Tampilkan postingan dengan label Pluralisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pluralisme. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 April 2021

Sekelumit Bantahan Atas Ayat Yang Dianggap Sebagai Ayat Pluralisme


seri tanya jawab Tony Kohar dengan Sinar Agama. http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326161304095339/ by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 20, 2011 at 10:13pm


Tony Kohar: Salam ya ustadz.., mohon penjelasan Al-Baqarah ayat 62 yang terjemahannya sebagai berikut : ”Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. 2:62). Ayat ini benar- benar membingungkan saya.. sekali lagi mohon penjelasan tafsir ayat tersebut.. syukron.

Selasa, 12 Mei 2020

Hidayah Takwiniyyah-Tasyri’iyyah, Fungsi Akal, Akal Gamblang dan Sitiran Terhadap Pluralisme


Tanya-jawab: Al Louna dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/?id=231334233578047 by Sinar Agama (Notes) on Monday, July 25, 2011 at 2:47am

Al Louna: Salam ustadz, tolong jelaskan tentang hidayah:

1. takwiniah (langsung dari allah)
2. tashri’ayah (tidak langsung)

lalu apa perbedaan hidayah dan mu’zizat?..

Sabtu, 06 Oktober 2018

Dialog Tentang Pluralisme



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra, pada 28 Juni 2011 pukul 20:52



Sabara Putra Borneo: Teologi Pluralisme: “Hanya DIA yang Tunggal, selain DIA adalah plural”. 

Sinar Agama: Kata-kata antum itu bermakna: “Hanya Dia yang Tunggal, selainNya adalah beda- beda tetapi sama-sama benar.” Jadi artinya “Dia/Haq itu bisa tunggal dan bisa tidak tunggal, karena semua pandangan adalah benar.” Semoga antum segera taubat dari jalan-jalan di tepian agama dengan menyiarkan agama. 

Pluralisme bukan plural. Yang pertama bermakna sama-sama benar (lihat buku John Hick sang bapak Pluralisme), sedang plural adalah banyak atau majemuk. Tetapi plural di kata-kata antum di atas itu kita maknai pluralisme, karena judulnya adalah “Teologi Pluralisme”. 


Sabara Putra Borneo: Siapa yang bilang kalo yang beda-beda itu sama-sama benar? Kok kesimpulan antum sampe kesitu? 

Sinar Agama: Ketika antum katakan selain Dia itu adalah Plural, dan maksud Plural di sini adalah Pluralisme (semua yang berbeda sama-sama benar), maka arti tulisan antum itu seperti itu. Dengan demikian semua akidah tentangNya, karena temasuk selain Dia, maka Pluralisme, yakni sama-sama benar. 

Sabara Putra Borneo: Afwan antum membatasi defenisi pluralisme sebatas yang diucapkan oleh john hick saja. 

Afwan. Dengan defenisi John Hick tentang pluralisme antum langsung memberikan judge tunggal tentang pluralisme bahwa yang majemuk itu sama benarnya. Bukankah masih banyak tokoh- tokoh yang mendefenisikan pluralisme bukan pada penyamaan kebenaran sebagamana john hick? Sekalipun John Hick dianggap sebagai bapak pluralisme, dapatkah defenisi pluralisme hanya dapat diambil dari dia saja? 

Augusto Comte disebut sebagai bapak sosiologi, tetapi apakah pendefenisian & penjelasan tentang sosiologi hanya bisa melulu dari dia? 

Afwan apakah antum yang menyatakan/mengkalaim diri sebagai sinar agama telah berjalan di tengah-tengah agama? Afwan. 

Sinar Agama: Sabara, Inilah akibat berjalan di tepian, tetapi merasa di kedalaman dan menerangi manusia lagi. Belajar dulu mas Islam itu dengan benar. Ini tentang agama. Tentang Pluralisme itu adalah bahasa yang sudah diletakkan pada arti kata keseharian oleh peletaknya. Dan alam bahasa istilahnya sudah diletakakan pula oleh pencetusnya, yakni John Hick. Jadi, kalau antum mau buat bahasa tersendiri silahkan saja, tetapi untuk antum sendiri. Dan kalau masalah Pluralisme ini, maka orang yang layak didengar maknanya adalah Peletaknya, bukan tokoh. Antum jangan menutupi kekurangan dengan yang lebih menghancurkan, karena malu-maluin. 

Sekarang kalau kita mau keluar dari makna yang meletakkannya, maka silahkan antum katakan apa maksud antum itu. Tetapi ingat bahasa kita sudah tidak lagi bahasa paten, jadi sudah karangan sendiri. 

Nah, ok sekarang dengan bahasa sendiri itu, tolong terangkan maksud antum itu apa. 

Kalau aku pakai bahasa antum, yakni ngarang-ngarang sendiri, atau tidak merujuk kepada peletaknya, maka sinar agama itu bisa kumaknai dengan sinar matahari, yakni maksud agama adalah matahari. Nah, kalau hal itu terjadi, jadi bahasa kita ini sendiri-sendiri. Lalu mengapa harus ada dialog? Antum tanya aku ini sudah dalam agama selalu atau tidak. Maka kujawab iya, yang maksudnya tidak. Atau kujawab tidak yang maksudnya iya. Atau kujawab iya dan tidak dilihat dari karepku sendiri dan dari dimensi-dimensi yang berbeda-beda. Kan kacau kalau ghitu mas? Lalu anggap aku berbahasa dengan yang paten, lalu apa gunanya mengatakannya kepada antum yang tidak punya ukuran kebenaran agama? Karena kalau kubilang aku di jalan agama, antum mau jawab apa? Dan kalau kujawab tidak selalu dalam agama, maka antum juga bisa berkata apa? Aku mengira kalau kubilang selalu dalam agama antum akan cenderung tidak percaya dan kalau kubilang tidak selalu, maka antum akan cenderung percaya? Jadi, heran banget apa hubungannya namaku dengan kesalahan antum tentang pluralisme itu? Apa maksudnya kalau aku sesekali salah berarti antum mengakui kesalahan antum? Tetapi dari koment-koment antum ini antum sepertinya tidak ngakui. 

Yono Jelangkung: Guru Sabbara, kadang pluralisme susah di terapkan kehidupan sosial, tetap ada sentimen mayoritas dan minoritas, kaum minoritas selalu di abaikan. 

Sinar Agama: Mas Yono: Tunggu dulu mau dia itu apa dari kata Pluralisme itu. Karena dia mendakwa memiliki makna tersendiri yang tidak dibuat oleh pencetus dan penemunya (John Hick). 

Yono Jelangkung: Guru Sabbara dia yang tunggal, selain dia plural, maksudnya ? 

Sinar Agama: Mas Yono: Plural di kalimat itu akan ditentukan maknanya dari kata Pluralisme di awal kalimat statusnya itu. Nah, biar dia sendiri jelasin dulu “Opo kareppe”. Dan biar dia juga sebut tokoh yang mengatakannya itu, supaya kita tahu tokoh itu pengarang pluralisme itu atau ikut-ikutan dan salah, seperti almarhum cak Nur dan Abdurrahman Wahid... 

AnZi Ahmad: Salam. Afwan ustadz, ana coba untuk memahami pemaparan ustadz tentang pluralisme dan plural, mohon koreksinya: 

Ketika ustad membedakan antra pluralisme dan plural, apakah garis pembedaannya itu karena pluralisme jadi bermakna lain dari plural karena telah menjadi pandangan-dunia (di isyaratkan dengan -isme)? 

Kemudian, ketika ustad menyatakan pluralisme = berbeda tetapi benar semua. Siapakah yang menjadi sumber adanya perbedaan? Kalau Allah yang menjadi sebab, apakah teori pluralisme di atas menjadi benar? Karena semua perbedaan itu bersumber/bersebab dari al haq. Mohon koreksinya stad. Syukran. 

Sabara Putra Borneo: Kenapa sebuah istilah harus dibatasi maknanya menurut pencetusnya? Berart (misalnya) makna istilah sosiologi dibatasi berdasarkan maksud pencetusnya (Augusto Comte)? Ohya, bagaimanadengandefenisi& kategorisasi pluralismeyangdibuat oleh Legenhausen yaitu pluralisme aletic, pluralisme soteriologis, pluralisme epistemologis, & pluralisme deontis (& Legenhausen sepakat dengan istilah terakhir), apakah yang dilakukn Legenhausen ini salah? Btw, ada yang salah ga dari proposisi: selain DIA adalah plural? Kalaupun dilekatkan dengan pluralisme yah proposisi inilah yang menjadi basis teologis mereka, selain DIA plural, adalah sebuah fakta. Pemahaman tentang DIA saja berbeda-beda (plural) & tidak selamanya didudukkan dalam nalar benar-salah, perbedaan tersebut bisa juga disebabkan tingkatan pemahaman yang brbeda. Oh ya, antum suruh saya belajar Islam yang benar, maksudnya yang benar yang sesuai dengan yang antum pahami ya? Hehehe... Hebat. 

Sinar Agama: Anzi: Salam dan terimakasih atas pertanyaannya, karena sepertinya aku yang ditanya: 

(1). Plural itu artinya “majemuk”. Itu arti katanya. Akan tetapi setelah John Hick mengalami proses batin nan bergejolak, ia mencetuskan apa yang ia istilahkan sebagai “Pluralism”, yakni “Kebenaran Majemuk” atau “Semua Benar”.

(2). Peristiwa itu bermula dari pergaulannya. Ia yang beragama Nasrani itu, banyak memiliki teman-teman dari agama lain. Terutama Islam/muslim. Teman-teman dia itu, setelah ia perhatikan, juga sangat taat dalam beragama sesuai dengan agamanya masing-masing. Terutama muslim yang tiap hari melakukan lima kali shalat, tidak mabok-mabokan, tidak judi, tidak zina dan seterusnya. 

Akhirnya batin dia bergejolak dan berkata, masak iya orang-orang taat ini, walaupun salah dalam agamanya, akan diazab oleh Tuhan Bapak? Jadi, batin dia itu berantem dalam dirinya dengan keyakinannya selama ini, terutama dengan apa-apa yang sering didengarnya dari pendeta-pendeta gereja. 

Akhirnya, renung punya renung, dia menuliskannya dalam bentuk makalah-makalah yang diseminrkan dan kemudian dikumpulkan menjadi buku. Nah, ia dalam tulisannya itu membuktikan dengan dalil, kebenaran kayakinannya yang mengatakan “Semua agama dan bahkan pemikiran apapun itu adalah benar”. Karena “benar” bagi dia, bukan yang sesuai dengan obyeknya, tetapi karena sangat dipengaruhi oleh subyeknya. Karena tidak ada ukuran nyata yang, sekalipun dikatakan obyek. Yakni semua obyek itu tetap subyek, yakni subyeklah yang menentukan ke-obyekan obyek itu. Tentu saja banyak lagi dalil-dalilnya. 

(3). Antum “kalau” tidak mengalami pendidikan sistematis akademis tentang filsafat agak susah memahami dimana letak tindihan dan kekuatan argument itu dan bagaimana membantah- nya. Memang, secara umum bisa digambarkan dan dipahami, tetapi pahaman yang tidak menge-ruh dan membatin, yakni hanya pahaman badaniah saja, alias lahiriah. 

Beberapa tokoh kampusan Iran (yang ada) sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari yang terpengaruh dengan keyakinan dia itu. Seperti Syurus. Syurus ini memperkaya dalil-dalil Hick itu dengan dalil Qur'an, Islam dan filsafat serta Irfan dimana sebagiannya tercium dalam pertanyaan antum itu. 

Salah satu dalil Syurus adalah dalil irfan yang ringkasannya sebagai berikut: 

Syurus berdalil bahwa sumber semua yang ada di alam ini, apakah nabi atau iblis, Musa as atau Fir’un, semuanya bersumber dari al-Haq. Yakni materi (yang memiliki salah-benar) dari Malakut (barzakh), Malakut dari Jabarut (makhluk-makhluk Akal) dan Jabarut dari al-Haq. 

Artinya semua warna dan beda, bersumber dari Maha Sederhana, yakni Al-Haq. Karena itu, maka Musa as dan Fir’un di dalam maqam Ahadiyyah, yakni di Zat al-Haq itu, adalah bertemu dan sama. Jadi, semua beda adalah benar semua, karena dari Dia dan menyatu di Dia. 

Si Syurus ini, sekalipun merasa guru filsafat, tetapi sangat dangkal, karena di Iran, kekuatan filsafat itu ada di Hauzah (pesantren) bukan di kampus (hal ini diakui barat, sekalipun filosof medern), maka ia lupa bahwa secara umum tidak ada orang yang sampai ke maqam Zat Tuhan itu. Artinya, sekalipun hidayah dan sesat bersumber dariNya, sebagai Tuhan Tunggal (tidak seperti yang meyakini Tuhan baik yang buat kebaikan dan Tuhan jahat yang mencipta kejahatan), akan tetapi terlepasnya nilai buruk itu, yakni semuanya menjadi benar dan baik serta Haq, hanyalah di maqam Zat Tuhan itu. 

Padahal kita, membicarakan hal-hal yang di bawah, baik di alam materi sebagai maqam terendah yang di dalamnya terdapat kandungan nilai-nilai akhlak dan kebiasaan (karakter), atau di Barzakh sebagai tempat Surga dan Neraka. 

Jadi, memang bisa dikatakan bahwa yang di bawah itu adalah manifestasi dan bersumber dari yang di atas (al-Haq), akan tetapi tanggung jawab dan balasannya juga bersumber dari atas, dan kita tidak akan pernah naik ke atas (Dzat Tuhan). 

Artinya, sekalipun Fir’un itu tajaalli murka Tuhan, tetapi ia bukan terus menjadi Tuhan dan tidak tersiksa. Bahkan sebaliknya, ia akan sangat tersiksa, karena dia hanya manifestasi secara selamanya (sebab selamanya siapapun tidak bisa jadi Tuhan). 

Bagitu pula, yang di atas (al-Haq), menghendaki kita mengikuti tajalli hidayahNya, bukan murkaNya, dan kita diberinya akal dan ikhtiar. Jadi, yang sesat harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. 

Maksud saya, bahwa sekalipun Fir’un itu tajalli murka Tuhan, tetapi dia telah mengingkari tajalli hidayah Tuhan dengan ikhtiarnya sendiri dan harus mempertanggung jawabkannya, yakni masuk neraka dan kepanasan tersiksa di sana dimana neraka itu juga tajalli dari Tuhan tapi dari sisi murkaNya, bukan ridhaNya. 

(5). Kalau di tingkatan lokalan Indonesia, sepertinya banyak yang salah memahami Pluralism ini dan rata-rata mengembalikannya ke makna katanya itu, yakni “Plural” dan “Majemuk”. Saya sendiri sekitar 15 th lalu pernah baca makalah almarhum Cak Nur yang mengatakan bahwa kita mesti hidup “Plural” dalam penjelasannya tentang “Pluralisme”. Artinya, kita harus mengakui keberadaan agama-agama lain dan menghormatinya. Nah, ini namanya “Toleransi”, bukan “Pluralisme”. 

Saya juga pernah ditanya tentang pendapat almarhum Gus Dur yang sependapat dengan Cak Nur itu. Jadi, Pluralisme bukan bermakna menghormati perbedaan karena hal itu adalah Toleransi. Akan tetapi Pluralisme itu bermakna semua agama dan apapun pandangan, adalah benar. 

Kesimpulan sementaranya: 

(a). Maksud “Pluralisme”, sesuai pengarang nama, kata dan istilahnya, bukan pengarang rumus dari sebuah nama (misalnya sosiologi), adalah semua agama dan bahkan semua pandangan, seperti Marxisme dan Kapitalisme adalah benar. 
Karena kebenaran agama dan pemikiran, tergantung penilai Subyeknya (subyektif) dan tidak akan pernah menjadi Obyektif. 

(b). Karena itu kebenaran di Pluraisme adalah kebenaran siapa, bukan kebenaran sesuai nyata karena baginya yang dikatakan nyata itu juga subyektif yang bukan nyata yang sebenarnya. 

(c). Perbedaan itu mencakupi semuanya, mulai dari agama, pemikiran, ide-ide dan pemahaman agama dan seterusnya dari semut terkecil sampai kepada Tuhan Yang Maha Besar. 

(d). Ingat, tekanan dan maunya Pluralisme ini adalah di dalam bidang “Keyakinan”, sedang “perbuatan” itu hanyalah sebagai aplikasinya, bukan dasar dari pemaknaan “Pluralisme” yang dimaksud. 

Kesimpulan Akhir: 

Jawaban terhadap pertanyaan antum tentang kebenaran semua beda karena kebersumberannya dari al-Haq, sudah dapat dirasakan. Yakni, sekalipun sudah merupakan keseyogyaniaan, bagi yang mayakini Satu Tuhan, bahwa semua benar dan salah itu bersumber dariNya, yakni pahaman dan aplikasi salah dan benar itu bersumber dariNya, karena keduanya adalah ada, dan yang ada adalah dariNya, akan tetapi kita tahu bahwa kita ini bukan Dia. 

Artinya, kita bukan Dia yang Maha Tidak Berangkap. Kita adalah hakikat rangkapan-rangkapan yang warna warni dimana yang satu benar dan yang lainnya yang bertentangan dengannya adalah salah. 

Jadi, di sini, di derajat ini (bukan di derajat Zat Allah) ada yang namanya keberadaan yang tidak terpengaruh dengan akal dan aplikasi kita sebagai manusia. Itulah yang kita katakan kenyataan. 

John Hick juga kenyataan. Kalau kita ikut John Hick, keberadannya pun harus diingkari dan apalagi pikirannya. Karena kesungguhan adanya Hick tergantung pada subyeknya (kita-kita), apakah ia dihitung ada atau tidak, berfikir dan punya ide atau tidak, punya kepercayaan atau tidak. Padahal, pasti Hick tidak menginnginkan hal ini, karena itu ia menulis dan berseminar. 

Nah, kalau dia-nya sendiri dan audiennya itu, ada-tidaknya tergantung kepada subyek penilainya (subyek), maka tidak mungkin akan ada pemikiran, tulisan dan seminarnya itu, dan debat-debat yang ada di ruang seminarnya itu. 

Nah, ketika kita mengakui adanya kenyataan dan keberadaan, maka itulah yang akan dijadikan ukuran kita menilai ilmu-ilmu kita itu apakah benar atau salah. Karena itulah dalam logika ada Ilmu Mudah dan ada Ilmu Pikir. 

Nah, Ilmu Mudah itulah yang jadi ukuran kebenaran Ilmu Pikir, dan dijadikan premis-premis untuk membuktikan kebenaran Ilmu Pikir/dalil. Seperti ilmu panca indra dan semacamnya yang menjadi landasan bagi ilmu-ilmu pikir dan dalil. 

Jadi, Tuhan, satu atau tidak dalam pikiran manusia, tidak akan terpengaruh karenanya. Bagitu pula alam ini, agama ini, surga neraka ini, ide-ide ini, sosial politik ini, budaya ini dan seterusnya. 

Artinya wujud nyatanya tidak akan terpengaruh dengan apa yang dipahami manusia. Kalau si Sabara ini mengatakan Tuhan Tunggal, itu hanyalah pandangan dia. Belum lagi apa maksud tunggal disini, itu hanya ide dia. Coba saja tanyakan apa arti Tunggal padanya, pasti dia tidak akan bisa menjawab dengan benar. Karena dalam aplikasi, dia kadang menentang ke-TunggalanNya itu. Saya tahu, dia tidak sengaja melakukan itu, artinya kedangkalannya memahami Tunggal itu, akan tetapi sebab-sebabnya, bisa saja disengaja. Misalnya tidak mau belajar agama, atau malas 

belajar agama yang akademis, tetapi merasa tahu tentang agama dan bahkan mengajar orang. 

Kalau dia tahu makna Tunggal, maka pasti dia tidak akan melakukannya, apalagi mencerca orang yang belajar agamaNya dengan berkata “apakah kamu selalu benar dalam agama”. Padahal, apa hubungan salah dengan tanggung jawab dan usaha? 

Apakah kemestian adanya salah pada setiap insan bisa dijadikan alasan untuk tidak profesional? 

Jadi, kebenaran itu ada standarisasinya dimana dengan itu manusia ini juga bisa berkomunikasi, berdialog dan tukar pendapat. Karena kalau tidak ada standarisasinya, maka semua itu tidak akan terwujud. Nah, kebenaran itu harus bersumber kepada ilmu-mudah, dan dalil gamblang, karena sekali lagi, hal-hal mudah dan gamblang itulah dasar pikir kita dan hidup kita serta sosial kita ini. 

Tambahan

Hal mudah dan gamblang itu bisa mengantar manusia bahkan untuk memahami Tuhannya sekalipun. Jadi, jangan remehkan yang mudah dan gamblang itu. Karena ia adalah alat tunggal untuk memahami apapun hakikat dan kenyataan. Karena itulah di filsafat, selama argumen itu belum bersandar pada Ilmu Mudah, maka ia belum dikatakan argumentatif. Wassalam untuk Anzi. 

Untuk Sabara

(1). Ana sebenarnya tidak ingin heboh dengan antum karena setidaknya kita sama-sama muslim dan syi’ah. Karena itulah, maka ana tidak langsung tancap gas. Karena itulah saya, sedikit- sedikit menaikkan tancapan gasku. Jadi, afwan dalam hal ini. 

Bagi ana tidak penting antum percaya atau tidak, menerima atau tidak, karena aku bukan Tuhan dan Nabi serta bukan juga ukuran kebenaran. Karena ana hanya melakukan yang kurasakan secara GR sebagai tugas dan kewajiban (itupun secara relatif). Dan yang ke dua, yang penting bagi ana, adalah menuliskan sebagai perbandingan untuk orang lain yang membacanya. Biar mereka menilainya sebelum kita nanti melihat penilaian Tuhan di akhirat. 

Jadi, siapkanlah dalil-dalil antum di sana, karena lebih berat dari di dunia ini. Ana juga akan mempersiapkannya semampunya, sejujur dan seakademis mungkin.

(2). Ana menyuruh antum belajar Islam itu adalah demii antum sendiri. Dan belajarnya sudah pasti yang akademis, metodologis, bukan otodidak yang biasa melahirkan pemahaman- pemahaman siksak dan berubah-rubah dari setiap halaman buku yang dibacanya. Belajar Islam itu tentu di sekolah Islam, kampus Islam atau pesantren dan hauzah Islam. Itu kalau antum mau jadi guru dan menulis-menulis tentang agama. 

Tetapi kalau mau untuk diri sendiri, ya di kajian-kajian, buku-buku, bulletin-buletin, status- status dan seterusnya, juga boleh dan harus. Tetapi kalau mau jadi guru kek, pemikir kek, penulis kek, pentrainer kek...dan seterusnya, maka harus belajar secara akademis. 

Dan antum harus tahu bahwa kalau sudah belajar, bukan berarti terus menjadi benar. Saya yang puluhan tahun belajar ini, sangat-sangat ketakutan padaNya, jangan-jangan banyak tulisan dan ceramah-ceramahku yang salah atau tidak ada yang benar sama sekali. Karena itu, kita akan tahu salah benarnya, kelak di akhirat. 

Tetapi di dunia ini, kan sudah menjadi konsekuensi ilmiah dan akal sehat untuk tidak sembarangan, apalagi diskusi di fb yang dilihat orang banyak. Dalam kesendirian saja, kita tidak boleh sembarangan karena akan dipertanyakanNya kelak. Jadi, belajar agama tidak mesti berpandangan benar, apalagi sama denganku, tetapi usaha secara akalis dan akademis untuk tidak ceroboh, itu saja. Dan itu adalah tanggung jawab kita. 

Dalam bidang selain agama juga begitu. Antum tidak bisa mengoperasi ginjal orang kalau antum bukan dokter dan bukan ahli bedah. Padahal untuk jadi dokter bedah itu, paling-paling 10 tahun sudah cukup. Tetapi menjadi sarjana agama, 20 tahun bisa sangat tidak cukup. Jadi, kalau aku menyuruh belajar agama, itu kalau antum mau jadi pendakwah. Dan belajarnya terserah, tetapi tidak otodidak. Seperti jangan otodidak belajar kedokteran supaya pasien antum tidak mati. Dan kalau otodidak dalam agama, bisa-bisa pasien antum masuk neraka. 

Ingat, kesalahan yang tidak akan dimaafkan Tuhan adalah yang dilakukan dengan ceroboh, bukan yang sudah hati-hati, tulus dan akademis. Antum kalau dimarahi dokter karena membedah ginjal orang, tidak bisa berdalil dan mengatakan “Emangnya dokter tidak pernah salah?” Karena tanggung jawab asli kita itu bukan di salah benarnya, tetapi di tidak cerobohnya dan di mestiprofesionlannya itu. Inilah ruhnya Deontis, sebagaimana yang akan saya ulas secara awam di bawah ini. 

(3). Kalau Legenhausen itu, semoga Tuhan meninggikan derajatnya, sudah tentu bukan pencetus Pluralisme. Karena itu maka dalam penjelasannya tentang Pluralisme, dimana ia mengakui tentang makna yang diberikan Hick yakni “benar semua”, akan tetapi dalam masalah deont atau aksinya, ia mengatakan bahwa Islam menerima hal itu. Ini adalah kontradiksi dia. 

Karena dalam “Aksi” tekanannya kepada profesionalisme yang biasa saya katakan akademis kalau dalam hal ilmu. Yakni kalau boleh dikatakan dengan ekstrim, deontis itu maksudnya tergantung kepada pelaksanaan tanggung jawab. Jadi, kalau seseorang telah melakukan kewajiban akidah dan aplikasinya dengan profesional secara akalis, maka sekalipun salah, akan tetap dimasukkan ke surga. Nah, Legenhausenpun menyandarkah hal ini kapada syahid Muthahhari ra dalam buku ke-Adilan Ilahinya. 

Artinya berdasar pada ke-Adilan Tuhan, maka siapapun yang telah melakukan tanggung jawabnya dengan profesional, maka layak mendapatkan ganjaran dan surga, sekalipun salah. Karena kesalahannya pasti tidak disengaja atau tidak semi disengaja (seperti tidak belajar agama secara akademis, tetapi menjadi pengajar agama, dan kalau ditegur mengatakan “Kamu yang ustadz juga belum tentu benar atau tidak selalu benar”). 

Jadi, kalau seorang itu sudah benar-benar berusaha dan profesional, misalnya tidak belajar agama ke dokter gigi atau sarjana ekonomi, atau sebaliknya, maka ia layak mendapat ampunan dan bahkan pahala dalam kesalahannya itu. Karena dilihat dari usahanya tersebut. 

Nah, semua itu, bukan Pluralisme, karena bukan pembenaran kepada semuanya. Akan tetapi, yang benar masuk surga dengan keridhaanNya, dan yang salah masuk surga dengan ampunanNya (tentu bagi yang sudah gigih secara profesional itu). 

Karena itulah Legenhaussen berkata –yang isinya kurang lebih- bahwa kalau Islam tidak perlu Pluralisme, karena ia sudah memiliki konsep ke-Adilan Tuhan itu. Tetapi kalau Masehi, dimana nabi Musa-pun dan nabi-nabi sebelum nabi Isa as, tidak bisa masuk surga karena belum dibabtis (tetapi tidak dimasukkan ke neraka karena tergolong orang-orang yang baik, karenanya akan diletakkan di tempat yang tidak sakit dan tidak nikmat), maka mereka dalam melihat kenyataan keberbedaan yang alami karena jaman dan tempat yang beda ini, sangat perlu kepada Pluralisme. Artinya untuk mencari pemecah masalah perbedaan, hingga selain Masehi juga bisa masuk surga. 

Akan tetapi, seakan-akan Legenhaussen lupa bahwa pemasukan orang salah ke surga dalam Islam, tidak lewat pembenaran, tetapi pengampunan. Sementara kalau Pluralisme, melewati pembenaran terlebih dahulu, atau pemasukan ke Masehi dulu seperti pandangan Raner. 

Jalan yang diambil oleh Raner, yang menganggap orang baik itu, sekalipun Islam atau Budha, adalah sebagai Masehi di Mata Tuhan, tidak dianggap cukup oleh Hick untuk mengasasi Pluralismenya. Karena itulah ia mencetuskan Pluralismenya itu yang, terus menjadi dasar bagi pemikiran-pemikiran barat baik Liberalisme, agama, politik...dan seterusnya. 

Dengan demikian, maka deontis itu adalah Islam yang berdasar kepada aksi dan tanggung jawab profesional yang sesuai dengan ke-Adilah Tuhan. Artinya yang benar layak mendapat 2 pahala karena usaha dan benarnya, sedang bagi yang salah layak mendapat satu pahala karena usahanya dan satu ampunan karena ketidakcerobohannya. Ini adalah Keyakinan Islam, Bukan Pluralisme. 

Jadi, kalau ini maksud antum, maka jangan berteriak bahwa hal di atas itu keyakinan Pluralisme. Karena ia adalah Islam. Islam adalah Islam, dan Pluralisme adalah Pluralisme. 

Tentang masalah plural dalam status antum itu, sudah ana jawab dengan jelas di komen sebelumnya, harap renungi dengan baik, kalau mau. 

Tambahan

Sebagai tambahan: Untuk Legenhaussen itu (semoga Tuhan meniggikan derajatnya), sekalipun beliau bisa dihitung adik kelas sepupu dari hamba hina ini dalam filsafat Islamnya, dan sekalipun beliau itu adalah doktor dalam filsafat baratnya, begitu pula, sekalipun beliau itu penuh fadhilah dan kemuliaan dalam bidang keilmuan (semoga Tuhan mengganjarnya hingga bisa bersama para imamnya) dan sangat kuhormati, namun sekali lagi, bukan ukuran penilaian terhadap Pluralisme ini. 

Jadi, hanya bisa dijadikan bandingan bagi kakak kelasnya, sekelasnya dan seperingkatnya. Artinya tidak dijadikan panduan dasar bagi penilaiannya. Semoga Tuhan selalu menyertai orang-orang yang mengutamakan pencarian dari pemberian, tapi bukan pencarian yang diniatkan untuk pemberian. Dan semoga Tuhan memaafkanku yang kadang merasa harus tancap gas karena kecemburuan dan kecintaan yang tiada batas bagi sesama manusia ini, amin. Wassalam dan afwan. 

Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Eman Sulaeman dan 10 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Eman Sulaeman: Allahumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad. 

Muh Kasim: Allahumma sholli alaa Muhammad Wa aali Muhammad....mantaap Sinar Agama. 

Agil: Ahsantum.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 17 Agustus 2018

Lensa (Bgn 1) : Analisis Kritis Pluralisme dalam Al Quran « HMINEWS.COM.



Oleh : Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:44


Ketahuilah bahwa di Iran sempat muncul beberapa saat tentang pemikiran pluralisme ini, tetapi dengan gigihnya ulama dan Sayyid Ali Khamenei Rahbar kita, maka usaha Sayaurus dan sebangsannya untuk menyebarkan pluralisme ini menjadi mentah total. 

Dalam makalah yang jauh dari keselarasan dan penuh dengan kontradiksi itu, serta jauh dari spesialisasi Qur'an, penulis telah me-robek-robek tatanan berfikir logis-filosofis dan tentu saja me-robek Qur'an itu sendiri. Dan dengan tanpa memahami dasar pemikiran Rahbar kita hf, penulis juga telah merendahkan petuah-petuah Logis, filosofi dan agamisnya, menjadi sastrais- sayaairis, na’udubillah. 

Mungkin orang-orang mengira bahwa buku-buku semacam karya Sayaurus tersebut seperti “Jalan-jalan Lurus Yang Banyak” telah diberangus di Iran oleh para intelektual dan ulama serta Rahbar hf. Sama sekali tidak. Tetapi yang diberangus itu adalah dalil-dalil dan argumennya yang sastarais yang berusaha menipu manusia menjadi logis, filosofi, agamis dan Qur’anis. 

Mungkin juga Anda berkata, bahwa “Kalau ghitu berarti plural dong higga tidak dilarang bukunya terbit? “ 

Jawabanya: “Iya Plural, tetapi bukan Pluralisme”. Plural yakni majemuk, dan konsekwensinya adalah Toleransi, Bukan Pembenaran. Sementara kita tahu (bagi yang tahu bukan sok tahu), Pluralisme adalah “Semua agama dan pemikiran adalah benar” seperti yang dibawa penciptanya John Hick, walaupun dia juga terilhami dari beberapa Pastor dan tulisan-tulisan lama sekiter(sekitar) abad 18. 

Penulis makalah di situs ini, bukan hanya tidak tahu Qur'an yang memang tidak pernah ia pelajari dengan sistematis dan akademis, tetapi tentang pemaknaan dan konsekwensi Pluralisme ini saja dia tidak memahami hakikatnya. Dia kadang-kadang menukik ke Pluralisme, kadang turun lagi ke Plural. Maju mundur dan turun naiknya pemikirannya menandakan ketidakjelasannya dalam masalah ini. Buru-buru tentang Qur'an yang dia jelaskan sok tahu padahal jelas tidak pernah mempelajarinya secara akademis. 

Inti kebenaran Islam, terkhusus yang dibawa oleh Ahlulbait as, adalah Kebenaran Agama itu Satu, begitu pula tentang madzhab. Tetapi bukan berarti agama dan madzhab yang tidak benar itu mesti masuk neraka. Tidak sama sekali. Yakni, orang yang beragama atau bermadzhab yang tidak benar itu, bisa masuk surga kalau kebenaran agama atau madzhab belum sampai kepadanya, atau kalaulah telah sampai, tetapi belum terlalu jelas baginya sementara ia telah berusaha memahaminya. 

Dengan demikian, walau kita menghadapi tetangga kita yang kafir atau yang Sunni, maka kita tidak boleh menveto bahwa mereka pasti masuk neraka, karena sudah bertemu Islam atau Syi’ah dan sudah berulangkali diskusi. Karena mungkin mereka telah berusaha dan belum mendapatkan titik kuatanya kita atau agama/madzhab yang benar. 

Namun demikian, bukanlah tidak masuknya mereka ke neraka atau bisa masuknya ke surga itu karena mereka benar seperti yang dikumandangkan Pluralisme, tetapi karena memang tidak ada alasan untuk dimasukkan ke neraka lantaran tidak melakukan kezhaliman atau penganiayaan terhadap diri, agama dan orang lain. Jadi, yang masuk neraka itu hanya yang zhalim pada dirinya atau agamama/zhhab yang benar. Dan itu maknanya adalah menolak kebenaran setelah ia tahu yang ditolaknya itu kebenaran. 

Tetapi kalau dia belum benar, atau mungkin menolaknya, dikarenakan belum sampainya kebe- naran itu padanya baik secara lahir atau secara pemahaman, sementara dia sudah berusaha, maka orang seperti ini tidak layak dimasukkan ke neraka. Artinya ia akan mendapat maaf dari Allah sesuai janjiNya dalam Qur'an dan akal/fitrah. 

Jadi, masuk surganya karena dimaafkan, bukan karena dibenarkannya agama atau madzhabnya seperti yang digaungkan Pluralisme. 

Tentang pidato Rahbar hf yang tidak dipahami penulis itu, adalah bentuk dari Toleransi yang dianjurkan agama sebagai Tidak Ada Paksaan Dalam Agama. Sebenarnya bagi yang jeli dan hatinya bersih, ayat toleransi ini sadah menunjukkan bahwa yang benar itu satu, tetapi tidak boleh dipaksakan di dunia ini. Artinya mau ikut silahkan dan nanti masuk surga, dan kalau tidak mau juga silahkan dan nanti di akhirat masuk neraka. 

Toleransi, selain memiliki makna tidak memaksa, juga memiliki makna bekerjasama dalam hal-hal yang sama. 

Nah, Rahbar hf tercinta kita, dalam pidatonya itu, mengajak para agamawan selain Islam dalam forum yang sama untuk mengentas ber-sama-sama apa-apa yang bisa dientas dari kezhaliman dan ketidak adilan di dunia ini, bukan membenarkan agama dan madzhab meraka. 

Kalau kita melihat orang jatuh, apakah kita tanya dulu agama dan madzhabnya sebelum kita menolongnya? 

Atau kalau kita dirampok dan dijajah, apakah kita tanya dulu agama orang yang lewat dekat kita sebelum kita minta tolong padanya? Atau kalau kita mau gotong royong bikin jembatan di kampung kita, apa kita hanya mengajak yang Islam atau Syi’ah, dan melarang mereka yang kafir atau yang bermadzhab lain? 

Nah, Rahbar hf tercinta itu berpidato di hadapan mereka yang kafir itu dengan bahasa yang sama untuk memerangi kazhaliman dan pejajahan. Oleh karenanya sudah tentu wajar dan bahkan harus, untuk membawa dalil-dalil yang sama di antara agama-agama tersebut. 

Jadi, sangat wajar dan wajib bahkan, untuk menyebut sekalipun dalam siratan, tentang keadilan dan memerangi kezhaliman yang disebutkan dalam semua agama. Tetapi bukan pembenaran terhadap agama atau madzhabnya, tetapi pembenaran terhadap ajaran yang dinukilkannya itu. Persis kalau kita menukil hadits Abu Bakar atau Mu’awiyah tentang misalnya fadhilah imam Ali as. 

Kita dengan penukilan itu bukan membenarkan mereka, tetapi membenarkan apa yang mereka nukil Islamnya kita, Syi’ahnya kita, belajarnya kita dan seterusnya adalah bukti dari ketidakbenaran secara fitrawi dan agami (seperti yang penulis katakan) konsep Pluralisme ini. Bukan sebaliknya seperti yang dikatakan penulis. Adalah sangat tidak fitrawis, agamis, Qur'anis dan logis-filosofis, manakala kita seumur hidup jungkir balik belajar mencari kebenaran dan memintanya pada Tuhan, terkhusus jalan lurus, dan seterusnya, manakala kita dalam pada itu, mengimani dan mengatakan bahwa kebenaran itu milik semua orang, semua agama dan madzhab. 

Untuk dalil-dalil penguat lainnya mungkin di tempat dan waktu yang lain, semoga saya sempat menulisnya, karena sekarang sedang sangat sibuk hadapi kelas, seminar, wahhabi, soal-jawab wahdatul wujud dan Pokok-pokok ajaran Syi’ah yang sedang dikerjakan. 

Tambahan: Di Iran selama puluhan tahun ini, kalau ngadain seminar nasional atau internasional tentang persatuan, selalu mengatakan bahwa: “Bukan tujuan kami untuk saling pindah agama/ madzhab, atau saling membenarkannya, tetapi untuk saling toleransi dan mengerjakan hal- hal yang sama terkhusus dalam menghadapi kezhaliman global dunia dan semacamnya, oleh karenanya konsentrasi kita kepada yang sama-sama tersebut, tetapi tidak terlarang siapapun membahas yang berbeda kalau diinginkan, asal dalam koridor ilmiah dan santun serta tidak mengarah kepada perpecahan. 

Wassalam dan afwan.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 30 Juli 2018

Islam Hakiki dan Relatif (Pluralisme?)




Seri Tanya – Jawab
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, October 26, 2010 at 8:31 am


Mukaddimah 

1. Tulisan ini sebenarnya adalah semacam ringkasan dari tulisan-tulisan al-fakir (saya) yang menyebar di status-status dan komentar-komentar selama ini, baik di Wahdatu al-Wujud, Kedudukan Fantastis Imam, Kepemimpinan setalah Rasul saww, Lensa dll-nya. Oleh karena- nya, saya akan mengurangi dali-dalilnya yang panjang lebar. Bagi yang memang minat, maka hendaknya mereka merujuk kepada tulisan-tulisan alfakir itu, terutama dalam tulisan-tulisan akidah dan irfan serta kemakshuman. 

2. Tulisan semacam ini, biasanya ditujukan kepada orang-orang Wahhabi yang merasa yakin dengan kebenaran atau kehakikiannya sendiri, atau merasa yakin dengan kekeliruan atau kerela- tifan orang lain. Akan tetapi karena cara berfikir mereka semacam sudah meracuni pencinta Ahlulbait as di Indonesia, maka saya melihat perlu untuk menulis rangkuman pendek ini. 

3. Begitu pula, biasanya tulisan-tulisan semacam ini ditujukan kepada orang-orang yang melam- pahi (mengikuti) John Hick dalam Pluralismenya (semua agama dan pemikiran adalah benar) seperti Syurus di Iran, dimana biasanya meraka, karena tidak bisa menangani masalah kerelatifan ini, maka dengan cara meragukan semua ajaran Islam, dari hadits sampai Qur'an, mereka lalu membenarkan semua pemikiran dan agama. Dan di Indonesia, jangankan orang- orang yang mengaku Sunni, yang mengatakan Syi’ahpun dari sejak tahun-tahun ‘80-an atau ‘90-an sudah pula terjangkit hal ini. Dan karena belakangan ini, semacam ada orang yang ingin merongrong kesucian Islam, seperti prita yang setengah-setengah melangkah dengan merangkak, yakni yang dengan sedikit tambahan informasinya itu dijadikan alat menggugat Islam dan pekerjaan muslimin dari dahulu kala, bukan justru dijadikan alat dan loncatan untuk mencari info dan ilmu selanjutnya, maka saya merasa perlu terhadap perangkuman ini. 

4. Masalah-masalah seperti ini sebenarnya sudah sangat usang, karena semua akal sudah mengetahuinya, bahkan dari sejak jaman Nabi saww, para imam as dan generasi-generasi awal setelah kemakshuman. Akan tetapi, karena adanya orang-orang yang tidak belajar Islam secara akademik, yang merasa terilhami dengan sesuatu yang berharga dan tidak dicapai oleh orang-orang sebelumnya, maka iapun mulai menggugat kesucian kedua Islam (hadits) dan keabsahannya, dalam statusnya yang memalukan itu yang inti tulisannya adalah “Sanad hadits = relatif = tidak bisa dijadikan penjelas Qur'an yang hakiki”. 

5. Saya tahu bahwa teman-teman, khususnya yang Syi’ah, dimana kebanyakan sudah tahu masalah ini, yakni Islam Hakiki-Relatif, karena kegamblangannya itu, mungkin merasa bahwa saya telah melelahkan diri menulis ini, tapi karena racun gamblang bisa saja tidak gamblang bagi yang lainnya, khusunya yang keseleo berfikirnya atau terlebih yang menseleokan dirinya sendiri, maka serasa perlu perangkuman ini. 

Rangkuman (1)

Dari sejak jaman dulu kala, dalam literatur-literatur Islam, baik Hadits, Tafsir, Ushulfiqih, Teologi, Filsafat dll-nya, telah dibahas akan adanya dua makna “Kebenaran” dalam masalah agama Islam. 

a. Kebenaran yang bersifat Hakiki dan Filosofis/nyata yang, juga dikenal dengan “Akal-hakiki”. Yakni yang sesuai dengan kenyataan niscayanya Islam seratus persen. Yakni yang sesuai dengan yang dimaksudkan Allah dalam Qur'an dan sesuai dengan dimaksudkan Nabi saww dalam hadits, tanpa kesalahan sedikitpun. Inilah yang dikatakan dengan “Shiratu al-Mustaqim” dan “Jalan Lurus” yang, tidak memiliki ketersesatan atau kesalahan sedikitpun baik sengaja atau tidak (wa laa al-dhaalliin), dan baik dalam penukilan (sanad) atau pemaknaannya (matan). 

b. Kebenaran yang bersifat ‘Urfiah dan Umum yang, juga dikenal dengan “Akal-umum” atau “Akal-normal”. Yakni pemahaman umum dan normal yang dipahami oleh manusia yang juga umum dan normal dalam memahami yang didengar, dilihat dan dirasakannya dengan panca indra dan akalnya. Apakah yang sampai kepadanya itu hal-hal yang datangnya dari Tuhan dan Nabi saww, atau dari orang lain dan dari alam sekitarnya atau bahkan dari dirinya sendiri (seperti fitrah lapar). 

Rangkuman (2)

Dengan adanya dua “Kebenaran” di atas itu, dapat dimengerti bahwa “Kebenaran Hakiki Islam” hanyalah yang pertama. Sedang yang lainnya adalah “Kebenaran Relatif Islam”. Disinilah kita sebagai orang-orang Syi’ah mengatakan bahwa tanpa makshum, berarti Jalan Lurus itu sudah lenyap bersama wafatnya Nabi saww. Dan dengan ini pulalah kita mengatakan bahwa imam makshum itu perlu dan niscaya, karena meraka kelanjutan Shiratu al-Mustaqim itu. Dan niscaya pula, karena Allah mewajibkan kita memintanya dalam setiap shalat sehari-hari dalam surat al- Fatihah. Dan niscaya juga, karena secara akal, harus ada pamungkas dari perbedaan yang terjadi pada “Kebenaran Islam Relatif” itu. Itulah mengapa Tuhan mengatakan bahwa Qur'an itu tidak bisa disentuh atau dijangkau kecuali hanya oleh orang-orang yang suci/muthahharun (QS: 56: 79). Dan Nabi saww menyuruh kita menanyakan seluruh ilmunya yg tidak salah sedikitpun itu kepada imam makshum as seperti imam Ali as dengan ucapannya yang sangat tersohor di dimana-mana: 

“Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barangsiapa yang ingin masuk kota, masuklah lewat pintunya”. 

Rangkuman (3)

Dengan adanya dua “Kebenaran” di atas, dapat dimengerti bahwa “Kebenaran Umum” adalah “Kebenaran Yang Diterima Islam”. Maksud diterima adalah “Kebenarannya” dipahalai, dan “Kesalahannya” dimaafkan. Inilah yang dalam Ushulfiqih dikatakan sebagai “Munajjiziyyat dan Mu’adzdziriat”. Yakni, kalau benar, maka dengannya bisa berdalil di hadapan Allah nanti di akhirat hingga menjadi orang yang selamat, atau dengannya Allah nanti akan menggugatnya manakala ia tidak mengamalkannya (Munajjiziyyat). Dan kalau salah, maka dengannya kita bisa berdalil untuk meminta maafNya atau dengannya Allah akan memberikan ampunanNya (Mu’adzdziriyyat). 

Dalil terhadap kenyataan ini adalah, bahwa Allah telah mengajak manusia berbicara dengan Qur'anNya, dan Nabi saww dengan haditsnya. Ini adalah kebenaran hakiki dan tidak relatif (semacam inilah berdalil yang bertumpu pada ilmu-mudah dan gamblang seperti yang saya sering katakan di berbagai tulisan-tulisan itu, yakni ilmu-gamblang yang tidak bisa diingkari oleh siapapun). Karena kalau Allah dan Nabi saww tidak bermaksud mengajak bicara kita/manusia, maka jelas Allah dan Nabi saww berarti mengajar dirinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, maka dikala Allah mengatakan “wahai manusia”, berarti “wahai diriku sendiri”. Atau ketika Nabi saww berbicara di atas mimbar, berarti beliau berbicara dengan tiang-tiang dan tembok-tembok masjid, bukan dengan manusia. Ini jelas tidak mungkin. Dengan demikian maka berarti Allah dan NabiNya saww berbicara dengan manusia. Ini yang Pertama

Yang ke dua, ketika keduanya (Allah dan Nabi saww) berbicara dengan menusia, berarti memakai kata-kata yang ada diantara mereka dan berkesesuaian dengan kemampuan mereka, baik yang berupa defakto atau potensial-dekat. Ini juga kebenaran hakiki dan niscaya. Karena kalau memakai bahasa lain dan tingkatan berfikir lain yang lebih tinggi, berarti keduanya (Allah swt dan Nabi saww) sama dengan berbicara dengan diri mereka sendiri. Seperti profesor yang mengajar anak TK tentang Atom dan Bioteknologi, atau profesor agama tentang hadits yang mengajar orang yang tidak memiliki mukaddimah apapun alias masih kosong (keanehan di Indonesia yang masih sangat nampak dalam keterseleoan masalah agama ini adalah, adanya anak-anak TK dan yang masih kosong itu yang mengajak sang profesor untuk dialog dan berdebat, hal mana yang seperti ini tentu lebih parah lagi keadaannya, karena berarti mereka mengira bahwa semua ilmu harus dibidangi secara mendalam dan spesifik, kecuali satu ilmu, yaitu ilmu-ilmu ke-Islaman). 

Sedang tentang potensial-dekat, maksudnya adalah kemampuan memahami yang bisa dicapai dalam waktu dekat dengan suatu bimbingan yang sudah disediakan. Misalnya ayat-ayat yang sulit dipahami, jelas tidak akan bisa dipahami manusia secara umum. Tapi dengan adanya pembimbing seperti Nabi saww dan para imam as, maka hal itu akan bisa dipecahkan. Oleh karenanya tidak menjadi masalah seandainya Tuhan meurunkan beberapa ayatnya yang sulit dipahami oleh Akal- Umum tadi atau juga mutasyabihat. 

Begitu pula dengan hadits Nabi saww. Lalu, apakah Nabi saww menjadi berbicara dengan dirinya sendiri dikala berbicara dengan audien yang jangkauannya secara umum di bawah tingkatan ucapannya? 

Jawabnya adalah sama dengan masalah ayat-ayat yang sulit tadi. Karena dalam firman Tuhan dan Hadits Nabi saww itu, memiliki dua sasaran, yaitu yang langsung bisa dipahami dan dimengerti makna kata-katanya, seperti ayat yang mengatakan bahwa Tuhan itu ada, atau seperti bahwa kita nanti di akhirat akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan kita. Tapi ada pula yang tidak bisa dipahami kata-katanya, tapi dipahami maksudnya. Seperti ayat yang menyuruh kita shalat. Di sini kita tidak tahu akan pelaksanaan shalat itu seperti apa. Tapi semua mengerti maksud ucapannya, yaitu menyuruh kita semua bertanya kepada Nabi saww dan mengikuti bimbingannya. 

Lagi pula, ketika dalam audien Allah itu ada Nabi saww, dan dalam audien Nabi saww ada orang makshum, maka sudah jelas tidak bisa dikatakan bahwa Allah swt dan Nabi saww, sepenuhnya telah berbicara dengan diri mereka sendiri dikala berbicara dengan kata-kata yang sulit dipahami oleh akal-umum. 

Ke tiga, dalam pergaulan sehari-hari, sudah tentu akan ada yang namanya kesalahan memahami. Ini, juga tidak bisa diingkari. Mungkin anda akan mengatakan “tidak mungkin” atau “sangat minim”. Dengan alasan bahwa dalam pergaulan keseharian, hal itu jarang sekali terjadi. Jawabnya adalah “tidak demikian”. Karena, dalam kehidupan dan apalagi dalam masalah-masalah agama, tidak sepernuhnya mudah. Misalnya, ketika seseorang menyuruh anaknya belajar. Di sini, dapat dipahami berbagai macam pahaman. Misalnya, harus belajar dimana kalau tidak belajar akan dimarahi dan dihukum, tapi bisa pula dipahami lebih baik belajar, atau bahkan terserah saja. Pahaman pertama dapat dipahami kalau kondisi hasil ujian anaknya yang terakhir sangat rendah. Pahaman ke dua, ketika kondisi anaknya yang terlihat oleh orang tuanya itu sudah mencapai derajat tidak meragukan akan keberhasilannya di ujian yang akan dihadapinya. Dan pahaman ke tiga, adalah manakala kondisi anaknya itu sudah terlihat mengerti dan hafal semua pelajarannya. 

Ini, baru global pemahaman yang sebagai contoh. Padahal masih bisa dipahami dengan berbagai pahaman-pahaman lain, seperti bahkan penggabungan dari pahaman-pahaman tsb. Ini baru berupa kata-kata-hakiki, yakni kata yang dipakai di dalam makna yang sesuai dengan peletakan pertamanya. Bagaimana kalau kata-majazi alias kata-kata yang dipakai dalam makna kiasannya yang biasa dipakai dalam sastra atau petuah irfan? Tentu akan lebih sulit dan akan menelorkan berbagai pahaman yang berbeda. Atau kata-perpindahan/manqul, seperti dari shalat yang asalnya doa ke makna takbir sampai salam. Semua, itu akan membuat pemahaman orang yang membaca atau mendengarnya bisa berbeda, karena yang satu bisa memahami kata asalnya, dan yang lain memahami kata majazi atau kiasannya, dan yang kiasan bisa memaknainya dengan sesuatu yang tertentu, dan yang lainnya memahmi kiasannya dengan sesuatu yang lain, begitu seterusnya. 

Nah, masalah-masalah agama tentu saja lebih rumit dari contoh ini, karena ianya mengandungi artian hukum halal dan haram dan merentet ke masalah-masalah akhirat disamping masalah- masalah dunia. Hukum-hukum yang lima, halal, haram, makruh, sunnah dan wajib, adalah hukum- hukum yang pada umumnya dipahami dari perintah atau larangan-larangan tadi. Jadi, jangan dikira bahwa semua hukum-hukum yang lima itu dari awal sudah demikian bentuknya. Seperti shalat dan puasa, Allah mengatakan “Shalatlah” atau “Telah ditulis bagi kalian puasa”. Di sini, tidak ada kata-kata seperti “wajib shalat” atau “wajib puasa”. Disinilah, perlu adanya ilmu-ilmu sebagai mukaddimah untuk memahami ayat dan riwayat tsb, seperti ilmu “Logika” dan “Ushulu al-Fiqh”. 

Ke empat, kemungkinan salah itu, bukan hanya dari cara memahami ucapan dan tulisan yang biasa dikenal dengan “Matan Ucapan”, tapi juga bisa terjadi dalam penukilannya dan semacamnya. Misalnya, secara umum, orang jujur atau Tsiqah, akan berkata jujur dalam perkataannya. Dan Akal-Umum, sangat menerima kenyataan ini dan tidak bisa diingkarinya. Walaupun, jelas secara filosofis atau keniscayannya, belum tentu benar. Karena bisa saja di perkataannya yang terakhir itu dia berbohong, atau salah ucap atau salah mengerti masalahnya sebelum menginfokannya. Akan tetapi, Akal-umum, tidak mau perduli dengan keniscayaannya itu untuk menerima dan/atau menolak beritanya. 

Hal itu, karena kalau kita diharuskan mengikuti yang hanya benar secara hakiki dan niscaya, maka kita sudah tentu tidak bisa hidup dalam kehidupan bermasyarakat. Karena semua perbuatan dan ucapan orang lain, harus dibuktikan dulu secara ilmiah hingga baru bisa diterima dan diamalkan. Minuman dan makanan yang disediakan seorang istri setiap hari dan saat, harus dibawa ke laboratorium terlebih dahulu sebelum diminum dan dimakan, supaya terlihat dengan ilmiah ketidak adaan racun atau penyakit di dalamnya. Begitu pula nasi yang disajikannya. Dan bahkan tubuh yang disediakannya harus dilaboratoriumkan setiap hari, supaya terlihat secara ilmiah bahwa dia tidak berpenyakit atau tidak ketularan penyakit, sebelum digaulinya. Karena, kejujuran dan kehati-hatian istri setiap hari dan saatnya, tidak menjamin kebenarannya secara ilmiah, nyata dan hakiki (tidak relatif). Karena, bisa saja dia berbohong kala itu, atau bisa saja dia salah hitung/ sangka dan/atau bisa dia ketularan penyakit yang tidak disadarinya....dst. 

Kesimpulannya, kalau kita diharuskan hidup seperti itu, yakni harus terlepas dari kemungkinan salah dari dua sisi tersebut, yakni “Matan” dan “Sanad/perawian”, dan kalau melanggarnya akan dimasukkan ke dalam orang-orang sesat dan neraka, maka sudah pasti, tidak akan ada orang yang bisa bertahan hidup walau sehari saja. Istri kita akan kabur dari kita karena dimasukin laboratorium tiap kita mau mengumpulinya, dan makanan-makanannya juga dilaboratoriumkan. Dan bahkan laboratoriumnyapun harus dilaboratoriumkan lagi setiap mau dipakai, karena bisa salah dan rusak, begitu pula laboratorium ke dua, ke tiga ...dst. 

Begitu pula, kita tidak akan bisa hidup kalau diharuskan meneliti dulu kebenaran pemahaman kita secara ilmiah dan hakiki (tidak relatif sedikitpun) dalam memahami “Matan” ucapan dan tulisan orang lain. Karena kata atau tulisan “belajarlah” yang diucapkan orang tua atau guru, harus diteliti dulu secara hakiki dan tidak relatif sedikitpun, apa maksud sebenarnya, sebelum kita melakukannya. Atau kata/tulisan “pergilah ke pasar” harus diteliti dulu secara ilmiah maksud sebenarnya yang tidak relatif sedikitpun, yakni yang tidak boleh salah sama sekali. Karena pintu risetnya pasti tertutup. Karena kalau kita tanya kepada pengucap dan penulisnyapun, dan dia menerangkan maksud kata/tulisannya itu, tetap saja, penjelasannya ini harus kita teliti lagi maksud sesungguhnya. Begitu seterusnya, hingga kita nggak bisa belajar-belajar karena riset- riset itu atau tidak pergi-pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan yang diperlukan hingga kita mati kelaparan. Terlebih lagi, di samping kita akan terhadang dari riset di atas riset itu, kita juga akan terhadang oleh “Kebelumtentuan jujurnya orang yang kita tanya kala itu”, yakni bukan kejujuran sehari-hari yang kita kenal (sanad) yang biasa jadi sandaran penilaian kita. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: KITA SECARA AKAL DAN AGAMA HANYA DITUNTUT UNTUK MENGIKUTI KEBENARAN UMUM/NORMAL YANG, SUDAH TENTU MASIH MEMILIKI UNSUR RELATIF ITU, SAMBIL MENCARI, MEMOHON DAN BERUSAHA MENCAPAI YANG HAKIKI, DIMANA KALAU KITA TERNYATA BENAR, AKAN DIPAHALAI (munajjiziyyat), DAN KALAU SALAH, AKAN TERMAAFKAN SECARA AKAL DAN AGAMA (mu’adzdziriyyat). DAN SUDAH TENTU, KALAU KITA TIDAK MENGIKUTINYA, MAKA KITA AKAN MENDAPAT AZAB/CELA SECARA AKAL DAN AGAMA, SEKALIPUN YANG TIDAK KITA IKUTI ITU TERNYATA HAL YANG SALAH ATAU TIDAK SESUAI DENGAN KENYATAAN. HAL INI KARENA KITA TELAH MELAKUKAN ‘INAD ATAU PENENTANGAN TERHADAP KEBENARAN YANG KITA KETAHUI SECARA SADAR, SEMENTARA KEBENARAN KITA DALAM HAL INI HANYA BERUPA KEBETULAN YANG SAMA SEKALI TIDAK KITA INGINKAN. 

Begitu pula tentang masalah-masalah agama, karena berbagai sebab. SEPERTI tidak mendengarnya langsung dari Nabi saww hingga perlu pembahasan sanad; atau umumnya orang tidak mengerti bahasa Arab dan Logika keumumannya serta Sastra/balaghahnya; atau adanya pergeseran budaya Arab setelah jaman Nabi saww atau makshumin as, sebagaimana juga terjadi pada budaya-budaya yang lain; atau adanya perbedaan pahaman dari shahabat Nabi saww dalam menerima, memahami dan menukilkan kepada kita dari Ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan taqrir-taqrirnya... dst dari sebab-sebab yang lain, maka untuk memahami teks-teks Islam sudah tentu akan menjadi jauh lebih susah dari sebelumnya dan jauh lebih susah dari sekedar kehidupan sehari-hari. 

Oleh karena itulah maka didirikan perguruan-perguruan tinggi dan pesantren-pesantren serta hauzah-hauzah, untuk pendidikan terpadu yang akademis supaya sebelum orang membaca dan mencoba memahami Qur'an dan Hadits, sudah dipersenjatai dengan berbagai bekal yang tinggi dan mendalam. Seperti Bahasa Arab dari Shorof-Nahu rendah sampai tinggi begitu juga sastra/ balaghahnya (kalau di syi’ah setidaknya 4 tahun pertama di Hauzah), atau Logika (setidaknya 2-3 tahun), atau Ushulfiqih (setidaknya 16 tahun kalau cerdas), atau Rijal dan Hadits (setidaknya 3-4 tahun), atau Tafsir (setidaknya 4 tahun) ...dst. Tahun dalam contoh ini adalah yang sekurang- kurangnya dan seminim-minimnya, karena sebagian orang ada yang mendalami bahasa Arab saja sampai 50 tahun, atau mendalami ushulfiqh saja sampai 30-50 tahun. Nah, tentu saja orang- orang bercikutat di sana, sudah pasti sampai berlumut (baca: gemuk dan berkolestrol, atau kurus sakit-sakitan) karena lama dan konsennya pada masalah yang dipelajarinya. 

Rangkuman (4): 

Dengan Rangkuman (3) di atas, dapat dipahami bahwa: KITA SECARA AKAL DAN AGAMA, DALAM MASALAH-MASALAH AGAMAPUN, HANYA DITUNTUT UNTUK MENGIKUTI KEBENARAN UMUM/ NORMAL YANG, SUDAH TENTU MASIH MEMILIKI UNSUR KERELATIFAN ITU, SAMBIL MENCARI, MEMOHON DAN BERUSAHA MENCAPAI YANG HAKIKI, DIMANA KALAU KITA TERNYATA BENAR, MAKA AKAN DIPAHALAI (munajjiziyyat), DAN KALAU TERNYATA SALAH, MAKA AKAN TERMAAFKAN SECARA AKAL DAN AGAMA (mu’adzdziriyyat), SEBAGAIMAN KEWAJIBAN DAN TUNTUTAN YANG ADA PADA KEHIDUPAN SEHARI-HARI. DAN SUDAH TENTU PELANGGARAN TERHADAP HAL INI AKAN MENGHASILKAN CELAAN DAN AZAB SECARA AKAL DAN AGAMA, DENGAN ALASAN ‘INAD DAN PENENTANGAN TERHADAP YANG DIKETAHUINYA SECARA SADAR, SEKALIPUN TERNYATA YANG DIKETAHUINYA TIDAK SESUAI DENGAN KENYATAANNYA. 

Dalil dari kenyataan ini adalah sbb: 

Pertama, di Rangkuman (3) sudah didalilkan bahwa keharusan mengikuti yang benar secara hakiki adalah suatu kemustahilan. Artinya kita tidak akan bisa bertahan hidup dengan itu. Misalnya, untuk meminum kopi dari istri saja (apalagi di warung), kita harus menelitinya di laboratorium, apakah benar-benar air kopi itu tidak mengandung racun, najis, haram-haram lain (Seperti kopi luwak), atau apa saja yang dilarang agama untuk diminum dan dimakannya. Dan sudah tentu, alat-alat laboratoriumnya juga harus sedemikian rupa telah dibuktikan secara laboratoris tentang kebenarannya atau ketidakrusakannya, begitu seterusnya dengan alat-alat laboratoriumnya yang ke dua, ke tiga ...dst. Dimana akhirnya, karena kita harus memakan yang benar-benar meyakinkan kehalalannya secara “sanad” dan “matan”nya, maka kita tidak akan pernah makan dan minum apapun sampai kita mati kelaparan. 

Ke dua, selain secara akal di atas, agama sendiripun hanya mewajibkan kita meneliti berita-berita yang bersanad pada orang fasik atau tidak jujur. Dalam QS: 49: 6, Allah berfirman +/-: 

“Wahai orang-orang yang beriman, kalau datang kepada kalian berita dari orang fasik, maka telitilah (kebenarannya)....”. 

Di ayat ini jelas, bahwa perintah meneliti kebenaran berita dan info atau penukilan, hanya diwajibkan kalau pembawa beritanya itu adalah orang fasik. Jadi, berita dari orang yang tidak fasik, boleh diterima tanpa harus dicari dulu kebenarannya, dimana kalau wajib diteliti juga, maka pasti kita tidak akan bisa hidup sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Dan sudah tentu, bahwa kita bukan hanya boleh menerima info dari sanad yang jujur atau tsiqah ini, tapi juga berarti kalau tidak menerimanya (terlebih mengejeknya seperti prita dan para pengejek lainnya), maka kita akan dicela akal dan agama. Sementara anda tahu, bahwa penukilan orang fasik itu, secara hakikatnya, belum tentu salah. Karena bisa saja, kala itu ia berkata benar. Sebagaimana orang tsiqah/jujur juga belum tentu benar, karena bisa saja kala itu ia bohong atau salah bicara atau salah memahami masalah yang dinukilkannya. Namun demikian, akal-umum dan agama, tidak mewajibkan untuk meneliti berita yang datang dari orang yang tidak fasik, dan mewajibkan yang sebaliknya. Hal, itu karena ketidakmungkinan manusia hidup, kalau diwajibkan meneliti berita- berita yang datang dari orang-orang tsiqah dan jujur. 

Ke tiga, melarang orang untuk mengikuti yang relatif dalam agama itu, sama dengan melarang kita untuk beragama itu sendiri dan sama dengan menyuruh kita hidup tanpa aturan sama sekali. Hal itu karena nampak jelas, bahwa Qur'an dan Hadits, jangankan dari pemahamannya, dari sanadnya saja sudah relatif. Misalnya, sekalipun penukilan Qur'an bisa dikatakan hakiki/ mumtawaatir dan tidak relatif, tapi masih bisa dikatakan relatif. 

Karena dalam persepektifnya masih ada perbedaan, seperti apakah susunan surat-suratnya disusun Allah, atau tim yang dipimpin Utsman. Begitu pula masih terjadi perbedaan dalam bacaan dan beberapa kata-katanya, hingga dikenal dalam ilmu Qur'an dengan Qiraat-tujuh atau bahkan tiga belas. Dimana dalam perbedaan Qiraat itu pasti akan membuat perubahan makna, dan begitu pula ada perbedaan baca/qiraat yang memiliki selisih bahkan di kata-katanya yang, pasti akan merubah maknanya. Ditambah lagi dengan sebagian pendapat yang mengatakan bahwa Bismillaah yang ada di selain surat Fatihah adalah tanda pemisah antara surat sebelumnya dan sesudahnya. Artinya, bukan bagian asli dari Qur'an. Dimana hal ini sangat ditentang dalam Syi’ah. 

Begitu pula tentang sanad hadits. Setidaknya kalau mau main pukul rata dan gampangannya saja, kita memiliki dua jalur pensanadan, Syi’ah dan Sunni yang, anggap saja saling menyalahkan. Dan begitu pula di dalam ilmu rijal masing-masing golongan tadi, masih ada juga perbedaan pendapat. Walaupun banyak yang disepakati dalam masing-masing golongan itu, tapi secara menyeluruh, kalau kita mau bicara Islam, maka masing-masing golongan sudah pasti saling menyalahkan dan saling tidak mempercayai atau saling tidak men-tsiqahkan. Atau kalau dalam masing-masing golongan itu banyak yang disepakati, tapi semua kesepakan yang ada itu tidak cukup mengurai Islam secara menyeluruh karena terhitung sedikit, hingga jelas diperlukan juga sanad yang tidak disepakati ke-tsiqahannya. 

Itu baru kerelatifan dalam sanad-sanad sandaran Islam, yakni Qur'an dan Hadits. Belum lagi kalau kita bicara pemahaman dari keduanya. Sudah tentu dalam pemahaman keduanya, pasti lebih njelemet lagi (bc: lebih sulit). Karena, jangankan Qur'an yang sudah tentu lebih sulit, hadits Nabi saww saja, yang didengar langsung saja, masih sangat mungkin terjadi beda pemahaman dari audien/mukhathabnya. 

Dengan demikian, kalau kita disuruh atau diwajibkan mengikuti yang pasti benar secara hakiki itu, berarti sama dengan menyuruh kita tidak beragama sama sekali. Karena kita akan terdiam dengan mendengar Qur'an dan Hadits dan tidak bisa mengambil kesimpulan pahaman apapun dari keduanya. Nah, kalau kita dilarang, mengikuti pahaman kita yang relatif itu, berarti kita telah dilarang pula untuk beragama dan mengamalkan agama itu sendiri. 

Oleh karenanya, kita bukan hanya boleh mengikuti yang relatif itu, tapi bahkan wajib, dan berdosa secara akal dan agama kalau tidak mengikutinya. Karena hidup akan bagaikan binatang di belantara yang tidak mengenal aturan dan hukum sama sekali. 

Rangkuman (5)

Kalau kita dibolehkan dan bahkan diharuskan mengikuti Islam Relatif itu, apakah berarti kita boleh “Berelatif Ria”? Sudah tentu jawabannya “TIDAK BOLEH”. Hal itu karena jelas bahwa secara akal yang gamblang, bahwa kalau semua boleh memaknai dan menafsirkan Qur'an dan Hadits, maka sudah tentu akan lebih parah dari kehidupan yang tidak beragama sama sekali itu. Hal itu karena kehidupan tanpa agama itu jelas dapat diketahui dengan nyata, tapi kehidupan ke dua ini tidak jelas diketahui, dan bahkan sulit diketahui karena ianya akan menisbahkan semuanya pada agama. 

Secara akal-gamblang, untuk mengetahui Qur'an dan Hadits, seseorang harus mengerti bahasa Arab. Apa hanya itu? Sebagian orang mengira hanya itu. Kalau begitu, berarti orang Arab tidak perlu sekolah tinggi-tinggi di perguruan-perguruan tinggi dan pesantren-pesantren atau hauzah- hauzah mereka. Kenyataan akal-gamblangnya, tidak begitu dan tidak mungkin begitu. Oleh karena itu perlu tambahan ilmu-ilmu lain seperti yang sudah disebut di atas itu. 

Jadi, yang boleh berelatif tentang agama, sama dengan ilmu-ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya, adalah hanyalah orang-orang yang telah membidanginya secara akademis, bukan sembarang orang seperti si prita itu. Karenanya, sekalipun dokter itu tidak makshum dan diantara mereka masih memiliki perbedaan pendapat (relatif), tapi orang yang datang berobat kepada mereka, atau mengoprasi jantungnya, adalah melakukan sesuatu yang sesuai dengan tuntutan akal dan agamanya. Dan tidak ada orang dan agama manapun yang akan menyalahkannya, sekalipun nanti akan terjadi kemalangan seperti mati. Dan bahkan sebaliknya, kalau tidak datang kepada dokter untuk mengobati sakitnya itu, maka akal dan agama akan mengecam dan menyalahkannya. Begitu pula, kalau dia mengobati penyakitnya itu di orang-orang yang tidak tahu kedokteran sama sekali, sekalipun nantinya mendapatkan kesembuhan secara kebetulan. 

Begitu pula dengan masalah-masalah agama. Orang yang tidak membidanginya secara akademis, kalau dia mengikuti pendapatnya sendiri, maka sama dengan membedah jantungnya sendiri. Maka jangankan salah dan matinya, benar dan sembuhnyapun akan tetap dikecam akal dan agama. Oleh karena itulah, perbedaan para ulama dan mujtahid (yang terlihat dalam berbagai perbedaan fatwa mereka), tidak bisa jadi penghalang orang untuk menaklidi mereka secara buta. Dan sudah tentu agama juga dengan gamblang telah mewajibkan kita untuk mengikuti mereka, seperti yang ada di dalam QS: 9: 122, yang mengatakan +/-: 

“..hendaknya sebagian dari mereka dari setiap golongan (suku dll) itu mempelajari agama dan mendakwahkannya kepada golongan/umatnya dikala sudah kembali kepada meraka...”. 

Dimana jelas dalam ayat ini terkandung pemahaman bahwa yang diceramahinya nanti wajib mengikutinya walau penablighnya masih relatif dan berbeda pandangan diantara sesama para orang terdidik itu. 

Rangkuman (6)

Apakah semua uraian di atas itu berarti membenarkan “Pluralisme”? Sudah tentu “Tidak”. Karena arti “Pluralisme” adalah semua agama dan bahkan pandangan dan teori, adalah benar (lihat buku: “Problems of Relegions Pluralism” karya John Hick, terutama pasal 4-7). Karena kebenaran dalam Pluralisme, bukan yang sesuai dengan kenyataannya, tapi yang sesuai kenyataan yang menurut siapanya juga. Oleh karena itulah muslim yang terpengaruh dengan madzhabnya John Hick ini (walau dia dikenal dengan bapak Pluralism, tapi sebelumnya, pada abad-abad ‘18-an, sudah ada beberapa tokoh yang mencuatkan masalah ini secara tidak terlalu tersusun rapi dan lengkap seperti John Hick) membolehkan semua orang menafsirkan Qur'an dan Hadits yang, kemudian pemikiran ini dikenal dengan Hermenetic Islam. 

Tentu saja Hermenetic yang umum dimaknai sekarangannya ini, bukan yang dibawa Aresotelesnya. Karena yang dibawa Arestotelesnya sangat akliah dan logis. Yaitu ilmu untuk memahami perkataan orang lain, dimana harus mengerti bahasanya, budayanya, cara berfikirnya, hobinya, 

...dst. Tapi Hermenetic yang sekarangan ini, pada umumnya, sudah berubah makna dan maksud. Yaitu menjadi memahami perkataan orang lain dengan ketidak terlepasan dari pengaruh sejarah dari pemaham (subyek) itu sendiri, dimana pada akhirnya disimpulkan oleh mereka bahwa Diperbolehkan atau Tidak Disalahkan Bagi Pemahaman, Siapapun dan Apapun, Sesuai Dengan Eksperimen/sejarah Masing-masing Pemaham. Muslim yang terpengaruh dengan konsep ini, memiliki sekitar 14 dalil yang, karena sekarang bukan pembahasan itu, maka biarlah masalah Pluralisme ini kita tunda di lain penulisan. 

Yang paling penting sekarang di sini, adalah bahwa konsep kita sekarang ini bukanlah konsep “Pembenaran” sebagaimana yang ada di “Pluralisme”. Akan tetapi “Konsep Keterpaksaan dan Emergensi” dimana tanpa itu berarti kehidupan akan menjadi hutan belantara dan tanpa aturan sama sekali sebagaimana maklum. Ini yang pertama. 

Yang ke dua, konsep kita sekarang ini adalah mengakui dan memungkinkan akan kesalahannya diri kita dan pahaman kita tentang hakikat dan Islam, tapi kita meyakini dengan argument- argument gamblang di atas, bahwa kesalahan yang ada dan yang dimungkinkan itu, sudah diluar kemampuan manusia secara umum dimana pasti Tuhan juga tidak menghendakinya dan apalagi penghukumannya. Karena menghendaki yang demikian, berarti telah menganiaya manusia, lantaran kewajiban itu sudah pasti diluar kemampuan manusia secara umum. Sementara Tuhan mengatakan bahwa Dia tidak memerintah manusia kecuali sesuai kemampuannya (QS: 2: 286). 

Bayangkan saja, ketika makshum tidak bersama kita sekarang ini, bagaimana caranya mengecek pemahaman kita tentang Qur'an, apakah sudah sesuai dengan yang dimaksudkan Allah atau tidak? Karena jelas, kita sekarang tidak punya alat kontek untuk menghubungi Allah karena tidak kenal dengan malaikat Jibril as, tidak ada Nabi saww dan belum datangnya imam makshum as. Dan kalau pahamannya saja sudah tidak bisa dicek atau dilaboratoriumkan, lalu bagaimana kita bisa mengamalkan yang benarnya? Begitu pula tentang hadits-hadits, baik dari sisi matan dan sanadnya. 

Yang ke tiga, Allah sendiri dalam QS: 4: 100, telah mengatakan +/-: “ ...maka barang siapa yang keluar dari rumahnya untuk berhijrah menuju Allah dan RasulNya, dan kemudian ia mati (di tengah jalan sebelum mencapainya), sesungguhnya sudah tertulis pahalanya di sisiNya dan Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Penyayang”. 

Hijrah kepada atau menuju Allah dan RasulNya saww itu, jelas bukan penghijrahan jarak dan tempat. Terlebih kepada Allah swt. Tapi perjalanan menuju Kebenaran Hakiki tentang ajaranNya dan ajaran NabiNya saww tersebut. Yakni tentang Qur'an dan Hadits tsb. Jadi, siapa saja yang telah dengan ikhlash dan profesional (yang akademis, dengan menelitinya sendiri dan yang bukan akademis, dengan menaklidi yang akademis) berusaha memahami dan mengikuti ajaran Qur'an dan Hadits, lalu dia mati di tengah jalan sebelum mencapainya kebenaran hakikinya itu, maka baginya pahala dari sisi Allah. 

Begitu pula coba perhatikan penutup ayatNya di atas itu “...sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang”. Maka akan terlihat dengan nyata, bahwa orang yang diterima Allah dari yang belum mencapai kebenaran hakiki itu, bukan karena sudah benar seperti yang dikatakan Pluralisme, tapi karena dimaafkan Allah Yang Maha Pengampun dan Penyayang. Tentu karena Dia tahu kemustahilan pencapaian kepada kebenaran hakiki tersebut secara menyeluruh dan totalis. Atau setidaknya, akan sangat sulit bagi semua orang. 

Nah, kalau yang mengikuti yang akademis saja sudah mendapat pahala dan kalau tidak mengikutinya mendapat dosa, maka sudah pasti bagi yang akademis itu sendiri, akan mendapat pahala baik dalam benarnya atau dalam salahnya. Oleh karena itu dalam Islam dikatakan bahwa kebenaran akademisis akan dipahalai dua, yakni untuk usaha dan kebenarannya, dan untuk yang salah akan dipahalai satu, yaitu untuk usahanya yang sampai lumutan itu, sebagaimana tergambar dalam ayat ini. 

Rangkuman (7)

Dari penjelasan-penjelasan di atas itu dapat diketahui dengan gamblang, bahwa: UKURAN MASUK SURGA DAN MENDAPAT PAHALA ITU, ATAU UKURAN MASUK NERAKA DAN MENDAPAT DOSA ITU, BUKAN DIUKUR DENGAN BENAR-SALAHNYA SECARA HAKIKI (bc: tidak relatif), TAPI DIUKUR DENGAN BENAR-SALAHNYA SECARA USAHA DAN PROFESIONALISME. 

Jadi, jangankan orang yang beragama Islam yang salah memahami Islamnya karena berbagai sebab, seperti tidak sampainya Islam dan muballigh yang benar dll, atau beragama Islam dengan madzhab yang batil yang dikarenakan sebab yang sama, orang yang beragama lainpun akan bisa mendapat pahala dan masuk surga dengan alasan yg sama pula. Karena jelas, di samping ayat tadi, apa salahnya orang yang bersalah yang tidak sampai kepadanya kebenaran totalis atau hakiki itu, baik secara matan atau sanad, sementara ia sudah berusaha dengan ikhlash dan profesional???!! 

Begitu pula tentang masuknya ke dalam neraka dan mendapat dosanya. Yaitu, ketika ukuran masuk surga dan mendapat pahala itu adalah usaha dan profesionalisme itu, maka dosa dan masuk nerakanya itu, juga akan diukur dengan hal yang sama. Oleh karenanya Allah nanti akan menghisab manusia di akhirat sesuai dengan ketaatan dan pelanggaran terhadap kebenaran dan agama yang sampai kepadanya secara info (sanad) dan pemahaman profesional (matan), bukan kebenaran dan agama yang benar secara totalis. 

Rangkuman (8)

Kebolehan dan kemestian mengikuti yang belum tentu benar secara totalis itu, bukan berarti kita dibolehkan memasuki daerah kebolehan yang sama bagi orang lain. Oleh karenanya, jangankan bagi yang memiliki kemungkinan salah dalam agama, madzhab dan pemahamannya itu, bagi yang sudah benar secara totalispun, seperti Nabi saww dan imam as itu, tetap tidak boleh memaksakannya kepada orang lain. Hal itu, karena agama sendiri mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama (QS: 2: 256). Inilahh yang dikatakan Toleransi dalam masyarakat yang majemuk dan plural (bukan pluralisme). Tentu saja selama di dunia ini, bukan akhirat. Karena di akhirat, bagi yang menolak kebenaran yang sudah sampai kepadanya dan dipahaminya dengan benar pula, atau bagi yang menolak keberanan yang dia pahami secara umum itu, maka tidak ada balasan baginya kecuali kecaman akal dan neraka. 

Akan tetapi, selama di dunia, maka pemaksaan itu tidak dibenarkan. Karena hal itu atau toleransi ini, memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan pertamanya adalah bahwa kebenaran yang akan dipaksakan itu ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sebenarnya, apakah agama dan madzhabnya atau pemahaman terhadap keduanya. Dan kemungkinan ke duanya adalah bahwa kalaulah kebenaran yang akan dipaksakannya itu sudah benar secara totalis, namun, ketidakpahaman audien yang sudah berusaha secara profesional itu, membuat kerja pemaksaan itu sama sekali tidak bisa diterima akal dan agama serta tidak akan menghasilkan hasil yang benar, terutama dalam misi penyampaian kebenaran itu sendiri, dimana tujuannya adalah untuk memahamkan sebelum kemudian diikuti. 

Ibarat profesor atom, tidak mungkin dibenarkan akal dan agama, manakala memaksakan ilmunya kepada anak-anak TK dan/atau orang-orang yang tidak memiliki pengantar apapun, sebelum kemudian menyuruhnya mengaplikasikan ilmunya yang dipaksakan itu dalam sebuah bangunan listrik bertenaga atom. Atau seorang dokter ahli bedah yang memaksakan ilmunya sebelum menyuruh audiennya yang kebingungan itu mengaplisikan ilmunya dengan membedah jantung orang. Karena hasil dari kedua contoh ini, tidak lain kecuali petaka ledakan PL (itupun kalau bisa sampai ke tingkat ini) dan matinya orang yang dibedah itu. 

Rangkuman (9)

Relatifitas itu tidak selamanya memiliki arti “pasti salah” atau “cenderung ke salah”. Karena “Relatif “ itu memiliki bagian-bagian dan tingkatan-tingkatan. Ada yang “Vertikal” dan ada pula yang “Horizontal”. Dan hanya relatifitas Horizontal inilah kemungkinan salah itu ada. Apakah salah semuanya, atau benar salah satunya saja. Misal pertamanya adalah seperti 1+2= 4, 5, 6, 7, ..dst. Dan misal ke duanya, seperti 1+2 = 3, 4, 5, 6, 7, ..dst. Oleh karena itu salah satu ketidakbisaan kita menerima konsep Pluralisme itu, karena telah membolehkan pemaduan pemaduan yang saling bertentangan atau kontradiksi atau perbedaan Horizontal ini, bukan sekedar berbeda saja. 

Namun demikian, ada relatifitas yang bersifat Vertikal. Seperti 1+2 = 3, v9, 9/3, 9x5:10-1,5,..dst. Atau dikatakan bahwa Nabi saww itu adalah anak Abdullah as, orang dari bangsa Arab dan suku Qurasy, jujur, amanat, taat, hamba sahaya Tuhan, tawadhu’, santun, pemaaf, penolong, pemerang bagi yang memerangi kebenaran, berakhlak agung, tidak berbicara kecuali wahyu, fanaa’, arif, rasul, paling tingginya makhluk, imam, rahmat bagi semua alam, rahmat bagi yang dahulu dan sejaman serta akan datang, rahmat bagi alam di dunia atau akhirat, tdk(tidak) pernah merengut dan melengos pada orang buta yang bertanya tentang Islam, tajalli terbesar Allah, nama Allah, 

....dst. Di sini, jelas bahwa perkataan dan pernyataannya berbeda-beda. Akan tetapi, semuanya adalah benar. Yang ada dalam perbedaan itu tidak lain kecuali tingkatakannya. 

Memahami agama juga demikian. Oleh karena itu tidak heran kalau dalam riwayat dikatakan bahwa Qur'an itu memiliki 7 batin, dan masing-masing batinnya juga memiliki 7 batin lagi. Dan tidak heran kalau ayat sendiri mengatakan +/-: 

“Dan ikutilah yang lebih baik (terbaik) dari apa-apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian (wahyu) ...” (QS: 39: 55). 

Dimana jelas, dalam ayat ini sangat terasa, bahwa tidak semua Qur'an itu merupakan kebenaran tertinggi. Karena di dalamnya masih terdapat tingkatan-tingkatan itu. Tentu saja, muatan batinnya akan bermuara pada samudra keagungan dan ketinggian Ilahiyah. Akan tetapi untuk menuju ke sana, maka sering pula diperlukan adanya tangga-tangga pahaman dan capaian. Dan hal ini, sangat masuk akal dan logis di samping keagamisannya itu (QS: 39: 55). Ibarat pejalaran matematika di sekolah SD adalah kebenaran yang tidak terlalu tinggi dan dipersiapkan untuk kebenaran yang lebih tinggi di atasnya manakala sudah masuk SMP, begitu seterusnya sampai ke tingkat perguruan tinggi dan pasca Doktoral. 

Rangkuman (10)

Biasanya, tingkatan dasar Islam itu, yakni tingkatan paling bawah dan lahiriahnya, dapat dipahami oleh semua akal sehat yang umum/normal. Dan ini, adalah Islam yang sudah cukup untuk mengantar manusia ke jalan selamat, pahala dan surga. Namun demikian, karena jauhnya kita dengan para makshum as itu (Rasul saww dan para imam as), begitu pula berubahnya peradaban manusia (Arab secara khusus), dan lain-lain penghalang seperti yang sudah disebutkan di atas, maka pemahaman terhadap yang paling dasarnya dari agama Islam inipun, seperti fikih, sudah menjadi hal yang sangat sulit, hingga dalam Syi’ah, diharuskan belajar dulu sekurang-kurangnya 30 tahun untuk bisa memahami dan bermain langsung dengan ayat-ayat dan hadits-hadits fikih yang sangat lahiriah ini. Nah, apalagi kalau masalahnya adalah masalah-masalah yang memang dari awalnya sudah sulit dimengerti karena tingginya, seperti masalah-masalah ke-Tuhanan, sifat2Nya, akhirat dll-nya. 

Dengan uraian ini, disamping uraian-uraian sebelumnya, dapat dimengerti bahwa Islam ini dari satu sisi dapat dipahami dan dijangkau serta dapat pula diaplikasikan dalam kehidupan. Tapi dari sisi yang lain, masih memiliki tingkatan yang tidak terbatas. 

Namun demikian, kepalingrendahan derajat Qur'anpun, tetap memerlukan pembimbing, seperti Rasul saww dan para imam makshum. Hal itu, karena banyak sekali pemakaian kata yang dirubah oleh Qur'an, seperti kata “shalat” yang tadinya berarti “doa”, “haji” yang berarti “kemauan” menjadi “perbuatan yang diawali takbir dan diakhiri salam” dan “melakukan ihram, tawaf, sai dst”. 

Jadi, Rasul saww dan imam makshum as itu, tetap diperlukan sekalipun dalam masalah-masalah dasar dan lahir, apalagi dalam masalah-masalah yang tinggi. Apalagi, setelah Rasul saww wafat, para pentransfer Islam sudah saling perang dan bunuh, dan sudah tentu sangat menimbulkan kecurigaan terhadap Islam yang dibawanya. Karena sudah pasti, Islam yang ditransfer ke kita-kita, adalah Islam yang sudah disesuaikan dengan perbuatannya. Karena jelas tidak mungkin si fulan A yang bertikai dan berperang dengan si fulan B, akan menjelaskan konsep-konsep Islam yang membenarkan si fulan B dan menerangkan konsep-konsep yang menyalahkan dirinya sendiri. 

Rangkuman (11)

Dan kalau Rasul saww dan imam makshum as ini, tidak terjangkau, baik dimasa mereka yang dikarenakan jauhnya tempat, atau karena memang masanya tidak sama seperti kita sekarang ini, maka dengan alasan-alasan akal dan agama di atas, orang yang tidak belajar ilmu-ilmu ke- Islaman secara akademis, harus mengikuti petunjuk orang-orang yang telah mempelajarinya secara akademis (ulama). Pahala dan dosa, surga dan neraka, akan diukur dengan sejauh mana kita mengikuti dan melanggar ulama ini, sebagaimana maklum. 

Jadi, “kerelatifan akademis”, bukan berarti “wajib ditinggalkan” atau “wajib diabaikan” atau  “boleh diabaikan” atau “boleh ditinggalkan” atau “boleh mengikuti relatifnya sendiri “ atau “boleh mengikuti relatifnya yang tidak akademis” atau “omong kosong” atau “boleh dikritik karena alam kritikan terbuka lebar” atau ...dst. Tapi sebaliknya, “wajib diikuti” atau “mesti diperhatikan” atau “mesti dihormati”, seperti dalam fatwa-fatwa mereka atau pandangan-pandangan lainnya tentang pemahaman-pemahaman Islam yang non akidah pada umumnya. Karena kalau aqidah, maka disini, kita diharuskan menggunakan dalil akal. Karena posisi akidah-akidah itu adalah sebelum menerima agama itu sendiri sebagaimana sudah diterangkan di berbagai tulisan tentang akidah. 

Rangkuman (12)

Sebenarnya, kalaulah bukan karena keharusan mencari Shiratu al-Mustaqim yang tidak dhollin/ tersesat sedikitpun, dan kalaulah bukan karena adanya ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang mutawatir yang ada dikedua belah pihak (sunni-syi’ah) tentang mesti adanya 12 imam yang makshum (Bukhari hadit ke: 7222, 7223; Muslim hadits ke 3393, 3394, 3398 ..dll) yang wajib ditaati sejak jaman Nabi saww (QS: 4: 59) dan tidak bolehnya mengikuti yang tidak makshum dan punya dosa (QS: 76: 24), dan keberadaan al-Mahdi as yang makshum yang akan muncul di akhir jaman dan akan dibantu nabi Isa as (Bukhari hadits ke 3449, Muslim hadits ke 222..dll- nya) serta memerangi pemerang Islam yang dipimpin Dajjal (Bukhari hadits ke 86, 184, 832, 833, 3441, 345 dll-nya, Muslim hadits ke 243, 248,...(dll-nya), maka kita sudah tidak perlu lagi mencari Jalan lurus itu, kalau hanya sekedar ingin selamat di akhirat dan mencapai kemakshuman dari dosa. Karena, sebagaimana maklum, dosa dan pahala itu diukur dari sejauh mana kita berusaha untuk tahu dan mengamalkan, secara sungguh-sungguh, ikhlas (tidak main perasaan) dan profesional (bc: sudah bisa dikatakan secara akal dan logika umum bahwa kita sudah benar-benar mencari dan mengamalkannya dengan ikhash, yakni usaha yang logis dan dengan dalil-dalil yang logis gamblang). Jadi, kita cukup mencari kebenaran dengan profesional (dalil gamblang) dan mengamalkannya dengan ikhlash, maka kita sudah pasti terlepas dari dosa dan akan mencapai kemakshuman dari dosa tsb serta mendapat pahala dan surga dari Allah swt. 

Akan tetapi, karena Allah mewajibkan kita untuk meminta jalan-lurus itu kepadaNya, maka berarti kita diwajibkan untuk menginginkannya, mencarinya dan mencapainya. Artinya, kewajiban itu tetap ada, sekalipun kita sudah termasuk orang yang selamat dan makshum dari dosa kalau sudah berusaha untuk tahu secara profesional dan begitu pula dalam pengamalannya. Hal ini, tidak lain dan tidak bukan, karena tujuan diciptakannya manusia dan diturunkannya agama, adalah untuk mencapai derajat yang jauh lebih tinggi dari sekedar selamat dari neraka dan masuk surga tsb (lihat Wahdatu al-Wujud 1-6). Sambung doanya. 

Bande Husein Kalisatti, Muhammad Dudi Hari Saputra and 25 others like this

Saiful Bahri: Syukran ustadz, ana izin posting... http://proudbeingshiite.blogspot.com/

Gazali Rahman: Salam , izin copy ust dan izin di diskusikan... 

Sinar Agama: Salam untuk semua dan terimakasih atas jempol dan komentarnya. Siapa saja boleh menggunakan tulisan-tulisan saya di fb atau dimana saja, asal untuk kebaikan, dan tidak dirubah sekalipun titik komanya kecuali mengabariku dulu. hem... 

Black Flag: Salam, tulisan yang sangat bagus, izin copy ust..... 

Haerul Fikri: Terima kasih telah ditag pada tulisan-tulisan cerdasnya ustad..! 

Bande Husein Kalisatti: Ana shere..mudah-mudahan manfaat. 

Dian Damayanti: Syukron ustad for always tagging me... 

Roman Picisan: خيرا هللا جزاك شكرا 

Sinar Agama: Terimakasih untuk semua dukungan, jempol dan komentarnya. Yang ingin mempergunakannya dalam kebaikan mau disave, dicopy atau apa saja boleh. Mas Bande ngerubah lagi ya namanya. Semoga suka sakit kepalanya dan cenut-cenutnya tidak suka kambuh lagi. Kurangi tegang dan mandi malam, kecuali pakai air hangat. 

Ghibran Banajer Ali: Syukran ustadzku ana tunggu pencerahannya. 

Edo Bela Al-Husain: Syukron katsiron ...tad. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semuanya. 

Sinar Agama: Dian, You well come, you can do it, and thank’s for your dua..my Allah bless you to. 

M Azhar Bin Palal: Salam ustad..mohon izin copy.. 

Sinar Agama: M-B-P: Salam, monggo saja....

Muhsin Labib: Mencerahkan, jazakumullah.

Fauziah Arief: Izin copas semua tulisannya ustad, untuk belajar.

Idhanelvita Iid: Salam ustad, izin copy..syukron...jazakallah...

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ