Tampilkan postingan dengan label Ilmu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Juli 2021

Ilmu Kita Tentang Tuhan


seri tanya jawab Mulla Adhy Chaer dengan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326176887427114/ by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, December 28, 2011 at 9:51pm


Mulla Adhy Chaer: Assalamualaikum. Afwan ustadz.. jika yang dimaksud dengan ilmu adalah sesuainya yang kita tahu dengan kenyataannya..lalu bagaimana dengan Tuhan, saya masih kurang mengerti Tuhan sebagai kenyataan?

Ammar Dalil Gisting menyukai ini.

Kamis, 10 Desember 2020

Antara Ilmu Agama dan Science


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/295781373799999/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 18 Desember 2011 pukul 21:38


Ahmad Arif: Salam,ustadz. Saya ingin bertanya. Apakah ilmu agama bertentangan dengan ilmu science?

Apakah agama bisa dijelaskan secara science, dan atau sebaliknya apakah science bisa dijelaskan secara agama?

Jika tidak bertentangan, bagaimanakah menjelaskan kelahiran Sayyidah Maryam melahirkan Isa as tanpa seorang ayah, atau Nabi Adam dan Hawa yang tidak dilahirkan?

Senin, 24 Desember 2018

Tentang Keturunan




Seri pertanyaan inbox-page Fatimah Adz Zahra Muhammad dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, March 31, 2013 at 2:35 pm


Fatimah Adz Zahra Muhammad: 15-2-2013, 

Salam ustadz.. Apa kabarnya ustadz? Afwan saya ingin bertanya lagi ustadz, bagaimana tanggapan ustadz tentang hadist di bawah ini.. 

Rasulullah Saaw berkata; 

“Cintailah keturunanku yang ber-ilmu/Alim karena Allah SWT, dan cintailah keturunanku yang biasa- biasa saja/bukan orang Alim, karena aku.” 


Bukankah Allah SWT dan Rasulullah adalah satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan? 

Tapi belajarlah tentang syiah yang sebenar-benarnya, dari orang yang punya kapabilitas tentang Ahlulbayt, belajarlah tentang apa arti “Itrah, Qurba, dzurriyah” dengan cermat, harus bagaimanakah seharusnya memperlakukan mereka... 

*Ayatulllah Sayyid ‘Adil Alawi berkata, “Dan juga menunjukkan keharusan menghormati dzurriyah adalah apa yang telah disabdakan oleh beliau (Saaw); “Cintailah dzurriyahku ‘yang shaleh karena Allah SWT dan yang tidak shaleh karena aku..” dan juga ayat Al-Qur’an surah Al-Istifa’...” 

(Menukil dari Sayyid Asyraf Mir Damad, Fadhail as-Saadaat, 49) 

*Muhaddist agung Syekh Abbas al-Qummi (penghimpun kitab do’a Mafatih al-Jinan) ra, beliau sangat besar penghormatannya terhadap para ahli ilmu, khususnya dari kalangan para sayyid, putra-putra Rasulullah Saaw. Dan jika di sebuah majelis ada seorang sayyid, beliau tidak men- dahuluinya dan tidak mengulurkan kakinya ke arahnya. 

Beberapa saat sebelum wafatnya, orang-orang membawakan jus apel untuk Syekh Abbas al- Qummi, dan secara kebetulan dirumahnya ada seorang anak kecil dari Saadah/sayyid, maka al- Muhaddist (al-Qummi) berkata, ‘Berikan kepadanya agar ia meminumnya terlebih dulu, setelah itu sisanya berikan kepadaku’. 

Beliau melakukan itu karena demi mencari berkah. Setelah anak kecil itu meminumnya, barulah al-Qummi meminum sisanya untuk dijadikan obat kesembuhan. 

*Wasiat Ayatullah al-Udzma Sayyid al-Mar’asyi an Najafi ra. 

Sayyid ‘Adil melanjutkan, “Termasuk wasiat guru besar kami Ayatullah Sayyid al-Mar’asyi ra, ‘Hendaknya kamu sekalian menjaga dzurriyah kenabian, berbakti kepada hak mereka, membela mereka, menolong mereka dengan tangan dan lisan, sebab mereka adalah titipan maqam kenabian di tengah-tengah umat manusia. Maka berhati-hatilah kamu dari menzalimi mereka, membenci mereka, buruk perilaku terhadap mereka, menyakiti mereka, acuh terhadap mereka, 

menghinakan mereka dan tidak menjalankan hak mereka. Hal itu semua dapat menyebabkan dicabut taufik Allah. Dan jika kamu (semoga engkau Allah darinya) tidak mencintai mereka dengan hatimu, maka engkau adalah orang yang sakit hatinya, bercepat-cepatlah untuk berobat kepada dokter jiwa (ulama shalihin). Apakah ada keraguan tentang keutamaan dan keagungan mereka serta ketinggian derajat dan martabat mereka?! Jauhlah... Jauhlah, tiada keraguan lagi kecuali orang yang buta mata hatinya dan kaku hatinya...” 

(Qabasaat Min Hayati Sayyidina al Ustadz, 130) 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Yang bisa saya tangkap dengan hati yang penuh hijab ini, dari pelajaran-pelajaran dan kehidupan keilmuan maka, KURANG LEBIH: 

Pesan Nabi saww tentang keluarga beliau saww itu, yaitu kewajiban menyintai, menolong dan seterusnya, adalah Ahlulbait yang makshum as. Alasannya di tafsir-tafsir Qur'an tentang cinta Qurba Nabi saww itu adalah karena Nabi saww tidak minta upah apapun dari umatnya untuk dakwah beliau saww itu. Nabi saww sama sekali tidak memiliki pamrih apapun terhadap dakwah beliau saww itu dan Tuhan juga seperti itu. Jadi, kalau ada permintaan kewajiban menyintai keluarga beliau saww adalah yang makshumin as. Karena hal itu bukan demi Nabi saww tapi demi umat beliau saww sendiri. Beberapa hari yang lalu di inbox saya pernah membahas hal yang mirip dimana membawakan ayat-ayat itu bagus di sini. Ini kunukilkan sebagiannya dari diskusi tersebut: 

Antum tidak bisa menafsir ayat dengan kehendak sendiri dan apalagi dengan perasaan. Allah banyak menjelaskan ayat itu di ayat-ayat lainnya, seperti: 

قل ما سألتكم من أجر فهو لكم إن أجري إلاّ على الله

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang kuminta dari kalian dari upah itu, adalah untuk diri kalian sendiri dan sesungguhnya upahku hanya di Allah.” 

قل ما أسألكم عليه من أجر إلاّ من شاء أن يتخذ إلى ربّه سبيلا

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang aku minta dari kalian dari upah itu, tidak lain untuk orang-orang yang hendak mencari jalan menuju Tuhannya.” 

قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang aku tidak minta upah apapun upah dari kalian darinya -tabligh- dan aku bukanlah yang memaksa.” 

Jadi, cinta yang diwajibkan itu adalah cinta yang teriring ketaatan dan sebagainya dan, yang tidak berupa keuntungan untuk Nabi saww di dunia ini, karena Nabi saww hanya akan mendapat dari sisi Allah. Oleh karena itulah maka keuntungan apa yang kalau menyintai keluarga Nabi saww itu yang bisa didapat? Jawabannya, adalah jalan menuju Allah. Nah, jalan menuju Allah ini hanya akan didapatkan secara pasti dari keluarga makshum Nabi saww. 

2. Sedang cinta kepada yang lain-lainnya dari para sayyid atau keturunan Abdulmuthallib ra atau keturunan Nabi saww secara khusus, yang bisa saya raba, sama dengan pesan-pesan Nabi saww kepada saling cinta dan tolong sesama muslimin. Sebegitu ditekankan terhadap saling tolong ini hingga siapapun yang tidak mau menolong saudara seimannya yang minta tolong dan dia mampu menolong, maka dosanya adalah dosa besar dan taubatnya tidak diterima Allah kecuali mencari orang tersebut dan menolongnya atau meminta ridhanya. 

Akan tetapi, kalau dalam setiap hal, ada saja gradasinya, seperti shalat berjama’ah dimana kalau calon imam shalat itu sama-sama adil dan alim, baik dari kalangan sayyid atau bukan, maka diutamakan (bukan diwajibkan) yang sayyid untuk dijadikan imam shalat, dan kalau sayyidnya lebih dari satu, maka diutamakan dipilih yang ganteng/tampan, maka dalam penghormatan ini juga seperti itu. Jadi, kalau mau menawarkan air kepada dua orang dimana yang satunya sayyid dan yang lainnya bukan, maka diutamakan (bukan diwajibkan) untuk menawarkan ke sayyid terlebih dahulu. 

Satu lagi yang bisa ana raba dari perilaku para ulama, adalah bahwa mereka mengambil jalan ihtiyath/hati-hati selama tidak bertentangan dengan hukum lainnya. Artinya mendahulukan sayyid karena tidak ada salahnya dan demi mengingat Nabi saww. Jadi, sekalipun anggap tidak dianjurkanpun, maka tetap tidak keluar dari garis agama. Tapi kalau berlawanan dengan hal lainnya, misalnya yang bukan sayyid lebih tua, lebih alim, lebih taqwa, ....maka mungkin mereka tidak akan melakukan kehati-hatian itu. 

Dari hukum shalat jama’ah itu sudah dapat ditangkap, seperti di fatwa imam Khumaini ra di Tahriiru al-Washiilah, masalah ke: 8 dari bab: syarat-syarat imam shalat (saya ringkas intinya saja): 

{{Kalau imamnya lebih dari satu, maka kalau saling mendahului, maka hati-hatinya tidak bermakmum kepada semuanya. Kalau saling mendahulukan/menyilahkan yang lainnya, maka ambil yang didahulukan makmumnya. Kalau makmumnya berbeda pendapat, maka diutamakan yang mujtahid yang adil. Kalau tidak ada atau juga sama-sama mujtahid, maka ambil yang paling bagus bacaannya. Dan kalau diantara mujtahid itu sama-sama bagus bacaannya, maka ambil yang paling alim dalam masalah shalat; kalau sama juga, maka ambil yang lebih tua. 

Imam yang biasa mengimami di satu masjid tertentu, maka ia di mesjid itu lebih utama dari yang lainnya, sekalipun fadhilahnya lebih rendah dari yang lain dan seyogyanya ia mendahulukan terlebih dahulu orang-orang yang lebih afdhal darinya sebelum maju mengimami (misalnya dia bukan mujtahid lalu kebetulan ada mujtahid yang mau bermakmum, maka ia seyogyanya menawarkan dulu kepada tamu tersebut). 

Begitu pula, yang memiliki rumah, lebih utama untuk menjadi imam shalat dari tamu-tamunya (tentu saja kalau memenuhi syarat jadi imam shalat, seperti lelaki, berakal, adil atau tidak melakukan dosa besar dan kecil...dan seterusnya). 

Dan sayyid, lebih utama dari yang lainnya kalau dalam fadhilah-fadhilah atau kelebihan- kelebihan di atas itu sama dengan yang bukan sayyid. 

Semua yang disebutkan di atas itu, adalah keutamaan saja dan bukan kewajiban.}} 

Dari fatwa di atas dapat dipahami bahwa keutamaan itu setelah melewati persyaratan imam shalat yang wajib dipenuhi. Jadi, keturunan atau bukan, harus lolos dulu dari syarat wajib ini. Baru setelah 

itu kalau yang keturunan ini mau diafdhalkan, harus melewati dulu fadhilah-fadhilah yang lain seperti mujtahid, lebih alim dan lebih fashih/fasih di antara sesama mujtahid itu, lalu lebih alim tentang shalat (lebih a’lam tentang shalat di antara sesama mujtahid itu), lebih tua diantara sesama mujtahid itu. Lalu yang biasa menjadi imam shalat di masjid, lalu pemilik rumah dan setelah itu baru sampai ke keturunan kalau ia sama dengan yang lainnya dari sisi fadhilah-fadhilah tersebut. 

Catatan

1- Masih banyak lagi bahasan yang bisa dibahas dalam hal ini.

2- Tentang perakitan tiga ayat untuk mengerti siapa Qurba yang wajib dicintai dalam  Qur'an itu, diambil dari tafsir Amtsaal, karya ayatullah Makaarim Syiiraazii hf.

3- Tentang sayyid Adil hf itu kita hormati pendapatnya, sekalipun kita mungkin agak beda kalau beliau hf memaksudkan pengkhususan hal-hal cinta, pertolongan ....dan seterusnya...itu kepada keturunan dan tidak kepada yang lainnya. Kalau semacam penggradasian, asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai lainnya, maka hal itu jelas wajar-wajar saja dan bisa dikatakan lebih ahwath/hati-hati. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Cara Mencari Ilmu dan Berguru



Seri tanya jawab Fatimah Zahra dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, March 31, 2013 at 1:43 pm


Fatimah Zahra mengirim ke Sinar Agama: (10-2-2013) 

Salam. Afwan antum jangan tersinggung yah, ada teman yang menitipkan pertanyaan kepada saya, bagaimana hukumnya orang berguru kepada ustadz facebook yang identitasnya dirahasiakan. Bahkan ditanya nama pun tak mau jawab. Maaf beribu maaf atas pertanyaan gak mutu ini. 


Hega Sevenfold: Emang gak bermutu, dari kata memanggilnya saja udah salah . hheu Antum = menunjukan lebih dari 1. 

Anta = pada 1 orang . :p 

Fatimah Zahra: Maaf, saya sedang tidak bertanya pada anda, maka diam lah!!!!! 

Hega Sevenfold: Jiah, kalau anda tidak bertanya pada saya, terus bertanya pada siapa donk hah ?? :p 

Fatimah Zahra: Stress yah? 

Hega Sevenfold: ciyuzz ?? hhaha dasar gelo maneh mah ... ckckkk 

Fatimah Zahra: Ustad, dia ini mengganggu saya..ahsan antum tegur. :( 

Damai Slaluww: hega,,_afwan ana nimbrung,, kalau dalam kaedah panggilan bahasa arab “antum” itu merupakan bentuk bahasa yang sangat sopan dalam memanggil seseorang. 

Contoh halnya sama dengan beberapa suku di Indonesia. Bahasa daerah yang menyebutkan “kita” untuk memanggil seseorang kamu (1 orang),, 

Afwan,,ana hanya berbagi sedikit, itupun ana dapat dari hasil pertanyaan ana kepada seseorang yang a’lam keilmuannya. 

Hega Sevenfold: Ya udah, ma’af ya udah ganggu . :) Tapi itu saran aku. “antum itu dhomir, jadi anda bertanya bukan pada ustadz saja” . :) Makasih. 

Damai Slaluww: hega@ahsan itu dhomir,, syukron sudah memperjelas kekurangan... Afwan,, salam. 

Hidayatul Ilahi: Nyimak aja dech. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Belajar itu dilihat apa yang dipelajari. Kalau tentang akidah, maka yang dilihat adalah dalilnya.
Karena dalam akidah tidak boleh taqlid. Jadi, yang dipentingkan dalam akidah adalah dalil. Kalau akidah saja yang dipentingkan dalilnya, maka apalagi dalam ilmu-ilmu lain seperti filsafat dan semacamnya. 

2- Kalau yang dipelajari itu fikih, yang tergantung kepada marja’nya. Artinya, pengajar itu hanya menyampaikan apa-apa yang difatwakan marja’. 

Dengan melihat obyek pelajarannya itu, maka belajar ke siapa saja, atau belajar ke yang tidak dikenalpun, tetap boleh-boleh saja. Kalau si pengajar tadi selalu mengajukan argumentasinya dalam ilmu-ilmu akidah dan ilmu-ilmu lainnya, dan selalu menukilkan fatwa marja’ ketika menjelaskan fikihnya. 

Nah, kalau pengajar tersebut sudah memenuhi syarat itu, maka ini yang dikatakan oleh para makshumin as seperti imam Ali as: “Ambillah hikmah (yang kuat dalilnya) itu dari siapapun orangnya.” 

Dulu hal ini sudah panjang lebar didiskusikan dan semua itu ada dalam catatan. Silahkan merujuk ke sana. 

Jawabanku ini bukan menyuruh orang belajar ke saya sebagai sinar agama yang tidak mau menyebut nama, tapi hanya sekedar memberikan jawaban dari apa-apa yang antum tanyakan. Siapa saja mau belajar ke siapa saja, merupakan hak masing-masing dan saya tidak ikut-ikutan bertanggung jawab kelak di akhirat. Saya hanya akan mempertanggungjawabkan jawaban-jawabanku di facebook ini atau di luar facebook, di hadapanNya kelak. Semoga kita semua bisa lulus dalam mempertanggungjawabkan masing-masing perbuatan kita, belajar kita ke seseorang, tidak belajar kita dari seseorang, amal kita ....dan seterusnya....amin. 

Sinar Agama: Hega: Belajar bahasa arab mbok jangan tanggung-tanggung kenapa??? Kalau begitu antum jangan pernah berkata kepada teman antum dengan “Assalaamu ‘alaikum”, kalau dia sendirian. Antum itu bisa bermakna mufrad tapi untuk penghormatan. Penghormatan memakai dhomir jama’ ini hanya tidak boleh dipakai ke Tuhan, karena bisa memberikan imej (gambaran) bahwa Tuhan itu lebih dari satu. 

Sang Pencinta: Salam mungkin ini relevan, Berguru pada Orang Yang Belajar Otodidak Oleh Ustadz Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=215602851817852,

Shalat ayat & Filsafatnya & Hukum mengambil berita fikih dari Sinar Agama, Oleh Ustadz Sinar Agama = 
http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/246251565419647/

Sang Pencinta: Kewajiban Beramar’ma’ruf Oleh Setelah Belajar di FB Oleh Ustad(Ustadz) Sinar Agama = 
http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/445205765524225/

Mata Jiwa: Saya justru salut pada pak ustadz yang merahasiakan identitasnya..tapi tetap melayani, meladeni pertanyaan-pertanyaan kita yang tidak berhenti-henti dengan penuh perhatian & sangat rinci, bahkan dalam 1 pertanyaan kita bisa dapat ilmu sampai berkali lipat. Saya bayangkan pak ustadz berada di depan laptop menjawab pertanyaan dengan cermat, coba renungkan. Apa yang beliau kerjakan tidak ada yang memuji karena mengenalnya, tanpa pamrih, disaat yang lain terang-terangan dapat ‘apresiasi nyata’..tak ada suguhan khusus dari kita dikesibukannya. Jika bukan karena profesionalitas & berharap ridhoNYA, tentu ini sulit. 

Sinar Agama: Mata: Terima kasih atas baik sangkanya, semoga benar-benar diwujudkanNya untukku, untukmu dan semua teman-teman facebook ini. Intinya, dunia ini bukan untuk huru hara, ramai-ramai penuh suka walau, tidak juga untuk selalu berduka dan bermuram durja. 

Tapi ketahuilah, bahwa begitu kita mulai naza’ dimana tenggorokan serasa tersumbat, lalu nafas terasa terhenti dan betul-betul berhenti, kemudian kita dimandikan dan dikafani, lalu dikubur menyendiri, maka kala itulah betul-betul buku amal kita akan terlihat nyata. Kosong atau bertinta. Kalau bertinta, apakah mengukirkan yang menyenangkan atau justru dengan yang membuat duka. Buku itu adalah buku amal yang benar-benar nyata. Bukan buku yang kita kira-kira, terutama yang kita kira dalam suka, atau yang kita ukir dengan baik sangka (pada diri sendiri) atau yang diukir dengan harapan hampa karena tanpa amal yang argumentatif dan nyata. 

Hanya pada Tuhan kita bisa berlindung dan mesti mengaitkan hati sebelum kemudian mengikatnya erat-erat, lugu dan tanpa peduli, gila bagai majnun, bertuli ria walau halilintar menyambar berjuta- juta, berjalan bagai orang bodoh karena tak pandai bargaining dengan dunia, dianggap kaku di pojokan mengikuti jejak buhlul yang selalu berlagak gila, menyela air matanya dengan penuh rela kala dicerca, menelan pahitnya putus cinta demi melatih diri sebelum ajal menyapa, pandai menyembunyikan getirnya kehidupan dengan canda ria, hanya memendam satu cita selama hayat masih menyerta, yaitu hanya dan hanya, ingin diterima Sang Paduka yang memang satu- satunya yang layak dicinta dan didamba. 

Suatu hari, Buhlul, di kesepian kota, ia menengadah ke langit sambil berkata:” Tuhan....jadikanlah aku yang benar-benar ikhlash padamu.” 

Doa ini ia panjatkan, karena ia berdakwah di tengah-tengah masyarakat dengan gaya orang yang tidak sehat akal. Ia sampaikan kebenaran ajaran agama dengan penampilan itu, supaya tidak ada satu orangpun yang mengira ia waras dan, apalagi layak dihormati. Karena itu, setiap ia mengucapkan suatu pernyataan, semua orang mendengarnya sebagai kebenaran yang memang benar walau datangnya dari seorang yang gila. Bagi, Buhlul, hal ini sudah cukup. Karena kebenaran itu diterima sebagai kebenaran walau dengan penampilan yang persis dengan orang gila itu. 

Jadi, ia sudah melakukan perintah agamaNya dan, dari satu sisi ia telah pula memendam gelora hatinya akan dunia ini. Itulah ia kadang melihat ke langit sambil berdoa seperti yang di atas itu agar ia tetap istiqamah dan tetap menjadi pengabai terhadap dunia. 

Semoga kita semua selamat dari segala macam tipu daya dunia yang sering membuat dada berdentum keras dan sering pula terjubahi dengan ratusan ayat dan ratusan hadits yang berlapis, amin. Ya Allah...sudilah menyelamatkan kami dari diri kami sendiri, karena kami sendirilah musuh terbesar kami, amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 07 September 2018

Logika (Bgn 4) “Akal Pahaman dan Akal Amali”



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:25



ENg’guh Al Ghifari : Salam ustad,, terima kasih banyak ustad atas jawabannya, afwan ustad saya ingin bertanya lagi, apakah benar ilmu bukan untuk di pahami dan pemahaman yang hakiki tardapat pada pelaksanaan hidup, itu baru makna suatu keilmuan. (Pertnyaan ini dari jawaban teman saya ustad, teman saya sendri memahami tntang ilmu yang dia pahami sperti itu.) Syukran ustad.

Sinar Agama : Salam dan terima kasih pertanyaannya, Ilmu jelas untuk dipahami. Dan ilmu, bukan gambaran akal atau keyakinan tanpa dalil, kecuali memang tidak ada predikatnya, seperti putih, panas, manusia, api, gunung dan seterusnya. Tetapi kalau mengandung hukum atau predikat, dan tidak tergolong ilmu mudah seperti api itu panas, maka harus memiliki dalil. Dan dalilnya harus bermuara pada ilmu mudah.

Dengan dua poin di atas itu dapat diketahui bahwa tidak mudah mengatakan ilmu pada sesuatu yang tidak mudah. Karena harus memiliki dalil yang bermuara pada proposisi atau stattement mudah seperti “api panas” itu. Dalam Qur'an dan hadits terlalu banyak yang memerintah kita untuk mencari ilmu, dimana kalau ilmu itu adalah ilmu agama maka yang mati di jalannya adalah mati syahid, dan selalu mendapat karuniaNya. Sampai-sampai dikatakan dalam suatu riwayat: “Orang yang beramal tidak diatas dasarkan pada ilmu, maka ibarat musafir yang tidak berjalan di atas jalannya.

Karena itu, kecepatan jalannya, tidak akan menambah apapun kecuali semakin jauhnya dari tujuannya.” Karena itu salah satu kewajiban yang termasuk terbesar dalam Islam, adalah kewajiban belajar ilmu akidah dan fikih.

Orang yang tidak belajar fikih keseharian adalah dosa hukumnya. Namun demikian, walau ilmu dan menuntutnya agama itu adalah kewajiban dan memiliki pahala yang tinggi dan yang mati di jalannya adalah mati syahid, akan tetapi dalam tingkatan yang lebih tinggi, ia adalah hijab. Artinya hijab yang berupa cahaya dan petunjuk.


Karena ilmu adalah hidayah dan petunjuk, seperti manual bagi setiap barang elektronika yang kita beli. Namun, kalau ia tidak diamalkan, dan dicintainya tanpa menyintai aplikasinya, maka ia adalah hijab. Artinya hijab bagi tingkatan yang lebih tinggi itu. Saking ditekankannya aplikasi itu, hingga imam Ali as. mengatakan bahwa: “Orang yang tahu tapi tidak beramal, maka ia tidak tahu.”. Hal itu karena kalau tahu itu ada tahu akli yakni pemahamannya, dan tahu/ilmu amali yakni yang menyuruh kita mengaplikasikannya. Yakni akal itu ada dua: akal pahaman dan akal amali.

Karena itu maka konsekwenan akal yang berupa ilmu, juga akan ada dua, yaitu ilmu pahaman dan ilmu amalan (bc: ilmu kita yang menyuruh bahwa ilmu yang benar itu harus diaplikasikan dalam kehidupan). Dengan penjelasan di atas itu, maka ilmu dan mencari ilmu itu adalah syarat bagi keselamatan. Namun demikian ia tidak lengkap kecuali dengan aplikasinya. Wassalam.

Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin dan 5 orang lainnya menyukai ini. 


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ