Tampilkan postingan dengan label Mu’tazilah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mu’tazilah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Agustus 2018

Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah, Bag: 2-b/akhir (Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan)




by Sinar Agama (Notes) on Saturday, November 6, 2010 at 11:57 pm


Semoga Pahala Dilimpahkan Allah Kepada Para Penduka Atas Syahidnya Imam Ke 9, Muhammad Jawad as Oleh Mu’tashim bin Harun al-Rasyid (Khalifah Bani Abbas) pada tgl: 30-Dzilqo’dah-220 H, amin

LANJUTAN BAHASAN: 

(d-1-4) Hakikat Ikhtiar Manusia

Perlu saya tegaskan di sini bahwa tidak ada yang lepas dari Kuasa dan KontrolNya. Akan tetapi arti dari tidak lepas di sini memiliki makna lain dari pemaknaan yang datang dari Determinisme yang mengatakan bahwa nasib manusia sudah ditentukan Tuhan. Tidak demikian. Karena Kuasa dan Kontrol di sini maknanya adalah pengontrolan sebab atas akibat-akibatnya. Yakni bahwa akibatnya tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari sebabnya.

Artinya, Kuasa dan Kontrol Tuhan terhadap semua perbuatan manusia itu sama dengan Kuasa dan KontrolNya terhadap makhluk-makhluk yang lain. Dengan kata yang lebih jelas, bahwa perbuatan manusia itu tergolong makhlukNya juga. Dan karena perbuatan manusia adalah akibat dan makhlukNya juga berarti perbuatan manusia juga merupakan perbuatanNya.

Akan tetapi karena Allah telah memberikan akal dan Ikhtiar (hak memilih) pada manusia, maka yang akan bertanggung jawab terhadap perbuatannya adalah dirinya sendiri, bukan Tuhan.

Inilah arti dari keaktifan Tuhan setiap saat atau harinya (QS: 55:29: “Setiap hari Dia Aktif”). Dengan demikian kita tidak keluar dari Tauhid-Penciptaan, tapi tidak juga masuk ke dalam perangkap “Iman kepada takdir baik dan buruk dari Allah”, atau ke dalam perangkap “Freewill”nya Mu’tazilah. Karena dalam keyakinan Mu’tazilah yang sampai kepada kita adalah bahwa Tuhan hanya mencipta manusia dan memberinya akal, potensi, ikhtiar dan agama untuk memberikan peluang memilih apa yang akan dikerjakannya, sementara Dia hanya menunggu di akhirat untuk meminta tanggung jawab dari masing-masing manusia, tanpa ada hubungannya dengan masing-masing perbuatan manusia saat ini. Artinya Dia tidak ikut aktif dalam aktifitas kehidupan manusia. 


Tapi dalam pandangan Syi’ah, Tuhan masih tetap ikut aktif, karena Dia adalah sebab-akhir, atau sebabnya para sebab. Inilah yang dikenal dengan “Tengah di antara dua hal”, yakni tengah antara freewillnya Mu’tazilah dan Jabriahnya Asy’ariyah yang umum diikuti Ahlussunnah di Indonesia. 

Dengan demikian perbuatan manusia juga merupakan makhlukNya. Hal itu karena manusia merupakan akibat/makhlukNya, sedang perbuatan manusia adalah akibat manusia. Dan karena akibatnya akibat, juga akibat bagi sebabnya, maka perbuatan manusia juga merupakan akibat atau makhluk bagiNya. Tapi karena manusia telah diberiNya pilihan, maka yang akan bertanggung jawab terhadap perbuatan manusia itu adalah manusia sendiri sebagai sebab-langsung atau sebab-dekat bagi akibat yang dibicarakan disini, yaitu perbuatan manusia, bukan Tuhan yang merupakan sebab-jauh bagi perbuatan manusia itu. 

Karena Dia hanya mewujudkan semua hal yang bisa menjadi sebab bagi perbuatan manusia tersebut, sampai ke akibat paling akhir sebelum perbuatan manusia itu muncul, yaitu ikhtiar manusia itu sendiri. Dan karena sebab akhir bagi perbuatan manusia itu adalah ikhtiar manusia, maka manusialah yang harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya sendiri. 

Dengan kata lain, Allah telah memberikan kemampuan dan ijin takwiniah (pewujudan) pada manusia untuk mewujudkan apa-apa yang telah dipilihnya dalam bentuk perbuatannya itu. Akan tetapi karena akibat itu tidak mungkin berpisah dan mandiri sedikitpun dari sebabnya, maka sudah pasti perbuatan manusia, juga merupakan makhlukNya. Tapi karena tahapan terakhir sebelum tercipta perbuatan manusia, memiliki sebab yang namanya ikhtiar manusia, maka sudah pasti manusialah yang harus bertanggung jawab, bukan Tuhan. 

Inilah takdir dalam Islam yang diwariskan melalui Ahlulbait as. Yakni Allah menakdirkan bahwa perbuatan manusia sesuai dengan pilihannya sendiri dan akan dimintai tanggung jawab karenanya, bukan takdir terhadap nasibnya, dari sukses-tidaknya, baik-tidaknya, iman-tidaknya, taqwa-tidaknya, kaya-miskinnya, alim-bodohnya, syahid-tidaknya, sehat- sakitnya, jodoh-tidaknya, celaka-tidaknya, panjang-pendek umurnya .... dst.

(d-1-5) Rejeki, Umur dam Ajal 

Dengan penjelasan diatas itu sudah dapat dipahami dengan baik dan mudah bahwa Lauhu al-Mahfuzh adalah ilmu-ilmu Allah tentang semua hal, termasuk takdir dan hukum-hukum alam semesta dimana di dalamnya termasuk takdir menusia bahwa ia berbuat sesuai ikhtiar dan pilihannya, dan juga termasuk ilmuNya tentang detail-detail pilihan masing- masing manusia sesuai ikhtiarnya. 

Dengan ini, maka akan lebih mudah memahami tentang masalah rejeki dan umur manusia ini. Yakni bahwa Allah menentukan takdir dan kadar serta takaran masing-masing. Namun, jangan disalah pahami, bahwa takaran ini maksudnya adalah si fulan memiliki umur dan rejeki “sekian”. Bukan seperti itu. Akan tetapi pengkadaran yang bersifat umum. 

Misalnya paru-paru tertentu kalau tekena rokok 100 bungkus akan menjadi terluka dan dalam kondisi tertentu akan membuat pemiliknya mati dalam waktu setahun setelah itu. Atau dalam kondisi tertentu dari pasar, masyarakat, cuaca dan semacamnya, maka harga cabe rawit akan menaik dalam sehari dua kali lipat.

Jadi, dalam pengkadaran itu tidak ada sama sekali penulisan tentang si fulan paru-parunya harus jebol karena rokok 100 bungkus, dan si fulan harus untung karena cabenya akan naik dua kali lipat. Tidak demikian. 

Namun begitu, Allah mengetahui siapa-siapa yang akan berikhtiar merokok 100 bungkus dan yang akan bisnis cabe dalam kondisi tadi itu. 

Jadi, maksud dari pernyataan bahwa “Rejeki manusia dan semua makhluk itu sudah ditentukan Allah”, adalah ditentukannya kadar atau ukuran sebab-akibatnya, bukan rejeki per-individunya. Dan maksud dari “Ajal itu tidak bisa dimajukan dan diundurkan” adalah sebab-sebab kematian, bukan penentuan jumlah umur dan cara mati seseorang/makhluk. 

Jadi, umur seseorang itu sesuai dengan datangnya sebab kematiannya yang bersangkut paut dengan ikhtiarnya sendiri. Apakah ia menjaga kesehatan atau tidak, makan bergizi atau tidak, ugal-ugalan di jalan atau tidak, hidup di lingkungan yang berpolusi atau tidak atau lingkungan berpenyakit atau tidak....dan seterusnya. 

Nah, kalau seseorang itu telah memilih salah satunya, maka umurnya tidak akan bertambah dan berkurang dari takdir atau jalan yang telah dipilihnya itu. Hal itu karena akibat, yang dalam hal ini umur atau mati atau ajal, akan selalu sesuai dengan sebabnya yang, dalam hal ini adalah cara hidup tertentu yang telah dipilih oleh masing-masing manusia itu sendiri. Dengan demikian bukanlah Tuhan yang telah memilihkan umur itu untuknya. 

Namun, demikian, Tuhan mengetahui semua pilihan masing-masing manusia dan ter- hadap hasil dari pilihannya itu. Oleh karena itu, Tuhan tahu umurnya si fulan itu berapa dan begitu pula rejekinya yang, keduanya merupakan akibat dari pilihan-pilihannya sendiri yang mengakibatkan jumlah umur dan rejekinya itu. Jadi, disamping umur itu akan sesuai dengan ikhtiar manusia, ia juga akan diketahui oleh Allah. Perhatikanlah ayat berikut ini: 


وَمَا تَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى وَلَ تَضَعُ إِلَّ بِعِلْمِهِ وَمَا يعَُمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلَ ينُْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ
عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“...Dan tidak ada seorang perempuan mengandung dan tidak (pula) melahirkan, melainkan dengan sepengetahuanNya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauhu al-Mahfuzh) sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah” (QS: 35: 11) 

Karena terjemahan di atas diambil dari DEPAG yang mengimani nasib dan takdir ini, maka terjemahannya menjadi seperti yang pembaca lihat ini. Dan terjemahan tersebut akan membuat buntut dari ayat di atas, tidak memiliki fungsi sama sekali. Karena Allah menutupnya dengan “mudah”, yakni “....yang demikian itu mudah bagi Allah”. 

Kalau orang bertanya “Apanya yang mudah?”, maka sulit untuk menjawabnya. Karena kalau dijawab “mudah menentukan umur”, maka tidak klop dengan potongan sebelumnya yang mengatakan bahwa Allah mengetahui kandungan dan kelahiran. Kalau dikatakan “mudah mengetahui dan menentukan”, maka serasa kurang seirama hingga dimungkinakan bisa mengurangi nilai sastranya. 

Akan tetapi kalau kita maknai bahwa Lauhu al-Mahfuzh itu adalah ilmu Allah atau kumpulan ilmuNya, maka “mudah” maksudnya adalah “mudah untuk mengetahuinya”. Yakni bahwa kandungan di perut dan hari kelahiran, serta panjang-pendeknya umur seseorang itu, sudah diketahui olehNya dengan mudah. 

Dengan demikian maka panjang-pendek umur seseorang itu tidak ditentukan olehNya. Sedang arti tidak bertambah dan berkurangnya umur itu, sudah dijelaskan di atas, bahwasannya tidak akan bergeser dari sebab kematian yang telah dipilih oleh masing- masing ikhtiar manusia. Jadi, ajal dalam ayat-ayat Qur'an adalah penghabisan waktu (mati) yang disebabkan oleh sebab-sebab kematian, bukan ketentuan umurnya karena Tuhan tidak menentukannya. Allah berfirman: 


وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَ يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat memiliki batas waktu (jaya dan hancurnya) maka apabila telah datang waktunya mereka, tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (QS: 7: 34) 

Kata “ajal” banyak dipakai dalam Qur'an, yaitu sekitar 28 kata. Dan sebagiannya dipakai pada kedatangan kejayaan atau kehancuran pada suatu kaum, seperti ayat di atas. Ini sangat jelas, bahwa “ajal” di dalam Qur'an, bermakna sampai kepada suatu titik yang disebabkan atau dihantarkan oleh sebab yang dipilih oleh suatu kaum atau bangsa atau manusia itu sendiri. Apakah sebab-sebab yang membuat kemajuan atau kehancuran. 

Karena menghukum dan menghancurkan umat yang durhaka tapi dengan kedurhakaan yang telah ditakdirkan Allah, adalah suatu pernyataan yang tidak akan mungkin dapat dipahami oleh siapapun, kecuali oleh orang-orang yang telah didikte dalam budaya seperti itu yang diiringi dengan penakut-nakutan masuk neraka. Karena kalau tidak beriman kepada rukun yag ke 6 maka hukumnya kafir dan masuk neraka. Tidak perduli rukun itu datang dari mana dan juntrungannya apa. Disini, mainnya hanya “pokoknya”, yakni “pokoknya begitu” tidak bisa tidak. 

Memang, ada juga kata “ajal” itu yang dipakai pada batas waktu dari kehidupan suatu bangsa atau atau kelompok atau seseorang yang diiringi dengan penungguan dimana seakan-akan dapat dipahami bahwa disana (ketentuan Tuhan) ada yang namanya ketentuan umur dari Tuhan. Akan tetapi, dengan mengkomparasikannya dengan ayat- ayat lain, seperti ayat-ayat yang menyuruh kita mati syahid, menjalankan hukum qishash dan rajam ...dst, ditambah dengan dalil akal gamblang di atas, maka dapat dipahami bahwa “ajal” adalah batas waktu kehidupan yang dihantarkan oleh sebab-sebab kematian yang muncul dari ikhtiar kita atau setidaknya berhubungan dengan ikhtir kita sebagai manusia. 

Maksud berhubungan dengan ikhtiar kita adalah karena kadang-kadang kita telah memilih hati-hati di jalanan, akan tetapi karena ada sopir yang memilih atau berikhtiar menyetir dalam keadaan mengantuk, maka kita ditabraknya. Di sini, tetap merupakan ikhtiar kita. Karena kita tahu bahwa sekalipun kita hati-hati di jalanan, bisa saja tabrakan itu terjadi manakala ada orang yang tidak hati-hati. 

Tapi keikhtiaran kita disini tidak langsung, karena yang langsungnya adalah pada kehati- hatian kita. Namun, karena kita tahu kecelakaan itu tetap saja bisa terjadi, dan kita tetap memilih ke jalanan, maka berarti kita menginginkannya pula secara hakikatnya walau hati kita tidak menginginkannya. Inilah yang dikatakan resiko. 

Jadi, pilihan disini adalah pilihan filosofis atau hakiki, bukan pilihan perasaanis alias bukan pilihan yang disukai perasaan kita. 

Simpulan: Ketika kita sudah benar memahami Lauhu al-Mahfuzh dan Takdir ini, maka sudah jelas bahwa akal, agama, usaha dan doa, akan benar-benar memiliki arti yang hakiki dan memiliki fungsi asasi dalam kehidupan manusia. Tapi kalau dimaknai dengan yang salah, yaitu ditentukannya nasib manusia oleh Tuhan, baik umur, rejeki dan jodohnya dan lain sebagainya, maka akal, agama, usaha dan do’a, sama sekali tidak akan berfungsi dan berguna.

(d-2) Tuhan Tidak Mencipta Yang Buruk 

Salah satu hikmah dari beriman kepada ke-Adilan Tuhan adalah keyakinan terhadap kebaikan seluruh ciptaanNya. Karena keburukan yang dikira oleh manusia itu, hanyalah nisbi dan tidak niscaya. Karena keburukan tersebut tidak memiliki sebab keberadaan. Oleh karenanya, keburukan itu adalah tiada. 

(d-2-1) Dalil Tiadanya Keburukan 

Setiap keberadaan yang terbatas, harus memiliki sebab keberadaan sebagaimana telah kita bahas di bab tauhid di bagian pertama Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah ini. Namun, kalau kita perhatikan tentang keburukan yang didakwakan oleh manusia, kita tidak dapat melihat keberadaan sebabnya. Dengan demikian keburukan itu tidak ada. 

Contohnya: Kita mengatakan bahwa orang buta, cacat, sakit, jatuh, kecelakaan, bejat, pembunuhan, penzinaan....dst adalah suatu keburukan. Akan tetapi, sebabnya adalah suatu pahaman “ketiadaan”. Buta dikatakan jelek karena tidak adanya mata dan penglihatan. Cacat, sakit, jatuh, dan kecelakaan dikatakan jelek karena ketiadaan normal, sehat dan keselamatan. Tiadanya mata dan penglihatan, tiadanya normal, sehat dan keselamatan, adalah ketiadaan bagi suatu keberadaan. Dengan demikian, sesuatu itu dikatakan jelek, karena ketiadaan sesuatu pada suatu obyek yang akan dinilai. Begitu pula pembunuhan dan penzinaan. Keduanya dikatakan jelek karena ketiadaan pula. Yakni ketiadaan nyawa dan norma. 

Ketika ketiadaan yang menyebabkan sesuatu itu jelek, dan ketiadaan itu adalah ketiadaan dan bukan keberadaan, maka sebab kejelekan adalah “ketiadaan”. Dan karena sebab kejelekan itu adalah “ketiadaan”, maka akibatnya, yakni “jelek” juga tidak ada. Dengan demikian, dapat dipahami dengan akal gamblang bahwa kejelekan itu tidak ada. Dia hanya berupa pahaman yang ada dalam akal dan tidak memiliki unsur niscaya. 

Dan pahaman inipun muncul dengan pengkomparasian atau perbandingan wujud obyek dengan wujud lainnya. Jadi, di samping ianya berupa wujud akal dan pahaman saja, ia juga hanya berupa perbandingan. 

Sementara perbandingan, jelas tidak ada wujudnya di alam nyata. “Lebih besar”, “lebih kecil”, “lebih manis”, lebih pahit”, lebih banyak”, “lebih panas”....dst adalah hanya berupa keberadaan dalam akal yang tidak memiliki wujud niscaya di alam nyata selain pahaman. Jelek ini, pada hakikatnya juga demikian. Buta yang ibarat lain dari tidak bermata, selain sebab ketiadaan di atas, dikatakan jelek karena dibandingkan dengan wujudnya mata. Begitu pula tentang contoh-contoh lainnya di atas itu. 

Dengan dua dalil di atas ini, dapat dipahami dengan mudah, bahwa kejelekan itu tidak ada, karena tidak ada sebabnya. Yakni sebabnya adalah ketiadaan.Tentu saja penglihatan ini adalah penglihatan filosofis dan keniscayaannya atau kenyataannya, bukan pengi’- tibaarannya atau pemahamannya. 

Sekarang bagaimana dengan kebaikan? Jawabanya adalah “ada”. Karena sesuatu yang dikatakan baik itu, disebabkan adanya sesuatu, bukan ketiadaannya sebagaimana pada kejelekan. Kita katakan bahwa melihat itu baik, sehat itu baik dan seterusnya, karena adanya mata, kesehatan ...dst. Jadi, karena kebaikan itu memiliki sebab keberadaan, maka ia adalah ada dan eksis. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa seluruh ciptaan Allah itu baik karena sebab kebaikannya adalah keberadaan, dan tidak satupun ciptaanNya itu jelek karena sebab kejelekannya adalah ketiadaan. 

(d-2-2) Baik Buruk Dalam Akhlak 

Dengan diketahuinya suatu keniscayaan bahwa setiap yang ada itu pasti baik, dan kejelekan itu adalah ketiadaan, maka dapat dipahami pula bahwa kejelekan itu hanyalah ada di dalam pahaman kita (i’tibaar atau ilmu atau nilai). Oleh karena itulah maka kejelekan karakter manusia itu adanya hanya dalam nilai, bukan nyata luarnya. 

Orang yang membunuh dan mencuri itu dikatakan jelek, karena meniadakan nyawa dan harta orang lain. Dan peniadaan ini adalah ketiadaan. Yakni, karena tiada nyawanya oleh perbuatan orang itu, maka orang itu jelek. 

Dalam contoh ini, yang ada, hanyalah perbuatan pembunuh. Dan yang lainnya, yaitu mati atau tiadanya nyawa, adalah ketiadaan. Maka dari itu, perbuatannya itu tetap baik, karena keberadaan sebabnya. Misalnya karena tenaganya kuat, senjatanya tajam dan sebagainya. Sedang kematian yang menyebabkan kejelekan, tidak ada wujudnya. 

Salah satu bukti yang bisa dirasakan dengan mudah, bahwa membunuh itu baik secara keberadaannya dan bukan secara nilai akhlaknya, adalah manakala kita membunuh seorang musuh dalam peperangan yang diperintahkan agama. Di sini, sama-sama membu- nuh, tapi dikatakan baik. Hal itu membuktikan bahwa pembunuhan itu adalah kebaikan dalam keberadaannya sendiri walau dikatakan jelek dalam nilai akalnya, yaitu manakala menghilangkan nyawa seseorang yang tidak boleh dihilangkan secara agama. 

Memang, nilai akal ini tetap harus diperhatikan. Karena nilai itu bisa mempengaruhi pelaku nilai. Oleh karenanya, agama, yang seluruh hukumnya merupakan nilai, wajib diperhatikan. Misalnya, ketika orang berzina, maka kecenderungan kepada kebatilan yang ada sebelumnya, akan semakin menguat. Dan kecenderungan serta menguatnya, adalah sifat manusia yang tergolong keberadaan, bukan ketiadaan. 

Semua nilai-nilai baik dan buruk yang ada dalam hukum-hukum manusia dan/atau terutama agama yang sudah pasti benar, merupakan i’tibaar atau ide atau pahaman atau undang-undang dan wujud dalam akal atau dalam perundangan, yang tidak memiliki keberadaan nyata. Haram, halal, wajib, kriminal dan semacamnya adalah pahaman yang tidak memiliki wujud nyata kecuali dalam hafalan atau kertas. Akan tetapi kalau kita tidak memperhatikannya, maka akan membuat wujud nyata kita ini menderita, baik dalam ruhaniah kita atau dalam neraka atau penjara. Dan penderitaan-penderitaan itu adalah keberadaan yang dapat dirasakan manusia keniscayaan nyatanya.

(d-3) Sama Rata Adalah Keanehan dan Kezaliman 

Salah satu dari hikmah percaya kepada ke-Adilan Tuhan, adalah keyakinan terhadap ketidak mestian (di beberapa tempat) dan bahkan ketidak bolehan kesamaan di banyak obyek dan keberadaan. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa Adil Allah bukanlah sama rata, tapi menempatkan sesuatu pada tempatnya. 

Kalau semua jenis kelamin manusia itu sama, wajah manusia itu sama, pekerjaan manusia itu sama, posisi sosialnya juga sama, pandainya sama, bodohnya sama, kuatnya sama, lemahnya sama, perasaannya sama, akalnya sama ...dst, maka bagaimana manusia bisa bertahan hidup walau sehari saja? 

Ketika sepasang suami istri sama-sama lebih suka menggunakan perasaannya, maka bagai- mana suaminya akan menghadapi ujian persaingan di pasar ketika bekerja. Karena pada umumnya lebih kasar dan menyindir dari ucapan dan perbuatan di rumah? Atau kalau sama- sama lebih cenderung menggunakan akalnya, maka siapa yang akan melompat bangun di tengah malam manakala anaknya menangis? Karena kalau sama-sama menggunakan akal, maka si istri juga telah menggunakan akalnya (bukan perasaan) ketika mau tidur. Yakni menyusui anaknya, memasang pengaman di tempat tidur bayinya dari kemungkinan serangan binatang serangga, misalnya diselambui supaya tidak diganggu nyamuk, dan kaki ranjangnya dililiti kain yang disiram minyak tanah supaya tidak dinaiki kala jengking...dst. Nah, ketika sudah demikian, maka tangisan bayinya tidak akan membuat sang ibu bangun di tengah malam. Akan tetapi, bisa saja ketika pagi tiba, ternyata bayinya sudah mati, karena digigit ular atau tikus yang jatuh dari atap rumahnya yang tidak bisa dibendung oleh selambu lembutnya itu. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ketidaksamaan kodrat yang ada pada manusia dan alam semesta ini, sudah pada tempatnya dan tidak ada maksud perendahan dari ciptaan yang memiliki kekurangan dari satu sudut. Karena masing-masing memiliki kelebihan di samping kekurangannya itu supaya saling mengisi dan penciptaannya telah pula disesuaikan dengan tujuan ciptaannya. 

Justru kebanyakan dari kesamaan itu adalah keanehan dan kezaliman. Kalau semua orang di suatu negara adalah presiden, lalu siapa yang akan jadi rakyatnya? Begitu pula sebaliknya. Kalau semua pekerja dibayar sama, maka pasti akan terjadi kezaliman. Karena pegawai yang ada memiliki berbagai perbedaan. Ada yang sudah lama bekerja dan ada yang baru; ada yang sekolah tinggi dan ada yang rendah; ada pegawai biasa dan ada yang meneger(manager)...dst. Nah, kalau bayarannya disamakan semuanya, maka jelas penganiayaan telah terjadi di kantor tersebut. 

Sama rata itu adalah keadilan, manakala semua kondisi obyeknya sama dalam segala sisi. Dan yang seperti ini tidak memiliki keberadaan nyata dalam kehidupan kecuali sedikit. 

Oleh karena itu, Feminisme, adalah suatu tuntutan terhadap keanehan dan kelucuan. Karena secara akal-mudah dan gamblang, dapat dimengerti dan dipahami dengan yakin bahwa kedua insan, lelaki dan perempuan ini, memiliki perbedaan, baik fisik atau mentalnya. Jadi, Feminisme itu, sebenarnya, bukan menuntut kesamaan hak, karena pemilik haknya memang tidak sama, akan tetapi menuntut ingin menjadi laki-laki. Mereka hanya menuntut kesamaan hak manakala seperti menghadapi hak menjadi presiden. Tapi tidak mau menerima hak manakala diberi giliran patroli keliling menjaga maling (pencuri) di RT-nya.

(d-4) Adil Juga Bermakna Tidak Mengambil Hak Orang Lain 

Ketika kita sudah tahu, bahwa ketidaksamaan itu adalah keadilan yang nyata, dan kesamaan itu adalah keanehan dan kezaliman yang nyata pula, yakni pada obyek-obyek yang memang tidak memiliki kesamaan yang memadahi dan mencukupi, maka menuntut keadilan di sini adalah memaksa keluar dari fitrah dan keniscayaan yang nyata dan dihadapi. 

Namun demikian, ada beberapa ketidaksamaan global yang dirasa merupakan kezaliman dan kesamannya merupakan keadilan. Misalnya, sama-sama punya mata, kaki, tangan, telinga, cantik, tampan, putih, hitam, tinggi, pendek .....dst. Di sini, kita melihat banyak terjadi ketidak samaan. Pertanyaannya adalah, apakah ketidak samaan di sini adalah keadilan atau sebaliknya? 

Jawabnya adalah tetap merupakan keadilan. Hal itu, setidaknya, ada dua sebab: 

1). Sebab pertamanya adalah bahwa ketidaksamaan itu tidak diciptakan Allah secara langsung. Semua yang terjadi di bawah, atau di alam sosial dan lingkungan manusia, tidak bisa dilepaskan dari manusianya itu sendiri. Oleh karenanya masih berhubungan dengan ikhtiar manusia. Walau, dalam hal ini, berhubungan dengan manusia lainnya. 

Seorang ayah yang hitam, ketika ia berikhtiar kawin, dan memilih istri) yang hitam pula, maka sangat mungkin anaknya akan menjadi hitam. Begitu pula yang pendek, cantik, jelek dan semacamnya itu. Jadi, kekurang kekurangpuasan seseorang mengenai tubuh dan dirinya, tidak bisa dilarikan ke Tuhan. 

Tentang cacat juga demikian. Ketika ayah yang suka gaul bebas dan terkena penyakit yang membuat maninya rusak, maka kalau memilih kawin dan berikhtiar memiliki anak, maka sangat dimungkinkan anaknya akan cacat. Atau seorang ibu yang mengandung, ketika kurang teliti terhadap makanan dan semacamnya, bisa saja membuat anaknya lahir dalam keadaan cacat. 

Jadi, ketidakpuasan seseoarang akan diri, tubuh dan mentalnya, tidak bisa dilarikan ke Tuhan untuk mendapatkan keadilanNya. Karena penyebab langsung dari semua itu bukan Tuhan, tapi ikhtiar manusia lain selain dirinya. Yakni orang tuanya. Atau bisa saja karena lingkungan alam yang tidak sehat. Walaupun dalam hal ini juga telah menjadi bagian dari ikhtiar orang tuanya karena telah memilih tempat yang tidak sehat itu sebagai tempat tinggalnya. 

Namun demikian, kita tidak bisa juga langsung menyalahkan orang tua kita. Karena bisa saja mereka tidak menyadarinya atau terpaksa memakan sesuatu yang kurang sehat atau tinggal di lingkungan yang tidak sehat. Itulah mengapa Tuhan dan agama menyuruh kita sabar dalam menghadapi ujian hidup. Misalnya, si cacat tadi, jangan marah-marah pada orangtuanya, karena belum tentu orangtuanya sengaja dalam melakukan kesalahan itu. 

2). Sebab ke duanya, adalah karena kita tidak bisa menuntut apapun kesamaan dari Tuhan. Hal itu karena kita tidak memiliki hak apapun ke atasNya. Tadi sudah dikatakan bahwa sama rata itu adalah keadilan manakala semua kondisinya adalah sama. Di sini, kita sebagai manusia tidak memiliki hak apapun dari Tuhan apalagi kesamaan hak diantara kita terhadap Tuhan. Misalnya punya hak untuk memiliki dua mata dari Tuhan. Tidak demikian. 

Hak seseorang bisa ada dan eksis manakala ia telah memberikan sesuatu kepada yang mau diambil haknya itu. Misalnya ia telah bekerja dan sekarang menuntut haknya untuk meminta bayarannya. Akan tetapi, manusia dengan Tuhannya, tidak bisa digambarkan  sama sekali kalau manusia mempunyai hak. Karena manusia tidak melakukan apapun untuk Tuhannya di awal penciptaannya. Dan kalau setelah dicipta ia melakukan suatu kebaikan seperti shalat dan semacamnya, itupun tidak bisa dikatakan untuk Tuhannya,karena Dia tidak terbatas hingga tidak perlu tambahan apapun. 

Dengan demikian maka dapat dipastikan bahwa pemberian yang tidak sama itu adalah hadiah dari Tuhan kepada kita yang tidak didahului oleh pengabdian apapun untukNya. Karena kita baru dicipta, dan kalau setelah diciptapun, juga tidak bisa dikatakan bahwa pangabdian kita itu untukNya. Dan kalau merupakan hadiah, maka sudah semestinya disyukuri, apakah pemberianNya itu sama atau tidak sama, banyak atau sedikit. 

Jadi, yang lahir dalam keadaan cacat itu, bukan hanya tidak bisa menuntut keadilan dari Tuhan, tapi bahkan harus mensyukuri pemberianNya kepadanya walau lebih sedikit dari yang diberikan kepada orang lain. Begitu pula seandainya benar bahwa siti Hawa as dicipta dari tulang rusuk nabi Adam as. Karena semua itu adalah hadiah dariNya yang tanpa didahului oleh kepemilikan hak dari manusia ke atasNya.
(d-5) Semua Perbedaan Sesuai Takaran Sebab-akibat Umum Yang Digariskan Allah 

Setelah kita mengerti bahwa ketidaksamaan itu adalah bukan akibat dari Tuhan secara langsung hingga tidak bisa dihubungkan padaNya, dan setelah kita tahu bahwa perbedaan itu sebenarnya adalah rahmat dan bukan kezaliman, dan bahwasannya rahmat-rahmat itu wajib disyukuri, maka sekarang perlu saya tekankan bahwa pada akhirnya, semua perbedaan itu juga merupakan akibat dan makhlukNya. 

Dalil untuk hal di atas ini sangat mudah. Yaitu, sebabnya sebab, sebab pula bagi akibatnya. Manusia adalah sebab bagi pilihan dan perbuatannya, dan Allah adalah sebab bagi adanya manusia (tentu tidak langsung juga dan kita ambil seperti langsungannya karena pembahasan kita sekarang adalah antara Tuhan, manusia dan ikhtiar manusia), oleh karena itu maka Allah juga sebab bagi pilihan dan perbuatan manusia. 

Nah, ketika dari satu sisi, pilihan dan perbuatan manusia ini juga makhluk Allah (walaupun yang harus bertanggung jawab adalah manusia sebagaimana maklum), maka secara global, maka Tuhan juga semacam ikutan bertanggung jawab, karena semua itu terjadi dalam takdir/ kadar/ketentuan hukum-hukum alamNya. 

Oleh karena itu Allah memberikan pahala bagi penderita ketidaksamaan yang diakibatkan oleh ikhtiar orang lain itu. Misalnya, orang buta, maka kepadanya akan diberikan pahala sesuai penderitaannya itu. Dan kalau ia berhasil mempelajari satu surat Qur'an, maka pahala yang diberikan kepadanya akan melebihi dari orang yang tidak buta. Hal itu karena ke-Maha SantunNya dan juga karena derita dan usaha hambaNya yang tercederai akibat hukum- hukum alamNya itu. 

Jadi, segala macam perbedaan sudah sesuai dengan aturan hukum alamNya yang mengkadari semua hal sesuai sebabnya yang diatur dengan kebijakanNya. Misalnya orang malas akan bodoh, orang rajin akan pintar ...dst. 

Namun demikian, kalau keperbedaan manusianya itu diakibatkan oleh ikhtiar orang lain (seperti ayah) atau alam, maka sekalipun Tuhan sudah berbuat Adil karena tidak mengambil haknya, tetap saja berbuat keutamaan dengan memberikan pahala-pahala. Itulah ke-Maha MurahanNya dan ke-Maha LembutanNya.

(d-6) Musibah dan Bencana Alam Adalah Anugrah dan Bukan Kezaliman 

Dengan semua penjelasan di atas itu, saya rasa sudah dapat dipahami dengan mudah bahwa musibah dan cobaan yang menimpa kehidupan sosial manusia, adalah tidak murni dari Tuhan. Yakni tidak langsung dari Tuhan. Memang, dianya terlahir dari sistem Tuhan, akan tetapi menyangkut erat dengan ikhtiar manusia sebagai sebab-dekatnya, walaupun manusia penyebab itu adalah manusia lainnya. Di sinilah agama manyuruh kita membuat lingkungan sosial dan alam yang baik, agar supaya tidak banyak menimbulkan ganjalan bagi ikhtiar-ikhtiar dan perkembangan kita dan manusia generasi selanjutnya. 

Dan jelas bahwa manusia yang sabar dan ulet, akan diberi pahala olehNya, karena penderita- nya menjadi menderita karena sistem alamNya. Dan bahkan, sekalipun bencana itu datang dari tangan manusia itu sendiri, tetap Allah akan memberikan hadiah bagi yang sabar dan ulet membangun kehidupannya lagi. Inilah yang dikatakan taubat dan penderitaan dunia. Misalnya orang yang karena pergaulan bebas terkena Aid. Maka kalau ia taubat, dan sabar menghadapi penyakitnya dalam artian menerima dan ulet membangun ketaqwaannya di samping berusaha menyembuhkan penyakitnya, maka sakit yang dideritanya akan menghilangkan siksa akhiratnya kelak, dan kalau taubatnya benar-benar, maka sakit yang dideritanya itu, tidak mustahil juga akan mendatangkan pahala baginya. 

Bagaimana dengan bencana alam? Secara menyeluruh, bencana alam adalah rahmat dari Allah juga. Karena bencana itu sering merupakan peringatan terhadap keagunganNya supaya manusia tidak menyombongkan diri; peringatan terhadap hari akhir supaya manusia itu selalu hati-hati dalam menghitung amal-amalnya; peringatan terhadap maksiat yang dilakukan manusia supaya tidak mengulanginya dan segera bertaubat; atau merupakan penjagaan terhadap kehidupan yang lebih luas. Seperti gunung meletus yang diniscayakan Tuhan melalui takdir hukum-hukum alamNya itu, ditujukan untuk menjaga kehidupan yang lebih luas. Karena kalau gunung itu tidak diletuskan, maka bumi sendiri yang akan meletus karena tidak akan kuat menahan tekanan magma. 

Dan karena Allah Maha Adil, Santun dan Lembut, maka sudah pasti penderitanya, akan dipahalai olehNya. 

Ini semua, kalau musibah itu benar-benar lahir dari takdir atau aturan-aturan hukumNya tanpa campur tangan manusia. Tapi kalau bercampur dengan tangan manusia, misalnya membuang sampah ke sungai hingga terjadi penyumbatan jalan air dan terjadi banjir, atau penggudulan hutan yang juga bisa menyebabkan banjir, maka kesalahan dari terjadinya banjir itu ada pada manusia itu sendiri. Oleh karenanya yang harus bertanggung jawab adalah manusia sebagai pelakunya. Sebab itulah, maka kalau manusia sudah menyadarinya dan masih melakukannya, sangat mungkin telah melakukan maksiat, dan mereka bisa dituntut dengan ganti rugi bahkan di dunia ini. 

Memang, sekali lagi, karena semua itu lahir dari aturan Allah tentang alam yang global, misalnya kalau udara demikian maka turun hujan, kalau sungai demikian dan terjadi hujan maka akan banjir ...dst, maka penderita kebanjiran itu, kalau telah melakukan amar makruf dan nahi mungkar terhadap pembuang sampah dan penebang hutan (kalau diketahui), dan sudah tidak mampu lagi pindah ke tempat lain karena tidak punya uang, maka kalau dia terkena musibah banjir itu, akan diberikan pahala oleh Allah. Asal tawadhu dengan aturan alam Tuhan itu (tidak protes pada Tuhan), dan ulet menghadapi masalahnya. 

Tentu saja, salah satu dari hikmah bencana alam itu, adalah menempa manusia supaya kuat dan maju dalam kehidupan dan peradaban. Oleh karena itulah, negara yang sering mendapatkan bencana alam, akan lebih maju dari negara lain dari sisi hal-hal yang bersentuhan dan berhubungan dengan bencara tersebut. Misalnya, negara yang sering terkena gempa bumi akan lebih maju dari negara lain dari sisi tekhnologi tentang pergempabumian dan cara-cara menghadapinya. 

Akan tetapi, bencana alam itu juga ada yang bersifat azab dari Allah bagi suatu umat yang keterlaluan dalam kekafiran atau kefasadan/keburukan. Namun, hal ini tidak terlalu banyak terjadi. Dan kalau terjadi, bagi manusia lainnya, juga tetap akan merupakan rahmat Tuhan, karena bencana itu adalah peringatan baginya. 

Dengan uraian-uraian ini dapat dipahami bahwa bencana alam memiliki banyak dimensi yang, pada umumnya adalah rahmat dan anugrah Tuhan, dan sedikit dari padanya merupakan azab bagi yang terkena. 

Sebenarnya masih banyak perbincangan tentang ke-Adilan Tuhan ini, namun karena keter- batasan banyak hal, maka saya cukupkan sampai disini saja, semoga bermanfaat bagi saya sendiri dan bagi semua friend dan pembaca budiman. 

Al-Hamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin, dan shalawat atas junjungan kita Muhammad saww dan keluarganya yang suci 

Tulisan ini akan bersambung ke bag: 3 (3- Keimanan Syi’ah Tentang ke-nabian), In syaaAllah.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempolnya 

Sinar Agama: salam untuk Ali-A: Untuk selain tujuan bisnis, silahkan share atau mau diapain aja tulisanku asal untuk kebaikan, tapi usahakan jangan diedit karena takut berubah maksudku. Benar 5 detik lagi atau berapa detik dan jam atau tahun lagi antum mau menggerakkan tangan atau akan berkata dalam hati apa saja......dst akan diketahui Tuhan bahkan sejak sebelum penciptaan. Karena dalam bag:1 sdh diterangkan bahwa Tuhan itu tidak terbatas, dan kalau demikian berarti IlmuNya juga tidak terbatas, dan kalau IlmuNya tidak terbatas pula maka tidak ada yang tidak diketahuiNya, baik di masa sebelum ada masa, masa lalu, sekarang dan akan datang sampai ke akhirat. Terimakasih tanggapannya. Semoga Tuhan selalu menyelimuti kita dengan RahmatNya.

Sinar Agama: Ali_A, : 

(1) Tahu itu bukan menentukan (Menjawab pertanyaan Ali yang hilang dari kolom komentarnya sendiri. Pertanyaannya adalah bahwa kalau Tuhan tahu dan ilmuNya pasti benar, maka manusia menjadi majbur atau terditerminis alias terpaksa dalam segala perbuatannya lantaran harus sesuai dengan ilmuNya yang pasti benar itu). Misalnya antum tahu bahwa orang yg terjun payung dan payungnya tidak terbuka, maka dalam waktu beberapa detik lagi orang itu pasti mati remuk karena akan jatuh ke bebatuan atau jalan aspal. Apakah pengetahuan pasti antum sebelum kejadian itu adalah menentukan kejadian itu?. Atau antum tahu pasti bahwa tetangga antum yg kena aid akan segera mati...dst. 

(2) Yang Allah ketahui itu bukan gerakan tangan antum saja, tapi gerakan tangan antum dan masuk nerakanya orang yg disertai dengan pilihan dan ikhtiarya sendiri. Jadi, yang diketahui Allah adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya masing-masing. Bahkan yang dipaksapun, seperti) dipaksa minum khamr oleh orang lain karena kalau tidak minum akan dibunuh misalnya, ianya juga ikhtiar, walau sudah tentu tidak dosa. 

Aku sedih dan bahagia dengan bingungmu, sedih karena kurasa sudah jelas, senang karena berarti aku bisa membantumu, minimal berusaha membantumu hingga menambah ibadahku. Ali...Takdir itu menentukan nasib, di sini Tuhan tidak menentukan nasib siapapun. Jadi, semua sesuai dengan pilihan masing-masing. Tahu adalah Tuhan tahu apa saja yang akan dipilih oleh tiap-tiap orang dan tahu juga dengan pasti hasilnya dimana pengetahuan ini sudah ada sejak sebelum Dia menciptakan makhluk. Sebentar, apakah antum sudah baca seluruh tulisanku tentang ke-Adilan ini apa belum? 

Kalau antum lihat tetangga antum mau minum tuak yg sudah tersedia beberapa botol di mejanya. Apakah antum tahu bahwa orang itu akan mabok dalam beberapa waktu mendatang? 

Atau antum melihat orang terjun payung yang payungnya tidak terbuka, apa antum tahu kalau orang itu dalam waktu dekat akan mati secara pasti? 

Kalau belum tentu antum cari sendiri yg ”tentu” dan itu yang saya mau. Cari apa-apa yang menurut antum ”sudah tentu akan begitu dikemudiannya”. Saya rasa sudah termasuk sulit menjelaskan hal ini kepada antum kalau antum masih mengatakan bahwa orang yang terjun payung dan payungnya tidak terbuka atau tas payungnya pisah dari si penerjun, belum tentu mati. Karena bagi saya antum sudah tidak menyuarakan isi hati dan akal Anda. Allahu a’lam. Jadi, cari sendiri yang menurut antum pasti. Seperti matahari terbit besok pagi, besok anda ke kantor, nanti makan siang, antum akan bernafas, bensin mobil yg hidup terus itu akan habis bensinnya, air laut pasti menguap kalau kena sinar matahari, api akan pasti membakar.......dst. Cari yang pasti menurut antum. Nah, ketika sudah dapat bahwa sesuatu itu pasti terjadi dalam waktu berikutnya, maka anda telah mengetahui apa-apa yang akan terjadi setelah pasti. Lalu setelah itu pertanyaannya adalah apakah anda yang menentukan hal itu terjadi karena anda telah mengetahuinya, atau terjadi di luar ketentuan anda?

Bande Husein Kalisatti: Seperti biasa ana save..di print.. dan lain-lain..he..he.. 

Muhammad Yusuf Syahdani Tarigan: Salam wa rahmah ustadz.. semoga Allah melimpahkan nikmatnya kepada antum, atas apa yang telah antum lakukan dalam menyebarkan ilmu.. Ustadz, apa beda dari setiap kiriman yang ustadz posting?? Kenapa menggunakan kiriman 1,2 3,4??? Maaf ustadz.

Sinar Agama: Kiriman 1,2,3,4..dan seterusnya itu tidak memiliki beda isi. Tapi karena saya tidak mahir fb, mk saya mengira bahwa bisa tag hanya 30 orang, sedang yang dikirimi jauh lebih banyak dari itu. Kalau antum ada saran? 

Sinar Agama: akhi Muhammad, antum hanya bisa ngedit singkatan yang ada di wahdatul wujud 1-5 yang dari Anggelia itu, tapi kalau yang dari catatanku, maka tidak boleh diedit. Kalau yang Kedudukan Fantastis Imam itu, karena terdiri dari bag:1 sampai lebih dari 150-an, maka antum boleh hilangkan setiap tulisan bag itu , yakni boleh disambungkan antara tulisan bag sebelumnya dengan bag setelahnya.

Muhammad Yusuf Syahdani Tarigan: Iyye ustdaz.. yang saya ketahui, jika ingin meng-tag orang lain memang dibatasi ustadz ..tapi, mungkin ada yang tau cara lainnya agar bisa meng-tag unlimited. Maaf ustadz, mungkin ustadz salah ketik.maksudnya 150-an itu, menunjukkan jumlah apa ustadz? Maaf ustadz, saya yang khilaf.. baru saja saya melihat catatan ustadz yang tentang kedudukan imam, dan memang bagiannya sangat banyak..namun, demi menjaga otentifikasi catatan, mungkin saya tidak merubahnya..dan saya juga menyertakan komentar-komenter dari yang lain..yang ustadz juga menjawabnya.. sekali lagi, maaf.. 

Sinar Agama: 150-an menunjukkan jumlah bagian-bagian kecil dalam bagian-bagian besar. Antum masuk saja catatan tentang “Kedudukan Fantastis Imam” itu, di situ terdiri dari bagian- bagian mungkin sampai pada bagian 5. Tp dalam masing-masing bagian itu, ada bagian-bagian lagi, yakni setiap alinea yang berjumlah 420 karakter. Karena tulisan itu saya kumpulkan dari tulisan dindingku. dan karena tulisanku panjang maka kupoto-potong. nah, yang itu antum boleh sambung, tapi semua tulisanku jangan diedit, karena takut berubah maksudnya. 

Muhammad Yusuf Syahdani Tarigan: Iyye ustadz.. terima kasih atas perkenannya.. 

Gazali Rahman: Syukran ana sangat senang atas ilmu yang antum sampaikan. Semoga antum selalu dalam lindungan ALLAH SWT. 

Muhammad Yusuf Syahdani Tarigan: Semoga Allah membalas kebaikan ustadz.. 

Sinar Agama: Terimakasih untuk semua jempol, komen dan doanya, semoga antum semua selalu dalam selimut KasihNya. Ana memang sangatlah perlu do’a, karena kesesatanku bisa membawa orang-orang menjadai sesat. Tolong do’akan agar syetan tak bisa ikut campur dalam akal dan hatiku. Yang jelas aku mencintai antum semua, walau tangan ini belum bisa kuulurkan dari dekat. Biarlah aku bersembunyi dulu di balik awan pagi, sampai hatiku tak terusik dengan riya’ dan kesombongan. 

Al Aulia: Ya ALLAH, jagalah saudara Sinar tetap dalam rahmatMu di jalanMu dan ampunilah kami, lindungilah kami dari musuh-musuh perusak agamaMu.. 

D-Gooh Teguh: Insyallah ustad... doa untuk anda dari jauh tetapi dekat. 

Sinar Agama: salam untuk semuanya: Bulu romaku berdiri dan air mataku hampir menetes, membaca komentar Mas Aulia dan mas Teguh, semoga Tuhan memperkenankannya, begitu juga buat antum semua. Walau aku kedinginan di balik mendung pagi,dan ingin sekali berteriak aku adalah si anu dan si anu supaya bertambah kehangatan kita, tapi kupilih dinginku karena kurasa lebih selamat dari riya’ dan sombongku sendiri, maka dalam dinginku itu, dalam sendiriku itu, aku benar-benar dan benar-benar telah antum selimuti dengan kehangatan do’a dan ketulusan antum semua hingga seakan kurang sepi dan sendiriku. Ya Allah aku tahu hidup ini bukan main- main, lindungilah aku dan segenap teman yang mencintai dan membenciku, dari MurkaMu... MurkaMU...amin. 

Layla Kareem: Syukron ustad,,, ilmunya sangat bermanfaat bagi pencari yang masih awam seperti saya.. keberkahan semoga selalu terlimpah atasmu,, Amin. 

Al Aulia: @Cut Yuli... salam, semoga doa-doa kita terkabul. Amiin,.. 

Malik Al-Asytar: SINAR... NAH SEKALIAN NYANG NEH ANE IZIN SHARE JUGA YEH BIAR NYAMBUNG... AJIIIB NEH. 

Sinar Agama: Layla+Aulia, terimakasih do’anya, semoga Tuhan mendengarnya hingga aku  dalam kesendirianku di balik awan pagiku, selalu dinaungiNya dengan BimbinganNya, Ridha dan AmpunanNya, dan semoga antum berdua dan teman-teman yang lainnya juga demikian. Amin. 

Sinar Agama: wan Malik_A: fadhdhal saja kalau mau diapain saja , baik share atau yang lainnye asal tidak bisnis h h h h afwan softoh... 

Al Aulia: Amiin.. 

Heinrich Hmmlr: Salam ustad... saya tertarik dengan pembahasan masalah umur, apakah dalam hal ini dapat disimpulkan Tuhan tidak menentukan kapan dan dimana manusia menemui ajalnya? Atau Tuhan tau kapan dan dimana ajal seseorang tapi orang tersebutlah yang mencapainya dengan ikhtiar. ?

Sinar Agama: Bento: Kedua pertanyaan antum itu benar. Dan jawabannya ”benar begitu”, yakni Tuhan tidak pernah menentukan jumlah umur dan cara mati seseorang. TakdirNya adalah sesuai dengan jalan hidup yang dipilihnya masing-masing yang juga bergesekekan dengan sekitarannya. Tapi Tuhan tahu apapun pilihan dan gesekan yg juga bersumber dari pilihannya itu dan tahu juga semua akibat dari setiap pilihan dan gesekan itu dan tahu juga akibat akhirnya, yakni mati dan cara matinya.

Sinar Agama: Bento=Benito ...maksudnya..afwan... 

Heinrich Hmmlr: Dapat diartikan juga bahwa Tuhan tahu sebelumnya bahwa si fulan akan mati dimana dan dengan cara apa..? 

Bande Husein Kalisatti: Ana save ustadz.

Sinar Agama: Benito: Benar bahwa Tuhan sebelum diciptakannya alam semesta bahwa si fulan akan mati dalam umur berapa tahun dan mati dengan cara apa. Tapi Tuhan hanya mengetahuinya tanpa menentukannya. Oleh karenanya yang diketahuiNya adalah umur dan cara mati YG DIPILIH OLEH MANUSIA ITU SENDIRI, BAIK YANG BERUPA IKHTIAR LANGSUNGNYA ATAU YANG BERUPA GESEKAN DENGAN LINGKUNGAN YANG DIPILIHNYA. 

Sinar Agama: P.Bande: Monggo saja mau diapain tulisanku asal tidak untuk bisnis.... 

Heinrich Hmmlr: Maaf ustad.. mungkin saya banyak tanya..... sekiranya Tuhan sudah mengetahui- nya.... bisakah manusia merubah apa yang Tuhan telah ketahui...? Dengan ikhtiar...

Sinar Agama: Benito: Yang Tuhan ketahui itu adalah mencakup semuanya dari ikhtiar manusia dan akibatnya. Jadi kalau yang diketahuiNya itu adalah sesuatu yang akan dirubah oleh manusia sesuai ikhtiarnya, maka Diapun mengetahuinya. Dan kalau yang diketahuiNya adalah sesuatu yang memang manusianya sendiri tidak mau merubahnya, maka Diapun akan mengetahuinya. Ringkasnya, Tuhan tahu seluk pilihan dan perubahan serta pilihan akhir manusia yang manusia- nya itu tidak akan mengubahnya lagi.Dan Mengetahui ini bukan menentukan, karena yang diketahuiNya adalah ikhtiar mansuia itu.Jadi, Pengetahuan Allah terhadap ikhtiar manusia ini pasti benar. 

Sinar Agama: Apakah pengetahuan pasti anda bahwa orang hamil di sebelah rumah anda yang akan melahirkan manusia dan bukan kucing, adalah penentuan anda pada ibu hamil itu untuk melahirkan manusia?

Heinrich Hmmlr: Terima kasih ustad.. atas penjelasannya... 

Sinar Agama: Benito, apakah sudah jelas masalahnya? 

Heinrich Hmmlr: Alhamdulillah.... sudah ustad... 

Sinar Agama: Syukur Hanya UntukMu ya Allah, Allahumma Shalli ’Ala Muhammad wa aalihi. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Doni Handoyo: allah humma shalli alla muhammad wa alli muhammad 

Ammar Dalil Gisting: Alhamdulilah.. Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad wa ‘ajjil farojahum.. Syukron Ustadz, atas bimbingannya.. Jazakallahu khaeron katsiron.. Semoga bisa menggiring pada jalan ketaqwaan dalam diri ini.. Ilahi.. Amin. Salam. 

Gazali Rahman: Syukron ustad sudah di tagg. Izin copy agar dapat disimpan menjadi hasanah Ilmu yang bermanfaat..... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua dukungan dan jempol serta komentarnya. Tulisan-tulisan saya bisa digunakan kepada selain bisnis, itu saja. hem.... jadi bisa disimpan disebar dsb yg tanpa bisnis. 

Gazali Rahman: Terimakasih atas izinnya dan akan dilakukan sesuai arahan antum. 

Sinar Agama: Ok, tapi usahakan tanpa edit, karena takut berubah maksud. Dan saya untuk sementara idak ada waktu untuk koreksi editan teman-teman. 

Gazali Rahman: Afwan Ana tidak akan berani melakukan edit, yang melakukan edit pastilah orang yang memiliki kemampuan lebih, apalagi ini tulisan Ustad Sinar Agama... Insya ALLAH kalau awan paginya telah berlalu dan cahaya mentari sudah menerangi dengan jelas setiap yang samar maka ketika itulah perjumpaan yang akan menimbulkan kesan yang mungkin tidak akan terlupakan. 

D-Gooh Teguh: Thanks A Lot. Berusaha membacai dan memahaminya serta menginternalisasi dalam diri. 

Sinar Agama: Terimakasih untuk semua dukungannya, pastikan bahwa al-fakir adalah salah satu pendo’a untuk antum semua. Mas Teguh hampir kelupaan, ingat di bag:2, makanya bag: 2 dulu baru bag: 1, afwan. 

D-Gooh Teguh: Sudah dibaca semuanya ustad... menjadi semacam alarm. Seringkali saya mengatakan demikian: 

Tuhan tetapkan jodoh laki-laki adalah perempuan maka yang mencari selain lawan jenisnya adalah zalim. Masalah yang mana cari sendiri yang mau sama mau. 

Tuhan telah tebarkan rizieq (dalam artian pemenuhan kebutuhan hidup) elu kumpulkanlah sendiri dengan daya upayamu. 

Tuhan telah tentukan berbagai penyebab kematian. Pilhlah cara matimu sendiri. Salahkah...?

Sinar Agama: Mas Teguh: Yang antum katakan itu sebenarnya fitrah. Karena itu saya heran mengapa sampai ratusan tahun rukun iman ke 6 itu tetap langgeng, padahal tidak ada pijakan fitrahnya dan pijakan Qur'annya. Oleh karena itu yang saya tulis itu sebenarnya penyadaran akan hukum alam yang termasuk sosial di dalamnya itu dan bahwasannya Tuhan tidak pernah menentukan siapa-siapanya. Aturan-aturan alam dan sosial itu meliputi yang benar dan yang salah. Lelaki kawin dengan perempuan=benar, lelaki kawin dengan lelaki=salam....dst. 

Jadi benar yang antum katakan. Akan tetapi jangan sampai seperti Mu’tazilah yang ajarannya sampai ke kita bahwa mereka mengatakan bahwa Tuhan hanya menunggu. Tidak demikian. Karena akibat tidak pernah bisa melepaskan diri dari sebab-kewujudannya, oleh karena itu Tuhan di samping tahu siapa yang mau memilih apa-apapun , begitu pula Tuhan menyertai kita semua karena Dia adalah sebab yang tidak terpisahkan dari akibatnya yakni dari diri kitanya. Itu saja yang harus antum perhatikan. Jadi, jangan sesekali menatap alam dan diri serta kehidupan sosial manusia ini, mandiri dariNya, sedetikpun.

Junam Zahra Afdzalunnisa: Jazakallahukhairn katsiraan. 

D-Gooh Teguh: Thengkyu Pak Ustad... insyallah manfaat. Maaf keyboard hurup EP saya gak mau fungsi. Jadilah saya urang sunda dulu sampai dibenerin. Semoga Allah melindungi Ustad... 

Malik Al-Asytar: SINAR... ALHAMDULILLAH.. SUKRON ELMUNYE YEH, MANTEEEP NEH MANFAAT BANGET.. IZIN SHARE YEH. 

Mustofa Chepy Habsyie: INI BARU TAUHID NAMANYA...yang laen no hid.

Sinar Agama: Sungguh aku sering haru dan kadang bahagia sampai tertawa sendiri melihat kebahagiaan antum dan komentar-komentar serta do’anya. Ana yang dina ini sangat mencintai kalian semua, kurasa tak ada hari tanpa doa untuk kalian para AB, dan kurasa tak pernah ada hari tanpa ana ziarah untuk antum semua, semoga antum bahagia dunia-akhirat bersama yang antum cintai, dan semoga ana yang dina ini dapat mengiringi antum dari belakang menuju jalan keselamatan dan kebahagiaan itu, amin. Gunakan aja tulisanku untuk ibadah dan selain bisnis ... afwan.

D-Gooh Teguh: Suka sekali dengan komen ustad sinar di atas. Bahagianya... 

Baba Sanglegenda: Izin di share dan di note ya buat entar bacanya panjang... 

Sinar Agama: Mas Teguh, hati itu akan ketemu hati, semoga saja syetan tak pernah memporakkan persaudaraan ini dan semoga selalu dalam kebaikan dan agama. Mas Baba: silahkan saja u well come. 

Bande Husein Kalisatti: Ketinggalan ana nich.. 

Ammar Dalil Gisting: Alhamdulilah.. Allahumma sholli ’ala Muhammad wa aali Muhammad wa ’ajjil farojahum.. Syukron Ustadz., Jazakallahu khaeron katsiron... Salam.


Catatan Sebelumnya:




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 14 Agustus 2018

Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah, Bag: 2-a (Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan)




by Sinar Agama (Notes) on Saturday, November 6, 2010 at 9:48 pm


Semoga Pahala Dilimpahkan Allah Kepada Para Penduka Atas Syahidnya Imam Ke 9, Muhammad Jawad as Oleh Mu’tashim bin Harun al-Rasyid (Khalifah Bani Abbas) pada tanggal 30-Dzilqo’dah-220 H, amin


LANJUTAN BAHASAN:

2. KEIMANAN SYI’AH TENTANG ADILNYA TUHAN 


a). Iman terhadap ke-Adilan Allah. 

Orang Syi’ah mengimani ke-Adilan Allah swt. Adil ini sebenarnya merupakan cabang bahasan dari Tauhid, khususnya Tauhid-Sifat. Akan tetapi karena sangat memiliki unsur penting dalam kehidupan beragama, maka ia telah menjadi point tersendiri setelah bab Tauhid tersebut. 

Orang Syi’ah (bc: muslim) diseyogiakan untuk mengimani ke-Adilan Allah, karena tanpa keimanan itu, maka akan memporak-porandakan seluruh nilai ke-Islaman, baik dari sisi keimanan atau hukum-hukum syariatnya. Artinya, tanpa keyakinan terhadap ke-AdilanNya itu, maka agama Islam akan menjadi sama dengan agama-agama lainnya atau bahkan kehidupan tanpa agama. Atau kalaulah ia beragama sekalipun, maka agamanya tidak lebih dari sebuah kegersangan dan kehancuran yang nampak hijau dan teratur secara lahiriahnya. Begitu pula kalau seorang muslim mengimani ke-AdilanNya, namun dengan makna yang salah, sebagaimana nanti akan lebih jelas.

b). Arti Adil Allah 

Adil, artinya tidak melakukan kezhaliman dan/atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan/atau tidak mengambil hak orang lain, bukan sama rata yang pada umumnya tidak masuk akal. 

Misalnya, kalau jenis kelamin manusia sama, maka tidak akan ada perkawinan; atau wajahnya sama, maka tidak akan bisa dikenali; atau sifat-sifatnya sama, maka tidak akan ada saling mengisi; atau hobinya sama, juga tidak akan ada saling mengisi dan kehidupan manusia akan menjadi sangat monoton; atau pekerjaannya sama misalnya petani, maka tidak akan ada pabrik baju dan pabrik cangkul; atau bayarannya sama, maka yang sekolah dan pangkatnya lebih tinggi akan merasa dianiaya; atau posisi sosialnya sama, misalnya presiden, maka siapa yang mau jadi rakyatnya? ......dan seterusnya.

c). Dalil ke-Adilan Allah 

Dalil dari ke-AdilanNya ini juga mudah seperti point-point di atas. Yaitu berangkat dari ketidak terbatasanNya. Karena kalau Tuhan tidak terbatas, maka Dia tidak akan kekuarangan apapun; atau tidak akan tidak tahu terhadap sesuatu; atau tidak akan lengah; atau tidak akan lelah, ngantuk, bosan, jengah ... dan seterusnya., hingga perlu melakukan aniaya, penipuan, mengambil hak orang lain, pembakhilan dan semacamnya.

d). Hikmah atau sasaran dari keimanan pada ke-Adilan Allah 

(d-1). Tidak mungkin adanya penggarisan nasib atau takdir bagi manusia 

Maksud dari nasib di sini adalah seperti yang dipercayai oleh agama selain Islam, seperti Arab Jahiliyyah sebelum Islam, Hindu, Budha dan lain-lainnya. Yaitu keyakinan terhadap sudah ditentukannya nasib masing-masing manusia sejak dari lahir atau bahkan dari sejak sebelum lahirnya. 

Dalam Islam (bc: Syi’ah), dengan ke-Adilan Allah, maka tidak mungkin Dia menakdirkan nasib masing-masing orang, baik dalam umur, jodoh, rejeki, baik-buruk, celaka-selamat, hidayah- sesat, dan semacamnya. Keyakinan seperti ini hanya ada di agama-agama lain seperti yang sudah disebut di atas. Kalau untuk masa-masa Jahiliyyah di dalam naql atau sejarah kita, dipenuhi dengan itu, sampai dibawa-bawa pada masa setelah Islam oleh Umar ketika lari dari perang Uhud ketika ditanya oleh para wanita Madinah, dimana Nabi saww dan mengapa kamu lari? Ia menjawab “Ini adalah takdir”. Kalau agama Hindu atau Budha bisa dilihat di serial-serial Kungfu Cina yang melimpah di Indonesia. 

(d-1-1). Dalil ketidakmungkinan ditentukannya nasib manusia 

Karena kalau Allah menakdirkan nasib masing-masing manusia, berarti tidak ada gunanya akal diciptaNya dan agama diturunkanNya yang, mengajarkan: kesihatan dan panjang umur, taqwa dan masuk surga, mencari pasangan yang taqwa, mati syahid, mencari rejeki hingga menjadi tangan di atas (karena lebih baik dari tangan di bawah) dan semacamnya. 

Tidak berfungsinya akal, karena tujuan penciptaannya adalah untuk memahami banyak hal dan memecahkan kesulitan-kesuliatan yang dihadapi, hingga selamat dalam kehidupan dunia-akhirat serta hidup sehat, harmonis, teratur, berbudaya tinggi dalam sosial-politik, sukses dalam segala hal ..dan seterusnya. Akan tetapi kalau semua sudah dinasibkanNya, maka daya pikir akal untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia, akan menjadi sia-sia dimana akan berakhir kepada kesia-siaan penciptaanNya. 

Tidak adanya kegunaan agama, karena agama diturunkan Allah untuk mengatur manusia supaya selamat di dunia dan akhirat. Oleh karenanya agama mengajari keimanan dan mengatur masalah-masalah kehidupan yang dimulai dari masuk kamar mandi sampai ke masalah-masalah negara, ekonomi, teknologi dan politik internasional yang makro. Akan tetapi, kalau nasib masing-masing manusia, dari sejak dirinya, rumah tangganya, sosialnya dan negaranya, sudah ditentukan olehNya, maka syariat yang diturunkanNya itu jelas tidak akan berfungsi sedikitpun. 

Agama akan menjadi seseuatu yang paling tidak dapat dipahami dan akan menjadi paling tidak masuk akal, kalau ia mengatakan: 

“Berimanlah supaya masuk surga; Bertaqwalah supaya tidak masuk neraka; Berhati-hatilah dalam sertiap perbuatan karena setiap sebutir atompun darinya akan dicatat dan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak; Bersihlah supaya sihat; Silaturrahmilah supaya panjang umur; Berjuanglah supaya mati syahid; Dasarilah pada ketaqwaan seseorang dalam mencari pasangan hidup; Saling santun dan harmonislah dalam rumah tangga supaya langgeng; Jangan katakan penceraian dalam kemusykilan rumah tangga karena ‘Arsy Allah akan goncang mendengarnya; Jangan cerai karena tidak disukai Allah; Jujurlah dan berusahalah dengan baik dalam bisnis supaya sukses dan tidak bangkrut” atau berkata: 

“Berdoalah kepadaKu tentang iman, sakinah, taqwa, taufik, sihat, panjang umur, mati syahid, pasangan hidup yang baik, keharmonisan rumah tangga, kesuksesan bisnis dan rejeki....dan lain-lain”, 

akan tetapi dilain pihak agama juga berkata: 

“Baik-buruk kalian sudah ditakdirkan dan ditentukan dari sononya (asalnya) oleh Allah, baik dari iman-tidaknya, taqwa-bejatnya, surga-nerakanya, sehat-sakitnya, mati-tidaknya, syahid-tabrakannya, panjang-pendek umurnya, siapa jodohnya, harmonis-cerainya, kaya- miskinnya, jumlah rejekinya....dan seterusnya”. 

Lagi pula kalau Tuhan yang menentukan semuanya, berarti Dia yang akan bertanggung jawab. Bahkan kesalahanNya dua kali. Pertama, karena Dia yang menjadi pelaku hakiki dari setiap perbuatan manusia. Ke dua, karena telah membohongi manusia. Karena setelah menentukan semuanya, masih pula menyuruh manusia supaya menjaga kesehatannya, berusaha panjangkan umurnya, mati syahid, mencari rejeki, mencari pasangan yang taqwa, ..dan seterusnya. 

Padahal Allah sendiri sudah berfirman bahwa sesiapa yang berbuat seatom kebaikan/ keburukan akan melihatnya. Dan “berbuat”, yakni “melakukan”, bukan “yang dibuat berbuat/ melakukan”. Atau menyuruh kita menggunakan akal, hingga dalam Qur'an ada sekitar 24 ayat yang menggunakan kata “Ta’qilun” (kalian memahami, berakal..dan semacamnya), 22 kata “Ya’qilun” (mereka memahami, berakal..dan seterusnya), 13 kata “Yafhamun” (mereka memahami dengan akal). Atau menyuruh kita bertaqwa sampai-sampai perintah puasapun diturunkanNya supaya manusia bisa mencapai derajat taqwa itu.

(d-1-2). Lauhu al-Mahfuuzh dan nasib manusia 

Dengan dalil-dalil akal yang gamblang di atas itu, yakni dalil-mudah yang tidak bisa dibantah oleh siapapun itu, dapat dipahami dan dipastikan bahwa penentuan nasib manusia itu sangat mustahil adanya. Dilain pihak, dalam Qur'an, banyak sekali bukti-bukti tentang keikhtiaran manusia ini, baik langsung atau tidak. Dan sebagiannya sudah saya muat di atas sebagai contoh, walau tidak menyebutkan alamat ayatnya karena hal-hal tersebut adalah hal-hal mudah yang sudah diketahui semua muslimin. 

Tentu saja, pemakaian Qur'an disini sekedar pendekatan dan pelengkap saja. Karena, sebagaimana sudah diterangkan di bagian pertama Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah ini, bahwa Qur'an itu akan bisa dijadikan dalil setelah kita membuktikan kenabian nabi Muhammad saww dan kebenarannya. 

Karena itu pulalah, maka saya ingin melengkapi hal nasib atau takdir ini dengan masalah Lauhu al-Mahfuzh. Yang demikian itu disebabkan oleh dijadikannya Lauhu al-Mahfuzh tersebut sebagai landasan utama bagi orang-orang yang mengimani ditentukannya nasib manusia ini. Karena di Qur'an dikatakan bahwa di Lauhu al-Mahfuzh itu sudah tertulis apapun mengenai makhluk ini sekalipun daun yang jatuh dari pohonnya. Dan, kata mereka, kalau sudah ditulis di Lauhu al-Mahfuzh dari sejak sebelum penciptaan, dan karena penulisnya adalah Allah, maka sudah pasti seluk-beluk kehidupan manusia yang dikenal dengan nasib atau takdir ini, ditentukan oleh Allah. Jadi, sambung mereka, kita hanya bisa berusaha dan Allahlah yang akan menentukannya. 

Pernyataan seperti ini, sudah tentu sangat dipaksakan pada permulaannya, dan sangat berupa taqlid menurun (termasuk wahhaabii/wahabi yang anti taqlidpun) yang diterima secara buta pada tahap berikutnya yang, hanya berdalil dengan baik sangka kepada leluhur atau salaf atau umat yang telah lalu. Padahal mereka saling sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan, berperang dan saling menumpahkan darah. Atau dengan dalil penyan- daran tak akademis pada ayat-ayat Qur'an tersebut. 

Apa maksud pernyataan yang menyatakan “Kita hanya bisa berusaha dan Tuhan pulalah yang akan menentukannya” ??! 

a). Kalau maksudnya bahwa Allah akan menentukannya kemudian, maka berarti ketentuan itu di Lauhu al-Mahfuzh belum tertulis. Ini berarti takdir itu belum ada alias takdir itu tidak ada dalam wujud nyatanya. 

b). Kalau maksudnya adalah Allah sudah metentukannya, maka berarti takdir itu tidak ada dalam wujud keyakinannya. Karena, dalam kenyataannya, mereka sama- sama berjuang dalam hidup, dan dalam perbedaan, sama-sama merasa benar dan melakukan amr/amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan. Ini berarti takdir dan nasib itu tidak ada dalam hati mereka, karena tidak memiliki tanda-tanda apapun dalam kehidupan mereka itu. 

Karena kalau ada, mestinya, masing-masing orang dan golongan harus meyakini bahwa yang ada pada masing-masing orang dan golongan lain dan dirinya adalah taqdir masing-masing yang sudah ditentukan Allah yang tidak boleh ada orang be- rani mengganggunya. Karena sudah ketentuan dari Yang Maha Perkasa dan Kuasa, sementara manusia adalah makhluk lemah. Dan karena sudah ketentuanNya, maka tidak akan bisa dirubah siapapun juga. 

Begitu pula, takdir dan nasib itu akan menjadi terjauhkan dari kehidupan mereka manalaka mereka saling bertengkar, saling menyalahkan, beradu argumentasi, beradu dalil di pengadilan, saling perang, saling serang, saling hukum, menulis buku agama, ceramah agama, menulis buletin-buletin agama, nasihat menasihati serta membaca do’a. 

Karena kalau semua sudah ditentukan Tuhan, maka yang salah itu Tuhan, bukan manusia yang kita salahkan itu dimana sudah tentu argumen apapun tidak akan ada gunanya lagi. Dan kalau terjadi kesalahan yang mengharuskan adanya penghukuman, maka Tuhan-lah yang selayaknya dihukum. 

Bagitu pula, kalau semuanya sudah ditentukan Tuhan dari sisi ketaqwaan dan masuk surga-nerakanya, maka penulisan atau ceramah-ceramah agama itu sama sekali sudah tidak akan berfungi lagi.

Ada orang yang mau bergaya-gaya pakai gaya kecerdasan akal orang-orang Syi’ah, dengan mengatakan bahwa ada seorang murid bertanya kepada gurunya: “Pak Guru, apa takdir itu?”. Sang Guru langsung menamparnya dan berkata: “Inilah takdirmu”. Lah,,,,apakah Pak Guru lupa bahwa pertanyaan si murid itu juga takdir? Lalu mengapa ia kesal dan , menamparnya? Lagi pula, enak saja main tampar dan dosanya dilimpahkan ke takdir Allah. Kalau begitu mengapa mereka membuat persidangan perkara dan hukuman untuk menegakkan keadilan dan ketentraman masyarakat? Toh yang meng- gampar dan yang digampar, atau yang membunuh dan yang dibunuh, atau yang memperkosa dan yang diperkosa, atau yang menabrak dan yang ditabrak mobil,... dan seterusnya semuanya sudah ditentukan takdir. Lalu mengapa para polisi dan penegak hukum pada mengejar, menangkap, memperkarakan dan menghukum meraka? 

c). Kalau dikatakan bahwa mengejar, menangkap, menyidang dan memenjarakan atau memotong tangan pencuri itu juga karena takdir, maka pernyataan ini sangat dipaksakan. Karena sudah benar-benar menjauhi fitrah dan kesadaran yang ada manakala melakukan pengejaran dan seterusnya itu. Memangnya, pencopet HP di pasar yang sampai bengkak-bengkak dipukuli orang sepasar itu, karena orang-orang pasar berniat melaksanakan takdir Tuhan? Atau karena merasa marah, jengkel dan melampiaskan kejengkelannya? Memangnya Pak Hakim dan pelaksana hukum itu melakukan penyidangan dan penghukuman (penjara atau potong tangan) karena ingin mengejawantahkan takdir Tuhan? Atau karena ingin menegakkan keadilan dan supaya si pencuri jera/kapok dan yang lainnya tidak meniru???!!! 

Kalau semuanya karena takdir, berarti Tuhan yang harus dihukum. Dan tentang kapok tidaknya si pencuri, jelas akan sangat tergantung kepada takdirnya kemudian yang, kalau ditulis tidak kapok maka akan tetap mencuri dan kalau ditulis kapok, maka ia pasti akan berhenti mencuri. Begitu pula orang lain yang diharapkan tidak meniru itu. Karena mereka juga akan sangat tergantung kepada takdir mereka sendiri. Apakah sudah ditulis di Lauhi al-Mahfuuzh bahwa meraka mencuri (sekali, dua kali ...dst) hingga meraka akan mencuri sesuai takdirnya itu, atau tidak tertulis demikian hingga tidak akan mencuri dan tidak perlu peringatan apapun seperti pemotongan tangan pencuri tersebut. 

Hal seperti ini semestinya tidak perlu diterangkan sampai sedemikian rupa, namun karena hal jelas ini sering diisukan sebagai hal yang teramat gelap dengan mengatakan bahwa “Masalah takdir adalah daerah gelap yang tidak terjangkau siapapun” dan isu ini sudah membudaya ratusan tahun, maka saya merasa perlu menjelaskannya secara rinci dengan contoh-contoh yang juga sangat jelas itu. Jadi, saya mengharapkan pembaca untuk kembali kepada fitrah kita masing-masing dalam menanggapi masalah takdir ini. 

d). Kalau dikatakan bahwa maksud perkataan “Kita hanya bisa berusaha dan ha- nya Allah-lah yang akan mentukannya” adalah bahwa hanya Tuhan yang bisa merubahnya, berarti ketentuan nasib itu, pada hakikatnya, tidak ada. Artinya, kebera- daannya sama dengan ketiadaannya. Karena apa arti dan guna dari ketentuan kalau bisa dirubah juga? Artinya ketentuan itu hanya akan menjadi dan berfungsi sebagai rancangan saja, bukan ketentuan. 

e). Kalau dikatakan bahwa Tuhan akan merubahnya manakala hambaNya merubah- nya, maka berarti ketentuan Tuhan itu kalah dengan usaha manusia. Hal inilah yang biasa kita lihat di serial-serial Kungfu China yang sering mengatakan sebagai memerangi ketentuan langit dan memerangi ketentuan Tuhan. 

Dan kalaulah manusia tidak merubahnya, yang harus bertanggung jawab terhadap ketentuan nasib manusia itu, tetap harus Tuhan, sebagaimana sudah dipaparkan di atas. Yakni kalau manusia tidak mau merubah racangan Tuhan itu, maka yang salah bukan manusianya, tapi Tuhan yang telah membuat rancangan itu. 

f). Kalau dikatakan “Salah kamu tidak merubah rancanganNya”, maka bisa dijawab dengan perkataan “Salah Tuhan yang telah merancangkannya”. Itupun kalau ada bukti bahwa Tuhan telah menentukan takdir atau rancangan ini. Dimana kalau ketentuan itu berupa takdir, maka tidak akan bisa dirubahnya. Sedang kalau berupa rancangan, maka sekalipun bisa dirubahnya, akan tetapi disamping tidak adanya bukti dari adanya penulisan rancangan itu, juga memiliki konsekwensi-konsekwensi yang sangat tidak masuk akal sebagaimana akan dijelaskan berikuti ini. 

g). Kalau dikatakan “Tuhan merancang karena ada hikmah didalamnya”, maka disamping tidak ada bukti dari adanya rancangan itu, bisa dijawab dengan perkataan “Biarkan aku ikuti hikmahnya, maka aku tidak boleh dihukum”. 

h). Kalau dikatakan “Hikmahnya adalah supaya kamu berusaha”, maka di samping dalil-dalil di atas itu, bisa dijawab dengan perkataan “Hikmah yang kamu katakan ini adalah karanganmu”, atau “Hikmah seperti ini persis dengan yang ada di serial-serial Kungfu atau Dewa-dewa agama Hindu/Budha yang karena gigihnya penentangan manusia atau seseorang di bumi maka tuhan di langit menarik ketentuannya”, atau “Hikmah itu akan sangat tergantung pada ketentuanNya juga, yakni kalau Tuhan menentukanku berusaha maka aku akan berusaha dan kalau tidak, maka bagaimana aku bisa berusaha?”

(d-1-3) Hakikat Lauhu al-Mahfuzh 

Dalam tulisan-tulisan saya tentang Filsafat, Irfan dan Wahdatu al-Wujud, telah sering menerangkan tentang hakikat Lauhu al-Mahfuzh ini secara filsafat dan irfan. Artinya tekanan bahasannya adalah pada dimensi wujudnya. Akan tetapi di sini, saya akan menerangkan kitab Lauhu al-Mahfuzh ini yang berfokus pada fungsinya, bukan pada esensi, substansi dan keberadaannya. Sekalipun, sudah tentu, akan memiliki sentuhan pula terhadapnya. 

Kalau kita mau memperhatikan bunyi ayatnya dan menjauhkan diri dari kecenderungan hati yang telah didekte oleh budaya pemahaman Islam selama ini, dan benar-benar hanya memperhatikan bunyi ayatnya, maka saya merasa bahwa sungguh-sungguh tidak akan terlalu sulit untuk menyentuh makna ayat yang menerangkan tentang kitab Lauhu al-Mahfuzh ini. Terlebih lagi setelah kita tahu dan yakin secara akal-gamblang bahwa penentuan nasib manusia itu adalah suatu yang sangat tidak bisa diterima akal sihat manapun. Perhatikan bunyi ayat berikut ini: 


وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَ يَعْلَمُهَا إِلَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّ يَعْلَمُهَا وَلَ حَبَّةٍ
فِي ظُلُمَاتِ الَْرْضِ وَلَ رَطْبٍ وَلَ يَابِسٍ إِلَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan Dia memiliki kunci-kunci keghaiban, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia tahu yang di daratan dan lautan, dan tidaklah jatuh satu daunpun dari pohonnya kecuali Dia mengetahuinya, dan tidaklah jatuh pula satu bijipun di kegelapan bumi dan tidaklah sesuatu yang basah dan kering, kecuali sudah ada di Kitab Yang Nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 6: 59)

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قرُْآنٍ وَلَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا
يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الَْرْضِ وَلَ فِي السَّمَاءِ وَلَ أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَ أَكْبَرَ إِلَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab Yang Nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 10: 61) 


وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَ يَشْكُرُونَ (37) وَإِنَّ رَبَّكَ لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يعُْلِنُونَ (47) وَمَا مِنْ غَائِبَةٍ فِي السَّمَاءِ وَالَْرْضِ إِلَّفِي كِتَابٍ مُبِينٍ
(57)

“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan (74) Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 27: 74, 75) 


عَالِمِ الْغَيْبِ لَ يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ†فِي السَّمَاوَاتِ وَلَ†فِي الَْرْضِ وَلَ أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلَ أَكْبَرُ إِلَّ فِي
كِتَابٍ مُبِين

“....Maha Mengetahui yang ghaib. Tidak ada yang tersembunyi daripadaNya seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 34: 3) 

Dalam ayat-ayat di atas, terasa sekali bahwa yang ingin disampaikan Tuhan itu adalah masalah ke-Maha PengetahuanNya yang mengetahui yang terang dan yang ghaib atau tersembunyi, bukan tentang penentuan nasib manusia. Dari seluruh ayat-ayat di atas itu, sebelum Allah membicarakan tentang keberadaan dan keadaan semua hal di Lauhu al- Mahfuzh, selalu mengatakan bahwa Dia mengetahui semua keberadaan dan keadaannya, baik dari keberadaan dan keadaan manusia atau selainnya. 

Setelah diketahui dengan mukaddimahNya itu bahwa Allah Maha Tahu, maka hal ini dapat mengantarkan kita untuk memahami Lauhu al-Mahfuzh. Yaitu, bahwa kitab Lauhu al- Mahfuzh itu tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan salah satu gudang keghaiban tentang ilmu-ilmuNya. Itulah mengapa Allah mengatakan memiliki kunci-kunci keghaiban pada ayat pertama di atas. 

Adalah sangat keliru ketika seseorang memaknai ayat-ayat di atas itu dengan mengatakan bahwa “Allah Maha Mengetahui Segala Hal Karena Sudah Ditulis di Lauhu al-Mahfuzh”. Kalau Allah mengatakan bahwa “Semua hal ada di Lauhu al-Mahfuzh oleh karenanya Aku mengetahui semuanya”, maka mungkin masih ada lowongan atau peluang untuk memahami bahwa pengetahuan Tuhan itu karena disebabkan penulisanNya dalam Lauhu al-Mahfuzh. Walaupun peluang ini, jelas bukan satu-satunya. Karena peluang lainnya justru lebih besar. Yaitu karena ilmuNyalah Tuhan menulisnya. Hal itu karena ilmu itu lebih dulu dari pada penulisan, bukan sebaliknya. 

Akan tetapi, Tuhan dengan telaten dan lembut membimbing manusia supaya tidak keliru memahami hidayah dan ayat-ayatNya. Oleh karenanya didahului dengan penekanan pada pemberitaan terhadap ilmu dan ke-Maha PengetahuanNya. Itu semua supaya manusia tahu bahwa yang diinginkan dalam ayat-ayat itu adalah IlmuNya. Ini yang pertama. Yakni mendahulukan pengkabaran tentang tentang ilmuNya sebelum mengkabarkan tentang adanya kitab “nyata” atau Lauhu al-Mahfuzh itu. 

Yang ke dua, sudah diisyaratkan di atas bahwa antara penulisan dan ilmu, sudah pasti didahului dengan ilmu, bukan sebaliknya. Memang, kalau yang menulis itu orang lain, maka pembaca yang membaca tulisan itu yang akan mendapatkan ilmu kemudian. Akan tetapi pembahasan kita ini adalah penghubungan kepada penulisnya itu sendiri. Di sini, sudah tentu sang penulis, memiliki ilmu dulu baru menuliskannya, bukan sebaliknya. 

Yang ke tiga, pendahuluan ilmu itu sangat bermamfaat bagi menutup kemungkinan lainnya. Yaitu Kuasa atau Qudrat. Karena bisa saja seseorang memahami bahwa yang mendahului penulisan itu adalah Kuasa. Yakni yang dimaksudkan Tuhan adalah kependahuluan KuasaNya, bukan kependahuluan IlmuNya, walaupun dua-duanya mendahului penulisanNya. 

Nah, kalau yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah bahwa penulisan itu didahului KuasaNya, maka jelas akan melahirkan “Determinis” atau “Jabariah” alias rukun iman yang ke enam bagi saudara-sauadara kita Ahlussunnah. Karena, apapun yang terjadi di alam ini, tergantung pada penulisanNya, dan penulisanNya tergantung kepada KuasaNya. Dan karena segala hal yang menyangkut manusia itu termasuk bagian dari alam ini, maka sudah pasti semua yang menyangkut baik buruknya setiap manusia, tergantung kepada Lauhu al-Mahfuzh yang bersumber dari Kuasa dan KehendakNya itu. 

Betapa luar bisanya Tuhan kita, betapa luar biasanya, dan Dia lebih besar dari yang kita ketahui. Karena banyak sekali yang mendahului penulisanNya itu. Seperti Wujud, Qadim, Hidup, Kuasa, Kehendak, Ilmu dan semacamnya. Dan di ayat-ayat di atas itu, Allah hanya menyentuhkan Ilmu dan ke-Maha TahuNya kepada telinga, mata dan akal kita manusia. Di sini, jelas dapat dipahami bahwa yang difokus olehNya adalah ke-Maha Pengetahuannya itu, bukan semacam Kuasa dan KehendakNya. 

Dengan semua penjelasan di atas itu, dapat dipahami dengan mudah dan gamblang bahwa maksud ayat-ayat yang memberitahukan tentang Lauhu al-Mahfuzh itu adalah ingin memberitahukan kepada kita bahwa Allah Maha Mengetahui apapun di alam ini termasuk apapun tentang kita manusia sekalipun tersimpan dalam lubuk hati yang paling dalam. 

Dengan demikian maka Lauhu al-Mahfuzh itu adalah tulisan-tulisan tentang ilmu Allah (bc: ilmu Allah) yang berkenaan dengan apa saja, terutama tentang alam materi ini dan perbuatan manusia. 

Allah yang ilmuNya tidak terbatas, sudah pasti mengetahui apapun yang akan terjadi di alam ini sebelum penciptaannya, seperti daun yang akan jatuh dari pohonnya, biji-bijian yang jatuh di malam hari dan semacamnya. Perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri itu, sudah pasti tidak lepas dari ilmuNya tersebut. Nah, ilmuNya itulah yang ditulis olehNya di Lauhu al-Mahfuzh. 

Oleh karena itulah, maka jelas sekali bahwa penulisan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dan tidak akan menyangkut, dengan masalah Determinis (Jabariah) atau penentuan nasib dan takdir. Karena yang ditulisNya adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri yang telah diketahuiNya sekalipun sebelum penciptaan. 

Kalau dikatakan bahwa “ilmuNya pasti benar, dan karena ilmu benarnya itu ditulis sebelum penciptaan, berarti perbuatan dan apapun yang menyangkut kita, akan sangat tergantung kepadanya, dimana hal ini bisa dikatakan sebagai nasib dan takdir manusia”. Maka jawabannya adalah bahwa yang diketahuiNya itu adalah perbuatan manusia yang didahului dengan ikhtiarnya sendiri. Jadi, kepastian benarnya ilmuNya tentang ikhtiar manusia ini, justru keniscayaan ikhtiar manusia itu, bukan sebaliknya. Yakni bukan menjadi terbaliknya masalah dan membuat manusia yang diketahui berikhtiar itu menjadi tidak berikhtiar karena harus mengikuti kebenaran ilmuNya itu. 

Akan halnya kadar-kadar yang difirmankanNya maka maknanya adalah pengkadaran terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan-ketentuanNya, bukan pengkadaran nasib manusia. Misalnya Allah berfirman: 


إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami mencipta segala sesuatu sesuai dengan kadar/ukurannya” (QS: 54: 49). 

Dengan demikian pengkadaran semua makhluk ini tidak bertentangan sama sekali dengan ikhtiar manusia, karena ikhtiar manusia ini adalah salah satu dari takdir manusia. Jadi, pengkadaran bagi manusia adalah bahwa manusia diberi akal, berpanca indra, berfitrah, berfikir, bersosal, berkaki dua, bermata dua, berbuat sesuai ikhtiar dan pilihannya, memiliki balasan sesuai dengan niat dan perbuatannya....dst., bukan dikadar tentang nasibnya. 

Jadi, yang ditulis Allah di Lauhu al-Mahfuzh itu adalah ilmu-ilmu dan ketentuan- ketentuanNya tentang semesta dan apapun yang akan terjadi, sekecil apapun. Namun, yang berkenaan dengan perbuatan manusia adalah ketentuan-ketentuanNya yang berupa peng-ikhtiran manusia dan jenis balasannya, dan ilmuNya tentang detail-detail pilihan masing-masing manusia dan juga balasannya, bukan menentukan nasibnya sebagaimana yang diyakini oleh saudara-saudara Ahlussunnah yang mengambil dari Asy’ariyah. 

Jadi, maksud takdir dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat, adalah ketentuan-ketentuan Allah tentang makhluk dan alam semesta (seperti api panas; pohon kering akan terbakar kalau terkena api; dan semacamnya) dan tentang perbuatan-perbuatan manusia yang ditentukan/ditakdirkan bahwa perbuatannya sesuai dengan pilihannya sendiri (ikhtiar) dan ditentukan/ditakdirkan bahwa akan menerima balasan sesuai dengan pilihannya itu. Begitu pula bahwa diri dan ikhtiar manusia ini juga ditakdirkan saling berhubungan dengan alam dan ikhtiar manusia lain di sekitarannya. Dan maksud Lauhu al-Mahfuzh adalah ilmuNya yang meliputi segala hal termasuk pilihan, ikhtiar manusia dalam detail- detail kehidupannya sampai kepada balasannya. 

Dan ketika salah satu ketentuanNya adalah saling berinteraksinya ikhtiar manusia yang satu dengan inkhtiar manusia yang lainnya, dan pengkabaranNya tentang ilmuNya terhadap segala sesuatu, maka Allah dan agamaNya sering menyuruh kita sabar dan pasrah serta yakin menerima takdir kita. 

Artinya, harus teliti dalam memilih setiap perbuatan kita karena sangat bisa terganjal oleh lingkungan dan ikhtiar-ikhtiar orang lain atau lingkungan sekitar, seperti hujan, dimana kalau hal itu terjadi, maka harus lapang dada, sabar dan ulet mencari jalan keluarnya. Begitu pula, harus teliti dalam memilih lingkungan yang akan banyak mempengaruhi pilihan-pilihan dan ikhtiar-ikhtiar kita itu. Bukan sabar menerima takdir dan nasib kita yang ditentukan secara paksa dari atas di Lauhu al-Mahfuuzh, karena hal itu, yakni penentuan dan penulisan itu, tidak ada. 

Bahkan agama tidak jarang menyuruh manusia/kita membuat lingkungan yang indah dan Islami. Hal itu tidak lain supaya manusia bisa tidak terlalu banyak menghadapi pengaruh atau rintangan yang akan muncul dari lingkungan dan ikhtiar-ikhtiar selainnya. 

Semua ini menjelaskan kepada kita bahwa sama sekali Tuhan dan agama tidak ingin mengatakan bahwa nasib menusia itu sudah ditentukan dari sananya dan menyuruh kita pasrah terhadapnya. Karena itulah maka “Jabariah” yang diyakini sebagai rukun iman ke 6 oleh saudara-saudara Ahlussunnah, hingga sering muncul perkataan semacam “Tuhan adalah paling bagusnya penyusun skenario”, atau “Kita hanya bisa berusaha tapi Tuhanlah yang menentukannya” .....dst. tidak bisa diterima sama sekali dalam pandangan Islam yang dibawa dan diwariskan oleh Ahlulbait Nabi saww yang wajib dishalawati dalam shalat kita sehari-hari itu. 

Tidak jarang saudara-saudara kita Ahlussunnah mengatakan pernyataan yang ke dua itu, untuk lari dari Jabariahnya Asy’ariyah. Mereka tidak mengerti bahwa “berusaha” itu adalah “perbuatan”, bukan “keyakinan”. Sementara “Tuhan menentukan” adalah “keyakinan” dan “Jabariah”. 

Sebenarnya, mau lari kemanakah mereka? Mau ambil Mu’tazilah yang freewill, takut ingkar pada ayat yang menerangkan tentang “Lauhu al-Mahfuzh”, tapi mau ambil Jabriah, sepertinya tidak enak di hati, karena bertentangan dengan fitrahnya. Tentu saja, dengan rukun iman ke 6 mereka itu, sudah dapat dipastikan bahwa pilihan mereka adalah “Jabariah”. Berarti, langsung atau tidak, berarti mereka menolak fungsi akal dan agama serta menolak ke-Adilan Tuhan sebagaimana maklum. 

Di sinilah fungsi terpenting dari iman kepada ke-Adilan Tuhan ini. Karena, bagaimana mungkin Allah menyuruh semua manusia untuk berusaha menjadi baik, berhasil, masuk surga, beriman, taqwa, berjuang dan mati syahid, silaturrahmi supaya panjang umur, bersih supaya sehat dan tidak sakit, sukses dan kaya supaya bisa naik haji dan membantu yang lemah, cari pasangan yang taqwa supaya harmonis dan berketurunan yang baik 

...dst, tapi di lain pihak Dia sudah menentukan baik-buruknya, berhasil-gagalnya, masuk surga-nerakanya, iman-kufurnya, taqwa-bejatnya, berjuang-khianatnya, syahid-ketabrak mobilnya, silaturrahmi-tidaknya, panjang-pendek umurnya, bersih-kotornya, sehat-sakitnya, kaya-miskinnya, haji-tidaknya, membantu-dibantunya, jodoh-tidaknya, harmonis-tidaknya, talaq-tidaknya, punya keturunan-tidaknya, turunan yang baik-tidaknya ...dan seterusnya.??!! 

Bagaimana mungkin seseorang bisa meyakini ke-AdilanNya kalau dia juga meyakni semuanya sudah ditentukanNya? Karena, tidak diragukan, bahwa saudara-saudara Ahlussunnah juga meyakini ke-AdilanNya. Tapi dengan meyakini rukun iman ke 6 itu, yang entah dari mana datangnya (tentu dari al-Asy’ari), maka mereka secara langsung atau tidak, sudah menolak ke-AdilanNya tersebut. Ada benarnya juga manakala orang awam berkata: 

“Kasihan sekali Tuhan. Karena Dia sering difitnah membuat orang sakit, jodoh tak serasi, cerai, tabrakan, bunuh diri, bangkrut, gagal, kafir, bejat, judi, gaul bebas, pendek umur, mabok, judi, dan akhirnya masuk neraka, atau difitnah dengan belum memberi hidayah hingga dikatakan bahwa orang-orang kafir atau yang tidak taqwa itu belum mendapatkan hidayahNya”

berlanjut ke bag: 2-b..

Anwar Mashadi: Terima kasih tag-nya Pak Sinar... Doakan agar saya bisa melihat, semoga cadar yang sedikit dibukanya itu memang isyarat yang ditujukan pada saya...

Bin Ali Ali: SYUKRAN USTADZ ANE JUGA DI TAG.........HEHEHE.

Haerul Fikri: Terima kasih banyak ustadz.. semoga senantiasa kenikmatan tercurah kepada anda hingga tetap teguh dalam ikhtiar untuk mencerahkan umat.. al faatihah ma’a shalawat..

Sinar Agama: Salam terimakasih untuk semua jempol dan koment serta dukungan dan doanya. Semoga kita selalu dalam selimut KasihNya.

Sinar Agama: Ali-A: Terimakasih atas perhatiannya. Tapi afwan ana belum bisa mengukir namaku di fb ini. Doakan semoga Allah selalu membimbing kita ke dan di JalanNya.

Syarifah Hana A. Fathiman: Ilahi amin ya Karim.. Syukran ustad atas ilmu yang diberikan.. Semoga saya bisa menyerap hikmahnya.. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad.

Cut Yuli: Syukron Ustadz..

Sinar Agama: terimakasih untuk semua dukungan dan doanya.

Sinar Agama: Ali-A: Benar, takdir yakni hukum alam yang didalamnya jg hukum-hukum sosial manusia. Yakni hukum-hukum yang didalamnya tidak diisi dengan siapapun dari seorang atau makhluk tertentu. Dia hukum-hukum umum, seperti x+x= 2x. Dan Tuhan tidak mengisi x itu dengan siapapun, kecuali naturalnya. Jadi yang selainya, seperti interaksi dan apalagi ikhtiar- ikhtiar manusia, maka Tuhan tidak mengisinya dengan siapapun, Walau Tuhan sangat tahu siapa- siapa yang akan masuk atau memasukkan dirinya ke dalam x tersebut.

Candiki Repantu: Thank’s ustadz.... semoga antum terus diberkahi ilmu dan rahmat ilahi dalam dakwah suci ahlil bait...! Tak bisa tidak, keadilan adalah tiang semesta..!

Sinar Agama: Candiki , terimakasih bahagia dan doanya.

Sinar Agama: Ali-A: Maha Mengetahui apa saja , termasuk semua perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri tanpa dipaksa Tuhan dan sekaligus tahu akan hasilnya seperti surga-nerakanya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ