Tampilkan postingan dengan label Rahbar hf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rahbar hf. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 Oktober 2020

Kesaksian 2 Orang Adil Atas Ke-a’lam-an Rahbar HF


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/275881222456681/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 14 November 2011 pukul 22:39


Hidayatul Ilahi: Salam ustadz.

Dalam bertaklid harus adanya 2(dua) orang adil dalam menyaksikan seorang marja’ itu a’lam, benarkah demikian??

Jika benar, mohon ustad bersedia memberikan argumentasi aqli dan penjelasannya dengan sejelas-jelasnya..

Mohon ustad memberikan saya 2(dua) nama yang menyaksikan a’lamnya Rahbar hf. Mohon maaf sebesar-besarnya jika isi dan cara saya bertanya salah, ustad.

Terimakasih, ustadz.

Senin, 30 Desember 2019

Wilayatul Faqih (seri 2)


Oleh: Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=217520644959406 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 13 Juli 2011 pukul 16:11


Muhammad Ali: Salam, bagaimana menurut antum wilayatul fagih (rahbar) apakah beliau dipilih dengan musyawarah atau ditunjuk oleh yang mempunyai otoritas tertinggi saat ini yaitu imam Mahdi Alaihissalaam.

Kalau beliau dipilih secara musyawarah, dimana konsep imamahnya? Dan berarti juga beliau “tidak wajib” diikuti.

Kalau beliau ditunjuk oleh yang mempunyai otoritas tertinggi saat ini yaitu imam Mahdi Alaihis- salaam, berarti beliau ma’sum pada tingkatan beliau dan wajib diikuti.

Indikasi apa kita sebagai awam meyakini saat kemunculan Imam Mahdi (semoga kita termasuk dalam barisannya).

Sabtu, 28 Desember 2019

Taqiah (seri 2) : Penjelasan atas Fatwa Rahbar “Imam Ali Khamenei” tentang Taqiah


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=215668901811247 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 9 Juli 2011 pukul 17:03


Bintang Ali: Salam wa rahmah.

Ustad, dulu saya pernah bertanya tentang taqiah persatuan ke ustad dan intinya berjamaah dengan sodara sunni itu boleh selama fiqih solat syiah dikerjakan (sujud diatas turbah, irsal dan lain-lain), di luar itu solatnya ga sah.. tapi ada fatwa rahbar yang membingungkan saya:


Fatwanya:

“bermakmum pada sodara ahlusunah dengan tujuan untuk memilhara persatuan dan kesatuan islam adalah diperbolehkan. Apabila untukmemelihara persatuan ini meniscayakan pelaksanaan hal-hal sebagaimana yang mereka lakukan, hal ini diperbolehkan dan solatnya sah, BAHKAN JIKA MENGHARUSKAN SUJUD DI ATAS PERMADANI DAN SEJENISNYA, tetapi bersedekap dalam solat brsama mereka tidaklah diperbolehkan kecuali bila keadaan menuntut hal tersebut”

(sumber: daras fiqih, ringkasan fatwa imam Ali Khamenei.)

Yang saya capslock itu yang buat saya bingung, pertanyaannya berarti boleh sujud di sajadah dalam rangka persatuan? Atau ada maksud yang saya tidak paham dari fatwa tersebut ?

Syukron.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Yang dimaksud dengan shalat persatuan itu adalah dengan memelihara ajaran Syi’ah dalam shalat tersebut kecuali bersama merekanya atau bermakmum kepada merekanya.

(2). Yang dimaksud dengan tidak boleh bertaqiah dalam sedekap karena ia merupakan ajaran wajib syi’ah yang di sunni juga ada. Hingga akan terlalu berlebihan kalau lurus tangan juga harus sedekap. Lagi pula lurus tangan tidak akan menyebabkan berbagai kesalahpahaman dan fitnah.

(3). Beda halnya dengan sujud di atas batu. Karena bisa saja mereka mengatakan bahwa kami akan bersatu dengan kalian (syi’ah) kalau kalian menyembah Allah, bukan menyembah batu. Nah, sujud di atas batu itu bisa dibuat fitnah kepada orang-orang awam dan bisa menjadi penyulut perpecahan.

Jadi, masuk akallah kalau diumpamakan terjadi akan adanya sujud di atas karpet itu sebagai syarat persatuan. Karena itu, karena masuk akal inilah, maka taqiah dengan alasan persatuan ini dapat dijalankan.

Beda halnya kalau meminta tangan lurus. Karena hal itu tidak membuat fitnah dan apalagi di sunni juga ada yang lurus. Dan, terlebih lagi disunni sedekap itu maksimalnya hanya sunnah. Karena di sunni ada tiga hukum sedekap: sunnah, makruh, dan mubah.

(4). Nah, akan tetapi, kalau suatu saat bahwa sedekap juga membuatnya seperti itu, misalnya di daerah yang dihuni orang-orang awam dan bermadzhab syafi’i. Misalnya mengira bahwa sedekap itu wajib dan kalau tidak maka shalatnya batal. Lalu mereka berkata “kita tidak mau bersatu dengan yang shalatnya batal”. Nah, kalau seperti itu keadaannya, maka boleh juga bertaqiah dengan sedekap dengan alasan persatuan.

Tambahan:

Yang dibahas di atas itu adalah taqiah persatuan, bukan keamanan yang 4 itu (ada kemungkinan dipukuli, dibunuh, diperkosa dan diambil harta kehidupannya). Karena taqiah yang disebabkan keamanan, maka semua dibolehkan sesuai dengan tuntutan keadaannya. Seperti sujud di karpet, sedekap ...dan seterusnya.


Taqiah di atas, kalau dilakukan untuk puasa, maka hanya menghilangkan dosanya saja akan tetapi tetap wajib diqodho di lain waktu.

Maksud dengan taqiah di atas, adalah taqiah yang sudah dengan sebab-sebab yang benar tersebut. Bukan hanya untuk pertemanan dalam arti tidak mengancap persatuan, atau karena tidak enak dan semacamnya. Karena kalau dalam hal-hal seperti ini dilakukan taqiah puasa, maka taqiahnya batal karena tidak memenuhi syarat-syarat taqiah dimana akibatnya bukan hanya dosa, tetapi juga harus membayar kaffarah puasa selain melakukan qodho di lain harinya.

Wassalam.


Chi Sakuradandelion dan 6 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 05 Mei 2019

Fikih Adalah Hiriz/Ajimat Untuk Keselamatan Dunia-Akhirat


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 11:00 am

Sang Pencinta: 8 Maret 2013, Salam, mohon penjelasan. Sebelum mandi, setiap anggota tubuh yang hendak dibasuh harus disucikan terlebih dahulu, akan tetapi tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk mensucikan seluruh tubuhnya sebelum mandi, oleh karena itu bila anggota tubuh telah disucikan sebelum mandi, maka mandinya dihukumi benar. 

(Ajwibah al-Istifta’at, no.179, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 93). terimakasih ust. — bersama Sinar Agama. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: Salam,, kalau dalam Fikih Sistani,, sesuatu yang najis dan yang berbatasan/berdekatan dengan najis teresebut,, akan seketika menjadi suci ketika proses pensucian berakhir. 

Seperti orang yang memandikan jenazah,, dia juga akan menjadi suci ketika dia selesai mensucikan jenazah ... 

Untuk fikih Ali Khamene’i,, saya menunggu ustadz Sinar Agama 

Sang Pencinta: Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: kalau punya fikih Sistani format PDF Indonesia, tolong share ya. Terimakasih. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Maksudnya adalah, yang wajib disucikan sebelum mandi itu, adalah anggota yang mau dibasuhnya. Jadi, kalau kakinya najis, tidak wajib disucikan kalau masih mau membasuh bagian pertama (kepala dan leher) atau bagian tubuh yang masih di bagian atasnya. Nah, baru setelah kepala leher dan tubuh bagian atasnya itu sudah dibasuh dengan basuhan yang diniatkan mandi besar itu, maka baru kakinya disucikan dari najis sebelum mandi-besarnya. 

Sinar Agama: Nou: Saya tidak melihat hubungan komentar antum dengan yang ditanyakan Pencinta dan saya tidak dapat memahami pertanyaannya. Dan saya mengira bahwa antum salah memahami fatwa tersebut karena yang biasanya dimaksudkan adalah, kesucian bittaba’ atau kesucian dengan mengikuti. Seperti jenazah yang najis dan menajisi tempat pemandiannya dimana ketika jenazah sudah selesai dimandikan dan menjadi suci, maka tempat pemandiannya itu juga menjadi suci. 

Sang Pencinta: Nou: Ketika seseorang menyentuh mayat/memandikannya, ia wajib untuk mandi menyentuh mayat’ jika ingin sholat dan amalan yang memerlukan kesucian. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: @ sang pecinta : afwan,, kalau memakai pc,, bisa ke http://sistani.org 

Seseorang yang menyentuh mayat yang belum dimandikan,, memiliki hukum yang berbeda dengan orang yang memandikan jenazah,, 

@ ustadz sinar : afwan,, mungkin memang saya salah memahami ... Dalam Risalah Amaliah Ali Sistani masalah 378. 

378. It is not necessary that the entire body of a person should be Pak before Irtimasi and Tartibi Ghusl. So, if the body becomes Pak while diving in water or pouring water over one’s body with the intention of the Ghusl, the Ghusl will be in order. 

Terjemah

378. Tidak perlu mensucikan seluruh tubuh seseorang sebelum mandi Irtimasi and Tartibi. Jadi, jika badan menjadi suci ketika menyelam dalam air, atau menyiramkan air ke tubuh dengan niat Ghusl, maka mandinya sah. 

Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan fatwa antara Rahbar dengan Ali Sistani. Mungkin ustadz bisa sedikit menambahkan penjelasan ... Syukran. 

www.sistani.org 

Sang Pencinta: Nou: Seseorang yang memandikan jenazah, apabila hendak shalat, maka (setelah mandi menyentuh jenazah) dia harus berwudhu, karena tidak sebagaimana mandi janabah, mandi menyentuh jenazah tidak mencukupi kewajiban wudhu. 

(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 104) 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: benar,, wajib berwudhu,, tapi tidak wajib mandi menyentuh jenazah. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: untuk fikih Ali Sistani,, link rujukan 

http://www.almujtaba.com/malay/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/www.al-shia.com/html/id/islamic-laws/65.html 

afwan,, saya belum membuat terjemahnya. 

Ghusl for touching a dead body 

www.almujtaba.com 

Sang Pencinta: Coba perhatikan kalimat di atas (setelah mandi menyentuh jenazah)), di sini terlihat wajib pemandi jenazah wajib mandi. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: hmm ... 

Tolong bantu penjelasan kalimat berikut 

532. If a person touches a dead body after it has been given three obligatory Ghusls, Ghusl for touching will not be wajib. However, if he touches any part of the dead body before the completion of 3 Ghusls he should do Ghusl for touching the dead body, even if the 3rd Ghusl of that part which he has touched may have been done. 

219. When a person washes something with water to make it Pak, his hands washed along with that thing, will be Pak when the thing is Pak. 

Sinar Agama: Nou: Belajar fikih itu tidak bisa sekali baca. Kalau antum memang taqlid pada Rahbar hf seperti yang antum katakan di inbox, maka tolong baca fikih Rahbar hf itu secara berulang kali supaya tidak terjadi kekeliruan. 

Beberapa kali saya melihat antum ada kesala pahaman memahami fatwa yang antum nukil itu. Perlu antum ketahui bahwa hal ini wajar. Saya yang puluhan tahun di hauzah dan sudah dibimbing para guru, masih saja kadang salah memahami fatwa. Oleh karena itu, jangan tambah beban lagi. Pelajari satu fatwa dari marja’ antum itu dengan seksama dan berulang kali, karena ia adalah ajimat atau hiriz menuju keselamatan dunia-akhirat. 

Kalau memang antum mau cari pelarian dari ihtiyath-nya Rahbar hf, untuk bisa memakai fatwa Sistani hf itu, maka cari yang ihtiyath-ihtiyath wajib yang punya Rahbar hf dan bandingkan dengan fatwa Sistani hf, supaya kalau ada perbedaan, antum bisa nukilkan ke diri antum dan orang lain (kalau antum mau). 

Contoh ke dua yang sempat ana lihat dari kekeliruan tentang tidak mandi junubnya orang yang memandikan mayit di atas itu. Kalau dari fatwa lain, mungkin saja seperti yang antum katakan. 

Tapi kalau dari fatwa yang antum nukil itu, jelas tidak ada hubungannya sama sekali. Karena fatwa itu mengatakan bahwa wajib mandi ketika menyentuh mayat (yang sudah dingin walau tidak disebut di nukilan fatwa antum itu) yang belum dimandikan dengan tiga pemandian sebagaimana yang sudah diatur dalam bab memandikan mayat. Dan di fatwa itu dikatakan bahwa kalaupun sudah dimandikan, tapi belum lengkap tiga kali (dengan air campur bidara, dengan air yang dicampur kafur dan dengan air murni) dan sekalipun yang ke tiga itu sudah diperkirakan sudah dilakukanpun, maka tetap wajib mandi kalau menyentuhnya. 

Saya juga tidak ada waktu dan tidak merasa perlu untuk menyimak pemahaman-pemahaman terhadap fatwa Sistani hf itu karena tidak diperlukan bagi yang taqlid pada Rahbar hf. 

Anjuranku, bacalah dengan seksama fatwa marja’ antum dan fokuskan pada hal itu karena biar sudah puluhan tahun belajar agama dengan guru sekalipun, masih bisa terjadi salah paham dan semacamnya. Kalau antum lihat ana sendiri beberapa kali meralat informasi fikih ini, maka antum akan lebih merasakannya. Lah, kalau kita kira-kira sama dalam kecerdasan, lalu yang puluhan tahun belajar spesifik masih bisa melakukan kesalahan, apalagi yang baru mempelajari fikih secara otodidak dan hanya bermodal bahasa. 

Menyentuh mayat yang tidak wajib mandi itu dalam tiga kondisi (mayat): 

1- Yang mayatnya berupa mayat syahid dan matinya di medan perang (bukan mati syahidnya di rumah sakit setelah luka di medan perang, misalnya). 

2- Yang badan mayatnya masih hangat. 

3- Yang sudah dimandikan tiga kali (sebagaimana yang sudah diterangkan di atas). 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 02 Desember 2018

Jubah Kholiq




Seri komentar terhadap tag-an Komar Komarudin oleh Sinar Agama
by Sinar Agama on Sunday, January 6, 2013 at 2:54 pm



Komar Komarudin: 9-11-2012, Kebebasan dalam berfikir dan memilih adalah harga MATI, jangan terjebak dalam satu komunitas/Golongan tertentu, sehingga memasung dalam mengutarakan pendapat. Doktrin berguna pada saat itu masuk dalam wilayah hukum-hukum yang mewajibkan hambanya untuk taat Pada Rasul dan Allah SWT. 

Allah SWT yang Maha segala-galanya tidak pernah memaksa hambaNya, bagaimana mungkin sang mahluk memakai jubah sang Kholik.... — bersama Muhsin Labib dan 2 lainnya. 


Mohammad Jesus Kristus: Foto di atas memiliki Aura “Kesejukan”, Herannya kalau di Indonesia Orang yang berkostum seperti foto di atas, anak-anak muda yang beraura “Fasik”. 

Faizal Haris: Ijin share Mas 

Zila Rahim: Salam, wajahmu tenang dan menentramkan jiwaku. 

Komar Komarudin: “Ya Allah panjangkanlah umurnya, sehingga kaum muslimin mendapatkan banyak manfaat dari apa saja yang menjadikan kami semua terbimbing dari kepemimpinan-MU menuju kebenaran yang hakiki”, Ilahi ya Rabb. 

Fibri Behesyti: Semoga Allah selalu menjaga beliau. Amiiin. 

Ajeg Sinau: @MJK, maksudnya yang dahinya diitemin dan berbaju gamis? 

Abu Mohsein Ahmad: Ya Allah peliharalah anak cucu Muhammad ini, dan panjangkanlah umur Rahbar, dan perkuatkan kaki-kaki kami untuk mempertahankan kebenaran Muhammadi dan kesucian Ahlul Bait, a.s 

Dul Siaga: Allahumma Sholli Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad, Wa Ajil farojahum. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-annya, terlebih dengan foto Sang Rahbar hf yang kita cintai besama. 

Sedikit komentar terhadap pemaksaan. Ada beberapa model pemahaman tentang pemaksaan dan penerapannya serta gaya-gayanya sehubungan dengan hal-hal yang berkenaan dengan Islam. Dan hubungan keduanya dengan keTuhanan. 

Model-model Pemaksaan

1- Memaksakan pandangannya kepada orang lain dengan kekerasan fisik. 

2- Memaksakan pandangannya kepada orang lan dengan pemboikotan. 

3- Memaksakan pandangannya kepada orang lain dengan kata-kata kasar, hardikan, cemoohan, lecehan, penjuluran lidah dan seterusnya. 

Model-Model Pandangan

1- Pandangan yang bermodel pemberian, yakni memberikan pandangannya kepada orang lain. 

2- Pandangan yang bermodel penolakan, yakni panolakan terhadap pandangan orang lain. 

Model-model Gaya Pemaksaan

1- Kasar dan kaku. Artinya, dalam memberikan atau menolak suatu pandangan, memakai retorika yang kasar (baca: pede banget) dan kaku hingga tidak memberikan kemungkinan akan kesalahannya, baik di dalam dirinya atau audiennya/umatnya. Kata-kata seperti “sesat”, atau “gila”, atau “tidak sehat akal”, atau “kaku”, atau “bid’ah”, atau “musyrik”, atau dan atau ... 

2- Argumentatis. Maksud argumentatif disini, bukan yang sesungguhnya, karena kalau sesung- guhnya, tidak akan pernah memaksakan pandangannya atau penolakannya kepada orang lain. Jadi, argumentasinya dan dalil-dalilnya, berupa dalil-dalil yang sebenarnya belum tuntas dan belum akhir dan, sudah tentu masih memiliki kelemahan sana-sini. Kelemahan-kelemahannya ini, biasanya tidak terlihat oleh murid-muridnya yang mungkin maqom ilmunya lebih rendah dari dirinya. Karena itu, cara ini, banyak sekali menjaring umat dan sering cara ini dipakai oleh orang yang tidak jujur dan tidak takut kepada Allah alias mengutamakan diri dan harga dirinya ketimbang Tuhan dan agamaNya. 

3- Akhlakis. Maksudnya bukan akhlak yang sebenarnya. Karena akhlak yang sebenarnya, kalau dalam ilmu, adalah dengan mengajukan argumentasi/dalil terbuka. tapi gaya ke tiga ini, sebenarnya penentang akhlak dengan corak akhlak. Jadi, trik yang dipakai adalah premis- premis akhlak yang sebenarnya tidak berhubungan dengan topik yang sedang dibahas dan dihadapinya. 

Kata-kata seperti “kita harus ikhlash kepada Tuhan”, atau “kita tidak boleh berjubah Kholiq”, atau “orang itu berjubah kholiq”, atau “kita tidak boleh mengotori malam qadr dengan kajian dan pembahasan ilmu yang mengutarakan perbedaan”, atau “Acara ritual tidak boleh dicampur dengan kajian dan politik”, atau “masjid bukan tempat politik tapi tempat ibadah”, atau “asyura bukan tempat membahas perbedaan”, atau “kita jangan mengotori hati dengan bedebat”, atau “kita harus takut kepada Allah”, atau “kita harus meniru makshumin”, atau “kita harus menghormati para marja’”, atau “kita harus menghormati dan menaati Rahbar hf”, atau ..........atau...........dan atau...... 

4- Irfanis. Maksudnya bukan irfan yang hakiki, karena kalau irfan yang hakiki, sudah tentu dalam membahas ilmu dan pandangan-pandangannya harus tuntas dan karenanya harus terbuka. Karena yang dikejar adalah kebenaran sebelum mengaplikasikannya, bukan mengokohkan pandangan atau penolakannya. 

Gaya ke 2-4 ini, sering berhasil menjaring dan menipu umat. Karena secara umum, masyarakat kurang menggunakan akalnya dalam menghadapi masalah. Kalau ngaji dan diskusi dengan lingkungannya, mungkin cerdas dan mengutamakan akal. Akan tetapi, ketika berdiskusi dengan orang atau kelompok lain atau menghadapi masalah-masalah kehidupan dan pene- rapan, maka perasaan dan seleranya yang didahulukan dari akalnya. 

5- Puitis. Disini, keindahan natural dari sebuah puisi, dimanfaatkan untuk mencapai hal-hal yang tidak natural, yaitu pemaksaan dalam pemberian atau penolakannya terhadap suatu pandangan atau teori. Orang-orang yang lebih menguatkan perasaan, rasa dan khayalan, akan banyak terjebak dalam keindahan puisi ini hingga terseret kepada pahaman yang diembannya itu. Kata-kata indah seperti “Jubah Khaliq” akan sangat mampu menjebak orang ke dalam perangkat kejumudan. Tentu kalau digunakan dengan maksud pemaksaan tersebut, walau secara lahiriah dalam rangka menolak pemaksaan itu sendiri. 

6- Tangisan. Oh......air mata ini adalah jalan yang termasuk canggih untuk menipu diri dan orang lain. Dikira, air mata itu bukti kebenaran dan ketidakjumawaan. Padahal air mata yang menolak kebenaran, adalah kesombongan yang nyata selain, tentu saja, keriya’an yang menjijikkan. Tangisan, yang tersalur di bawah pimpinan akal, merupakan tangisan yang menyelamatkan. Akan tetapi air mata ini, lebih palsu dan berbahaya dari pada air mata buaya. Karena yang mau ditipu, bukan hanya seorang wanita/lelaki, akan tetapi dirinya sendiri, umat, agama dan bahkan Tuhannya. 

Keterangan

  1. Pembagian-pembagian di atas itu, mungkin tidak jami’ dan mani’, artinya tidak mencakup semua bagian-bagiannya dan tidak menolak masuknya bagian-bagian lain ke dalamnya.
  2. Komentarku ini, hanya sekedar adanya suatu lintasan yang melintas di benakku yang ku- khawatirkan tidak terlintas di benak sebagian teman. Karena itu, kadang ketika seseorang ditekan atau ditindas orang lain seperti ditekan wahabi, ia berteriak-teriak sebagai mazhlum/ tertindas, tapi kadang ketika ia sendiri menghadapi orang lain yang lebih lemah atau kelompok lain yang lebih sedikit, maka ia sendiri tidak beda dengan si wahabi itu. Kasar dan jumawa.
  3. Pemaksaan pandangan, biasanya selalu tergambar dengan pemberian pandangan. Padahal, sesuai dengan kenyataannya, dan sesuai dengan pembagian di atas itu, bisa juga berupa penolakan. Karena itu, pemaksaan ini, bukan hanya bisa berupa pemberian, akan tetapi juga bisa berupa penolakan.
  4. Dalam keadaan seperti di atas itu, maka akan sangat sulit bagi kita untuk selamat. Keindahan kata, ayat, hadits, akhlak, kelembutan sikap, ketawadhuan lahiriah, sopan santun dan seterusnya. 
Jalan Selamat: 

1- Kita tidak boleh memancing atau terpancing dan apalagi memberikan reaksi, terhadap apa- apa yang kita sukai atau kita benci (tidak suka). Karena kalau terpancing karena hal ini, jelas akan membuat diri kita keluar dari jalan ilmu dan kebenaran. Jaminan keluarnya itu, atau setidaknya kesangat mungkinan keluarnya itu, disebabkan karena dalam kondisi seperti ini, yang mana rasa/perasaan diutamakan, maka jelas akalnya dijauhkan atau setidaknya dikotori dengan rasa/perasaannya ini. Dan, kalau akal sudah diliburkan, maka apa lagi yang bisa diharapkan untuk dijadikan pegangan membedakan yang benar dan salah secara hakiki, bukan hanya sekedar islami secara lahiri. 

2- Akal adalah satu-satunya jalan keselamatan. Karena akal ini, diberikan Tuhan sebelum Ia 
memberikan agamaNya yang meliputi akidah, hukum, akhlak dan semacamnya itu. Jadi, kalau tidak ada akal, sudah pasti tidak akan penah ada yang namanya agama. Nah, ketika demikian halnya, maka mengapa akal ini sekarang bisa ditipu dengan hanya atas nama agama???!!! Mengapa kecerdasannya menjadi tumpul hanya dengan menghadapi nama-nama, Tuhan, Nabi saww dan Ahlulbait as???!!! 

Dulu, sebelum memilih Islam (bagi yang muallaf), cerdas menimbang hingga menentukan pilihannya kepada agama Islam. Nah, sekarang, ketika ada perbedaan di dalam Islam itu sendiri, mengapa menjadi tumpul dan tertipu hanya atas nama Islam itu juga? 

Dulu, sebelum menjadi Syi’ah, sangat hati-hati berdiskusi dan sangat cermat hingga tidak bisa tertipu dengan hanya pengajuan ayat-ayat, hadits-hadits makshumin as. Lah sekarang ketika sudah menjadi Syi’ah, mengapa akalnya menjadi tumpul dan mudah tertipu hanya karena pengajuan ayat-ayat, hadits-hadits makshumin dan hanya karena ustadznya seorang Syi’ah, cendikiawan, alumni hauzah, sarjana dan seterusnya. 

Padahal, semua itu, secara langsung tidak ada hubungannya dengan ilmu dan penyelesaian perbedaan pendapat dan pandangan, karena yang berhubungan, jelas dalil dan argumentasinya. Memang, kealiman atau keilmuan seseorang menjadi petunjuk bagi penguasaannya dalam bidang yang ia tekuni itu. Akan tetapi, ketika ada perbedaan pendapat, maka jelas semua embel-embel selain argumentasi itu sendiri, tidak bisa dijadikan pedoman untuk memilih salah satu dari pandangan-pandangan yang berbeda tersebut. 

Karena itulah, maka seorang alim yang tulus, akan tetap mengutarakan pandangannya dengan argumentasi dan dalil, serta akan malu meneriakkan titelnya dalam membela pandangannya. Seorang guru yang bijak dan arif, akan tetap memaparkan pandangannya dengan dalil dan akan malu meneriaki muridnya yang dari awal sudah jatuh mental itu. 

Penutup

Jangan sampai salah paham dengan tulisan di atas hingga mengatakan bahwa saya sudah meremehkan ayat, hadits, agama, Tuhan dan makshumin as. Na’udzubillah. 


Ayat-ayat, hadits-hadits, puisi, irfan, akhlak, tangisan, munajat, dan seterusnya itu jelas dapat digunakan untuk jalan kebenaran. Akan tetapi, setelah meluruskan akal kita dan membersihkannya dari pengaruh rasa dan perasaan. Karena kalau tidak, maka kita akan menjadi pembeli ayat- ayat dan syi’ar-syi’ar Tuhan dengan harga yang teramat sedikit, yaitu demi diri kita sendiri, baik langsung atau tidak langsung (seperti keluarga, kelompok dan seterusnya). Allah swt berfirman: - QS: 2: 41-42: 


“Dan berimanlah kalian kepada apa-apa yang telah Kuturunkan dimana membenarkan yang telah ada bersama kalian dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama yang mengingkarinya dan janganlah kalian beli ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit serta bertaqwalah kepadaKu (41). Dan jangan bungkus kebenaran itu dengan kebatilan dan janganlah menyembunyikan kebenaran sementara kalian menyadarinya!” 

- QS: 5: 44: 


“...., maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kepadaKu serta jangan beli ayat- ayatKu dengan harga yang sedikit (murah), dan barang siapa yang tidak menghukum dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” 

Ringkasan Dalam Satu Kalimat

Ikutilah dalil yang terbuka dan waspadailah dalil-dalil yang nyelip-nyelip dan menyelinap-nyelinap di gang-gang universitas semesta, serta tekan kuat-kuat gejolak rasa dan perasaan hingga akal kita menjadi jernih dan tanpa pamrih dan dapat memahami kebenaran itu dengan mudah, baik yang dicuatkan melalui rangkaian kata-kata argumentasi, rangkaian keindahan semesta alam ini, rangkaiana ayat-ayat, hadits-hadits, munajat-munajat, kidung-kidung, puisi-puisi dan tangisan ratapan ke hadiratNya. 

Wassalam. 


Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad 

Komar Komarudin: @ S A: Syukron Jazilah atas uraian/penjelasan yang mendalam terhadap status di atas, pandangan dunia tauhid yang argumentatif, dari sisi sosial masyarakat yang hetorogen, budaya, karakter dan lain-lain. Paramaternya jelas (akal) cara mensikapi Daya TOLAK dan daya TARIK, terhadap sebuah persoalan. 

Dul Siaga: catatan S.A, sebagaimana Imam Ali as, menghadapi LAWAN dan KAWAN senantiasa mengedepankan kepentingan umat, ketimbang pribadi dan keluarganya. Persoalanya adalah, apakah sesuai tanggung jawabnya, dan apakah pemikiran dan argumen yang kita bangun itu memang kehendak hukum Allah SWT, atau hal lain, tentu saja perlu ilmu yang mendalam untuk menilainya. Akal itu sendiri adalah karunia atau potensi yang diberikan kepada setiap manusia, tapi ketika dikembalikan ke masing-masing hambanya dan teraktual akan menjadi beda dalam penerapannya, artinya akal itu sendiri masih relatif sesuai fungsi-fungsinya pada saat diaplikasikanya 

Artinya, tidak cukup dengan akal saja sebagai parameternya, tapi harus terstruktur dan terbimbing berdasarkan proposal-proposal yang diajukan atas nama kebenaran hakiki (Agama), dan lebih mendalam lagi adanya pembawa kebenaran hakiki itu terwujud asli yang dapat menjawab persoalan-persoalan masyarakat, dan masyarakat itu sendiri menyambut dan menerima keberadaanya secara totalitas, tanpa itu menurut hemat saya, claim-claim atas nama golongan/ komunitas dan lain-lain. Sudah hampir pasti tanpa disadari bermuara kepada kepentingan kelompok/golongan, dengan kata lain “politik hewani”, afwan Ustadz mungkin komen ana terlalu jauh, kalau ada yang melenceng tolong diluruskan 

Sinar Agama: Dul S: Antum ini mungkin belum memahami yang saya tulis. Kalau semua dengan nama agama menjadi selesai, Tuhan lebih mudah dari awal menyelesaikan masalah umat ini. Bagaimana tidak, Dia yang diterima semua orang sebagai Tuhan (setidaknya bagi muslim), Dia Yang Maha Tahu, Dia yang punya surga-neraka, Dia yang melihat dan mendengar semua perbuatan manusia, Dia yang menurunkan Rasul-rasul as, Dia yang menurunkan imam-imam makshumin as, dan seterusnya. Akan tetapi, kapan Tuhan pernah berhasil dalam arti keseluruhan dan tuntas? Bukankah umat ini sejak dari nabi Adam as ya....selalu begini, yakni bisa dikatakan lebih banyak yang tidak baiknya? 

Nah, kalau Tuhan saja tidak bisa membuat manusia ini menjadi baik, lah apalagi kita yang hanya mengatasnamakan agamaNya? 

Mengapa wahabi itu sulit diperbaiki? Karena mereka meyakini sampai ke tulang sumsumnya sesuatu yang sebenarnya bersifat khayalan dan tidak ada ilmiahnya sama sekali, yaitu meyakini seratus persen di jalan Tuhan. Artinya, mereka benar-benar membuat jauh-jauh apa-apa selain agama Tuhan sekalipun itu dikatakan akal atau apapun juga. Inilah yang dalam sejarah Islam dikatakan ahlulhadits, salaf, wahabi dan seterusnya. 

Dengan demikian, pengatasnamaan agama, kemerasamerujukan kepada agama dan bahkan Yang Memiliki Agama itu sendiri, tidak bisa membuat kita menjadi benar dan menjadi baik. 

Mungkin ada orang berkata: “Uwwah si sinar agama yang Syi’ah bukan hanya mengatakan bahwa nabi-nabi as itu gagal, tapi Tuhan juga gagal.” 

Pernyataan ini, karena mereka masih merasa bahwa agama yang mereka pahami itu benar adanya. Jadi, mereka yang dengan seluruh lapisannya, baik yang tidak sekolah, yang SD, yang SMP yang SMA yang universitas, yang kiyai, yang ustadz dan seterusnya, merasa benar memahami agama. Memang, kalau ditanya secara sadar “apakah ilmu merkea sudah lengkap tentang Islam dan pasti benar/makshum?”, mereka pasti akan menjawab “Tidak”. Akan tetapi, dalam kehidupan, mereka mengamalkan kemakshuman mereka itu. Karena itu, mereka secara rata (padahal berbagai derajat pendidikannya), akan menanggapi setiap persoalan dengan meyakinkan dan mengatakan yang ini benar/Islam dan yang itu salah/bukan-Islam, yang ini hidayah dan itu sesat dan seterusnya. 

Karena itulah, bagi mereka yang Namanya Tuhan dan para nabi as, harus sukses dan tidak boleh salah hingga kalau ada yang berkata sebaliknya maka ia telah kafir dan melecehkan Tuhan dan para nabi as itu. Terlebih kalau mereka bergaya hidup dengan rukun iman “Apapun telah digariskan Tuhan”, wah....tambah berabe/hancur. Karena dari satu sisi akan mengatakan bahwa Tuhan dan para nabi as itu pasti berhasil dalam mendidik umat, di sisi lain, yang berbunuh- bunuhan dari umat nabi as seperti shahabat Nabi saww, sama-sama hebat, sama-sama benar, harus ditiru dengan baik dan sama-sama diridhai Tuhan di surga dan seterusnya. 

Akal mereka tidak akan pernah dibuka untuk mengerti kekontrasan dua proposisi: “Tuhan dan para nabi as pasti benar dalam mendidik manusia” dan “Kegagalan manusia/umat yang nyata dalam sepanjang sejarah agama dan kenabian”. Mereka sangat-sangat tidak mampu memecahkan masalah yang sangat sederhana ini. Mengapa? Karena mereka sangat menyanjung agama dan menepis semuanya terlebih yang namanya akal. 

Kata-kata: “Agama adalah tempat kembali manusia”, atau “Agama dari Tuhan karenanya lebih unggul dari semua pemikiran”, atau “Agama adalah tempat kembalinya akal.”, atau “Agama adalah pemecah hakiki dan bukan akal yang relatif.”, atau “Agama dari Tuhan dan pemikiran akal dari manusia”, atau “Agama adalah pembimbing akal.” , atau “Akal tanpa bimbingan agama akan sesat.”, atau “Agama adalah kebenaran hakiki dan akal adalah kebenaran relatif dan hewani”, dan seterusnya adalah pernyataan yang sangat indah dan mempesona hingga berabad tahun yang lalu dan ke depan, akan tetap menelan korban dari kebanyakan manusia dimana kebanyakannya justru umat yang beriman. 

Mengapa demikian? Karena ia tidak menyadari dan tetap tidak mau menyadari bahwa agama yang ia pahami itu adalah hasil dari akalnya sendiri. Dia mengira, kalau sudah agama, kalau sudah ayat, kalau sudah hadits shahih, kalau sudah hadits mutawatir, kalau sudah Nabi saww, kalau sudah imam makshum as, kalau sudah imam Khumaini ra, kalau sudah Rahbar hf, kalau wilayatulfakih, dan seterusnya sudah pasti benar, harga mati, kebenaran hakiki, tanpa kepentingan, dan seterusnya. Padahal, yang ia pahami dan yakini sebagai ayat, hadits, Nabi saww, para imam as, para marja’, wilayatulfakih, Rahbar hf, imam Khumaini ra, tanpa kepentingan, agamis dan tidak hewanis dan seterusnya itu, adalah seuatu kenyataan yang ada dalam bayang akal dia sendiri. Inilah yang saya mungkin sering katakan “Ingin menjadi Tuhan”. Gaya hidup seperti ini, biasanya dimiliki wahabi dan umat lain yang bergaya hidup seperti mereka termasuk sebagian teman Syi’ah di Indonesia ini (semoga antum tidak seperti itu walau hal itu tercium dari tulisan antum tersebut, amin). 

Premis-premis atau proposisi-proposisi atau statement-statement seperti “Tuhan adalah segala- galanya.”, atau “Agama adalah kebenaran hakiki dan tempat kembalinya akal” dan seterusnya dari kalimat-kalimat di atas itu, memang merupakan proposisi yang benar. Ini persis dengan pertanyaan Sarboz Osemon tentang pendahuluan akhlak kubro terhadap akhlak sughra yang namanya fikih. Artinya, tanpa penerapan ke premis kecilnya, sama sekali tidak akan menghasilkan apa-apa. 

Misalnya, “Agama adalah tempat kembalinya akal”. Nah, terus mau apa? Apakah kalau kita buka Qur'an, lalu itu agama? Bukankah Qur'an yang kita pahami, hadits yang kita pahami, wilayatulfakih yang kita pahami dan seterusnya itu merukan pahaman akal kita? Lah, kalau akal kita ini harus dikembalikan ke agama, lalu pemahaman agamanya juga tergantung kepada akal kita dan kecerdasannya, maka adalah keberputar-putaran lebih jelas dari hal ini? Adakah kekusutan melebihi kekusutan cara berfikir ini? Mengapa sangat sulit menerangkan yang sangat sederhana ini? 

Karena itu, untuk melepaskan diri dari kepentingan apapun, maka harus ikut dalil akal dan menjauhi selainnya sekalipun itu atas nama agama itu sendiri. Karena sering kali, agama ini, dijadikan tumbal bagi pemahaman akal seseorang yang sangat sempit dan kebodoh-bodohan dalam memahami agama, tapi sok pada dan mengatakan “Inilah agama”, “Ini ayatnya”, “Ini haditsnya”, “Ini fatwa Rahbarnya” dan seterusnya. 

Ayatullah Jawadi Omuli hf, sering menyampaikan keherannya (tidak dalam kalimat langsung) tentang orang-orang yang mengkontrakan akal dan Qur'an (agama). Karena akal, bukan untuk dihadapkan kepada agama atau bukan untuk dibandingkan dengan agama atau diadu dengan agama. Akan tetapi, ia adalah dasar memahami agama itu sendiri. Artinya, tanpa akal (maksudnya yang argumentatif dan bukan akal-akalan), maka manusia seperti hewan yang sama sekali tidak akan memahami ajaran agama itu sendiri. 

Beliau hf mengatakan (ini bukan untuk ditaqlidi, sekedar menukilkan salah satu petuah-petuah hikmah/argumentatif-nya) bahwa “Akal dan agama itu adalah sama-sama alat untuk memahami hakikat dan jalan hidup.” 

Jadi, ketika Tuhan mencipta alam semesta ini dan manusia di dalamnya, maka karena manusia memiliki akal, mestilah ada tanggung jawabnya. Karena itu, Tuhan mengurai tentang alam dan tanggung jawab manusa ini di alam ini. Uraian Tuhan inilah yang dikatakan agama. 

Nah, akal sendiri, sangat mengetahui hal itu. Yakni bahwa karena ia dicipta Tuhan dan memiliki akal, maka ia harus hidup sebagaimana layaknya makhluk berakal dan tidak hidup seperti hewan. 

Inilah yang dikatakan sebagai tangung jawab itu. 

Banyak sekali hakikat yang diurai agama, sebenarnya bukan penguraian sebagai penjelasan, akan tetapi penguraian sebagai pengingatan. Yakni mengingatkan kepada yang sudah diketahui manusia. Karena itulah, salah satu nama agama itu adalah sebagai peringatan atau pengingat. Karena itu Nabi saww dikatakan sebagai Mudzakkir/ Pengingat. 

Memang, dalam beberapa hal, terutama yang berupa ghaib seperti akhirat, walaupun akal dapat tahu secara globalnya, akan tetapi untuk mengetahui rinciannya, akan terasa sulit. Begitu pula tentang rincian-rincian dan detail-detail tanggung jawab di dunia ini. Karena itulah Tuhan menurunkan agamaNya untuk merincikan semua tanggung jawab dunia itu dan hal-hal ghaib akhirat. 

Tapi ingat, Tuhan menurunkan agamaNya itu bukan dengan tujuan membunuh akal dan mele- cehkannya sebagai kepentingan hewani, tapi justru menurunkannya untuk membimbing akal tersebut hingga menjadi paham dan benar menjadikannya akal yang sempurna dan keluar dari akal-akalan yang diatas namakan kebenaran dimana justru yang seperti inilah yang layak dikatakan sebagai “kepentingan hewani”, walau bersembunyi di ketiak agama. 

Nah, ketika Tuhan menurunkan agamaNya untuk dipahami akal, maka disinilah kita mesti memaksimalkan daya tangkap agama ini. Yaitu akal kita. Karena itulah, kita tidak boleh sama sekali mengatasnamakan agama hanya karena kita memahami agama tersebut seperti itu. 

Jadi, satu-satunya tempat kembali dalam memahami masalah, termasuk dalam memahami agama itu sendiri, adalah akal semata. Dan akal, sudah tentu adalah yang benar-benar akal, bukan yang akal-akalan dan abu-abu. Yakni harus berupa akal argumentatif, gamblang, terbuka, teruji di atas ring dunia/umum seperti fb ini (bukan teruji di depan murid-muridnya yang memang sudah kuduk/tunduk duluan dari awal dan sering menjadi korban pembodohannya dengan berbagai tangisan, kekhusukan, anjuran akhlak, sopan santun dan seterusnya di mana tidak ada hubungannya dengan pencarian kebenaran secara langsung dan bahkan dimaksudkan untuk menutupi kesalahannya dan kebodohannya, baik sengaja atau tidak, baik langsung atau tidak). 

Hanya kepada Allah kita harus berharap agar kita bisa benar-benar menjadi manusia yang manusia yang terbedakan dari makhluk lainnya, yaitu manusia berakal yang sempurna. Di mana akal ini jelas dua bagian: Akal-pahaman (untuk memahami masalah dengan benar melalui argumen yang jelas) dan Akal-aplikatif (yang menyuruh mengamalkan yang sudah benar dipahami), amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 17 November 2018

Teleskop Dan Hilal



Seri tanya jawab Merah Hitam dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, December 13, 2012 at 11:00 pm


Merah Hitam berbagi album Ayatullah Sayyid Ali Khamenei (ra) : 19 Agustus, (ADA FOTO PARA PENGHILAL IRAN DENGAN TELESKOP-TELESKOPNYA) 

Merah Hitam: ustadz ini lihat bulannya pake teleskop? 

Sinar Agama: Salam, teleskop itu biasanya untuk mempermudah pencarian saja, bukan penentu wujudnya hilal. Di Iran itu, karena negara Islam, yakni mampu dengan biaya besar, malah ada yang pakai pesawat hanya untuk masalah hilal ini. Yakni melihat dari langit. Akan tetapi bukan untuk penentuannya, tapi hanya untuk memudahkan pencarian dan mengabarkan kepada yang di bumi, karena penangkapan bulan tersebut hanya dalam beberapa menit atau bisa detik (dalam kondisi tertentu). Jadi, yang tidak uruf, hanya sebagai pelengkap dan mempercepat penangkapan bulan. 

Afrianto Afri: Ustadz Sinar Agama saya baca dalam fatwa-fatwa Rahbar soal 839 hal 319, penerbit Al huda, disebutkan melihat dengan teleskop dan mata telanjang sama hukumnya dan bisa digunakan dan diakui. 

Sinar Agama: Afri: Di sana dikatakan bahwa kalau penglihatan teleskopnya itu bisa dikatakan melihat bulan secara uruf. Artinya bisa dikategorikan melihat bulan dengan mata. Nah, teleskop yang bisa dikatakan orang-orang umum bahwa ia adalah sama dengan penglihatan mata, berarti yang tidak menembus awan, yang tidak membesarkan yang tidak tampak ..dan seterusnya. Semoga Allah sudi melindungi kita dari kesalahan. Memang, bisa saja maksud beliau hf itu seperti yang antum bayangkan itu, akan tetapi, pemahaman yang wajar dari persyaratan beliau hf sebagaimana bisa dikatakan melihat bulan secara umumnya orang-orang, maka bisa dipahami seperti yang sudah saya terangkan ini. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Afrianto Afri: Bagaimana membesarkan yang tidak tampak, apa yang mau dibesarkan. Mana bisa teleskop menembus awan, kan benda kelihatan jika benda itu memancarkan/ memantulkan cahaya, setahu saya sih teleskop adalah alat untuk melihat benda yang jauh agar lebih dekat kelihatannya... sehingga pengamatannya lebih teliti/ detail. 

Sinar Agama: Saya sudah jelas dalam menjelaskan tentang teleskop itu, jadi cukup keterangan di atas. 

Ilustrasi: Suatu hari ada kerumunan tanpak dari kejauhan. Saya mendekatinya. Ternyata orang- orang sedang mengerumuni teleskop dan bergiliran melihat ke langit. Katanya melihat bintang Fulan (saya sudah lupa nama bintang yang disebutkan mereka). Sayapun tertarik mengintipnya. Karena itu saya antri. Sayapun bertanya kepada mereka ”Bintang yang mana yang mesti dilihat”. Maklum banyak bintangnya di langit. Orang-orangpun berkata ”Yang itu”, sambil menunjuk. 

Sayapun langsung mengintip sebab ingin tahu akan membesar seperti apa kalau dilihat dengan teleskop. Sebab saya juga berpandangan seperti yang dikatakan mas Afri itu. Eh saya kaget sekali. Ternyata bintang yang tadi saya lihat dengan mata telanjang itu, tidak bergeming dari sisi besar- kecilnya. 

Sayapun bertanya kepada orang-orang sekitar ”Kok tidak membesar, lalu apa gunanya teleskop ini?” Merekapun menjawab ”Untuk kejernihan.” 

Yang saya tangkap dari hal tersebut adalah bahwa sekalipun teleskop itu bisa untuk mendekatkan akan tetapi kalau untuk benda yang sangat jauh kurang terasa dan tidak beda dengan mata selain di masalah kejernihannya. Memang ketika itu ikat pinggang si bintang bisa nampak dengan teleskopnya itu. Btw dan apapun itu, apa yang dapat kita pahami dari fatwa Fahrbar hf yang membolehkan teleskop itu dengan syarat bisa secara umum dikatakan sebagai ru’yat mata. Jadi, kalau ada teleskop super gede yang dapat membesarkan bulan, maka hal itu kita pahami keluar dari pembolehan beliau hf. 

Sang Pencinta: Afri, teleskop itu bisa untuk memperbesar dan memperkecil, lensanya bisa diset untuk memperjelas objek yang diamati, coba antum lihat aslinya. Nah yang dikatakan ustadz fungsi memperbesar dan memperkecil ini, sehingga teleskop ini tidak bisa digunakan untuk melihat hilal. Antum kalau mengikuti dengan teliti tulisan ustadz dan tidak mengikuti kecenderungan, antum akan mudah memahami esensi tulisannya. 

Afrianto Afri: Kalau tidak bisa mendekatkan/ memperbesar bukan teleskop namenye om, kacamata saja berfungsi seperti itu. Fatwa rahbar kan jelas itu bahwa teleskop dihukumi sama dengan mata telanjang. Jika diharuskan tidak memperbesar itu bukan teleskop namenye tapi botol .. 

Sang Pencinta: Awalnya antum mengajukan fatwa Rahbar ke Ustadz terkait teleskop, lalu ustadz menjelaskan dan antum menolaknya sesuai kecenderungan antum, ini namanya mbulet. Mas Afri, coba antum liat Ajwibah Istita’at no 835, Pengambilan gambar hilal dengan menggunakan alat komputer dan sarana semacamnya yang TIDAK DAPAT DIPASTIKAN SEBAGAI PERBUATAN RUKYAT(melihat) adalah BERMASALAH (ISYKAL). Ustadz sudah menjelaskan detail di atas. 

Sang Pencinta: Asdedpn Ferskadn Iran lebaran menurut info di metro tv jatuh hari senin. 

Sinar Agama: Asddpn: Tidak, pada jam sekitar 24.00 sudah diumumkan lebaran juga. Itu tandanya sulitnya melihat bulan di sana seperti di Indonesia. Padahal Rahbar hf sudah mengutus petugas- petugas di sana ke 180 titik strategis dan di sana bukan daerah mendung dan pegunungan (karena padang pasir kecuali di beberapa daerah utara). Tapi dari sekian ratus orang di 180 titik itu, ada yang dapat melihat bulan dan memenuhi syarat fikih. Karena itu, pengumumannya tertunda sampai jam sekitar 24.00 jam setempat. Saya kemarin belasan jam mencoba dengan seluruh keterbatasan ini, mencari informasi dalam dan luar negeri untuk mendapat keyakinan, tapi sampai shubuh waktu Indonesia dan bahkan sampai saat sekarangpun belum bisa meyakini informasi yang ada. Dan karena hal ini kembali kepada masing-masing mukallaf, yaitu untuk meyakini informasi yang ada yang tidak muttafakun ‘alaihi dari sisi cara ru’yat, kondisi peru’yat ...dan seterusnya..., maka yang sangat lemah dan banyak kekurangan ini, tidak mampu lagi membantu memudahkan antum kecuali dengan menganjurkan puasa (karena itulah memang kewajiban hari syak) dan/ atau lari ke batas musafir (kalau belum zhuhur). Afwan banget deh ya ... mohon maaf dan mohon doanya. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 24 Agustus 2018

Lensa (Bgn 27): Qada dan Qadar dalam pandangan Syiah dan Sunni



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 15:39


Yustanur Jambak: Salam ustad, jumpa lagi... Saya berkesimpulan perbedaan yang mendasar antara shiah dan suni adalah tentang Qada dan Qadar .. bagai mana menurut pendapat ustad..?

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya: Bukan disitu letak beda dasarnya, tetapi di imamah. Yaitu kemestian diteruskannya kepemimpinan setelah Nabi saww oleh orang maksum di ajaran Syi’ah, tetapi sebaliknya di Sunni. Kalau kita mau bicara isi, biar tentang Tuhan, juga banyak perbedaan. Misalnya Tuhan di pandangan sunni bisa dilihat dengan mata, baik di dunia (bagi sebagian shufi dan ahli thariqat) atau di surga (secara muttfakun ‘alaihi). Tetapi menurut syi’ah, Tuhan itu tidak akan pernah bisa dilihat dengan mata di alam manapun juga.

Nabi saww juga begitu, kalau di pandangan sunni (walau mungkin tidak semua) kemaksumannya hanya di waktu ketika beliau mengajar agama, tetapi dalam menjadi suami, pemimpin negara, pemimpin perang, waktu makan, tidur, kawin ...dan seterusnya tidak maksum. Tetapi di syi’ah harus maksum dalam segala hal. Karena semua hal itulah yang dijadikan hadits sebagai rukun ke dua setelah Qur'an untuk mengerti Islam.

Qur'an juga begitu. Menurut sunni disusun oleh selain Tuhan tetapi oleh tim yang dipimpin oleh Utsman (walau ada juga saudara sunni yang sama dengan syi’ah) dan Bismillaahnya tambahan (berarti ada tambahan 112 ayat dalam Qur'an). Tetapi kalau menurut syi’ah susuran ayat dan surat Qur'an jangankan Utsman, Nabi saww saja tidak boleh menyusunnya, tetapi harus Tuhan sendiri sebagaimana di QS: 75: 17, yang mengatakan: “Sesungguhnya hanya Kami yang berhak mengumpul dan membacakannya -Qur'an.”

Masih banyak perbedaan lainnya. Akan tetapi kesamaannya juga sudah tentu lebih banyak dari perbedaannya. Karena itu, kalau ingin tahu beda kedua ajaran ini (sudah tentu tidak sebanyak persa- maannya), bisa merujuk ke kitab yang berjudul “Ma’aalimi al-Madrasatain”, “Ajaran dua sekolah.”

Catatan: yang melakukan perpecahan di kalangan kaum muslimin, di saat Palestina, Iraq, Afghanistan, negara-negara Arab dan dunia Islam pada umumnya masih dalam jajahan militer, negara, politik, ekonomi dan sosial, oleh kafir-kafir barat yang bergandeng tangan dengan para wahhabi, adalah dosa besar yang taubatnyapun sulit diterima (kata Rahbar hf) karena akibat yang ditimbulkannya biasanya sulit untuk dihapus (kata Rahbar hf). Maksud kata-kata beliau hf ini adalah, menghapus akibat dosa kita di dunia, merupakan syarat diterimanya taubat. Misalnya kalau kita mencuri ayam tetangga, maka syarat diterimanya taubatnya adalah mengembalikan ayam itu ke tetangga yang dimaksud. Tetapi kalau taubat dari membuat perpecahan, dimana mungkin sudah terjadi jatuh korban, atau sehari saja bertambahnya umur penjajahan zionis di Palestina, dan semacamnya, maka akibat-akibat buruk itu tidak biasanya tidak mungkin bisa dihapuskan. Karena itulah maka taubat dari membuat perpecahan ini sulit diterima Tuhan. Memang, bagi pelakunya harus segera berhenti. Tetapi dosa yang telah lalu, hanya bisa diharapkan pengampunanNya, tetapi bisa dipastikan di dunia ini. 

Wassalam.


Yustanur Jambak : Terimakasih ustad, banyak hal yang belum saya ketahui tentang sunni apalagi shiah... menyimak dari uraian ustad di atas amat lah mustahil terciptanya persatuan antara keduanya, seperti yang sudah lama sekali diimpikan banyak orang. Bagaimana menurut pendapat ustad ..?

Sinar Agama: Yustanur: Apa arti persatuan buat antum? Apa sama pendapat? Itu mah ...satu namanya, bukan persatuan. Persatuan itu justru ketika berbeda.

Yustanur Jambak : Ha ha saya senang kalau ustad berfilsafat... Kembali ke pertanyaan saya, kapan islam mencapai kejayaan...

Sinar Agama : Kejayaan Islam sepertinya sudah mulai sejak berdirinya negara Islam di Iran yang seperti jaman Nabi saww yang mengayomi semua manusia, baik seagama atau tidak, semadzhab atau tidak, asal tidak memerangi Islam dan membuat kekacauan terhadap hukum Islam yang sudah disepakati bersama sebanyak 98 persen rakyatnya.

Kini negara-negara Arab sudah menggeliat, sudah sampai ke Maroko. Dan kata Rahbar hf, tuntutan keadilan ini akan menyeruak sampai ke Eropa. Karena itulah Obama sudah menyatakan perang cybery untuk menanggulanginya. Tetapi kita punya hati dan perasaan serta bukti di depan mata. Karena itu berhati-hatilah menghadapi perang cybery yang memang dimulai secara praktiknya beberapa tahun lalu. Karena mereka bisa memuat apa saja, termasuk foto pengkhianatan dari orang-orang yang setia. Menipu data dan memalsu berita tetapi nampak seperti benar-benar ada. Mengatasnamakan negara atau dubes atau apa saja bagi suatu negara tetapi tidak ada. Seperti kejadian kemarin di Suriah itu. Semua orang yang mengaku begini dan begitu di Suriah, dan dengan nama wanita, dan dianiaya, ternyata dia adalah lelaki Amerika yang ketahuan setelah itu, yakni agen-agen Amerika.

Pastinya, Tuhan telah berjanji dengan kemenangan internasional. Yakni ketika imam Mahdi as telah mengenalkan dirinya. Tanda-tanda itu walau kita tidak dapat pastikan, sudah bergulir, seperti revolusi Qom (Iran sekarang), kebangkitan Yaman dan lain-lainnya, semoga saja kiraan hati ini benar adanya.

Yustanur Jambak : Terimaksih ustad.. mohon diulas lagi pertanyaan saya, apakah sebab yang fundamental penyebab islam itu menjadi berjaya selain itu memang sudah dijanjikan Allah swt..? (dalam bentuk ikhtiar kalau bukan takdir) dalam pandangan sar'i ... maaf agak nyinyir he he he.

Sinar Agama : Sudah tentu ikhtiar donk, jadi hakikat janji itu adalah beritaNya. Kalau taqdir, buat apa dibanggakan Tuhan? Bukankah Tuhan dari dulu bisa memenangkan agamanya? Jadi, yang dimaksud dengan kemenangan akhir jaman adalah kemenangan hamba-hambaNya.

Jadi, dengan adanya kebangkitan menuntut keadilan di dunia yang mulai menyeruak di berbagai negara itu ... bisa dijadikan indikasi (walau tak pasti) bahwa umat dunia ini sudah semakin siap untuk menerima kedatangan imam Mahdi as.

Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, dan Roni Astar menyukai ini.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 17 Agustus 2018

Lensa (Bgn 1) : Analisis Kritis Pluralisme dalam Al Quran « HMINEWS.COM.



Oleh : Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:44


Ketahuilah bahwa di Iran sempat muncul beberapa saat tentang pemikiran pluralisme ini, tetapi dengan gigihnya ulama dan Sayyid Ali Khamenei Rahbar kita, maka usaha Sayaurus dan sebangsannya untuk menyebarkan pluralisme ini menjadi mentah total. 

Dalam makalah yang jauh dari keselarasan dan penuh dengan kontradiksi itu, serta jauh dari spesialisasi Qur'an, penulis telah me-robek-robek tatanan berfikir logis-filosofis dan tentu saja me-robek Qur'an itu sendiri. Dan dengan tanpa memahami dasar pemikiran Rahbar kita hf, penulis juga telah merendahkan petuah-petuah Logis, filosofi dan agamisnya, menjadi sastrais- sayaairis, na’udubillah. 

Mungkin orang-orang mengira bahwa buku-buku semacam karya Sayaurus tersebut seperti “Jalan-jalan Lurus Yang Banyak” telah diberangus di Iran oleh para intelektual dan ulama serta Rahbar hf. Sama sekali tidak. Tetapi yang diberangus itu adalah dalil-dalil dan argumennya yang sastarais yang berusaha menipu manusia menjadi logis, filosofi, agamis dan Qur’anis. 

Mungkin juga Anda berkata, bahwa “Kalau ghitu berarti plural dong higga tidak dilarang bukunya terbit? “ 

Jawabanya: “Iya Plural, tetapi bukan Pluralisme”. Plural yakni majemuk, dan konsekwensinya adalah Toleransi, Bukan Pembenaran. Sementara kita tahu (bagi yang tahu bukan sok tahu), Pluralisme adalah “Semua agama dan pemikiran adalah benar” seperti yang dibawa penciptanya John Hick, walaupun dia juga terilhami dari beberapa Pastor dan tulisan-tulisan lama sekiter(sekitar) abad 18. 

Penulis makalah di situs ini, bukan hanya tidak tahu Qur'an yang memang tidak pernah ia pelajari dengan sistematis dan akademis, tetapi tentang pemaknaan dan konsekwensi Pluralisme ini saja dia tidak memahami hakikatnya. Dia kadang-kadang menukik ke Pluralisme, kadang turun lagi ke Plural. Maju mundur dan turun naiknya pemikirannya menandakan ketidakjelasannya dalam masalah ini. Buru-buru tentang Qur'an yang dia jelaskan sok tahu padahal jelas tidak pernah mempelajarinya secara akademis. 

Inti kebenaran Islam, terkhusus yang dibawa oleh Ahlulbait as, adalah Kebenaran Agama itu Satu, begitu pula tentang madzhab. Tetapi bukan berarti agama dan madzhab yang tidak benar itu mesti masuk neraka. Tidak sama sekali. Yakni, orang yang beragama atau bermadzhab yang tidak benar itu, bisa masuk surga kalau kebenaran agama atau madzhab belum sampai kepadanya, atau kalaulah telah sampai, tetapi belum terlalu jelas baginya sementara ia telah berusaha memahaminya. 

Dengan demikian, walau kita menghadapi tetangga kita yang kafir atau yang Sunni, maka kita tidak boleh menveto bahwa mereka pasti masuk neraka, karena sudah bertemu Islam atau Syi’ah dan sudah berulangkali diskusi. Karena mungkin mereka telah berusaha dan belum mendapatkan titik kuatanya kita atau agama/madzhab yang benar. 

Namun demikian, bukanlah tidak masuknya mereka ke neraka atau bisa masuknya ke surga itu karena mereka benar seperti yang dikumandangkan Pluralisme, tetapi karena memang tidak ada alasan untuk dimasukkan ke neraka lantaran tidak melakukan kezhaliman atau penganiayaan terhadap diri, agama dan orang lain. Jadi, yang masuk neraka itu hanya yang zhalim pada dirinya atau agamama/zhhab yang benar. Dan itu maknanya adalah menolak kebenaran setelah ia tahu yang ditolaknya itu kebenaran. 

Tetapi kalau dia belum benar, atau mungkin menolaknya, dikarenakan belum sampainya kebe- naran itu padanya baik secara lahir atau secara pemahaman, sementara dia sudah berusaha, maka orang seperti ini tidak layak dimasukkan ke neraka. Artinya ia akan mendapat maaf dari Allah sesuai janjiNya dalam Qur'an dan akal/fitrah. 

Jadi, masuk surganya karena dimaafkan, bukan karena dibenarkannya agama atau madzhabnya seperti yang digaungkan Pluralisme. 

Tentang pidato Rahbar hf yang tidak dipahami penulis itu, adalah bentuk dari Toleransi yang dianjurkan agama sebagai Tidak Ada Paksaan Dalam Agama. Sebenarnya bagi yang jeli dan hatinya bersih, ayat toleransi ini sadah menunjukkan bahwa yang benar itu satu, tetapi tidak boleh dipaksakan di dunia ini. Artinya mau ikut silahkan dan nanti masuk surga, dan kalau tidak mau juga silahkan dan nanti di akhirat masuk neraka. 

Toleransi, selain memiliki makna tidak memaksa, juga memiliki makna bekerjasama dalam hal-hal yang sama. 

Nah, Rahbar hf tercinta kita, dalam pidatonya itu, mengajak para agamawan selain Islam dalam forum yang sama untuk mengentas ber-sama-sama apa-apa yang bisa dientas dari kezhaliman dan ketidak adilan di dunia ini, bukan membenarkan agama dan madzhab meraka. 

Kalau kita melihat orang jatuh, apakah kita tanya dulu agama dan madzhabnya sebelum kita menolongnya? 

Atau kalau kita dirampok dan dijajah, apakah kita tanya dulu agama orang yang lewat dekat kita sebelum kita minta tolong padanya? Atau kalau kita mau gotong royong bikin jembatan di kampung kita, apa kita hanya mengajak yang Islam atau Syi’ah, dan melarang mereka yang kafir atau yang bermadzhab lain? 

Nah, Rahbar hf tercinta itu berpidato di hadapan mereka yang kafir itu dengan bahasa yang sama untuk memerangi kazhaliman dan pejajahan. Oleh karenanya sudah tentu wajar dan bahkan harus, untuk membawa dalil-dalil yang sama di antara agama-agama tersebut. 

Jadi, sangat wajar dan wajib bahkan, untuk menyebut sekalipun dalam siratan, tentang keadilan dan memerangi kezhaliman yang disebutkan dalam semua agama. Tetapi bukan pembenaran terhadap agama atau madzhabnya, tetapi pembenaran terhadap ajaran yang dinukilkannya itu. Persis kalau kita menukil hadits Abu Bakar atau Mu’awiyah tentang misalnya fadhilah imam Ali as. 

Kita dengan penukilan itu bukan membenarkan mereka, tetapi membenarkan apa yang mereka nukil Islamnya kita, Syi’ahnya kita, belajarnya kita dan seterusnya adalah bukti dari ketidakbenaran secara fitrawi dan agami (seperti yang penulis katakan) konsep Pluralisme ini. Bukan sebaliknya seperti yang dikatakan penulis. Adalah sangat tidak fitrawis, agamis, Qur'anis dan logis-filosofis, manakala kita seumur hidup jungkir balik belajar mencari kebenaran dan memintanya pada Tuhan, terkhusus jalan lurus, dan seterusnya, manakala kita dalam pada itu, mengimani dan mengatakan bahwa kebenaran itu milik semua orang, semua agama dan madzhab. 

Untuk dalil-dalil penguat lainnya mungkin di tempat dan waktu yang lain, semoga saya sempat menulisnya, karena sekarang sedang sangat sibuk hadapi kelas, seminar, wahhabi, soal-jawab wahdatul wujud dan Pokok-pokok ajaran Syi’ah yang sedang dikerjakan. 

Tambahan: Di Iran selama puluhan tahun ini, kalau ngadain seminar nasional atau internasional tentang persatuan, selalu mengatakan bahwa: “Bukan tujuan kami untuk saling pindah agama/ madzhab, atau saling membenarkannya, tetapi untuk saling toleransi dan mengerjakan hal- hal yang sama terkhusus dalam menghadapi kezhaliman global dunia dan semacamnya, oleh karenanya konsentrasi kita kepada yang sama-sama tersebut, tetapi tidak terlarang siapapun membahas yang berbeda kalau diinginkan, asal dalam koridor ilmiah dan santun serta tidak mengarah kepada perpecahan. 

Wassalam dan afwan.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 05 Agustus 2018

Biografi Singkat Kutubu al-Arba’ah (4 Kitab hadits Syi’ah)





Seri Tanya-Jawab: Bintang Ali dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, August 9, 2011 at 5:16am

Bintang Ali: Salam ustadz, saya pingin tanya soal biografi 4 kitab hadis utama syiah dan pengarangnya, lalu dimana saya bisa dapatkan? Syukron. 

Agoest D. Irawan: menyukai ini. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaananya, semoga memang diperlukan: 

1. Al-Kaafii, karya Kulainii. Ditulis di jaman Ghaib Kecil (Shughraa). Haditsnya yang tidak diulang terdiri dari 15.176 hadits. Dan dengan pengulangannya terdiri dari 16.199 hadits. Jumlah ini melebihi seluruh 6 kitab shahih Sunni kalau dihilangkan pengulangannya. 

Kitab itu ditulis dalam waktu 20 tahun lamanya. Ia merupakan kitab hadits terpenting di Syi’ah dan dihormati. Sudah tentu bukan berarti harus menerima semuanya. Karena itu harus dipelajari juga dengan ilmu-ilmu Rijal. Tapi bagi saya pribadi, ia merupakan kitab yang sudah tidak perlu dilihat dengan ilmu apapun, termasuk ilmu Rijal. Jadi, bagi saya sudah shahih semua. 



Tapi ingat, bukan berarti hadits shahih itu harus diambil semua. Karena yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang bisa dijadikan sandaran. Artinya, kalaulah kita salah menjadikannya sandaran, akan diampuni Tuhan. 

Dengan kata lain, hadits shahih di Syi’ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orangyg yang jujur/tsiqah, karena itu bisa dijadikan sandaran. Akan tetapi, bukan berarti orang jujur itu tidak salah mengucapkan, tidak salah meriwayatkan dan tidak salah memahami. 

Karena itu masih banyak hadits yang sama-sama shahih tapi saling bertentangan. Dan untuk menyelesaikan pertentangannya ini, harus diselesaikan melalui ilmu Ushulfiqih. Karena yang bertentangan itu, banyak yang bisa dipertemukan dan menghasilkan pemahaman yang ke tiga. 

Kulainii ra wafat di tahun 328 atau 329 H. 

2. Kitab ”Man Laa Yahdhuruhu al-Faqiih”. Karya Syaikh Shaduuq ra. Kitab ini merupakan kitab ke dua dari 4 kitab hadits terbesar dan terpenting di Syi’ah. Beliau wafat tahun 381 H. Kitab ini terdiri dari 5920 hadits dalam 666 bab. 

3. Tahdziibu al-Ahkaam, karya Syaikh Thuusii yang lahir di tahun 385 H. Kitab ini merupakan kitab ke 3 terpenting kitab hadits Syi’ah. Terdiri dari 1390 hadits. 

4. Al-Istibshaar, yang juga karya Syaikh Thuusii ra. Kitab ini terdiri dari 5511 hadits dalam 925 bab. 

Bintang Ali: Saya copas dari salah satu blog tentang al kafi, benarkah komposisi al kafi, terdiri dari: 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq (hadis yang diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis Qawiy(kuat) dan 9.480 hadis dhaif. 

(lihat Al Riwayat Li Al Hadits Al Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah Turuthuna Bil 2 Ramadhan 1407 H hal 257) jadi kategorisasi hadits-hadits al kafi itu sesuai dengan sanad atau matannya ustadz atau dua- duanyanya? Syukron. 

Sinar Agama: Untuk ilmu Rijal, yang menjadi ukuran shahih tidaknya sebuah hadits, biasa terjadi perbedaan pandangan. Semua pandangan yang memuat banyak hadits dha’if itu sudah dibantah oleh ulama kontemporer yang memang mujtahid juga dalam masalah hadits dan rijal, yaitu ayatullah Muslim Dowari. Ternyata Hadits-hadits dhaif di Kafi itu hanya ada beberapa saja dan ianya merupakan pendamping hadits shahih. Misalnya Kulaini memuat 5 hadits shahih, lalu disisipkan 1 hadits dha’if. Begitu. Jadi, hadits dha’ifnya itu tidak berpengaruh kepada hadits shahihnya. Dan justru hadits dha’ifnya itu yang terkatrol oleh hadits shahihnya. Jadi, sanad atau adanya perawi lemah di hadits dha’if itu dapat diatasi oleh hadits yang semua perawinya shahih. Kan hadits dha’if boleh dipakai kalau sesuai sesuai dengan Qur'an dan hadits shahih? 

Umumnya hadits shahih itu dilihat dari sanadnya. Yang dilihat dari matannya itu hanya kalau jelas bertentangan dengan Qur'an, akal dan Hadits-hadits shahih lainnya yang lebih terkenal. Sering juga orang melemahkan hadits dari sisi matannya karena mengira bertentangan dengan Qur'an, akal atau aneh, akan tetapi sebenarnya hadits itu sama sekali tidak bertentangan dengan hal-hal yang telah disebutkan itu. Artinya, yang melemahkan itu, karena belum paham akan arti yang dikandung sebuah hadits, maka bisa saja ia melemahkannya sesuai dengan ilmunya, akan tetapi bagi orang yang memahaminya dengan benar, maka hadits itu shahih adanya. Misalnya Hadits-hadits yang berkenaan dengan Tuhan, Nabi saww dan para imam as. Atau yang berkenaan dengan hal-hal ghaib yang, biasanya hanya bisa dipahami melalui filsafat yang tinggi. 

Kesimpulan: Dengan semua penjelasan itu, maka tidak usah memperhatikan kedha’ifan-kedha’ifan itu, karena disamping dari awalnya sudah saling berbeda pendapat, juga sudah dibantah dengan dalil-dalil yang sangat kuat dan hal ini adalah yang terbaru (penemuan terbarunya). Yang ke dua, ketika Kulaini ra mengatakan shahih, maka jelas bisa dijadikan rujukan bagi kita, sebagai berita dari seorang mukmin, walaupun ukuran keshahihannya berbeda (seperti yang diajukan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa sebagiannya tidak shahih). Walhasil, pembahasan ini harus merujuk kepada ilmu Rijal yang lama dan kontemporer. 

Tentu saja, selain mujtahid dan ulama, tidak bisa merujuk langsung ke Hadits-hadits itu. Karena itu, yang saya lihat, sepertinya di Syi’ah kurang dirangsang adanya penerjemahan hadits. 

Bintang Ali: Syukron ustadz..semoga ustadz tetap setia menemani kita yang butuh bimbingan dariNya melalui ustadz. 

Sinar Agama: Bintang: aku akan coba selau setia, kalau antum bersedia menerima banyaknya kekuranganku ... 

Bintang Ali: Siap Pak ustadz. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ