Tampilkan postingan dengan label Pernikahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pernikahan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 Maret 2021

Tata Cara Pernikahan Dalam Ajaran Syi’ah


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326160654095404/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 4 Februari 2012 pukul 23:00


Sang Pecinta: Salam ustadz, tata cara nikah Syiah dengan Sunni berbeda? Bagaimana kalau sepasang orang tua tidak mengizinkan mengikuti menikah dengan cara Syiah? Terus bagaimana kalau orang tua tidak merestui hijrahnya seorang anak ke AB? Terimakasih.

Jumat, 25 September 2020

Dasar Dan Syarat Pernikahan


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/269548246423312/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 1 November 2011 pukul 15:58


Al Louna: Salam ustadz. Mohon penjelasan.

Sebenarnya yang utama dan yang harus di penuhi oleh seorang wanita yang hendak menikah itu apa (dasar pernikahan atau syarat menikah)?

Rabu, 26 Agustus 2020

Nikah Sebelum Habis Masa Iddah


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/274219662622837/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 11 November 2011 pukul 17:43


Shecha Camenne Empungnya SiAgoago: Assalaamu’Alaikum Wr Wb. Saya mau bertanya, ustadz.

Apa hukumnya bagi orang yang nikah sebelum habis masa iddahnya tapi niatnya untuk menghindari zina?

Kamis, 20 Agustus 2020

Pemuda Ahlulbayt Menikahi Wanita Sunni



Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/257409037637233/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 5 Oktober 2011 pukul 12:02


Sang Pecinta: Salam Ustadz, semoga selalu diberi kelapangan dan kemudahan oleh Allah Swt, bolehkah pemuda AB menikahi wanita Sunni?

Mohon penerangannya. Syukron.

Jumat, 15 Mei 2020

Mut’ah (seri 11)


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/232758080102329/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 14 Agustus 2011 pukul 4:32

Alin Kaka: Salam,..maaf ustad ana pengen tanya apakah mut'ah lewat telepon karena jarak antara negara satu dngan negara lain diperbolehkan.....? Syukroon...

Minggu, 12 April 2020

Mut’ah (bagian 8)


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/?id=224710724240398 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juli 2011 pukul 12:58


Lilin Kecil: Salam ustad, mau tanya tentang nikah mut'ah. Bagaimana hukum minta izin orang tua, jika perempuan tersebut sudah kerja hampir sebulan & dia akan terima gaji tiap bulan. Tetapi dia masih tinggal di rumah ibunya dan pernah saya tanya ke dia kalo dia masih diberi uang sama ibunya (ayahnya sudah meninggal)? Maaf ustad dan mungkin dia masih diberi makan oleh ibunya karena dia belum gaji pertama karena belum cukup sebulan kerjanya. Saya tidak tahu kalau dia sudah terima gaji dan tiap bulannya akan terima apakah dia masih diberi makan atau tidak untuk kesehariannya oleh ibunya dan saya juga tidak tahu apakah dia masih diberi uang untuk biaya kesehariannya oleh ibunya.

Kamis, 06 Februari 2020

Hukum Lalai Memberikan Mahar


Oleh: Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=222390617805742 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 23 Juli 2011 pukul 15:04


Adlh Murid Sejati: Salam ustad.... mau tanya... jika seorang laki-laki lalai dalam memberikan mahar apa hukumannya ustad?

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Jelas haram kalau ia tidak memberikan maharnya. Tetapi kalau menunda, maka dilihat, apakah memang tidak mampu, atau istrinya memaafkan. Kalau tidak mampu maka tidak dosa, dan begitu pula kalau mampu tetapi istrinya masih memaafkan.

Adlh Murid Sejati: Tapi jika dia tidak mampu dan tidak memberi tahu istri hingga istri menunggu terus bagaimana ustad? Lalu jika kasus ini dalam pernikahan mut’ah bagaimana ustad?

Sabtu, 07 Desember 2019

Membayar Hutang Pertanyaan-pertanyaan Fikih Yang Belum Terjawab


Seri status Sinar Agama October 25, 2013 at 3:13 pm


Sinar Agama: (10-4-2013) Bismillaah: Membayar Beberapa Hutang Pertanyaan Fikih Inbox dan Dinding:

Mukaddimah:

1- Berbagai pertanyaan di dinding dan inbox yang belum dijawab karena perlu konfirmasi dengan bagian fatwa kantor Rahbar hf hingga menimbulkan kelambatan, maka mohon dimaafkan dan dihalalkan.

2- Setelah konfirmasi telpon dilakukan, maka in'syaa Allah semua yang nunggak akan terjawab.

3- Sebagian jawaban, mungkin sudah dijawabkan, tapi kadang belum terlalu tegas. Karena itu, bagi yang sudah mendapatkan jawabannya pada sebagian jawaban itu, maka berikut ini adalah penegasannya.

4- Kalau ada tulisan atau pemahaman yang berbeda dengan yang ditulis ini sebelum-sebelumnya, maka ia dengan sendirinya teralat dengan yang berikut ini.

5- Terkadang jawaban berikut ini, merupakan rincian atau penambahan dari jawaban-jawaban yang sudah diberikan.

Soal Jawab Ringkas Via telepon ke Kantor Rahbar hf bagian fatwa:

1- Apa hukum kerja di perusahaan Amerika yang ada di Indonesia. --> Jawab: Tidak masalah kecuali kalau diketahui dengan meyakinkan bahwa perusahaan tersebut membantu Israel atau memerangi Islam.

2- Apa hukum memanfaatkan gadai seperti sawah oleh peminjam uangnya? --> Jawab: Kalau dalam meminjamkan uang itu disyaratkan bahwa ia bisa menggarap atau memanfaatkan gadaiannya itu, maka haram dan riba. Tapi kalau sesuka yang menitipkan gadaiannya itu, maka halal.

3- Orang mati tidak punya warisan sama sekali, apakah ahli warisnya wajib membayarkan hutangnya? --> Jawab: Tidak wajib walau boleh saja dan baik membayarnya.

4- Bisakah calon istri memberikan syarat ketika mau kawin kepada suaminya untuk tidak menikah lagi? --> Jawab: Kalau maksud syaratnya itu menghilangkan hak kawinnya, maka syarat tersebut batal dan tidak syah. Kalau maksudnya agar suaminya tidak menggunakan haknya tersebut,maka syaratnya syah dan benar. Dan kalau suaminya suatu saat melanggar, maka ia melakukan dosa, tapi pernikahan berikutnya itu tetap syah.

5- Orang Sunni masuk Syi’ah, lalu ia mengira maghrib dan buka seperti Sunni. Apakah wajib qadhaa’ (untuk shalat dan puasanya) dan kaffarah (untuk puasanya)? --> Jawab: Wajib qadhaa’ pada keduanya dan tidak wajib kaffarah pada puasanya.

6- Orang Sunni masuk Syi’ah, lalu ia sudah belajar kepada seniornya tentang waktu maghrib dan buka puasa. Tapi ternyata infonya salah, baik tentang waktunya itu atau tentang persyaratan penyampai yang harus adil, sementara waktu itu ia sama sekali belum tahu dan sudah mengira benar karena baru Syi’ah? --> Jawab: Hanya wajib qadhaa’ dan tidak wajib kaffarah.

7- Pekerjaan design atau pemahat, lalu ada pesanan dari gereja untuk membuat salib dan semacamnya, apa boleh dikerjakan? --> Jawab: Tidak boleh.

8- Pekerjaan design, lalu ada pesanan untuk membuat promosi barang-barang tertentu yang halal tapi dalam designnya itu ada gambar wanita tidak berjilbabnya, apa boleh dikerjakan?

--> Jawab: Kalau diketahui bahwa gambar tersebut hanya hal biasa dan bukan untuk membuat maksiat orang yang melihatnya dan/atau tidak membuat maksiat lain karenanya (seperti pandangan yang melezati dimana hal itu haram), maka tidak masalah.

Keterangan dari saya (Sinar Agama): Tapi yang dimaksud wanita sekalipun tidak berhijab ini, adalah yang masih tergolong berbaju normal, bukan yang melampaui itu, jadi masih terhitung sopan di mata budaya masyarakat atau yang seperti baju-baju yang dipakai setiap hari secara umum). Jadi, yang normal ini, kalau tidak membuat maksiat penglihatnya dan/ atau tidak memiliki tujuan membuat maksiat penglihatnya, maka tidak masalah. Tapi kalau sebaliknya, maka menjadi haram menerima garapan design tersebut dan uangnya juga haram.

9- Apakah kawin dengan wanita Sunni harus ijin wali? --> Jawab: Harus ijin wali.

10- Dikatakan di fikih bahwa istri- permanen yang tidak melayani suaminya (dalam sex) tidak wajib lagi nafaqah baginya. Sekarang kalau suami yang tidak memberikan nafaqah, apakah istrinya juga tidak wajib melayani sex suaminya? --> Jawab: Tetap wajib.

11- Ijazah palsu apa bisa digunakan untuk mencari pekerjaan? --> Jawab: Tidak boleh.

12- Kalau dulu dalam ujian kadang-kadang ngerepek(nyontek) lalu setelah lulus, apa boleh ijazahnya digunakan untuk mencari kerja? -->Jawab: Boleh saja, tapi harus taubat dari pekerjaan sebelumnya itu.

13- Taqiyyyah persatuan itu apa hanya tidak boleh bersedekap tapi boleh sujud di karpet? --> Jawab: Tidak boleh. Karena semua fikih Syi’ahnya harus dijaga selama masih memungkinkan (diterangkan oleh penjawab, misalnya berada di dalam masjid yang berkarpet dan tahu di luar masjid banyak batu atau apa saja yang boleh dibuat sujud, maka wajib keluar masjid dan mengambilnya). Keterangan saya (Sinar Agama): Saya sudah berulang kali menjelaskan hal ini, jadi jawaban ini hanya untuk teman-teman yang belum meyakini keterangan saya sebelumnya).

14- Wakaf yang bersyarat yang tidak dilakukan syarat-syaratnya, apakah boleh ditarik lagi? --> Jawab: Boleh kalau melanggar syarat-syarat yang diberikan. Keterangan dari pertanyaannya: Baik syarat penggunaannya seperti masjid lalu dibuat sekolah, atau syarat waktu yang diberikan.

15- Wakaf dari kafir, apakah bisa ditarik? --> Jawab: Tidak bisa.

16- Mencuci pakaian najis dengan mesin cuci otomatis rumah tangga, apakah bisa bersih? --> Jawab: Tidak bisa bersih kecuali yakin benar bahwa semuanya sesuai syariat. Selama yang kami tahu, tidak ada yang bisa membuat suci dengan berbagai alasan kecuali buatan pabrik mesin cucinya putra dari ayatullah Mazhaahiri hf (merk Ishnova) yang mendesign mesin cuci itu dengan mengucurkan terus air dari atas yang dapat membilas baju dan pintu kacanya (mesin yang bukaannya dari depan) dengan hanya menekan tombol cucian Islam. Keterangan saya: Contoh-contoh ini dan jenis jawaban-jawaban ini atau yang di atas atau yang akan datang ini, semuanya, memakai dialog yang tidak umum. Hal itu karena kami berteman dengan mereka hingga apa-apa yang tidak manjadi bagian inti fikihnyapun dibincangkan sebagai tambahan dan pengalaman. Dan saya menukilkan sebagiannya demi untuk memperjelas maksudnya.

17- Apa boleh kerja di pabrik yang membuat idep mata yang bisa untuk kesehatan dan hiasan wanita? --> Jawab: Boleh.

18- Apakah orang pikun wajib shalat? --> Jawab: Kalau masih belum hilang akal, maka wajib shalat.

19- Apakah boleh memakai benang operasi yang dibuat dari babi? --> Jawab: Boleh saja kalau dokternya yang menggunakannya dan tidak ada pilihan. Tapi benang itu dihukumi najis dan selama masih di badannya mesti hati-hati supaya tidak pindah ke tempat lain dan wudhu/mandi wajibnya, dengan jabirah/ perban (ditutupi sesuatu seperti plastik guna tidak memindahkan najis). Tapi nanti kalau sudah menyatu dengan badan, maka sudah menjadi bersih/suci.

20- Apa boleh kerja merias, baik pengantin atau salon kecantikan di negara muslim yang umumnya tidak berjilbab? --> Jawab: Boleh selama kita tidak tahu dengan yakin bahwa tujuannya untuk membuat maksiat para penglihatnya. Yakni tidak yakin untuk menarik perhatian lawan jenis yang bukan muhrimnya.

Wassalam.

Siti Ruqoyah, Anwar Latammu, Erfa Zahra dan 64 lainnya menyukai ini.


Alia Yaman: Syukran Ustadz... Poin 7 dan 8 sangat berhubungan dengan saya.

Hari Dermanto: Wow, ustadz bagaimana dengan tehel atau alas semen apakah bisa sujud diatasnya ?

Fahmi Husein: Untuk yang nomor 16 mengenai mesin cuci, bukankah mesin-mesin cuci yang sederhana (bukan automatic) dapat digunakan dengan menghidupkan air terus (mengalir) yang sekaligus men-suci-kan pakaian yang terkena najis?!

Fahmi Husein: Untuk nomor 13, kalau di Madinah atau tempat-tempat yang anti syiah gimana ustadz? Alfaqir pernah “disidang” pas umroh di Madinah, sholat di atas batu di raudhah. Langsung mutawwik menggiring alfaqir ditahan dibawa ke kantor atas dan melarang untuk melakukan lagi, akhirnya ana ganti ma tasbih.

Intinya, demi keselamatan keke? Sukron ustadz.

MukElho Jauh: · Friends with Ramlee Nooh and 161 others

اللَُّهَّم َص ِّل َعلَى ُم َحَّمٍد وآِل ُم َحَّمٍد وَع ِّج ْل فـََرَجُهْم

Farid Ayah Efran: Pak ustadz, pertanyaan saya soal mayat tak dikenal yang dipakai untuk praktek kedokteran (kadaver) bagaimana? Terima kasih.

Dadan Gochir: Salam ustadz, apakah uang yang dipergunakan untuk resepsi pernikahan terkena khumus? .....Yang kedua apakah uang yang dipakai untuk menebus istri dari kerjaan yang Ikatan dinas apakah terkena khumus, karena ini jadi kendala ketika posisi tempat saya bekerja jauh dari istri, dan agar bisa hidup bersama...terimakasih.

Agus Supriyanto · 61 mutual friends: Kalau sujud di lantai keramik boleh pak?

Uswatun Azzahra · Friends with Ramlee Nooh and 33 others: Allahumma shali ala muhammad wa Aali muhammad wa ajjil faraja Aali muhammad ,

Vito Balataw: Salam, afwan ustadz ijin tanya tentang mesin cucinya putra dari ayatullah Mazhaahiri hf (merk Ishnova), harganya berapaan ya..? Kira-kira ada alamat websitenya ga tentang produk tersebut? Syukron.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih atas semua jempol dan komentar-komentarnya.

Sinar Agama: Hari: Kalau semen tidak masalah asal tidak diwarna seperti tegel itu. Tegel yang luarnya tidak dibuat dari marmer dan yang biasanya dilapisi cat/cet, maka tidak boleh dibuat sujud.

Sinar Agama: Fahmi:

1- Memang bisa mencuci najis dengan mesin cuci yang antum maksudkan itu sebagaimana sudah sering dijelaskan dengan cara yang sudah dijelaskan.

2- Kalau seperti yang antum katakan itu, maka jelas hal itu sudah masuk dalam takiah keamanan yang jelas dibolehkan tanpa memperhatikan tempat sujud, tapi tetap harus sedekap dan tidak baca amin karena hal ini tidak dilarang di Saudi.

Sinar Agama: Farid: Apakah dulu belum dijawab? Saya melihat lagi catatan saya sepertinya sudah ditanyakan, tapi saya sendiri kurang bisa memahami dengan pasti tulisan saya sendiri karena nulis cepat dan sudah lama. Karenanya maafkan saya dan in'syaa Allah akan segera ditanyakan. Tolong kalau kalau lebih dari seminggu setelah hari ini, maka tolong ditagih. Afwan banget dan tolong dihalalin.

Sinar Agama: Dadan:

1- Kalau uang itu diambil dari tabungan yang sudah melewati tahun khumusnya, maka dikhumusi. Kecuali kalau kawinnya dekat sekali dimana kalau dikhumusi tidak jadi kawin, maka dengan ijin wakil khumus yang punya wewenang pengijinan ini, dapat dibayar di lain waktu.

2- Uang tebusan itu juga seperti jawaban no. 1. Jadi, kalau uang itu belum melewati tahun khumusnya, maka tidak ada khumus karena termasuk keperluan hidup yang wajar dan tidak berlebihan. Begitu pula no. 1 di atas. Semoga bisa selalu bersama dalam keharmonisan, tanpa saling ego, penuh berkah dan kesyukuran, begitu pula dengan teman-teman lainnya, amin.

Sinar Agama: Agus: Keramik jelas tidak boleh karena bagian luarnya adalah cat. Tapi kalau sujud pada bagian tanahnya yang natural yang hanya keras terbakar di pabrik keramiknya, maka tidak masalah. Itu kalau keramiknya dari tanah.

Sinar Agama: Vito dan yang lain-lain: Afwan banget bukan Isnowa, ana salah tulis. Yang benar Snowa. Ana akan usahakan terbitkan contoh-contoh mesinnya. Ini alamatnya.

http://www.snowa.ir/fa/ماشنی-لباسشویی/اتوماتیک/سری-اسالمی-islamic.html?start=3

Dan ini tipe dari merk Snowa yang Islami dimana yang lainnya tidak Islami dan seperti yang ada di dunia internasional:

SWD-FRD1461 / SWD-FRD1461i
SWD-FR1061 / SWD-FR1061i / SWD-FR1261 / SWD-FR1261i
(ISLAMIC)سری اسالمی -لوازم خانگی اسنوا

www.snowa.ir

لوازم خانگی اسنوا -اسنوا بزرگترين توليدکننده لوازم خانگی در ايران، توليدکننده يخچال، فريزر، اجاق گاز،
صوتی و تصويری، ماشين لباسشويی

Sang Pencinta: Sinar Agama, seingat saya jawaban untuk mas Farid Ayah tentang mayat untuk kedokteran belum dijawab ustadz, tempo hari ustadz memang mengatakan akan bertanya ke kantor Rahbar hf.

Sattya Rizky Ramadhan: Salam..mas SP,.tentang mayat untuk kedokteran sudah diberikan jawabannya oleh ustadz Sinar,. Sudah lama sekali..jawabannya seperti status di atas sekalian menjawab pertanyaan” lain..

Sang Pencinta: Sattya, oh iya sudah ternyata.

Sang Pencinta: Farid Ayah Efran & ustadz Sinar Agama : 16- Menggunakan jenazah orang mati untuk ilmu kedokteran seperti membedahnya = Bolehkalau si mayat bukan muslim dan memang harus dengan membedahnya. Dan kalau muslim juga boleh kalau memang harus ditempuh dengan membedahnya dan tidak ada mayat kafir sebagai gantinya walau dengan membelinya. Tetapi kalau ada mayat kafir yang bisa terjangkau, walau harus membelinya, maka tidak boleh menggunakan mayat muslim.

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/404610959583706/

Riani Azri: Salam ustadz untuk no. 16. kan lebih baik disucikan dulu kain yang kena najis baru masuk mesin cuci, bisakan ustadz. Ustadz ada pertanyaan saya di status Sang Pencinta tgl 30/03/13 belum terjawab tentang menggunakan asesoris jilbab bertuliskan Allah & Muhammad dan ring tone/nada panggil HP lantunan surat Alquran boleh dibawa ke toilet ? Pesan didinding komen saya tanggal 5/04 belum jawab ya ustadz. Terima kasih.

Sinar Agama: Sattya dan Pencinta: syukurlah kalau sudah didapatkan jawabannya. Tolong dikirimkan ke penanyanya, yaitu mas Farid Ayah Erfan. Semalam, kubolak-balik lagi coretan di notesku tentang jawaban itu dan dengan kaca pembesar yang tidak umum, he he...akhirnya kebaca dan dipahami maksudnya. Baru mau ditulis, ternyata antum sudah menukilkannya di sini dan benar seperti yang dinukil antum ini. Ahsantum dan terimakasih, semoga diterimaNya. amin.

Zainab Naynawaa: Ijin copi paste.

Sinar Agama: Zainab: Semua tulisanku di facebook ini adalah gratis mau digunakan dalam bentuk apa saja asal untuk kebaikan, tidak diedit, tidak dirubah namanya dan tidak dibisniskan.

Siti Ruqoyah: كثیــــــر شكــــــرا ustadz buat poin 20. Semoga ustadz., sehat selalu آِمّْنی... آِمّْنی... ِمَّْنی َعلَ ْل بَّ َر َي

Zainab Naynawaa: Ustadz SA@ sudah pastilah bermanfaat untuk kebaikan dan sangat dijamin tidak akan terjadi pertukaran uang, syukron..

Wassalam. 2 Shares

21 people like this.


Andri Kusmayadi: Afwan, ustadz, untuk yang nomor-nomor lain ana sudah paham, tapi untuk yang nomor 2 ana belum paham, bisa tolong dijelaskan lagi? Syukron.

Yustinus Eko Sukmono: Salam, Ustadz. Semoga Antum selalu dalam keterjagaan. Sebelumnya saya mohon dimaafkan, jika comment di bawah ini tidak sesuai dengan topik di atas.

Tiga hari yang lalu saya dimintai tolong oleh salah satu ikhwan, untuk menanyakan ke Antum via Facebook ini.

Bagaimanakah fiqihnya memperlakukan ari-ari/plasenta menurut ajaran Ahlul Bayt? Saat ini kehamilan pertama bagi istrinya dan sudah 7 bulan usia kandungannya. Buku-buku AB terbitan Indonesia yang berkaitan tentang hal tersebut dicarinya, namun belum ketemu atau memang belum ada terbitannya, entahlah.

Pengetahuan kami tentang seluk-beluk ari-ari, selama ini mungkin sebatas mengikuti ajaran tradisi, tanpa berani menanyakan fiqih apalagi filosofinya. Tradisi yang kami maksud, seperti; Meletakkan ari-ari di kendi, Memberi asam, garam, dan lain-lain, Meneranginya dengan lentera/ semprong/lampu dan menguburkan di samping rumah, bahkan sebagian ari-ari/mungkin pusarnya ada yang dikeringkan tanpa dikuburkan dengan alasan kelak untuk obat jika si bayi sakit dengan cara ditempelkan di pusar si bayi.

Kami yang amat bodoh ini, sangatlah berharap atas penerangan hal-hal tersebut di atas berdasarkan dalil-dalil gamblang. Semoga Antum diberi segala kemudahan kebaikan, kefasihan ilmu, kelapangan amal, panjang umur dan semoga tercatat sebagai bagian mukadimah hadirnya Imam Mahdi as.

Sang Pencinta: Yustinus, salam ikut bantu http://www.facebook.com/.../penguburan.../496740547042523Penguburan Plasenta

April 11, 2013 at 1:55 pm Bismillaah

Sang Pencinta:

Salam, apakah secara hukum plasenta ibu yang melahirkan harus dikuburkan oleh ayahnya? Trims ustadz. — with Sinar Agama.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Tidak wajib dan bisa saja dibuang ke tempat sampah. Tapi kalau takut mencemari lingkungan, maka boleh dipendam, tapi tidak dengan niat macam-macam.

By the way kalo ingin fatwa Rahbar, bisa langsung kirim pertanyaan ke leader.ir. situs resmi Rahbar hf.

Sinar Agama: Yustinus: Sudah ada di nukilan Pencinta. By the way, tidak ada aturan khusus untuk ari-ari. Bisa dipendam dan bisa juga dibuang. Kalau dipendampun, hanya karena takut merusak lingkungan (bau dan virusnya), bukan dengan niat yang macam-macam/ aneh-aneh.

Sinar Agama: Pencinta, terima kasih bantuannya dan semoga diterimaNya, amin. Ana tulis lagi, karena hanya beberapa baris. By the way.

Andri Kusmayadi: Ustadz, afwan antum belum jawab pertanyaan ana...

Mata Jiwa: Pak ustadz Sinar Agama Ada yang terlewat pertanyaan Riani Azri: kalau najis di baju dibersihkan dulu sampai hilang najisnya, baru dimasukkan ke mesin cuci yang umum ada di Indonesia ( tanpa air yang mengucur ) hukumnya bagaimana ?

Sang Pencinta: Mata, kalo sudah disucikan dengan benar, ndak masalah masuk ke mesin cuci itu.

Mata Jiwa: Ok thanx mas akhi bro...:-)

Yustinus Eko Sukmono: Ustadz SA dan SP: Nggak nyangka, menghukuminya simple aja, ya. Terimakasih atas jawabannya.

Sinar Agama: Mata, benar kata Pencinta, kalau pensucian najisnya di luar mesin cucinya itu sudah benar, maka tinggal dicuci pakai mesin cuci atau tangan sudah benar.

Mata Jiwa: Baik pak ustadz...


November 1 at 2:35pm · Like



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 06 Desember 2019

Shighat Aqad-Nikah



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 2:53 pm


Sang Pencinta: (10-4-2013) Salam, ini pertanyaan di berlangganan, assalamu alaikum wr wb. afwan ustadz, sekaitan dengan tulisan antum ini. Ada 2 hal yang perlu kami ketahui:

  • 1. Mengenai sighah/formula aqad nikah, bagaimanakah bacaan ijab-kabul dalam bahasa arabnya?
  • 2. Mohon dituliskan teks khutbah nikah (secara lengkap) yang meliputi hal-hal yang antum sebutkan itu?

Sebelumnya kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada antum, amiiin ya Rabbal ‘alamin...! — bersama Ibnu Ahmad Khan dan Sinar Agama.

Indah Kurniawati, Ibnu Ahmad Khan, Zahra Herawati Kadarman dan 16 lainnya menyukai ini.

Astra Jingga: Belajar ah.

Kiran Haniyah Hussaina: Salam,,, ikut nyimak akh,, Syukron.

Ibnu Ahmad Khan: Sang Pecinta: itu memang pertanyaan ana ke ustadz.SA. Syukran akhi...

Perlu ana sampaikan, untuk yang no 2, ustadz udah menuliskannya. Kalo ga salah lewat inbox. Belum ana hapus. Tapi kalau beliau mau jawab lagi di sini ga apa-apa. Terus untuk yang no 1 ustadz belum menjawabnya. Afwan wa syukran.

HenNy Chie-Cwityy: Salam ikut nyimak ya ustadz:)

Yayan Iyay: Ngilmu ah..

Dealova Zahra: Nyimak.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

Sebagaimana maklum, wanita yang mau kawin dan ia belum janda (sekalipun tidak perawan karena zina misalnya), yaitu yang belum pernah kawin dengan benar dan dikumpuli setelah itu lalu cerai dengan benar atau ditinggal mati suaminya, maka wajib ijin dulu kepada walinya dengan jelas dan tidak basa basi. Jadi, harus diterangkan siapa calon suaminya, berapa maskawinnya, tanggal berapa kawinnya dan kalau mut’ah juga dijelaskan tanggal berapa berakhirnya. Kalau sudah dapat ijin dengan jelas dan bukan diplomatik, dan terjelaskan juga kawin apa, maka boleh melakukan aqad nikah. Tidak boleh seseorang hanya mengatakan bahwa ia ingin kawin dengan putrinya, lalu setelah direstui, langsung kawin mut’ah atau daim. Karena belum dijelaskan tanggal kawin dan/atau juga berakhirnya. Karena yang dipahami calon mertuanya itu adalah kawin nanti setelah pinangan dan kawin di KUA sebagaimana umumnya. Jadi, memahami ijin seperti ini, kepada kawin sesuka-suka baik dari sisi tanggal kawin atau dari jenis kawin (mut’ah atau daim), adalah jelas-jelas membuat dirinya lebih jahat dari syaithan dan, sudah tentu kawinnya menjadi batal.

Kalau sudah diijinkan dengan jelas itu, maka boleh melangsungkan perkawinannya dimana saja, baik dihadiri walinya itu atau tidak. Karena yang penting adalah ijinnya. Baik juga ada saksi atau tidak. Karena saksi kawin itu hanya sunnah.

Setelah dapat ijin jelas itu, dan menentukan maskawinnya, maka si perempuan mengucapkan dengan bahasa arab yang dipahaminya terlebih dahulu dan memaksudkan maknanya itu:

Zawwajtuka nafsiy (nafsii) ‘alaa al-mahri al-ma’luum” (“Kukawinkan diriku kepadamu dengan maskawin yang sudah ditentukan”)

Lalu yang lelaki mengucap dengan bahasa arab yang juga harus dipahaminya terlebih dahulu dan memaksudkan maknanya:

Qobiltu” (“Aku terima”).

Kalau kawin mut’ah, maka setelah dapat ijin dengan jelas dari walinya itu dan sudah menentukan maskawin dan waktunya, maka wanita membaca dengan bahasa arab kalimat berikut ini setelah dipahami terlebih dahulu maknanya dan memaksudkan maknanya:

Zawwajtuka nafsiy (nafsii) ‘alaa al-mahri al-ma’luumi wa fiy (fii) al-muddati al-ma’luumati” (“Kukawinkan diriku kepadamu dengan maskawin yang sudah disepakati dan dalam waktu yang sudah disepakati”).

Dan lelakinya mengucap dengan bahasa arab yang sebelumnya dipahami terlebih dahulu maknanya dan memaksudkan maknanya:

Qobiltu” (“Aku terima”).



Kiran Haniyah Hussaina: Syukron,,, ilmuna Ustadz Sinar Agama,,

Ibnu Ahmad Khan: Sinar Agama: Ustadz, ana ucapkan syukran katsiran atas penjelasan gamblangnya... Semoga Allah swt memanjangkan dan memberkahi umur antum, amiin ya Rabb!

Ibnu Ahmad Khan: Sinar Agama: oya ustadz, afwan, kalo pengantin perempuannya diwakilkan, sighah ijab-kabul dalam bahasa arabnya bagaimana (nikah da’im dan mut’ah)?

Sinar Agama: Ibnu: Pewakilan itu harus diucapkan dulu oleh si istri, atau minimal menjawab “iya” dikala wakilnya bertanya kepadanya. Tapi harus jelas. Pertama tentukan dulu maskawinnya, lalu berkata, misalnya:

“Apakah saya wakil Anda untuk mengawinkan Anda dengan saudara Fulan/nama, secara daim dengan maskawin yang sudah disepakati tadi??”

Lalu yang calon pengantinnya harus menjawab dengan suara, minimalnya: “Iya”. Baru setelah itu wakilnya mengucapkan kepada pengantin lakinya, misalnya: 

Zawwajtuka muwakkilatiy (muwakkilatii) Fulaanah/nama ‘alaa al-mahri al-ma’luum
(“Kukawinkan wakilku yang bernama “......” kepada Anda dengan maskawin yang sudah ditentukan”) 

Dan lelakinya menjawab:

Qobiltu” (“Aku terima”).


Siti Ruqoyah: ٍاَللَُّهَّم َص ِّل َعلَى ُم َحَّمٍد َو آِل ُم َحَّمٍد 

Ibnu Ahmad Khan: Sinar Agama: Syukran katsiran atas penjelasannya ustadz... Allahu yubarikukum!

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 09 Oktober 2018

Perkawinan Dini (Antara Modernism dan Ortodokism)



Seri tanya jawab: Wirat Djoko Asmoro dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, June 30, 2011 at 11:55 pm



Wirat Djoko Asmoro: Assalamualaikum ustadz, afwan saya mau tanya, bagaimana menurut ust tentang sesuatu yang halal tapi kurang baik bagi satu fihak ato beberapa fihak, contoh penikahan dini, pernikahan yang hanya didasari nafsu ato materi belaka.. makasih. 


Sinar Agama: salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Kalau dilihat hukumnya tetap halal. Karena kawin itu bukan seperti ibadah. Hukum Islam atau syariat itu ada dua macam: Takliifii (yang menghukumi perkerjaan manusia secara langsung seperti haram, mubah, sunnah, makruh dan wajib) dan Wadh’ii (yang hukum awalnya bukan hukum yang lima itu tapi dalam bentuk lain seperti syah, tidak syah, syarat, perkawinan ...dan seterusnya). 

(2). Biasanya hukum wadh’i ini memiliki syarat-syarat tersendiri dan, biasanya tidak ada syarat ikhlash dan semacamnya. Misalnya antum melakukan mu’malah atau jual beli. Maka syahnya jual beli (salah satu hukum wadh’ii) ini tidak perlu kepada ikhlash. Jadi, kalau antum membeli baju karena selera antum, bukan karena Allah, jual belinya tetap syah. Begitu pula juga tentang kawin. Antum kawin karena harta dan semacamnya juga tidak membatalkan hukum kawinnya. Antum mungkin menyoroti karena harta, tapi antum lengah menyoroti karena kecantikan dan ketampanan yang umum dilakukan kita atau bahkan antum sendiri. Nah, kalau kalau kawin karena harta tidak syah, maka kawin karena kecantikan atau karena kesukaan atau lebih parah lagi karena kecintaan pada calonnya, lebih tidak syah lagi. 

(3). Kawin dini, adalah istilah modern yang dibawa oleh jaman modern. Perlu antum ketahui, perkawinan dini hampir mirip dengan istilah teroris bagi pejuang kemerdekaan Indonesia atau negara-negara lainnya dikala menghadapi penjajah. Tentu untuk menetralisir istilah yang lebih kejam itu, yaitu penjajah yang mereka lakukan. Seperti sekarang wahabi yang masih menjajah Madinah dan Makkah, atau israel yang menjajah Palestina. 

(4). Kawin dini, adalah istilah yang memiliki konotasi mengolok, mengejek dan merendahkan. Padahal ia adalah ajaran Islam yang digalakkan. Karena itulah maka dalam hadits dikatakan, setiap sesuatu semestinya dikerjakan dengan perlahan kecuali 3 perkara, membayar hutang, mengawinkan putri yang sudah baligh dan memnguburkan orang yang telah meninggal. 

(5). Memang, yang saya katakan di atas itu, adalah dasar ajaran Islamnya. Tapi ajaran dan hukum ini, tidak baku dalam artian tetap dianjurkan seperti itu walaupun ada hal lain manabraknya (ta’aarudh). Karena itulah saya sering mengatakan bahwa yang tahu Islam itu hanyalah ulama. Karena mereka benar mengkaji dalam bentuk sistematis dan bertahap dan bukan karena keperluan. Mungkin teman-teman juga belajar Islam, tapi dikala ada yang ditanya. Karena itu kalau tidak sedang menghadapi masalah, maka ia sibuk dengan hal lainnya. Belajar Islam seperti ini, tidak mungkin membuatnya seorang spesialis agama. 

Nah, kembali kepada masalah kita, kawin yang digalakkan di awal kedewasaan bagi wanita itu, dalam istilah modern diolok sebagai kawin dini. Dan bukan karena itu saja, tapi mereka bahkan memerangi hukum Islam yang satu ini dengan memakai istilah “Membela hak-hak anak”. Mereka ini tidak sadar bahwa mereka sedang berperang dengan hukum Tuhan dan Tuhan itu sendiri. 

(6). Perkawinan dini itu jelas merupakan ajaran Islam dan mendasar. Akan tetapi, ia bisa ada tarik ulurnya, tergantung kepada ikhtiar manusia itu sendiri yang, biasanya tercuat dalam bentuk budaya budaya yang baru. Misalnya, di jaman dulu, dimana kehidupan masih sederhana, untuk menuju jenjang perkawinan tidak diperlukan banyak ilmu, karena yang akan dihadapinya memang tidak rumit. Tapi sesuai dengan perkembangan manusia, seperti sekarang ini, maka kehidupan menjadi lebih komplek dan tidak mudah dihadapi. Sehingga karena hal itulah maka bekal perkawinan mesti ditambahkan. Misalnya pendidikan anak. Karena itulah maka dianggap baik, kalau kawinnya anak tersebut setelah membekali diri dengan berbagai wacana. Karena itulah maka perkawinan dini tidak banyak disukai lagi. 

(7). Terlepas dari benar tidaknya teori modern ini, yakni apakah ia bersifat hakiki atau menakut- nakuti saja, kalau pernyataannya itu tidak dalam rangka memerangi hukum dasar islam tadi, maka jelas tidak menjadi masalah. Tapi kalau dalam bentuk rongrongan kepada hukum dasar tersebut, apalagi mengoloknya dan anti pati terhadapnya, maka ia jelas perang dengan Islam dan pemiliknya. 

(8). Tapi kalau sekedar dijadikan sebagai salah satu pilihan, maka ia jelas tidak memiliki masalah. Karena kawin itu adalah sunnah. Dan jangankan melambatkan sunnah, tidak melakukan sunnah saja tidak masalah. Kalau Nabi saww mengatakan bahwa yang meninggalkan sun- nahku bukanlah dari golonganku, maksudnya mau menekankan bahwa hukum kawin itu sunnah yang ditekankan, bukan berarti wajib dan yang tidak kawin nanti diusir dari barisan beliau saww. 

(9). Namun demikian, karena kita tahu bahwa Islam itu agama akhir jaman, dan telah pula memberikan tekanan-tekanan untuk mempercepat kawin ini, maka sangat mungkin bahwa prediksi-prediksinya meliputi segala jaman dimana termasuk yang modern ini. Karena itu, kalau hal ini benar, maka barakah dari mempercepat perkawinan itu akan menjadi semakin hilang dan, sebagai gantinya bencana sosial seperti kemaksiatan pergaulan.

(10). Bayangin saja, dimana ada suatu tempat sekarang ini yang memandang jelek pacaran itu? Pacaran, pegangan dan ciuman di luar nikah, hampir tidak ada yang menjelekkannya dan, mungkin mayoritas melakukannya. Yang jelek, itupun tidak semua, hanyalah kalau sampai kumpul (bersetubuh). Dan lebih parah cinta menyinta itu sudah dimulai sejak sekolah dasar (SD). Tidak heran kalau ada berita seperti ini: 

“Jakarta – KabarNet: Perang melawan kemaksiatan di negeri ini tampaknya masih belum akan usai. Betapa tidak, hasil survei yang yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) baru-baru ini mengungkapkan bahwa sebanyak 62,7 persen siswi SMP sudah pernah melakukan hubukan seks pra-nikah, alias tidak perawan. Sementara 21,2 persen dari para siswi SMP tersebut mengaku pernah melakukan aborsi ilegal. Dari survei yang diselenggarakan KOMNAS-PA tersebut terungkap bahwa tren perilaku seks bebas pada remaja Indonesia tersebar secara merata di seluruh kota dan desa, dan terjadi pada berbagai golongan status ekonomi dan sosial, baik kaya maupun miskin.” 

Antum tahu, pacarannya saja sudah dosa dan sangat jelek, tapi menganggap pekerjaan itu biasa. Sementara yang menganggapnya adalah budaya kaum muslimin, kejelekan dan dosanya, sangat jauh di atas dosanya itu sendiri. Inilah salah satu dari yang sering saya katakan sebagai penyakit kronis atau AID yang tidak bisa disembuhkan dimana kalau Tuhan tidak mengharamkan putus asa, maka kita sudah tidak akan lagi mengurusi umat seperti ini. 

Terus terang, saya seperti mau muntah melihat wanita aktifis Islam yang senyam senyum tak berharga atau habis memberikan materinya dibonceng teman lekaki yang konon aktifis juga. Ini Islam apa? 

Nah, semua itu akibat dari apa? Akibat dari hanyutnya mereka ke kehidupan yang dikatakan modern dan maju ini dimana sebenarnya kemajuannya hanya terjadi pada ilmunya semen- tara peradabannya terperosok dalam budaya syaithan (barat) hingga mereka bukan saja jauh dari Islam, tapi tidak sering menjadi penentang Islam yang atas nama Islam. 

(11). Karena itulah, maka kita boleh memilih ilmu dulu sebelum kawin, kalau tidak membuat kita jatuh ke dalam jahannam sosial. Jadi, kalau mau belajar dulu sampai jadi Doktor, silahkan saja, tapi harus menjaga pergaulannya sesuai dengan Islam dasar, bukan hukum pergaulan Islam modern yang penuh dengan jebakan dan kepalsuan ini.

(12). Iran yang sekarang ini, bisa dijadikan contoh yang terbaik sejak adanya manusia di muka bumi ini. Pendidikannya tinggi, tapi dibarengi dengan hukum negara yang Islami non ortodoki. Dia Islam yang memiliki hukum-hukum dasar, tapi di waktu yang sama, tidak mengandungi ortodokis kriminalis seperti wahabi, yang main bakar, rusak bangunan, dan gorok leher. Dia senyum dan memberi hadiah kepada anak yang kawin dini, tapi dalam waktu yang sama melindungi yang mau melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang sangat tinggi. Dia tidak hanya pandai berkata haram dan halal, tapi juga mempersiapkan sosial yang sehat. Sekolah, sejak SD sudah tidak campur. Baru di masa kuliah bisa campur. Sementara dari SD sampai SMA sudah diberikan bekal Islam yang argumentatif non ortodokis anarkis. Di samping diberikan pendidikan Islam argumentatif, ia juga dilindungi dari polusi-polusi yang mungkin ada. Karena itu, kalau ada lelaki duduk di dekat sekolah wanita, langsung akan disuruh pergi sama polisi. 

Saking sehatnya sosial Iran, maka di negara yang menghalalkan mut’ah itu, dan banyak janda syahid itu, saungguh dan sungguh, bisa dikatakan mustahil mendapatkan mut’ah. Kecuali yang memang dari sononya sudah kurang sehat (seperti aliran anti Islam, atau yang abangan). Dan mereka dalam tidak melakukan mut’ah itu, bukan karena tidak memiliki nafsu atau karena anti mut’ah, tidak demikian. Akan tetapi karena mereka memiliki harga diri dan kesucian diri yang sudah dibekali Islam sejak dari kecil dan di sekolah-sekolah itu. Yakni harga diri dan malunya, benar-benar bisa menepis semua nafsunya dari dalam dan mendasar. Yakni tidak pakai polisi atau ancaman orang tua. 

Memang Iran bukan surga akhirat, tapi ia surga dunia ini. Artinya ia adalah sosial terbagus yang tidak bisa dicarikan tandingannya, walau ada orang yang tidak Islaminya atau abangannya. Karena mereka itu sangat sedikt hingga mereka termasuk pinggiran budaya asli dan budaya dasarnya. 

Bayangin saja, di negara yang sudah mengharuskan hijab bagi perempuan kalau di luar rumah, dan hukum ini adalah salah satu hukum dasar Islam yang telah diperjuangkan dengan ratusan ribu syahid dan negaranya setelah itu direferendumkan dengan capaian suara 98 persen (untuk negara Islam), ketika mereka melihat di pasar-pasar wanita-wanita bukan muslim, atau anti negara islam atau abangan (yang semuanya mereka itu sangat sedikit), yang tidak benarnya hijabnya sudah mencapai tidak bisa ditolerir lagi, maka yang turun ke jalanan untuk patroli adalah polisi Islam yang bercadar. Tapi jangan salah sangka. Mereka tidak langsung main tangkap dan sergap. Melainkan menasihati mereka dengan penuh santun dan sepenuh hati. Sampai-sampai orang-orang yang dinasihati di pasar dan di depan umum itupun, ketika ditanya wartawan TV, mereka menjawab: “Sangat terharu karena dinasihati dengan lembut dan bijaksana”. Ingat, yang dinasihati itu bukan tidak pakai kerudung, tapi karena rambutnya masih banyak yang terlihat dimana sudah tidak bisa ditolerir lagi. 

Inilah Islam yang sebagian rakyatnya memilih kawin dini, dan sebagian lagi tidak, akan tetapi dilindungi dengan sosial yang sehat. 


Dan ajibnya, kalau sudah masuk bangku kuliah, mereka benar-benar dirangsang untuk kawin. Sebelum kawin saja sudah berbagai tunjangan keuangan mereka dapat (seperti begitu lahir mendapat 10 juta, tiap tahun dapat 1 juta, tiap bulan dapat 400 ribu untuk belanja di rumahnya, sekitar 200 ribu bantuan kuliah, asuransi kesehatan ...dll) dan menjelang kawin, yakni dimasa kuliah yang dianjurkan kawin, dibantu dengan berbagai kemudahan. Seperti tunjangan kawin (misalnya 20 juta untuk sewa rumah), biaya pesta kawin (yang biasanya masal di kampus dan tiap tahun ribuan pasang), hadiah kulkas, tv dan semacamnya. 

Nah, semua itu adalah perlindungan nyata bagi menjaga anak-anak bangsa supaya tidak bejat dan jadi syaithan perusak di muka bumi ini yang sering mengatasnamakan Islam. 

Wassalam.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 04 Oktober 2018

Kufu’ dasar dan filsafatnya Menjawab Soalan



Seri tanya-jawab Teguh dan Sinar Agama



Kufu’ dalam Syi’ah tidak sama dengan kufu’ dalam Sunni. Karena kalau di Sunni, kalaulah tidak pada semua madzhab mereka itu, kufu’ itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam nikah, khususnya kalau kufu’ ini sudah menyangkut masalah darah syarifah/sayyidah. Akan tetapi dalam Syi’ah, kufu’ hanya berlaku kalau seorang wali tidak mengijinkan anaknya kawin dengan lelaki pilihannya. Dan kufu’ ini, tidak hanya menyangkut agama, akan tetapi juga menyangkut ‘urfi/ umum sosial, seperti kaya-miskinya, cacat-tidaknya, sayyid-tidaknya ...dan seterusnya. 




Diskusi tentang kufu’ ini terjadi di komentar terhadap catatan sebelumnya tentang Definisi Perawan-Janda Menurut Agama dan Umum. Kemungkinan, membaca diskusi ini akan memakan waktu dan kelelahan otak. Tapi kalau sabar membacanya, maka insyaAllah akan mendapatkan manfaatnya. Karena pendek, maka saya nukilkan kembali di sini sebelum meneruskan ke dalam diskusinya: 



56. Definisi Perawan-Janda Menurut Agama dan Umum 


http://www.facebook.com/home.php?sk=group_210570692321068&view=doc&id=210588938985910 

Definisi perawan dan janda 


1- Menurut bahasa: 

a- Dalam al-Qomuus, “al-Tsayyib (janda) adalah wanita yang dicerai suaminya atau yang sudah dikumpuli olehnya”. 

b- Dalam al-Shahhah “Tsayyib adalah yang sudah dikummpuli”. 

c- Dalam Mufrodaat, “Tsayyibah dari Tsaubun yang bermakna al-rujuu’ (artinya kembali, yang berasal dari tsaaba, penerjemah) yaitu yang dicerai suaminya hingga ia kembali seperti perawan”. 

2- Menurut Umum/’Urfun/’uruf: Janda adalah yang hilang keperawanannya (karena dikumpuli atau sebab-sebab lain). 

3- Menurut riwayat: Janda, lebih banyak yang bermakna yang sudah dikawini, baik telah dikum- puli atau tidak (al-Wasaail 14:204 hadits ke 4, dll). Jadi tidak temasuk yang pernah zina (na’udzubillah), diperkosa atau hilangnya keperawanan karena sebab-sebab lain seperti loncat, masuknya benda, jatuh dan seterusnya. Tapi ada juga riwayat yang mengatakan harus dikumpuli setelah dikawini (al-wasaail 14:215 hadits ke 8). 

4- Menurut Ulama’: Hampir mayoritas mengatakan yang sudah dikawini dan/atau dikumpuli setelah kawin (‘Urwatu al-Wutsqo jilid 2, juz 3, hal 66; Anwaaru al-Faqoohatu hal 285 atau 270; 

Mustanadu al-Syi’ah 16:123; Minhaaju al-Shalihin lil-Khu-iy masalah ke 70; al-Fiqhu al-Islaami Ahkoome Khonewodeh, jilid 1,hal 1; kami merasa pernah baca fatwa yang sama dari Imam Khumainiy ra tapi belum ketemu lagi yang di bahasa arabnya seperti Tahriiru al-Wasiilah, sedang di kitab bahasa Parsinya, kalau perawannya hilang karena jimak syubhat/keliru atau zina –bukan karena hal-hal selain ikhtiarnya seperti diperkosa dan semacamnya- dan wanitanya dihitung sebagai rasyiidah –lebih hati-hatinya demikian sebab dalam pembahasan lanjutan dari masalah rasyiidah dimana rasyiidah artinya adalah dapat mengerti kebaikan dan keburukan bagi kehidupannya dan bukan yang mudah ditipu dan semacamnya- maka secara hati-hatinya dihitung perawan; dan lain-lain). 

Kesimpulan: Dengan penjelasan di atas itu dapat diketahui bahwa menurut agama (secara global), janda adalah yang sudah kawin dan/atau sudah dikumpuli setelah kawin. Dan perawan adalah sebaliknya, sekalipun sudah tidak berselaput dara karena zina, diperkosa, jatuh dan lain-lain. Jadi, kalau agama mengatakan bahwa perawan harus ijin walinya kalau mau kawin (permanen/ temporer) adalah perawan menurut agama ini, bukan uruf/umum (tidak berselaput karena zina dan lain-lain). Sudah tentu, kalau seorang lelaki mau kawin dan mensyarati calon istrinya dengan perawan, maka yang dimaksud di sini adalah yang berselaput dara, bukan yang agami. 

Pelengkap: Wajibnya ijin wali bagi wanita, biasanya ada beberapa bahasan seperti: 


- Pertama, anak wanita yang sudah dewasa, akan tetapi belum mencapai rasyiidah. 

- Ke dua, anak wanita yang sudah dewasa dan rasyiidah. Rasyiidah adalah yang tahu kemaslahatan dirinya baik sekarang atau masa depan, bukan wanita yang mudah dikibuli rayuan lelaki hingga menyerahkan diri, terutama yang mudah ditipu oleh teman sekelasnya atau teman seperkulihaannya yang memang hanya untuk main-main serta tidak bermaksud memproses untuk segera menikah secara syar’ii.

- Ke tiga, walaupun diantara ribuan ulama/marja’ itu, kadang ada satu dua yang mentidakwajibkan ijin wali, bukan bagi yang dewasa. Akan tetapi bagi yang sudah rasyiidah tersebut dan, sebagian- nya bahkan menegaskan kemandirian dari orang tuanya. Jadi, wanitanya mesti dewasa, rasyiidah dan juga mandiri. 

- Ke empat, bagi yang perawannya hilang karena zina atau kumpul syubhat/keliru (seperti mengira kawinnya sudah syah akan tetapi ternyata tidak syah), bukan karena sebab lain, tidak terlalu ada pembahasannya (karena itu, seyogyanya digolongkan ke dalam perawan). Akan tetapi bagi yang taqlid imam Khumaini ra, disunnahkan juga ijin wali. Akan tetapi, yang dapat dipahami dari fatwanya itu, adalah bagi anak wanita yang bukan hanya dewasa (baligh) saja, melainkan juga rasyiidah. Hal itu, karena pembahasan bagi yang tidak perawan karena zina dan kumpul/jimak keliru ini, setelah pembahasan rasyiidah. 

Wassalam. 


D-Gooh Teguh:

1- Walinya yang dimaksudkan di situ kan ayahnya atau kakeknya dari pihak ayahnya? 

2- Maka kalau keduanya sudah tidak ada, syarat ijin wali yang dimaksudkan gugur? 
Kalau tidak diijinkan...? 

3- Kalau yakin 1000% tidak akan diijinkan? 

Sebenarnya syarat ijin wali dalam pernikahan itu muncul karena upaya compromize dengan situasi sosial ataukah memang dari sananya (hukum asalnya) demikian? Karena terdengar bertentangan kaedah umum “perempuan jika telah dewasa dan berakal sehat berhak atas dirinya sendiri”. 

Aziz Letta: Kemudian pertanyaannya apakah wajib bagi laki-laki untuk menanyakan kepada wanita yang hendak dinikahinya (mut’ah) apakah masih gadis atau sudah janda? 

Muhammad Adib: saya butuh yang ini... Buka masalah sayyidah Khodijah ustadz. 

Sinar Agama: Habib, bukan hanya nikah daim, tapi nikah yang syah. Jadi kalau mut’ahnya diijinkan dengan jelas oleh walinya, jelas tentang lelakinya, tanggal mula dan berakhirnya serta maskawinnya, maka wanita yang kawin mut’ah ini kalau dikumpuli setelah itu, dihukumi janda. Tapi kalau kawinnya tanpa ijin, maka dihukumi seperti zina karena tidak syah. Karena itu ia tetap dihukumi bukan janda dan harus ijin secara jelas kalau mau kawin lagi, baik daim atau mut’ah. 

Sinar Agama: Teguh: 

(1). Kalau sudah tidak ada dua-duanya dan begitu pula ke atas (ayahnya kakek), maka sudah tidak punya wali. Akan tetapi sangat dianjurkan untuk merembukkan dengan keluarganya kalau ingin menikah. Dan kalau belum rasyiidah, maka ada kemungkinan wajib meminta ijin syar’i ke marja’nya. 

(2). Kalau tidak diijinkan setelah minta ijin, maka kalau kawinnya daim (hati-hatinya), dan perempuannya sudah matang/rasyiidah (tahu maslahatnya dan tidak gampang dikibuli lelaki hingga tidak pernah pacaran, tidak pernah dibonceng tidak pernah dicumbu dan apalagi menyerahkan kesuciannya hanya dibeli dengan janji-janji kosong lelaki perayu yang masih kuliah atau bahkan sekolah atau lelaki yang suka ganti pasangan dan suka pacaran), dan lelakinya sekufu’ (selefel baik agama atau sosial), maka ia setelah itu bisa melakukan kawinnya walau tanpa restu walinya.

(3). Kalau yakin 100 % tidak diijinkan maka tidak boleh kawin dengan lelakinya itu. Tapi kalau ingin kawin, maka harus minta ijin dan kalau tidak diijinkan baru bisa ada kemungkinan bisa kawin dengan syarat-syarat di jawaban no 2 di atas itu. 

Ijin wali bagi bukan janda ini adalah hukum Tuhan (dari sononya), bukan karangan kita. Karena itu yang terdengar oleh antum tentang kemandiriannya itu adalah salah (memang ada yang mensyaratkan kemandirian seperti ayt Sistani, tapi setelah syarat-syarat sebelumnya itu, yaitu minta ijin –yang tidak diijinkan itu- wanitanya rasyiidah dan lelakinya sekufu’, baru setelah itu ada syarat lain yang berupa bahwa wanitanya harus mandiri dari orang tua atau walinya, jadi lebih berat lagi). Karena dalam Islam, hak bagi wanita yang bukan janda itu dibagi dua, separuh punya dirinya dan separuh lainnya milik walinya. Karena itulah maka tidak ada yang bisa saling paksa diantara keduanya dalam masalah kawin ini. 

Habibi Muhammad: Syukron ustad atas penjelasanya. 

D-Gooh Teguh: Kufu level sosial ini tidakkah diskriminatif...? 

Sinar Agama: Aziz, status janda itu kan nampak sekali dalam masyarakat kalau wanitanya wanita baik-baik, sepeti sudah pernah kawin atau tidak. Tapi kalau wanitanya tidak baik dan/atau memang tidak dikenali oleh lelakinya, maka jelas harus ditanya, karena khususnya di Indonesia banyak yang tidak tahu fikih. Setidaknya wajib menjelaskan kepadanya bahwa kawin daim atau mut’ah bagi yang belum jenda, disyarati dengan ijin walinya dengan jelas, baik dari sisi siapa lelakinya, berapa maskawinnya dan tanggal berapa kawinnya serta tanggal berapa selesainya -kalau mut’ah. Kewajiban ini, dilihat dari sisi wajibnya beramar makruf dan nahi mungkar dalam hal yang sudah kita tahu ketidaktahuan wanita yang mau dimut’ah atau dikawini daim, terhadap hukum-hukum kawin. 

Sinar Agama: Adib, saya kurang paham apa yang antum maksudkan. 

Muhammad Adib: Khodijah janda/tidak sebelum kawin dengan Nabi saww? 

Sinar Agama: Teguh, kufu’ itu ada dalam Islam dan Syi’ah, TAPI manakala walinya tidak menyetujuinya. Bukan diskriminatif, tapi justru kebebasan memilih. Kalau antum hilangkan hal itu, berarti antum yang diskriminatif dan diktator (kepada para ayah/wali yang merawat dan menjaga anaknya dari sejak dalam kandungan), he he he he 

Tapi kalau walinya menyertujuinya, maka dengan yang paling tidak sekufu’pun dibolehkan dan kawinnya menjadi syah. 

D-Gooh Teguh: Kufu’ level sosial itu seperti apakah...? Indikator sekufu dan tidak sekufu secara sosial itu apakah? 

Sinar Agama: Muh Adib, oh itu, seingat saya memang ada dua pandangan. Ada yang mengatakan janda dan ada yang mengatakan bukan janda. Tapi yang lebih kuat, yang mengatakan bukan janda. Mungkin setelah ini, akan dibahas lagi. 

Sinar Agama: Teguh, indikatornya adalah ‘urf, yakni penilaian umum. Misalnya kalau anak pejabat maka dengan anak pejabat atau yang selevel seperti orang kaya dan semacamnya. Kalau anak syarifah maka dengan sayyid. Walhasil indikasinya adalah ukuran umum orang-orang berakal di masyarakat. 

D-Gooh Teguh: Berarti ‘urf itu bisa berbeda dari satu golongan dan golongan lainnya meski dalam masyarakat yang sama. Maaf, menurut hemat saya yang miskin-ilmu ini: ketentuan tersebut diskriminatif. Saya memang hanya membacai hasil-hasil ijtihaad dan bukan dari sumbernya. Sampai saat ini saya menyimpulkannya: Kufu’ seorang mukminat adalah mukmin lain dan atau muslim lain yang tidak menentang wilayah dan tidak menghalangi istrinya kemudian. Sedangkan kufu secara sosial yang dikaitkan dengan atribut-atribut duniawi tersebut adalah diskriminatif. 

Tetapi dalam prakteknya memang tidak ada masalah karena kalau sudah coba minta ijin tidak diberikan khan bisa tetap jalan selama perempuan dan laki-lakinya dewasa dan berakal sehat sebagaimana ustad jelaskan di atas. 

Di kalangan sayyid di indonesia khususnya di jawa maka syarifah ya dengan sayyid. Di kalangan saya di kampung bahkan beda agama pun dianggap wajar2 saja. 

Ada juga saya pernah mendengar dari seorang ustad: ’Urf adalah pandangan seolah tidak memiliki pengetahuan spesialistnya. Bukan pandangan dari kalangan ke kalangan. 

Ada juga seorang ustadz yang sayyid: No problem syarifah dan ahwal. Tetapi faktanya giliran sodaranya hehehehe... tahu sendiri. Diharamkan menginjak rumahnya. Nah lho... ^_^ 

Sinar Agama: Teguh, antum salah memahami penjelasanku. Kalau tidak diijinkan walinya, maka yang tidak sekufu’ itu tidak bisa jalan terus. 

Justru kalau diijinkan maka yang tidak sekufu’ itu bisa jalan (meneruskan kawinnya). Tapi kalau tidak diijinkan walinya maka tidak bisa jalan terus. 

Adlh Murid Sejati: Ustadz...menurut saya walo janda/perawan, dalam menikah perlu ada musyawarah dengan keluarga, dan untuk mut’ah, janda harus dapat mengukur diri dan kebutuhannya, jika dirasa tidak memerlukan mut’ah lebih baik tidak lakukan, afwan karena di lingkungan kita janda bak gulali karena dia bisa menikahkan dirinya sendiri sehingga beberapa ada yang memanfaatkannya. 

D-Gooh Teguh: Nah, terlebih di situ. Maka hal ini sudah jelas diskriminatifnya terlebih jika sekufu didefinisikan sebagaimana tersebut di atas. Anak pejabat dengan anak pejabat. Syarifah dengan sayyid. Pangeran/Raden/Mas dengan Raden Ayu/Raden Ajeng/BRA dan sejenisnya. 

Sinar Agama: Orang yang bisa jalan terus setelah minta ijin tapi tidak diijinkan itu memiliki 3 syarat: 

(1). Sudah minta ijin tapi tidak diijinkan. 

(2). Wanitanya matang/rasyiidah (tahu maslahatnya dunia akhirat dan tidak mudah ditipu rayuan). 

(3). Lelakinya SEKUFU’, baik agama atau sosial. 

Jadi, sekufu’ itu justru kalau sedang tidak diijinkan. Dan hal itu adalah hak setiap orang. Memangnya antum mau kawin dengan wanita yang tidak punya hidung (hidunganya keroak, afwan) atau nenek yang sudah tua? Lalu kalau antum tidak mau apakah antum diskriminatif???!!! 

D-Gooh Teguh: Perempuannya mau kok. Sama-sama mau dan sama-sama suka, hanya tidak sekufu sosial dan tidak mendapatkan ijin. 

D-Gooh Teguh: Yang tidak mau khan pihak lainnya yang kebetulan “diberikan kuasa” perijinan. 

Sinar Agama: Kan itu hak antum. Diskriminatif itu adalah memilih-milih sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak antum. Misalnya antum jadi manager perusahan. Disuruh memilih karyawan. Nah, di sini walau memilihnya ada di tangan antum, tapi antum tidak bisa memainkan hak pribadi. Karena itu harus memakai kriteria perusahaan untuk memilih karyawan. Di sini antum tidak bisa memilih yang cantik, yang kaya, yang keluarga ....dan seterusnya. Ini namanya diskriminatif. Tapi kalau antum sendiri mau pilih istri yang kaya, yang cantik, yang tinggi, yang langsing yang putih yang milyuner ...dan seterusnya maka di sini hak antum sepenuhnya dan tidak dikriminatif sama sekali. Nah, orang tua yang punya hak atas anaknya, juga begitu. Dia mau pilih suami seperti apa, itu adalah haknya. Seperti si anak perempuannya itu. Nah, kalau terjadi kesepakatan dari keduanya, maka jalan, dan kalau tidak, maka agama telah memberikan jalannya. Seperti 3 syarart di atas itu. 

Oh malah ada lagi syarat ke 4 di fatwa Rahbar hf (untuk bisa kawin tanpa ijin wali setelah minta ijin dan tidak diijinkan itu), yaitu TIDAK ADA LAGI LELAKI YANG MEMADAHI/SEKUFU’. Jadi kalau orang tuanya tidak setuju, maka dengan 4 syarat itu baru boleh menerjang walinya. Tapi kalau tidak, yah 

.. mengapa harus ada paksaan kepada wilayah orang lain? 

D-Gooh Teguh: Terima kasih atas informasinya. 

Sinar Agama: Teguh, Islam itu tidak memandang bulu, tapi hanya memandang taqwa dan ketaqwaan. Akan tetapi ia juga menghormati hak orang lain. Antum sendiri sudah pasti tidak mau wanita cebol, hitam pekat, cacat ...dan seterusnya. Itu hak antum dan Islam menghormatinya. Antum ini sekarang ibarat/seperti orang cebol yang berteriak diskriminatif karena tidak dipilih antum, nah ... lho ... 

D-Gooh Teguh: Di situlah pangkal keberatan saya. Perempuan itu sendiri menjadi tidak berhak atas dirinya sendiri. 

1- Terdengar bertentangan dengan doktrin “perempuan yang dewasa dan berakal sehat berhak atas dirinya sendiri”.

2- Kufu sosial sebagaimana tersebut di atas terdengar bertentangan dengan penghapusan diskriminasi ras, asal usul, apakah kemudian tingkat kesehatan juga akan dimasukkan dalam indikator kufu, dan sebagainya.

3- Hak wali atas pilihan hidup anak perempuan mengapa hingga menghapuskan hak atas dirinya? 

D-Gooh Teguh: Bukan begitu ustad. Di sini ada si cebol yang disukai si cantik, syarifah bani hasyim (biar makin kentara kejelasan soalnya) dan sebaliknya si cebol pun demikian pula. Maka mengapa ada hak wali yang melampaui hak perempuan atas dirinya sendiri? 

D-Gooh Teguh: Pertentangan di sini adalah Hak Perempuan Merdeka vs. Hak Wali. Bukan masalah lain-lainnya... 

Jika ada pertentangan ‘urf (jika menggunakan definisi lazimnya suatu kalangan) maka yang dimenangkan juga ‘urf pihak yang manakah? 

Jadi dalam hal terjadi konflik antara hak wali dan hak anak maka mana yang harus didahulukan dan mengapa demikian...? Di situlah letak dilema yang saya maksudkan. 

Sinar Agama: Teguh, antum ini diskriminatif sekali membaca penjelasanku. Orang aku mengajak antum kepada si cebol yang tidak dipilih antum, kok antum ajak saya ke cebol yang disukai antum? Karena itu tidak ketemu. Coba antum jangan diskriminatif, tapi baca tulisanku dengan mau dan maksudku, maka mungkin bisa ketemu. 

Nah, setelah ketemu mauku, maka setelah itu hak antum juga untuk memilihnya atau tidak. 

Semua yang antum tanyakan ini, sudah saya jawab di atas. Coba antum lihat lagi dan setelah itu kalau masih ada yang mau didiskusikan silahkan. Tapi untuk setakat (seukuran) ini, dari semua poin yang antum tanyakan ini, sudah kujawab di atasnya. 

D-Gooh Teguh: ya sudah... terima kasih atas penjelasannya... Simpulan saya: 

1> Ustadz berpendapat bahwa agama ini memilih untuk mengedepankan hak wali daripada hak anak perempuan yang dewasa dan berakal sehat dalam hal terjadi konflik pilihan, 

2> Kufu sosial seperti anak pejabat dengan anak pejabat, syarifah dengan sayyid, kaya dengan kaya, terpandang dengan terpandang menurut pandangan ustad sebagai bukan diskriminasi dan tidak bertentangan dengan doktrin Islam tidak pandang bulu, 

3> Dalam hal terjadi pertentangan ‘urf antara dua kelompok belum dijawab yang mana yang didahulukan/dimenangkan. *Jika simpulan saya atas pandangan ustad ada yang keliru mohon diluruskan. 

D-Gooh Teguh: Jika simpulan saya di atas dibenarkan maka saya juga mohon maaf karena berbeda pandangan. 

Sinar Agama: Teguh, harus berapa kali dijelasin? Mengapa antum tidak/kurang teliti?

(1). Wanita bukan janda itu dimiliki dua orang dalam pandangan agama. Dirinya dan walinya yang telah melahirkan dan membesarkannya. Karena itu, harus ada kesepakatan diantara keduanya dan tidak boleh ada saling paksa dalam memilih pasangan anak.

(2). Kufu’ dan kewajiban sekufu’nya itu, terjadi ketika ada beda pilihan antara anak dan walinya. Artinya, si anak tidak bisa menembus hak ayahnya kalau tidak sekufu’ sekufu’ (tentu dengan 3 syarat lainnya itu). Jadi, kalau walinya dari awal sudah setuju, maka dengan siapapun anaknya bisa kawin walau tidak sekufu’. 

D-Gooh Teguh: Maaf, berapa kali pula harus saya tanyakan: Jika ada pertentangan pilihan antara anak perempuan dan walinya maka mana yang didahulukan. Dan ustad telah menjawab WALI. 

Jelas dari penjelasan ustad bahwa si anak tidak boleh berkahwin dengan pilihannya jika tidak diijinkan walinya (dalam hal tidak sekufu menurut pengertian di atas). 

Dengan demikian “tidak boleh ada saling paksa” adalah tidak tepat karena ustad mengijinkan pemaksaan wali pada anaknya. “Memaksa untuk tidak boleh berkahwin dengan pilihan anaknya yang dipandang tidak sekufu”. 

Sinar Agama

Dan kufu’ ini jelas menurut agama dan akal, tidak diskriminatif, karena tidak ada hubungannya dengan sosial. Dia mutlak merupakan hak pilih bagi setiap orang yang memiliki hak untuk itu. Seperti kita yang tidak memilih wanita cebol. Nah, karena si anak dan si wali sama-sama memiliki hak pilih, maka mereka bisa memilih sesuai dengan yang disukainya dengan syarat tidak saling paksa. Jadi, kalau walinya maukan anaknya kawin dengan orang kaya yang cebol dan anaknya tidak mau, maka walinya juga tidak bisa memaksanya, persis seperti kalau anaknya memiliki pilihan yang tidak disukai walinya. Tapi justru kalau untuk anak ini, maka sekalipun tidak disukai walinya, asal sekufu’ dan dilengkapi 3 syarat lainnya, maka ia boleh kawin lari. 

(3). ‘Urf itu, adalah keumuman, dan kalau beda, namanya bukan ‘urf. Karena itu, kalaulah terjadi perbedaan juga, maka yang diambil adalah yang lebih ‘urf atau lebih umum dan dikenal. Dan kalau mau lebih hati-hati maka diambil yang lebih berat. Ini teori yang diberikan di fikih. 

D-Gooh Teguh: Dengan demikian intinya ustad hendak mengatakan: “intinya adalah kesepakatan antara wali dan anaknya”. 

Kesepakatan antara wali dan anaknya dalam hal tidak sekufu. Padahal jelas, urusan itu adalah lebih kepada urusan pilihan hidup anaknya. Bagaimana kehidupannya akan dijalaninya. 

Sinar Agama: Teguh, intinya adalah bahwa ayah yang telah merawatnya itu memiliki separuh hak terhadap anak perempuannya. Dan ayah dalam Islam, tidak bisa berlepas diri dari anaknya walau sudah dewasa dan bahkan matang sekalipun karena ia di samping telah membesarkannya dari merah, ia lebih memiliki pengalaman hidup dan tahu trik-trik lelaki. Jadi, ia harus terus melindungi anaknya dari kesalahan termasuk salah pilih ini selama anaknya belum bestatus janda. Namun demikian, karena separuh lagi hak anaknya milik anaknya, maka orang tua tidak boleh memaksakan pilihannya kepada anaknya. Jadi, harus ada saling setuju. Tapi anak lebih luas terbuka. Karena walau tidak dapat persetujuan ayahnya, asal ke 4 syarat di atas itu dipenuhi, maka ia bisa meninggalkan kehakan ayahnya. 

D-Gooh Teguh: Yups... saya hanya masih mikir tentang kufu sosial dan jika tidak sekufu sosial saja. Tentang hal-hal lainnya beres... sudah jelas. Terima kasih. *meski tidak umum, trik perempuan juga ada lho... ^_^ 

Sinar Agama: he he he: Coba saja antum renungi masalah kufu’ itu dari sisi si cebol yang antum tolak cintanya itu dan sedang patah hati itu serta sedang membuat kidung-kidung patah hatinya itu yang diberi judul “diskriminatif cinta Teguh” he he he... Oh iya yang trik wanita itu yang kayak/ seperti apa, ana belum paham .. 

D-Gooh Teguh: Catatan saya: 

1> Tentunya bukan karena menghidupi dan soal trik karena jelas jika karena menghidupi maka bisa saja dihitung dan diganti si anak. Juga bukan karena trik karena kalau ayahnya, ibunya, kakek dari pihak ibu juga mengetahui urusan ini. Tetapi toh tidak diperhitungkan dalam hukumnya. 

2> Kufu sosial sebagaimana ustad sebutkan bagi saya jelas bertentangan dengan doktrin Islam tidak memandang bulu. Maaf. 

D-Gooh Teguh: Ad catatan: 

1>Bahkan di anak tak pernah minta dilahirkan. Bahkan proses pembuatannya pun menyenangkan orangtuanya pula. 

Sinar Agama: Teguh: Antum yang mengerti Islam, tolong dijelaskan dimana kufu’ itu telah bertentangan dengan Islam? Tolong tunjukkan! Karena antum mengatakan bertentangan dengan Islam. Kalau bertentangan dengan antum itu mah... tidak masalah. Tapi kalau dengan Islam, tolong dimana dan di ayat mana serta hadits mana atau fatwa mana? 

Sinar Agama: untuk no 1 dan 3 saya tidak paham. 

D-Gooh Teguh: Pertama-tama: Peace Ustad... ini dalam rangka agar semakin mantab di hati saja. Daripada ada unek-unek to... ^_^ 

0> Tentang kufu sosial, sebagai contoh bukankah saudara sepupu kalau gak salah dinikahkan dengan budak. Yang menurut ‘urf kala itu jelas bertentangan dengan ‘urf kala itu (‘urf Jahiliyyah maksudnya). 

1> Ustadz khan bilang hak ini karena ayah menghidupi dan tahu trik nakal laki-laki. Menurut hemat saya pada dasarnya bukan karena itu jika ada hak harus sepakat. Karena kalau karena menghidupi maka bisa dibuat catatan-catatan pengeluarannya khan. Maka jika si anak mengganti pengeluaran hidupnya di kala kecil (yang mana telah diwajibkan Tuhan atas ayahnya) maka hak itu bisa hilang dunk. Tetapi nyatanya tidak demikian. 

3> Tidak ada nomor tiga dalam komentar saya. Ad maksudnya additional (tambahan untuk nomor satu yang tertulis di komen sebelumnya). 

D-Gooh Teguh: Tetapi permasalahan harus bersepakat ini kita tangguhkan dulu. Karena lebih penting urusan kufu sosial karena di sinilah basis daripada boleh mengabaikan hak wali atau tidaknya. 

DAN saya tekankan lagi: Bukan saya mengerti Islam tetapi sedang mencari tahu tentang Islam maka muncullah pertanyaan-pertanyaan. Dan jika menggunakan bahasa menyangkal maka itu hanya bentuk lain agar mendapatkan jawaban. 

Sinar Agama: Teguh, Antum boleh menguneg-nguneg dan tidak ada masalah kalau atas nama diri antum, tapi kalau atas nama Islam, maka harus pakai dalil Islam. Karena itu ana minta dalil antum ketika masalah kufu’ ini antum katakan sebagai bertentangan dengan Islam. 

D-Gooh Teguh: Saya tidak mengatakan bertentangan dengan Islam. Tetapi kufu sosial yang ustad ungkapkan bertentangan dengan pernyataan ustad sendiri tentang Islam “tidak pandang bulu”. 

Sinar Agama: Saya tidak mengerti tentang bekas budak dan sepupu itu. Usahakan pakai dalil yang tegas jangan yang kalau nggak salah, karena kalau dalilnya kalau nggak salah, maka kesimpulan argument antum juga harus kalau nggak salah. Dan debatan antum yang kalau nggak salah, maka tidak wajib ana jawab. Karena bisa saja “kalau salah”??!!! 

D-Gooh Teguh: Khan ustadz yang bilang: 

1> Islam tidak pandang bulu. 

2> Harus kufu sosial padahal katanya “taqwa” yang membedakan. Sedangkan taqwa tidak disebut-sebut dalam hukum perkawinan. 

Sinar Agama: Lagi pula, siapa mau dikawinkan dengan siapa itu, tidak ada urusan. Karena yang penting bahwa anak wanitanya, anak lelakinya dan wali wanitanya mengijinkannya. Dan bekas budak itu telah membuatnya sekufu dalam arti karena sudah sama-sama merdeka. 

D-Gooh Teguh: Khan fakta sejarah: Bekas budak Nabi yang kemudian menjadi anak angkat yang bekas budaknya yang diberikan oleh Siti Khadijah as. Saya hanya agak lupa-lupa masalah nama saja. Hanya lupa nama bukan berarti tidak pasti. Atau kisah sejarah itu hanya bualan saja? 

Sinar Agama
(1). Hak ayah itu karena ia telah melahirkannya ke dunia dan telah merawatnya dari kecil. Saya tidak mengatakan membiayainya. Dan antum tidak akan pernah bisa membayar kasih sayang orang tua yang telah merawat antum. Kasih sayang mereka yang merawat kita dan menjaga kita dengan nyawanya dikala perlu, tidak bisa dinilai dengan uang. 

Ada seorang shahabat yang melayani ibunya, dari sejak menuntunnya, menggendongnya, mencebokinya, memamahnya ketika sudah tidak bisa mengunyah lagi. Walhasil sejak dari setengah lumpuh sampai ke lumpuh total. Dirawat dengan sepenuh hati dan tanpa keberatan. Digendongnya kemana ia mau pergi. Setelah itu datang ke Nabi saww dan bertanya, apakah ia sudah membayar hutang jasa ibunya? Nabi saww menjawab, semua yang kamu kerjakan itu belum bisa membayar satu Oh..... saja ketika ia oh-kan waktu melahirkanmu. 

D-Gooh Teguh: Perempuan Bani Hasyim menikah dengan bekas budak di kala Nabi sawa hidup. Setelah bercerai perempuan itu pun dinikah Nabi sawa. Bukankah contoh ini menunjukkan kufu sosial tidaklah prinsipil. 

(2). Saya heran kepada antum yang sulit menerima kufu’ ini. Karena itu hak pilih orang. Islam mengajarkan tidak ada beda dari manusia kecuali dengan taqwa. Tapi Islam juga memberi hak pada siapa saja untuk memilih yang disukainya. Mengapa antum tidak bisa menerima orang tua yang tidak setuju dengan pinangan orang yang dia tidak suka, karena misalnya tidak sekufu, sementara antum menolak lamaran si cebol tadi? 

D-Gooh Teguh: Dan ibunya tidak diperhitungkan dalam hukum nikah. Padahal sama saja. 

Sinar Agama: Antum baca lagi dengan renungan, semoga bisa lebih memudahkan. 

D-Gooh Teguh: Lupakan urusan itu. Karena bukan hal krusial. Tetapi masalah kufu sosial-lah yang menjadi tanda tanya besar di benak saya. 

Jika kufu sosial maka si anak boleh melanggar hak walinya. Jika tidak kufu sosial maka tidak boleh melanggar hak walinya. (Dgn syarat-syarat itu). Mengapa ada pembedaan karena status sosial? 

Sinar Agama: Misalnya nanti antum punya anak perempuan, karena antum kurang mendidiknya dengan baik, maka ia bergaul bebas (dalam batas tutup aurat saja). Lalu dia senang dengan orang cebol dan wahhabi. Lalu antum tidak mengijinkannya, apakah antum diskriminatif Islamic? 

D-Gooh Teguh: WAHABBI artinya tidak kufu agama. Dengan orang cebol tetapi mukmin maka terserah anak saya saja. 

Sinar Agama: Antum harus juga meresapi apa arti diskriminatif itu, dan kenapa ia jelek? Masak antum pakai istilah dikriminatif itu pada hak memilih orang yang hanya menyangkut dirinya dan keluarganya? 

Kalau antum berfikir seperti itu, maka antum tidak boleh marah ketika penjual bakso demo di depan rumah antum karena antum tidak suka bakso. Begitu pula penjual batik. Begitu pula penyanyi dangdut. Begitu pula orang partai (karena antum anti partai). Antum menurut mereka dengan teori antum ini adalah diskriminatif karena telah menolak partai. Tentu saja semuanya, seperti bakso, batik, dangdut ...dan seterusnya itu. 

D-Gooh Teguh: Masalah yang masih menjadi tanya besar hanya KUFU SOSIAL. Jelas ada pem- bedaan menurut yang ustad katakan: Kalau kufu agama dan sosial maka si anak boleh melanggar hak walinya. Meski kufu agama tetapi tidak kufu sosial si anak haraam melanggar hak walinya. Jelas ada pembedaan karena status sosial di sini. Nah, ini yang saya tanyakan mengapa bisa demikian. 

Syaiful Bachri: Ustadz.., mau urun rembuk.., ana mau kasih contoh, misalnya ada seorang ahwal mau nikah dengan seorang syarifah dan walinya tidak setuju karena alasan calonnya bukan sayyid.., apakah mereka boleh kawin lari... ? 

D-Gooh Teguh: Pembedaan khan istilah lainnya diskriminasi. Nah, bagaimana bisa pembedaan/ diskriminasi hukum “melanggar hak wali” karena status sosial bisa dibenarkan? Itu saja inti dari pertanyaan saya. 

D-Gooh Teguh: Saiful Bachri, ya itu yang benak saya keberatan. Mengapa bisa jika sayyid juga maka boleh kawin lari, dan jika ahwal tidak boleh. 

Syaiful Bachri: Ust.., Bukankah di Syiah masalah pernikahan akhwal dengan Syarifah diboleh- kan...? Bukankah syarat pernikahan yg terpenting adalah masalah ketaqwaan. Kalo kufu sosial didahulukan bukannya tidak ada bedanya dengan pengikut faham materialism. 

Karena masalah kufu sosial di Indonesia banyak muslimah yang dipaksa kawin dengan pilihan orang tuanya hanya sekedar calon juga sederajat dari status sosialnya tidak memandang dari sisi ketaqwaan... 

Sinar Agama: Syaiful, walau wanitanya/syarifahnya Syi’ah, maka ia tidak boleh kawin dengan yang bukan sayyid kalau tidak disetujui walinya. Tapi ayahnya juga tidak bisa paksa dia untuk kawin dengan pilihannya. Walhasil hak anak wanitanya itu separuh-separuh dimiliki mereka berdua. Tapi kalau calon anaknya ahwal, miskin, cacat sekalipun, asal walinya mengijinkannya, maka si anak tadi bisa kawin dengan pilihannya itu. 

Islam itu masih menghormati hak setiap orang sesuai dengan yang dikehendaki. Kalau ia mau yang kaya, juga silahkan. Kalau mau yang sayyid juga silahkan. Tapi kalau mendahulukan taqwa, maka bukan hanya silahkan, tapi sangat dianjurkan. Karena itulah, kalau tidak bisa yang secara akhlaki ini, maka setidaknya secara hukum fikih dalam arti menghormati hak-hak pilihan masing-masing orang yang berhubungan dengan diri dan keluarganya. 

Sinar Agama: Teguh, mungkin rahasianya, bahwa kalau sudah sekufu tapi orang tuanya masih menolaknya, maka hal tersebut sudah keluar dari keadilan dan akal. Karena itu tidak didukung agama. Misalnya sudah sama-sama Islam, Syi’ah, kaya, sayyid, ...dan seterusnya, tapi masih menolaknya juga, maka si anak bisa kawin lari. Karena penolakannya itu tidak beralasan. Tapi ini sekedar rabaanku terhadap hikmah hukum kufu’ tersebut. 

Tapi kalau memang tidak sekufu’ LALU WALINYA KEBERATAN, maka jelas ini masuk akal. Seperti anak antum yang cinta pada cebol wahabi itu? 

Jadi, kalau antum tolak permintaan ijin anak antum yang mau kawin dengan cebol wahhabi yang bahkan msikin itu, maka antum layak dihormati karena penolakannya beralasan. Dan Islam menghormatinya. Tapi kalau tidak ada alasan karena memang sekufu’ (tentu dengan 3 syarat lainnya itu), maka penolakan antum tidak beralasan dan Islam tidak membelanya. 

Syaiful Bachri: Ustadz walaupun calon suaminya ahwal tapi dari sisi materi berkecukupan, taqwa, ganteng, berpengaruh, dan sebagainya..., hanya karena dia ahwal dan wali dari calon istrinya tidak menyetujui hanya dari sisi faktor ahwal-nya.., dia tidak boleh juga untuk kawin lari...? 

D-Gooh Teguh: Anak perempuan saya mau kawin dengan wahabi walau penguasa dunia, saya usir saja. Urusannya dia sendiri selanjutnya. Tetapi kalau mukmin miskin juelek pula, masih saya ikut urusi membantu yang bisa saya bantu. Tentang kufu sosial pejabat dengan pejabat, sayyid dengan syarifah dan sebagainya, baru boleh melanggar hak wali bagi saya tetap TIDAK MASUK AKAL. Karena hak atas diri lebih didahulukan daripada hak seorang atas orang lainnya. 

Syaiful Bachri: Gimana kalo kebalikannya, seorang sayyid yang mau menikahi ahwal tapi ditolak oleh walinya hanya karena dia tidak kaya...? 

D-Gooh Teguh: Itu sudah menyangkut pilihan hidup seseorang hatta anak saya sendiri. Pem- bedaan karena status sosial hanya bisa dibenarkan di rincian keadaban pensikapan dan bukan di urusan legal / hukum. 

Memang di situs-situs marja’ umumnya hanya mengatakan compatible as sharia’ views dan tidak dijelaskan lebih lanjut tentang bagaimana sharia views itu. Apakah termasuk kufu sosial sebagaimana ustad jelaskan. Tetapi di banyak buku-buku maka ada polemik tentang hal ini. 

D-Gooh Teguh: TIDAK MASUK AKAL karena pembedaan dibolehkan karena perbedaan status sosial yang menurut agama katanya bukan hakikat. Pembedaan hukum karena perbedaan status sosial adalah tidak masuk akal. Dan bukan soal bakso atau partai atau dangdutan. Tetapi masalah “pembedaan hukum karena status sosial”. Ini saja yang menjadi tanda tanya besar. 

Ita Soetrisno: Dalem ati saya baca note & komen ini tapi belum sepenuhnya ngerti, dan jika saya, maka saya akan menikah dengan lelaki yang saya pilih/mau, minta ijin kakak kandung saya/wali. dan jika kakak saya tidak mengijinkan misalnya hanya karena BEDA ETNIS, maka saya akan tetap menikah dengan lelaki pilihan saya, karena ini hidup saya, jadi saya yang menentukan pilihan saya ] tolong bantu koreksi jika pikiran saya salah... terima kasih. 

Chen Chen Muthahari: Wah wah wah....saya suka komen om Teguh. Maaf ust. Sinar Agama. Saya juga tidak setuju soal kufu sosial. Kalau soal kufu agama/iman sih saya pasti setuju. Kufu wajah/ fisik juga saya kurang setuju, kalau anak gadis saya ingin menikah dengan mukmin yang tidak ganteng pun tidak kaya tetapi saya lihat pekerja keras dan bertggungjawab karena berimannya itu, maka kalau perlu saya akan jewer suami saya supaya mau menerima hahaha (maaf agak 

nyeleneh komennya biar gak tegang-tegang amat). Yang penting kan yang mau menjalani hidup pernikahan. Mengapa agaknya agama menjadi begitu mempersulit yang penting kan kerukunan dan saling memahami antar anggota keluarga? 

D-Gooh Teguh: Pada dasarnya kufu sosial adalah urusan relasional antar orang. Seseorang biasanya (meski ada pengecualian) bergaul dengan level sederajatnya secara sosial adalah fakta sosiologis. Dan pertimbangan kufu sosial adalah boleh-boleh saja. Pilihan mana suka setiap person. Saya hanya pusing dengan “pembedaan hukum karena perbedaan status sosial”. 

Sinar Agama: Syaiful, dalam dua kondisi yang antum tanyakan itu, jawabannya sama, yaitu tidak boleh kawin lari. Tapi pada kondisi ke dua, kalau wali anak perempuannya tidak kaya, dan menolak sayyid yang tidak kaya itu, berarti calon sayyid ini sekufu’ dengan keluarga wanitanya, maka bisa kawin lari. Tentu kalau syarat-syarat lainnya terpenuhi. Tapi kalau wali wanitanya kaya, maka calon yang sayyid tadi tidak sekufu’ dan tidak boleh kawin lari, 

Sinar Agama: Teguh, akal antum yang tidak bisa terima itu, tidak menjadi ukuran akal orang lain. Tapi ini lebih bagus dari pada mengatakan tidak Islami seperti yang dikatakan antum sebelumnya. 

Tentang legal hukum itu hukum apa? Kalau Islam maka antum harus menyertakan ayat-ayat dan hadits-hadits (kalau mujtahid) dan fatwa (kalau taqlid). Sedang yang saya terangkan ini adalah hukum Islam. Jadi yang menyimpang dari itulah yang tidak legal. Saya bisa nukilkan fatwa imam Khumaini ra dan Rahbar hf kalau diperlukan. Jadi, mengikuti akal dan legal para marja’ sudah tentu lebih selamat dari mengkuti akal dan ketidaklegalan antum. 

Status hukum itu bisa berbeda karena status sosial dan sangat masuk akal. Karena hukum yang kita bicarakan di sini berdiri di atas pilihan sosial. Artinya, penolakan orang tua, selama masih memiliki dasar logis, seperti tidak sekufu’, maka diterima agama dan dihormati, karena wali punya separuh hak pada anaknya. Tapi kalau penolakannya itu tidak ada alasannya, maka tidak diterima agama. Dan semuanya sudah saya jelaskan di atas. 

Ini fatwa imam Khumaini ra di bab Kawin, pasal: wali kawin, masalah no: 2:...... 

نعم ال إشكال فى سقوط اعتبار إذنهما إن منعاها من التزويج بمن هوكفو لها شرعا و عرفا مع ميلها 

(Artinya): ....... memang, tidak ada keraguan bagi jatuhnya/gugurnya keharusan/kewajiban ijin wali itu kalau walinya mencegahnya -anak perempuannya yang sudah matang/rasyiidah- untuk kawin dengan orang yang sekufu’ dengannya dari sisi agama dan ‘urf (sosial), sedang anaknya sudah ingin kawin.. 

Chen Chen Muthahari: Terlepas dari persoalan agama -- Saya terus terang sangat bingung kalau ada urusan sekufu dengan tidak sekufu dalam hal kekayaan/kufu sosial -- masih bisa memahami kalau soal kufu fisik -- maksud saya kalau ada orangtua kayaraya menolak anaknya dipinang anak yang tidak kayaraya tapi pekerja keras dan saya yakin orang yang mukmin itu pasti orang yg rajin bekerja artinya sepanjang bisa memenuhi nafkah dan anak perempuannya sudah sadar benar kondisi yang akan dia lalui dari hidup serba berlebih menjadi serba secukupnya -- mengapa justru orang tua/wali mempunyai hak yang lebih besar dalam menentukan keputusan anaknya yang akan menikah? Inilah yang sedari tadi saudara D-Gooh Teguh persoalkan yang menurut akal saya juga mungkin menurut hati saya kok rasanya tidak sreg dengan ajaran Islam yang mengedepankan keimanan dan ketaqwaan di atas harta, jabatan, suku bangsa apalagi keturunan (sayyid - ahwal). 

Saya masih bisa memahami kalau orangtua melihat si calon menantu cacat atau tidak normal, buta, pincang, cebol, dsb karena memang manusia pada dasarnya selalu melihat dari fisiknya dulu. Orang-orang yang mampu melampaui penglihatan atas fisik itu hanyalah sedikit. Saya jadi teringat kisah seorang pilot yang terbakar dan wajahnya berubah hancur tetapi si calon istri tetap keukeuh untuk terus meneruskan rencana pernikahannya -- mereka orang Kristen, dan menurut saya walau kristen tetapi mereka menerapkan nilai-nilai Islami yg luar biasa, hmm maaf kalau ini menyinggung ustadz atau siapa saja, tapi saya terus terang kagum dengan keputusan mereka, karena siapa sih yang mau mengalami kecelakaan seperti itu, dan tetap istiqomah melanjutkan pernikahan itu luar biasa tidak macam dalam cerita sinetron islami di tv yang meninggalkan tunangannya karena sakit atau suami yang menikah lagi karena istrinya mendadak sakit atau cacat, atau istri yang boleh minta cerai kalau suaminya mendadak sakit well maap ya saya mungkin tidak Islami dalam hal ini tapi menurut saya secara hati nurani rasanya kok tidak adil dan tidak punya perasaan. 

Tetepi mohon maap kalau ini menyinggung ustadz atau siapa saja yg setuju dengan kufu dan tidak kufu ini. ini hanya unek-unek saya seorang yang biasa-biasa saja. 

Sinar Agama: Kalau fatwa Rahbar: Di kitab fatwanya “Muntakhabu al-Ahkaam, di halaman 257, masalah ke: 938, berkata: 

“Kalau walinya menentang perkawinan anak perempuannya (yang rasyiidah) dengan orang yang sekufu’ baik dalam pandangan agama atau ‘urf (umum sosial) seperti kaya miskin, jabatan dan semacamnya, penj.) DAN TIDAK ADA LAGI LELAKI LAIN YANG BISA DIRELAI WALINYA ITU, samentara anak wanitanya itu memerlukan kawinnya itu, maka jatuhlah kewalian ayahnya tersebut.” 

Perhatikan tulisan huruf balok itu, karena ia syarat lain melebihi yang diberikan imam Khumaini ra. 

Sinar Agama: Ita, wali itu harus dimintai ijin bagi yang bukan janda. Tapi wali itu hanya ayah atau ayahnya ayah, bukan kakak dan semacamnya. 

Sinar Agama: Chen2, wah kebetulan nih, karena dalam curhat-curhat teman-teman yang masih nganggur tentang kawin, mereka mengeluh kapan bisa kawin. Nanti saya sarankan ke ibu saja yah dan nanti yang dijewer bukan hanya suami tapi anaknya juga kalau menolak, karena nanti diskriminatif he he he 

Chen Chen Muthahari

Hehehe, makasih ustadz. Kalau anak gadis saya (saya punya dua anak gadis masih kecil-kecil) memang sudah siap lahir bathin untuk menikah dengan calon suaminya ya saya harus siap melepaskannya juga ayahnya itulah konsekuensi jadi orangtua. Tidak perlu memasalahkan apapun. Kalau ternyata tidak sekufu, kita mesti melepaskan diri kita sepenuhnya kalau si anak bersikeras, lebih baik merestui daripada mengutuki. Ada banyak kasus dalam keluarga saya orngtua yang tidak setuju namun merestui akhirnya toh si suami jadi orang kaya juga hehehe, terus ada yg non-muslim karena direstui dan dibaik-baikin akhirnya jadi muallaf dan naik haji. Restu orangtua itu kan katanya doa. Tugas orangtua itu yang utama antara lain terus mendoakan yang terbaik untuk anak-anaknya. insyaAALlah. Ini hanya pemikiran orng biasa-biasa seperti saya. Terimakasih banyak ustadz Sinar Agama atas penjelasannya ya. Mencerahkan sekali diskusi ini! 

Andri Herdiyanto: Bagaimana dengan orangtua laki-laki yang turut melahirkan, membersarkan, dan menjaga anaknya itu? Apakah tidak memiliki hak atas anaknya yang berjenis kelamin laki-laki itu? Ataukah pada dasarnya seorang anak lelaki memang tidak memiliki wali? 

D-Gooh Teguh

1). Saya tidak pernah mengatakan tidak islami. Bukankah sudah jelas saya hanya mengkontraskan dua pernyataan ustadz. 

Kalau ternyata parameternya berbeda lagi: “sabdo pandhito ratu” ya lain lagi urusannya. Ternyata masih memandang bulu jika kenyataannya demikian. 

artinya: ...... memang tidak ada keraguan bagi jatuhnya keharusan ijin wali itu kalau walinya –wali anak perempuan- mencegahnya –yang sudah matang- untuk kawin dengan orang yang sekufu’ dengannya dari sisi agama dan ‘urf (sosial), sedang anaknya sudah ingin kawin..” --> yang saya pahami dari fatwa ini adalah: 1>BATALNYA (jatuhnya = batalnya/tidak berlakunya keharusan ijin) keharusan ijin wali jika anaknya hendak kawin dengan yang sekufu dari sisi agama dan ‘urf (sosial). 2>FATWA ini tidak menjelaskan tentang apakah yang dimaksudkan dengan kufu secara ‘urf (sosial), 3>Juga tidak menjelaskan apakah juga batal jika sekufu agama tetapi tidak sekufu dalam ‘urf (sosial). 

Kalau walinya menentang perkawinan anak perempuannya dengan orang yang sekufu’ baik dalam pandangan agama atau uruf (umum sosial) DAN TIDAK ADA LAGI LELAKI LAIN YANG BISA DIRELAI WALINYA ITU, samentara anak wanitanya itu memerlukan kawinnya itu, maka jatuhlah kewalian ayahnya tersebut.” 

1>Jatuhlah dalam fatwa imam khomeni qs dan rahbar yang saya pahami kok batalnya ya. Jatuhlah kewalian ayah tersebut = batallah hak kewalian ayah tersebut (dalam pengertian wajibnya ijinnya). Maaf saya tidak paham bahasa arab, hanya analisis berbasis terjemah ustadz saja. 

2>Fatwa ini tidak menjawab tentang JIKA TIDAK ADA LELAKI LAIN YANG BISA DIRELAI SI ANAK. 

Maaf, kata JATUHNYA dalam dua terjemah fatwa di atas yang saya pahami malahan tidak wajibnya. Mohon terjemahan yang lebih terang lagi. Dan urusan ini bukan tentang akal-akalan tetapi tentang mana yang benar. 

Kalau sekufu dalam agama tidak ada masalah sedikitpun. Sudah terang benderang dan sangat bisa diterima akal. Urusan kufu sosial ini yang masih abu-abu... tentunya yang ustad urai adalah pemahaman ustad terhadap fatwa-fatwa imam qs dan rahbar. Sayangnya saya tidak memahami bahasa arab, jadi hanya memahami terjemahnya saja. 

Ini soal beda pemahaman memaknai. Dan di sisi saya ada lagi tambahan lack of arabic. Kalau bisa diberikan fatwa tentang maksud daripada Kufu ‘Urf (Sosial). 

Harap diingat saya tidak pernah mengatasnamakan islam atau islami tetapi saya hanya memper- tanyakan dua hal yang sama-sama dikatakan oleh Islam (melalui ustad SA). 

1>Islam tidak pandang bulu. 

2>Kalau sekufu sosial boleh kawin lari, kalau tidak sekufu sosial haraam kawin lari. Bukankah jelas dua ini bertentangan...? 

Itu seperti jargon di tetangga sebelah: Nikah dipermudah tetapi cerai dipersulit. Itu JARGON-nya. Kenyataannya: musti dua saksi nikah, cerai tak perlu saksi dan sejenisnya. Jargon dan kenyataan bertentangan. 

Oleh karena itu jelas pembedaan hukum karena perbedaan status sosial memerlukan penjelasan atas pembenarannya. Soal ini sangat penting bagi saya... Kaya-miskin, sayyid-ahwal, pejabat- tukang serabutan, dan sejenisnya. How can? 

Bagaimana akal bisa menerima hukum Islam dibedakan karena perbedaan status sosial dan material? Islam yang saya pahami tidak demikian, maka saya bertanyakan. Dua cuplikan fatwa di atas belum mengkonfirmasi kesalahan pemahaman saya. 

D-Gooh Teguh: Dari situs almarhum Sayyid Fahdhlullah: 

Q: What would be my legal stance if I refused to comply with my father’s desire in marrying some girl, knowing that that it might affect my relationship with him negatively? 

A: Actually, if you exert yourself and obey him; God would greatly reward you for your deed. Then again, obedience to him is not a must. 

-->tetapi kasus yang ditanyakan agak berbeda. Ini laki-laki kepada perempuan dan bukan sebaliknya. 

D-Gooh Teguh: a@ Chen Chen Muthahari: apalagi urusan invaliditas dan tampang. Khan sudah diatur apa-apa penyakit dan kecacatan yang jika ditutupi sebelum menikah maka bisa membatalkan. Batal dan bukan cerai. Ada juga yang harus cerai dan bukan pembatalan. Syarat perlu-nya adalah menutupinya. Jika telah diterangkan di muka: saya jelek, kadang gak bisa on, saya pincang lho... Saya cebol lho... nanti khan bisa liat sendiri. Emang maunya orang untuk cacat? Untuk jelek? Mau extrem make over kagak punya duit. Emang setiap nyari duit pasti dapetnya? Sadarkah jika pernyataan anda menyakiti hati orang2 yang berpenyakit dan cacat bukan atas maunya sendiri? Coba saja bilang: Ogah ah... lu khan jelek. Lu khan cebol. Lu khan buta. *Saya sih tidak sampai hati. 

Kalau tidak ditutup-tutupi maka seperti kata Mbak Chen tentang pilot itu! Status sosial adalah sesuatu yang tidak pasti. Bisa berubah sewaktu-waktu (kecuali urusan ras yang tidak berubah, yang mana juga bukan termasuk pilihan bebas) dan status sosial bukanlah the real of a man/ woman. 

D-Gooh Teguh: Saya sih ganteng. xixixixixi... Tapi kalau besok disobek mulutku ya jelas amburadul deh. But, so what gitu lho...! 

Chen Chen Muthahari: ‎^_^ hehehe... 

Om D-Gooh Teguh maksud saya begini, banyak sekali orang sejak jaman dulu sampai jaman sekarang melihat orang itu hanya atau awalnya dari fisiknya dulu. Calon mertua tidak mau punya menantu cacat, jelek, dsb. Makanya saya mengerti kalau ust. Sinar Agama membawa masalah kasus kufu fisik, ada orang-orang yang menganggap hak-hak dia, saya pribadi sangat sangat setuju dengan Om D-Gooh Teguh, kalau itu sangat tidak adil. Mohon maaf kepada teman-teman atau saudara-saudara yang tersinggung. Saya sendiri bisa jadi sewaktu-waktu akan mengalami. Banyak orang mundur setelah siap menikah ternyata di tengah calonnya “berubah fisiknya” dan seterusnya. Serius ada yang curhat ke saya tidak mau melamar seorang gadis yang penyakitan yang sempat dekat dengannya dan si gadis suka sekali padanya, iih saya kesal banget sama lelaki ini untuk alasan tersebut walau beberapa yang dia kemukakan masuk akal juga tapi tetap saja tidak berperasaan bagi saya, memangnya si gadis mau punya penyakit seperti itu (padahal dia cantik hanya berpenyakit yang menghabiskan uang demi pengobatannya) juga takut keturunannya juga berpenyakit begitu. 

Chen Chen Muthahari: Makanya saya tulis orang-orang yang mau mencintai pasangannya melampaui penglihatan atau pandangan fisiknya itu jumlahnya tidak banyak kalau tidak bisa dibilang sedikit. Bahkan setelah menikah pun kalau pasangan berubah fisik, entah jadi gemuk, entah jadi sakit, entah mandul, atau entah apapun yang lain, hatinya juga bisa berubah, padahal sepatutnya seperti pesan kakek nenek saya kepada ibu dan paman dan bibi-bibi saya kemudian pesan mereka kepada anak-anak mereka adalah setelah menikah tutuplah mata dan kuping kamu dari keburukan pasangan hidupmu, setialah dengannya. 

D-Gooh Teguh: Kalau sudah terbuka demikian maka memanglah hak laki-laki itu untuk meneruskan atau tidaknya. Atau jalan tengahnya khan tammatu’ dan menanggung sendiri biaya masing- masing KALAU TEGA. Meski nampaknya aneh tetapi begitulah. Perasaan tidak diperhitungkan dalam ketentuan hukum. Urusan kahwin adalah urusan sepakat dua belah pihak, urusan cerai atau berpisah adalah urusan sepihak. Begitulah... menurut pemahamanku atas fatwa-fatwa. 

Chen Chen Muthahari: Iya om Teguh. makanya saya di sini bicara keluar dari masalah agama/ fatwa atau fikih, hanya sebuah perasaan dan unek-unek saja, 

D-Gooh Teguh: Itulah yang saya pahami dari kaedah-kaedah hukum agama maupun sekuler: Perasaan tidak diperhitungkan kecuali urusan syak persucian (dalam hukum personal agama). Mau cinta atau tidak cinta bukanlah urusan. Mau suka atau tidak suka bukanlah urusan hukum. Yang menjadi urusan hukum adalah HAK dan KEWAJIBAN para pihak. Mau istri jadi endut jueleknya ampun-ampunan tetap saja: da’im wajib kasih nafkah, dan seterusnya. Jangan masukkan urusan hati ke dalam bahasan hukum to... 

Dan tetap saja musti “gitu” dalam rentang waktu tertentu. ^_^ 

Tetapi meski cerai itu urusan sepihak tetapi prosedurnya dalam hukum syiah adalah sulit. Ada gitu yang mau menjadi saksi cerai...? Makanya tammatu’ saja kalau mau mudahnya. ^_^ 

Chen Chen Muthahari: Sebetulnya tidak akan timbul masalah kalau baik anak maupun wali sama- sama bijaksana, tidak egois dan saling memahami kebutuhan dan kecenderungan masing-masing. Dulu di keluarga besar saya misalnya agak sukar kalau seniman mau melamar jadi menantu, lha padahal anak-anak perempuannya di jalur kesenian seperti melukis, bermusik, bersastra dsb kan tidak aneh kalau bertemu jodoh dengan orang yang di jalur yang serupa. Atau ada yang kawatir anaknya menikah dengan polisi karena polisi rata-rata bawa pulang uang “panas” (ini banyak curhat yang saya dengar di salon maklum ibu-ibu) lha tapi kalau anaknya kerja dekat kantor polisi ketemu pak polisi tiap hari...? Nah semua ini apakah kufu sosial atau kufu fisik mesti dikembalikan kepada “wisdom” dari keduanya, kematangan dan kedewasaan sang anak dan walinya. :-) 

Sinar Agama: Teguh, kok bisa antum ingkari bahwa antum pernah mengatakan tidak Islami, sementara tulisan antum masih ada di atas itu, lihat ini: 

“2- kufu sosial sebagaimana ustad sebutkan bagi saya jelas bertentangan dengan doktrin Islam tidak memandang bulu. Maaf.” 

(1). Apakah maksud antum dengan sabdo pendito ratu itu adalah ejekan bagi kami yang menaklidi marja’? Kalau itu maksudnya, maka itu jelas kemuliaan bagi kami dan kebanggaan dari pada mendengar orang tidak belajar Islam tapi mengeluarkan berbagai pandangan Islam (bukan antum nih, tapi orang-orang lain yang berkata-kata tentang islam dengan idenya sendiri, bukan dengan Islam). 

(2). Fatwa tentang kufu’ sosial (‘urf) itu, jelas tidak bisa diingkari. Tentang tidak dijelaskannya itu, karena karena antum yang tidak jelas dan/atau membuatnya tidak jelas. Kalau yang pertama, maka sangat mengherankan bagi orang seperti antum itu yang tidak mengerti kufu’ secara umum atau ‘uruf. Masak iya, orang seperti antum tidak mengerti arti “SELEVEL”????? Tapi kalau antum tidak ingin menjadikannya jelas, maka itu jelas tidak bisa dijelasin dengan apapun, walau dengan orang yang mengerti. Bagaimana mungkin antum tidak mengerti selevel ‘urf/umum, sementara antum mengerti selevel agama? Dan bagaimana mungkin antum tidak memahaminya, akan tetapi antum mendebat dan menolaknya??!!! 

(3). Antum ini mengerti kata boleh dan tidak boleh dalam fikih nggak sih? Ketika dikatakan tidak boleh melakukan nikah seperti itu, maka jelas kawinnya menjadi batal. Terlebih tidak samar bagi yang belajar di hauzah bahwa bagi imam KHumaini ra dan Rahbar hf, ijin wali itu adalah syarat syahnya pernikahan. 

(4). Jatuhnya kewalian wali itu, sama dengan tidak wajibnya anak mendapatkan ijinnya (tentu setelah minta ijin dan tidak diijinkan itu). Dan tulisan berhuruf besar itu justru menambah semakin tidak bisanya anak perempuan itu untuk kawin lari. Karena hampir pasti masih banyak lelaki yang bisa membuat ayahnya rela dan mengijinkannya. Jadi, kandungan fatwa itu adalah, kalau anak perempuan telah memilih lelaki di antara 100 lelaki yang adanya hanya itu (100), dan ayahnya tidak mengijinkan, maka dilihat, kalau dia yang dipilih itu, sekufu’ dengan keluarganya (keluarga anak wanita itu), lalu tidak ada dari 100 lelaki itu yang diridhai walinya, maka dengan sayarat-syarat lainnya yang sudah diterangkan di atas itu, si anak wanita tadi bisa kawin tanpa ijinnya. 

Dan dua fatwa itu adalah berbeda dimana punya Rahbar hf lebih berat dari punya imam Khumaini ra. 

(5). Islam memang tidak pernah pandang bulu, tapi ia memandang hak orang dan memerintahkan orang lain untuk menerima dan menghormatinya. Jadi, kalau pandang bulu itu masih dalam koridor hak-hak pribadinya dan keluarganya, maka pandang bulu tersebut tidak akan pernah mengganggu kemerdekaan orang lain dan, apalagi mengambil haknya. Karena itu pandang bulu ke dua, ini diterima Islam. Masak iya, hal seperti ini saja tidak bisa dipecahkan, sementara saya sudah banyak menerangkannya di atas, yakni yang berupa hak itu. 

(6). Fatwa Jibril as-pun, tidak akan pernah mengkonfirmasi antum kalau gaya berfikir antum itu seperti itu. Coba cerna penjelasan tentang hak dan semacamnya itu, dan bahwannya ia tidak mengambil hak orang lain, serta tentang kewajiban orang tua ...dan seterusnya, maka pasti antum akan dapatkan jawabannya. Tapi kalau kayak/se[erti bolduser, main trabas saja dan yang dilihat hanya yang ada dipikiran antum, maka pakai gaya apapun menjelaskannya tidak akan pernah ketemu intinya.

(7). Bagaimana mungkin ada orang yang akalnya sehat, lalu mengingkari adanya perbedaan antara yang cantik dan yang tidak cantik, yang miskin dan yang kaya, yang cebol dan yang normal, yang seniman dan tidak seniman, ...dan seterusnya. 

Atau tidak mengingkari itu semua akan tetapi mengingkari konsekuensinya, seperti lebih menyukai yang cantik, yang kaya, ...dan seterusnya?????!!!! Justru yang tidak masuk akal itu adalah kelompok ini. Emangnya kalau ada wali menolak yang jelek, atau mas Teguh yang tidak suka yang cebol, atau wali yang tidak menerima yang miskin, mk hak wali dan mas Teguh itu harus dibumi hanguskan????????!!!!!! Ini ajaran gila namanya. Dan, lebih gila kalau dihubungkan dan dikatakan sebagai ajaran Islam. 

Herannya apa hubungannya ini dengan Islam???? Emangnya Islam mengatakan bahwa yang ditolak walinya itu, yakni si miskin itu atau si cebol itu, karena ia ditolak, maka nanti si miskin dan si cebol itu di akhirat kelak akan dimasukan ke neraka????!!! 

Saya justru sangat merasa aneh dengan keanehan antum dan kemerasaan antum bahwa hal ini bertentangan dengan Islam. 

Emangnya si wali itu, karena boleh (dalam Islam) menolak si miskin dan si cebol, lalu Islam mengijinkan dia untuk mencemoohnya dan menghardiknya, dan menganggapnya sampah? Atau kalau kebetulan si miskin yang ditolaknya tadi adalah marja’, lalu si wali tadi dibolehkan oleh Islam untuk tidak menaklidinya sementara tidak ada marja’ lain? Atau karena si wali diberi Islam untuk menolak yang dia tidak sukai, lalu si wali dijanjikan surga, hingga dengan ini dikatakan bahwa Islam telah melakukan pilih kasih dan diskriminatif??!!! 

Apa hubungan ini semua?????????!!!!!!!!!!!!!!!!!! 

Sinar Agama: Chen chen, Terimakasih komentar dan perhatiannya. Tapi sepertinya topik yang kita bahas berbeda. Kita lagi bicara hukum wajib tidaknya ijin wali, bukan akhlakh dan anjuran. Kalau ibu pernah membaca tulisan saya yang lainnya, tentang kecaman saya pada orang yang kawin karena cinta-cintaan duluan (seperti pacaran), dan tidak mau kawin kalau tidak cinta, padahal ajaran Islam adalah hanya mengajarkan akhlak dan tentu ditambah mau (bukan cinta), maka ibu tidak akan menulis seperti di atas ini. Karena memang masalahnya lain. Kalau cinta- cintaan saja sudah ditentang Islam atau setidaknya tidak didukung Islam, apalagi melirik harta dan semacamnya di selain ketaqwaan. 

Kita sekarang bukan sedang mau menasehati si wali yang menolak itu, tapi sedang membicarakan haknya dalam Islam. Bab, nasihat buat wali tersebut, nanti di lain status dan catatan. Jadi, saya tidak mengomentari pendapat ibu secara detail karena memang lain topik dan yang kutilis itu serasa sudah cukup. 

Sinar Agama: Andri, anak lelaki kalau sudah dewasa tidak wajib ijin wali, tapi sangat dianjurkan untuk musyawarah dengan orang tuanya. Tapi dari sisi hukum, tidak ada kewajiban ijin walinya. 

D-Gooh Teguh: Hehehehe... saya hanya ingin mencari lebih kejelasan saja. Ustad. Nanti saya cari tahu lagi dari lebih banyak pihak yang lebih mengetahuinya agar ada kemantaban hati. Memang take it begitu saja berita tidak ada masalah. Tetapi mencari dan mengkontraskan dengan pandangan subjektif agar lebih tunduk khan lebih oke to.... ^_^ 

Terima kasih atas segala informasi berharga-nya. 

Sehingga pandangan subjektif bisa tunduk dan melebur dalam kebenaran yang menundukkan dan bukan kebenaran karena semata kata-nya siapapun juga. ^_^ Begitu ustad... 

Tetapi sebenarnya yang menjadi tanda tanya saya bukan yang ustad uraikan di atas. Tetapi tentang: Kalau kufu sosial (dalam pengertian yang ustad jelaskan) dan agama boleh lari, sedangkan meski kufu agama tetapi tidak kufu sosial tidak boleh. Itu aja masalahnya... 

Akan saya gali soal ini lebih dalam lagi. Semoga kita semua mendapat petunjuk-Nya. 

Btw, yang mengatakan 1>”ISLAM TIDAK MEMANDANG BULU” khan ustad bukan saya. 2>Yang mengatakan tidak kufu sosial tidak boleh lari, kalau kufu sosial boleh lari juga ustad. 

Nah, menurut pemikiran saya: Pernyataan ustad yang kedua bertentangan dengan pernyataan ustad yang pertama. Dan sudah dijawab pula oleh ustad. 

Dengan demikian sudah selesai polemik tentang hal ini. Saya akan mencari dari berbagai sumber lagi agar semakin mantabs. 

Sinar Agama: Teguh, penjelasanku itu sama dari awal sampai akhir. Syukur kalau antum sudah mengerti yang kita mau, baik terima atau tidak. Yang kita inginkan adalah mengerti uraianku sesuai dengan maksudku. Tentu saja, walau saya tidak makshum, aku mengambil dari fatwa- fatwa kalau itu hukum, dan kalau filsafat dan akal, aku berusaha memakai pendekatan dalil-dalil akal gamblang. 

Dan prinsipku memakai nama samaran ini justru supaya teman-teman mudah berdebat dan bertengkar denganku, baik dia itu sebenarnya temanku atau saudaraku bahkan. Jadi, tidak usah riskan untuk bertengkar, tapi bertengkarlah denganku sebagai saudara dan, kalau bisa jangan ego-egoan tapi memang mencari pengertian dan kebenaran (walau tetap relatif). 

Dan satu lagi yang aku perlu mimta maaf, karena kadang memang aku sengaja menaikkan volume tulisan sebab memang hati kelamku ini merasa perlu untuk melakukannya. Jadi kalau tidak tepat sasaran, maka mohon maafnya. 

Syaiful Bachri: Ustadz.., kalo melihat dari diskusi di atas sebetulnya jelas bahwa hukum izin Wali adalah wajib.., cuman mungkin yang perlu digarisbawahi adalah kalau kita menjadi wali harusnya mendahulukan ketaqwaan dibadingkan dengan status sosial, begitu ust... 

D-Gooh Teguh: Sama-sama ustadz... informasi-informasi yang disampaikan sangat berharga. Tentunya menjadi sebuah bahan yang luar biasa untuk penggalian lebih lanjut agar semakin mantabs melaksanakannya. Memang sama penjelasan dari atas hingga akhir. Konsisten. ^_^ Peace Ustad...! 

D-Gooh Teguh: Dan saya mau bertanya sesuatu via inbox ya... 

Aby Faqir: Syukron sudah dimasukkan di grup ini ustad.... 

Sinar Agama: Syaiful, na’am/benar demikian. Islam tidak melarang antum makan makruh misalnya, tapi menganjurkan untuk tidak melakukannya. Islam tidak melarang antum meyintai dunia halal, tapi menganjurkan untuk membantu orang miskin (selain zakat dan khumus). Islam tidak melarang antum memilih wanita cantik dan kaya, tapi sangat menganjurkan antum untuk memilih yang taqwa dan mengenyampingkan semuanya andaikata bertolak belakang dengan ketaqwaan itu. Islam tidak melarang antum menolak cebol walau dia marja’, tapi menganjurkan antum untuk mendahulukan ilmu dan ketaqwaan, dan, kalau tidak mau juga, Islam melarang antum untuk mengejeknya dan/atau melarang tidak taqlid padanya kalau ia marja’ paling a’lam. 

Jadi, kalau antum orang tua dan wali, Islam telah mengatur antum mana-mana yang merupakan hak-hak antum (seperti ikut memilih calon tanpa memaksakan pilihannya karena 50-50 dengan anak wanita antum), dan mana-mana yang berupa anjuran dan tekanan, seperti dianjurkan untuk memilih yang berilmu, yang taqwa -misalnya. 

Sinar Agama: Aby, ok, sama-sama. 

Sinar Agama: Teguh: u well come. 

Jjihad ‘Ali: Topic menarik ....Syukron pencerahannya .. 

@D - Teguh , kenapa mesti di Inbox , cara berfikir antum , ana fikir malah mampu lebih dalam mengorek apa maksud yang terkandung dari bahasan dan maksud Ustadz SA .... Af1. 

D-Gooh Teguh: Maaf Om Jihad... karena urusannya privat dan bukan wacana tentang seorang kenalan yang saya turut serta memberikan pendapat sejauh pengetahuan saya. 

wassalam. 

Haydar Ali: Sekufu’ = Sama-sama kaya , sama-sama sayyid , dan lain-lain.. Kalo orang Tua tidak mengizinkan maka tidak sekufu’ ?? 

Kalo ga di izinin wali , Ganti aje istilahnye , jangan pake istilah “ ga sekufu’ “ .. Kalo pake Istilah ga sekufu’ itu ga urf’ .. 

Buktinye banyak yang awalnye ga ngerti maksud antum.. Kenapa ga ngerti , karna istilah yg antum pakai itu ga urf’.. 

Afrianto Afri: Mas D teguh secara Urf..pernikahan sayyid dengan syarifah yang melarang lebih sedikit penganutnya dibanding yang berpendapat berbeda. Cuma dalam komunitas “arab” pendapat itu memang lebih banyak, berbeda dalam komunitas Indonesia secara umum. Heheheheh..kan kata ustad SA yang diambil yang paling banyak penganutnya (urf)...hihihi. 

Haydar Ali: Ketika berbicara sekufu’ maka mayoritas memahaminye itu kaitanye antara Syarifah dengan Ahwal , padahal Rahbar sama sekali tidak membicarakan tentang sesuatu yang tertuju pada Syarifah dengan Ahwal. 

Meski defenisi nye udah di jelasin ,, tapi tetep aje banyak yang tidak memahami nye.. Dan dengan demikian , Telah Terjadi Penyelewengan fatwa Rahbar .. 

Young Mesa: “ Penyelewengan fatwa Rahbar “ ???....Mohon segera diluruskan! Maaf saya pengen tahu siapa sih Ust. Sinar Agama ?Af1 

Abu Alya Al-Bantary: AFWAN,KAJIAN ANE BELUM SAMPAI SITU. IKUTI AJA APA KATA MAROJI MASING-MASING. 

Sinar Agama: Haidar, istilah fikih di kitab fikih kok dibilang tidak ‘urf. Nggak sekufu’ ya ... nggak sekufu’. Dalam istilah fikih kufu’ itu adalah menurut ‘urf. Artinya “tidak selevel”. Kalau di Sunni sekufu’ ini menjadi syarat syahnya nikah dari awalnya. Tapi kalau di Syi’ah baru berlaku manakala walinya tidak mengijinkan. Tentu dengan terpenuhinya syarat-syarat yang lain seperti yang sudah dijelaskan di atas itu. 

Sinar Agama: Afri, orang yang punya kelevelan sayyid itu adalah sayyid yang tentu Arab, maka makna lainnya yang dimiliki pribumi, sudah tentu tidak bisa mengalahkan hal itu walau lebih banyak atau bahkan semilyard banding satu sekalipun. Apalagi kalau yang tidak melarang itu, justru bukan sayyid yang berkepentingan mau mengawini syarifah/sayyidah. 

Sinar Agama: Haidar, kok enak banget mengatakan kita menyelewengkan fatwa Rabhar hf. Sekufu’ kalau dalam arti sosialnya itu adalah seperti masalah darah (sayyid dan bukan) atau harta, raja dan semacamnya. Tentu saja, sekali lagi, ketika walinya tidak mengijinkannya. Tapi kalau dari awal sudah mengijinkannya, maka biar dengan orang yang tidak sekufu’ atau tidak selevel, tetap saja syah. 

Afrianto Afri: Loh kan ukurannya keumuman pendapat masayrakat banyak/indonesia, kalo masih dikhususkan lagi pada masyarakat tertentu/mis arab, lantas dimana sisi “urf”nya ustad... 

Sinar Agama: Putra dan Abu, fatwa seperti itu terlalu umum/banyak bagi yang belajar agama secara akademis. Kufu’, yakni kufu’ dalam agama dan kufu’ dalam sosial, adalah istilah yang sangat tidak asing bagi pelajar agama. Seperti wudhu bagi shalat. 

Afrianto Afri: Saya bicara dalam konteks Urf nya pernikahan silang antar etnis...bukan bicara tentang gelar sayid dan syarifah dimana ustad. 

Sinar Agama: Afri, itu juga yang kumaksudkan. Yakni ketika yang memegang kuncinya tentang sayyid itu adalah sayyid, maka ‘urf mereka walau lebih sedikit, tentu lebih kuat dari ‘urf orang lain yang memang tidak memiliki perbedaan darah itu. Jadi, ukuran ‘urf yang dipakai adlh ‘urf- nya para sayyid itu. Dan karena mereka mengatakan bahwa sayyid dan bukan itu tidak selevel, maka akan bermasalah manakala wanitanya syarifah dan walinya tidak mengijinkan. Tapi kalau mengijinkan, atau syarifahnya sudah janda, maka kawinnya sdh pasti tidak ada masalah. Karena walinya mengijinkan, dan pada contoh ke dua, kalaulah walinya tidak mengijikan, akan tetapi karena sudah janda, maka tidak wajib lagi untuk minta ijin walinya. 

Satria Karbala: Kalo saya sih berbeda melihat urfnya ustad, kurang lebih sama dengan pendapat Afrianto. Kalo urf diartikan pendapat umum kebanyakan maka definisi se KUFU itu adalah pendapat umum tidak bisa dimasukkan dalam kelompok yang lebih kecil. Oleh karenanya...saya tidak sepakat kalo urf nya dilihat dari kelompok kecil..namanya juga urf bukan lex specialis... 

Haydar Ali: Sinar : Afwan ya marja’ , ‘urf itu pandangan umum .. Dan umum nya orang yang baca note antum ini memandang kafa’ah atau sekufu’ itu kaitanya antara Syarifah dengan Sayyid . 

Dan antum ini tidak sedang bicara dgn orang-orang yang faham istilah fiqh , buktinya banyak yang salah faham.. 

Kebanyakan yang baca note ini memahami bahwa antum ini termasuk orang yang melarang atau mengharamkan pernikahan antara syarifah dengan ahwal. 

Dan disinlah Letak penyelewangan fatwa Rahbar. 

Mungkin antum tidak niat atau tidak maksud menyelewengkan fatwa Rahbar , tetapi ketika banyak orang yang salah faham maka antum telah menyelewengkan fatwa Rahbar.. 

Haydar Ali: Dan Apabila ada seorang ayah dan dia adalah seorang sayyid kemudian tidak mengizinkan putri nya menikah dengan ahwal ?? 

Apakah putri nya boleh menentang? Atau apabila putrinya tetap menikah dengan ahwal, apakah sah atau tidak ?? 

Alasan si Ayah ini apa ? Kebanyakan orang seperti ini beralasan karna menurut dia pernikahan dengan ahwal ini terlarang (alasan seperti ini bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul Nya... 

dan atau karna menurut nya tidak sekufu’ ( Alasan ini tidak sesuai dengan istilah fiqh ).. 

Pertanyaan ana : Bolehkah menentang si Ayah yang tidak sesuai dengan Syariat Allah dan Rasul Nya + tidak sesuai dengan istilah fiqh ?? 

Sinar Agama: Haidar, saya tidak paham apa maksud antum. Sudah jelas beberapa kali dikatakan bahwa masalah kufu’ ini di Syi’ah, akan muncul manakala wali perempuannya tidak menyetujui perkawinan anak perempuannya dengan calon pilihan anaknya itu. Artinya, sekufu’ dan tidaknya ini akan terbahas dalam kebolehan dan tidaknya si anak itu kawin lari. Jadi, kalau dari awal walinya menyetujui, maka tidak ada masalah dengan sekufu’ atau tidaknya calon suami anak perempuannya. 

Ayah yang tidak mengijinkan anaknya kawin dengan orang yang tidak sekufu’, sangat-sangat tidak menentang Allah, Rasul saww dan apalagi dalam istilah fikih. Karena Allah, Rasul saww dan istilah fikihnya, justru memberikan hak kepada walinya tersebut untuk memilih calon suami bagi anak wanitanya dengan persetujuan anaknya. Persis sebagaimana anaknya juga diberi kebebasan untuk memilih calonnya dengan persetujuan ayahnya. Jadi, kalau mereka memilih yang ganteng, kaya, atau sekufu’ dan tidak mau kepada yang jelek, miskin dan tidak sekufu’, sama sekali tidak menentang Allah, Rasul saww dan agama atau istilah agama sama sekali. 

Antum ini ra’syih, orang salah paham dengan suatu tulisan atau tidak mengerti seperti antum ini, kok malah yang disalahkan adalah penulisnya???!!! Dan, apalagi penulisnya difitnah sebagai penyeleweng fatwa???!!! Apa antum tidak takut padaNya yang selalu mengawasi kita??? 

Haydar Ali: Ah , masa marja’ ga faham maksud ana , jangan-jangan antum ini pura-pura ga faham. Ala kulli hal. 

Antum menulis : 

Sudah jelas BEBERAPA kali di katakan bahwa masalah kufu’ ini disyiah AKAN MUNCUL DI SYIAH manakala wali perempuanya (ayah) tidak menyetujui anak nya kawin dengan orang pilihan anak perempuanya itu. 

Ayah (wali) yang tidak menyetujui anaknya kawin dengan orang yang TIDAK SEKUFU’ sangat tidak menentang syariat dan istilah fiqh. 

Ya marja’ , di awal antum bilang istilah sekufu’ akan muncul , ketika wali tidak menyetujui , kedua antum jawab jika ALASAN si ayah tidak mengizinkan anak perempuanya kawin dengan pilihan si anak karna menurut si ayah tidak sekufu’ , alasan itu sesuai dengan Syariat dan istilah fiqh. 

Jangan-jangan antum ini bukan hanya ga faham maksud ana , tapi bahkan antum ga faham apa yang antum tulis ?? 

Ketika si wali tidak setuju dengan ALASAN karena tidak sekufu’ , itu artinya istilah sekufu’ TELAH MUNCUL sebelum si wali tidak setuju. 

Sedangkan di syiah bahkan beberapa kali antum katakan istilah kufu’ AKAN MUNCUL jika si wali tidak setuju maka tidak sekufu’ . 

Sinar Agama: Haydar, 

Ana kasihan sekali sama antum. Sekufu’ itu biar sebelum Islam sudah ada, apalagi cuma sebelum si ayah menolak calon anaknya dengan alasan sekufu’ itu. 

Akan tetapi yang kita bahas ini bukan istilah kufu’ sebagaimana istilahnya, tapi istilah sekufu’ setelah pemilihan wali yang dihargai dalam Islam. Yakni walinya ingin memilih yang sekufu’. 

Karena itu wali yang mau memilih sekufu’nya itu adalah hak wali dan dihormati oleh Islam dan harus ditaati si anak. Karena itu si anak tidak bisa kawin lari manakala walinya menolak calon mantu pilihan anaknya yang tidak sekufu’. 

Tapi kufu’ sebelum adanya penolakan walinya, maka istilah itu ada akan tetapi tidak wajib. Jadi, si wali dan si anak, boleh tidak mementingkan kufu’ tersebut. 

Nah, kufu’ yang antum inginkan adalah sebelum pilihan/penolakan wali atau anak, dan itu tidak wajib dijadikan ukuran dalam Islam. Dan hukumnya hanya boleh dijadikan pedoman kalau seseorang itu mau untuk dirinya atau anaknya mendapatkan yang sekufu’. Karena ia sebagai anak yang mau kawin, dan wali yang mau memilih mantu, berhak memiliki pilihan-pilihan dan kriteria- kriteria. Sama seperti ketika seseorang mau memilih yang cantik atau tampan sebagai pasangan hidupnya, atau memilih yang sudah bekerja dan menolak yang pengangguran....dan seterusnya. 

Sedang kufu’ yang saya bahas adalah setelah pilihan atau penolakan. Yakni setelah dijadikan ukuran oleh walinya. Yakni ukuran menolak atau menerima. Nah, di sini anak, tidak boleh melanggarnya dan kawin lari kalau walinya menolak pilihan anaknya tersebut lantaran tidak sekufu’. Begitu pula sebaliknya, kalau wali telah memilih calon untuk anaknya, tapi anaknya tidak mau, baik dengan alasan tidak tampan, tidak kaya, tidak sekufu’ ... dan seterusnya, maka wali juga tidak dapat memaksakan pilihannya itu kepada anaknya tersebut. 

Jadi, kufu’ sebelum pilihan/penolakan wali itu hukumnya tidak wajib walaupun ia adalah suatu kenyataan dalam peristilahan kehidupan dan fikih, tapi setelah pilihan/penolakan maka menjadi wajib ditaati oleh anak (atau bahkan sebaliknya).


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ