Tampilkan postingan dengan label Ghibah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ghibah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Juli 2020

(Masih) Seputar Ghibah


seri tanya jawab Tio Adjie dengan Sinar Agama
July 22, 2013 at 8:13pm
oleh Sang Pencinta (Catatan) pada 17 Maret 2013 pukul 8:16

Tio Adjie: Ustadz mau tanya tentang ghibah.

  1. Curhat kepada orang dengan menceritakan kejelekan orang lain tapi merahasiakan namanya, ghibahkah?
  2. Menyebutkan namanya, tapi untuk cari solusi atau untuk waspada, ghibahkah?
  3. Menceritakan kejelekan orang yang sudah tersebar luas, ghibahkah?
  4. Nonton acara gosip artis, ghibahkah?
  5. Menjelekkan orang dengan niat bercanda atau hiburan, dan orang yang diceritakan itu, setelah dikonfirmasi, mengijinkan (tidak masalah), ghibahkah?
  6. Adakah ghibah yang diperbolehkan? 
Terimakasih Ustadz. Jazakallah..

Sabtu, 07 Desember 2019

Ghibah dan Pertunangan


seri tanya jawab Zainab Naynawaa dengan Sinar Agama
July 17, 2013 at 6:43pm


Zainab Naynawaa mengirim ke Sinar Agama: (15-3-2013) Daerah Khusus Ibukota Jakarta .

Salam.. Semoga ustadz selalu dilimpahkan keberkahan umur panjang.  Afwan ustadz ghibah itu membocorkan keburukan orang lain.. jika kita komen sebuah status mencoleh atau mengundang seseorang dalam isi kalimat apakah itu termasuk ghibah?? 

Apakah ikatan perjanjian kedua pasangan itu bisa disebut telah bertunangan? Apa Definisi pertunangan menurut syariat ??? wsslm 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaaannya:

1- Ghibah itu menceritakan keburukan orang lain yang dilakukan secara tersembunyi atau diketahui satu-dua orang. 
 
2- Ikatakan perjanjian kawin atau bahkan tunangan, semuanya bisa dibatalkan. Jangankan itu, yang sudah kawin juga bisa cerai. Artinya, perjanjian itu bisa dibatalkan kalau terlihat hal-hal yang tidak positif secara obyektif, atau bahkan kalau ada hal-hal yang memberatkan atau meragukan dimana sebelumnya hal-hal seperti itu tidak ketahuan.

3-  Pertunangan itu bisa dikatakan sebenarnya tidak ada dalam Islam, tapi boleh diterima oleh Islam asal tidak melakukan hal-hal yang haram, seperti melezati pandangan, suara, tulisan dan apalagi sentuhan. 

Pertunangan yang dibolehkan itu adalah yang memiliki makna yang umum di Indonesia itu, bahwa mengikatkan diri dengan hadiah atau cincin atau janji yang semuanya diketahui orang tua dan seijin orang tua. 

Tapi kalau belum seijin orang tua dan belum diadakan pinangan, maka itu bukan tunangan dan hanya seperti pacaran.  

Jadi, tunangan adalah perjanjian kawin di masa datang yang perjanjian ini dilakukan dengan didahului pinangan orang tua lelaki kepada keluarga perempuan yang, biasanya disertai dengan tukar cincin. Hal ini, masih diterima Islam asal tidak melakukan maksiat di atas itu dan cincin untuk lelakinya tidak boleh dari emas. 

Irsavone Sabit: Afwan ustadz, saya belum paham pada bagian ini :1- Ghibah itu menceritakan keburukan orang lain yang dilakukan secara tersembunyi atau diketahui satu-dua orang.................

apakah maksudnya yang melakukan ghibah itu menceritakan aib seseorang hanya pada satu dua orang, atau hanya satu dua orang yang tahu yang kemudian pelaku gibah tersebut, menyebarkan pada banyak orang, dan apakah ukurannya hanya sampai 3 orang tersebut, berarti kalau 4 orang yang tahu atau lebih bukan lagi ghibah? 

Sinar Agama: Ukurannya umum atau tidak. Itu saja. Kalau umum, misalnya di internet, atau di jalanan, walau yang melihatnya hanya dua orang, atau satu orang, maka tidak ghibah kalau diceritakan ke orang lain.  

Tapi kalau hanya di depan 4 orang, maka jelas masih khusus dan hanya bisa dighibah kepada empat orang itu, yakni satu sama lainnya, bisa menghibahnya. Tapi kalau sudah diyakini bahwa yang mau diceritakan ulang itu, sudah lupa, maka sudah tidak boleh lagi mengenang dengan ceritanya tentang keburukan orang yang dilihat mereka berempat itu berbuat maksiat atau keburukan.  

Jadi, ukurannya umum dan khusus, bukan hanya jumlah. Kalaupun di depan sepuluh orang, tapi masih tidak publik, misalnya hanya dalam rumah atau rapat, maka tidak boleh diceritakan ke orang lain yang tidak hadir di sana. 

Zainab Naynawaa: Afwan ustadz jika pemberian hadiah tersebut sudah bisa dikatakan itu tunangan, apakah boleh jika hal tersebut kami ceritakan pada teman atau keluarga, hal ini kami lakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya ada yang tanya-tanya tentang putri-putri kami atau menghindari wanita yang ingin mendekatkan dari pada putra kami masih banyak hal-hal menjadikan alasan.. 

Sinar Agama: Zainab: Sepertinya antum belum baca jawabanku? 

Zainab Naynawaa: Afwan ustadz baru faham.. 

Sinar Agama: Zainab: Ahsantum, tunangan itu biasanya setelah terjadi lamaran resmi dari keluarga lelaki. Dan semua itu, bukan tidak boleh dirubah. Semua orang mesti mengikuti perkembangan masing-masingnya.  

Zainab Naynawaa: Nah jika pertunangan semacam itu tidak bisa dilakukan karena alasan tidak mampu atau belum saatnya...hanya dilakukan antara calon suami dan calon mertua apakah itu sudah menjadikan tunangan resmi...??? 

Sinar Agama: Zainab: Ingat tunangan itu boleh dikata hanya ada di Indonesia atau Malaysia, yang juga diistilahkan dengan tukar cincin. Karena hal itu bisa ditambah dan bisa dikurang, yakni tidak saklek. Jadi, bisa saja terjadi tanpa orang tua. Tapi hal itu kamus sendiri saja. Sedangkan kamus resminya, maka sudah pasti harus dengan lamaran dulu dari orang tua lelaki. Kalau tidak, maka hal itu syah-syah saja sebagai ikatan sementara, tapi akan mengurangi harga diri pihak perempuan. Kok bisa anaknya dipertukarcincinkan dengan lelaki tanpa pinangan orang tuanya. 

Ingat, mau tunangan kek, mau tukar cincin kek, mau dengan lamaran orang tua lelakinya kek atau tidak kek, semua itu masih sangat-sangat bisa dibatalkan sesuai dengan sifat-sifat yang tidak baik yang akan terlihat di kemudian hari. Jadi, tunangan itu sama sekali bukan kawin. Kawin saja bisa cerai, apalagi tunangan.

Zainab Naynawaa: Sangat berguna penjelasannya...syukron ustadz.  Wassalam. 

Armeen Nurzam and 21 others like this. 

Armeen Nurzam: Afwan ustadz.. pertanyan ana blum dijawab di inbox,,,syukron. 

Reyhan Ayu Reyhanna: Salam Ijin share Ustadz . 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Ray: Semua tulisanku di fb ini adalah gratis untuk apa saja dan dalam bentuk apa saja asal untuk kebaikan dan tidak diedit, tidak dirubah nama dan tidak dibisniskan walau untuk harga yang sangat sedikit.

Khommar Rudin:     اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Andri Kusmayadi: Kalau pertunangan atau tukar cincin masih bisa diterima oleh islam, nah kalau pacaran bagaimana ustad? Tentunya pacaran yang menghindari melezati surat, pandangan, apalagi sentuhan? Bagaiman ustadz Sinar Agama?

Sinar Agama: Kalau maksud pacarannya hanya sebagai semacam ikatan mau saling menunggu untuk menikah dan tidak mau menikah dengan orang lain, lalu tidak diiringi dengan segala pelezatan, baik dari sisi pandangan, pendengaran, bahkan tulisan dan telpon serta foto, maka in'syaa Allah tidak ada masalah. 

July 19 at 9:56pm



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 11 Mei 2019

Perbandingan Dosa Ghibah dan Selainnya


Seri tanya jawab Andri Kusmayadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 11:04 am


Andri Kusmayadi mengirim ke Sinar Agama: Minggu (10-3-2013) Salam. Afwan, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan. 

1. Tahapan terendah seorang muslim itu melaksanakan kewajiban atau meninggalkan yang haram? Mengingat suka ada orang yang tidak pernah shalat, tapi dia baik, tidak berzinah, mabuk-mabukan, berjiwa sosial tinggi dan lain-lain... Sebaliknya, suka ada orang yang shalatnya rajin, begitu juga kewajiban-kewajiban lainnya, puasa, khumus, dan lain-lain....tapi dia juga tetap bermaksiat kepada Allah dengan berzinah....Mohon penjelasannya..... 

2. Ketika salat zuhur berjamaah, kita masuk imam sudah rakaat ketiga, dan kita membaca alfatihah dan suratnya belum selesai, apakah itu termasuk satu rakaat atau belum sehingga harus disempurnakan ketika selesai salat? 

3. Ingin lebih paham tentang perbedaan fikih dan akhlak. Mungkin dengan memberikan contoh... seperti ini. Saya pernah membaca Imam Khomeini mengatakan bahwa ghibah itu lebih besar dosanya dibandingkan dengan membunuh atau berzinah? Nah, hal ini secara fikih atau akhlak? Bukankah, kalau membunuh atau berzinah itu ada hukumannya seperti dibunuh lagi atau dirajam, sedangkan ghibah itu tidak ada hukumannya? Demikian pertanyaan dari saya. 

Terimakasih sebelumnya. 

D-Gooh Teguh: 3. Kafir juga gak ada hukumannya di dunia. Yang kasat mata lho... bukan yang kasat-meta. 

SangPencinta: Salam, untuk no 1 kurasa ini mencukupi, 
http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/486549254723209/ 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Yang meninggalkan dosa, apapun dosa itu, maka akan ditulis dan akan disiksa atau diampuni sesuai dengan hitungan dan kebijakan Tuhan. Tapi yang meninggalkan shalat, akan menggugurkan semua kebaikannya. Karena di fikih diterangkan bahwa kalau shalat diterima maka semua amal baiknya akan diterima dan begitu pula sebaliknya. 

Sementara zina juga tidak kalah besarnya. Apalagi kalau sudah punya istri, maka hukumannya adalah dirajam. Yakni dipendam separuh badan dan dilempari batu sampai mati. 

2- Shalat makmum yang di belakang imam, hanya diwajibkan fatihah kalau tidak cukup waktu dan imam sudah pergi ke rukuk. Tapi kalau sudah membaca surat dan imam pergi ruku’, maka diselesaikan secepatnya dan mengejar imam ke ruku’. Tapi kalau belum baca surat imam sudah ke ruku’, maka surat itu ditinggalkan (tidak dibaca). 

3- Fikih itu adalah hukum Tuhan. Haramnya ghibah juga hukum fikih. Dan dalam mengerti hukum-fikih, tidak mesti ada embel-embel hukumannya, terlebih di dunia. 

Kalau bisa antum tambahkan rujukan kata-kata imam Khumaini ra itu, maka akan lebih sempurna, supaya kita semua tahu, apakah penjelasan itu memang ada dan seperti itu atau tidak. 

Sinar Agama: Teguh: Salam untuk antum dan untuk semua teman-teman. Semoga selalu dalam rahmat dan lindunganNya , amin. 

D-Gooh Teguh: Terima kasih ustadz... harapan kita hanya “Tuhan mengampuni sebagian besar dosa-dosa”. 

Sinar Agama: Teguh: Mengapa tidak mengampuni semua dosa-dosa kita??!!! he he... 

D-Gooh Teguh: Saya kutipan bebas dari salah satu ayat aja ustadz... ayat yang menenteramkan qalbu saya yang legam ini. Juga “jika Rasul memohonkan ampunan maka Tuhan akan mengampuni”. 

Pegangan ketenteraman hidup di dunia. Jadi ingat, ada juga yang terjemahnya mengampuni semua dosa-dosa. Asyik... 

Sinar Agama: Teguh: Ahsantum. 

Andri Kusmayadi: Terimakasih Ust. Sinar Agama, Sang Pencinta, dan D-Gooh Teguh atas penjelasannya... oh ya tentang pendapat imam Khomeini tentang ghibah itu ada di link ini. 
http://indonesian.irib.ir/en/hidden-2/-/asset_publisher/yzR7/content/id/5267836/pop_up?_101_ 

INSTANCE_yzR7_viewMode=print 

Imam Khomeini: Amar Makruf dan NahiMunkar Bersama Imam - Terkini indonesian.irib.ir 

Di awal kedatangan Imam Khomeini ra di... 

Sinar Agama: Andri: Ahsantum. Dalam setiap hal, memiliki berbagai dimensi. Salah satu dimensi dari ghibah itu adalah menjatuhkan orang di depan masyarakat dan membuatnya malu bahkan untuk bertaubat. Ini tentu lebih besar dari membunuhnya. Tapi dari sisi tersebut. 

Sementara kalau dilihat dari sisi menghilangkan nyawa seseorang, maka Tuhan mengatakan seperti membunuh semua orang. 

Begitu pula zina. Zina, kalau muhshaan atau zina besar, maka dipendam separuh badan dan dilempari batu sampai mati. Dosa ini terlalu besar. Tapi ghibah tidak memiliki hukum seperti ini dan taubatnyapun, menurut imam Khumaini ra sendiri cukup dengan berhenti dan (secara tersirat dipahami) harus mengembalikan harga diri orang itu di orang-orang yang diberitakan tentang keburukannya itu. Artinya, menurut imam ra tidak perlu mencari orang itu dan meminta kehalalannya. Cukup menyesal dan berhenti dan secara tersirat dipahami seperti yang di atas itu. 

Misalnya juga, menzinahi istri orang. Ini lebih dari merajang-rajang suaminya itu. Seakan telah menusukkan ribuan pisau kepada diri dan harga dirinya sebagai suami. Jadi, semua ini tidak bisa dianggap enteng. 

Akan tetapi, dari satu sisi yang lain, ghibah bisa lebih besar dari itu semua seperti yang sudah dijelaskan di atas itu. Karena zina bisa saja tersembunyi, tapi ghibah penyebaran keburukan hingga seseorang itu tidak memiliki harga dan harga diri di dunia dan di masyarakat dan bahkan bisa membuatnya lebih putus asa untuk taubat dimana hal ini tidak kalah besarnya dari semua dosa-dosa di atas itu atau bahkan lebih besar. 

Lagi pula, ghibah itu bertingkat. Semakin yang dighibah itu orang taqwa dan apalagi ulama, maka akan semakin besar dosanya, karena bisa dosa pada agama karena telah mejauhkan masyarakat dari sumber agama. 

Tapi ghibah itu memiliki syarat-syaratnya. Seperti dosanya tidak dilakukan di depan umum. 

Beda dengan kalau di depan umum, tulisan di fb atau di buku, atau rekaman di dan seterusnya. 

Dan masih banyak lagi pembahasan ghibah ini. Seperti tidak masalah menggunjing manakala di pengadilan, manakala ingin meminta nasihat pada orang yang dianggapnya bisa menyelesaikan masalahnya, atau supaya melindungi orang lain dari keburukan dan kejahatannya. 

Tambahan: 

Tujuan penjelasan ini, jangan sampai meringankan zina dan pembunuhan karena gampangnya orang melakukan ghibah dan tidak adanya hukum rajam baginya serta lebih gampangnya taubatnya. Tapi juga jangan sampai meremehkan ghibah ini karena ia dosanya, setidaknya, tidak kalah dengan dosa-dosa di atas. Wassalam. 

Andri Kusmayadi: Oh begitu ya Ustadz...terimakasih atas penjelasannya.... 

Sinar Agama: Andri: Iya, banyak sekali sudut pandang kelebihan dan kekurangan dari perbandingan satu perbuatan dengan yang lainnya. 

Misalnya dalam hal kebaikan di katakan dalam riwayat bahwa meminjamkan itu lebih baik dari memberi. Semua ini harus dipadukan dengan hal-hal lainnya, seperti kondisinya, orangnya, masalahnya, ......dan seterusnya. Karena itu, bisa satu perbuatan itu lebih besar ketimbang yang lain dari satu sisi, tapi dari sisi pandang yang lain bisa berbalikan. Karena itulah maka agama tidak bisa dipelajari dengan tidak spesifik dan dalam waktu yang lama. Dan karena itu pulalah masyarakat umum disuruh bertanya ke ulama dan karena itulah melihat wajah ulama saja bagi orang umum sudah merupakan kesunnahan yang disunnahkan agama itu sendiri. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 02 Januari 2019

Hukum Mencaci Simbol-Simbol Madzhab Lain



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:28 am

Sang Pencinta: (25-2-2013) Salam, bagaimana pandangan antum dan solusinya cara sebagian ikhwan, yang secara tajam mencaci simbol Suni. Mohon interpretasi fatwa Rahbar tentang peng-haraman pencacian simbol-simbol Suni. Terima kasih Ustadz. — bersama Sinar Agama. 


Fahmi Husein, Irsavone Sabit, Alia Yaman dan 23 lainnya menyukai ini. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Kalau secara umum suatu kata itu dipahami mencaci simbol-simbol Sunni, maka jelas haram hukumnya. Seperti mencaci tokoh-tokoh yang dihormati Sunni. Tentu saja, diskusi bukan mencaci dan mencaci bukan juga diskusi sekalipun sepintas bentuknya seperti diskusi. Diskusi bisa dilakukan, tapi tidak boleh menggunakan kata-kata pencacian terhadap tokoh-tokoh atau apa-apa saja yang dihormati saudara-saudara Sunni. 

Sang Pencinta: Terimakasih ustadz. 

Sang Pencinta: Apakah hukumnya sama bagi yang menyukai dan menikmati diskusi cacian ini (bukan pelaku cacian)? 

Doni Handoyo: Perlu diselidiki ikhwan-ikhwan yang statusnya mencaci simbol Sunni, jangan- jangan mereka Wahabi nyamar. 

Memburu Kebenaran: Maaf ustadz, apakah menjelaskan kepada orang suni, dan mengkritisi sahabat suni semacam AUU, yang banyak kekeliruan-kekeliruan dan penentanganya kepada Nabi apakah termasuk mencaci-caci simbol suni?? 

Sang Pencinta: Beberapa ikhwan mengklaim dengan diskusi/menanggapi seperti soalan di atas, membuat sudara lain hijrah ke AB, bagaimana syar’i memandang ini? Btw teringat pesan ustadz tentang pen-scan-an kitab mafatih. 

Sinar Agama: Pencinta: Sudah tentu yang menyetujui pekerjaan haram, ia akan kebagian haramnya, apalagi menikmatinya. Dan dosa pemecahan umat ini tidak tanggung-tanggung, imam Khumaini ra mengatakan bahwa yang memecah Syi’ah dan sunnah, maka ia bukan Syi’ah dan bukan sunnah. 

Dan orang-orang yang terutama bukan mujtahid itu, kalau berpendapat apapun yang menentang marja’nya, maka selain tidak berharga, ia juga merupakan dosa yang ke dua setelah dosa pertama di atas itu. Misalnya mereka mengatakan bahwa dengan mencaci dapat menghidayahi manusia. Anggap hal ini bukan ajib dan kegilaan (dimana memang ajib dan kegilaan), maka ia adalah pendapat bukan mujtahid yang menentang mujtahid dan, sudah jelas wajib ditolak oleh dirinya sendiri terutama oleh orang-orang yang tidak menaklidinya karena memang tidak boleh menaklidi orang yang bukan mujtahid. 

Sinar Agama: Doni: Memang setiap ada akun yang mencaci dan mengatasnamakan Syi’ah, tidak bisa dikatakan bahwa hal itu kerjaan orang Syi’ah. Karena itu, kita bukan mau mengecam siapapun, tapi hanya membahas hukum fikihnya. 

Memang, kalau pencacian itu terjadi bukan sekali dua kali, sekalipun dilakukan oleh orang Syi’ah sekalipun, maka ia harus dikecam dan kalau perlu diboikot dan diblokir atau dilaporkan. Karena kalau tidak, maka akan merugikan agama serta harta dan nyawa manusia yang tidak berdosa. 

Kalau mereka masih bisa menerima hidayat, semoga mereka terhidayahi dan kalau tidak, maka kita serahkan kepada Allah karena mereka sudah masuk ke dalam tajarri dan maksiat yang akan mengorbankan agama serta harta dan nyawa manusia lain yang tidak berdosa. Bagi pandanganku, mabok masih jauh di bawah dosa memecah persatuan ini, Allahu A’lam. Karena dosa mabok hanya dosa pada Allah secara pribadi, tapi dosa memecah umat, selain dosa pada Allah, juga pada agama dan semua muslimin yang akan menjadi korban baik harta atau nyawanya. 

Sinar Agama: Memburu: Kalau diskusi tersebut, tidak disertai caci maki, maka jelas bukan pencacian dan pemakian dan tidak termasuk dosa. Jadi, menjelaskan AUU dari kitab-kitab Sunni dan dengan bahasa ilmiah yang baik yang tidak disertai caci maki, maka jalas(jelas) tidak dosa dan bahkan suatu keharusan kalau diperlukan. 

Al Parta Ortega: Indahnya Persaudaraan....Salam Ustadz... 

Sang Pencinta: Ustadz SA: Fatwa Rahbar tentang ini berlaku untuk semua pengikut AB? Apakah larangan cacian dikeluarkan oleh marja lain atau mengikuti Rahbar sebagai wali faqih? 

Ikhwan Abduh: Afwan Sang Pencinta. Saya mengikuti diskusi kemarin tentang hal ini, meskipun tidak sempat komen (terlalu banyak komentar yang ngalor ngidul). 

Cuma ada 1 hal yang masih mengganjal. Memang kadang-kadang ada segelintir saudara kita terpancing emosinya. Biasanya saat tokoh-tokoh syiah dicaci maki duluan. Sehingga sebagian saudara kita ikut-ikutan mencaci. 

Namun, saya lihat kebanyakan dari mereka tidak mencaci sebagaimana “CACIAN” yang menggunakan kata-kata kotor dan tidak pantas. Namun hanya menjelaskan kebobrokan akhlak dan sejarah kelam tokoh-tokoh Sunni. Dan itu dalam lingkup diskusi ilmiah, karena tidak jarang dalilnya pun disertakan. Baik dari ayat Al-Qur’an, hadis, maupun pernyataan tokoh-tokoh Sunni / wahabi, guna mengcounter pernyataan mereka. 

Bagaimana menurut Antum ustadz Sinar Agama ? 

Sang Pencinta: IA: Di atas sudah dikatakan kata itu dihukumi cacian secara urf/umum. Apakah definisi cacian di Sumatra beda di Sulawesi? Dan di atas sudah dikatakan juga diskusi tentang ini boleh bahkan harus kalo memang diperlukan. Kalo antum mau, akan saya bawakan catatan ustadz Sinar tentang diskusi yang ustadz Sinar terlibat di dalamnya tentang simbol-simbol Suni? 

Ikhwan Abduh: Bukan begitu maksud saya. Supaya terang, baiklah saya kasih contoh. 

Tetangga sebelah ada yang mengatakan mut’ah sama dengan zina, orang syiah = anak zina, dan lain-lain. Ada yang mengatakan imam mahdi ngumpet di goa karena penakut dan sebagainya. Bahkan banyak kata-kata cacian yang saya tidak tega untuk menulisnya. 

Bandingkan dengan ketika saudara kita menceritakan tentang, misalnya: 
Abu Bakar yang merampas tanah fadak, membakar hadis, kabur saat perang, memerintahkan membakar rumah Fathimah, dan sebagainya. 

Umar yang menganggap nabi mengigau dan melarang menulis wasiat nabi, tidak tahu banyak tentang hal agama (misal: tidak tahu arti kalalah, malah yang bertanya tentang itu dihukum oleh Umar), dan sebagainya. 

Usman yang nepotisme. 

Khalid bin Walid yang membunuh sahabat dan langsung meniduri istri sahabat yang dibunuhnya. 

Perbedaan persepsi tentang mencaci itu bukan masalah di Sumatera, Sulawesi, ataupun Jawa. Semua itu adalah sejarah, yang bahkan tercatat oleh kitab-kitab Sunni. Namun oleh mereka (Sunni) malah dianggap MENCACI. 

Jika memang hal itu adalah bagian dari mencaci, lantas sejarah yang saya pelajari selama menjadi syiah adalah tak lebih dari cacian? Padahal saya kira itu merupakan fakta sejarah yang membuka mata hati saya untuk menerima syiah! 

Afwan, mohon penjelasannya. 

Ikhwan Abduh: Sang Pencinta : OK, tolong kasih link catatan tentang diskusi tersebut 

Sekali lagi, saya masih awam di mazhab AB ini. Dan terus terang saya sedih menyikapi fenomena ini. Jadi tolong untuk ustadz sinar agama dan ustadz lain yang sering online facebook bisa membantu memberi pencerahan untuk masalah ini. 

Baskoro Juragan Tahu: SIMBOL Sunni adalah AUU....Hem masih kah anda menganggap mereka saudara dalam islam jika SIMBOL mereka di bilang AUU bukan ALQURAN n MUHAMMAD saw ?? 

Sinar Agama: Pencinta, hukum fikih yang bersifat sosial-politik, wajib ditaati walau oleh para marja’ itu sendiri dan, fatwa tentang persatuan dan tidak boleh mengejek simbol-simbol madzhab lain ini, termasuk fatwa sosial-politik yang wajib ditaati oleh semua orang itu. Apalagi ratusan mujtahid dan belasan marja’ memfatwakan hal yang sama atau mendukung fatwa Rahbar hf tersebut. 

Sinar Agama: Ikhwan A: Kalau penjelasan tentang semua yang antum contohkan itu dengan bahasa yang tidak disertai kata-kata ejekan dan apalagi dilengkapi dengan nukilan referansi-referensi Sunninya, maka jelas tidak masuk dalam ejekan sekalipun sebagian wahabi, demi memutarbalikkan masalah, menuduh penulisnya sebagai pengejek. Walhasil, kapan kata-kata ejekan itu dikeluarkan kita sekalipun diselingi dengan nukilan-nukilan referensi-referensi Sunni, tetap saja tergolong ejekan. Karena yang dihukumi ejekan itu, bukan referensinya itu, tapi ejekannya itu. 

Di catatan saya, mungkin sangat banyak yang menukilkan tentang hal-hal yang antum maksudkan bahkan seperti Khalid bin Walid yang membakar hidup-hidup beberapa shahabat di depan umum, tangisan penyesalan Abu Bakar karena telah mendobrak rumah hdh Faathimah as, pengharaman mut’ah oleh Umar ...........dan seterusnya...tapi selalu saya usahakan untuk hanya menyampaikan apa adanya tanpa kata-kata ejekan. 

Karena itu, selama diskusi atau tulisan atau kata-kata kita tidak mengandung ejekan, maka ianya bukan dosa dan bukan pula memecah persatuan. 

Ikhwan Abduh: Syukron ustadz SA. Sekarang sudah terang bagi saya. Jadi intinya pada pemilihan kata-kata dalam menyampaikan kebenaran itu ya. Semoga saudara yang lain, terutama yang biasa “keras” dalam diskusi membaca dan memahami keterangan antum. Karena jujur saya banyak mendapat pelajaran juga dari mereka. Namun terkadang karena yang diajak diskusi suka nyeletuk seenaknya, mereka juga terbawa arus diskusi itu sehingga mungkin lepas kontrol dengan kata-katanya. 

Novalcy Thaherm: Ikhwan Abduh @ betul sekali ihkwan, maksud saya juga begitu. Bahkan ada yang lebih extrem lagi menyebut mereka itu agen~agen zionis. Padahal mereka itu banyak memberi pelajaran kepada saya juga, bahkan mereka mengenalkan saya kepada ustadz sinar agama untuk bertanya apa saja tentang syiah. 

Hambali Return: Saya pribadi belum pernah liat syiah bicara tanpa dalil meskipun dalam keadaan marah, ngapain gue ke syiah kalau sama dengan yang dulu saya anut. 

Zulfiqar Fawkes: @hambali : afwan agar dicermati penjelasan ustad SA baik-baik >>> Walhasil, kapan kata-kata ejekan itu dikeluarkan kita sekalipun diselingi dengan nukilan-nukilan referensi- referensi Sunni, tetap saja tergolong ejekan. Karena yang dihukumi ejekan itu, bukan refrensinya itu, tapi ejekannya itu. 

Ikhwan Abduh: Meskipun tujuannya baik, namun harap Lebih hati-hati aja, untuk koreksi kita bersama. Syukron ustadz SA yang berkenan memberi penjelasan. 

Muhammad Wahid: Iya intinya: ejekan itu diluar konteks diskusi argumentatif... Emosional terpancing, ya disitulah tantangan orang berlimu untuk lebih bersabar, harusnya makin berilmu ya makin tawadhu.. Kita harus banyak belajar, bagaimana ustad Sinar Agama dalam berdiskusi & berdialog, beliau juga suka dicaci maki tuh, tapi beliau ga pernah membalasnya dengan cacian.. Untuk teman-teman syiah yang mengingatkan teman lainnya, saya liat juga ga lepas dari tuduhan dan cacian juga.. Jangan menasehati orang kalo anda sendiri ga bersikap arif... Mungkin saja betul ada agen-agen zionist, tapi apa benar itu ditujukan kepada orang-orang yang dituduhkan, kita-kita ini ga bisa mengetahui dengan pasti tanpa bukti dan kenal orangnya langsung di dunia nyata.. Kalau mau menyikapi sikapnya yang kurang tepat dalam hal ini kata-kata cacian, ya tegurlah dengan cara yang baik juga, jangan malah saling ejek & tuduhan-tuduhan yang ga berdasar.. Sehingga ga ada bedanya antara anda (syiah) dengan mereka-mereka itu (wahabi).. Afwan. 

Sinar Agama: Ikhwan A: Itulah mengapa tabligh itu bukan kerjaan sembarang orang. Memang, satu ayatpun harus disampaikan. Tapi ayat yang dipahami dengan dalil dan, sudah tentu dengan kata-kata yang bagus. Karena yang wajib disampaikan itu bukan kebenaran, tapi kebenaran dengan cara yang benar. Dimana ada pembolehan penyampaian kebenaran Islam dengan cara bukan Islam alias diri sendiri atau hawa nafsu sendiri. 

Jadi, kalaulah bukan ulama dan ingin terjun ke dalam tabligh yang bukan bidangnya atau yang juga bidangnya, maka lakukan karena Allah hingga mengikuti cara-caraNya yang diperintahkan dalam Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi saww serta para imam makshum as. 

Karena kalau tidak, maka akan merusak islam itu sendiri dan kerja-kerja para nabi, para imam dan para ulama. 

Kalau tidak sanggup berhadapan dengan umat, mengapa memaksakan diri berhadapan? Siapa yang menyuruhnya? Mujtahid saja harus taqlid dalam hal-hal sosial-politik ini, apalagi awam yang hanya tahu satu atau dua ayat. 

Zulfiqar Fawkes: Syukron Ustadz. 

Sinar Agama: Teman-teman Semua: Terima kasih banget atas pengertian dan baik sangka dan segala kebaikannya yang antum pantulkan lewat komentar-komentar antum itu. Ana ini juga manusia biasa dan bahkan mungkin paling jeleknya. Karena itu, hati ini juga mendidih diejek orang. Tapi dari pada ana mendidih di neraka besok, maka kuusahakan sekuat-kuatnya untuk tidak keluar dari taqlid ana kepada Rahbar hf dan imam Khumaini ra yang didukung oleh ratusan atau ribuan mujtahid dimana beliau-beliau itu mewajibkan persatuan dan mengharamkan pengejekan kepada simbol yang disucikan di madzhab-madzhab lain. 

Sinar Agama: A.F: Ana juga berterima kasih untuk antum semua, semoga antum dan teman- teman lainnya, jangan sampai keluar dari fikih Ahlulbait as dimana fikih di Ahlulbait as itu bukan hanya thaharah, wudhu, mandi, shalat, puasa, haji...dan seterusnya, tapi juga masalah-masalah rumah tangga, sosial, budaya, politik, dakwah.............dan seterusnya. 

Ikhwan Abduh: Aamiin,,, insyaAlloh ustadz. 

Renito Husayno: Penjelasan ustadz inspiratif sekali. Adem. Terima kasih banyak ustadz....... 

Maz Nyit Nyit-be’doa: Sangat Mengagumkan dan mencerahkan.......... Terimakasih ustadz Sinar Agama. 

Novalcy Thaherm: Terimakasih juga ustadz sinar agama. 

Sinar Agama: Tambahan: 

Kalau ada orang mengejek atau melaknat/kecaman di depan Sunni/umum/facebook, lalu ia mengatakan bahwa ia tidak taqlid kepada Rahbar hf, maka hal itu juga sangat diragukan kebenarannya. Sebab setahu saya, tidak akan pernah dijumpai seorang marja’ yang membolehkan pekerjaan-pekerjaan tersebut. 


Kalau para pencela itu, semoga mereka masih bisa mendapat hidayah sebelum ajal menyapa amin, dengan tanpa merujuk kepada marja’ manapun itu, masih mau nekad juga mau melakukannya, maka silahkan mereka memakai nama asli di facebook ini dan alamat yang jelas, hingga orang-orang Sunni yang marah dan mau berbuat apapun kepadanya, bisa dengan mudah mendatanginya dan tidak mendatangi Syi’ah-syi’ah yang lain. Lucu amat, disuruh sopan, tetap saja nekad, tapi sembunyi di balik tembok China yang tebal hingga mengorbankan orang lain. 

Irsavone Sabit: Afwan ustadz, tidak maksud membela mereka, saya juga tidak paham sejauh mana sebenarnya menghina istri dan sahabat Rasulullah saww yang juga dikatakan menghina simbol-simbol Sunni, setahu saya nama yang disebut sang pecinta sebagian masih wajar saja sperti yang dilakukan ustadz ketika diskusi, menggunakan dan berdasarkan dalil Sunni sendiri, diskusi seperti itulah yang saya biasa saya like, kemudian ustadz apakah wajib bagi syiah untuk melaporkan mereka ini kepada yang lainnya secara terbuka, dan bagaimana jika yang melapor salah dalam mempersepsikan menghina simbol Sunni, hal ini bisa saja terpulang kepada saya jika saya yang melapor secara terbuka?.....Afwan. 

Ikhwan Abduh: Irsavone Sabit : Kemarin saya juga menanggapi seperti yang antum katakan. Namun ustadz sinar agama sudah menjelaskan. Bahwa yang demikian (membongkar sisi gelap tokoh Sunni) tidak apa-apa, bahkan dianjurkan ketika diskusi mencari kebenaran. Tapi yang tidak boleh adalah ketika berdiskusi dan berdalil namun kemudian terselip kata-kata ‘cacian’ / hujatan / umpatan yang tidak ada dalam riwayat / dalil itu, namun di ada-adakan sendiri (mungkin karena emosi dan sebagainya). Saya sendiri sangat menghormati saudara-saudara yang dimaksud oleh Sang Pencinta. Namun di sisi lain saya juga setuju dengan ustadz SA bahwa akan lebih baik lagi jika pemilihan kata saat diskusi bisa lebih arif dan bijaksana. 

Sang Pencinta: IS: Ustadz sudah menjelaskan di atas soalan seperti yang antum bawa untuk Ikhwan Abduh, afwan. 

Sinar Agama: I.S: Yang lain-lain sepertinya sudah terjawab selain yang satu ini bahwa apakah wajib melaporkan secara terbuka... 

Jawabnya adalah kalau kesalahannya itu terbuka, seperti di facebook ini, maka jelas penegurannya juga bisa dengan terbuka. Karena teguran itu, di samping nasihat bagi yang melakukan kesalahan secara terbuka itu, juga sebagai pengumuman atau ketidak ikutan bertanggung jawab terhadap yang dilakukannya, kepada diri orang itu dan khalayak ramai. Tapi kalau kesalahan orang itu tidak terbuka, maka haram dinasehati secara terbuka karena akan masuk dalam ghibah. 

Sedangkan kesalahan yang dimaksud itu, kalau fikih maka harus bersumber pada fikih dan kalau akidah maka pada akal dan Qur'an-hadits. Dan yang menasihati wajib tahu sebenar benarnya bahwa yang mau dicegah itu (nahi mungkar) memang benar-benar kesalahan dan ia tahu juga yang benarnya dalam masalah itu. Tapi kalau masih ragu-ragu terhadap kesalahannya atau terhadap kebenaran yang ia ketahui tentang ilmunya sendiri, maka tidak boleh melakukan peneguran itu karena bisa memfitnah orang dan dirinya sendiri akan mengatakan yang salah dan sesat karena ketidaktahuannya tadi itu. 

Karena itu, harus punya dua ilmu yang jelas untuk amar makruf dan nahi mungkar ini: Pertama tahu kesalahan yang mau dinasihati itu. Ke dua, ia tahu benarnya seperti apa secara pasti. 

Kalau terjadi perbedaan persepsi terhadap suatu kata, maka bisa dilakukan diskusi dan yang salah harus meminta maaf. Tapi persepsi terhadap suatu kata atau kalimat itu, harus berdasar kepada pemahaman umum dan tidak diputar-putar hingga menjadi remang. 

Wassalam. 

Marwah Ali: Alhamdulillah, aku masih di koridor dari batasan ustadz, aku ngeledeknya personalnya bukan AUU .... 

Abu Bakar Hangus: Tidak ada fatwa Ulama Faqih yang bertentangan dengan Nash .... = harga mati pemahaman atas segala sesuatu adalah inti dari persoalan. 

Abdurrahman Shahab: Kita ini masih sering terlihat kekanak-kanakan, tidak pernah merasa bersalah, mencari pembenaran atas setiap kesalahan yang kita lakukan, masih sering mengumbar hawa nafsu dan menganggap sepele persoalan besar dan penting yang didengungkan oleh para mujtahid dan pemimpin agama mengenai ukhuwah dan persatuan islam sehingga terus saja menjadikan perbantahan dan perdebatan yang memancing permusuhan adalah sebagai KEASYIKAN DAN MENGANGGAP SEBAGAI KECERDASAN SERTA DAKWAH AHLUL BAYT!!! 

Marwah Ali: Menawarkan Ukhuwah sama Nashibi, yang ga mau Ukhuwah ?, Malah kaya di Jawa Timur seperti al bayonet, gimana caranya ? 

Abdurrahman Shahab: Afwan, kalau menurut saya nashibi bukanlah bagian dari islam, yang harus dijaga ukhuwahnya, tapi tidak serta merta ketika kita menangkal fitnah nashibi (/wahabi) kita lantas membenamkan diri dengan perkataan yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan dari kalangan aswaja, karena kita menggunakan kata-kata yang menistakan simbol-simbol yang mereka mulyakan... DAN HAL ITULAH YANG SANGAT DIHARAPKAN OLEH PARA NASHIBI, AGAR KITA DIMUSUHI OLEH ASWAJA... 

Abu Bakar Hangus: Simbol: AHLUL SUNNAH = SUNNAH YANG BENAR [siapa sunnah yang benar ?], bukan simbol yang kufur. Kalau pembenaran atas fatwa itu adalah kepada Sunni maka, sama saja mengakui kebhatilan atau terus menyembunyikan kebhatilan. 

Marwah Ali: Bisa kasih contoh konkrit kalimat ini “kita lantas mebenamkan diri dengan perkataan yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan dari kalangan aswaja, karena kita menggunakan kata-kata yang menistakan simbol-simbol yang mereka mulyakan.” Afwan. 

Penganten Mercon: Salam semua--ikut nyimak. 

Marwah Ali: Hemm.... 

Marwah Ali: Kk Penganten Mercon , Group Dialog Ilmiah Sunni Syi’ah boleh terus tuh hehehe. 

Penganten Mercon: hehehe,,boleh terus gimana maksudnya. 

Marwah Ali: Selama berdasarkan Ilmiah , jangan sampe “kita lantas mebenamkan diri dengan perkataan yang dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan dari kalangan aswaja, karena kita menggunakan kata-kata yang menistakan simbol-simbol yang mereka mulyakan.” 

Penganten Mercon: Alhamdulillah, kawan-kwan semua yang ada di sana dalam menyampaikan sesuatu selalu berdasarkan ilmiyah. 

Marwah Ali: Terutama pada pinter bahasa bersayap yang bisa terbang kemana-mana qiqiqiii. 

Penganten Mercon: hehehe,,kebanyakan ikhwan syiah itu jarang bolos dalam pelajaran bahasa Indonesia, jadi ada aja bahan untuk mengembangkan sayap. 

Rizki Wulandari: Damailah Indonesiaku dengan semua perbedaan yang ada. 

Abdurrahman Shahab: Afuan Marwah Ali, ana fikir antum sudah sangat faham dengan maksud kalimat di atas.... karena kita sering terpancing dalam perdebatan, demi untuk mengungkapkan keyakinan, terkadang kita ikut menggunakan KATA-KATA CACIAN DAN PENGHINAAN terhadap SIMBOL YANG DIMULIAKAN OLEH ikhwan Sunni dan ini adalah salah satu trik yang selalu digunakan oleh para nashibi, agar kita terpancing dalam mengeluarkan kata-kata yang tidak menunjukkan akhlaq pengikut AB, dan karena kesalahan yang sering kita lakukan dalam debat- debat, yang lebih banyak membawa mudhorot dibandingkan manfaat itulah, maka timbul kebencian yang mendalam oleh sebahagian ikhwan Sunni terhadap syiah... sehingga banyak kelompok awam Sunni yang ikut terbawa emosi yang menyebabkan kebencian dan permusuhan terhadap pengikut dan ajaran syiah, sudah banyak korban yang tidak berdosa dari kalangan kita yang harus menanggung resiko atas apa yang telah kita tanamkan karena “permusuhan” yang kita anggap sebagai “dialog dan kajian ilmiah” menurut ana, dialog dan kajian ilmiah itu harus dilakukan pada tempat dan oleh orang yang tepat... Afuan... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua komentarnya yang ada di atas syariat. 

Sinar Agama: Abu: Antum ini ada dua kemungkinan: Taqlid atau mujtahid. Kalau taqlid, maka taqlid ke siapa dan mana fatwa pembolehan pencelaan itu. Kalau mujtahid, maka dari mana antum dapatkan ijin ijtihad tersebut. 

Kemudian, kalaulah antum mujtahid, maka antum juga harus taat pada paling a’lamnya mujtahid dalam urusan-urusan kebersamaan atau sosial-politik. Dan hal seperti ini, yakni wajib ikut yang a’lam itu, merupakan fatwa dari semua marja’ dalam hal-hal apa saja, baik dalam urusan taqlid atau seperti dalam perkara yang kita bahas ini dan semacamnya.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ