Tampilkan postingan dengan label Sujud di atas Tanah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sujud di atas Tanah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 September 2020

Kondisi Sujud Di Atas Turbah


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/269967206381416/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 November 2011 pukul 14:18


Tommy SyahRian Reza: Salam ustadz, afwan ingin bertanya.

Saya ada jerawat di dahi & ketika shalat jerawat itu tiba-tiba pecah sehingga mengeluarkan darah, lalu apakah shalatnya wajib diqodho, ustadz?

Kemudian darah itu menempel juga pada turbah sehingga membekas merah, lalu apa yang harus saya lakukan pada turbah tersebut?

Terimakasih atas perhatiannya, semoga ustadz selalu sehat dan dilindungi Allah SWT..

Rabu, 12 Desember 2018

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala (Bag: 3 (berakhir))

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, Seri Nukilan dari Buletin Al-Muraasalaat 16, (Bag: 3 (berakhir))



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, February 26, 2013 at 10:55 pm

Fadhilah Tanah Karbala 

Karbala adalah nama dari salah satu kota di Irak. Ia adalah nama yang sering disebut Nabi SAWW dari sejak Imam Husain as. masih bayi dan kecil. Seakan nama itu memang disiapkan Tuhan untuk menjemput cucu suci dan makshum Nabi SAWW tersebut. Sebab Karbala itu merupakan rangkapan dari “ Karbun “ dan “ Balaa’ “, yakni “ Kesusahan “ dan “ Bencana “.

Sementara yang akan mendapat “ Kesusahan “ dan “ Bencana “, yakni yang akan dikepung tanpa air di padang yang panas itu; yang akan dibantai dan dicabik-cabik; yang akan dipotong kepalanya dan diarak dengan ditancapkan di atas tombak sampai ke negeri Suria; yang keluarga dan pengikutnya juga akan menghadapi nasib yang sama; yang keluarga perempuannya dimana merupakan cucu-cucu Nabi SAWW akan dijadikan tawanan dan diarak sampai ke Suria sambil diperlihatkan kepada mereka kepalanya dan kepala para keluarganya yang laki-laki ( sebanyak 23 kepala ); yang akan menghadapi pengkhianatan umat Nabi SAWW kakeknya sendiri; yang akan dibantai hanya karena tidak mau baiat kepada pemerintahan zhalim dan tidak memiliki nas dan dalil agama sementara beliau adalah imam dan khalifah yang sah menurut agama sebagaimana tertera dalam banyak riwayat karena beliau termasuk salah satu imam dua belas yang makshum ( lihat buku kami yang berjudul: Imam Mahdi Menurut Ahlussunnah ); yang....yang......dan seterusnya., belum lahir ke dunia. 

Sungguh, yang demikian ini merupakan kenyataan yang tidak bisa dikatakan kebetulan. Perha- tikanlah nanti bagaimana Nabi SAWW menyimpan dan menciumi tanah tersebut dari sejak imam Husain as. masih bayi. 

Semua riwayat yang akan kami nukil di sini adalah riwayat-riwayat Ahlussunnah Waljama’ah. Riwayat yang menceriterakan fadhilah tanah Karbala ini tergambar dalam riwayat-riwayat yang menceriterakan tentang akan terbunuhnya imam Husain oleh umat Nabi SAWW sendiri yang diberitakan oleh para malaikat yang berkunjung kepada Nabi SAWW. 

Yang demikian itu terjadi berulang-ulang pada Nabi SAWW dan terjadi di berbagai tempat. Hal itu menunjukkan betapa penting dan besarnya hal itu. Sebab imam Husain as. bukan hanya sebagai cucu Nabi SAWW, tapi cucu yang makshum dan diangkat Tuhan menjadi salah satu imam dua belas yang wajib diikuti umat Islam. 

1- Malaikat Jibril as. Membawa dan Menghadiahi Nabi SAWW Tanah Karbala. 

Berkata ‘Aisah istri Nabi SAWW: “ Suatu hari ketika Rasulullah SAWW bersama malaikat Jibril as. di rumahku, bersabda kepadaku: Jagalah pintu!, dan akupun melakukannya. Kemudian Husain bin Ali masuk, dan Rasulullah SAWW memangkunya di pangkuannya. Jibril as. bertanya: Apakah engkau mencintainya?, Nabi SAWW menjawab: Tentu. Berkata Jibril as.: Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Rasulullahpun meneteskan air mata. Jibril as. berkata: Apakah engkau ingin kutunjukkan tanah dimana ia dibunuh? Lalu malaikat Jibril as. mengeluarkan tanah-Thof yang warnanya kemerahan ( Thof, Nainawa adalah nama lain dari Karbala, red. ) “ 

Turunnya malaikat Jibril as kepada Rasulullah SAWW dalam rangka pemberitaannya tentang terbunuhnya imam Husain as. di tangan umat Nabi SAWW sendiri di masa yang akan datang, dan pemberiaannya tanah Karbala kepada beliau, sering terjadi. Terjadi di rumah beliau sendiri, di rumah istri-istri beliau seperti ‘Aisyah, Ummu Salamah dan Zainab bintu Jahsy. Dan perawinya banyak sekali, seperti istri-istri beliau ini, imam Ali as., Ibnu Abbas, Ummu al-Fadhl bintu al-Haarits, Saiyd bin Jamhaan, Abi Amamah, dan lain-lain. 

Memang bentuk hadits-haditsnya tidak sama, karena terjadinya memang bukan sekali sebagaimana yang kami katakan. Misalnya ketika peristiwa itu terjadi, di rumah Ummu Salamah, ia berkata: 

............Jibril as. berkata: Ya Muhammad, umatmu akan membunuh anakmu ini setelahmu -sambil memberi isyarah kepada Husain. Maka menangislah Rasulullah SAWW sambil memeluknya (Husain) ke dadanya. Lalu ia ( Jibril as. ) memberi Rasulullah SAWW tanah, dan beliau menciumnya sambil bersabda: Angin Kesedihan ( Karbun ) dan Bencana ( Balaa’ ) -yakni tanah Karbala. Dan setelah itu Nabi SAWW bersabda kepadaku: Wahai Ummi Salamah, simpanlah tanah ini sebagai amanat di sisimu, dan kalau nanti telah berubah menjadi darah maka ketahuilah bahwa Husain telah terbunuh ....” 

(diriwayatkan dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salamah selalu melihat tanah tersebut, khususnya ketika imam Husain as. keluar dari Madinah pada masa kekhalifaan Yazid. Dan ketika ia melihat tanah tersebut menjadi darah pada tanggal 10-Muharram, beliaupun berteriak-teriak menangis keluar rumah, sampai orang-orang Madinah mengerumuninya dan menanyakan perihal tangisannya itu, dan beliaupun mengabarkan bahwa imam Husain as. telah terbunuh karena tanah Karbala yang diberikan kepadanya oleh Nabi SAWW telah menjadi darah, dan Madinahpun menjadi berduka, sebelum berita dari orang lain sampai kepada mereka ). 

Atau seperti yang diriwayatkan oleh imam Ali as. sesuai dengan yang diceriterakan oleh Najiy al-Hadhramiy. Suatu hari ia berjalan bersama imam Ali as.. Ketika sampai di sekitar Nainawa ( nama lain dari Karbala, red. ) yaitu suatu tempat persimpangan menuju Shiffin ( kota di Irak ), Ali berseru: 

Sabarlah wahai Aba ‘Abdillah ( julukan imam Husain as. ) di pinggiran sungai Furat ( sungat yang membentang di Irak, Suria dan Turki dimana Karbala berada di salah satu pinggirannya, red. ) “. Aku berkata kepadanya: “ Apa maksudmu? “. 

Ia ( Ali ) berkata: “ Suatu hari aku mengunjungi Rasulullah SAWW dan aku melihat kedua matanya mengalirkan air mata “. Aku bertanya: “ Ya ..Rasulullah, apakah ada seseorang yang telah membuatmu murka? Mengapa engkau menangis? “. 

Rasulullah SAWW menjawab: “ Baru saja malaikat Jibril as. pergi dari sisiku. Ia membawa berita bahwa Husain akan dibunuh di pinggiran sungai Furat. Ia ( Jibril as. ) berkata: Apakah engkau ingin mencium tanahnya?. Aku menjawab: Ia. Lalu ia ( Jibril as. ) membentangkan tangannya dan mengambil segenggam tanah dan memberikannya kepadaku. Oleh karena itulah aku menangis “. 

Atau seperti yang diriwayatkan Sa’iyd bin Jamhaan, ia berkata: 

“Suatu hari malaikat Jibril as. mendatangi Rasulullah SAWW dan memberinya tanah dari suatu desa dimana Husain akan dibunuh. Dikatakan bahwa nama daerah itu adalah Karbala. Lalu Nabi SAWW bersabda: Karbun wa Balaa’ ( Kesedihan dan Bencana )“. 

Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat di atas itu sangat banyak tersebar di kitab-kitab hadits Ahlussunnah sendiri, seperti: Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah dan al-Nihaayahnya, 6: 230; Ibnu Hajar, dalam Tahdzibnya, 2: 346, dan al-Shawaa’iqnya, hal: 191; Mizaanu al-I’tidaal, 1: 8; Ibnu Atsir dlm Jaami’u al-Ushuul, 2: 13; Ibnu Maajah dlm Sunannya, 2: 289; al-Mustadrak, karya Hakim, 4: 398; Baihaqiy, dalam Dalaailu -al-Nubuwwahnya, 6: 468; Thabariy, dalam Dzakhairu al-’Uqbaanya, hal: 147; Thabraniy dalam al-Mu’jamnya, 3: 109, no: 2821, 23: 252-253; al-Tirmidziy dalam Jaami’u al-Shahiih, 5: 620; Thabaqoot Ibnu Sa-ad, hal: 48; Majma’u al- Zawaaid, 9: 187; Musnad Ahmad bin Hambal, 2: 60; Ibnu Maghaziliy dalam Manaqibnya, hal: 397; Suyuthiy dalam Khashoishnya, 2: 451-452; Tarikh al-Dzahabi, 3: 10, 11, 13: 655; Kanzu al-’Ummal, 7: 106, 12: 126, 13: 111; dll.. 

Ini semua hanya sebagian kecil dari alamat-alamat hadits di atas. 

2- Malaikat Hujan Memberi Nabi SAWW Tanah Karbala. 

Hadits tentang turunnya malaikat Hujan as. ini hampir sama dengan peristiwa turunnya malaikat Jibril as. di atas. Kami hanya akan menyebut sebagian perawinya dan alamatnya. Turunnya malaikat ini menambah pentingnya peristiwa terbunuhnya imam Husain as. dan tanah Karbala ini. 

Perawinya adalah shahabat Anas bin Malik dan Abi al-Thufail. 

Alamatnya di Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 242, 265; Ibnu Katsiyr dlm al-Bidaayah wa al- Nihaayahnya, 6: 229; Suyuuthiy dlm al-Khashaishnya, 2: 450; Dzahabi dlm Taarikhnya, 3: 10; Thabari dm Dzakhaairi al-’Uqbaanya, hal: 146; Thabraniy, dlm Mu’jamnya, 3: 106; Qurthubiy, dlm al-Tadzkirahnya, hal 563; Daailu al-Nubuwwah, hal: 202; Ibnu al-Maghooziliy, dlm al-Manaaqibnya, hal: 376; dll. 

3- Malaikat dari Langit yang Tinggi Memberi Nabi Tanah Karbala 

Di antara salah satu riwayat hadits tentang turunnya malaikat ini diceritakan bahwa ia belum pernah menziarahi Nabi SAWW dan sangat ingin melakukannya. Setelah mendapat ijin dari Allah, iapun diperintah untuk mengabari Nabi SAWW bahwa cucunya Husain akan dibunuh umatnya. Akhirnya si malaikat tadi mengadu kepada Allah sebab setelah ia bahagia mendapat ijin bertemu Nabi SAWW ia mesti membawa kabar duka itu. Tapi Allah tetap memerintahkannya turun, dan iapun mentaatinya. 

Perawi hadits ini adalah ‘Aisyah, Ummu Salamah dan al-Musawwir bin Makhramah. 

Hadits-haditsnya dapat dijumpai di: Musnad Ahmad bin Hambal, 6: 294; Thabraniy, dlm Mu’jamnya, 3: 107; Tariykh Ibnu ‘Asaakir, hal: 177; Dzahabi dlm Taarikhnya, 3: 10; Ibnu Katsir dlm al-Bidaayah wa al-Nihaayahnya, 8: 199; Suyuuthiy dlm al-Haaik fi Akhbaari al-Maaik, hal: 44; Kanzu al-’Ummaal, 13: 113: al-Haitsamiy, dlm Majma’nya, 9: 187; dan lain-lain.. 

4- Malaikat Laut Memberi Nabi SAWW Tanah Karbala 

Riwayat ini datang dari Syarahbiyl bin Abi ‘Aun. Ia berkata bahwa malaikat laut yang bernama al- Faraadiys ketika turun ke laut berteriak: “ Wahai makhluk laut, hendaknya kalian memakai baju kesedihan karena anak Muhammad akan terbunuh dan disembelih “. Kemudian ia mendatangi Nabi SAWW dan mengabarinya akan hal itu sambil memberikan tanah Karbala. Lalu Nabi SAWW menangis sambil menciumi tanah tersebut. 

Hadits ini ada di Maktalu al-Husain karya al-Muwaffaq bin Ahmad al-Khurazamiy al-Hanafiy, 1; 162, ia menukil dari Taariykh Ibnu A’tsam al-Kuufiy. 

5- Semua Malaikat Memberi Nabi SAWW Tanah Karbala 

Riwayat ini memiliki alamat yang sama dengan point no: 4 di atas ini, yaitu di Maktalu al-Husain karya al-Khurazamiy seorang ulama Ahlussunnah bermadzhab Hanafiy. 

Diceriterakan dalam riwayat yang panjang bahwa: 

.......... Ketika Husain berumur satu tahun penuh, datanglah dua belas malaikat kepada Nabi SAWW dalam bentuk yang bermacam-macam. ......... Mereka berkata kepada beliau: Wahai Muhammad akan terjadi kepada anakmu Husain apa yang terjadi pada Haabiyl (Habil putra nabi Adam as. red.) ........ 
.... .... Kemudian datang seluruh malaikat langit mengucapkan ta’ziah ( bela sungkawa ), mengabarkan tentang pahalanya dan memberikan tanah Karbala kepadanya “. 

Komentar

1. Semua hadits yang kami nukil ini adalah hadits-hadits Ahlussunnah Waljamaah, dan tak satupun dari hadits Syi’ah, sekalipun banyak juga terdapat di sana.

2. Berulangnya dan beragamnya pengkabaran tentang akan terbunuhnya imam Husain as. dan pemberian tanah Karbala oleh para malaikat itu menunjukkan pentingnya peristiwa tersebut, bukan menunjukkan pertentangannya sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang seperti Doktor Muhammad Khaliyl Haros. Sebab, imam Husain as. adalah salah satu imam dua belas yang makshum yang syahidnya paling menyedihkan dari imam-imam lainnya. 

Pentingnya keimamahan ini sama dengan pentingnya kenabian nabi Muhammad SAWW. itu sendiri. Sebab tanpa imam-makshum, maka lenyaplah apa yang dikatakan Islam asli, murni, seratus persen, Shirathulmustaqim, hakiki dan sempurna. Oleh karena itu tidak percuma kalau Nabi SAWW bersabda: 

“Barang siapa mati dan ia tidak tahu imamnya ( tidak baiat pada imamnya ), maka matinya sama dengan matinya orang-orang jahiliyah“ ( Shahih Bukhori, bab: Fitan, 5: 13; Shahih Muslim, 6: 21-22/ 1849 ). 

Tentu, imam atau pemimpin di sini bukan sekedar pemimpin. Tapi pemimpin yang makshum dan bersih dari segala dosa dan kesalahan yang dijamin oleh Allah dan Nabi SAWW sendiri melalui al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih. Sebab adanya pemimpin yang tidak tahu Qur'an seratus persen bukan hanya tidak akan pernah menjaga Islam yang Mustaqim/lurus, tapi ia malah akan merusak Islam itu dari dalam dan atas nama Islam itu sendiri. Oleh karena itu Nabi SAWW telah banyak menitipkan hal keimamahan ini di samping hadits di atas itu. Seperti: 

"Setelah aku ada dua belas pemimpin, semuanya dari Quraiysy “ ( Shahih Bukhoriy, 4: 164, bab: Istikhlaaf; Shaih Muslim, 2: 119, kitab: Imaaroh; dan lain-lain yang banyak sekali ) 

Dan seperti (+/-): “Kutinggalkan dua perkara, kitab Allah dan keluargaku dimana keduanya tidak akan berpisah sampai berjumpa aku di Haudh ( telaga di surga, tidak berpisahnya keduanya itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah keluarga yang suci dan makshum, bukan sembarang keluarga dan keturunan, red. )“ ( Hadits seperti ini dan yang serupa, dapat dijumpai di Shahih Muslim, 2: 362; tafsir Ibnu Katsiyr, 4: 113; Thabariy dlm Dzakhooiru al-’Uqbaanya, hal: 16; Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 17, 26, 59, 4: 366, 371; tafsir al-Durru al-Mantsuur, 2: 60; tafsir Khoozin 6: 102; Kanzu al-”Ummaal, 1: 158, 799; dan lain-lain dari puluhan kitab-kitab Ahlussunnah dimana di sana diriwayatkan oleh 35 orang shahabat ). 

Dan seperti (+/-): “Ya... Jabir, sesungguhnya pengganti-penggantiku dan para pemimpin umatku setelah aku ada dua belas orang. Yang pertama Ali, kemudian anaknya Hasan, kemudian saudara Hasan yaitu Husain, kemudian anak Husain yang bernama Ali yang dijuluki Zaina al-’Abidin dan setelah itu anak Ali ini yang bernama Muhammad yang dijuluki Baqiru ‘Ilmu al-Nabiyyiyn, kemudian anak Muhammad ini yang bernama Ja’far yang dijuluki al-Shoodiq, kemudian anak Ja’far ini yang bernama Musa yang dijuluki al-Kaazhim, kemudian anak Musa ini yang bernama Ali yang dijuluki al-Ridha, kemudian anak Ali ini yang bernama Muhammad yang dijuluki al-Taqiy, kemudian anak Muhammad ini yang bernama Ali yang dijuluki al-Naqiy, kemudian anak Ali ini yang bernama Hasan yang dijuluki al-’Askari, kemudian anak Hasan ini yang bernama Muhammad yang dijuluki al-Mahdi. Ketahuilah bahwa yang terakhir ini akan ghaib dalam waktu yang sangat lama sekali sehingga orang untuk mengimaninya terasa berat, lalu setelah itu ia akan keluar untuk meratakan keadilan di muka bumi setelah dipenuhinya dengan kezhaliman “. 

Jabir bertanya: “ Apakah bermanfaat ketika imam Mahdi itu ghaib?” 

Rasul SAWW menjawab: “Tentu. Ia akan tetap memberikan manfaat seperti matahari yang tertutup awan“ ( Yannabi’u al-Mawaddah, karya al-Qanduuziy al-Hanafiy, 3: 170, bab: 93; dll hadits yang banyak sekali, lihat juga buku kami Imam Mahdi menurut Ahlussunnah ). 

Pembaca budiman, ketahuilah bahwa Islam bisa bertahan bukan karena bertahannya al- Qur'an saja. Sebab, bertahannya al-Quran yang tidak dipahami seratus persen oleh umatnya atau setidaknya salah satu umatnya, tidak akan bisa memberikan banyak manfaat dilihat dari sisi kemurnian ajaran Islam yang diamalkan oleh umatnya. 

Ia ( Qur'an ) memang tanda Islam yang sejati dan murni yang tidak bisa diragukan lagi. Tapi ia tidak akan pernah menjamin penganutnya kalau mereka tidak memahaminya dan mengamalkannya persis sebagaimana Nabi SAWW memahami dan mengamalkannya. Oleh sebab itu, tidak adanya imam makshum yang dijamin Tuhan dan Nabi SAWW setelah masa beliau, pertanda tidak bertahannya Islam murni yang dikatakan Shiroothu al-Mustaqiym tersebut. Karena itu tidak heran kalau Nabi SAWW bersabda: 

"Husain dari aku dan aku dari Husain“ ( lihat alamat di atas ) 

Untuk memahami bahwa imam Husain as. dari Rasulullah SAWW sangat mudah, karena imam Husain as. putra Fathimah as. dan beliau putri Nabi SAWW. Dan Nabi SAWW bersabda yang maknanya : 

"Semua keturunan dari ayahnya kecuali keturunanku dan keturunan nabi Ibrahim as. yang dari Maryam“ 

Maka dari itu putra-putra Fathimah terhitung putra/cucu Nabi SAWW dan nabi Isa as. terhitung putra/cucu nabi Ibrahim as. ( QS: 6: 83-85 ). 

Begitu pula, kalau kita lihat diri sisi agama. Sebab sudah tentu bahwa Islam imam Husain as. dari Rasulullah sebagai perantara Tuhan kepada seluruh umat manusia dimana termasuk imam Husain as. sendiri. 

Tapi bagaimana memahami bahwa Nabi SAWW dari imam Husain as.? Untuk menjawab hal ini tidak mudah. Salah satu jawaban yang umum dari pertanyaan tersebut berkenaan dengan pembahasan kita di sini. Yaitu, bahwasannya munculnya kembali agama Nabi SAWW yang murni, dari imam Husain as. 

Maksudnya, setelah Nabi SAWW wafat agama mesti dipegang dan dipimpin oleh orang makshum dengan alasan di atas. Sementara dua orang makshum sebelumnya, imam Ali as. dan imam Hasan as. disia-siakan oleh umat Nabi SAWW sendiri. Sampai suatu hari kepemimpinan umat dipegang oleh orang yang semua muslim tahu bahwa ia adalah pemabuk, pembunuh, keji, ........ dan seterusnya. 

Ia adalah Yazid bin Mu’awiyah. Kejadian besarnya saja, pada tahun pertama kekhilafaannya, ia membunuh imam Husain as. dan sekitar dua puluh tiga cucu dan karobat Nabi SAWW yang lain, serta sekitar lima puluh shahabatnya yang diantaranya shahabat Nabi SAWW; tahun ke dua menyerbu Mekkah sehingga Mekkah banjir darah dan Ka’bah sempat retak karena meriam Yazid ini; tahun berikutnya menyerbu Madinah dan menghalalkan semua yang ada, sehingga dikatakan dalam kitab-kitab sejarah bahwa pada tahun itu lahir sekitar tujuh puluh ribu anak haram yang diakibatkan pemerkosaan tentara Yazid. Entah berapa ribu dari shahabat-shahabat Nabi SAWW yang terbunuh ditangan pemerintahan Yazid ini. 

Walhasil, padajamankeimamahanimam Husain as. dimanabertepatandenganpemerintahan Yazid ini, Islam betul-betul terancam sirna sama sekali, sehingga bukan saja Islam seratus persen, Islam lima persen saja terancam sirna. Sebab semua shahabat atau tabi’iyn yang baik pasti terancam pembunuhan dan/atau penjara, sehingga tidak akan tersebarkan agama Islam kecuali yang telah diselewengkan. 

Di sinilah imam Husain as. sebagai salah satu makshum, memiliki peranan penting untuk menolong Islam sehingga tidak terancam sirna. Yaitu dengan bangkit menentang Yazid dengan pedang sekalipun tidak memiliki penolong kecuali sekitar tujuh puluh tiga orang atau lebih ( kalau dilihat dari yang terbunuh di luar Karbala ). 

Sekalipun dalam perhitungan bisa saja muslimin membantu imam Husain as. karena beliau keluarga-Suci Nabi SAWW ( bukan sekedar keluarga atau cucu saja ), dan bisa saja orang yang memeranginya berbalik membantunya ( bertaubat ), tapi tidak mustahil pula bahwa mereka tetap nekad memilih dunia ketimbang akhirat. 

Namun demikian, imam Husain as. meneruskan perjuangannya dan tidak gentar sedikitpun. Kalau kemungkinan pertama yang terjadi, maka lenyaplah pemerintahan zhalim yang mengancam sirnanya Islam. Tapi kalau kemungkinan ke dua yang terjadi, maka imam Husainpun akan tetap memetik kemenangan dari kebangkitannya itu. 

Yang dimaksud kemenangan dalam kemungkinan ke dua di atas adalah, terang-terangannya cucu Nabi SAWW dibantai di Karbala dimana akan menyebabkan mata semua orang terbelalak dan akan bangun dari tidurnya. Kalau imam Hasan as. ( cucu-Suci Nabi SAWW ) dibunuh dengan taktik racun oleh Muawiyah melalui istri imam Hasan as. sendiri, dengan janji akan dikawinkan dengan Yazid yang kala itu sebagai putra mahkota, sehingga karena taktiknya itu orang-orang tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dibalik terbunuhnya imam Hasan as. itu, tapi terbunuhnya imam Husain as. yang keluar rumah dan menjemput lawan di medan terbuka ( padang pasir Karbala ), tidak akan bisa ditutup-tutupi. 

Oleh karena itu setelah peristiwa terbunuhnya imam Husain as., keluarga dan shahabat- shahabatnya, dimana para perempuan dari keluarga mereka dirantai, disandra dan diarak dari Irak sampai ke Suria ( khususnya keluarga imam Husain as. dan cucu serta karobat Nabi SAWW yang lain ), dimana kepala imam Husain as. dan dua puluh tiga cucu dan karobat Nabi SAWW yang lain dipancung, ditancapkan di atas tombak dan diarak dari Irak sampai ke Suria ( istana Yazid ) bersama tawanan-tawanan itu, maka umat Islam jadi terkejut, gempar dan terjungkal dari tidurnya. 

Sehingga timbullah kebangkitan-kebangkitan Islam di mana-mana menentang kezhaliman kerajaan dimana pada akhirnya mereka pada bertumbangan. Baik yang di tangan Bani Umayyah ( keturunan/keluarga Umayyah ) atau yang di tangan Bani Abbas. 

Tujuan imam Husain as. bukan hanya tumbangnya kerajaan-kerajaan itu. Sebab semua itu terhitung kecil dan bukan tujuan asli. Ia hanya merupakan sampingan saja. Tujuan yang sesungguhnya adalah membuat muslimin tahu mana yang Islam dan mana yang bukan; mana ajaran Nabi SAWW dan mana yang bukan; mana ajaran murni dan mana yang bukan; mana yang mesti dimengerti dan dipertahankan dengan segala upaya dan mana yang bukan. 

Ringkasnya, tujuan imam Husain as. adalah mempertahankan Islam Nabi SAWW yang murni dimana telah banyak mengalami penodaan dan penyelewengan. Sudah tentu sekalipun mesti dengan kesyahidan beliau. Sungguh tujuan itu tergambar dalam ucapan beliau sendiri yang mengatakan: 

"Seandainya agama kakekku tidak lurus kecuali dengan terbunuhnya aku, maka wahai pedang- pedang, ambillah aku“ 

Inilah yang dikenal dengan “ Menangnya Darah Atas Pedang “. Dengan demikian, kalau diri/ darah dan agama imam Husain as. dari Nabi SAWW, di sini tegaknya atau lurusnya kembali agama Nabi SAWW adalah dengan imam Husain as. 

Nah, peristiwa besar yang memiliki peranan yang sangat penting seperti di atas ini, sudah tentu mesti diagung-agungkan sekalipun peristiwa itu belum terjadi. Sebab tujuannya menyadarkan kaum muslimin akan Islam yang seratus persen dimana sedang mengalami ancaman sirna, bukan menang atas kerajaan. Apalagi kalau Nabi SAWW sendiri yang memberitakannya, itupun secara berulang-ulang. Atau malaikat Jibril as. dan para malaikat yang lain, itupun secara berulang-ulang. Atau Allah melalui para malaikatnya itu, itupun secara berulang-ulang. 

Dengan perincian ini dapat dimengerti bahwa perbedaan hadits yang banyak mengenai pemberitaan akan terbunuhnya imam Husain as. dan pemberian tanah Karbala kepada Nabi SAWW itu, tidak menunjukkan perbedaan yang membawa kepada kelemahan hadits tersebut. Tapi justru menunjukkan kepada kejadian yang berulang-ulang di berbagai waktu dan tempat serta melalui berbagai malaikat, demi mengagungkan peristiwa tersebut karena tetapnya Islam yang murni tergantung kepada peristiwa itu. 

Maka dari itu tidak heran kalau dalam berbagai hadits, kita dapat menjumpai bahwa para nabi terdahulu seperti Nuh as., Ibrahim as., dllnya memberitakan peristiwa Karbala tersebut. Mengapa tidak heran? 

Sebab peristiwa itu berfungsi persis seperti fungsi yang dikandung dalam peristiwa per- mulaan turunnya Islam dan kenabian nabi Muhammad SAWW sendiri. Karena kedua-duanya berfungsi sebagai tegaknya dan tersebarnya Islam yang lurus seratus persen yang dijamin Allah dan Nabi SAWW sendiri. 

Nah, kalau kita tidak heran bahwa turunnya Islam di masa datang dan akan datangnya nabi besar dan nabi terakhir yang bernama Muhammad SAWW diberitakan oleh para nabi sebelumnya, mengapa kita heran bahwa peristiwa besar yang dapat mempertahankan agama terakhir itu diberitakan juga oleh mereka as.? 

3. Berulangnya pemberian tanah Karbala kepada Nabi SAWW oleh beberapa malaikat dan bah- kan pemberian yang dilakukan oleh semua malaikat, tidak membuat kota Karbala itu lenyap. Dan pengulangan itu tidak lain menunjukkan keutamaan dan fadhilah tanah Karbala. 

Mungkin ada yang berfikir bahwa kalau semua malaikat memberi Nabi SAWW tanah Karbala, sementara jumlah mereka tidak terhitung karena banyaknya, sebagaimana difirmankan Tuhan : “Tidak ada yang tahu jumlah tentara Tuhanmu kecuali Dia“ ( QS: 74: 31 ), maka sudah pasti bahwa tanah kota Karbala itu akan lenyap sampai ke inti buminya sekalipun. 

Untuk membatalkan pikiran seperti ini kita mesti ingat bahwa setiap sesuatu itu memiliki unsur lahir atau materi dan memiliki unsur batin atau ruh atau hakikat kehidupan. Sebab, sebagaimana di buletin-buletin terdahulu sering dibahas, bahwa setiap materi tidak akan mampu mengatur dirinya walaupun sekedar putaran atomnya dari setiap wujud materi. Putaran proton atas netron yang tidak pernah berubah baik dari segi jarak atau kecepatan, menunjukkan adanya kehidupan ruhani atau non-materi. 

Oleh karena itu Tuhan berfirman: 

“Bertasbih kepadaNya langit yang tujuh dan bumi dan yang ada di antara mereka. Sungguh tak satupun dari keberadaan kecuali bertasbih dengan memujaNya akan tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka itu. Sungguh Ia Maha Penyantun dan Maha Pengampun“ ( QS: 17: 44 ). 

Sebagian orang mengartikan bahwa tasbihnya binatang, pepohonan, bumi, bebatuan, air, matahari, bulan, ........ dan seterusnya dari selain manusia itu adalah bergerak dan berputar sesuai dengan hukum alam. Tafsiran semacam ini jelas tidak benar. Sebab, dalam ayat itu diterangkan bahwa kita tidak mengetahui tasbih mereka itu. Sedang kita mengetahui bahwa gerak air dari atas ke bawah, kalau terkena panas menguap, kalau terkena dingin sampai ke titik bekunya ia akan membeku, dan lain-lain adalah termasuk dari hukum air. Begitu pula, kita tahu hukum-hukum alam yang lain daripada air itu. 

Mereka ini menafsir sesuka hati dan menyesuaikan ayat-ayat Tuhan dengan akalnya yang sangat pendek. Sehingga mengingkari kehidupan semua wujud yang diciptakan Allah. Yakni mengingkari wujud ruh atau non-materi dari setiap benda yang nampak mati seperti batu, bumi, air dan lain-lainnya itu. Padahal Tuhan berfirman: 

“Tak satupun dari binatang yang melata di muka bumi dan burung-burung yang berterbangan dengan sayap-sayapnya kecuali umat seperti kalian juga, dan Kami tidak meluputkan sesuatupun di dalam al-Kitab ( Qur'an ), kemudian mereka itu akan dikembalikan kepada Tuhan mereka“ (QS: 6: 38 ). 

“Kemudian Ia ( Allah ) berfirman kepadanya ( langit ) dan bumi: Datanglah kalian dengan suka rela atau terpaksa. Mereka berkata: Kami datang dengan suka rela“ (QS: 41: 11). 

Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami dengan jelas bahwa apapun benda materi yang ada ini, apakah ia manusia atau batu dan benda mati, semua dan semua memiliki ruh-kehidupan. Ini bukan animisme, tapi kenyataan yang dipaparkan al-Qur'an. Dan nanti, di akhirat, mereka semua akan menyaksikan perbuatan manusia di depan Tuhan, sebagaimana kulit-kulit kita. 

Dengan penjelasan yang pendek ini dapat disimpulkan bahwa setiap benda memiliki ruh, baik benda yang kelihatan hidup atau mati. 

Dan pembaca tahu bahwa yang namanya ruh itu adalah wujud non-materi. Sebab materi sebagaimana materi, tidak dapat mengetahui, mendengar dan berbicara apalagi bertasbih. Manusia, binatang, pepohonan yang ditinggalkan ruhnya, mereka tidak bisa lagi melakukan apa-apa yang bisa dilakukan seperti semasa mereka masih hidup atau memiliki ruh. Begitu pula dengan air atau bebatuan dan benda-benda yang kelihatan mati lainnya, sekalipun kita tidak mengetahui dan merasakannya. 

Memang, bisa saja setiap benda yang kelihatan mati itu hanya akan mati sewaktu hari Qiamat nanti, sehingga sekarang mereka tidak akan mati sekalipun dibakar, dihancurkan dan seterusnya. Seperti batu yang dijadikan semen, air yang diuapkan, tanah yang dibakar dan menjadi bata,...... dan seterusnya. Namun yang jelas, menurut ayat Tuhan dan akal-filsafat, semuanya itu memiliki ruh kehidupan sendiri-sendiri. 

Kalau semua itu telah dipahami, maka kita akan mudah memahami pernyataan yang mengatakan bahwa semua malaikat memberi tanah Karbala kepada Nabi SAWW. Kita tidak akan bingung mendengar pernyataan ini. Sebab, kita tahu bahwa malaikat adalah wujud non-materi, dan ketika turun ke Nabi SAWW turun kepada Ruh-Nabi SAWW yang juga non- materi yang mana seringnya dikatakan di dalam hadits-hadits atau ayat sebagai Hati-Nabi SAWW ( Lihat QS: 2: 97, dimana dikatakan bahwa malaikat Jibril as. turun ke hati Nabi SAWW), maka jelas sekali bahwa kalau malaikat itu memberikan tanah Karbala kepada Nabi SAWW adalah hakikat tanah tersebut, yakni ruh atau wujud non-materinya. 

Memang, terkadang malaikat menjelma dalam bentuk dhahir dan materi dengan ijin Allah. Seperti dikala malaikat Jibril as. datang kepada Nabi SAWW dalam bentuk manusia dan menanyakan kepada Nabi SAWW tentang Islam dan iman serta ihsan, di depan para shahabat, sebagaimana sering hadits ini dinukil dalam buku-buku atau ceramah-ceramah. 

Tapi ingat! bahwa hal itu bukan bentuk dan hakikat Jibril as. yang sesungguhnya. Sebab, bentuk sesungguhnya hanya bisa dilihat Nabi SAWW dengan mata hatinya, baik di gua Hiro’ atau di Mi’roj beliau. Yang biasanya malaikat Jibril as. dilukiskan dalam bentuk bersayap dan semacamnya. Di mana kalau dalam filsafat bentuk inipun merupakan bentuk Barzakhnya atau Mitslanya, bukan materi-kasar. Yakni bentuk yang tidak bermateri-kasar, yakni non-materi yang paling bawah, yakni non-materi yang masih memiliki sifat materi, yakni non-materi yang berada di bawah Akal-Pelaku, .....dan seterusnya. (lihat buletin-buletin terdahulu). 

Dengan penjelasan di atas ini, maka sebanyak apapun tanah Karbala yang diberikan malaikat kepada Nabi SAWW., tidak akan pernah menggangu tanah Karbala yang berupa materi-kasar yang berada di kota Irak itu, ini yang pertama

Yang ke dua, sebanyak apapun tanah yang diberikan kepada Nabi SAWW tidak akan pernah mengurangi ruh dari tanah Karbala tersebut. Sebab, yang namanya materi tidak bisa dibatasi dengan ruang dan waktu, sehingga ia berkurang atau tambah kecil. Karena besar-kecil, bertambah-berkurang, hanyalah hal-hal yang bisa terjadi pada materi-kasar yang dibatasi dengan ruang atau volume. Begitu pula halnya dengan tanah yang ada di tangan-ruh Nabi SAWW ketika menerimanya, bukan di tangan badan-materinya.. 

Yang ke tiga, memang, terkadang malaikat dengan ijin Allah memberikan kepada Nabi SAWW tanah Karbala yang berupa materi kasarnya, seperti yang dititipkan ke Ummu Salamah di atas ( lihat riwayat Ummu Salamah di sub judul: Fadhilah Tanah Karbala ). Tapi riwayat lainnya kebanyakan adalah jelmaannya saja sebagaimana ketika malaikat Jibril as. menjelma dalam bentuk manusia sehingga kelihatan oleh banyak orang selain Nabi SAWW, Allahu a’lam. 

Kalau pembaca sudah tidak memiliki masalah dengan hal di atas, maka tinggal satu, yaitu buat apa pemberian itu berulang-ulang? Kalau pengulangan pengkabaran tentang terbunuhnya imam Husain as. sudah jelas, yakni demi mengagung-agungkan masalah itu demi bertahannya Islam yang murni, tapi pengulangan pemberian tanahnya bermaksud apa? 

Untuk menjawab hal ini memang hanya Allah yang berhak, karena Ia-lah yang tahu segalanya. Tapi yang jelas kita dapat memperkirakan bahwa di balik peristiwa itu ada sesuatunya yang penting yang berkenaan dengan tanah tersebut. Sebab Tuhan tidak akan melakukan atau mengijinkan malaikat-malaikatnya melakukan sesuatu kecuali ada hikmah dan fadhilah di baliknya. Hal ini saja sudah cukup untuk membuktikan FADHILAH TANAH KARBALA. 

Dengan demikian apakah salah orang-orang Syi’ah bertabarruk dengan tanah Karbala itu untuk dijadikan ALAS SUJUD SAJA dan bukan untuk disembah? Dimana Nabi SAWW dalam riwayat-riwayat Sunni di atas suka menciumnya, dan menangisi Husainnya setelah itu? Bukankah dengan ini berarti mencium tanah Karbala dan menangisi Husain as. menjadi Sunnah hukumnya? Bukankah Nabi SAWW menyuruh Ummu Salamah untuk menjaga dan menyimpan tanah tersebut sebagai amanat di sisinya? 

Di lihat dari hadits-hadits Ahlussunnah saja sudah cukup untuk membuktikan kebenaran dan KEBOLEHAN SUJUD DI ATAS TANAH KARBALA. Apalagi ditambah dengan hadits-hadits Syi’ah. Sebab di sana sesuai dengan ilmu-ilmu Islam Nabi SAWW yang diberikan kepada imam-imam dua belas yang makshum dan suci as., sujud di atas tanah Karbala itu bukan saja boleh sebagaimana sujud di atas tanah yang lain, tapi justru Sunnah hukumnya. Dan banyak sekali riwayat yang mengatakan bahwa tanah Karbala dapat menyembuhkan segala macam penyakit, baik penyakit dhahir atau batin, dan lain-lain. fadhilah yang lainnya. 

Sejarah Mesjid dan Sejadah-Kain 

Sebenarnya, masjid di jaman Nabi SAWW dan khalifah yang empat, lantainya tidak dihampari dengan kain/karpet, bahkan tidak juga dengan tikar-daun yang boleh disujudi. Hal ini bukan berarti tidak umum dan mereka tidak punya ide untuk itu, tapi karena tidak bolehnya sujud kecuali di atas tanah langsung dan menjaga sunnah Nabi SAWW yang wajib dicontoh serta menganggap perbuatan itu adalah bid’ah. Oleh sebab itu para shahabat kalau panas memilih menggenggam batu-batu kecil supaya dingin dan setelah sujud dijadikan alas sujudnya. Di sini kami akan menambahkan sedikit riwayat-riwayat Ahlussunnah yang lain yang berkenaan dengan dan menunjukkan bahwa masjid-masjid tidak dihampari kain/karpet dari kain dan bahkan tidak pula dari daun: 

Berkata Ibu Abbas: “ ........ Kemudian Rasulullah SAWW mendatanginya ( imam Ali as. ) di mesjid. Beliau menjumpainya tidur dan penutup punggungnya lepas/tersingkap sehingga punggungnya dipenuhi tanah. Lalu beliau sambil membersihkan tanah yang menempel di punggungnya itu beliau bersabda: Duduklah wahai Abu Turoob ( Ayah tanah, sejak itu imam Ali as. dijuluki Abu Turoob, red. ) “ ( Shahih Bukhari, 1: 92, kitab: Shalat, bab: Tudur di mesjid; dan di 5: 18-19, 8: 45, 8: 63; Shahih Muslim, bab: Fadhilah Ali bin Abi Tholib; Tarikh Thabari, 8: 28; dan lain-lain ). 

Berkata Abu al-Waliyd: “Aku bertanya kepada Ibnu ‘Umar bin Khoth-thob tentang permulaan melantai/menghampari mesjid dengan batu-batu kecil ( yakni di atas tanahnya, red. ). Ia ( Ibnu ‘Umar ) berkata: Pada suatu malam turun hujan dan ketika pagi kami keluar ke mesjid untuk melakukan shalat subuh. Salah satu orang ada yang melewati sungai yang banyak batu kecilnya, lalu ia membawa batu-batu kecil itu dengan bajunya dan dijadikannya alas dia shalat. Dan ketika Rasulullah SAWW melihatnya beliau bersabda: Betapa bagusnya bisaath ini. Itulah awal dari penghamparan tanah mesjid dengan batu-batu kecil itu“ ( Sunan Abu Dawud, kitab: al-Shalat, bab: membatui mesjid; Baihaqiy, dlm Sunan al-Kubro, 2: 440 ). 

Komentar: Hadits ini juga bisa menjadi dalil bahwa tidak semua kata Bisaathun atau Thinfasatun/ Thanfisatun bermakna hamparan permadani sekalipun kata-kata ini bisa dipakai untuk makna itu, khususnya pada jaman sekarang ini ( lihat kamus Arab-Indonesia, karya Mahmud Yunus ). Bahkan menjadi dalil bahwa kalau kedua kata itu dipakai dalam riwayat yang berkenaan dengan shalat dan alas shalat, maka akan bermakna Hamparan Batu-batu dan/atau Tikar-daun, bukan hamparan dari kain atau bulu binatang. 

Berkata Umar bin Khoth-thoob sewaktu memugar mesjid Nabawi: “Aku tidak tahu mesti kita hampari apa mesjid kita ini“. Ada yang berkata: “Hampari saja dengan tikar“. Ia berkata: “Ini adalah lembah yang diberkati ( maksudnya salah satu lembah yang ada di Madinah, red. ), sesungguhnya Rasulullah bersabda: Aqiq adalah lembah yang diberkati“ ( Samhuudiy, dlm Wafaa’ al-Wafaa’ Biakhbaari Daari al-Musthafaa, 1: 473 ). 

Berkata Hasan al-Bashriy: “ Suatu hari ‘Utsman bin ‘Affaan berpidato di depan kami ( maksudnya di mesjid dan di jaman khalifahnya). Lalu orang-orang memotong ucapannya itu dan melemparinya dengan batu-batu kecil ..... ( maksudnya yang ada di mesjid itu ) “ ( al-I’tishoom, karya al-Syaathibiy, 1: 64 ). 

Komentar: Di lihat dari hadits-hadits terdahulu dan yang baru saja lewat ini, dapat dipahami bahwa sampai ke masa para khalifahpun mesjid masih tidak dihampari permadani atau karpet dari kain, bahkan tidak pula dari tikar-daun sekalipun bisa dijadikan alas sujud sebagaimana maklum. Sedang aqiq yang dimaksud dalam riwayat khalifah Umar bin Khoth-thoob itu bukan batu aqiq yang sekarang umum dipakai. Tapi maksudnya batu aqiq yang masih berserakan di salah satu lembah yang ada di Madinah pada waktu itu dan belum tergosok halus sehingga layak dipakai cincin dan sebagainya. Jadi masih berupa batu-batu biasa. 

Oleh karena itu tidak heran kalau banyak yang menafsirkan ayat yang berbunyi “Mereka memiliki tanda bekas sujud di muka mereka“ ( QS: 48:29 ) dengan mengatakan bahwa di muka/dahi mereka ada bekas tanah atau pasir bekas sujud ke tanah. Lihat Tafsir Qurthubiy, 16: 293; Zubaidiy dlm Ittihaafu al-Saadati al-Muttaqiyn, 3: 31; dan lain-lain. ). 

Setelah pembaca ketahui semua itu, coba lihat apa yang dikatakan imam Ghozali dalam kitabnya Ihyaa-u ‘Uluumi al-Diyn, 1: 80: 

“Sesungguhnya dari dulu menghampari mesjid terhitung bid’ah. Dikatakan bahwa hal itu (meng- hampari mesjid) adalah dari bid’ahnya al-Hajjaaj, sebab orang-orang terdahulu jarang sekali yang menjaraki antara dahinya dengan tanah (maksudnya di rumah-rumah mereka dan dengan tikar daun, dan kalaulah dengan kain-baju tapi kalau berhalangan sebagaimana maklum, red.)“. 

Komentar: Hajjaaj adalah salah satu gubernur kerajaan/kekhalifaan Bani Umayyah. Ia pernah dijadikan panglima perang menghancurkan pemerintahan Abdullah bin Zubair yang memerintah di Mekkah kala itu dan melempar peluru-peluru api ( buntalan yang dibakar ) dengan Manjaniq ( meriam masa itu ) ke Ka’bah dan menjadikannya rusak. Ia ( Hajjaaj ) disifati oleh banyak ahli sejarah Sunni dengan Kejam dan Penumpah darah ( Muruuju al-Dzahab, karya Ma’uudiy, 3: 91; dan lain-lain ). Mas’uudiy menambahkan dalam Muruujnya itu di 3:166-167, bahwa selama Hajjaaj jadi gubernur Irak ia membunuh 120.000 orang muslim di selain perang, dan ketika ia mati dipenjaranya masih ada 50.000 muslimin dan 30.000 muslimat dimana 16.000 mereka dipenjara dengan keadaan telanjang. Ia pernah menyiksa dengan membakar tangan shahabat seperti Jaabir bin ‘Abdullah al-Anshariy, Anas bin Malik dan Sa-ad bin Saa’idiy ( Taarikh Ya’quubiy, yang disyarahi Sayyid Muhammad Shadiq, 3: 27-29; Muhammad bin Sa-ad dalam Thabaqootu al-Kubro, 5: 220; al-Kaamilu fi al-Taariykh, karya Ibnu Atsiyr, 4: 359; dan lain-lain ). 

Sampai di sini sejarah mesjid dapat diketahui, bahwa dari jaman Nabi SAWW sampai dengan jaman sebelum Hajjaaj jadi gubernur dari kerajaan Bani Umayyah yaitu ‘Abdulmalik bin Marwan, raja ke lima dari raja-raja Bani Umayyah ( berkuasa th. 65-86 H ). Baru setelah masanya itu mesjid dihampari dengan tikar, sekalipun masih berupa tikar-daun. Itupun masih sebagiannya saja, yakni di kota ia berkuasa. Sedang di kebanyakan masjid muslimin dunia masih memakai batu-batu kerikil atau tanah. Oleh karena itu berkata Sakhoowi dalam kitabnya al-Tuhfatu al-Lathiyfatu, 1: 376, bahwa mesjid-mesjid sampai dengan tahun 131 H. atau 132 H. tetap memakai tanah atau batu-batu kecil ( kerikil ), sampai pada akhirnya mesjid Nabawi dihampari dengan batu-batu sungai ( Rodhroodh ). 

Sedang sejarah sejadah dapat diketahui dari Ensiklopedi Islam yang berjudul Daairatu al-Ma’aarifi al-Islaamiyah 11: 275, yang menuliskan ( di sini kami akan menukil yang berhubungan dengan sejadah ini dan rinciannya bisa dilihat sendiri di sana ): 

" Kata Sajjaadatun ( sejadah ) tidak dapat ditemui di ayat-ayat Qur'an atau di kitab-kitab hadits shahih ( maksudnya kitab hadits Shahih yang enam, red. ). ..... ......... Kata ini dapat dijumpai seabad setelah masa penulisan Hadits shahih yang enam. .. .. .. .. Dinukilkan dari Ibnu Bathuuthoh di dalam kitab Rehlatu Ibnu Bathuuthoh 1: 72-73, bahwa ia mengatakan bahwasannya orang-orang pinggiran kota Cairo Mesir, terbiasa menampakkan diri ketika pergi untuk menunaikan shalat Jum’at. Sebab, masing-masing pembantu mereka membawakan dan menghamparkan sejadah untuk shalat mereka. Ibnu Bathuuthoh mengatakan bahwa sejadah mereka terbuat dari pelepah pohon kurma. Dikatakan bahwa setiap orang dari penduduk Mekkah pada jaman sekarang shalat di mesjid jami’ dengan sejadah. Orang-orang yang pulang haji banyak membawa sejadah buatan Eropa yang bergambar dan mereka tidak perhatian terhadap gambarnya ( ? ) .. .. .. . .. .... Sejadah masuk ke Mesir diinport ( juga ) dari Asia-kecil, untuk dipakai shalat oleh orang-orang kaya dimana di dalamnya digambari mihrob yang mengarah ke Kiblat. ... ... “. 

Berkata Murtadho al-Zubaidiy, pengarang Taaju al-’Aruus Bisyarhi al-Qoomuus ( beliau wafat tahun 1205 H. ) di dalam kitabnya yang berjudul Ittihaafu al-Muttaqiyn Bisyarhi Ihyaa-i ‘Uluumu al-Diyn, 3: 201 ( kitab yang menerangkan atau mensyarahi kitab Ihyaa’ milik imam Ghozaliy ): 

“Sebab ke tujuh: Hendaknya menjauhi shalat di atas permadani/sejadah yang dihiasi/digambari dengan warna-warni yang menyenangkan. Sesungguhnya hal itu membuat orang tidak khusyu’ dalam shalatnya dan memperhatikan warna-warna dan keelokannya. Kita telah terbala-i ( dapat bencana ) dengan permadani-permadani ( karpet/hambal ) dan bantalan-bantalan dari Roma yang dipakai di mesjid-mesjid dan rumah-rumah. Sehingga kebiasaan itu membuat orang yang shalat di tempat lain ( dari permadani/hambal itu ) dianggap sia-sia, tidak akhlak dan kurang beradap, laa haula walaa quwwata illa billah. 

Aku mengira dengan kuat bahwa semua ini akibat dari ulah orang-orang bule/barat semoga laknat Allah ke atas mereka. Sebab mereka telah memasukkan sesuatu ke dalam kaum muslimin sedang muslimin sendiri lengah terhadap hal itu. Lebih aneh lagi aku pernah melihat di suatu mesjid permadani/hambal/karpet yang bergambar. Di dalam gambar itu terdapat gambar salib ( inilah yang dimaksud oleh kitab Daairatu al-Ma’aarifi al-Islaamiyah di atas bahwa muslimin tidak perhatian terhadap gambar sejadah yang dari Eropa di atas, red. ). Oleh karena itu semakin besarlah terkejutku. Dan aku yakin bahwa semua ini dari kerjaan dan gangguan orang-orang Kristen, dan Allahu a’lam “. 

Komentar: Dari semua ini dapat diketahui bahwa kata sejadah ini baru dibuat seratus tahun setelah penulisan kitab hadits shahih yang enam. Itupun dikatakan kepada alas shalat yang dibuat dari tikar-daun, bukan kain. Sampai kira-kira selepas abad ke sepuluh Hijriyah barulah muslimin banyak yang memakai sejadah kain yang bergambar yang, tidak jarang mengandung salib. Khususnya orang-orang yang pulang dari haji. 

Padahal, kain dan hambal/permadani ada sejak jauh-jauh sebelum Rasulullah SAWW dan kakek- kakek beliau belum lahir ke dunia, maksudnya sangat jauh sebelum Rasulullah SAWW menjadi Rasul. Kalau shalat memakai permadani itu boleh, maka tidak mungkin Rasulullah melarang diri dan shahabatnya untuk memakainya dalam shalat. Atau menghamparkannya dalam mesjid dimana hal itu dapat memperindah mesjid, dan menjaga pengunjungnya dari kotoran tanah atau debu, terlebih lagi kalau ada yang mengunjungi beliau dari pembesar-pembesar utusan luar negeri atau pedagang-pedagang kaya. 

Subhanallah, semua itu tidak dilakukannya karena beliau tahu dari Allah bahwa hal itu adalah terlarang dalam Islam. 

Terserah Kepada Anda 

Setelah pembaca memperhatikan secara seksama tulisan kami ini, maka kini terserah kepada anda. Apakah anda masih akan memakai sejadah kain atau daun atau bahkan tanah dan batu- batu. Laa iqrooha fi al-diyn, tidak ada paksaan dalam beragama, apalagi berpendapat. 

Sekedar Anjuran 

Karena kami merasa wajib memberikan anjuran, kalaulah bukan nasehat, kepada saudara sesama muslimin, maka anjuran kami adalah pakailah alas shalat yang dibenarkan Islam di atas itu ( tanah, batu atau tikar-daun ). Setidaknya untuk alas dahi, dan setidaknya untuk kehati-hatian kalau anda tidak meyakini kewajibannya. Sebab shalat adalah tiang agama dimana kalau diterima maka akan diterima pula amal-amal yang lain, tapi kalau sebaliknya dan tidak diterima, maka amal-amal lain yang manapun tidak akan diterima oleh Allah. 

Kalau anda tidak mau, itu masalah anda. Tapi setidaknya, jangan katakan bahwa orang-orang Syi’ah menyembah batu atau menyembah Husain as.. Sebab Nabi SAWW bersabda: 

“Barang siapa mengkafirkan seorang muslim maka dialah yang kafir“ 

Kalau hadits ini memang betul-betul shahih sebagaimana diyakini banyak orang, dan anda mengatakan bahwa orang-orang Syi’ah menyembah batu/Husain as. padahal mereka menyembah Allah dengan sujudnya itu, dan justru meng-alaskan dahinya ke atas tanah, batu atau tikar-daun karena merasa diwajibkan olehNya melalui Nabi SAWW., maka posisi anda di hadapan Tuhan menjadi terancam sendiri. 

Kalaulah anda tidak mau menerima pendapat Syi’ah atau hadits-hadits di atas itu, setidaknya jagalah persatuan Islam dengan tidak saling ganggu, dan janganlah anda keluar dari pernyataan atau ayat yang mengatakan “ Tidak ada paksaan dalam agama “ ( QS: 2: 256 ). Kalau orang kafir saja tidak anda ganggu dengan keyakinannya itu, mengapa sesama muslim mesti saling ganggu? 

Sekian tulisan ini, semoga diterima Allah dan semoga diridhai Rasulullah SAWW dan keluarganya yang suci. Begitu pula semoga kekurangan dan kesalahannya dimaafkan dan ditutupiNya, amin, serta dimaafkan pula oleh para pembaca yang budiman, semoga.


Catatan Sebelumnya:



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala (Bag: 2)

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, Seri Nukilan dari Buletin Al-Muraasalaat 16, (Bag: 2)



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, February 26, 2013 at 10:50 pm

Hikmah Sujud di Tanah 

Sesungguhnya hanya Allah yang tahu persis hikmah dari semua perintah-perintahNya. Jadi, di sini kami hanya akan mencoba mengira-ngira saja akan hikmah tersebut, demi melakukan perintah Tuhan yang lain, yaitu perintah berfikir atau bertadabbur untuk mengambil pelajaran dari semua keberadaan ( QS: 2: 164 ). 

1- Puncak Kehinaan di Hadapan Sang Kuasa. 

Sebab, ketika lambang kemuliaan yang paling tinggi dari manusia dan merupakan simbol harga dirinya, yaitu dahi/muka, di letakkan di tanah yang berposisi rendah dan hina secara lahir dan ianya berposisi sebagai simbol kerendahan karena tempat kaki berpijak, maka sudah jelas hal ini akan mempengaruhi manusia yang melakukannya. 

Yaitu, ia akan meletakkan dan melupakan semua kemulian-majazi yang dimilkinya dan begitu pula posisinya di masyarakat, dan hanya akan mengingat dan meninggikan ke-Agungan dan ke-Muliaan-Hakiki Tuhannya. Baik kemuliaan-majazinya itu seperti ke-Rasulan atau sekedar kemulian-dunia seperti presiden, guru, orang tua, mentri, dan lain-lain. Sebab seluruh kemuliaan- kemuliaan itu datang dan diberi oleh Tuhan pemilik semua kemuliaan secara hakiki. 

Nah, melucuti seluruh harga diri di hadapan Tuhan yang Maha Tinggi, merupakan tugas utama manusia, karena hal itu merupakan hakikat dan kenyataan yang tidak bisa diingkari. Inilah yang bisa dikatakan tugas tauhid dan keimanan manusia. Yakni tauhid yang dijelmakan dalam kehidupan. Jelasnya, pengakuan akan ke-Agungan Tuhan secara perbuatan yang dijelmakan dari rasa iman di hati akan hal itu. Sementara shalat adalah alat paling utama untuk menjelmakan rasa iman tersebut. Dengan demikian maka seseorang akan merasa semakin khusyu’ dan rendah serta hina di hadapan Sang Kuasa yang disembahnya itu, tentu ketika ia meresapi hikmah sujudnya itu. 

Semua ini tidak bisa dicapai -setidaknya sulit- manakala manusia sujud di atas permadani, sejadah dan keramik yang indah. Sebab ia justru bangga meletakkan dahinya ke atas semua itu, sehingga dengan demikian maka kuranglah rasa hinanya di hadapan Tuhannya. Orang yang menghiasi tempat sujudnya ( sejadahnya ) dengan aneka ragam warna yang indah-indah dan dibuat dari bahan yang mahal ( baca: berharga ), maka ia tidak sujud di atasnya kecuali dengan kebanggaan dan mungkin sampai ke tingkat kesombongan. Nah, orang yang masih sempat melihat kemuliaan dirinya dari sisi keduniaan ini, sesedikit apapun hal itu, maka ia tidak akan bisa menjadi hina-dina ( khusyu’ ) di hadapan Tuhannya. 

Sementara itu, hikmah lain yang bisa didapat oleh manusia yang shalatnya khusyu’ ( dina ) adalah rasa hinanya di hadapan Tuhannya secara mutlak. Yakni baginya tidak akan berbeda apakah ia di dalam shalat atau di luarnya. Sebab Tuhannya tetap ada dan Agung sekalipun dalam keadaan ia tidak menyembahNya. 

Orang yang selalu merasa hina di hadapan Tuhannya ini tidak akan pernah menyombongkan diri sedikitpun sebab ia tidak akan pernah merasa memiliki apa-apa yang bisa dijadikan kesombongan, sebab Tuhan yang Agung dan Mulia dan yang memiliki seluruh kebaikan dan kemuliaan secara hakiki itu dirasakannya lebih dekat dari urat nadinya sendiri. 

Begitu pula, orang yang seperti ini tidak akan pernah menyia-nyiakan hidupnya dengan mengejar kemulian dunia. Sebab kemulian itu adalah kemuliaan yang tidak hakiki dan abadi. Oleh karena itu ia akan mengejar dengan gigih dan sungguh-sungguh ketaatan kepada Tuhan dan menjauhi dengan sungguh-sungguh laranganNya. Sehingga dengan itu ia akan mencapai apa yang dikatan bersih atau makshum dari dosa dan kemungkaran. 

Jangan katakan bahwa makshum dari dosa itu mustahil dicapai, sebab kalau pembaca budiman berkata demikian , berarti pembaca tidak meyakini kebenaran al-Qur'an yang mengatakan bahwa Tuhan tidak memberi tugas kepada manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya ( QS: 2: 286 ). 

Nah, kalau Tuhan memberi tugas kepada kita sesuai dengan kemampuan kita, dan Tuhan meng- haramkan semua dosa sehingga kita wajib menjauhinya ( sebab Haram hukumnya adalah wajib dijauhi ), berarti kita mampu menghindarinya. Dan kalau kita mau dan menghindarinya, berarti kita bersih dari dosa tersebut. 

Bukankah ini adalah makshum dari dosa? Dan bukankah dengan demikian bukan saja makshum itu mustahil dicapai, tapi bahkan wajib dicapai? Oleh karena itu tidak heran kalau Tuhan menjamin orang shalat (tentu yang shalat khusu’ dan diterima) bahwa ia akan jauh dari segala kemungkaran atau kesalahan yang tidak diridhai Tuhan. Allah berfirman: 

"Sesungguhnya shalat itu mencegah seseorang dari perbuatan-perbuatan keji dan tidak diridhoi ( oleh Tuhan )“ ( QS: 6: 45 ). 

Orang seperti di atas itu, tidak hanya akan hanya menyia-nyiakan umurnya untuk mencari kemulian dunia yang justru hina ini, tapi ia bahkan tidak akan pernah merasakan bahwa ia memiliki kemulian-kemulian maknawinya itu. Sebab semua itu dari tuannya dan tetap menjadi miliknya, yakni Tuhannya. Karena yang hakikatnya hina akan tetap hina. Oleh sebab itu ia akan menjadi hamba, budak dan abdi Tuhan yang sejati sepanjang jaman dan abadi, sebab ia tidak pernah merasa mulia, baik dengan kemulian dunia ataupun akhirat. Dia tidak akan merasa semakin mulia ketika kaya, begitu pula ketika ia taat dan banyak ibadat, atau bahkan menjadi seorang Rasul. 

Ringkasnya, ia tidak akan pernah merasa memiliki apa-apa yang dicapainya itu. Inilah hamba atau budak Tuhan ( ‘Abdullah ) yang hakiki. Sebab seorang budak tidak memiliki apapun kecuali milik tuannya. Tidak heran kalau dalam hadits-hadits kita dapat menjumpai hal ini ( ciri hamba Tuhan yang hakiki ). 

Bayangkan saja, kalau seseorang itu mencapai kemakshuman dari dosa, tidak pernah maksiat dan selalu taat, tapi ia tidak pernah merasa mulia karena ia merasa selalu di hadapan Tuhannya yang memiliki semua kemuliaannya secara hakiki ( dimana perasaan ini dicapai berkat pengertiannya terhadap hikmah sujud ke tanah itu, dan karena dilakukannya berulang kali setiap harinya ) dan bahkan Tuhannya dirasakannya lebih dekat dari urat nadi dan hidupnya, maka jelas orang seperti ini tidak akan pernah sombong sedikitpun sepanjang masa dan jaman. 

2- Ingat ke-Agungan Tuhan. 

Dengan memperhatikan tanah yang boleh dikata rendah, tapi keluar daripadanya seluruh kehidupan dunia ini, maka seseorang akan ingat pada Tuhan yang menciptakannya. Hal ini tidak lain kecuali hanya menggambarkan betapa Agung dan Kuasanya Sang Pencipta itu. Hal ini akan membuat orang tersebut selalu bersyukur karena memiliki Tuhan yang Agung, Kuasa dan Pemurah. Sebab Ia telah memberinya kehidupan dan keimanan serta ketaatan. 

Ia akan semakin khusyu’ dalam shalatnya dan selalu akan mengingatNya setiap ia melihat sembarang ciptaanNya. 

Jadi, disamping ia mendapatkan kekhusyukan di dalam shalatnya, di luar shalatnya ia akan selalu mengagungkan Tuhannya dan mensyukuriNya. Pengagungannya itu akan membuatnya selalu ingat Tuhannya, dan syukurnya terhadap dunianya itu akan membuatnya selalu Qona’ah ( menerima dan berterima kasih atas semua pemberian, yakni tidak kufur dan ingkar ) di dunia, serta syukurnya terhadap iman dan maknawiahnya akan membuat Tuhannya menambahinya selalu sesuai dengan janjiNya sendiri ( QS: 14: 7 ). 

3- Ingat Tempat Asal. 

Tanah adalah asal manusia, apakah secara langsung seperti nabi Adam as., atau tidak langsung seperti kita-kita ini. Sebab, semua mani dari makanan, dan makanan dari binatang dan pepohonan. 

Pepohonan, sudah jelas dari tanah. Sedang binatang juga dari yang dimakannya, baik binatang lain atau pepohonan. Wal hasil, semuanya berasal dari tanah secara pasti. 

Nah, ketika manusia ingat akan asal dirinya , yakni tanah yang rendah, maka ia tidak akan pernah merasa mulia sedikitpun. Oleh karena itu ia akan merasa rendah ( khusyu’ ) di hadapan Tuhannya ketika ia sujud di atasnya, dan ketika ia selesai dari shalatnya akan bertekad untuk selalu hidup mengabdi dan taat kepada Tuhannya. 

Tentu saja ketaatan di sini mencakupi dunianya juga disamping akhiratnya. Seperti mencari nafkah, menjaga kesehatan, menolong orang atau bangsanya, dll. dari yang kelihatan duniawi. Namun yang tetap mesti diingat adalah bahwa semuanya itu dilakukannya karena perintah Tuhannya dan ia tidak akan pernah mencintai semua yang didapatkannya itu. Begitu pula ia tidak akan pernah merasa memilikinya sehingga dengan sangat mudah ia gunakan di jalan Allah sesuai dengan perintahNya. Ia tidak akan pernah merasa khawatir dan takut miskin esok harinya ketika mesti menolong orang hari ini dengan seluruh yang dimilikinya. Ia tidak akan pernah sedih ketika tak punya, dan tidak akan pernah merasa bahagia ketika sebaliknya. Sebab, semuanya bukan miliknya. Dan kebahagiaannya hanya terletak bagaimana ia mentaati perintah-perintah Tuhannya. 

Dunia seperti ini, di dalam agama Islam tidak terhitung sebagai dunia, tapi justru terhitung akhirat yang tinggi. 

4- Ingat Tempat Kembali. 

Dengan melihat tanah seseorang bisa teringat bahwa ia akan kembali kepadanya, alias mati. Ketika manusia ingat bahwa kalau ia mati akan kembali ke tanah, dimana mungkin sehabis shalat hal itu terjadi, maka ia shalat dengan sepenuh perhatiaannya. Sebab, mungkin shalatnya itu adalah akhir shalat yang dapat dilakukannya. Dengan demikian maka ia akan selalu khusyu’ dalam shalatnya. 

Di samping itu, di luar shalat, ia tidak akan pernah tinggal diam tanpa berusaha meminta ampun kepada Tuhannya secara terus menerus, dan berusaha terus secara sungguh-sungguh untuk meningkatkan taatnya kepada Tuhannya itu. Sebab, ketika mati semua kemuliaan-majazinya akan ditinggalkan dan yang tersisa hanyalah ketaatan dan keshalehannya serta kemuliaan akhlaknya. 

Oleh karena itu tidak heran kalau para ulama akhlak mengatakan bahwa paling mulianya dzikir setelah dzikir-tauhid ( la ilaaha illallaah ) adalah dzikir-mati, yakni mengingat terus akan mati. Sebab, dengan mengingat mati seseorang tidak akan pernah diam tanpa usaha untuk memperbaiki akhiratnya. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa, minimalnya, orang yang ingat mati memiliki dua alamat, usaha terus memperbaiki akhiratnya dan menyederhanakan kehidupan dunianya. 

5- Tawadhuk dan Tidak Sombong. 

Orang yang selalu meletakkan lambang harga dirinya ( dahi ) ke atas tanah yang rendah, dan dia tahu bahwa dia berasal dan akan kembali kepadanya, dengan kata lain, orang yang selalu melucuti seluruh harga dirinya, selau ingat bahwa dia dari barang hina, selalu ingat bahwa ia akan mati dimana semua kemuliaannya akan ditinggalkan kecuali akhlak mulianya, maka dia akan berusaha terus untuk taat dan memuliakan dirinya dengan akhlak-akhlak mulia, bukan dengan kesombongan dan akhlak-akhlak keduniaan. 

Orang seperti ini, jangankan melakukan kesombongan, berfikir untuk itupun tidak akan pernah dilakukannya. Dan bahkan dia tidak akan pernah punya waktu untuk itu, sebab semuanya ia persiapkan untuk akhiratnya. 

Mungkin ia lebih kaya, lebih alim, lebih taat, lebih tua, lebih tinggi posisinya ( seperti guru, ustadz, orang tua, petinggi, presiden, dll ), lebih tampan, lebih biru darahnya, dll. dari yang orang lain, tapi ia tahu bahwa hakikat zatnya adalah sama dan di hadapan Tuhan semua telanjang dan hina serta yang mulia justru ketika seseorang membajui dirinya dengan ketaatan dan kerendahan serta keikhlasan di hadapan Tuhannya ditambah dengan baju ketawadhuan dan kasih sayang yang hakiki di hadapan makhlukNya, bukan ketawadhuan yang palsu dan memancing penghormatan orang lain. 

6- Kesederhanaan di Dunia. 

Orang yang tidak memperhatikan kemuliaan-majazinya ( karena selain Tuhan tidak memiliki kemuliaan yang hakiki ) dan selalu ingat akan matinya, maka ia akan menyederhanakan keperluan dunianya secara pasti. Ia tidak akan pernah menumpuk kekayaan dan bahkan tidak akan sempat berfikir untuk itu. Kalau ia berusaha gigih dalam mencari harta, tidak lain hanya untuk keperluaan sederhananya dan keluarganya. Sedang selebihnya -dari ukuran sederhananya itu- selalu akan diinfakkan untuk agama dan masyarakatnya. Kesenangan dan kesedihannya terletak pada kesedihan dan kesenangan agama dan orang-orang miskin serta yatim. 

Dunia seperti ini akan dihitung oleh agama sebagai bagian dari “ Kebaikan Dunia “ atau “ Fi al-Dun- ya Hasanah “, bukan kekayaan atau kesehatan sebagaimana kebanyakan orang mengimaninya. 

Sebab maksud dari doa kebaikan dunia atau fiddun-ya hasanah adalah iman dan taat, baik dikala kaya atau miskin, dikala sehat atau sakit. 

7- Hikmah Kesehatan. 

Walaupun hal ini bukan tujuan asli agama, karena agama ber-orientasi akhirat, tapi karena Tuhan tidak mungkin mencelakakan hamba-hambaNya di dunia dengan perintah-perintahNya serta Ia Maha Hakim dan Bijaksana, maka sudah pasti perintah sujud ke tanah ini memiliki hikmat dunia juga. 

Sebagaimana perintah tayammum dengan tanah yang juga berhikmah dapat membersihkan anggota badan kita dari kotoran penyakit yang melekat padanya, dengan kandungan-kandungan yang dimiliki tanah-bersih, maka di sinipun demikian. Ia bisa membersihkan kaki, muka dan tangan kita dari bakteri-bakteri penyakit. Mungkin karena itulah, maka banyak sekali diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi SAWW melarang menghapus bekas debu yang melekat di dahi sehabis shalat, atau meniup tempat sujud sebelum sujud. 

Sujud di Tanah Karbala 

Di depan telah kami sebutkan, setidaknya dua tabi-’iyn yang bertabarruk dengan gunung Marwah, sehingga memakai batunya untuk alas sujud. Hal tersebut jelas tidak salah apalagi musyrik. Tidak salah karena sujud di tanah dan batu manapun adalah sah dan bahkan wajib sebagaimana maklum. Tidak syirik karena batu atau tanah tersebut tidak disembahnya, tapi hanya dijadikan alas sujud dimana sujudnya untuk Allah semata, persis seperti orang lain yang sujud ke sejadah dimana mereka tidak bermaksud menyembah sejadahnya. 

Nah, kalau sebagian tabi’iyn bertabarruk dengan gunung Marwah sebagai bagian dari tanah suci Mekkah, lalu apa salahnya orang-orang Syi’ah bertabarruk dengan salah satu tanah yang juga dianggap suci, seperti Karbala? Tanah dimana cucu-makshum ke dua Rasulullah SAWW dan keluarga serta shahabatnya dibantai dan dicincang-cincang di sana. Kalaulah hal itu menurut Ahlussunnah dianggap salah (dalam bertabarruknya), setidaknya sesuai dengan hadits-hadits di atas, hal itu tidak membuat mereka batal sujudnya apalagi syirik. Tapi mengapa sebagian saudara Ahlussunnah menstempel orang-orang Syi’ah dengan membuat bid’ah dan bahkan melakukan kesyirikan. 

Seandainya orang Syi’ah mewajibkan sujud di tanah Karbala itu, maka hal ini bisa dikatakan bid’ah. Begitu pula, seandainya orang Syi’ah menyembah tanah tersebut atau imam Husain as., maka hal ini jelas bisa dikatakan syirik. Tapi kenyataannya tak satupun dari mereka beraqidah dan berkeinginan seperti itu. Mereka hanya menganggap tanahnya itu sebagai alas dahi ( seperti sejadah dan karpetnya orang Sunni ) dan menganggap sebagai tanah suci yang layak ditabarruki. 

Kami akan merinci sedikit tentang masalah kesucian tanah secara umum, dan tanah Karbala secara khusus, menurut hadits-hadtis Ahlussunnah Waljama’ah sendiri. 

Kesucian Tanah 

Kesucian sebagian tanah dan kemuliaannya dari sebagian yang lain, disebabkan oleh beberapa faktor. Namun yang jelas semua itu dilihat dari kacamata agama dan fungsinya dalam agama, 

bukan dari kemauan dan sesuka-suka manusia. Jadi, pada asalnya semua tanah itu sama. Tapi setelah adanya penisbahan atau penghubungan sesuatu yang dianggap mulia dalam agama kepada sebagiannya, maka sebagian tanah tersebut akan dikatakan mulia dan suci. 

Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa penyebab kesucian tanah: 
  • Penisbahan Ka’bah. Salah satu penisbahan yang mensucikan tanah itu adalah penisbahan/ penghubungan Ka’bah kepadanya. Dengan penisbahan Ka’bah, tanah biasa akan menjadi suci menurut agama. Sebab Ka’bah sebagai rumah yang dinisbahkan kepada Tuhan karena kemuliaannya yang disebabkan tempat menyembahNya, maka tanah tersebut akan menjadi mulia juga. Oleh karena itu tidak heran kalau salah satu tabi’iyn yang bernama ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas bertabarruk dengan batu gunung Marwah ( untuk alas sujud ) sebagai bagian dari tanah Mekkah yang menjadi suci lantaran Ka’bah tersebut. 
  • Penisbahan Mesjid. Salah satu penisbahan itu adalah penisbahan mesjid kepada tanah. Ketika suatu tanah dijadikan tempat ibadah secara khusus, yakni mesjid, maka ia akan menjadi suci dan akan memiliki hukum fiqih yang lain dan baru dari hukum fiqih sebelumnya. Yang tadinya orang boleh saja kencing di situ, kini sudah menjadi haram hukumnya. 
  • Penisbahan Ibadah Khusus Seorang Nabi dan Turun Wahyu Pertama. Kalau mesjid menjadi mulia karena di sana mukminin beribadah kepada Allah, maka begitu pula tempat-tempat yang dijadikan tempat ibadah seorang nabi, seperti Gua Hira’. Sungguh gua itu berbeda jauh dari sebelum Nabi Muhammad SAWW bertirakat/menyepi secara khusus di sana dan menerima wahyu pertama, dengan yang setelahnya. Fiqihnyapun akan menjadi berbeda karena kesucian yang didapatnya itu. Atau seperti tempat ibadah nabi Ibrahim as. dimana tempat berdirinya terkenal sekali dengan nama Maqom Ibrahim as. Atau tempat lari-lari siti Hajar as. di antara Shofa dan Marwah. Tempat ini bukan hanya menjadi suci lantaran lari-larinya itu, tapi setiap muslim yang pergi haji mesti melakukan lari-lari kecil tersebut dan bahkan ianya merupakan salah satu rukun dan falsafah wajibnya haji. Atau seperti air yang dinisbahkan kepada kaki seorang nabi sekalipun masih kecil seperti air Zam-zam. Ia tidak bisa disamakan dengan air lain. Ia menjadi mulia karena keluar dari bekas gerakan kaki nabi Ismail as. sewaktu beliau masih bayi. 
  • Penisbahan Mayat Mukminin. Salah satu dari penisbahan di atas adalah penisbahan mayat kaum mukminin kepada sebuah tanah. Ketika tanah kosong diisi dengan tubuh mayat mukmin, maka tanah itu sudah menjadi terhormat dan memiliki hukum berbeda. Misalnya di sana disunnahkan mengucapkan salam kepada mukminin yang dipendam, orang haid tidak boleh lewat atau masuk di atasnya ( menurut sebagian pendapat ), tidak boleh kencing/berak, dan lain-lain. 
  • Penisbahan Mayat Nabi dan Wali. Kalau penisbahan mayat mukmin saja sudah bisa merubah tanah dari biasa menjadi suci sekalipun dalam tingkat tertentu, apalagi penisbahan seorang nabi atau wali. Di sini jelas bahwa tanah ke dua ini akan lebih mulia dan suci ketimbang yang pertama yang di dalamnya hanya terpendam seorang mukmin biasa. 
Kota Madinah menjadi suci dan mulia serta diziarahi oleh milyaran mukminin dari sejak dahulu kala, karena Nabi SAWW telah dikubur di sana. Begitu pula kuburan-kuburan para wali yang bertebaran di muka bumi ini. 

Semua ini bukan bid’ah, kesalahan/penyimpangan dan apalagi kesyirikan. Sebab penisbahan ini banyak dinukil dalam al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi SAWW. Seperti penisbahan kuburan siti Hajar as. dimana mesti diputari dalam tawaf dan kalau bertawaf di antara Ka’bah dan kuburannya itu tawafnya menjadi batal; penisbahan pelemparan batu di Mina ( sebagai ibadah taat kepada Tuhan dalam memerangi syetan ) oleh nabi Ibrahim as.; penisbahan Miiqoot nabi Musa as. sehingga beliau diwajibkan mencopot sandalnya; dan lain-lain yang banyak sekali. 

Imam Husain as adalah Nabi SAWW 

Kalau kewalian seseorang itu bisa menyebabkan tanah dimana ia dikuburkan menjadi mulia, padahal wali tersebut belum tentu wali menurut Tuhan -sekalipun orang yang mewalikannya itu tidak dianggap salah dan berdosa menurut Islam kalau memang tidak melihat kejanggalan di masa hidup walinya itu- apalagi kalau kewaliannya itu dijamin Tuhan atau Nabi SAWW sendiri. Sudah tentu tanah yang diisi wali yang sesungguhnya tersebut akan terjamin kemuliannya. Terlebih lagi kalau wali tersebut dianggap Nabi SAWW sebagai diri Nabi SAWW sendiri, maka sudah jelas kedudukannya. 

Nabi SAWW bersabda: 

“Husain dari aku dan aku dari Husain. Allah mencintai orang yang mencintai Husain.” 

“Al-Husain penghulu para Syuhada’.” 

“Husain dari aku dan aku darinya, Allah akan mencintai orang yang mencintainya".

Hadits-hadits jaminan kewalian imam Husain di atas ini dapat ditemui di: 

Bukhari dalam kitabnya al-Adabu al-Mufrodu, 1: 455, no: 364, dan dalam kitab Taariykhu al- Kabiyrnya, 8: 414-415; Sunan Tirmidziy, 5: 658; Sunan Ibnu Maajah, no: 144; Musnad Ahmad bin Hambal, 4: 172; Mu’jamu al-Thabraniy, 3: 20-22; al-Mustadrak, 3: 177; Ibnu al-Atsir dalam Usdu al-Ghaabahnya, 2: 19, 5: 130; Kanzu al-’Ummaal, no: 34289, 34264...; Ibnu Katsiyr dalam al-Bidaayah wa al-Nihaayahnya, 8: 206; al-Suyuuthiy dalam al-Jaami’u al-Shaghiyrnya, 1: 370; dan lain-lain dari banyak kitab Ahlussunnah dimana sampai melebihi 54 kitab mereka ( yang ingin melihat masing- masing kitab dan halamannya, lihatlah kitab al-Sujuud ‘Ala Turbati al-Husainiyah, karya Sayyid Muhammad al-Muusawiy, hal: 262-264 ). 

(berlanjut ke Fadhilah Tanah Karbala......!!!)


Catatan Lanjutan dan Sebelumnya:


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, (Bag: 1)

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, seri nukilan dari Buletin Al-Muraasalaat 16 (Bag: 1)



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, February 26, 2013 at 10:44 pm

Pertanyaan dari: Habeeb Al-rashed (Dari salah satu negara Arab)

Alamat E-mail: habeeb2020@maktoob.com

Tanya:

Di rumah kami ada pembantu muslimat dari Indonesia yang tidak bisa berbicara bahasa Arab dengan baik sama sekali. Ketika ia melihat kita shalat, selalu menanyakan mengapa kami sujud di atas turbah ( tanah yang dipadatkan seperti korek api, atau berbentuk bulat, red. ), apa turbah ini dan apa sebab dari semua ini, ........ dan begitu seterusnya menanyakan perihal sujud di atas turbah Husainiah ( tanah dari kota Karbala di Irak, red. ). 

Oleh karena itu alangkah senangnya kami seandainya ia mendapat jawaban dengan bahasa Indonesia yang dapat ia pahami. Terima kasih dan semoga Allah membalas antum dengan seluruh kebaikan. 

Jawab (dari Ust Hasan Abu Ammar hf)

Perhatian Pertama: Pertanyaan di atas datang dari salah satu negara Arab dengan alamat di atas kepada kantor Rahbar hf dengan alamat istiftaa@wilayah.org. Tapi karena kebetulan kami yang diminta untuk menulis makalah berbahasa Indonesia mengenai sujud di atas tanah tersebut sewaktu kami kebetulan berkunjung ke kantor itu, dan karena baik untuk dimasukkan ke buletin kami, maka atas sepengetahuan kantor yang dimaksud maka kami memasukkannya di sini ( al- Murasalat ). 

Perhatian Dua: Tulisan atau makalah ini tidak mewakili kantor Rahbar hf, sekalipun kebetulan kami diminta untuk menulisnya. Jadi jawaban dan makalah ini hanyalah suatu makalah biasa yang tidak dibarengi dengan bobot atas nama. Oleh karena itu hadapilah seperti menghadapi tulisan- tulisan biasa (bukan tulisan Rahbar hf, kantor beliau hf atau wakil beliau hf). 

Perhatian Tiga: Tulisan ini bukan bermaksud mengungkit-ngungkit masalah ikhtilafiah, tapi sekedar ingin membantu pemohon di atas dan para pembaca yang ingin mengetahui sedikit lebih rinci dan ilmiah mengenai hal yang dipertanyakan itu. 

Perhatian Empat: Karena di dalam madzhab Syi’ah masalah sujud di atas tanah tersebut temasuk masalah yang jelas dan tidak membingungkan bagi pemeluknya, maka kami akan menukilkan dalil-dalil dan hadits-hadits Sunni saja. 

Makna Sujud 
Sujud memiliki dua makna; bahasa dan syariat: 

Makna Bahasanya adalah merendahkan diri; memiringkan badan; menundukkan kepala; dan membungkukkan badan. Sebagian ahli bahasa kadang-kadang memang mengartikan meletakkan dahi di atas tanah, tapi mereka tidak bermaksud mengartikannya demikian kecuali secara tidak langsung dan hanya majazi, sebab mereka setelahnya langsung mengatakan bahwa “Dan tidak ada rendah diri melebihinya”. Oleh karena itu maka arti asal dari Sujud adalah Rendah Diri atau Merendahkan Diri. 

Mereka juga sering mencontohkan pemakaian kata Sujud yang bermakna membungkukkan badan dan menundukkan kepala ini, pada onta dimana orang-orang Arab ketika membungkukkan ontanya untuk dinaiki mereka mengatakan “Asjada al-Ba’iyr” ( mensujudkan onta ), atau ketika ontanya membungkuk siap dinaiki mereka mengatakan “Sajada al-Ba’iyr” ( onta bersujud ). 

Lihat di kitab-kitab: Mu’jamu Maqoyiysu al-Lughoh, karangan Ibnu Faris; Syajaru al-Dur Fi Tadaakhuli al-Kalaam Bi al-Ma’aaniy al-Mukhtalifah, karangan Abu al-Thayyib ‘Abdu al-Waahid bin ‘Aliy al-Lughawiy; al-’Ain, karangan al-Khalilu ibnu Ahmad; Ta’wiilu Musykili al-Qur'an, karangan Ibnu Quthaibah; al-Muhiith, karangan al-Shaahib bin ‘Ubbaad; al-Nihaayah, karangan Ibnu al-Atsiir; Lisaanu al-’Arab, karangan Ibnu Manzhuur; al-Adhdaad, karangan Ibnu al-Ambaariy; al-Qomuus, karangan al-Firuuz Aabaadiy; Taaju al-’Aruus, karangan al-Zubaidiy; al-Mughrib, karangan al- Mathriziy; al-Misbaahu al-Muniir, karangan al-Fiyuumiy; Majma’u al-Bahrain, karangan al-Thariihiy. 

Makna Syar’inya adalah (setidaknya ) meletakkan dahi ke atas tanah secara langsung dan tanpa penghalang. 

Berkata para ahli fiqih Hanafiah: Sujud yakni meletakkan dahi atau hidung ke atas tanah/bumi dengan merendahkan diri ( lihat Majma’u al-Anhar, 1/87 ). 

Ketika Nashir bin Yahya ditanya apakah boleh seseorang meletakkan dahinya ke atas tanah yang ada batu kecilnya ketika bersujud, ia berkata: Asalkan ia meletakkan sebagian besar dahinya ke atas tanah/bumi ( al-Mabsuuth, 1/289, karangan al-Surkhusiy ). Maksud dari perkataannya ini adalah seseorang bisa meletakkan dahinya ke atas batu-batu kecil asal sebagian besar dahinya menyentuh batu-batu tersebut, sebab batu-batu itu adalah bagian dari tanah/bumi. Dan kalau tidak, yakni hanya sebagian kecil saja,sehingga dahinya hanya menyentuh satu batu kecil dan tidak menyentuh batu-batu lain atau tanah, sehingga nampak kelihatan terganjal oleh batu itu, maka sujudnya tidak dianggap sah. 

Berkata ‘Aalimkiir dalam kitabnya al-Fataawaa al-Hindiyah 1/55: Kalau seseorang meletakkan dahinya ke atas batu kecil ketika bersujud, maka kalau sebagian besar dahinya menyentuh tanah/ bumi ( batu-batunya yang menyentuh tergolong banyak ), sujudnya menjadi sah, dan kalau tidak, maka sebaliknya. 

Berkata para ahli fiqih Malikiyyah: Sujud adalah meletakkan dahi ke atas tanah/bumi ( lihat dalam tafsir Qurthubi berkenaan dengan ayat: “ Ketika Kami berkata kepada para malaikat ‘Sujudlah kalian kepada Adam’ “ ). 

Berkata Ibnu al-Haaj dalam kitab Madkhalnya, 2/272: Dan dari kewajiban-kewajiban sujud adalah tidak bolehnya adanya penghalang antara dahi dan tanah/bumi. 

Berkata para ahli fiqih Hambaliyah: Sempurnanya sujud ke atas tanah/bumi adalah meletakkan dua tapak tangannya serta jari-jarinya ke atas tanah/bumi ..... ( al-Mughniy 1/520, karangan Ibnu Quddaamah al-Maqdisiy ). 

Berkata al-Murdaawiy dalam al-Inshaaf: Dan tidak diwajibkan bagi orang shalat untuk menyentuh langsung tanah/bumi kecuali dahinya. Maksudnya ketika seseorang sujud maka tidak diwajibkan menyentuh langsung bumi/tanah kecuali dahinya. Fatwanya ini berbeda dengan fatwa rekan semadzhabnya, Ibnu Quddaamah di atas. 

Berkata ahli fiqih Syaafi’iyyah, khususnya Syafi’iy sendiri ( Muhammad bin Idris ) dalam al-Um nya: Kalau seseorang bersujud dengan kepalanya dan dahinya tidak menyentuh bumi/tanah, maka sujudnya tidak dianggap sah. Tapi kalau sebagian dahinya menyentuhnya, maka sujudnya dianggap sah insyaallah ( lihat al-Um 1/114 ). 

Masih banyak kata-kata dari para pemuka madzhab seperti Zaidiyyah, Isma’iiliyyah, Kharijiyyah dan Zhahiriyyah yang bisa dinukil di sini. Tapi kami mencukupkannya demi meringkas tulisan ini. Namun yang jelas semua berkata sama, yaitu wajib hukumnya untuk menyentuhkan dahi ke atas tanah/bumi secara langsung dan tanpa penghalang, ketika bersujud.

Kesimpulan

Kesimpulan sementara yang bisa diambil dari arti Sujud secara Syar’i (agama) di sini adalah Meletakkan Dahi ke Atas Tanah/Bumi Secara Langsung dan Tanpa Penghalang, Baik Berupa Tanah atau Batu-Batuan. Sehingga dengan demikian kalau seseorang melakukan sujud tanpa memenuhi syarat di atas ini, misalnya sujud atau meletakkan dahi di atas kain, karpet, sejadah dan semacamnya, maka sujudnya tidak bisa dianggap sah dilihat dari kacamata agama. Nanti akan lebih jelas lagi mengenai hal ini, insyaallah. 

Arti Tanah/bumi 

Sebenarnya arti tanah/bumi dalam hal ini tidak perlu dijelaskan lagi, namun demi menghilangkan sebagian rasa was-was, maka perlu kiranya tanah/bumi di sini sedikit diperjelas sekali lagi. 

Pada semua kalimat ahli fiqih di atas dan di hadits-hadits yang akan datang, pada tanah atau buminya memakai kata-kata “Ardhun” atau “al-Ardhu”. Secara umum, pemakaian kata ini dimaksudkan untuk “Bumi” atau “Tanah” dimana termasuk batu-batu dan bagian-bagian tabiatnya, seperti pepohonan. Dan tidak ada satupun yang memakainya untuk kain, karpet, kursi, sejadah dan semacamnya. 

Sebenarnya, makna ini tidak ada yang meragukannya, terlebih dimasa awal-awal keislaman. Oleh karena itu tidak heran kalau diantara para ahli fiqih di atas mengatakan “Dan tidak diwajibkan bagi orang shalat untuk menyentuh langsung bumi/tanah kecuali dahinya “. Sementara ia sendiri adalah orang Sunni ( Ahlussunnah ) dan perkataannya ini ditujukan untuk orang-orang Sunni yang lain yang mewajibkan bagi orang sujud untuk menyentuhkan semua anggota sujudnya ke tanah secara langsung sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Quddaamah di atas. 

Kesimpulan sementara yang bisa diambil dari semua ini adalah ulama-ulama Sunni membolehkan seseorang menyentuhkan dahinya ke bumi/tanah ketika bersujud sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah, dan bahkan sebagaimana di atas, hal itu diwajibkan sehingga batallah sujud orang-orang yang tidak menyentuhkan dahinya ke tanah. 

Hukum Meletakkan Dahi ke Tanah 

Hukum meletakkan dahi ke tanah ( termasuk batu-batu, pasir dan pepohonan yang tidak dimakan dan dijadikan pakaian ) dalam sujud, di dalam Syi’ah adalah wajib. Sementara menurut para ahli fiqih Sunnipun, sebagaimana kami nukil di atas, adalah wajib pula hukumnya. Bahkan menurut sebagian hukum di Ahlussunnah ini, hukum menyentuhkan anggota sujud ke tanah lebih luas dari yang ada di dalam madzhab Syi’ah. Karena menurut sebagian mereka sempurnanya sujud adalah dengan meletakkan seluruh anggota sujud yang tujuh ( dahi, dua tapak tangan, dua lutut dan dua kaki ) dan bahkan hidung, ke atas tanah. Sementara yang ada di madzhab Syi’ah hanya dahi saja. Atau sebagian mereka mensyaratkan pada sentuhan dahi ke tanah tersebut, hendaknya sebagian besar dahi mesti menyentuh tanah, sementara di Syi’ah minimalnya sebesar kuku ibu jari tangan saja. 

Dengan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa menyentuhkan dahi ke tanah adalah bukan sembarang hukum, apalagi dikatakan sebuah bid’ah yang dibuat oleh orang-orang Syi’ah. Terlebih lagi ada yang mengatakan bahwa orang Syi’ah telah melakukan kemusyrikan karena telah menyembah batu atau tanah yang dicetak sebesar korek api. Tidak, tidak demikian. 

Tapi menyentuhkan dahi ke tanah tersebut merupakan kewajiban syariat yang tidak bisa ditawar- tawar manakala tidak ada halangan, dan sujud secara syariat Islam (bukan istilah kata dan bahasa) tidak terjadi manakala dahi tidak menyentuh tanah secara langsung. 

Janganlah pembaca berkata bahwa maksud tanah (ardhun) adalah bumi secara umum, yakni apa- apa yang kita injak dengan kaki atau arah bawah kita dan dasar kita berdiri, dimana termasuk lantai keramik rumah kita, karpet, tikar, perahu, kereta api, dan semacamnya. Sehingga dengan demikian maka kewajiban menyentuhkan dahi ke tanah maksudnya adalah menyentuhkan dahi ke lantai atau ke karpet atau ke sejadah yang kita injak, dan maksud dari tidak bolehnya ada penghalang, yakni tidak bolehnya bagian baju yang kita pakai menghalangi sentuhan dahi dengan lantai (karpet, dan lain-lain) yang kita shalat di atasnya, sebagaimana kami dengar hukum ini sewaktu kami masih kecil dan bermadzhab Sunni. 

Sebab, disamping semua itu tidak sesuai dengan makna Ardhun ( tanah/bumi ) dan keluar dari pemakaian orang-orang Arab, hal tersebut juga akan memberikan makna bahwa para ulama dan para ahli fiqih terdahulu itu, telah melakukan hal-hal yang sia-sia dan tidak memahami bahasa Arab serta sedikit kurang normal akal. Sebab ketika mereka berbeda pendapat bahwa apakah dalam bersujud mesti dan wajib menyentuhkan semua anggota sujud yang tujuh atau hanya dahi saja atau dahi dan hidung, berarti mereka telah mengkhayalkan bahwa yang melakukan sujud itu berada di udara dan melayang-layang. 

Sebab, ketika orang melakukan shalat, kakinya pasti menginjak dasar ( lantai ), apapun dasar itu. Begitu pula ketika bersujud, maka kala itu kedua tangan, kedua lutut dan kakinya pasti menyentuh dasar. Nah, kalau mereka berbeda pendapat apakah wajib semua anggota sujud yang tujuh tersebut menyentuh lantai atau tidak, berarti mereka telah membayangkan bahwa yang sujud tersebut melayang-layang di udara. 

Dan pembaca budiman tidak bisa mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah tidak bolehnya anggota sujud yang tujuh itu terhalang baju yang kita pakai. Sebab tidak ada yang membatalkan orang sujud dalam shalat dengan memakai kaos kaki, atau tidak ada orang yang mewajibkan orang sujud dalam shalat untuk menyingkap celananya sehingga kulit lututnya terkena lantai, terlebih kalau yang shalat itu perempuan. 

Begitu pula sebagaimana yang akan lebih jelas nanti ( lihat hadits-hadits yang akan datang ), bahwa ketika seseorang sedang berhalangan menyentuhkan anggota sujudnya ke tanah seperti karena panas dan dingin yang tidak bisa ditahan, justru dibolehkan berlandaskan bajunya yang dipakai, bukan dengan kain lain atau sejadah. 

Nah, dengan demikian maka hukum meletakkan seluruh atau sebagian anggota sujud ke tanah ini, tidak bisa ditakwil-takwil lagi bahwa maksud tanah di sini adalah tanah dengan makna khusus dan aslinya ( termasuk batu-batu, pasir, dan lain-lainnya ) dan bukan bermakna “dasar” secara umum yang menyangkut karpet, sejadah ( sajjaadah ), keramik, perahu, pesawat terbang, dan lain-lain. 

Dalil-dalil Wajibnya Sujud ke Atas Tanah 

Dalam kitab-kitab hadits Ahlussunnah Waljama’ah banyak sekali hadits yang menyatakan bahwa sujud ke tanah itu merupakan kewajiban, bukan kesunnahan atau sekedar kebolehan saja. Di sini kami akan menukilkan sebagiannya saja demi keringkasan, dan dalam bentuk pengelompokan tertentu yang akan disesuaikan dengan tajuk-tajuk tertentu pula. 

Yang perlu diingat adalah bahwa semua riwayat-riwayat yang akan dinukil nanti memiliki maksud dan nilai yang sama dilihat dari sisi hukum. Nah, perhatikanlah hadits-hadits berikut ini sehingga hukum wajibnya sujud di atas tanah tersebut akan kelihatan terang dan tidak meragukan lagi: 

Ucapan Nabi SAWW 

Kami akan menukilkan sebagiannya di sini dan dalam bentuk satu-dua kalimat yang mirip. Tapi dalam penyebutan adresnya kami akan menyebutkan lebih banyak lagi sekalipun masing-masing kalimatnya tidak sama persis, namun yang memiliki kesamaan maksud, tentu saja halaman kitab bisa berbeda dan yang kami jadikan pedoman adalah kitab aslinya yang berbahasa Arab, begitu pula penukilan lain di semua tulisan makalah ini. 

Rasulullah SAWW bersabda: 
  • “Bumi/tanah ini telah dijadikan untukku tempat sujud (masjidan) dan pembersih (thohuuron)” 
  • “Semua permukaan bumi/tanah ini telah dijadikan (oleh Tuhan, red) untukku tempat sujud dan pembersih“ 
  • “Semua bumi/tanah telah dijadikan untuk kita tempat sujud dan pembersih“ 
  • “Semua tanah/bumi adalah tempat sujud kecuali kuburan dan tempat mandi“. (Hadits ini dimuat di semua kitab shahih yang enam menurut pengarang Nailu al-Authoor 2: 133, yang dapat kami nukil alamatnya bisa anda lihat di bagian alamat hadits yang akan datang). 
  • “Bumi/tanah telah dijadikan untukku bersih dan tempat sujud, maka barang siapa yang me- masuki waktu shalat hendaknya ia shalat di mana saja ia berada“ 
Penjelasan Hadits: Maksud dari “Masjid” dalam hadits-hadits di atas ini bukan bermakna “Tempat Shalat” sebagaimana mungkin dipahami oleh sebagian orang. Sebab dalam hadits-hadits terse- but memiliki qorinah atau tanda-tanda dan alamat dari maksud yang terkandung. Yaitu kata “Thohuuron” yang berarti “Pembersih”. Karena yang dimaksudkan “Pembersih” di sini adalah ketika dipakai tayammum. Yakni, tanah adalah pembersih hadats ketika kita bertayammum sewaktu tidak ada air. 

Ketika “Bumi/tanah” dalam hadits itu adalah yang bisa diperuntukkan untuk tayammum, maka jelas maksudnya adalah “Tanah/bumi” yang berarti “Tanah”, bukan yang bermakna “Dasar kita berpijak”. Oleh karena itu “Tanah” di sini tidak mungkin mengandungi juga maksud-maksud seperti karpet, sejadah, keramik, lantai-semen, perahu, dll yang keluar dari makna tanah-asli. 

Nah, kalau maksud “Tanah”-nya sudah jelas, maka akan jelas pula bahwa yang dimaksudkan oleh kata “Masjid” di sini akan bermakna “Tempat Sujud”, bukan “Tempat Shalat”. Sebab, sebagaimana maklum, tidak mungkin seseorang melakukan shalat sementara ia melayang-layang di udara. 

Dan ketika “Masjid”-nya sudah jelas, maka akan jelas pula maksud-hukum dari hadits-hadits tersebut, yaitu wajib hukumnya meletakkan anggota sujud atau setidaknya dahi, ke atas tanah- asli, bukan ke atas dasar-berpijak yang bukan tanah-asli. 

Alamat Semua Hadits di Atas itu: Shahih Bukhari, Kitab al-Shalat, 1: 91 ( lihat juga 1: 86 dan 1: 113 ); Shahih Muslim 1: 371 dan 2: 64; Sunan al-Nasaa-iy, bab: tayammum 1: 210 ( atau lihatlah juga di 2: 32 ); Sunan Baihaqi, bab: Tayammum dengan Tanah yang Suci, 1: 212 ( lihat juga di 2: 433-435 dan 6:261 ); Sunan al-Tirmidziy 2: 131, 133 dan 4: 123 ( atau lihat juga di 2: 114 ); Sunan Abu Daud 1: 79; Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Wa Iqtidhaau al-Shiroothi al-Mustaqiim, hal: 332; dan lain-lain.. 

Hadits-hadits seperti di atas itu diriwayatkan oleh banyak shahabat seperti, Imam Ali as., Abdullah bin Umar ( khalifah ), Abu Hurairah, Jabir, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Hudzaifah, Abi Amamah, Abu Dzar, dan lain-lain. 

Perintah Nabi SAWW 

Kami akan menukil sebagiannya saja perintah-perintah Nabi SAWW berkenaan dengan wajibnya sujud di atas tanah ini sebagaimana yang terdahulu: 

Diriwayatkan oleh Ummu Salamah ( istri Nabi SAWW ) dari Nabi SAWW bahwa beliau bersabda kepadanya: 
  • “Debukan ( tarrib! ) wajahmu untuk Allah!!!“ ( Kanzu al-’Ummaal, kitab: Shalat, 7: 465 ). Maksud Nabi SAWW dari “debukan” adalah “ Sentuhkanlah dahimu ke tanah secara langsung ketika bersujud “. Sebab kata “Tarrib” adalah “debukan”, bukan lantaikan atau bumikan atau bawahkan, sehingga barangkali ada yang mengira bahwa maksudnya adalah sentuhkan dahi ke bawah langsung, yakni ke apa-apa saja yang ada di bawah seperti sejadah dan lain- lainnya. 
  • Khalid al-Jahmi ( shahabat ) berkata bahwa: “Rasulullah SAWW melihat Shuhaib ketika bersujud seakan-akan ia menghindar dari debu-debu, maka dari itu Nabi SAWW bersabda kepadanya“: “Debukan ( tarrib! ) wajahmu ya ... Shuhaib !” ( kitab al-Mushannif karya ‘Abdu al-Rozzaaq, 1: 392 ). 
  • Bersabda Nabi SAWW untuk Ma’aadz ( shahabat ): “Lumurkanlah ke debu wajahmu itu!!!(‘Affir wajhaka fi al-turoob!) “ (Irsyaadu al-Saariy, 1: 405 ) 
  • Bersabda Nabi SAWW untuk Robaah: “Ya... Robaah, debukan ( wajahmu, red. )“ ( Kanzu al-’Ummaal 4: 99-212 atau dalam cetakan lain 7: 324; al-Ishaabah 1: 502, no: 2562; Usudu al-Ghaabah 2: 161 ). 
  • “Kalau kalian melakukan shalat maka hendaknya mesti meletakkan dahi dan hidungnya ke tanah sehingga ia nampak hina“ ( al-Nihaayah, karya Ibnu Atsir jilid: 2, kata dasar: Roghama ( hina ). 

Perintah Nabi SAWW Menghilangkan Penghalang 

Di bawah ini kami akan menukil contoh-contoh larangan Nabi SAWW terhadap adanya halangan yang dapat menghalangi sentuhan dahi ke tanah: 

Shaleh al-Sabaa-iy berkata: “Rasulullah SAWW melihat orang bersujud di sampingnya dimana serbannya (amamahnya) menghalangi dahinya, lalu Rasulullah SAWW menyingkapnya dari dahi- nya“ (Sunan Baihaqiy, 2: 105) 

Berkata ‘Ayaadh bin ‘Abdullah: “Rasulullah SAWW melihat seseorang bersujud ke atas lilitan amamahnya (baca: terganjal, red.) lalu beliau memberi isyarat kepada orang tersebut dengan tangannya agar mengangkat serbannya dan beliau mengisyaratkan kepada dahi beliau (maksudnya agar menyentuhkan dahinya ke tanah, red.)“ (Sunan Baihaqiy, 2: 105). 

Sekali lagi, janganlah pembaca berkata: “ Itu semua menandakan bahwa ketidakbolehan adanya penghalang dari apa-apa yang dipakai orang yang shalat, bukan semacam karpet, sejadah, dan lain-lain. “. Sebab, di depan sudah kami jawab bahwa hal itu tidak demikian halnya. Karena tidak ada orang membatalkan orang shalat pakai kaos kaki, kaos tangan, celana atau sarung yang menutupi lutut. 

Pembaca juga tidak bisa mengatakan bahwa “ Ketidakbolehan adanya penutup dari pakaian itu hanyalah untuk dahi “, sebab dari hadits-hadits yang terdahulu dan yang akan datang hal tersebut sangat jelas kesalahannya. Karena tak mungkin pembaca ragu akan maksud Nabi SAWW ketika bersabda: 

“Lumurkan wajahmu ke debu“. 

Apalagi ketika beliau bersabda seperti itu untuk Ummu Salamah ( istri beliau ). Sebab tak mungkin di rumah Nabi SAWW tidak memiliki kain sedikitpun atau apa saja untuk menutupi dahi istrinya dari debu supaya tidak mengotori wajah dan dahinya kalau hal itu memang dibolehkan. Terlebih lagi malah Nabi besar SAWW bersabda: “ Debukan wajahmu untuk Allah!!! “ . 

Lampa/teladan Nabi SAWW 

Di bawah ini akan kami nukil sebagian hadits-hadits yang menunjukan apa-apa yang telah di-Lampa- kan Nabi SAWW (dilakukan/dicontohkan) dalam hal bersujud ini, dan dalam penyebutan alamat hadits-haditsnya kami akan menjadikannya satu dari hadits-hadits yang sama atau berdekatan: 

Berkata al-Waa-il bin Hajar: “Aku melihat Nabi SAWW kalau bersujud meletakkan dahi dan hidungnya ke tanah“ (Ahkaamu al-Qur'an, karya al-Jashshaash al-Hanafi, 3: 209, cet: Bairut). 

Berkata Humaid bin al-Saa’idiy: “ Kalau Rasulullah SAWW bersujud meletakkan dahi dan hidungnya ke tanah “ (Sunan al-Tirmidziy, 2: 59; Sunan Abu Daud menurut nukilan Nailu al-Authoor 2: 257; Shahih Khazimiym 1: 322). 

Berkata Waa-il bin Hajar al-Hadhramiy: “ Aku melihat Rasulullah SAWW bersujud ke atas tanah dengan meletakkan dahi dan hidungnya “ (Musnad Ahmad bin Hambal, 4: 314). 

Berkata Abu Hurairah: “ Rasulullah bersujud (dalam shalat, red.) di musim hujan, sehingga aku melihat bekasnya (lumpur) di dahi beliau dan hal itu membuatnya hina (di hadapan Tuhan) “. (Majma’u al-Zawaa-id, 2: 126). 

Berkata Abu Sa’id al-Khudriy: “ .....Kemudian Nabi SAWW shalat bersama kami lalu kami lihat di dahi beliau lumpur dan air (bekas sujud) sehingga hal itu membuatnya semakin hina (dihadapan Tuhan) “. (Shahih Bukhari, 1: 162, dengan sedikit perbedaan kalimat; al-Muwaththa’, hal: 167, akhir bab: al-I’tiqoof; Sunan Nasai, 2: 208) 

Berkata Ibnu Abbas: “ Sesungguhnya Nabi SAWW bersujud di atas batu (baca: pernah bersujud, red.) “. (Sunan Baihaqiy, 2: 102). 

Berkata ‘Aisyah: “ Aku tak pernah melihat Rasulullah SAWW meng-alasi (meleme’i, mensejadahi, dan seterusnya.) wajahnya dengan apapun (ketika bersujud) “. (al-Mushannif 1: 397; Kanzu al- ’Ummaal, 4: 212, dalam cetakan yang lain, 8: 85). 

Komentar: Kalau orang mencari kebenaran yang sesungguhnya, atau setidaknya mencari jalan yang paling selamat, maka tidak mungkin meragukan kebenaran hadits-hadits di atas ini, dan mengutamakan atau mendahulukan kebiasaannya atau perkataan selain Nabi Besar SAWW. seperti guru dan kiyainya. Atau tidak mungkin menyalahkan apa-apa yang telah dilakukan orang- orang Syi’ah dalam sujud mereka. Tapi apa boleh buat, tidak ada paksaan dalam agama atau berpendapat. Semoga Tuhan menunjuki semua muslimin ke jalan yang benar, amin, sehingga di akhirat kelak tidak kehilangan shalat mereka. 

Sujud Rasulullah SAWW Ketika Ada Rintangan 

Hadits-hadits di atas menunjukkan kewajiban menyentuhkan semua anggota sujud yang tujuh -setidaknya dahi- ke tanah ketika bersujud dikala tidak ada rintangan yang dicontohkan Rasulullah SAWW.. Di sini kami akan menukil hadits-hadits yang menceriterakan apa-apa yang dicontohkan Rasulullah SAWW ketika berhalangan, seperti panas, dingin dan sehabis hujan. 

Yang Perlu Diingat adalah bahwa sebagian riwayat-riwayat di bawah ini nampak ada pertentangannya dengan sebagian hadits-hadits terdahulu. Misalnya hadits terdahulu mengatakan bahwa Nabi SAWW sujud ke tanah sekalipun sehabis hujan atau kesaksian ‘Aisah yang mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat Rasulullah meng-alasi dahinya dengan apapun, dan lain-lain. Sementara hadits-hadits di bawah ini akan berceritera lain. Apakah betul bertentangan? 

Sisi Pertemuannya adalah bahwa hadits-hadits berikut ini tidak menjelaskan dengan terang bahwa Rasulullah SAWW mendasari dahinya dengan kain atau semacamnya. Dan yang dialasi karena hujan atau panas atau dingin hanyalah anggota sujud yang lainnya, yakni selain dahi. Begitu pula kadang-kadang Rasulullah SAWW tidak meng-alasi tangannya sekalipun berhalangan, sebagaimana yang akan pembaca temui sebentar lagi. Jadi, hadits-hadits terdahulu dengan hadits-hadits berikut tidak bertentangan sedikitpun. 

Hakikat Yang Sebenarnya adalah sesuai dengan apa-apa yang dipahami orang-orang Syi’ah melalui imam-imam mereka dari keturunan yang makshum dari Nabi SAWW. bahwa kewajiban menyentuhkan anggota sujud ke tanah hanyalah pada anggota dahi, bukan yang lainnya, sekalipun boleh-boleh saja. 

Berkata Ibnu Abbas: “ Aku melihat Rasulullah SAWW melakukan shalat di atas baju (atau kain?, red.) putih di pagi hari ( subuh ) yang dingin untuk menghindarkan rasa dingin di kaki dan tangannya “ (Sunan Baihaqiy, 2: 106). 

Berkata Ibnu Abbas di tempat yang lain: “Aku pernah melihat Rasulullah SAWW di musim penghujan menghindari lumpur ketika bersujud dengan meletakkan baju (kain) kecuali tangannya “. (Siyrathunaa wa Sunnatunaa, hal: 132, menukil dari Ahmad bin Hambal). 

Berkata Abdullah bin Abdurrahman: “Rasulullah SAWW datang kepada kami dan kemudian melakukan shalat diantara (bersama) kami di masjid Bani ‘Abdu al-Asyhal, lalu kulihat beliau meletakkan tangannya di atas bajunya (kain) ketika bersujud “ (Sunan Ibnu Maajah, 1: 328, bab: al-Sujuud ‘Ala al-Tsiyaab fi al-Har wa al-Bard -bab: Sujud di atas baju di waktu panas dan dingin). 

Berkata Tsabit bin Shaamit -dengan beberapa perantara: “ Sesungguhnya Rasulullah SAWW shalat bersama kami di masjid ‘Abdu al-Asyhal, sementara beliau memakai baju ( kain ) yang berlipat yang dijadikan alas tangannya untuk menghindari dinginnya batu-batu “ ( Sunan Ibnu Maajah, 1: 328 ). 

Berkata Anas: “ Kalau kami shalat di belakang Rasulullah SAWW di siang hari yang sangat panas, kami bersujud di atas baju kami demi menghindari panas “ ( Sunan Nasaa-i, 2: 216; Sunan al- Daarimiy, 1: 308 ). 

Berkata Khabaab bin al-Art: “ Kami mengeluh kepada Rasulullah SAWW tentang panas yang menyengat di tapak tangan dan dahi kami, tapi beliau tidak menghiraukan keluhan kami itu “ ( Shahih Muslim, 1: 433; Sunan Baihaqi, 1: 438, 2: 105-107 ). 

Komentar: 

Sangat mungkin sekali bahwa Nabi SAWW ketika tidak menghiraukan Khabaab lantaran waktu itu panasnya masih dapat ditahan, atau karena hal itu mudah diatasi seperti shahabat-shahabat yang lain sebagaimana yang akan lebih jelas nanti bahwa mereka kadang-kadang meng-alasi anggota sujudnya dengan baju ( kemungkinan besar hanya selain dahinya sebagaimana maklum ) atau menyimpan batu-batu kecil di tangan mereka sewaktu shalat supaya dingin dan ketika bersujud diletakkan di tempat dahinya, atau karena keluhannya itu menandakan kurang sukanya ( semoga tidak demikian ) terhadap hukum sujud itu, atau kemungkinan-kemungkinan lain yang kita tidak bisa mengerti saat ini. 

Kesimpulan

Kesimpulan sementara yang bisa diambil dari semua hadits-hadits ini adalah bahwasanya seseorang itu bisa melandasi anggota sujudnya dengan bajunya ketika berhalangan saja. Yaitu ketika panas dan dinginnya menurut ukuran umum tidak bisa ditahan, atau lumpurnya terlalu banyak dan becek. Dan kita mesti memaknai hadits-hadits yang mengatakan bahwa Nabi SAWW sujud ke baju tanpa menyebut halangannya dengan makna berhalangan. 

Sebab, bisa saja seseorang tidak menyebut halangan Nabi SAWW itu karena ia memang tidak memperhatikannya dalam menceriterakan sujud Nabi SAWW itu (tidak bermaksud menceritakan- nya) atau ia memang tidak tahu halangan yang dihadapi Nabi SAWW. Sebab sebagaiamana yang telah lalu dan yang akan datang kita dapat melihat bahwa Nabi SAWW mewajibkan sujud ke atas tanah tanpa rintangan, atau bisa juga bahwa yang menukil dari shahabat tersebut ( perawi pertama ) tidak memperhatikan sepenuhnya atau tidak menukil sepenuhnya tapi tidak dengan niat mengurangi beritanya ( baca: tidak perhatian ). Jadi, hadits-hadits tersebut mesti dimaknai berhalangan. Misalnya seperti riwayat ini: 

Berkata Ibnu ‘Abbas: “ Aku melihat Rasulullah shalat dan sujud di atas bajunya “ ( Bukhariy, 1: 101; dan lain-lain ). 

Catatan

Hukum sujud dalam rintangan ini masih memiliki hal-hal yang perlu diperhatikan kalau seseorang itu memang mencari jalan selamat atau setidaknya jalan paling selamat dan hati-hati. Jadi, tidak cukup hanya sampai di situ. 

Misalnya, hadits-hadits di atas tidak jelas membolehkan melandasi dahi dengan sesuatu sekali- pun dalam waktu berhalangan. Oleh karena itu tidak heran kalau ‘Aisah ( istri Nabi SAWW ) mengatakan: “ Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAWW melandasi wajahnya dengan apapun“ ( lihat hadits terdahulu ). Ini yang pertama. Bahkan banyak riwayat yang mengatakan bahwa Nabi SAWW hanya melandasi kedua tangan dan kakinya saja atau hanya tangannya atau bahkan tidak termasuk tangannya, lihat empat riwayat pertama dari sub judul ini, yakni Sujud Rasulullah SAWW Ketika Ada Rintangan. 

Yang ke dua, dalam riwayat-riwayat yang menunjukkan kebolehan melandasi selain dahi itu ( atau juga dahi ) dengan sesuatu selain tanah, hanya diwaktu berintangan, dan juga hanya dibolehkan dengan melandasinya dengan bajunya, bukan dengan sesuatu yang tidak dipakai seperti sejadah, karpet, dan lain-lain. Oleh karena itu berkata al-Syaukaaniy di Nailu al-Authoor 2: 268 ( Ibnu Hajar juga berkata mirip seperti ini di al-Fath, 1: 414 ): 

“Hadits-hadits di atas ( sujud dikala berhalangan, red. ) menunjukkan bolehnya sujud di atas baju ketika berhalangan. Hal itu menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah menyentuh tanah secara langsung, karena -dalam riwayat-riwayat itu- diterangkan bahwa pelandasan baju itu dilakukan ketika berhalangan. Dan juga, sebagian orang berdalil dengan hadits-hadits itu bahwa kebolehan pelandasan itu hanya dengan baju yang dipakai ( tidak dengan yang lainnya seperti sejadah, dan lain-lain, red. ) oleh yang melakukan shalat, dan dalam hal ini al-Nawawi berkata bahwa Abu Hanifah berhukum dengan hukum ini ( pelandasan dengan baju yang dipakai ), dan begitu pula jumhur ( umumnya ahli fiqih ).” 

Ke tiga, memang ada riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa sebagian shahabat melandasi dahinya dengan baju sewaktu berhalangan ( seperti panas ) namun yang demikian itu tidak bisa dijadikann jaminan seratus peratus. Sebab bertentangan dengan apa-apa yang disaksikan ‘Aisah dari shalat Nabi SAWW yang sama sekali tidak pernah melandasi wajahnya dengan apapun, baik baju atau selainnya. 

Jadi, bisa saja tidak diketahui Nabi SAWW karena mereka shalat dibelakang beliau sementara shahabat yang melakukannya itu tidak melaporkannya kepada beliau. Padahal, perbuatan shahabat itu bisa dijadikan jaminan dan ukuran syariat, apabila Nabi SAWW mengetahuinya dan beliau membolehkan, atau setidaknya mendiamkannya. Jadi, secara lebih hati-hatinya hendaknya seseorang tetap tidak melandasi dahinya dengan apapun dan hendaknya menyentuhkannya ke tanah secara langsung. 

Sedang hadits-hadits yang menggambarkan perbuatan sebagian shahabat yang melandasi dahi- nya dengan baju yang dipakai sewaktu berhalangan ( seperti panas ), maka akan kami nukil di bawah ini, dan hadits-hadits ini dapat ditemukan di: 

Shahih Bukhari, 1: 101, 143-170, 2: 81, bahkan di Bukhari ini ada judul yang bernama: Sujud di Atas Baju di Waktu Udara dan Batu-batu Panas Menyengat ( bukankah ini menunjukkan tidak bolehnya dilakukan diwaktu tidak adanya halangan ???, red. ); Shahih Muslim, 2: 109; Sunan Ibnu Maajah, 1: 321; Sunan Abu Daud, 1: 106; Musnad Ahmad bin Hambal, 1: 100; Nailu al-Authoor, 2: 268; dan lain-lain.. 

Berkata Anas bin Malik: “ Kalau kami shalat di belakang Nabi SAWW lalu salah satu diantara kami tidak bisa meletakkan dahinya ke tanah secara langsung lantaran panas yang sangat menyengat, maka ia melandasi dahinya dengan bajunya “ 

Ia juga berkata: “Salah satu diantara kami sewaktu shalat bersama Nabi SAWW menghamparkan ujung bajunya yang dipakai sebagai tempat sujud diwaktu panas sedang menyengat. « 

Komentar: Masih ada lagi kesaksian-kesaksian Anas ini sehubungan dengan apa-apa yang dilakukan oleh sebagian shahabat sewaktu sujud di waktu panas yang sangat menyengat. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa: 

Pertama, hukum asal yang mesti dilakukan ketika tidak ada halangan adalah meletakkan anggota sujud -setidaknya dahi- ke atas tanah ( termasuk semacam pasir dan batu ) secara langsung, dan tidak boleh melandasinya dengan apapun, baik dengan baju yang dipakai atau dengan semacam sejadah, karpet, keramik, dan lain-lain. 

Ke dua, teriknya matahari atau panasnya tanah, bukan pertanda terangkatnya hukum kewajiban di atas. Sebab, sesuai dengan yang disaksikan Anas tadi, yang meletakkan ujung bajunya untuk disujudi hanyalah sebagian shahabat yang tidak kuat menahan panasnya itu, dan bukan berarti semua shahabat ramai-ramai meletakkan ujung bajunya. Dengan demikian, maka pembaca dapat mengira sendiri, apa gerangan hukumnya orang-orang yang melandasi dahinya dengan sejadah, karpet, dan lain-lain. sewaktu tidak ada halangan dan/atau sewaktu ada halangan tapi masih bisa menahannya. 

Nabi Sujud di Atas Tikar 

Di bawah ini akan kami nukil hadits-hadits yang menceriterakan bahwa Nabi besar SAWW bersujud di atas tikar. Dan tidak ada lagi hal lain yang dapat diambil dari semua hadits-hadits Nabi SAWW berkenaan dengan sujud ini, kecuali tiga hal di atas itu, yaitu sujud di atas tanah (termasuk batu, dan lain-lain), di atas ujung baju yang dipakai ketika berhalangan, dan yang terakhir adalah di atas tikar ini. 

Kalau para pembaca budiman memperhatikan bahwa di jaman Nabi SAWW ada yang namanya kain, permadani ( karpet ), besi, emas, kulit binatang, dan lain-lain., akan tetapi Nabi SAWW dan para shahabat tidak menggunakannya untuk alas sujud baik di kala tidak ada halangan ataupun ketika ada halangan, maka dapat diketahui dengan yakin bahwa semua itu tidak diperkenankan oleh syariat sendiri. 

Lalu dari mana kaum muslimin selain Syi’ah mengambil contoh dan dasar hukum sehingga mereka bersujud di atas karpet, permadani, sejadah-kain, dan lain-lain.? Lalu mengapa mereka justru menanyakan dan mempermasalahkan orang-orang Syi’ah yang sujud di atas tanah? Bukankah hal ini suatu kenyataan yang terbalik? 

Kalau pembaca merujuk ke hadits-hadits aslinya yang berbahasa Arab, maka di sana, selain Nabi SAWW sujud di atas tanah, tidak akan ditemui hal lain kecuali bahwa Nabi SAWW bersujud ke atas Hashiyrun, Khumrotun, Fahlun dan Thinfasatun/Thanfisatun dan Bisaathun. 

Hashiyrun adalah tikar yang dibuat dari daun-daun Bardiy, tumbuhan air yang banyak tumbuh di sekitar sungai Nil yang panjangnya bisa sampai satu meter atau lebih. Khumratun adalah tikar yang dibuat dari serabut pelepah pohon kurma. Dan Fahlun adalah tikar-Hashiyr yang telah menghitam ( kata Ibnu Maajah ) atau tikar yang dibuat dari pelepah pohon kurma yang jantan ( kata sebagian yang lain yang ditulis di catatan kaki kitab Sunan Ibnu Maajah ). 

Sedang Thinfasah atau Thanfisah memiliki banyak makna yang diterakan dalam kamus-kamus bahasa Arab-Arab. Di kitab al-Qoomuusu al-Muhiyth berarti Hamparan, Kain dan Tikar dari pelepah pohon kurma yang lebarnya sehasta. Di kitab al-Mishbaahu al-Muniyr bermakna sesuatu ( hamparan ) yang diletakkan di antara pelana dan kedua bahu unta. Di kitab al-Muhallaa bermakna Hamparan dari bulu kambing ( binatang ). 

Dan karena dengan berbagai dalil terdahulu dan yang akan datang bahwa sujud tidak boleh kecuali di atas tanah atau yang tumbuh dari padanya dari yang tidak dimakan dan dipakai, maka kalau kita temui kata Thinfasah ini dalam hadits-hadits sujud, maka jelas makna tikar dari pelepah pohon kurma yang mesti kita ambil. Terlebih lagi kalau pembaca merujuk pada pemakaian orang terdahulu seperti tabi-’in, maka pembaca akan temui bahwa yang dimaksudkan adalah tikar tersebut yang juga disebut Khumroh ( lihat hadits tabi-’in no: 8 yang akan kami muat di Sub Judul: Tabi’iyn Membawa-bawa Bata, yang akan datang ). 

Bisaathun bermakna hamparan yang umum. Bisa dari permadani dan bisa dari tikar atau bahkan bebatuan. Tapi karena sujud di atas selain tanah/batu dan dedaunan tidak dibolehkan, maka kata Bisaath ini, kalau dijumpai dalam hadits-hadits shalat atau sujud, akan bermakna tikar-daun atau bahkan hamparan batu sebagaimana akan anda lihat di sabda Nabi SAWW mendatang. 

Yang jelas, bahwa semua tikar atau alas ( bisaathun ) itu dibuat dari dedaunan atau pohon yang tidak dimakan dan dipakai ( baju ), atau bisaath secara khusus ini, bisa bermakna hamparan batu sebagaimana maklum. 

Oleh karena itu maka apa yang dipahami orang-orang Syi’ah yang pahamannya itu diambil dari para keturunan yang makshum dari Nabi SAWW yang dikenal dengan para Imam-makshum as., adalah pahaman yang sangat sesuai dengan contoh Nabi SAWW atau para shahabat yang diceriterakan dalam hadits-hadits Ahlussunnah Waljama’ah ini. 

Pahaman mereka ( Syi’ah ) adalah sujud hanya dibolehkan di atas tanah ( termasuk batu dan pasirnya ) dan apa-apa yang tumbuh darinya tapi yang tidak dimakan manusia dan dipakainya. Dan bahkan kalau tanah dan tikar itu, misalnya, telah menjadi kotor atau terhalangi dengan wujud 

lain seperti cet sehingga dahi tidak bisa menyentuh langsung alas-alas yang diwajibkan tadi, maka sujudnya tidak sah. Lihatlah contoh Nabi SAWW berikut ini, maka pembaca akan melihat bahwa Nabi SAWW membersihkan terlebih dahulu tikar yang telah menjadi hitam karena kotor dengan air baru kemudian memakainya sebagai alas shalat. 

Berkata Abu Sa’iyd: “ Aku berkunjung kepada Nabi SAWW dan aku melihat beliau shalat di atas tikar ( Hashiyrun ) “ ( Sunan Baihaqiy, 2:421 ). 

Berkata Anas bin Malik, Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Ummu Salamah dan Maimuunah ( ketiganya istri-istri Nabi SAWW ): “ Nabi SAWW melakukan shalat di atas tikar ( Khumrotun ) “ ( Sunan Ibnu Maajah, 1: 328; Sunan Baihaqiy, 2: 421; Musnad Ahmad bin Hambal jilid: 1 ). 

Berkata ‘Aisyah: “ Nabi SAWW memiliki tikar ( Hashiyrun ) yang dihamparkan dan beliau shalat di atasnya “ ( Fathu al-Baariy, 1: 413 ). 

Berkata Anas bin Malik: “Sesungguhnya Nabi SAWW adalah paling baiknya manusia dari sisi akhlak. Kadang-kadang waktu shalat tiba sementara beliau ada di rumah kami di atas hamparan ( bisaathun ) yang didudukinya. Kemudian beliau menyapunya ( hamparan itu ) dan memercikinya dengan air lalu beliau shalat menjadi imam di depan kami. Dan hamparan itu terbuat dari pelepah pohon kurma“. ( Shahih Muslim, 1: 457; Sunan Baihaqiy, 2: 436; Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 212, dan lain-lain. ). 

Ia juga berkata: “Sebagian paman-pamanku membuat makanan untuk Nabi SAWW.. Pamanku berkata kepada Nabi SAWW.: ‘ Aku senang antum ( engkau ) makan di rumah kami dan shalat di dalamnya ‘. Ia ( Anas ) meneruskan: Setelah itu Nabi SAWW mendatangi rumahnya ( pamannya ) dan di rumah itu ada alasnya dari Fahlun. Kemudian Nabi SAWW menyuruh ( kami ) ke pinggirannya, lalu beliau menyapunya dan memercikinya dengan air sebelum kemudian shalat dan kamipun shalat bersama beliau“ 

Hadits-hadits yang sebangsa dan semaksud dengan hadits-hadits di atas ini banyak sekali. Pembaca bisa merujuk kepada, Shahih Bukhariy, 1: 107 sampai 218 atau dari hal: 101; al-Thobaqootu al- Kubroo, 8: 312; Sunan Abu Daud, 1: 177; Sunan al-Nasaa-iy, 2: 75; Sunan Ibnu Maajah, 1: 255, Baihaqiy, 2:421; Tirmidziy, 2:128; dan lain-lainnya dimana sangat banyak sekali. 

Sujud Para Shahabat 

Sampai di sini semua hadits-hadits yang kami nukil berkenaan dengan contoh-contoh yang diberikan Nabi SAWW sehubungan dengan sujud. Di sini kami akan menukil sebagian hadits- hadits yang menceriterakan pahaman dan amalan para shahabat berkenaan dengan sujud ini. Dengan tujuan menjadi bahan pertimbangan pembaca dan penguat dari amalan Nabi SAWW karena mereka lebih memahami beliau dari pada kita dan hidup bersama beliau. Tentu, amalan- amalan yang tidak bertentangan dengan amalan Nabi SAWW sendiri. Sebab, perbuatan siapapun yang bertentangan dengan Nabi SAWW adalah batil, sebagaimana hadits yang menceriterakan perbuatan Nabi SAWW tapi bertentangan dengan al-Qur'an. 

Berkata Ibnu Abbas: “ Barang siapa yang tidak menempelkan dahi dan hidungnya ke tanah sewaktu bersujud, maka shalatnya tidak sah “ ( Sunan Baihaqiy, 2: 103-104; Mustadraku al-Haakim, 1: 270 ). 

Berkata Naafi’: “ Kalau Ibnu ‘Umar ( khalifah ) mau bersujud dan ia sedang memakai amamah ( serban ), maka ia mengangkat serbannya terlebih dahulu sehingga ia dapat meletakkan dahinya ke atas tanah “ ( Sunan Baihaqiy, 2; 105 ). 

Berkata Abu Umayyah: “ Sesungguhnya Abu Bakar bersujud ke tanah “ ( al-Mushannif, 1: 397 ). Berkata Abu ‘Ubaidah: “ Sesungguhnya Ibnu Mas’uud tidak bersujud -atau berkata ‘ tidak shalat ‘- kecuali di atas tanah “ ( al-Mushannif, 1: 367; Majma’u al-Zawaa-id, 2: 57 menukil dari Thabraniy ). 

Dari Abdullah bin ‘Umar bahwasannya ia tidak suka bersujud dengan memakai lilitan serban kecuali menyingkapnya terlebih dahulu ( Sunan Baihaqiy, 2: 105; al-Mushannif, 1: 401 ). 

Baihaqiy meriwayatkan tentang ‘Ubaadah bin al-Tsaabit bahwa ia kalau mau melakukan shalat menyingkap dulu serbannya dari dahinya ( Sunan Baihaqiy, 2: 105 ). 

Di sini perlu kiranya menyebut sebagian shahabat yang bersujud ke tanah atau apa-apa yang tumbuh darinya yang tidak dimakan dan dipakai: 
  1. Imam Ali as. ( Muruuju al-Dzahaab, 2: 370 ). 
  2. Abu Bakar ( khalifah ). “ Dia selalu shalat di tanah dan mengosongkannya “ ( Kanzu al- ’Ummaal, 8: 38 ). 
  3. ‘Umar bin Khoththoob ( al-Mushannif, karya Ibnu Abi Syaibah, 2: 411 ) 
  4. Ibnu Mas’uud. “ Dia tidak sujud -shalat- kecuali di atas tanah “ ( al-Mushannif, 1: 397; Majma’u al-Zawaaid, 2: 57 ). Ibrahim al-Nakha’iy berkata: “ Ia berdiri di atas tikar daun-Bardiy dan bersujud ke tanah “ ( Mu’jamu al-Thabrooniy, 9: 255; Majma’u al-Zawaaid, 2: 57; al-Mushannif, 2: 397 ). 
  5. Ibnu ‘Umar bin Khoth-thoob. Ia sujud ke batu-batu ( al-Mushannif, 2: 412 ). Ia sujud ke tikar pelepah kurma ( al-Mushannif, 1: 394 ). 
  6. Hudzaifah. Ia sujud di papan ( al-Mushannif, 1: 275 ). 
  7. Zaid bin Tsabit. Ia sujud di tikar daun-Bardiy ( al-Mushannif, 1: 399 ). 
  8. Jabir bin ‘Abdullah. Ia shalat di atas tikar daun-Bardiy ( Al-Mushannif, 1: 399 ). 
  9. Abu Dardaa’. Ia berkata: “ Aku tidak senang sekalipun aku memiliki sejuta nikmat tapi aku mengusap batu-batu kecil ( debu ) di dahiku ( bekas shalat, karena disamping sujud ke tanah atau batu-batu itu wajib, begitu pula bekasnya tidak boleh dibersihkan, yakni makruh, red ) “ ( al-Mushannif, 1: 411 ). 
  10. Abu Hurairah. Ia membolehkan mengusap bekas batu-batu kecil di dahi kalau hanya sekali, tapi ia lebih suka tidak membersihkan ( bukankah ini menunjukkan bahwa sujud itu mesti ke tanah???, red. ). ( al-Mushannif, 1: 412 ). 
Sepuluh nama ini sekedar contoh saja. Sebab, mereka yang sempat terekam dalam sejarah banyak sekali. Seperti Ibnu Abbas, Abu Dzar, Yasaar, Rubaah, Shuhaib al-Ruumiy, Buraidah al- Aslamiy, dllnya. 

Shahabat Bersujud ke Batu yang Digenggam 

Sebenarnya nukilan tentang apa-apa yang telah diucapkan dan diamalkan para shahabat sehu- bungan dengan sujud ini telah memadahi buletin ringkas ini. Namun demikian perlu kiranya ditambahkan di sini bahwa mereka juga bersujud ke batu-batu kecil yang dipegangnya terlebih dahulu dengan tujuan supaya dingin, atau batu-batu yang dikantonginya sebelum kemudian dihamparkannya di atas tempat sujudnya yang becek. 

Tujuan kami menukil hal ini ada dua macam: Pertama, bahwa cara mendinginkan batu-batu sujud dalam pegangan atau menghamparkannya di tempat sujud yang becek ini adalah cara yang paling selamat dan paling tidak bertentangan dengan pendapat siapapun, yakni tidak ada orang atau ulama yang membatalkannya. Dimana justru Nabi SAWW sendiri sangat setuju dengan cara ini dan memujinya ( lihat hadits ke tiga dan ke empat di bawah ini! ). 

Ke dua, karena kemiripannya dengan apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah sehubungan dengan bahwa mereka membawa-bawa tanah padat, batu atau tembikar yang dibuat alas sujud mereka. 

Bedanya, kalau para shahabat ingin mendinginkan batu-batu itu sebelum dibuat alas sujud, tapi orang-orang Syi’ah membawa-bawa batu atau tanah padat itu disamping untuk menjaga kebersihannya, ianya juga untuk memudahkan mereka shalat di mana saja karena kini semua masjid telah ber-alas dengan permadani atau alas-alas yang tidak sah kalau dibuat sujud (menurut fiqih Syi’ah tentunya). 

Berkata Jaabir bin ‘Abdullah: “ Aku shalat zhuhur di belakang Nabi SAWW., lalu kuambil batu-batu kecil di tanganku dan kugenggam supaya dingin karena panasnya sangat menyengat, sebelum kemudian kusujudi “ ( Musnad Ahmad bin Hambal, 1: 388, 437, 462; Sunan Baihaqiy, 1: 439 ). 

Berkata Anas bin Maalik: “ Kami shalat di belakang Nabi SAWW di suatu hari yang panasnya sangat menyengat. Salah satu ( sebagian ) dari kami mengambil batu-batu kecil di tangannya, dan ketika sudah dingin maka diletakkannya untuk dijadikan alas sujudnya “ ( Sunan Baihaqiy, 2: 106 ). 

Berkata Umar bin Khoththoob ( khalifah ): “ Suatu malam turun hujan, dan ketika kami keluar untuk menunaikan shalat subuh sebagian orang ada yang berjalan di sungai besar yang banyak batu- batu kecilnya ( al-Bath-haa’ ). Lalu mereka mengantongi batu-batu kecil itu dan shalat di atasnya. Dan ketika Nabi SAWW melihat hal itu beliau bersabda: Betapa bagusnya hamparan ( Bisaathun ) ini. Dan itulah awal dari batu-batu kecil ( maksudnya penghamparan batu-batu kecil untuk shalat/ sujud ) “ ( al-Quthuufu al-Daaniah fi al-Masaailu al-Tsamaaniah, karya ‘Abdu al-Muhsin al-Suraawiy, hal: 91, kalau tidak salah menukil dari al-Nailu al-Authoor, 2: 228 ). 

Berkata Ibnu ‘Umar bin Khoth-thoob: “ Suatu malam turun hujan sehingga di waktu pagi tanah menjadi becek sehingga orang-orang membawa batu-batu kecil di bajunya dan menghamparkannya di bawahnya (diwaktu shalat, red.) “ (al-Quthuufu al-Daaniah fi al-Masaailu al-Tsamaaniah, hal : 91). 

Tabi’iyn Membawa-bawa Bata 

Bagi yang memahami hadits-hadits terdahulu dengan hati yang bersih dan tulus, maka tidak susah memahami apa-apa yang dilakukan Nabi SAWW dan para shahabat. Namun demikian perlu adanya bukti penguat terhadap apa-apa yang mereka lakukan itu. Yaitu menukil apa-apa yang dilakukan oleh tabi’iyn. 

Di sini kami akan menukilkan apa-apa yang mereka pahami dan ikuti dari para shahabat-Nabi sebagai generasi pertama setelah generasi shahabat. Di bawah ini bukan saja mereka bersujud ke tanah, tapi malah ada yang sampai membawa-bawa alas sujudnya itu ( bata mentah ) dalam perjalanan mereka. 
  1. ‘Umar bin ‘Abdu al-’Aziyz. Dikatakan bahwa ia tidak mencukupkan tikar pelepah pohon kurma saja, tapi juga meletakkan debu ke atasnya untuk disujudi ( Fathu al-Baariy, 1: 410; Syarhu al-Ahwadziy, 1: 272; Ihyaa-i ‘Uluumu al-Diyn 1: 149; Ittihaafu al-Muttaqiyn, 2: 32 ). 
  2. ‘Urwah bin al-Zubair. Dikatakan bahwa ia tidak suka shalat kecuali di atas tanah ( alamatnya sama dengan no. 1 ). 
  3. Masruuq bin al-Ajda’. Ia kalau bepergian dengan perahu membawa-bawa bata-mentah untuk dijadikan alas sujud ( Thabaqootu al-Kubroo, 6: 79 ). 
  4. ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas. Berkata Raziyn: “ Ali bin Abdullah bin Abbas menyuratiku dan berkata ‘ Kirimkan untukku lempengan batu dari gunung Marwah ( nama salah satu gunung di Mekkah ) untuk kujadikan alas sujud!! ‘ “ ( Akhbaaru al-Mekkah, 3: 151 ). Komentar: Maksud dari permintaan Ali bin Abdullah bin Abbas ini adalah bahwa ia ingin bertabarruk dengan gunung Marwah tersebut. 
  5. ‘Athoo’ bin Abiy Rubaah. Ia berkata: “ Tidak dibenarkan shalat kecuali di atas tanah/debu atau batu-batu kecil “ ( al-Muhallaa, 4: 83 ). 
  6. ‘Urwah bin al-Zubair. Ia tidak suka sujud kecuali ke atas tanah ( Nailu al-Authoor, 2: 127 ). 
  7. Ibrahim al-Nakha-’iy. Ia shalat di atas tikar daun-Bardiy dan sujud di atas tanah ( Nailu al- Authoor, 2: 127 ). 
  8. Muhammad bin Muslim al-Zuhriy. Mu’ammar bertanya kepadanya perihal sujud di atas Thinfasatun ( baca thinfasah, dan bisa juga thanfisah ). Ia berkata: “ Tidak apa-apa. Karena Rasulullah SAWW shalat di atas Khumroh “ ( al-Mushannif, 1: 394 ). Komentar: Jawaban dan dalil Muhammad bin Muslim al-Zuhriy ini menunjukkan bahwa Thinfasah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits sujud, adalah Khumrotun, yakni tikar dari pelepah pohon kurma, bukan permadani sebagaimana makna sekarang. Lihat lagi makna Thinfasah di Sub Judul: Nabi Shalat di Atas Tikar, yang terdahulu. 
  9. Mak-huul. Ia shalat di atas tikar dari daun-Bardiy dan sujud ke atasnya (al-Mushannif, 1: 399).
  10. Muhammad bin Syiyriyn. Ia membawa-bawa bata mentah untuk dibuat sujud, kalau ia bepergian dengan perahu ( Fathu al-Baariy, 2: 33 ). 
  11. Jaabir bin Zaid. Ia tidak menyukai shalat di atas apapun yang dibuat dari binatang, dan ia menyunnahkan shalat di atas tumbuhan ( Nailu al-Authoor, 2: 126 ). 
  12. Hasan al-Bashriy. Ia meletakkan batu-batu kecil di tempat sujud dahinya ( al-Mushannif, 2: 61 dan 413 ). 
Ini semua sebagian kecil dari sekian banyak kenyataan yang dilakukan oleh para tabi’iyn yang sempat terekam dalam sejarah. Dan semua hadits-hadits ini adalah menurut riwayat Ahlussunnah. 

Jadi, sujud di tanah, lempengan batu yang dibawa-bawa, bata mentah yang dibawa-bawa, bukanlah ulah dan buatan orang-orang Syi’ah. Tapi memang merupakan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi SAWW yang diajarkan kepada shahabat-shahabat dan yang diikuti oleh para tabi-’iyn, dimana intinya adalah:

Sujud mesti di atas tanah atau tumbuhan yang tidak dimakan dan dipakai, baik tanahnya dipadatkan atau batunya dibuat indah dan dibawa-bawa atau di sembarang tanah dan batu asal bersih dari najis dan kotoran lainnya. 



(bersambung ke Hikmah Sujud di Tanah ...........................!!!!)


Catatan Lanjutan:







اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ