Jumat, 15 Mei 2020

Mut’ah (seri 11)


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/232758080102329/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 14 Agustus 2011 pukul 4:32

Alin Kaka: Salam,..maaf ustad ana pengen tanya apakah mut'ah lewat telepon karena jarak antara negara satu dngan negara lain diperbolehkan.....? Syukroon...

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Sekali lagi nikah, baik mut'ah atau daim (permanent), bagi wanita yang belum janda (belum pernah kawin dengan syah dan dikumpuli setelah itu), maka wajib ijin walinya dengan jelas, siapa calon suaminya, maharnya berapa dan tanggal berapa kawinnya (tentu kalau mut'ah juga dijelaskan kapan akhirnya).

(2). Ijin wali ini bisa dengan telepon atau surat yang penting bisa membuat si wali itu jelas semuanya. Ingat ijin ini tidak boleh diplomatik denganmemakai kata-kata yang bisa dimaknai) dengan berbagai makna. Walhasil harus benar-benar jelas dan satu pahaman antara yang meminta ijin dan yang memberi ijin.

(3). Yang diwajibkan tentang ijin wali itu hanyalah ijinnya, bukan kehadirannya dan bukan pula penikahannya. Jadi, bisa menikah sendiri setelah ijintersebut dan bisa juga wali itu tidak hadir dalam pernihakannya.

(4). Yang tidak ijin wali, maka kawinnya batal, baik mut'ahnya atau daimnya.

(5). Wanita yang tidak perawan dengan cara apapun selain dengan cara nikah yang syah dan dikumpuli setalah itu, maka dihukumi bukan janda dan tetap wajib ijin walinya.

(6). Setelah semua proses di atas itu dipenuhi, maka seorang wanita bisa menikahkan dirinya dengan calon suaminya tersebut. Dan kawin ini, bisa dengan langsung (tatap muka), dan bisa juga dengan telpon. Tetapi diusahakan bahwa jawaban si calon suami (Qobiltu-nya), tidak tertunda setelah pengucapan pengkawinan si wanitanya. Jadi, ketika istri sudah membaca akad nikah, maka suaminya langsung menjawab Qobiltu.Jelasnya, jangan ditunda dan jangan dijaraki kata-kata lain seperti "Halo-halo" dan seterusnya.

Wassalam.


Chi Sakuradandelion, Jaka Perjaka, Tri Joko Prayitno dan 11 lainnya menyukai ini.


Adzar Ali Kazhimi: YESS!!!!

Hendy Laisa: Mantap...!!!!

Adzar Ali Kazhimi: Sudah setahun lebih bilang YESS!!!!, tapi sampe sekarang belum dapat satupun... ada yang mau ngamalkan an-nur 32 dengan njodohin ana ?

Jouras Jordy: Salam. Afuan ana mau tanya. Seorang wanita boleh tidak menikahkan diri sendiri tanpa wali dan saksi pun. Wanita tersebut sudah pernah menikah. Gimana menurut hukum syah atau tidak.

Kamal AvicenNa: Ali bin Abi Thalib a.s pernah mengatakan bahwa, kekeruhan jama'ah jauh lebih baik daripada kejernihan individu. Kecerdasan individual pun tak akan pernah dapat mengalahkan kecerdasan sebuah jama'ah. Memang benar, perbedaan bukan sesuatu yang mustahil, namun yang diharapkan walaupun mempunyai kepentingan sendiri, jangan sampai menutupi kepentingan bersama untuk menegakkan qalam Ilahi di muka bumi.

Sinar Agama: Terlalu banyak dakwa yang diumbarkan para pengumbar kepentingan diri yang diatasnamakan kepentingan umum. Terlalu banyak kilah dan silat lidah demi menutupi kekurangannya. Lah, kalau umat umum sudah mengerti kebenaran, kok bisa masih mau bertahan dalam kekeruhan? Keruh yang dimaksudkan Imam Ali as itu yang dapat mempertahankan Islam secara lahiriah dan menghindarkan peperangan di dalam Islam itu sendiri. Dan keruh itu, bukan dipuja Imam. Mana ada makshum memuji keruh.

Jadi yang sudah tahu dirinya keruh atau jama’ahnya keruh, yah…dicari yang tidak keruhnya dong. Kan aneh kalau bangga dengan kekeruhan dan bahkan memerangi kejernihan dan kecerdasan? Jadi, jangan lawankan keruhnya jamaa’ah yang mengerti kekeruhan dirinya dengan kecerdasan pribadi. Jangan pula melawankan kekeruhan yang dibanggakan dengan kecerdasa pribadi. Jangan pula melawankan kekeruhan jamaa’ah akibat kepentingan diri yang diatasnamakan jamaa’ah dengan kecerdasan pribadi.

Tapi lawankanlah kekeruhan jamaa’ah yang memang naif dan sulit menjangkau kecerdasan dengan kecerdasan pribadi. Sebab umat yang keruhitu, masih bisa membendung serangan Islam dari luar dan membendung peperangan di dalam Islam sendiri. Lah, kalau umat keruh seperti ini tidak ada di masyarakat kita lantaran untuk cerdas itu terpampang di depannya, dan tidak pula menghadapi musuh dari luar, maka hadits itusudah terangkat dengan sendirinya dari umat Indonesia.

Kalau ingin hakikat maka lawankanlah kecerdasan pribadi dengan kecerdasan jamaa’ah. Nah ini yang benar. Sebab Imam Ali as pasti suka danmemerintahkan pribadi dan jamaa’ah untuk cerdas. Nah, ketika kecerdasan pribadi kalah dengan kecerdasan jamaa’ah, maka di sinilah dianjurkan secara hakiki untuk ikut jamaa’ah, bukan dianjurkan karena hanya ingin mempertahankan Islam dari serangan luar atau yang terancam peperangan di tubuh Islam itu sendiri.

8 April 2013 pukul 16:02 · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar