’ di atas Fanaa’ itu. Jadi, yang bisa karamat, belum dikatakan wali. Malah bisa dikatakan sebangsa dengan dukun dan/atau ahli batin seperti para pendeta (Murtadhin dari Riyadhah, bukan murtadin). 

Artinya, masih tergolong yang suka kepada dunia yang rendah, sekalipun berupa batin atau non materi. Terlebih bagi yang mendirikan perguruan dan mengumpulkan murid-murid. 

Jadi, kekuatan ghaib dan non materi itu, bisa didapat dengan riyadhah/olah batin, dzikir, energi, konsentrasi, yogha dan sebangsanya. Yakni, terhitung kekuatan biasa yang bisa dicapai oleh setiap orang dengan latihan-latihan dan dzikir-dzikir tersebut. 

8. Dalam suluk, tekanannya pada praktik dan perbuatan, baik hati atau badaniah, bukan dzikir seperti yang ada di sufi-sufi yang dijuluki oleh Mulla Shadra ra sebagai Sok Sufi atau Demam Shufi. Terlebih, dzikir-dzikir yang dilakukan bersama-sama. 

Dalam syi’ah, dzikir bersama tersebut dipandang sebagai ajaran yang bukan dari Ahlulbait as (Allamah Majlisi Awwal ra), hingga sebagian ulama mujtahid dan irfan mengatakannya sebagai bid’ah (Ayt Jawadi Omuli). 

9. Irfan Teori adalah ilmu yang membahas pembuktian Wahdatu al-Wujud. Sedang Irfan ‘Amali adalah yang membahas tiori amal untuk mencapai kesyuhudan dan kesaksian Wahdatu al- Wujud tsb, bukan amal itu sendiri. Jadi, catatan Wahdatul Wujud 1-9 itu adalah Irfan Teori, dan yang sekarang ini adalah Irfan ‘Amali. 

10. Tahapan pertama suluk ini adalah 10 tahapan yang akan dirinci pada Tahapan-tahapan Suluk. 10 tahapan pertama itu adalah: Permulaan (bidaayaat), Pintu-pintu (abwaab), Jual beli (mu’aamalaat), Akhlak (Akhlaaq), Dasar-dasar (Ushuul), Lembah (audiyah), Keadaan (ahwaal), Wilayah-wilayah (wilaayaat), Hakikat (haqooiq) dan Akhir (nihaayaat). 

11. Tahapan kemudian, tidak akan bisa dicapai kecuali setelah menyelesaikan tahapan sebe- lumnya. Akan tetapi, karena semua tahapan memiliki tingkatan di tahapan yang lainnya, sekalipun tingkatan lainnya itu lebih tinggi, maka yang harus diselesaikannya adalah tahapan yang dihadapinya sesuai dengan tingkataknnya pula. 

Misalnya tingkatan Taubat yang ada di tingkatan ke dua dari tingkatan Permulaan. Tingkatan Taubat ini, memiliki tingkatan sampai ke tingkatan Pintu-pintu, Akhlak......dst hingga ke tingkatan Akhir/nihayaat sekalipun. Artinya, setiap tingkatan sebelumnya, di samping ianya mendasari tingkatan berikutnya, ia juga menafasinya sesuai dengan tingkatan yang di berikutnya itu. Jadi, Taubat di samping ada di tingkatakan Taubat yang di tingkatan Pemulaan itu sendiri, ia juga ada di tingkatan yang lebih tinggi, seperti tingkatan Pintu-pintu ..dan seterusnya itu. 

Ekstrimnya, Taubat, disamping memiliki tingkatan terendahnya seperti Taubat dari dosa/ keburukannya, ia juga memiliki tingkatan yang lebih tinggi, seperti Taubat dari makruh, mubah, kebaikannya, karamah, surga, al-Lauhu al-Mahfuzh, Akal-akhir, Akal-pertengahan, Akal-Satu dan Fanaa’nya. Dan seseorang tidak akan bisa mencapai tingkatan setelah taubat, atau taubat yang di tingkatan lebih atas, kecuali setelah menyelesaikan taubat yang di bawah. 

Jadi, yang masih memiliki dosa, maka ia tidak akan bisa mencapai tingkat berikutnya atau taubat yang di tingkatan berikutnya. Artinya, tidak akan bisa masuk ke tingkatan Pintu-pintu atau ke tingkatan taubat dari mubah. Artinya kemerasamasukan dia ke tingkatan Pintu-pintu, atau kemerasataubatannya dari makruh dan mubah, tidak akan menjadikannya masuk sungguhan ke tingkatan tersebut, karena ia masih memiliki dosa dan belum ditaubati. Ekstrimnya, yang masih punya dosa jangan berkhayal terhadap suluk atau tingkatan setelahnya. 

12. Jangan sesekali berlogika dengan ilmu Kalam, Filsafat atau Fikih ketika pembahasannya sudah mulai menderajati penghilangan diri. Karena semua itu setelah terlaksananya Kalam, Filsafat dan Fikih. Jadi, yang terindikasi bagi seseorang yang sudah mulai menapaki wahdatulwujud hanyalah Tuhannya. 

Jadi, jangan heran kalau nanti di tingkat tertentu akan dikatakan bahwa semua perbuatan seorang hamba adalah perbuatanNya. Apalagi berdalih dengan keberadaan dan ikhtiar manusia, sebagai konsekuensi pandangan Kalam dan Filsafat, atau berdalih dengan tanggung jawabnya, sebagai konsekuensi Fikih. 

Karena mencampuradukkan masalah akan menghilangkan pondasi Kalam, Filsafat dan Fikih. Dan kalau sudah hilang, maka Anda tidak akan naik ke wahdatulwujud sama sekali. Dan yang lebih parah, Anda akan membebaskan diri berbuat semaunya, karena telah menisbahkannya kepada Tuhan dengan wahadatulwujud yang palsu itu. 

Tahapan-tahapan Suluk (perjalanan): 

1. Tahapan Permulaan 

Permulaan adalah tingkatan pertama dari 10 tingkatan pertama, yaitu maqam pemula bagi seorang yang ingin menjalani suluk mencapai kesaksian Wahdatu al-Wujud. 

Tingkatan ini memiliki 10 tingkatan sbb: Sadar/yaqzhah, Taubat/taubah, Muhasabah, Kembali/inabah, Berpikir/tafakkur, Ingat/dzikir, Berlindung/i’tisham, Lari/faraar, Latihan/riyaadhah, Mendengar/sima’. 

1-1. Al-Yaqzhatu 

Al-Yaqzhah adalah pertama kalinya hati seorang hamba tercahayai dengan kehidupan (bangun dari tidur/lengah) dengan melihat cahaya peringatan. 

Allah berfirman:”Katakan! sesungguhnya aku mengingatkan kalian kepada satu hal, yaitu bangun/bangkit (an taquumu) untuk Allah” (QS: 34:46). 

Bangun atau bangkit, maksudnya dari keterlenaan dan ketertiduran lengah, baik dari dosa, atau dari suka dunia halal, karamat, kasyaf dst-nya sampai kepada merasa adanya wujud lain selain Tuhan. Jadi, ayat tersebut menjangkau semua tingkatan, dimulai dari fikih (dosa), akhlak (suka dunia) dan irfan/suluk (adanya selainNya). 

Yang jelas bagi akal-gamblang dan syariat-gamblang adalah bahwa tingkatan yang di depan atau di awal, merupakan dasar bagi tingkatan setelahnya dimana rusaknya tingkatan sebe- lumnya tidak akan membuat seseorang masuk ke tingkatan selanjutnya. Begitu pula dengan tingkatan-tingkatan suluk ini. 

Yaqzhah memiliki 3 tingkatan 

(1-1-1). Perhatian Hati Terhadap Nikmat-nikmat Tuhan 

Maksud dari memperhatikan nikmat-nikmat Tuhan ini adalah perhatian yang penuh dan sungguh-sungguh terhadap nikmat-nikmatNya hingga putus asa terhadap penghitungannya dan terhadap pengetahuan terhadap jumlahnya. Begitu pula menyadari bahwa nikmat- nikmat itu telah diberikan kepada kita bukan atas dasar hak kita (keadilian), akan tetapi karena ke-PemurahanNya (luthfun). Serta, meyakini bahwa kita benar-benar tidak akan pernah mampu untuk mempertanggungjawabkannya sesuai dengan hak-haknya. 

Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan tiga hal: mengambil bantuan dari cahaya akal (akal-gamblang), mengharap pemberian makrifah dan mengambil pelajaran dari yang terkena bencana dimana termasuk bencana hijab dan lengah. 

(1-1-2). Mengkaji Jinayat atau Pelanggaran 

Maksud dari mengkaji maksiat di sini adalah perhatian yang sungguh-sungguh terhadapnya, dan/hingga menyadari efek buruknya, dan/hingga berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjauhinya, dan/hingga terlepas daripadanya, serta/hingga mencari selamat dengan membersihkannya, baik melalui taat atau pembersihan jiwa atau dengan apapun yang bisa dijadikan pembersih dosa dari jiwa kita (seperti istighfar, sedekah, shalawat dan lain-lain). 

Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan 3 hal: 

Hal pertama, adalah mengagungkan al-Haq (karena semakin kita agungkan Allah maka sekecil apapun dosa atau kesalahan kita, maka akan jelas terlihat semakin besar). 

Hal ke dua, adalah sadar diri terhadap kehinaannya (di sinilah, filsafat akan lebih membantu menerangkan apa arti papa dan hina itu secara makrifah). 

Hal ke tiga, adalah dengan menseriusi dan meyakini ancamanNya. 

(1-1-3). Waspada Terhadap Kurang Lebihnya Usaha 

Maksud dari kewaspadaan ini adalah sepenuhnya memperhatikan dengan sungguh- sungguh terhadap frekuensi usaha setiap harinya hingga terhindar dari buang-buang waktu serta mengkikirkannya untuk hal-hal yang tidak perlu serta menggunakannya untuk ketaatan dan menambal dengan segera, lubang-lubang yang ada dengan ketaatan pula. 

Hal ini juga, tidak akan terlaksana kecuali dengan 3 hal

Hal pertama, adalah dengan mendengarkan ilmu (belajar) hingga tahu halal-haram dan baik tidak baiknya sesuatu. 

Hal ke dua, adalah dengan melaksanakan ilmunya dalam kehidupan. 

Hal ke tiga, adalah menjadikan orang-orang alim yang zuhud dan pesuluk sebagai sahabat berbincang. 

Kunci

Kunci dari ketiga maqam di atas (yaqzhah) adalah melepaskan kebiasaan-kebiasaan sebelum- nya. Karena pada umumnya, jiwa manusia sering mengikuti hawa nafsunya dan ber-apologi. Nah, sekarang ia harus memulai kebiasaan-kebiasaan baru dan menghindari alasan-alasan pembolehannya atau yang biasa dijadikan uzur dan apologinya. Seperti, bahwa kita manusia lemah lah, Tuhan Maha Pengampun lah, besok baru berubah lah....dst. 

1-2. Al-Taubatu 

Taubat adalah kembali dari maksiat kepada taat. Dan taubat ini, adalah wajib hukumnya karena yang tidak taubat dikatakan aniaya. Artinya, aniaya diatas aniya. Dan sebaliknya, yang bertaubat, akan dikeluarkan dari golongan aniaya. 

Allah swt berfirman: “Barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka adalah orang-orang yang aniaya” (QS: 49:11). 

Taubat ini, tidak bisa terlaksana kecuali dengan mengerti penyimpangannya, baik yang fikih (haram-halal), akhlaki (baik-tidak baik) atau irfani (banyak ada). Karena itulah maka belajar, dari fikih sampai ke irfan adalah kewajiban sesuai dengan masing-masing tingkatannya. 

Tiga hal diperlukan dalam mengerti makna bahaya kesalahan atau maksiat atau penyimpangan itu: 

Hal pertama, adalah ditariknya perlindungan dari diri kita ketika melakukan maksiat. 

Hal ke dua, adalah senangnya hati ketika mengerjakannya. 

Hal ke tiga, adalah munculnya keinginan untuk mengulangnya. 

Tiga hal ini, memiliki bahaya sendiri-sendiri. Bayangkan saja, ketika perlindungan diangkat dari diri kita, atau ketika merasa senang kala melakukan maksiat itu dan terlebih muncul keinginan mengulangnya? Betapa hinanya, betapa hinanya? Seperti ketika kita senang melakukan pelanggaran yang membuat Nabi saww tidak perduli, dan bahkan ingin mengulangnya. Maksiatnya saja sudah jelek, apalagi ada perasaan senang di dalamnya, atau bahkan ingin mengulangnya. Bukankah hal ini merupakan keburukan yang tidak terkira tingginya? 

Taubat memiliki tiga syarat: sedih, memohon ampun dan berhenti secara telak. 

Taubat Memiliki 3 tingkatan 

(1-2-1). Hakikat Taubat 

Hakikat taubat memiliki 3 hal: mengagungkan pelanggaran/maksiat, mencurigai taubatnya dan meminta maaf pada sesama. 

Hal pertama, bagi seorang yang melihat ke-Agungan Tuhan, dan hinanya diri, maka ia akan melihat bahwa sekecil apapun sebuah pelanggaran, ia adalah besar baginya. Karena, bagaimana mungkin Tuhan yang telah memberinya nikmat tak terhitung, dan melihatnya tanpa henti, tetap tidak dihiraukannya? Karena ketika melakukan maksiat adalah sama dengan tidak memperdulikanNya, seperti ketika kita melanggar orang tua di depan mereka. 

Hal ke dua, bagi seorang yang serius menghadapi Tuhan, maka ia juga pasti akan selalu curiga dengan taubatnya itu. Apakah ia melakukannya karena Tuhan atau karena hal lainnya. Atau jangan sampai taubatnya belum benar dan belum sesuai dengan yang seharusnya. Inilah yang dimaksud dengan mencurigai taubatnya. 

Hal ke tiga, adalah meminta maaf atau kehalalan dari orang-orang yang telah diganggunya. Taubat ini, dikatakan “Taubat Lahiriah” atau “Taubatnya Orang Umum”. Artinya, taubatnya orang-orang yang mengejar ampunan, pahala dan surga, bukan wahdatulwujud. Karena wahdarulwujud adalah kehinaan dan kehancuran diri secara telak. 

(1-2-2). Rahasia Taubat 

Rahasia taubat juga memiliki 3 hal: membedakan taqwa dari kedudukan; melupakan maksiat; taubat dari taubatnya. 

Hal pertama, seorang hamba harus benar-benar teliti dengan niat taubatnya. Jangan sampai karena posisi di masyarakat dan semacamnya. Misalnya, takut dibenci orang, takut penyakit, ingin disukai orang/istri/suami dan seterusnya. 

Hal ke dua, ketika seseorang sudah melakukan semua yang terdahulu itu, maka ia mulai sering bersama Tuhannya. Sering berkhalwat dan bermesraan denganNya. Karena itulah maka tidak mungkin dalam keadaan seperti itu akan mengingat dosa dan maksiatnya. Karena mengingat dosanya akan mengganggunya dari khalwatnya itu dan, berarti masih tidak sepenuhnya mengingatNya. 

Hal ke tiga, ketika ia sudah semakin sering berkhalwat dengan Tuhannya, maka ia telah bertaubat dari taubat. Karena kalau masih mengingat selaiNya, apakah hal itu adalah dosanya atau taubatnya, maka berarti masih mengingat selainNya. 

Dan taubatnya taubat yang tertinggi adalah bertaubat pula dari taubatnya taubat ini. Karena ketika ia masih melakukan taubat, berarti ia masih ada. Karena ia adalah pelaku taubatnya. Jadi, ia bertaubat dari taubatnya ini karena ia masih melihat perbuatannya sebagai selain perbuatanNya. 

(1-2-3). Rahasianya Rahasia Taubat 

Rahasianya rahasia taubat ini juga memiliki 3 hal: melihat maksiat dari pandangan sesunggunya; melihat dirinya tidak memiliki kebaikan apapun; melihat Hukum Tuhan hingga tidak ada tersisa lagi perkataan baik dan buruk. 

Hal pertama, dengan melihat hakikat maksiat, kita akan tahu maksud Tuhan mengapa Dia membiarkan kita melakukan maksiat. Hal itu karena dua hal: 

a. Supaya kita tahu ke-AgunganNya dimana tidak ada satupun yang bisa mengganggu ketentuan hukumNya, tahu akan ke-PemurahanNya dikala menutupi kemaksiatan kita dari orang lain, tahu akan ke-Maha PengampunanNya dan Kasih SayangNya ketika menerima taubat kita, dan tahu tentang FadhlNya (pemberian tanpa imbalan). 

b. Supaya ada hujjah atau dalil ketika menegakkan ke-AdilanNya, yaitu ketika meng- adzab pendosa. 

Hal ke dua, ketika seseorang itu jujur terhadap dirinya dalam melihat semua hal, maka tidak akan tersisa baginya kebaikan apapun dan sesedikit apapun. Karena, kalau taubatnya itu sudah benar dan karena Allah, maka semua itu tidak mungkin kecuali pemberianNya (sering saya katakan bahwa dalam filsafatpun telah dibuktikan bahwa usaha kita adalah sebab-penyiap, bukan pemberi. 

Karena yang tidak punya tidak mungkin memberi). Dan kalau taubatnya belum benar, atau niatnya belum ikhlash (murni karena Allah), maka sudah tentu karena kekurangannya. 

Jadi, dilihat dari dua sisi itu, apapun kenyataannya, tetap tidak menyisakan untuknya kebaikan apapun. 

Hal ke tiga, menyaksikan Al-Hukum, yaitu kenyataan akan tidak adanya ke-wujudan dan efek-efeknya kecuali Tuhan. Kalau pada hal ke dua adalah melihat dirinya serba tidak memiliki kebaikan, karena dirinya tidak memiliki apapun kecuali keburukan. Akan tetapi di hal ke tiga ini ia tidak lagi melihat dirinya sebagai apapun. Artinya, ia telah mulai menyentuh wahdatulwujud. 

Karena itulah, sebenarnya, tingkatan-tingkatan yang ada itu, termasuk Yaqzhah seka- lipun, mengarah dan menyentuh wahdatulwujud itu sendiri. Jadi, tingkatan yang di bawah selalu menyertai yang di atas, baik sebagai dasarnya atau sebagai pengiramaan yang di bawah di tingkatan atasnya itu. 

Artinya tingkat bawah seperti Taubat ini, memiliki tingkatan juga di tingkatan atasnya, misalnya Taubat di tingkatan Inayah dst di 10 tingkatan Permulaan ini, atau di tingkatan Pintu-pintu, ...dst-nya pada masing-masing 10 tingkatan pertama (Permulaan, Pintu- pintu, Jual-beli, Akhlak, Dasar-dasar, Lembah....dst itu). 

Dengan demikian, yang di atas, tanpa yang di bawah, tidak akan pernah terjadi, bukan hanya tidak sempurna. Dan begitu pula, tanpa penafasan atau pengiramaan yang di bawah pada tingkatan yang di atas sesuai dengan tingkatan atasnya itu, maka tingkatan yang di atas tersebut tidak akan sempurna dan tidak akan dapat mengantar kepada tingkatan yang di atasnya lagi. 

1-3. Al-Muhasabatu 

Al-muhasabah ini merupakan kelanjutan dari al-‘Azimah atau tekad terhadap janji taubat. Tekad (al-‘azimah) adalah mengaplikasikan dan melanjutkan niat. Sedang al-‘aqdu (janji) adalah janji-benar atau jujur, terhadap pelaksanaan niatnya. 

Dengan demikian, bertekad terhadap janji taubat adalah melaksanakan niat taubatnya kepada Allah dan melanjutkannya (tidak berubah lagi). 

Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taqwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap orang melihat apa-apa yang telah dilakukannya untuk hari esok/kiamat” (QS: 59:18). 

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa kita mestilah melihat dan menghitung-hitung apa-apa yang telah kita lakukan untuk akhirat kita. Inilah yang dimaksud dengan al-Muhasabah atau Mengkalkulasi-diri. 

Al-Muhasabah ini memiliki 3 tingkatan: 

(1-3-1). Membandingkan Nikmat dan Maksiat 

Di tingkatan ini, kita harus membandingkan antara nikmat-nikmat yang kita terima dari Allah dan berapa banyak dosa yang kita lakukan, hingga kita tahu bahwa dalam dosa itu terdapat pengkhianatan dan pengkufuran atau pengingkaran terhadap nikmat yang telah diberikaNya. Begitu pula mesti kita bandingkan ketaatan kita dengan kemaksiatannya, hingga dapat dilihat mana yang lebih banyak hingga kita dapat melakukan perubahan. 

Perbandingan ini, tidak akan bisa dilakukan kecuali seseorang telah memiliki 3 hal. 

Hal pertama, memiliki “Cahaya Hikmah”, yakni “Cahaya Fikih”. Karena tanpa Cahaya Fikih, seseorang tidak akan tahu mana taat dan mana maksiat, atau mana taat yang taat (sesungguhnya) dan mana taat yang hanya sebagai kiraan taat. 

Hal ke dua, buruk sangka terhadap diri sendiri. Oleh karena itu harus selalu memper- tanyakan dalil dari setiap pilihan dan apapun perbuatan yang akan dilakukannya dan juga mempertanyakan dalil serta bukti keikhlashannya. 

Hal ke tiga, membedakan antara nikmat dan ujian. Karena dalam pemberian Tuhan, kadang dimaksudkan menikmati kita, dan kadang dimaksudkan menguji kita. Maksud menikmati adalah supaya kita tahu bahwa nikmat itu datang dariNya hingga kita mensyukurinya dengan taat dan tidak mengharapkan apapun dari selainNya. Sedang maksud menguji, adalah supaya kita menampakkan identitas diri kita terhadap kepa- paan kita hingga tetap dalam ketawadhuan (kesadaran terhadap kepapaan) dan tidak melakukan keujuban dan kesombongan. 

(1-3-2). Membedakan Milik al-Haq dari Milik dan Perbuatan Hamba 

Tujuan dari pembedaan ini adalah untuk mengetahui dan meresapi bahwa tiada alasan apapun untuk setiap kesalahan yang dilakuakan manusia. 

Dan pekerjaan ini juga memiliki 3 hal: 

Hal pertama, adalah semua kesalahan dan maksiat kita adalah dipilih dan dikerjakan oleh kita sendiri. Oleh karenanya ianya adalah pekerjaan kita dan karenanya kita akan diazab kelak di akhirat. Dengan demikian, keburukan kita itu adalah Hujjah Tuhan ke atas kita kelak. Yakni Hujjah dan Dalil untuk mengazab kita. 

Hal ke dua, adalah semua ketaatan kita, sebenarnya, merupakan pemberianNya. Karena setiap kewajiban yang kita lakukan adalah karena diwajibkan olehNya. Sementara Dia tidak memerlukan sedikitpun dari pelaksanaan kewajiban kita itu. Artinya, semuanya hanya demi kebaikan kita sendiri. Jadi, semua kewajiban itu hanyalah merupakan pemberianNya, bukan kebaikan kita hingga layak mendapat ganjaran dan balasan surga. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa alat kebaikan kita, yakni diri kita sendiri, adalah pemberianNya juga. 

Dengan demikian, kewajibannya, perbuatannya, keuntungannya dan ganjarannya benar-benar hanya berupa pemberianNya belaka, tidak ada yang dari kita. Milik kita disini hanyalah ikhtiar. Dan tanpa pemberianNya, kita juga tidak akan bisa memilih. Oleh karenanya, semua merupakan nikmat dariNya. 

Oleh karena itulah, ketika manusia memilih keburukan dalam lautan nikmat itu, maka hujjah Tuhan disini akan semakin kuat dan tidak bisa diingkari. Artinya, tidak ada yang bisa menggugat Tuhan kalau nanti Dia mengazab manusia karena dosa-dosanya. 

Hal ke tiga, adalah bahwa “al-Hukum”, yakni ketetapan Allah kepada kita dalam kitab Qadha dan QadarNya, merupakan hujjah pula ke atas kita, bukan untuk kita. 

Artinya, kita tidak bisa mengatakan bahwa karena semua yang akan terjadi sudah ditetapkan olehNya (ditulis) dalam kitab Qadha dan Qadar atau di kitab al-Lauhu al- Mahfuzh, maka semua keburukan kita itu dikehendakiNya hingga terlepaslah tanggung jawab kita. Tidak demikian. 

Hal itu karena semua hukum dan ketetapanNya itu disesuaikan dengan IlmuNya terhadap semua pilihan dan perbuatan kita sendiri, bukan ketetapan yang sesuai dengan ketentuan dan pilihan serta kehendakNya. 

Dengan tiga rincian dan hal di atas, dapat diketahui bahwa kita sama sekali tidak akan pernah memiliki alasan apapun dalam setiap kesalahan kita. Sementara dari sisi kebaikan, kita tidak memiliki hak apapun, seperti ganjaran dan balasan. Bahkan kita mesti pula mensyukuri semua kebaikan kita itu, karena semua itu adalah pemberianNya yang, sebanyak apapun syukur kita itu, tetap tidak akan bisa mencukupinya. Karena syukur inipun tetap merupakan nikmatNya dengan perincian di atas yang, patut dan harus disyukuri pula. 

(1-3-3). Mengerti Hakikat Taatmu dan Maksiatnya Teman 

Maksud dari tingkatan ini adalah menatap dengan cermat terhadap ketaatan kita/diri dan kemaksiatan teman kita. Karena kalau salah dalam menatap, maka kebaikan kita itu akan berbalik menjadi keburukan. Begitu pula dengan keburukan teman kita, yakni akan menjadi keburukan kita. 

Di atas sudah diterangkan bahwa semua kebaikan kita adalah pemberianNya belaka. Dari sejak pilihannya, pekerjaannya, keuntungannya sampai kepada surganya, adalah pemberianNya belaka. Artinya, kita tidak melakukan apapun untukNya dalam semua kebaikan dan ketaatan kita itu. 

Dengan demikian, kalau kita memandang kebaikan dan ketaatan kita itu sebagai kebaikan kita, dan kita senang serta lega dan merasa nyaman terhadapnya, bahwasannya kita telah melakukan balasan terhadap kebaikanNya (walau sedikit), maka kita telah jatuh ke dalam keburukan. Karena dengan itu berarti kita telah mengingkari pemberianNya itu, sebagaimana sudah dijelaskan. 

Begitu pula ketika kita melihat teman kita berbuat keburukan dan kita merasa lebih baik darinya, maka hal ini juga akan menjadikan kita masuk ke dalam keburukan. Hal itu, karena kita telah merasa ananis (akuis, dibawah ‘ujub/kagum dan sombong), ‘ujub (kagum diri sendiri) dan bisa sampai kepada kesombongan. Ketiga tingkatan ini (ananis, ‘ujub dan sombong) adalah keburukan terhadap kita. Sementara, teman kita itu, bisa saja nantinya segera bertaubat dan jauh bisa lebih baik dari kita sendiri. 

Perhatian: 

1. Edisi ini adalah edisi pertama dan percobaan, sengaja tidak ditag karena saya tidak merangsangnya, semoga kita terus menyelimuti diri dengan Kehangatan CahayaNya, amin. 

2. Saya juga tidak merelakan orang-orang mentag ke orang lain, tapi boleh mengambilnya dalam bentuk apapun untuk dirinya sendiri, dan boleh mengabari orang lain akan adanya catatan ini. 

3. Sampai disini, tingkatan yang sudah dibahas dari 10 tingkatan pertama adalah ting- katan pertama, yakni Permulaan. Dan dari tingkatan Permulaan ini, telah dibahas 3 tingkatan (Bangun, Taubat dan Muhasabah). Jadi, baru 9 tingkatan dari kurang lebih 300 tingkatan yang direncanakan. 

Walhamdulillah tsumma al-shalatu wa al-salam ‘ala Nabiyyi al-Kirom Muhammadian wa Aalihi al-athhar. 

Wassalam. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua yang telah memberikan dukungannya. Pekerjaan yang cukup memelalahkan karena saya sendiri tidak yakin dengan hasilnya. Jadi tulisan ini lebih benyak untuk khazanah keilmuan. Tapi temen-teman hanya punya hak untuk memilikinya dan tidak punya hak untuk menyebarkannya, tapi boleh memberitakan keberadaan catatan ini di catatanku. Oh iya, ada koreksian terhadap angka 3 pada keterangn judul dan pada point Perhatian ke 3 di kalimat ”Jadi, baru 3 tingkatan....”, menjadi 9. Afwan. 

Anwar Mashadi: Terima kasih pak ustad. Dalam catatan sebelumnya ada istilah irfan teori dan irfan praktik. Apakah benar jika tulisan suluk ilahih ini masuk dalam lingkup irfan praktik, yakni teori tentang bagaimana mencapai wahdatul wujud? 

Anwar Mashadi: Salam.. terus, jika pak ustad berkenan, darimana sumber rujukan yang pak ustad tulis ini? Adakah dia sudah rangkuman dari beberapa sumber atau dari sebuah kitab tertentu? Afwan dan terimakasih.. 

Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD. 

Anwar Mashadi: Maaf kalau saya kesulitan meringkas maksud dalam kalimat. (1) Maksud saya (dari pertanyaan pertama), Saya minta penegasan tentang keeratan hubungan peristilahan dari irfan, suluk, maqam dan wahdatul wujud, agar semakin mantab menyimak uraian-uraian pak ustad. (2) Apakah benar kalau saya katakan bahwa dengan menyimak uraian tulisan antum di sini, itu sama dengan sama membaca rangkungan antum dari kitab Manazilu Sairin karya Abdullah al-Anshari ra saja, atau juga dari kitab lain (karena disebut nama al-Qasani) juga. Dengan demikian, siapa tahu saya juga dapat rizki lain, ketika nanti saya mencari/membaca biografi beliau itu.. thanks. 

Adzar Alistany Kadzimi: 0ooooo.... Abdullah yang dari Hassan Ali Anshor atau Hussayn ali Anshor? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Anwar, saya rasa sudah jelas dalam asal tulisan di atas (catatan), tolong jangan buru-buru membacanya. 

Sinar Agama: Adzar: Beliau dan nasabnya sbb: Abu Ismail Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Ja’far bin Manshur bin Matti al-Anshari al-Harawi dari keturunan Abu Ayyub al-Anshari. Lahir pada th 396 Hijriah Qamariah. 

Anwar Mashadi: Thanks pak ustad, diingetin.. tampaknya saya terburu-buru membacanya... 

Syarifah Hana A. Fathiman: Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad. 

Zainab Naynawaa: Allahhumma Sholi ala Bihaqi Muhammad wa aAli Muhammad. 

Bande Husein Kalisatti: salam, ana kok gak ditag.. 

Sinar Agama: Bande: Untuk edisi ini tidak ditag dan tidak boleh ditag oleh siapapun. Walhasil penggunaannya sendiri-sendiri saja. Afwan. Antum lihat judulnya saja sudah dikatakan kalau hanya untuk pribadi yang mau dan tidak boleh disebar. Afwan dan terimakasih untuk semua yang jempolin dan memberikan komentar dan juga shalawatnya. 

Gazali Rahman: Syukran Ustadz izin copy dan disimpan agar dapat di baca berulang-ulang soalnya harus sering-sering baca baru bisa di fahami. Semoga antum sehat selalu. 

HenDy Laisa: Bisa dicopas ya ustadz...? 

Abu Humairoh: Sallam... Afwan ustad ana baru dibaca malam ini, atas permintaan ana tentang suluk menurut irfan, dan ana pernah menjalankan suluk ini tapi dari aliran tarikat akmaliyah waktu ana sekolah di ‘Aliyah, tarikat ini dari ahlu sunnah, sukron atas jawabannya ? Allohuma sholi ‘ala Muhammad wa ali Muhammad. 

Sinar Agama: Abu: Antum tidak melakukan apapun kecuali setelah membaca wahdatulwujud bagian 1-9. Karena saya masih yakin bahwa apa yang telah antum lakukan itu, tidak akan sama dengan yang kita tulis dan maukan. Artinya, seseorang harus mengerti dulu apa maksud wahdatulwujud dan baru melakukan suluk. Jadi, harap hati-hati. 

Abu Humairoh: Ya, ana akui apa yang ana lakukan pasti tidak sama karena dulu yang ana lakukn cuma bersifat tazkiyah binafsi, dan sudah lama ana tinggalkan karna waku ana belajar sama guru wahabi itu bertentangan tad, lalu sekarang setelah kenal ahlul bait, ana ingin mengenal dan mengetahuinya tad, dan ustad tolong bimbing ana sedikit-sedikit untuk menjalnkannya. Wasallam. 

Gunawan Harianto: Ijin share ustadz. 

Sinar Agama: Abu: bijaknya adalah memperhatikan semua catatan wahdatulwujud 1-9, dimana disebut Irfan Teori, yakni pembuktian wahdatulwujudnya, dan memperhatikan pula Irfan Amali- nya. Nanti kalau setelah dipelajari seksama, lalu ada pertanyaan, maka bisa ditanyakan. 

Sinar Agama: Gunawan; kalau hanya untuk diri sendiri dan tidak untuk orang lain, monggo saja. 

Abu Humairoh: Na’am ustad, sukron ana pelajari dari catatan 1 sampai 9. 

Sinar Agama: Abu: Ok, dan kunci dari Irfan Teorinya itu ada di : 

(1) Memahami hakikat Ada/eksistensi dan Esensi serta seluk beluk keduanya. 

(2) Benar-benar mengerti beda esksistensi (wujud) dengan esensi (batasan wujud). 

(3) Mengerti benar makna materi dan non materi. 

(4) Mengerti kenyataan dan dalilnya tiga alam yang dimulai dati Akal-satu, Akal-pertengahan, Akal-akhir, Barzakh dan Materi. 

(5) Mengerti benar apa makna terbatas dan tidak terbatas. 

Abu Humairoh: Afwan tad ana masih belum faham tentang akal satu pertengahan dan akal akhir? 

Sinar Agama: Abu: makanya baca semua catatan-catatan itu, ana tadi itu hanya mengarahkan antum titik penting pemecahan masalahnya. Jadi hal-hal tadi itulah kuncinya, dan semua sudah ada di catatan-catatanku. 

Agas Radityha Cahaya Abadi: Subhanallah masih belum mengerti, harus dibaca berulang kali agar lebih paham,, syukron antum bermanfaat.. met sore dan sukses selalu, hanya yss yang membalas kebaikan antum, amiennn. 

Sinar Agama: Agas; orang kita sendiri pahamnya setelah belajar filsafat dan irfan, ya...sudah tentu harus berpikir terus dan berdo’a serta menjauhi dosa. 

Agas Radityha Cahaya Abadi: Iya antum syukron,, islam keras namun tegas,, subhanallah masih harus banyak belajar.. Bismillaah, in syaaAllah ana bisa paham.. 

Candiki Repantu: In syaaAllah selalu berusaha untuk mengamalkan apa yang diketahui.. dan terima kasih atas catatan yang indah ini.. semoga kita dalam rahmat Allah dalam ”mendekat” kepada-Nya..! 

Abu Humairoh: Justru ana telah baca tulisan-tulisan ustad, dari 1 sampai 9.. tentang akal satu, kadang-kadang akal akhir ana kurang paham tad, memang ana punya kesimpulan tapi takut salah menafsirkannya seperti akal 1 alam nasut/materi akal pertengahan alam barzakh/alam malakut, akal akhir alam jabaruut terus ke Allah, betul ga ustad ? Di sini masih bingung tad, butuh arahan maksudnya ustad, atau arti keterjawantahkan ana belum tau tad ? 

Sinar Agama: Agas: itulah gunanya berteman dan bersaudaraan, saling ingat mengingatkan, diskusi ilmu, mengingati kebenaran, dan saling mendo’akan. Ingat, saling ya...jadi tidak boleh satu arah, kalau memang ada yang harus diucapkan dikritikkan didebatkan, maka lakukan saja dengan rilek tanpa emosi dan akuis. Kita, terkhusus aku, adalah dibawahnya tiada apa-apanya, jadi masih minus jauh dari yang terendah. 

Sinar Agama: Candiki: Semoga kita selalu memberadakan diri dalam selimut hangat hidayahNya, amin. 

Sinar Agama: Abu: tolong baca terus dan buat ringkasan, lalu baca lagi dan buat ringkasan lagi. Kalau perlu buat seperti sketsa. Terus renungkan. Kalau antum lakukan itu berketerusan tanpa kejenuhan, nanti setelah 6 bulan belum paham, maka antum tanyakan lagi. Tapi In syaa-a Allah, dalam sebulan sudah paham, kalau antum renungi setiap hari, ingat setiap hari. Untuk pengejawantahan itu adalah aplikasi atau pewujudan, apakah pewujudan tekad, ilmu, kehendak, makhluk...dan seterusnya. 

Abdul Azis Baeha: Salam Ustad... Apa kabar Ustad? Syukron atas Tulisan Antum ini... Walau belum maksimal untuk ana fahami apalagi untuk diamalkan tapi In syaaAllah dengan terus berhubungan dengan ilmu-ilmu yang antum berikan... Maka keridhaan Allah atas diri ini akan tercapai... 

Sinar Agama: A_AB: Terimakasih komentarnya, ana baik alhamd lillah. Semoga antum dan semua teman-teman di fb ini senantiasa dalam lindunganNya.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ