Tampilkan postingan dengan label Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Juli 2021

Syi’ah-Sunnah: Tentang Qur'an, Hadits, Shahabat, Ushulfikih dan Persatuan


seri jawaban Sinar Agama untuk Bambang Ariyanto Widjaya. http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326179687426834/ by Sinar Agama (Notes) on Saturday,

December 31, 2011 at 12:24am


Bambang Ariyanto Widjaja: Tetapi perlu diingat, MUI telah mengeluarkan Fatwa tentang kesesatan ahmadiyah dan mewaspadai manuver/gerakan Syi’ah. Mengapa Syi’ah diwaspadai? Karena perbedaan masalah hal-hal yang sangat pokok. Al Qur’an dan riwayat Hadist berbeda sehingga masalah fikh pun tidak sama dengan Sunni. Perlu dicermati pula sikap Syi’ah Indonesia terhadap para Shahabat Rasulullah Shallahu’alayhi Wassalam dan para Ahlul Ba’it non keluarga Ali ra. Perbedaan Sunni dan Syi’ah sangat tajam sekali. Jika mereka ikut meng-kafirkan para Shahabat, maka jelas Syi’ah tidak akan pernah bisa bersatu dengan Sunni dan juga hati-hati dengan Taqiyyah mereka (sikap taqiyyah inilah yang menyebabkan peristiwa di YAPI, bangil, pasuruan).

{{ Catatan dari Sinar Agama: Tulisan ini diambil dengan mencuplik komentar mas Bambang yang ada di komentar status Pencerah Hati yang ditag ke saya. Dan karena takut kepanjangan, maka komen-komen lainnya, baik dari mas Bambang atau yang menjawabnya dari teman-teman Syi’ah, tidak dimuat dalam catatan ini. Harap maklum. Karena tujuannya hanya ingin menjelaskan secara KTP tentang Syi’ah yang saya ketahui dan pentingnya persatuan (setidaknya tidak saling paksa) dalam menjaga kedamaian di bumi pertiwi yang damai selama ini. }}

Senin, 08 Februari 2021

Sosok Muhammad al Hanafiyah Saudara Al Hussain


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/295787223799414/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 18 Desember 2011 pukul 21:53

Andi Zulfikar: Salam, ustadz. Semoga selalu dalam cinta dan lindungan-Nya. Ada pertanyaan mengenai peristiwa karbala.

Kenapa Muhammad al Hanafiyah tidak ikut dan berjuang ke padang Karbala seperti saudara- saudara Al Husain as yang lain-lainnya? Sebelumnya syukron ustadz.

Kamis, 10 Desember 2020

Seri Diskusi: Mengenali Siapa Abu Bakar, Umar, Usman dan Aisyah


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/295080980536705/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 17 Desember 2011 pukul 13:31


Sang Pecinta: Salam, ustadz.

Di mana letak Makam siti Aisyah, bagaimana dan kapan ia meninggal.
Apakah setelah perang Jamal imam Ali dengan ia berdamai. Terimakasih, ustadz.

Jumat, 13 Desember 2019

Rijsun Adalah Semua Dosa, Besar Atau Kecil, Lahir Atau Batin


Seri tanya jawab Inbox Pr.T dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 4:50 pm


Percakapan dimulai 28 September

PrT. (saya -SA- singkat nama penanya karena takut orangnya tidak rela): 28/09/2013 05:16

Salam ustadz..saya mau tanya...saya dari Malaysia...saya ingin menanyakan 1 soalan dalam page ustadz yaitu Sinar Agama...saya udah register jadi members... habis itu gimana ingin menanyakan soalan?


Sinar Agama:

30/09/2013 19:21

Kalau cuma soalan, bisa di sini atau di dinding atau di situs itu sendiri. Bisa juga melalui akun Sang Pencinta, untuk diteruskan ke dinding saya kalau antum ingin dimuat di dinding/wall.


PrT.:

01/10/2013 06:06

Salam ustadz...saya dari Malaysia ingin menanyakan 1 soalan tentang bab Ar rijs..

ArRijs Dalam Al Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata rijs, diantaranya adalah sebagai berikut.

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijs) termasuk perbuatan syaitan” (QS Al Maidah: 90).

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis (rijs) dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS Al Hajj: 30).

“Dan adapun orang orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran (rijs) mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS At Taubah: 125).

“Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis (rijs)” (QS At Taubah: 95). “Dan Allah menimpakan kemurkaan (rijs) kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS Yunus: 100).

Dari semua ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa rijs adalah segala hal boleh dalam bentuk keyakinan atau perbuatan yang keji, najis yang tidakdiridhai dan menyebabkan kemurkaan Allah SWT. Asy Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir jilid 4 hal 278 menulis, “… yang dimaksud dengan rijs ialah dosa yang dapat menodai jiwa jiwa yang disebabkan oleh meninggalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan melakukan apa-apa yang dilarangoleh-Nya. Maka maksud dari kata tersebut ialah seluruh hal yang di dalamnya tidak ada keridhaan Allah SWT”.

Kemudian ia melanjutkan, “Firman `… dan menyucikan kalian… ‘ maksudnya adalah: `Dan menyucikan kalian dari dosa dan karat (akibat bekas dosa) dengan penyucian yang sempurna.’ Dan dalam peminjaman kata rijs untuk arti dosa, serta penyebutan kata thuhr setelahnya, terdapat isyarat adanya keharusan menjauhinya dan kecaman atas pelakunya”.

Lalu ia menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Hakim, At Turmudzi, Ath Thabarani, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dalam kitab Ad Dalail jilid 4 hal 280, bahwa Nabi saw. bersabda dengan sabda yang panjang, dan pada akhirnya beliau mengatakan “Aku dan Ahlul BaitKu tersucikan dari dosa-dosa”. (kami telah membahas secara khusus hadis ini di bahagian yang lain)

Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki dalam kitab Ash Shawaiq hal 144-145 berkata, “Ayat ini adalah sumber keutamaan Ahlul Bait, kerana ia memuat mutiarakeutamaan dan perhatian atas mereka. Allah mengawalinya dengan innama yang berfungsi sebagai pengkhususan kehendakNya untuk menghilangkan hanya dari mereka rijs yang berarti dosa dan keraguan terhadap apa yang seharusnya diimani dan menyucikan mereka dari seluruh akhlak dan keadaan tercela.”

Jalaluddin As Suyuthi dalam kitab Al lklil hal 178 menyebutkan bahwa kesalahan adalah rijs, oleh kerana itu kesalahan tidak mungkin ada pada AhlulBait. Semua penjelasan di atas menyimpulkan bahwa Ayat tathiir ini memiliki makna bahwa Allah SWT hanya berkehendak untuk menyucikan Ahlul Bait dari semua bentuk keraguan dan perbuatan yang tercela termasuk kesalahan yang dapat menyebabkan dosa dan kehendak ini bersifat takwiniyah atau pasti terjadi.

Selain itu penyucian ini tidak berarti bahwa sebelumnya terdapat rijs tetapi penyucian ini sebelum semua rijs itu mengenai Ahlul Bait atau dengan katalain Ahlul Bait dalam ayat ini adalah peribadi- peribadi yang dijaga dan dihindarkan oleh Allah SWT dari semua bentuk rijs.

Jadi tampak jelas sekali bahwa ayat ini telah menjelaskan tentang kedudukan yang mulia dari Ahlul Bait yaitu Rasulullah SAW, Imam Ali as, Sayyidah Fathimah Az Zahra as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.

Penyucian ini menetapkan bahwa Mereka Ahlul Bait sentiasa menjauhkan diri dari dosa-dosa dan sentiasa berada dalam kebenaran. Oleh keranyatepat sekali kalau mereka adalah salah satu dari Tsaqalain selain Al Quran yang dijelaskan Rasulullah SAW sebagai tempat berpegang dan berpedoman umat islam agar tidak tersesat.

Kemuliaan Ahlul Bait Dalam Hadis Rasulullah SAW, Rasulullah SAW bersabda: “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu"

Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“ (Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148 Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).

Hadis-hadis Shahih dari Rasulullah SAW menjelaskan bahwa mereka Ahlul Bait AS adalah pedoman bagi umat Islam selain Al Quranul Karim. Mereka Ahlul Bait sentiasa bersama Al Quran dan senantiasa bersama kebenaran. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761)

Hadis ini menjelaskan bahwa manusia termasuk sahabat Nabi diharuskan berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait. Ahlul Bait yang dimaksud dijelaskan sendiri dalam Hadis Sunan Tirmidzi di atas atau Hadis Kisa’ yaitu Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.

Selain itu ada juga hadis Hanash Kanani meriwayatkan “aku melihat Abu Dzar memegang pintu ka’bah (baitullah)dan berkata ”wahai manusia jika engkau mengenalku aku adalah yang engkau kenal, jika tidak maka aku adalah Abu Dzar. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “Ahlul BaitKu seperti perahu Nabi Nuh, barangsiapa menaikinya mereka akan selamat dan barangsiapa yang tidak mengikutinya maka mereka akan tenggelam”.(Hadis riwayat Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 2 hal 343 dan Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih).

Hadis ini menjelaskan bahwa Ahlul Bait seperti bahtera Nuh dimana yang menaikinya akan selamat dan yang tidak mengikutinya akan tenggelam. Mereka Ahlul Bait Rasulullah SAW adalah pemberi petunjuk keselamatan dari perpecahan. Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

”Bintang-bintang adalah petunjuk keselamatan penghuni bumi dari bahaya tenggelam di tengah lautan. Adapun Ahlul BaitKu adalah petunjuk keselamatan bagi umatKu dari perpecahan. Maka apabila ada kabilah Arab yang berlawanan jalan dengan Mereka niscaya akan berpecah belah dan menjadi partai iblis”. (Hadis riwayat Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 3 hal 149, Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih sesuai persyaratan Bukhari Muslim).

INI PERTANYAANNYA:

Baik, Jika penyucian dari ar-rijs di sini bermaksud penyucian dari dosa maka macam mana pula dengan ayat al-an-Anfal 8 :11 berikut:


Terjemahan: Ingatlah: “Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari rijs al- syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu).”

Ayat di atas jelas menggunakan perkataan rijs bahkan lebih SPESIFIK dari ar-Rijs dalam surah al-Ahzab 33 yakni rijs yang disebabkan oleh syaitan Kalau kita kan penyucian ar-Rijs membawa maksud kemakshuman maka kita juga perlu katakan penyucian di atas telah ‘memakshumkan’ sahabat.

Kami tahu Ada yang membidas dengan mengatakan ar-Rijs di atas gangguan syaitan bukannya dosa, saya katakan jikapun ia gangguan syaitan, maka apakah para sahabah telah bebas sepenuhnya dari gangguan syaitan dan tidak sekali-kali melakukan dosa akibat gangguan syaitan??

Diharap ustadz dapat menjawab bertanyaan saya ini.. wassalam ustadz.

Hari Ini (6-10-2013)


Sinar Agama:

17:52

Salam, ada dua masalah yang perlu diperhatikan:

1- Ayat di atas, terasa kurang lengkap. Karena ayat pensucian itu diartikan dengan pensucian, padahal artinya adalah PENGHINDARAN. Karena Allah memakai kata “adzhaba ‘anhu” pada kata “liyudzhiba ‘ankum”, dimana kata-kata ini dipakai untuk menghindarkan sebelum menem- pel, bukan membersihkan atau melepaskan yang sudah menempel.

2- Ayat pensucian pada Ahlulbait as, jauh beda dengan pensucian umum pada ayat: 11, dari surat al-Anfaal itu.

Karena pada pensucian Ahlulbait tidak diqorinahi atau tidak dikondisikan dengan apapun. Artinya, pensucian mutlak. Padahal di ayat 11 di surat al-Anfaal itu, pensucian yang diakibatkan oleh air. Jadi, air inilah yang menjadi penjelas dari maksud pensucian rijs di ayat tersebut. Artinya, air yang diturunkan Allah itu untuk mensucikan apa-apa yang bisa disucikan dengan air. Karena itu, ia/air itu hanya bisa mensucikan hal-hal seperti najis dan hadats.

Jadi, rijs yang bisa disucikan itu adalah dosa-dosa yang diakibatkan oleh najisnya makanan karena haram, najisnya badan dan baju dalam shalat yang karena akan membatalkan shalat, begitu pula mensucikan dari rijs yang berupa hadats kecil dan besar hingga terhindar dari rijs yang berupa shalat yang batal, atau dosa yang diakibatkan memegang tulisan Qur'an yang tanpa wudhu atau tanpa mandi besar. By the way, rijs di sini adalah dosa-dosa yang diakibatkan oleh tidak difungsikannya air atau tidak difungsikannya dengan benar dimana hal itu juga merupakan godaan syethan.

Akan tetapi dosa-dosa seperti syirik, riya, sombong, zina, menyembah berhala, membunuh, membakar manusia hidup-hidup (seperti Khalid Bin Walid sewaktu menjadi panglima Abu Bakar dalam penyerangan ke satu suku shahabat dari suku Bani Tamiim), kesesatan ilmu dan amal, kemusyrikan, ......dan seterusnya,....sama sekali tidak bisa disucikan dengan air yang diturunkan Tuhan tersebut.

Jadi, pensucian rijs terhadap Ahlulbait as, atau yang lebih benar, penghindaran rijs dari Ahlulbait as, bersifat mutlak dan tanpa kondisi hingga Ahlulbaitas terhindar dari segala macam rijs, baik yang diakibatkan dari berkah air atau apa saja, seperti berkah ilmu, ketaatan, shalat itu sendiri, puasa itusendiri, haji, ikhlsh, tawadhu’, dzikir...dan seterusnya...dari amal-amal yang berfungsi menghindarkan dari segala macam rijs.

Sedang penghindaran dari rijs di ayat 11 surat al-Anfaal itu, adalah penghindaran yang hanya diakibatkan oleh air saja dan meliputi semua orang, baik makshumin atau bukan, baik shahabat atau kita-kita di jaman selain shahabat.

Tambahan-1: Dari penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa karena penghindaran umum dari rijs yang diinginkan Tuhan itu diwasilahkan atau diperantarakan melalui air, maka dapat dipahami bahwa hal tersebut, tidak akan terjadi kalau tidak ada air. Jadi, hal ini merupakan pembatasan ke dua. Karena itu, kalau makanan belum dibersihkan dari najis, seperti darah, yang disebabkan tidak adanya air, maka rijs di sini tidak akan dapat dihindarkan. Jadi, manusia akan terpaksa memakan yang najis. Begitu pula kalau tidak punya air ketika berhadats yang mana tidak bisa shalat.

Nah, karena Islam itu rahmat dan bukan beban, maka Tuhan memakai rahmatNya, untuk menghapus rijs yang tidak disucikan dengan air karena tidak adanya air tersebut. Karena itu, kita dibolehkan makan yang haram, kalau terpaksa dan disuruh tayammum kalau tidak punya air kala mau shalat.

Karena itu, air ini, menunjukkan batasan yang lain hingga di luar batasnya, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa yang, karena itulah Tuhan menggunakan kaidah dan hukum lain untuk menepiskan rijs tersebut manakala tidak ada air.

Akan tetapi, di dalam penghindaran rijs dari Ahlulbait as, di sana tidak ada pembatasan dan pengkondisian apapun, baik air atau yang lainnya seperti shalat, puasa, ikhlash, ilmu yang benar, tawadhu’, menghindari dosa itu sendiri....dan seterusnya.

Tambahan-2: Selain yang sudah dijelaskan di atas itu, maka perlu diketahui bahwa Rijsun yang di QS: 33:33 yang untuk mensucikan Ahlulbait as, bukan Rijzun yang ada di QS: 8:11 di atas. Rijsun (siin) bukan Rijzun (zaa’). Rijsun segala keburukan sedang Rijzun waswas.

Jadi, rijzu al-syaithaan di ayat yang antum bawa itu adalah waswas syaithan. Jadi, katika manusia mensucikan diri, baju dan makanannya dari najis dengan air, lalu berwudhu’ dan mandi besar dengan air, maka dalam keadaan suci itu, ia bisa terbentengi dari waswas syaithan.

Wassalam. 07/10/2013 01:45


PrT.:

Terima kasih ustadz...

Menurut riwayat dalam kitab syiah daripada imam, ia penyucian khusus tersebut ialah bebas dari keraguan ( ﻚشلﺍ وﻫ ﺲﺟرلﺍ ) Rujuk Basair Darajat (1/232), Ma’ani al-Akhbar (1/171) dan lain-lain rujukan. Saya tahu ada ulama syiah yang menakwilkannya sebagai penyucian dosa tapi apa yang saya fokuskan ialah kata- kata imam syiah sendiri, bukan takwilan para pengikutnya agar sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mungkin ustadz boleh bawakan riwayat yang menjelaskan maksud ar-Rijs di sisi imam-imam syiah. Maka saya berpendapat penyucian dari ar- Rijs tidak kira samada dari syaitan ataupun dari keraguan tidak membawa arti kemakshuman.

Maksud saya ar rijs dari ayat penyucian untuk ahlul bait yang kalian dakwakan... bukan ar rijs dari mana-mana surah lain...

14/10/2013 01:38

Pr. T.:

Salam ustadz....izinkan saya bertanya 1 lagi soalan.

Adakah benar mencaci sahabat adalah sebagian rukun islam syiah?


Sinar Agama:

Salam:

1- Sebelum membaca riwayat-riwayat Syi’ah yang tidak kamu percayai itu, maka sebaiknya kamu baca dulu Qur'an yang telah menerangkan makna dari rijs itu sendiri, seperti:


  • a- Bermakna najis lahiriah, seperti di surat al-An’aam, 154:

أو لحم الخنزير فإنه رجس

“Atau daging babi, maka sesungguhnya ia adalah rijs/najis.”


  • b- Bermakna najis batin seperti syirik, kafir dan amal-amal buruk, seperti di surat al-Taubah, 152:

و أما الذين في قلوبهم مرض فزادتهم رجسا إلى رجسهم و ماتوا و هم كافرون

“Sedang orang-orang yang ada penyakit di hatinya, maka mereka diperbanyak oleh rijs mereka ke atas rijs mereka dan mereka mati secara kafir.”


  • c- Bermakna batin akan tetapi dari jenis umum dan bukan hanya kafir, tapi seluruh kesesatan, seperti al-An’aam, 152:

و من يرد أن يضله يجعل صدره ضيقا حرجا كأنما يصعد في السماءكذلك يجعل اهلل الرجس على الذين
ال يؤمنون

“Dan barang siapa yang ingin disesatkanNya, maka harinya dibuat sempit sengsara seperti orang yang naik ke langit. Begitulah Allah menjadikan rijs kepada orang-orang yang tidak beriman.”


  • d- Di QS: 5:90, bermakna mencakup semua dosa-dosa:



“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijs dari perbuatan syaithan, karena itu, hindarilah agar kalian selamat.”


2- Di ayat pensucian itu, selain masalah rijsun ini, dilengkapi dengan firmanNya yang berbunyi:
“...dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya...”.

Jadi, di samping rijsun itu semua dosa dimana sudah dihindarkan dari Ahlulbait, juga dikuatkan dengan pembersihan sebersih-bersihnya itu. Jadi,dakwaan bahwa ayat ini bukan kemakshuman dan hanya pensucian dari ragu, maka hanya dakwaan kebingungan dalam memahami ayat- ayatTuhan dan, sudah tentu merasa lebih tahu Syi’ah dari orang Syi’ah itu sendiri.

3- Ketika imam-imam makshum as, yang kamu tidak percayai itu, menjelaskan maksud rijsun itu, bisa disebabkan oleh asbab wurudnya sebagaimana ayat yang sering disesuaikan dengan sebab turun/nuzul-nya. Karena itu, maka hadits-hadits itu, seperti ayat-ayat di atas yang menjelaskan rijsun itu. Apakah bisa kita hanya mengambil satu penjelasan lalu menolak makna lainnya? Misalnya memaknainya dengan bangkai dan babi, lalu menolak makna syirik, kafir, berhala, judi, mabok,.....dan seterusnya???!!!!

Jadi, penjelasan imam as tentang rijsun yang pembersihan dari ragu itu, adalah merupakan penjelasan dari salah satu maknanya, seperti ayat di atas yang saling beda menerangkan makna rijsun itu.

4- Semua perbedaan itu, karena memang tidak saling bertentangan, maka bisa dipadukan dengan menggabungnya. Karena itu, maka rijsun itu bukan hanya bangkai dan babi seperti yang diterangkan dalam satu ayat, akan tetapi juga semua dosa dan kekafiran seperti yang dijelaskan di ayat-ayat lainnya.

5- Kalau kamu memahami bahasa apapun, baik arab atau melayu atau indonesia dan jawa atau apa saja, maka sangat beda ketika ada orang yang berkata “rijsun itu keraguan” dan mengatakan “rijsun itu hanya keraguan”. Atau yang berkata “Pensucian dari ragu” atau “Pensucian hanya dari ragu”.

Artinya, ketika ayat atau hadits itu, tidak menyebutkan “hanya”, baik dalam kata atau dalam isyarat-isyaratnya, maka jelas bahwa penyebutan satuekstensi atau satu makna dari berbagai maknanya, tidak berarti menolak makna-makna yang lainnya.

6- Kamu ini semakin lama menjadi semakin lucu. Karena kalau ada hadits dari imam yang bertentangan dengan keyakinanmu langsung dikatakan sesat dan keluar dari Qur'an tapi kalau DIKIRA sama dengan prinsipmu maka dikatakan benar walau, bisa dipertentangkan dengan Qur'an (yakni kalau dimaknai dengan “hanya pensucian dari ragu” dan bukan “pensucian dari ragu”). Tentu saja riwayat Syi’ah yang kamu nukil itu tidak bertentangan dengan Qur'an karena ia hanya menjelaskan salah satu bagian dari makshum dan pensucian dari rijsun itu. Tapi karena kamu menginginkan “hanya pensucian dari ragu” itu, maka ia bisa bertentangan dengan Qur'an itu sendiri dan, kamupun menyukainya walau bertentangan dengan Qur'an.

7- Saya juga heran dengan cara belajarmu, selain heran terhadap cara kamu memahami ucapan dan tulisan dan bahasa apapun seperti yang sudah diterangkan di atas itu. Di sini, saya heran dengan cara belajarmu karena belajarmu seperti caramu yang mengherankan dalam memahami bahasa itu. Dalam memahami bahasa/ucapan, perkataan yang tidak disertai “hanya”, kamu maknai dengan “hanya”. Lah di sini, kamu menemukan satu hadits saja, lalu menghanyakannya bahwa tidak ada pernyataan imam yang mengartikan bahwa makshum itu dari dosa. Di rumahku ada sekitar 45.000 jilid kitab Syi’ah dan 40.000 jilid kitab Sunni, sudah berapakah yang sudah kamu baca hingga semudah itu berkata “hanya” sementara kamu hanya memiliki khayalanmu sendiri itu?

8- Kalau kamu mau belajar, maka ini kukutipkan hadits-hadits lain yang, sekali lagi, salinan yang kamu nukil itu, seperti:

و في رواية عن علي بن الحسين ع: “ قيل له يابن رسول اهلل، فما معني المعصوم ؟ فقال “ :هو المعتصم
”. بحبل اهلل .و حبل اهلل هو القرآن، اليفترقان الي يوم القيامة 

Dari imam Ali bin al-Husain as, beliau as ditanya: “ Wahai putra Rasulullah, apa makna makshum itu?”

Beliau as menjawab: “Yaitu yang menjaga diri dengan tali Allah. Dan tali Allah itu adalah Qur'an. Mereka (orang makshum dan Qur'an), tidak saling berpisah sampai hari kiamat.” (Bihaaru al- Anwaar, 25/194).

Nah, menyatu dengan Qur'an tanpa berpisah sampai hari kiamat, tandanya mengerti seluruhnya dengan benar dan mengamalkan seluruhnya juga dengan benar.

Atau hadits ini:

Dari Abi Abdillah as (imam Ja’far as): Makshuum itu adalah mencegah diri dengan Allah dari semua yang diharamkan Allah. Karena itu Allah berfirman: ‘Dan barang siapa menjaga diri dengan Allah maka dia telah dihidayahi ke jalan yang lurus.’.” (Biharu al-Anwaar, 25/194).

9- Tentang mencaci shahabat itu, bisa ditanya kepada yang membuat fitnah tersebut, dimana didapat penjelasan Syi’ah yang ada menerangkan bahwa pencacian kepada shahabat itu sebagai rukun Islam? Emangnya ajaran islam yang sudah sempurna di jaman Nabi saww itu masih perlu ditambahi lagi dengan ajaran yang aneh-aneh seperti yang difitnahkan itu?

Tambahan:

Ini riwayat yang kamu maksudkan di Ma’aanii al-Akhbaar, 1/171:

1 -

حدثنا أبي، ومحمد بن الحسن بن أحمد بن الوليد -رضي اهلل عنهما -قاال :حدثنا عبداهلل بن جعفر الحميري، عن محمد بن الحسين بن أبي الخطاب، قال :حدثنا النضر بن شعيب، عن عبدالغفار الجازي، عن أبي عبداهلل
عليه السالم في قول اهلل عزوجل “ :إنما يريد اهلل ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا “ (1) قال:
 . الرجس هو الشك

Ketika Abu ‘Abdillah as menerangkan ayat “innamaa yuriidullaahu lisyudzhiba ‘ankum al-rijs ahlalbait .....” beliau as berkata: Rijs itu adalah Syak.”

Nah, di hadits ini, hanya berkata “syak” dan tidak berkata “hanya syak”. Karena itu, maka jelas tidak bermaksud menafikan atau menolak makna-makna lain yang juga datang dari para imam makshum as itu sendiri seperti yang sudah dinukil sebagiannya di atas itu. Kalaupun mau dipaksakan hanya syak, maka jelas akan bertentangan dengan hadits-hadits lain dan, sudah tentu dengan Qur'an sebab Qur'an telah menerangkan banyak maknanya seperti yang sudah dinukilkan di atas.

Lagi pula, apapun yang menyebabkan dosa seseorang, seperti maksiat besar atau kecil, maka disebabkan keraguannya. Coba seseorang itu, yakin padaAllah, yakin pada neraka seperti yakinnya seorang pencuri yang saling melihat polisi, maka sudah pasti tidak akan mencuri dan tidak akan maksiat.Karena itu, syak itu, memiliki makna yang dalam. Coba kita yakin pada kebenaran firman- firman Allah sebenar-benar keyakinan yang tidak ada sedikitpun keraguan, maka sudah pasti, tidak akan berbuat maksiat sedikitpun. Jadi, dosa itu tanda dari ragu dan, karenanya, yakin tanda dari makshum.

22/10/2013 01:55


PrT.: Terima kasih ustadz Wassalam.

2 Shares

Ramlee Nooh and 21 others like this.


Win Panay: Ijin copas Ustadz.

Wasroi Aja: Nyimak

Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih untuk semua jempol dan komentarnya.

Sinar Agama: Win, semua tulisanku di facebook ini gratis selama untuk kebaikan walau dalam bentuk apa saja asal, tidak diedit, tidak dirubahnamanya dan tidak dibisniskan walau dengan nilai yang amat murah sekalipun.

Sinari Beta: Ustadz Sinar Agama ada pertanyaan ana di inbox belum dijawab-jawab. Mohon dibantu.

Sinar Agama: Sinari, doakan ya...hingga aku ini memiliki tenaga berlimpah dan penuh berokah, hingga tidak terlalu sering keteter menjawab inbox. Sepertinya ana baru menjawab yang tgl 16 atau 17-an bulan Oktober ini, afwan banget. Tapi kalau darurat dan buru-buru, beri tahu lagi di salah satu komentar di dinding ini, supaya ana bisa dahulukan.

Sinari Beta: Ga pa pa ustadz sesempatnya aja, pertanyaannya udah di dinding Sang Pencinta juga. Semoga Allah selalu menganugerahi antum kesehatan dan kekuatan serta umur yang barokah., amin wassalam.

October 28 at 8:08pm via mobile · Like · 1



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 10 Desember 2019

Imam Ali as dan 40 Penolong


Seri tanya jawab Titan Rubiansyah dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 3:29 pm


Titan Rubiansyah mengirim ke Sinar Agama: (11-4-2013) Salam ustadz

Apa selama masa kekhalifahan AUU 26 tahun imam Ali tidak punya pengikut 40 orang sehingga dapat mengambil haqnya sebagai khalifah?


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

Mungkin saja tidak ada. Dan mungkin saja justru semakin tidak ada. Masih mending di awal-awal jaman khalifah pertama karena sempat ada yang datang lebih dari jumlah 40 itu. Tapi imam Ali as menyuruh mereka pulang dan menyuruh kembali lagi besok hari dengan pedang dan kepala digundul (supaya tahu siapa lawan dan kawan). Tapi ternyata tidak datang kecuali beberapa orang saja yang tidak sampai sepuluh orang.

Nah, setelah itu, berbagai intimadasi terjadi di awal-awal itu. Dan bahkan peperangan terjadi ke atas yang menentang mereka seperti shahabat sukuBani Tamiim yang bahkan beberapa shahabat dari suku ini, dibakar hidup-hidup di depan umum oleh panglima Abu Bakar yang bernama Khalid Bin Walid.

Dengan semua itu, maka mungkin saja mereka malah semakin takut. Bayangin, bukan hanya rumah hdh Faathimah bintu Nabi saww yang dibakar dan didobrak, tapi kitab-kitab hadits yang ditulis langsung di depan Nabi saww -pun dibakarin oleh mereka dan diberangus. Jadi, situasi kala itu sangat mencekam dan menakutkan. Begitu seterusnya.

Jadi, 40 orang yang merupakan Syi’ah hakiki yang tahan segala-galanya, bisa saja sangat sulit. Akan tetapi, mungkin saja setelah awal-awal masa sulit itu, karena pemerintahan sudah bergulir beberapa tahun dan bahkan sudah berganti khalifah ini dan itu, maka bisa saja maslahatnya sudahmenjadi lain hingga walau ada 40 orang, sudah tidak darurat lagi dan bahkan mungkin bisa saja akan terjadi mudharat yang lebih parah.

Bayangin, ketika imam Ali as jadi khalifahpun, ribuan orang dipimpin ‘Aisyah, Thalhah dan Zubair, menyerang imam Ali as dalam perang terbuka yang sempat menelan korban paling sedikitnya yang diakui Sunni berjumlah 13.000 orang (shahabat dan tabi’iin). Lah, kalau sudah jadi khalifah saja seperti itu, maka apalagi hanya dengan 40 orang.

Lagi pula, mungkin saja ada faktor lain. Misalnya, 40 orang itu akan cukup di awal-awal pemerintahan mereka itu karena belum ada kesiapan ketentaraan yang kuat. Tapi setelah itu, apalagi setelah memilki pasukan besar yang dapat menggilas Bani Tamiim, maka bisa saja angka 40 itu sudah tidak berlaku lagi.

Tapi bisa saja ada hal lain yang tidak bisa kita raba dengan akal dan hati yang banyak batasan ini. 
Wassalam.


1 Share

22 people like this.



Riri Thea: Nyimak.

Ela Hoor: Ustadz. Sinar Agama, Bisa dilengkapi penjelasan ustadz di atas dengan Sejarah kepemimpinannya Amirul Mukminin Saydina Ali RA versi syiah dan Sunni.

Sinar Agama: Ela, secara global, ketika Utsman terbunuh, maka seperti serempak kaum muslimin mendatangi imam Ali as dan berbaiat. Tapi imam menolak dan berkata, mengapa kalian tidak mencari selainku seperti selama ini? Orang-orangpun menjawab bahwa mereka sudah kapok dan sadar. Karena itu mereka tetap memaksa baiat. Dan akhirnya imam Ali as pun menerimanya.

Dikatakan sejarah bahwa waktu baiat itu, saking berduyun-duyunnya umat, maka mereka menyentuhkan tangan mereka ke imam Ali as seperti bulu-bulu binatang yang menempel di badannya.

Sinari Beta: Salam Ustadz SA maaf bertanya di sini, karena ana gak bisa nulis di wall antum, semoga antum selalu dalam kesehatan dan lindunganNya, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan :

1. Kadang-kadang sebelum mengaji saya mengirim alfatihah dulu kepada Rasulullah saww dan ahlulbaitnya as, kemudian baca shalawat 3x(niatnya untuk tabarruk saja), gimana hukumnya?

2. Saat saya membaca shalawat 100 kali, kadang saya niatkan dan berdo’a kepada Allah agar berkah dan pahala shalawat saya disampaikankepada masing-masing berikut dengan niat : 14 shalawat untuk ayah saya, 14 untuk ibu saya, 14 untuk istri, 14 untuk anak, 14 untuk para pecinta Rasulullah saww dan Ahlul baitnya as, 14 untuk orang-orang yang telah berbuat baik pada diri dan keluarga saya serta para guru-guru saya, sisanya untuk kaum muslim dan muslimat baik masih hidup maupun sudah meninggal. Apakah hukumnya amalan ini ustadz? Boleh kah? Aapakah akan sampai pahala dan berkah tersebut kepada masing-masing yang saya niatkan?

3. Bolehkah berzikir gak pake tasbih? Karena saya sering dengan menggunakan jari untuk menghitungnya, jarang sekali dengan tasbih.

4. Turba untuk shalat bolehkah dipakai bolak balik (karena bagian atas yang ada ukiran dan kaligrafi, dan bagian bawah polos saja)?

5. Saya pernah membaca bahwa dilarang berziarah di malam hari, apakah betul ustadz? Bila iya dilarang, gimana hukumnya dengan berziarah kemakam Rasulullah saww dan ahlulbaitnya as (baik dari dekat maupun dari jauh)?

Sekian dulu ustadz nanti nyusul lagi, semoga Allah meringankan beban antum dan memberkahi antum, Wassalam.


Sinar Agama: Sinari,

1- Hukumnya boleh saja dan akan mendapatkan pahala sunnah muthlaq/mutlak in'syaa Allah. Tentu asal tidak diniati sebagai kesunnahan dan, apalagi kewajiban dari agama.

2- Sangat boleh dan pahalanya akan sampai dan akan kembali kepada antum dengan lebih meningkat lagi.

3- Jelas tidak masalah.

4- Penggunaannya adalah bagian yang polosnya. Akan tetapi kalau dipakai bagian yang ada tulisannya, juga sama sekali tidak ada masalah.

5- Kalaupun ada larangan (saya sudah cari di puluhan kitab akan tetapi tidak mendapatkannya), maksimalnya adalah makruh. Akan tetapi menziarahi para makshumin as jelas tidak sama. Apalagi ada perintah-perintah khusus atau amal-amal khusus yang sangat umum dalam kitab- kitab doa, untuk berziarah pada imam as di malam hari. Misalnya di amalan-amalan malam Qadr dimana ada perintah sunnah untuk ziarah kepada makshumin as.

November 1 at 2:31pm via mobile · Like · 1



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 12 Desember 2018

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, (Bag: 1)

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, seri nukilan dari Buletin Al-Muraasalaat 16 (Bag: 1)



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, February 26, 2013 at 10:44 pm

Pertanyaan dari: Habeeb Al-rashed (Dari salah satu negara Arab)

Alamat E-mail: habeeb2020@maktoob.com

Tanya:

Di rumah kami ada pembantu muslimat dari Indonesia yang tidak bisa berbicara bahasa Arab dengan baik sama sekali. Ketika ia melihat kita shalat, selalu menanyakan mengapa kami sujud di atas turbah ( tanah yang dipadatkan seperti korek api, atau berbentuk bulat, red. ), apa turbah ini dan apa sebab dari semua ini, ........ dan begitu seterusnya menanyakan perihal sujud di atas turbah Husainiah ( tanah dari kota Karbala di Irak, red. ). 

Oleh karena itu alangkah senangnya kami seandainya ia mendapat jawaban dengan bahasa Indonesia yang dapat ia pahami. Terima kasih dan semoga Allah membalas antum dengan seluruh kebaikan. 

Jawab (dari Ust Hasan Abu Ammar hf)

Perhatian Pertama: Pertanyaan di atas datang dari salah satu negara Arab dengan alamat di atas kepada kantor Rahbar hf dengan alamat istiftaa@wilayah.org. Tapi karena kebetulan kami yang diminta untuk menulis makalah berbahasa Indonesia mengenai sujud di atas tanah tersebut sewaktu kami kebetulan berkunjung ke kantor itu, dan karena baik untuk dimasukkan ke buletin kami, maka atas sepengetahuan kantor yang dimaksud maka kami memasukkannya di sini ( al- Murasalat ). 

Perhatian Dua: Tulisan atau makalah ini tidak mewakili kantor Rahbar hf, sekalipun kebetulan kami diminta untuk menulisnya. Jadi jawaban dan makalah ini hanyalah suatu makalah biasa yang tidak dibarengi dengan bobot atas nama. Oleh karena itu hadapilah seperti menghadapi tulisan- tulisan biasa (bukan tulisan Rahbar hf, kantor beliau hf atau wakil beliau hf). 

Perhatian Tiga: Tulisan ini bukan bermaksud mengungkit-ngungkit masalah ikhtilafiah, tapi sekedar ingin membantu pemohon di atas dan para pembaca yang ingin mengetahui sedikit lebih rinci dan ilmiah mengenai hal yang dipertanyakan itu. 

Perhatian Empat: Karena di dalam madzhab Syi’ah masalah sujud di atas tanah tersebut temasuk masalah yang jelas dan tidak membingungkan bagi pemeluknya, maka kami akan menukilkan dalil-dalil dan hadits-hadits Sunni saja. 

Makna Sujud 
Sujud memiliki dua makna; bahasa dan syariat: 

Makna Bahasanya adalah merendahkan diri; memiringkan badan; menundukkan kepala; dan membungkukkan badan. Sebagian ahli bahasa kadang-kadang memang mengartikan meletakkan dahi di atas tanah, tapi mereka tidak bermaksud mengartikannya demikian kecuali secara tidak langsung dan hanya majazi, sebab mereka setelahnya langsung mengatakan bahwa “Dan tidak ada rendah diri melebihinya”. Oleh karena itu maka arti asal dari Sujud adalah Rendah Diri atau Merendahkan Diri. 

Mereka juga sering mencontohkan pemakaian kata Sujud yang bermakna membungkukkan badan dan menundukkan kepala ini, pada onta dimana orang-orang Arab ketika membungkukkan ontanya untuk dinaiki mereka mengatakan “Asjada al-Ba’iyr” ( mensujudkan onta ), atau ketika ontanya membungkuk siap dinaiki mereka mengatakan “Sajada al-Ba’iyr” ( onta bersujud ). 

Lihat di kitab-kitab: Mu’jamu Maqoyiysu al-Lughoh, karangan Ibnu Faris; Syajaru al-Dur Fi Tadaakhuli al-Kalaam Bi al-Ma’aaniy al-Mukhtalifah, karangan Abu al-Thayyib ‘Abdu al-Waahid bin ‘Aliy al-Lughawiy; al-’Ain, karangan al-Khalilu ibnu Ahmad; Ta’wiilu Musykili al-Qur'an, karangan Ibnu Quthaibah; al-Muhiith, karangan al-Shaahib bin ‘Ubbaad; al-Nihaayah, karangan Ibnu al-Atsiir; Lisaanu al-’Arab, karangan Ibnu Manzhuur; al-Adhdaad, karangan Ibnu al-Ambaariy; al-Qomuus, karangan al-Firuuz Aabaadiy; Taaju al-’Aruus, karangan al-Zubaidiy; al-Mughrib, karangan al- Mathriziy; al-Misbaahu al-Muniir, karangan al-Fiyuumiy; Majma’u al-Bahrain, karangan al-Thariihiy. 

Makna Syar’inya adalah (setidaknya ) meletakkan dahi ke atas tanah secara langsung dan tanpa penghalang. 

Berkata para ahli fiqih Hanafiah: Sujud yakni meletakkan dahi atau hidung ke atas tanah/bumi dengan merendahkan diri ( lihat Majma’u al-Anhar, 1/87 ). 

Ketika Nashir bin Yahya ditanya apakah boleh seseorang meletakkan dahinya ke atas tanah yang ada batu kecilnya ketika bersujud, ia berkata: Asalkan ia meletakkan sebagian besar dahinya ke atas tanah/bumi ( al-Mabsuuth, 1/289, karangan al-Surkhusiy ). Maksud dari perkataannya ini adalah seseorang bisa meletakkan dahinya ke atas batu-batu kecil asal sebagian besar dahinya menyentuh batu-batu tersebut, sebab batu-batu itu adalah bagian dari tanah/bumi. Dan kalau tidak, yakni hanya sebagian kecil saja,sehingga dahinya hanya menyentuh satu batu kecil dan tidak menyentuh batu-batu lain atau tanah, sehingga nampak kelihatan terganjal oleh batu itu, maka sujudnya tidak dianggap sah. 

Berkata ‘Aalimkiir dalam kitabnya al-Fataawaa al-Hindiyah 1/55: Kalau seseorang meletakkan dahinya ke atas batu kecil ketika bersujud, maka kalau sebagian besar dahinya menyentuh tanah/ bumi ( batu-batunya yang menyentuh tergolong banyak ), sujudnya menjadi sah, dan kalau tidak, maka sebaliknya. 

Berkata para ahli fiqih Malikiyyah: Sujud adalah meletakkan dahi ke atas tanah/bumi ( lihat dalam tafsir Qurthubi berkenaan dengan ayat: “ Ketika Kami berkata kepada para malaikat ‘Sujudlah kalian kepada Adam’ “ ). 

Berkata Ibnu al-Haaj dalam kitab Madkhalnya, 2/272: Dan dari kewajiban-kewajiban sujud adalah tidak bolehnya adanya penghalang antara dahi dan tanah/bumi. 

Berkata para ahli fiqih Hambaliyah: Sempurnanya sujud ke atas tanah/bumi adalah meletakkan dua tapak tangannya serta jari-jarinya ke atas tanah/bumi ..... ( al-Mughniy 1/520, karangan Ibnu Quddaamah al-Maqdisiy ). 

Berkata al-Murdaawiy dalam al-Inshaaf: Dan tidak diwajibkan bagi orang shalat untuk menyentuh langsung tanah/bumi kecuali dahinya. Maksudnya ketika seseorang sujud maka tidak diwajibkan menyentuh langsung bumi/tanah kecuali dahinya. Fatwanya ini berbeda dengan fatwa rekan semadzhabnya, Ibnu Quddaamah di atas. 

Berkata ahli fiqih Syaafi’iyyah, khususnya Syafi’iy sendiri ( Muhammad bin Idris ) dalam al-Um nya: Kalau seseorang bersujud dengan kepalanya dan dahinya tidak menyentuh bumi/tanah, maka sujudnya tidak dianggap sah. Tapi kalau sebagian dahinya menyentuhnya, maka sujudnya dianggap sah insyaallah ( lihat al-Um 1/114 ). 

Masih banyak kata-kata dari para pemuka madzhab seperti Zaidiyyah, Isma’iiliyyah, Kharijiyyah dan Zhahiriyyah yang bisa dinukil di sini. Tapi kami mencukupkannya demi meringkas tulisan ini. Namun yang jelas semua berkata sama, yaitu wajib hukumnya untuk menyentuhkan dahi ke atas tanah/bumi secara langsung dan tanpa penghalang, ketika bersujud.

Kesimpulan

Kesimpulan sementara yang bisa diambil dari arti Sujud secara Syar’i (agama) di sini adalah Meletakkan Dahi ke Atas Tanah/Bumi Secara Langsung dan Tanpa Penghalang, Baik Berupa Tanah atau Batu-Batuan. Sehingga dengan demikian kalau seseorang melakukan sujud tanpa memenuhi syarat di atas ini, misalnya sujud atau meletakkan dahi di atas kain, karpet, sejadah dan semacamnya, maka sujudnya tidak bisa dianggap sah dilihat dari kacamata agama. Nanti akan lebih jelas lagi mengenai hal ini, insyaallah. 

Arti Tanah/bumi 

Sebenarnya arti tanah/bumi dalam hal ini tidak perlu dijelaskan lagi, namun demi menghilangkan sebagian rasa was-was, maka perlu kiranya tanah/bumi di sini sedikit diperjelas sekali lagi. 

Pada semua kalimat ahli fiqih di atas dan di hadits-hadits yang akan datang, pada tanah atau buminya memakai kata-kata “Ardhun” atau “al-Ardhu”. Secara umum, pemakaian kata ini dimaksudkan untuk “Bumi” atau “Tanah” dimana termasuk batu-batu dan bagian-bagian tabiatnya, seperti pepohonan. Dan tidak ada satupun yang memakainya untuk kain, karpet, kursi, sejadah dan semacamnya. 

Sebenarnya, makna ini tidak ada yang meragukannya, terlebih dimasa awal-awal keislaman. Oleh karena itu tidak heran kalau diantara para ahli fiqih di atas mengatakan “Dan tidak diwajibkan bagi orang shalat untuk menyentuh langsung bumi/tanah kecuali dahinya “. Sementara ia sendiri adalah orang Sunni ( Ahlussunnah ) dan perkataannya ini ditujukan untuk orang-orang Sunni yang lain yang mewajibkan bagi orang sujud untuk menyentuhkan semua anggota sujudnya ke tanah secara langsung sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Quddaamah di atas. 

Kesimpulan sementara yang bisa diambil dari semua ini adalah ulama-ulama Sunni membolehkan seseorang menyentuhkan dahinya ke bumi/tanah ketika bersujud sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah, dan bahkan sebagaimana di atas, hal itu diwajibkan sehingga batallah sujud orang-orang yang tidak menyentuhkan dahinya ke tanah. 

Hukum Meletakkan Dahi ke Tanah 

Hukum meletakkan dahi ke tanah ( termasuk batu-batu, pasir dan pepohonan yang tidak dimakan dan dijadikan pakaian ) dalam sujud, di dalam Syi’ah adalah wajib. Sementara menurut para ahli fiqih Sunnipun, sebagaimana kami nukil di atas, adalah wajib pula hukumnya. Bahkan menurut sebagian hukum di Ahlussunnah ini, hukum menyentuhkan anggota sujud ke tanah lebih luas dari yang ada di dalam madzhab Syi’ah. Karena menurut sebagian mereka sempurnanya sujud adalah dengan meletakkan seluruh anggota sujud yang tujuh ( dahi, dua tapak tangan, dua lutut dan dua kaki ) dan bahkan hidung, ke atas tanah. Sementara yang ada di madzhab Syi’ah hanya dahi saja. Atau sebagian mereka mensyaratkan pada sentuhan dahi ke tanah tersebut, hendaknya sebagian besar dahi mesti menyentuh tanah, sementara di Syi’ah minimalnya sebesar kuku ibu jari tangan saja. 

Dengan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa menyentuhkan dahi ke tanah adalah bukan sembarang hukum, apalagi dikatakan sebuah bid’ah yang dibuat oleh orang-orang Syi’ah. Terlebih lagi ada yang mengatakan bahwa orang Syi’ah telah melakukan kemusyrikan karena telah menyembah batu atau tanah yang dicetak sebesar korek api. Tidak, tidak demikian. 

Tapi menyentuhkan dahi ke tanah tersebut merupakan kewajiban syariat yang tidak bisa ditawar- tawar manakala tidak ada halangan, dan sujud secara syariat Islam (bukan istilah kata dan bahasa) tidak terjadi manakala dahi tidak menyentuh tanah secara langsung. 

Janganlah pembaca berkata bahwa maksud tanah (ardhun) adalah bumi secara umum, yakni apa- apa yang kita injak dengan kaki atau arah bawah kita dan dasar kita berdiri, dimana termasuk lantai keramik rumah kita, karpet, tikar, perahu, kereta api, dan semacamnya. Sehingga dengan demikian maka kewajiban menyentuhkan dahi ke tanah maksudnya adalah menyentuhkan dahi ke lantai atau ke karpet atau ke sejadah yang kita injak, dan maksud dari tidak bolehnya ada penghalang, yakni tidak bolehnya bagian baju yang kita pakai menghalangi sentuhan dahi dengan lantai (karpet, dan lain-lain) yang kita shalat di atasnya, sebagaimana kami dengar hukum ini sewaktu kami masih kecil dan bermadzhab Sunni. 

Sebab, disamping semua itu tidak sesuai dengan makna Ardhun ( tanah/bumi ) dan keluar dari pemakaian orang-orang Arab, hal tersebut juga akan memberikan makna bahwa para ulama dan para ahli fiqih terdahulu itu, telah melakukan hal-hal yang sia-sia dan tidak memahami bahasa Arab serta sedikit kurang normal akal. Sebab ketika mereka berbeda pendapat bahwa apakah dalam bersujud mesti dan wajib menyentuhkan semua anggota sujud yang tujuh atau hanya dahi saja atau dahi dan hidung, berarti mereka telah mengkhayalkan bahwa yang melakukan sujud itu berada di udara dan melayang-layang. 

Sebab, ketika orang melakukan shalat, kakinya pasti menginjak dasar ( lantai ), apapun dasar itu. Begitu pula ketika bersujud, maka kala itu kedua tangan, kedua lutut dan kakinya pasti menyentuh dasar. Nah, kalau mereka berbeda pendapat apakah wajib semua anggota sujud yang tujuh tersebut menyentuh lantai atau tidak, berarti mereka telah membayangkan bahwa yang sujud tersebut melayang-layang di udara. 

Dan pembaca budiman tidak bisa mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah tidak bolehnya anggota sujud yang tujuh itu terhalang baju yang kita pakai. Sebab tidak ada yang membatalkan orang sujud dalam shalat dengan memakai kaos kaki, atau tidak ada orang yang mewajibkan orang sujud dalam shalat untuk menyingkap celananya sehingga kulit lututnya terkena lantai, terlebih kalau yang shalat itu perempuan. 

Begitu pula sebagaimana yang akan lebih jelas nanti ( lihat hadits-hadits yang akan datang ), bahwa ketika seseorang sedang berhalangan menyentuhkan anggota sujudnya ke tanah seperti karena panas dan dingin yang tidak bisa ditahan, justru dibolehkan berlandaskan bajunya yang dipakai, bukan dengan kain lain atau sejadah. 

Nah, dengan demikian maka hukum meletakkan seluruh atau sebagian anggota sujud ke tanah ini, tidak bisa ditakwil-takwil lagi bahwa maksud tanah di sini adalah tanah dengan makna khusus dan aslinya ( termasuk batu-batu, pasir, dan lain-lainnya ) dan bukan bermakna “dasar” secara umum yang menyangkut karpet, sejadah ( sajjaadah ), keramik, perahu, pesawat terbang, dan lain-lain. 

Dalil-dalil Wajibnya Sujud ke Atas Tanah 

Dalam kitab-kitab hadits Ahlussunnah Waljama’ah banyak sekali hadits yang menyatakan bahwa sujud ke tanah itu merupakan kewajiban, bukan kesunnahan atau sekedar kebolehan saja. Di sini kami akan menukilkan sebagiannya saja demi keringkasan, dan dalam bentuk pengelompokan tertentu yang akan disesuaikan dengan tajuk-tajuk tertentu pula. 

Yang perlu diingat adalah bahwa semua riwayat-riwayat yang akan dinukil nanti memiliki maksud dan nilai yang sama dilihat dari sisi hukum. Nah, perhatikanlah hadits-hadits berikut ini sehingga hukum wajibnya sujud di atas tanah tersebut akan kelihatan terang dan tidak meragukan lagi: 

Ucapan Nabi SAWW 

Kami akan menukilkan sebagiannya di sini dan dalam bentuk satu-dua kalimat yang mirip. Tapi dalam penyebutan adresnya kami akan menyebutkan lebih banyak lagi sekalipun masing-masing kalimatnya tidak sama persis, namun yang memiliki kesamaan maksud, tentu saja halaman kitab bisa berbeda dan yang kami jadikan pedoman adalah kitab aslinya yang berbahasa Arab, begitu pula penukilan lain di semua tulisan makalah ini. 

Rasulullah SAWW bersabda: 
  • “Bumi/tanah ini telah dijadikan untukku tempat sujud (masjidan) dan pembersih (thohuuron)” 
  • “Semua permukaan bumi/tanah ini telah dijadikan (oleh Tuhan, red) untukku tempat sujud dan pembersih“ 
  • “Semua bumi/tanah telah dijadikan untuk kita tempat sujud dan pembersih“ 
  • “Semua tanah/bumi adalah tempat sujud kecuali kuburan dan tempat mandi“. (Hadits ini dimuat di semua kitab shahih yang enam menurut pengarang Nailu al-Authoor 2: 133, yang dapat kami nukil alamatnya bisa anda lihat di bagian alamat hadits yang akan datang). 
  • “Bumi/tanah telah dijadikan untukku bersih dan tempat sujud, maka barang siapa yang me- masuki waktu shalat hendaknya ia shalat di mana saja ia berada“ 
Penjelasan Hadits: Maksud dari “Masjid” dalam hadits-hadits di atas ini bukan bermakna “Tempat Shalat” sebagaimana mungkin dipahami oleh sebagian orang. Sebab dalam hadits-hadits terse- but memiliki qorinah atau tanda-tanda dan alamat dari maksud yang terkandung. Yaitu kata “Thohuuron” yang berarti “Pembersih”. Karena yang dimaksudkan “Pembersih” di sini adalah ketika dipakai tayammum. Yakni, tanah adalah pembersih hadats ketika kita bertayammum sewaktu tidak ada air. 

Ketika “Bumi/tanah” dalam hadits itu adalah yang bisa diperuntukkan untuk tayammum, maka jelas maksudnya adalah “Tanah/bumi” yang berarti “Tanah”, bukan yang bermakna “Dasar kita berpijak”. Oleh karena itu “Tanah” di sini tidak mungkin mengandungi juga maksud-maksud seperti karpet, sejadah, keramik, lantai-semen, perahu, dll yang keluar dari makna tanah-asli. 

Nah, kalau maksud “Tanah”-nya sudah jelas, maka akan jelas pula bahwa yang dimaksudkan oleh kata “Masjid” di sini akan bermakna “Tempat Sujud”, bukan “Tempat Shalat”. Sebab, sebagaimana maklum, tidak mungkin seseorang melakukan shalat sementara ia melayang-layang di udara. 

Dan ketika “Masjid”-nya sudah jelas, maka akan jelas pula maksud-hukum dari hadits-hadits tersebut, yaitu wajib hukumnya meletakkan anggota sujud atau setidaknya dahi, ke atas tanah- asli, bukan ke atas dasar-berpijak yang bukan tanah-asli. 

Alamat Semua Hadits di Atas itu: Shahih Bukhari, Kitab al-Shalat, 1: 91 ( lihat juga 1: 86 dan 1: 113 ); Shahih Muslim 1: 371 dan 2: 64; Sunan al-Nasaa-iy, bab: tayammum 1: 210 ( atau lihatlah juga di 2: 32 ); Sunan Baihaqi, bab: Tayammum dengan Tanah yang Suci, 1: 212 ( lihat juga di 2: 433-435 dan 6:261 ); Sunan al-Tirmidziy 2: 131, 133 dan 4: 123 ( atau lihat juga di 2: 114 ); Sunan Abu Daud 1: 79; Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Wa Iqtidhaau al-Shiroothi al-Mustaqiim, hal: 332; dan lain-lain.. 

Hadits-hadits seperti di atas itu diriwayatkan oleh banyak shahabat seperti, Imam Ali as., Abdullah bin Umar ( khalifah ), Abu Hurairah, Jabir, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Hudzaifah, Abi Amamah, Abu Dzar, dan lain-lain. 

Perintah Nabi SAWW 

Kami akan menukil sebagiannya saja perintah-perintah Nabi SAWW berkenaan dengan wajibnya sujud di atas tanah ini sebagaimana yang terdahulu: 

Diriwayatkan oleh Ummu Salamah ( istri Nabi SAWW ) dari Nabi SAWW bahwa beliau bersabda kepadanya: 
  • “Debukan ( tarrib! ) wajahmu untuk Allah!!!“ ( Kanzu al-’Ummaal, kitab: Shalat, 7: 465 ). Maksud Nabi SAWW dari “debukan” adalah “ Sentuhkanlah dahimu ke tanah secara langsung ketika bersujud “. Sebab kata “Tarrib” adalah “debukan”, bukan lantaikan atau bumikan atau bawahkan, sehingga barangkali ada yang mengira bahwa maksudnya adalah sentuhkan dahi ke bawah langsung, yakni ke apa-apa saja yang ada di bawah seperti sejadah dan lain- lainnya. 
  • Khalid al-Jahmi ( shahabat ) berkata bahwa: “Rasulullah SAWW melihat Shuhaib ketika bersujud seakan-akan ia menghindar dari debu-debu, maka dari itu Nabi SAWW bersabda kepadanya“: “Debukan ( tarrib! ) wajahmu ya ... Shuhaib !” ( kitab al-Mushannif karya ‘Abdu al-Rozzaaq, 1: 392 ). 
  • Bersabda Nabi SAWW untuk Ma’aadz ( shahabat ): “Lumurkanlah ke debu wajahmu itu!!!(‘Affir wajhaka fi al-turoob!) “ (Irsyaadu al-Saariy, 1: 405 ) 
  • Bersabda Nabi SAWW untuk Robaah: “Ya... Robaah, debukan ( wajahmu, red. )“ ( Kanzu al-’Ummaal 4: 99-212 atau dalam cetakan lain 7: 324; al-Ishaabah 1: 502, no: 2562; Usudu al-Ghaabah 2: 161 ). 
  • “Kalau kalian melakukan shalat maka hendaknya mesti meletakkan dahi dan hidungnya ke tanah sehingga ia nampak hina“ ( al-Nihaayah, karya Ibnu Atsir jilid: 2, kata dasar: Roghama ( hina ). 

Perintah Nabi SAWW Menghilangkan Penghalang 

Di bawah ini kami akan menukil contoh-contoh larangan Nabi SAWW terhadap adanya halangan yang dapat menghalangi sentuhan dahi ke tanah: 

Shaleh al-Sabaa-iy berkata: “Rasulullah SAWW melihat orang bersujud di sampingnya dimana serbannya (amamahnya) menghalangi dahinya, lalu Rasulullah SAWW menyingkapnya dari dahi- nya“ (Sunan Baihaqiy, 2: 105) 

Berkata ‘Ayaadh bin ‘Abdullah: “Rasulullah SAWW melihat seseorang bersujud ke atas lilitan amamahnya (baca: terganjal, red.) lalu beliau memberi isyarat kepada orang tersebut dengan tangannya agar mengangkat serbannya dan beliau mengisyaratkan kepada dahi beliau (maksudnya agar menyentuhkan dahinya ke tanah, red.)“ (Sunan Baihaqiy, 2: 105). 

Sekali lagi, janganlah pembaca berkata: “ Itu semua menandakan bahwa ketidakbolehan adanya penghalang dari apa-apa yang dipakai orang yang shalat, bukan semacam karpet, sejadah, dan lain-lain. “. Sebab, di depan sudah kami jawab bahwa hal itu tidak demikian halnya. Karena tidak ada orang membatalkan orang shalat pakai kaos kaki, kaos tangan, celana atau sarung yang menutupi lutut. 

Pembaca juga tidak bisa mengatakan bahwa “ Ketidakbolehan adanya penutup dari pakaian itu hanyalah untuk dahi “, sebab dari hadits-hadits yang terdahulu dan yang akan datang hal tersebut sangat jelas kesalahannya. Karena tak mungkin pembaca ragu akan maksud Nabi SAWW ketika bersabda: 

“Lumurkan wajahmu ke debu“. 

Apalagi ketika beliau bersabda seperti itu untuk Ummu Salamah ( istri beliau ). Sebab tak mungkin di rumah Nabi SAWW tidak memiliki kain sedikitpun atau apa saja untuk menutupi dahi istrinya dari debu supaya tidak mengotori wajah dan dahinya kalau hal itu memang dibolehkan. Terlebih lagi malah Nabi besar SAWW bersabda: “ Debukan wajahmu untuk Allah!!! “ . 

Lampa/teladan Nabi SAWW 

Di bawah ini akan kami nukil sebagian hadits-hadits yang menunjukan apa-apa yang telah di-Lampa- kan Nabi SAWW (dilakukan/dicontohkan) dalam hal bersujud ini, dan dalam penyebutan alamat hadits-haditsnya kami akan menjadikannya satu dari hadits-hadits yang sama atau berdekatan: 

Berkata al-Waa-il bin Hajar: “Aku melihat Nabi SAWW kalau bersujud meletakkan dahi dan hidungnya ke tanah“ (Ahkaamu al-Qur'an, karya al-Jashshaash al-Hanafi, 3: 209, cet: Bairut). 

Berkata Humaid bin al-Saa’idiy: “ Kalau Rasulullah SAWW bersujud meletakkan dahi dan hidungnya ke tanah “ (Sunan al-Tirmidziy, 2: 59; Sunan Abu Daud menurut nukilan Nailu al-Authoor 2: 257; Shahih Khazimiym 1: 322). 

Berkata Waa-il bin Hajar al-Hadhramiy: “ Aku melihat Rasulullah SAWW bersujud ke atas tanah dengan meletakkan dahi dan hidungnya “ (Musnad Ahmad bin Hambal, 4: 314). 

Berkata Abu Hurairah: “ Rasulullah bersujud (dalam shalat, red.) di musim hujan, sehingga aku melihat bekasnya (lumpur) di dahi beliau dan hal itu membuatnya hina (di hadapan Tuhan) “. (Majma’u al-Zawaa-id, 2: 126). 

Berkata Abu Sa’id al-Khudriy: “ .....Kemudian Nabi SAWW shalat bersama kami lalu kami lihat di dahi beliau lumpur dan air (bekas sujud) sehingga hal itu membuatnya semakin hina (dihadapan Tuhan) “. (Shahih Bukhari, 1: 162, dengan sedikit perbedaan kalimat; al-Muwaththa’, hal: 167, akhir bab: al-I’tiqoof; Sunan Nasai, 2: 208) 

Berkata Ibnu Abbas: “ Sesungguhnya Nabi SAWW bersujud di atas batu (baca: pernah bersujud, red.) “. (Sunan Baihaqiy, 2: 102). 

Berkata ‘Aisyah: “ Aku tak pernah melihat Rasulullah SAWW meng-alasi (meleme’i, mensejadahi, dan seterusnya.) wajahnya dengan apapun (ketika bersujud) “. (al-Mushannif 1: 397; Kanzu al- ’Ummaal, 4: 212, dalam cetakan yang lain, 8: 85). 

Komentar: Kalau orang mencari kebenaran yang sesungguhnya, atau setidaknya mencari jalan yang paling selamat, maka tidak mungkin meragukan kebenaran hadits-hadits di atas ini, dan mengutamakan atau mendahulukan kebiasaannya atau perkataan selain Nabi Besar SAWW. seperti guru dan kiyainya. Atau tidak mungkin menyalahkan apa-apa yang telah dilakukan orang- orang Syi’ah dalam sujud mereka. Tapi apa boleh buat, tidak ada paksaan dalam agama atau berpendapat. Semoga Tuhan menunjuki semua muslimin ke jalan yang benar, amin, sehingga di akhirat kelak tidak kehilangan shalat mereka. 

Sujud Rasulullah SAWW Ketika Ada Rintangan 

Hadits-hadits di atas menunjukkan kewajiban menyentuhkan semua anggota sujud yang tujuh -setidaknya dahi- ke tanah ketika bersujud dikala tidak ada rintangan yang dicontohkan Rasulullah SAWW.. Di sini kami akan menukil hadits-hadits yang menceriterakan apa-apa yang dicontohkan Rasulullah SAWW ketika berhalangan, seperti panas, dingin dan sehabis hujan. 

Yang Perlu Diingat adalah bahwa sebagian riwayat-riwayat di bawah ini nampak ada pertentangannya dengan sebagian hadits-hadits terdahulu. Misalnya hadits terdahulu mengatakan bahwa Nabi SAWW sujud ke tanah sekalipun sehabis hujan atau kesaksian ‘Aisah yang mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat Rasulullah meng-alasi dahinya dengan apapun, dan lain-lain. Sementara hadits-hadits di bawah ini akan berceritera lain. Apakah betul bertentangan? 

Sisi Pertemuannya adalah bahwa hadits-hadits berikut ini tidak menjelaskan dengan terang bahwa Rasulullah SAWW mendasari dahinya dengan kain atau semacamnya. Dan yang dialasi karena hujan atau panas atau dingin hanyalah anggota sujud yang lainnya, yakni selain dahi. Begitu pula kadang-kadang Rasulullah SAWW tidak meng-alasi tangannya sekalipun berhalangan, sebagaimana yang akan pembaca temui sebentar lagi. Jadi, hadits-hadits terdahulu dengan hadits-hadits berikut tidak bertentangan sedikitpun. 

Hakikat Yang Sebenarnya adalah sesuai dengan apa-apa yang dipahami orang-orang Syi’ah melalui imam-imam mereka dari keturunan yang makshum dari Nabi SAWW. bahwa kewajiban menyentuhkan anggota sujud ke tanah hanyalah pada anggota dahi, bukan yang lainnya, sekalipun boleh-boleh saja. 

Berkata Ibnu Abbas: “ Aku melihat Rasulullah SAWW melakukan shalat di atas baju (atau kain?, red.) putih di pagi hari ( subuh ) yang dingin untuk menghindarkan rasa dingin di kaki dan tangannya “ (Sunan Baihaqiy, 2: 106). 

Berkata Ibnu Abbas di tempat yang lain: “Aku pernah melihat Rasulullah SAWW di musim penghujan menghindari lumpur ketika bersujud dengan meletakkan baju (kain) kecuali tangannya “. (Siyrathunaa wa Sunnatunaa, hal: 132, menukil dari Ahmad bin Hambal). 

Berkata Abdullah bin Abdurrahman: “Rasulullah SAWW datang kepada kami dan kemudian melakukan shalat diantara (bersama) kami di masjid Bani ‘Abdu al-Asyhal, lalu kulihat beliau meletakkan tangannya di atas bajunya (kain) ketika bersujud “ (Sunan Ibnu Maajah, 1: 328, bab: al-Sujuud ‘Ala al-Tsiyaab fi al-Har wa al-Bard -bab: Sujud di atas baju di waktu panas dan dingin). 

Berkata Tsabit bin Shaamit -dengan beberapa perantara: “ Sesungguhnya Rasulullah SAWW shalat bersama kami di masjid ‘Abdu al-Asyhal, sementara beliau memakai baju ( kain ) yang berlipat yang dijadikan alas tangannya untuk menghindari dinginnya batu-batu “ ( Sunan Ibnu Maajah, 1: 328 ). 

Berkata Anas: “ Kalau kami shalat di belakang Rasulullah SAWW di siang hari yang sangat panas, kami bersujud di atas baju kami demi menghindari panas “ ( Sunan Nasaa-i, 2: 216; Sunan al- Daarimiy, 1: 308 ). 

Berkata Khabaab bin al-Art: “ Kami mengeluh kepada Rasulullah SAWW tentang panas yang menyengat di tapak tangan dan dahi kami, tapi beliau tidak menghiraukan keluhan kami itu “ ( Shahih Muslim, 1: 433; Sunan Baihaqi, 1: 438, 2: 105-107 ). 

Komentar: 

Sangat mungkin sekali bahwa Nabi SAWW ketika tidak menghiraukan Khabaab lantaran waktu itu panasnya masih dapat ditahan, atau karena hal itu mudah diatasi seperti shahabat-shahabat yang lain sebagaimana yang akan lebih jelas nanti bahwa mereka kadang-kadang meng-alasi anggota sujudnya dengan baju ( kemungkinan besar hanya selain dahinya sebagaimana maklum ) atau menyimpan batu-batu kecil di tangan mereka sewaktu shalat supaya dingin dan ketika bersujud diletakkan di tempat dahinya, atau karena keluhannya itu menandakan kurang sukanya ( semoga tidak demikian ) terhadap hukum sujud itu, atau kemungkinan-kemungkinan lain yang kita tidak bisa mengerti saat ini. 

Kesimpulan

Kesimpulan sementara yang bisa diambil dari semua hadits-hadits ini adalah bahwasanya seseorang itu bisa melandasi anggota sujudnya dengan bajunya ketika berhalangan saja. Yaitu ketika panas dan dinginnya menurut ukuran umum tidak bisa ditahan, atau lumpurnya terlalu banyak dan becek. Dan kita mesti memaknai hadits-hadits yang mengatakan bahwa Nabi SAWW sujud ke baju tanpa menyebut halangannya dengan makna berhalangan. 

Sebab, bisa saja seseorang tidak menyebut halangan Nabi SAWW itu karena ia memang tidak memperhatikannya dalam menceriterakan sujud Nabi SAWW itu (tidak bermaksud menceritakan- nya) atau ia memang tidak tahu halangan yang dihadapi Nabi SAWW. Sebab sebagaiamana yang telah lalu dan yang akan datang kita dapat melihat bahwa Nabi SAWW mewajibkan sujud ke atas tanah tanpa rintangan, atau bisa juga bahwa yang menukil dari shahabat tersebut ( perawi pertama ) tidak memperhatikan sepenuhnya atau tidak menukil sepenuhnya tapi tidak dengan niat mengurangi beritanya ( baca: tidak perhatian ). Jadi, hadits-hadits tersebut mesti dimaknai berhalangan. Misalnya seperti riwayat ini: 

Berkata Ibnu ‘Abbas: “ Aku melihat Rasulullah shalat dan sujud di atas bajunya “ ( Bukhariy, 1: 101; dan lain-lain ). 

Catatan

Hukum sujud dalam rintangan ini masih memiliki hal-hal yang perlu diperhatikan kalau seseorang itu memang mencari jalan selamat atau setidaknya jalan paling selamat dan hati-hati. Jadi, tidak cukup hanya sampai di situ. 

Misalnya, hadits-hadits di atas tidak jelas membolehkan melandasi dahi dengan sesuatu sekali- pun dalam waktu berhalangan. Oleh karena itu tidak heran kalau ‘Aisah ( istri Nabi SAWW ) mengatakan: “ Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAWW melandasi wajahnya dengan apapun“ ( lihat hadits terdahulu ). Ini yang pertama. Bahkan banyak riwayat yang mengatakan bahwa Nabi SAWW hanya melandasi kedua tangan dan kakinya saja atau hanya tangannya atau bahkan tidak termasuk tangannya, lihat empat riwayat pertama dari sub judul ini, yakni Sujud Rasulullah SAWW Ketika Ada Rintangan. 

Yang ke dua, dalam riwayat-riwayat yang menunjukkan kebolehan melandasi selain dahi itu ( atau juga dahi ) dengan sesuatu selain tanah, hanya diwaktu berintangan, dan juga hanya dibolehkan dengan melandasinya dengan bajunya, bukan dengan sesuatu yang tidak dipakai seperti sejadah, karpet, dan lain-lain. Oleh karena itu berkata al-Syaukaaniy di Nailu al-Authoor 2: 268 ( Ibnu Hajar juga berkata mirip seperti ini di al-Fath, 1: 414 ): 

“Hadits-hadits di atas ( sujud dikala berhalangan, red. ) menunjukkan bolehnya sujud di atas baju ketika berhalangan. Hal itu menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah menyentuh tanah secara langsung, karena -dalam riwayat-riwayat itu- diterangkan bahwa pelandasan baju itu dilakukan ketika berhalangan. Dan juga, sebagian orang berdalil dengan hadits-hadits itu bahwa kebolehan pelandasan itu hanya dengan baju yang dipakai ( tidak dengan yang lainnya seperti sejadah, dan lain-lain, red. ) oleh yang melakukan shalat, dan dalam hal ini al-Nawawi berkata bahwa Abu Hanifah berhukum dengan hukum ini ( pelandasan dengan baju yang dipakai ), dan begitu pula jumhur ( umumnya ahli fiqih ).” 

Ke tiga, memang ada riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa sebagian shahabat melandasi dahinya dengan baju sewaktu berhalangan ( seperti panas ) namun yang demikian itu tidak bisa dijadikann jaminan seratus peratus. Sebab bertentangan dengan apa-apa yang disaksikan ‘Aisah dari shalat Nabi SAWW yang sama sekali tidak pernah melandasi wajahnya dengan apapun, baik baju atau selainnya. 

Jadi, bisa saja tidak diketahui Nabi SAWW karena mereka shalat dibelakang beliau sementara shahabat yang melakukannya itu tidak melaporkannya kepada beliau. Padahal, perbuatan shahabat itu bisa dijadikan jaminan dan ukuran syariat, apabila Nabi SAWW mengetahuinya dan beliau membolehkan, atau setidaknya mendiamkannya. Jadi, secara lebih hati-hatinya hendaknya seseorang tetap tidak melandasi dahinya dengan apapun dan hendaknya menyentuhkannya ke tanah secara langsung. 

Sedang hadits-hadits yang menggambarkan perbuatan sebagian shahabat yang melandasi dahi- nya dengan baju yang dipakai sewaktu berhalangan ( seperti panas ), maka akan kami nukil di bawah ini, dan hadits-hadits ini dapat ditemukan di: 

Shahih Bukhari, 1: 101, 143-170, 2: 81, bahkan di Bukhari ini ada judul yang bernama: Sujud di Atas Baju di Waktu Udara dan Batu-batu Panas Menyengat ( bukankah ini menunjukkan tidak bolehnya dilakukan diwaktu tidak adanya halangan ???, red. ); Shahih Muslim, 2: 109; Sunan Ibnu Maajah, 1: 321; Sunan Abu Daud, 1: 106; Musnad Ahmad bin Hambal, 1: 100; Nailu al-Authoor, 2: 268; dan lain-lain.. 

Berkata Anas bin Malik: “ Kalau kami shalat di belakang Nabi SAWW lalu salah satu diantara kami tidak bisa meletakkan dahinya ke tanah secara langsung lantaran panas yang sangat menyengat, maka ia melandasi dahinya dengan bajunya “ 

Ia juga berkata: “Salah satu diantara kami sewaktu shalat bersama Nabi SAWW menghamparkan ujung bajunya yang dipakai sebagai tempat sujud diwaktu panas sedang menyengat. « 

Komentar: Masih ada lagi kesaksian-kesaksian Anas ini sehubungan dengan apa-apa yang dilakukan oleh sebagian shahabat sewaktu sujud di waktu panas yang sangat menyengat. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa: 

Pertama, hukum asal yang mesti dilakukan ketika tidak ada halangan adalah meletakkan anggota sujud -setidaknya dahi- ke atas tanah ( termasuk semacam pasir dan batu ) secara langsung, dan tidak boleh melandasinya dengan apapun, baik dengan baju yang dipakai atau dengan semacam sejadah, karpet, keramik, dan lain-lain. 

Ke dua, teriknya matahari atau panasnya tanah, bukan pertanda terangkatnya hukum kewajiban di atas. Sebab, sesuai dengan yang disaksikan Anas tadi, yang meletakkan ujung bajunya untuk disujudi hanyalah sebagian shahabat yang tidak kuat menahan panasnya itu, dan bukan berarti semua shahabat ramai-ramai meletakkan ujung bajunya. Dengan demikian, maka pembaca dapat mengira sendiri, apa gerangan hukumnya orang-orang yang melandasi dahinya dengan sejadah, karpet, dan lain-lain. sewaktu tidak ada halangan dan/atau sewaktu ada halangan tapi masih bisa menahannya. 

Nabi Sujud di Atas Tikar 

Di bawah ini akan kami nukil hadits-hadits yang menceriterakan bahwa Nabi besar SAWW bersujud di atas tikar. Dan tidak ada lagi hal lain yang dapat diambil dari semua hadits-hadits Nabi SAWW berkenaan dengan sujud ini, kecuali tiga hal di atas itu, yaitu sujud di atas tanah (termasuk batu, dan lain-lain), di atas ujung baju yang dipakai ketika berhalangan, dan yang terakhir adalah di atas tikar ini. 

Kalau para pembaca budiman memperhatikan bahwa di jaman Nabi SAWW ada yang namanya kain, permadani ( karpet ), besi, emas, kulit binatang, dan lain-lain., akan tetapi Nabi SAWW dan para shahabat tidak menggunakannya untuk alas sujud baik di kala tidak ada halangan ataupun ketika ada halangan, maka dapat diketahui dengan yakin bahwa semua itu tidak diperkenankan oleh syariat sendiri. 

Lalu dari mana kaum muslimin selain Syi’ah mengambil contoh dan dasar hukum sehingga mereka bersujud di atas karpet, permadani, sejadah-kain, dan lain-lain.? Lalu mengapa mereka justru menanyakan dan mempermasalahkan orang-orang Syi’ah yang sujud di atas tanah? Bukankah hal ini suatu kenyataan yang terbalik? 

Kalau pembaca merujuk ke hadits-hadits aslinya yang berbahasa Arab, maka di sana, selain Nabi SAWW sujud di atas tanah, tidak akan ditemui hal lain kecuali bahwa Nabi SAWW bersujud ke atas Hashiyrun, Khumrotun, Fahlun dan Thinfasatun/Thanfisatun dan Bisaathun. 

Hashiyrun adalah tikar yang dibuat dari daun-daun Bardiy, tumbuhan air yang banyak tumbuh di sekitar sungai Nil yang panjangnya bisa sampai satu meter atau lebih. Khumratun adalah tikar yang dibuat dari serabut pelepah pohon kurma. Dan Fahlun adalah tikar-Hashiyr yang telah menghitam ( kata Ibnu Maajah ) atau tikar yang dibuat dari pelepah pohon kurma yang jantan ( kata sebagian yang lain yang ditulis di catatan kaki kitab Sunan Ibnu Maajah ). 

Sedang Thinfasah atau Thanfisah memiliki banyak makna yang diterakan dalam kamus-kamus bahasa Arab-Arab. Di kitab al-Qoomuusu al-Muhiyth berarti Hamparan, Kain dan Tikar dari pelepah pohon kurma yang lebarnya sehasta. Di kitab al-Mishbaahu al-Muniyr bermakna sesuatu ( hamparan ) yang diletakkan di antara pelana dan kedua bahu unta. Di kitab al-Muhallaa bermakna Hamparan dari bulu kambing ( binatang ). 

Dan karena dengan berbagai dalil terdahulu dan yang akan datang bahwa sujud tidak boleh kecuali di atas tanah atau yang tumbuh dari padanya dari yang tidak dimakan dan dipakai, maka kalau kita temui kata Thinfasah ini dalam hadits-hadits sujud, maka jelas makna tikar dari pelepah pohon kurma yang mesti kita ambil. Terlebih lagi kalau pembaca merujuk pada pemakaian orang terdahulu seperti tabi-’in, maka pembaca akan temui bahwa yang dimaksudkan adalah tikar tersebut yang juga disebut Khumroh ( lihat hadits tabi-’in no: 8 yang akan kami muat di Sub Judul: Tabi’iyn Membawa-bawa Bata, yang akan datang ). 

Bisaathun bermakna hamparan yang umum. Bisa dari permadani dan bisa dari tikar atau bahkan bebatuan. Tapi karena sujud di atas selain tanah/batu dan dedaunan tidak dibolehkan, maka kata Bisaath ini, kalau dijumpai dalam hadits-hadits shalat atau sujud, akan bermakna tikar-daun atau bahkan hamparan batu sebagaimana akan anda lihat di sabda Nabi SAWW mendatang. 

Yang jelas, bahwa semua tikar atau alas ( bisaathun ) itu dibuat dari dedaunan atau pohon yang tidak dimakan dan dipakai ( baju ), atau bisaath secara khusus ini, bisa bermakna hamparan batu sebagaimana maklum. 

Oleh karena itu maka apa yang dipahami orang-orang Syi’ah yang pahamannya itu diambil dari para keturunan yang makshum dari Nabi SAWW yang dikenal dengan para Imam-makshum as., adalah pahaman yang sangat sesuai dengan contoh Nabi SAWW atau para shahabat yang diceriterakan dalam hadits-hadits Ahlussunnah Waljama’ah ini. 

Pahaman mereka ( Syi’ah ) adalah sujud hanya dibolehkan di atas tanah ( termasuk batu dan pasirnya ) dan apa-apa yang tumbuh darinya tapi yang tidak dimakan manusia dan dipakainya. Dan bahkan kalau tanah dan tikar itu, misalnya, telah menjadi kotor atau terhalangi dengan wujud 

lain seperti cet sehingga dahi tidak bisa menyentuh langsung alas-alas yang diwajibkan tadi, maka sujudnya tidak sah. Lihatlah contoh Nabi SAWW berikut ini, maka pembaca akan melihat bahwa Nabi SAWW membersihkan terlebih dahulu tikar yang telah menjadi hitam karena kotor dengan air baru kemudian memakainya sebagai alas shalat. 

Berkata Abu Sa’iyd: “ Aku berkunjung kepada Nabi SAWW dan aku melihat beliau shalat di atas tikar ( Hashiyrun ) “ ( Sunan Baihaqiy, 2:421 ). 

Berkata Anas bin Malik, Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Ummu Salamah dan Maimuunah ( ketiganya istri-istri Nabi SAWW ): “ Nabi SAWW melakukan shalat di atas tikar ( Khumrotun ) “ ( Sunan Ibnu Maajah, 1: 328; Sunan Baihaqiy, 2: 421; Musnad Ahmad bin Hambal jilid: 1 ). 

Berkata ‘Aisyah: “ Nabi SAWW memiliki tikar ( Hashiyrun ) yang dihamparkan dan beliau shalat di atasnya “ ( Fathu al-Baariy, 1: 413 ). 

Berkata Anas bin Malik: “Sesungguhnya Nabi SAWW adalah paling baiknya manusia dari sisi akhlak. Kadang-kadang waktu shalat tiba sementara beliau ada di rumah kami di atas hamparan ( bisaathun ) yang didudukinya. Kemudian beliau menyapunya ( hamparan itu ) dan memercikinya dengan air lalu beliau shalat menjadi imam di depan kami. Dan hamparan itu terbuat dari pelepah pohon kurma“. ( Shahih Muslim, 1: 457; Sunan Baihaqiy, 2: 436; Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 212, dan lain-lain. ). 

Ia juga berkata: “Sebagian paman-pamanku membuat makanan untuk Nabi SAWW.. Pamanku berkata kepada Nabi SAWW.: ‘ Aku senang antum ( engkau ) makan di rumah kami dan shalat di dalamnya ‘. Ia ( Anas ) meneruskan: Setelah itu Nabi SAWW mendatangi rumahnya ( pamannya ) dan di rumah itu ada alasnya dari Fahlun. Kemudian Nabi SAWW menyuruh ( kami ) ke pinggirannya, lalu beliau menyapunya dan memercikinya dengan air sebelum kemudian shalat dan kamipun shalat bersama beliau“ 

Hadits-hadits yang sebangsa dan semaksud dengan hadits-hadits di atas ini banyak sekali. Pembaca bisa merujuk kepada, Shahih Bukhariy, 1: 107 sampai 218 atau dari hal: 101; al-Thobaqootu al- Kubroo, 8: 312; Sunan Abu Daud, 1: 177; Sunan al-Nasaa-iy, 2: 75; Sunan Ibnu Maajah, 1: 255, Baihaqiy, 2:421; Tirmidziy, 2:128; dan lain-lainnya dimana sangat banyak sekali. 

Sujud Para Shahabat 

Sampai di sini semua hadits-hadits yang kami nukil berkenaan dengan contoh-contoh yang diberikan Nabi SAWW sehubungan dengan sujud. Di sini kami akan menukil sebagian hadits- hadits yang menceriterakan pahaman dan amalan para shahabat berkenaan dengan sujud ini. Dengan tujuan menjadi bahan pertimbangan pembaca dan penguat dari amalan Nabi SAWW karena mereka lebih memahami beliau dari pada kita dan hidup bersama beliau. Tentu, amalan- amalan yang tidak bertentangan dengan amalan Nabi SAWW sendiri. Sebab, perbuatan siapapun yang bertentangan dengan Nabi SAWW adalah batil, sebagaimana hadits yang menceriterakan perbuatan Nabi SAWW tapi bertentangan dengan al-Qur'an. 

Berkata Ibnu Abbas: “ Barang siapa yang tidak menempelkan dahi dan hidungnya ke tanah sewaktu bersujud, maka shalatnya tidak sah “ ( Sunan Baihaqiy, 2: 103-104; Mustadraku al-Haakim, 1: 270 ). 

Berkata Naafi’: “ Kalau Ibnu ‘Umar ( khalifah ) mau bersujud dan ia sedang memakai amamah ( serban ), maka ia mengangkat serbannya terlebih dahulu sehingga ia dapat meletakkan dahinya ke atas tanah “ ( Sunan Baihaqiy, 2; 105 ). 

Berkata Abu Umayyah: “ Sesungguhnya Abu Bakar bersujud ke tanah “ ( al-Mushannif, 1: 397 ). Berkata Abu ‘Ubaidah: “ Sesungguhnya Ibnu Mas’uud tidak bersujud -atau berkata ‘ tidak shalat ‘- kecuali di atas tanah “ ( al-Mushannif, 1: 367; Majma’u al-Zawaa-id, 2: 57 menukil dari Thabraniy ). 

Dari Abdullah bin ‘Umar bahwasannya ia tidak suka bersujud dengan memakai lilitan serban kecuali menyingkapnya terlebih dahulu ( Sunan Baihaqiy, 2: 105; al-Mushannif, 1: 401 ). 

Baihaqiy meriwayatkan tentang ‘Ubaadah bin al-Tsaabit bahwa ia kalau mau melakukan shalat menyingkap dulu serbannya dari dahinya ( Sunan Baihaqiy, 2: 105 ). 

Di sini perlu kiranya menyebut sebagian shahabat yang bersujud ke tanah atau apa-apa yang tumbuh darinya yang tidak dimakan dan dipakai: 
  1. Imam Ali as. ( Muruuju al-Dzahaab, 2: 370 ). 
  2. Abu Bakar ( khalifah ). “ Dia selalu shalat di tanah dan mengosongkannya “ ( Kanzu al- ’Ummaal, 8: 38 ). 
  3. ‘Umar bin Khoththoob ( al-Mushannif, karya Ibnu Abi Syaibah, 2: 411 ) 
  4. Ibnu Mas’uud. “ Dia tidak sujud -shalat- kecuali di atas tanah “ ( al-Mushannif, 1: 397; Majma’u al-Zawaaid, 2: 57 ). Ibrahim al-Nakha’iy berkata: “ Ia berdiri di atas tikar daun-Bardiy dan bersujud ke tanah “ ( Mu’jamu al-Thabrooniy, 9: 255; Majma’u al-Zawaaid, 2: 57; al-Mushannif, 2: 397 ). 
  5. Ibnu ‘Umar bin Khoth-thoob. Ia sujud ke batu-batu ( al-Mushannif, 2: 412 ). Ia sujud ke tikar pelepah kurma ( al-Mushannif, 1: 394 ). 
  6. Hudzaifah. Ia sujud di papan ( al-Mushannif, 1: 275 ). 
  7. Zaid bin Tsabit. Ia sujud di tikar daun-Bardiy ( al-Mushannif, 1: 399 ). 
  8. Jabir bin ‘Abdullah. Ia shalat di atas tikar daun-Bardiy ( Al-Mushannif, 1: 399 ). 
  9. Abu Dardaa’. Ia berkata: “ Aku tidak senang sekalipun aku memiliki sejuta nikmat tapi aku mengusap batu-batu kecil ( debu ) di dahiku ( bekas shalat, karena disamping sujud ke tanah atau batu-batu itu wajib, begitu pula bekasnya tidak boleh dibersihkan, yakni makruh, red ) “ ( al-Mushannif, 1: 411 ). 
  10. Abu Hurairah. Ia membolehkan mengusap bekas batu-batu kecil di dahi kalau hanya sekali, tapi ia lebih suka tidak membersihkan ( bukankah ini menunjukkan bahwa sujud itu mesti ke tanah???, red. ). ( al-Mushannif, 1: 412 ). 
Sepuluh nama ini sekedar contoh saja. Sebab, mereka yang sempat terekam dalam sejarah banyak sekali. Seperti Ibnu Abbas, Abu Dzar, Yasaar, Rubaah, Shuhaib al-Ruumiy, Buraidah al- Aslamiy, dllnya. 

Shahabat Bersujud ke Batu yang Digenggam 

Sebenarnya nukilan tentang apa-apa yang telah diucapkan dan diamalkan para shahabat sehu- bungan dengan sujud ini telah memadahi buletin ringkas ini. Namun demikian perlu kiranya ditambahkan di sini bahwa mereka juga bersujud ke batu-batu kecil yang dipegangnya terlebih dahulu dengan tujuan supaya dingin, atau batu-batu yang dikantonginya sebelum kemudian dihamparkannya di atas tempat sujudnya yang becek. 

Tujuan kami menukil hal ini ada dua macam: Pertama, bahwa cara mendinginkan batu-batu sujud dalam pegangan atau menghamparkannya di tempat sujud yang becek ini adalah cara yang paling selamat dan paling tidak bertentangan dengan pendapat siapapun, yakni tidak ada orang atau ulama yang membatalkannya. Dimana justru Nabi SAWW sendiri sangat setuju dengan cara ini dan memujinya ( lihat hadits ke tiga dan ke empat di bawah ini! ). 

Ke dua, karena kemiripannya dengan apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah sehubungan dengan bahwa mereka membawa-bawa tanah padat, batu atau tembikar yang dibuat alas sujud mereka. 

Bedanya, kalau para shahabat ingin mendinginkan batu-batu itu sebelum dibuat alas sujud, tapi orang-orang Syi’ah membawa-bawa batu atau tanah padat itu disamping untuk menjaga kebersihannya, ianya juga untuk memudahkan mereka shalat di mana saja karena kini semua masjid telah ber-alas dengan permadani atau alas-alas yang tidak sah kalau dibuat sujud (menurut fiqih Syi’ah tentunya). 

Berkata Jaabir bin ‘Abdullah: “ Aku shalat zhuhur di belakang Nabi SAWW., lalu kuambil batu-batu kecil di tanganku dan kugenggam supaya dingin karena panasnya sangat menyengat, sebelum kemudian kusujudi “ ( Musnad Ahmad bin Hambal, 1: 388, 437, 462; Sunan Baihaqiy, 1: 439 ). 

Berkata Anas bin Maalik: “ Kami shalat di belakang Nabi SAWW di suatu hari yang panasnya sangat menyengat. Salah satu ( sebagian ) dari kami mengambil batu-batu kecil di tangannya, dan ketika sudah dingin maka diletakkannya untuk dijadikan alas sujudnya “ ( Sunan Baihaqiy, 2: 106 ). 

Berkata Umar bin Khoththoob ( khalifah ): “ Suatu malam turun hujan, dan ketika kami keluar untuk menunaikan shalat subuh sebagian orang ada yang berjalan di sungai besar yang banyak batu- batu kecilnya ( al-Bath-haa’ ). Lalu mereka mengantongi batu-batu kecil itu dan shalat di atasnya. Dan ketika Nabi SAWW melihat hal itu beliau bersabda: Betapa bagusnya hamparan ( Bisaathun ) ini. Dan itulah awal dari batu-batu kecil ( maksudnya penghamparan batu-batu kecil untuk shalat/ sujud ) “ ( al-Quthuufu al-Daaniah fi al-Masaailu al-Tsamaaniah, karya ‘Abdu al-Muhsin al-Suraawiy, hal: 91, kalau tidak salah menukil dari al-Nailu al-Authoor, 2: 228 ). 

Berkata Ibnu ‘Umar bin Khoth-thoob: “ Suatu malam turun hujan sehingga di waktu pagi tanah menjadi becek sehingga orang-orang membawa batu-batu kecil di bajunya dan menghamparkannya di bawahnya (diwaktu shalat, red.) “ (al-Quthuufu al-Daaniah fi al-Masaailu al-Tsamaaniah, hal : 91). 

Tabi’iyn Membawa-bawa Bata 

Bagi yang memahami hadits-hadits terdahulu dengan hati yang bersih dan tulus, maka tidak susah memahami apa-apa yang dilakukan Nabi SAWW dan para shahabat. Namun demikian perlu adanya bukti penguat terhadap apa-apa yang mereka lakukan itu. Yaitu menukil apa-apa yang dilakukan oleh tabi’iyn. 

Di sini kami akan menukilkan apa-apa yang mereka pahami dan ikuti dari para shahabat-Nabi sebagai generasi pertama setelah generasi shahabat. Di bawah ini bukan saja mereka bersujud ke tanah, tapi malah ada yang sampai membawa-bawa alas sujudnya itu ( bata mentah ) dalam perjalanan mereka. 
  1. ‘Umar bin ‘Abdu al-’Aziyz. Dikatakan bahwa ia tidak mencukupkan tikar pelepah pohon kurma saja, tapi juga meletakkan debu ke atasnya untuk disujudi ( Fathu al-Baariy, 1: 410; Syarhu al-Ahwadziy, 1: 272; Ihyaa-i ‘Uluumu al-Diyn 1: 149; Ittihaafu al-Muttaqiyn, 2: 32 ). 
  2. ‘Urwah bin al-Zubair. Dikatakan bahwa ia tidak suka shalat kecuali di atas tanah ( alamatnya sama dengan no. 1 ). 
  3. Masruuq bin al-Ajda’. Ia kalau bepergian dengan perahu membawa-bawa bata-mentah untuk dijadikan alas sujud ( Thabaqootu al-Kubroo, 6: 79 ). 
  4. ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas. Berkata Raziyn: “ Ali bin Abdullah bin Abbas menyuratiku dan berkata ‘ Kirimkan untukku lempengan batu dari gunung Marwah ( nama salah satu gunung di Mekkah ) untuk kujadikan alas sujud!! ‘ “ ( Akhbaaru al-Mekkah, 3: 151 ). Komentar: Maksud dari permintaan Ali bin Abdullah bin Abbas ini adalah bahwa ia ingin bertabarruk dengan gunung Marwah tersebut. 
  5. ‘Athoo’ bin Abiy Rubaah. Ia berkata: “ Tidak dibenarkan shalat kecuali di atas tanah/debu atau batu-batu kecil “ ( al-Muhallaa, 4: 83 ). 
  6. ‘Urwah bin al-Zubair. Ia tidak suka sujud kecuali ke atas tanah ( Nailu al-Authoor, 2: 127 ). 
  7. Ibrahim al-Nakha-’iy. Ia shalat di atas tikar daun-Bardiy dan sujud di atas tanah ( Nailu al- Authoor, 2: 127 ). 
  8. Muhammad bin Muslim al-Zuhriy. Mu’ammar bertanya kepadanya perihal sujud di atas Thinfasatun ( baca thinfasah, dan bisa juga thanfisah ). Ia berkata: “ Tidak apa-apa. Karena Rasulullah SAWW shalat di atas Khumroh “ ( al-Mushannif, 1: 394 ). Komentar: Jawaban dan dalil Muhammad bin Muslim al-Zuhriy ini menunjukkan bahwa Thinfasah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits sujud, adalah Khumrotun, yakni tikar dari pelepah pohon kurma, bukan permadani sebagaimana makna sekarang. Lihat lagi makna Thinfasah di Sub Judul: Nabi Shalat di Atas Tikar, yang terdahulu. 
  9. Mak-huul. Ia shalat di atas tikar dari daun-Bardiy dan sujud ke atasnya (al-Mushannif, 1: 399).
  10. Muhammad bin Syiyriyn. Ia membawa-bawa bata mentah untuk dibuat sujud, kalau ia bepergian dengan perahu ( Fathu al-Baariy, 2: 33 ). 
  11. Jaabir bin Zaid. Ia tidak menyukai shalat di atas apapun yang dibuat dari binatang, dan ia menyunnahkan shalat di atas tumbuhan ( Nailu al-Authoor, 2: 126 ). 
  12. Hasan al-Bashriy. Ia meletakkan batu-batu kecil di tempat sujud dahinya ( al-Mushannif, 2: 61 dan 413 ). 
Ini semua sebagian kecil dari sekian banyak kenyataan yang dilakukan oleh para tabi’iyn yang sempat terekam dalam sejarah. Dan semua hadits-hadits ini adalah menurut riwayat Ahlussunnah. 

Jadi, sujud di tanah, lempengan batu yang dibawa-bawa, bata mentah yang dibawa-bawa, bukanlah ulah dan buatan orang-orang Syi’ah. Tapi memang merupakan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi SAWW yang diajarkan kepada shahabat-shahabat dan yang diikuti oleh para tabi-’iyn, dimana intinya adalah:

Sujud mesti di atas tanah atau tumbuhan yang tidak dimakan dan dipakai, baik tanahnya dipadatkan atau batunya dibuat indah dan dibawa-bawa atau di sembarang tanah dan batu asal bersih dari najis dan kotoran lainnya. 



(bersambung ke Hikmah Sujud di Tanah ...........................!!!!)


Catatan Lanjutan:







اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ