Tampilkan postingan dengan label Mutlak & Relatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mutlak & Relatif. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 September 2018

Logika (Bgn 5)



Seri Tanya jawab Status Ustad. Muhsin Labib 


Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 13:34


Status: Muhsin Labib: “relatif” itu mutlak? Komentar-Komentar : 

Sabara Putra Borneo: Tetapi mutlak itu tidak relatif... hehehehehe. 

Mustafa Muhammad Ba’abud: Bukankah kebenaran mutlak hanya Milik Allah dan manusia diciptakan dengan serba relatif? Mohon pencerahan ustad. 

Muhsin Labib: Andai pengertian “relatif” tidak mutlak, maka tidak ada sesuatu yang bisa disebut “relatif”.

Sinar Agama : Relatif itu adalah relatif dan bukan mutlak, karena makna keduanya jauh berbeda. Ini kalau kita definisikan relatif dengan zat-zat dirinya dan hakikat dirinya dalam pahaman kita. Definisi seperti ini adalah definisi esensi dan hakikatnya dimana letak kesamannya ada dalam pahaman. Karena definisi harus sama dengan yang didefinisi. Jadi kalau dikatakan mutlak, maka ia adalah definisi yang salah. Akan tetapi ada lagi definisi yang tidak menerangkan zat- zat dan hakikat dirinya, akan tetapi hanya mengandalkan penerapan di luar akal. Di sini relatif bisa dikatakan mutlak. Yakni relatif termasuk salah satu mishdaq atau ekstensi dari pahaman mutlak. Definisi pertama biasa disebut dengan definisi pertama atau awwali, sedang yang ke dua ini disebut dengan definisi kebanyakan. Pertemuan dan kesamaan pada definisi pertama itu dalam pahaman dan esensinya, tetapi pada yang ke dua pada ekstensinya atau wujud luarnya. Kalau dicontohkan dengan esensi manusia, maka untuk definisi pertama dikatakan “manusia adalah manusia” atau “manusia adalah binatang rasional”. Tetapi contoh definisi untuk definisi kebanyakan dikatakan “manusia adalah Hasan, Husian ...dan seterusnya”.

Muhsin Labib: @sinar: tanpa menafikan penjelasan antum, status di atas berkaitan dengan pola haml (predikasi) primer dan sekunder... Ini soal “awwalan wa bidz-dzat”...

Sinar Agama: Benar, ana cuma menjelaskan pada orang yang belum tahu atau yang lupa. Ahsantum cuma tetap perkataan antum: Ini soal “awwalan wa bidz-dzat”... tetap sulit dicerna. Karena definisi sekunder itu tidak bisa bidzdzat artinya tidak melihat sama tidaknya, dan hanya melihat bertemu tidaknya di luar akal.

Muhsin Labib: @sinar; memang, konteks “relatif” (dengan tanda petik itu mutlak) mengacu pada kemutlakan dan universalitas pengertian relatif.

Sinar Agama: Ustadz, relatif itu pengertiannya adalah relatif, bukan mutlak, dan bahkan justru lawan dari mutlak. Dan keuniversalannya itu tidak bisa mengeluarkannya dari makna relatif. Seperti manusia yang keuniversalannya tidak meliputi makna yang berlawanan dengannya seperti kuda misalnya. Jadi manusia adalah manusia dan bukan bukan manusia. Mutlak juga begitu, ia lawan relatif dari sisi makna dan zatnya serta pengertiannya. Akan tetapi dari sisi penerapan, maka ralatif bisa dimasukkan ke dalam ekstensi mutlak. Yakni bahwa pemaknaan dari relatif yang bermakna relatif dan bukan mutlak ini, dan bahkan bukan makna yang lainnya, termasuk dari ekstensi makna mutlak. Jadi, yang mutlak itu bukan relatifnya, tetapi pemaknaan relatif dengan relatif dan bukan dengan mutlak itu. Mungkin saja antum yang benar. Ini sekedar sumbang sih, itupun kalau benar. Afwan.

Muhsin Labib: Ya akhi “SA” mestinya antum tidak perlu bermurah hati memberikan klarfikasi tentang masalah yang sangat jelas ini. Saya tahu bahwa relatif itu tidak mutlak. Konteks saya menulis status itulah yang mungkin tidak tertangkap oleh antum. Bila makna “relatif” itu relatif maka dia pada dirinya adalah relatif dan karenanya tidak dapat dijadikan parameter.

Sinar Agama: Yah... kalau ghitu afwan deh.. ana tidak koment lagi, sebab masih beda... nggak apa-apa ustadz silahkan saja. 


Tika Chi Sakuradandelion, Hendy Laisa, Agoest Irawan dan 22 lainnya menyukai ini. 


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 


Hendy Laisa: simak bung Roy Khan

Jayadhy: SA senang lihai benar memancing perdebatan, walau sebenarnya SA ngerti maksd dari Ust. ML dari sudut pandang apa status itu ditulis. (Mudah mudahan tidak salah. hehehe). Tapi mantap kok!!! Lanjutkan!!! 

Hendy Laisa: Mohamed Matona> Tolong jangan mengedit catatan dalam grup. 

Hendy Laisa: Mudah-mudahan Anggelia Sulqani Zahra menengok hal ini, afwan. 

Melvin Andrian Tanjung: Mantap !! Ketika Ustad Intelektual beradu ilmu (berdebat)... kita-kita hanya menyimak saja.. 

Wibi Wibo de Bowo: Sepakat dengan ML ! 

Zaranggi Kafir: Sepakat dengan SA !!! 

Yudhas Kopula: Mantap. 

Alie Sadewo: Mantau. 

Bande Husein Kalisatti: Ya..gitulah.. 

Wahyu Nugroho: Aku gak mudeng yang kaya gini-gini.... jadi aku ambil langkah sederhana ajalah.... 

Giri Sumedang: Filosof memandang relatif itu tidak mutlak, para arifin memandang relatif itu ber- asal dari yang mutlak, sehingga ia menempel total pada kemutlakannya (sebagai asas atau prinsip dari realitas dan hukumnya) maka ia tidak bisa dipisahkan dari kemutlakannya sendiri. Atau dengan kata lain “si relatif” itu juga telah meminjam baju eksistensi “si mutlak” tadi. Sebab kalau tidak kak, kita tidak bisa mendifinisikan apa pun dari semua kemaujudan ini. Sekarang kita mau pakai sudut pandang apa dan dari mana untuk melihat realitas ini? 

Mau mencoba memisahkan secara dikotomis kemutlakan dari yang relatif adalah mustahil ya kan kak? Atau mencoba mengontradiksikan ke-dua hal tersebut juga perbuatan sia-sia. Bahwa kedua hal tersebut dalam makna itu berbeda, jelas ya. Kalau tidak berbeda, wah repot kita kak, ya kan. Mending pakai satu term aja.. pakai relatif atau sekalian mutlak semua. Tapi justru itu tidak menjadi sempurna ia sebagai realitas, walaupun ia hadir sekedar sebagai pahaman, hukum, konsepsional, dan esensial lainnya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ