Tampilkan postingan dengan label Aisyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aisyah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Desember 2020

Seri Diskusi: Mengenali Siapa Abu Bakar, Umar, Usman dan Aisyah


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/295080980536705/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 17 Desember 2011 pukul 13:31


Sang Pecinta: Salam, ustadz.

Di mana letak Makam siti Aisyah, bagaimana dan kapan ia meninggal.
Apakah setelah perang Jamal imam Ali dengan ia berdamai. Terimakasih, ustadz.

Rabu, 18 Desember 2019

Sedekap Dalam Fatwa-Fatwa dan Kitab-Kitab Sunni, Bag-2


October 28, 2013 at 1:53 pm

  • 8-4- Hadits-hadits yang berderajat Mauquuf (yang dilakukan oleh orang yang bershahabat dengan Nabi saww) atau Marfuu’ (yang dihubungkan kepada Nabi saww) dimana dalam kesepakatan para ahli hadits, bahwa hadits-hadits yang berderajat seperti ini tidak bisa dijadikan dalil dalam menentukan hukum. Namun demikian, untuk melengkapi bahasan, maka kami nukilkan di sini dimana nanti akan terbukti bahwa selain masalah keMauquufannya ini, juga dibarengi dengan dha’iifnya para perawinya. Jadi, semakin tidak bisa dipakai karena selain Mauquuf, hadits-hadits ini juga dha’iif.
  • 8-4-a- Yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d. Hadits ini diriwayatkan oleh berbagai pengumpul hadits Sunni, seperti Bukhari (Shahih Bukhari yang disyarahi Ibnu Hajar, 2/224; al-Sunanau al-Kubraa Baihaqii, 2/28). Diriwayatkan dari jalur ‘Abdullah bin Maslamah, dari Maalik, dari Abu Haazim bin Diinaar dan Sahl bin Sa’d, bahwa ia berkata:

“Orang-orang diperintah untuk meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya dalam shalat.”Abu Haazim berkata:“Yang ku tahu bahwa dia hanya menghubungkannya (marfuu’) kepada Nabi saww.” Berkata Ibnu Hajar dalam Syarahannya (keterangannya) terhadap Shahih Bukhari bahwa maksud Yunmaa yang Rafa’ahu, yakni menghubungkannya saja kepada Nabi saww (Fathu al-Baarii, 5/325)

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, dalam hadits ini jelas tidak ketahuan siapa yang memerintah. Mestinya, kalau Nabi saww yang memerintah, ia berkata: “Kami diperintah”, bukan berkata: “Orang-orang diperintah.” Kata-kata dalam hadis ini, jelas bahwa yang memerintah itu bukan Nabi saww.

Ke dua, perawi yang meriwayatkan dari Sahl sendiri –Abu Haazim- mengatakan bahwa si Sahl itu telah menghubungkannya saja kepada Nabi saw.

Ke tiga, Manuver dari hadits ini adalah dari Maalik, sementara imam Maalik sebagai salah satu imam madzhab Sunni, memakruhkan bersedekap. Jadi, terlihat bahwa hadits ini dihubungkan saja kepada imam Maalik.

Ke empat, umur Sahl waktu meninggal adalah 100 th dan meninggalnya di tahun 91 H. Jadi, umur dia di waktu wafatnya Nabi saww adalah 19 th. Karena itu, mestinya ia mengatakaan bahwa kami diperintah Nabi saww, bukan orang-orang diperintah. Terlebih perawi darinya, yakni Abu Haazim mengatakan bahwa dia hanya menghubungkannya kepada Nabi saww.

Ke lima, dilihat dari umur Sahl yang 100 th dan meninggalnya yang di th 91 H, maka ia hidup di jaman berbagai pemerintahan setelah Nabi saww, sejak dari jaman Abu Bakar, Umar, Utsman, Imam Ali as, Imam Hasan as, Mu’awiyyah, Yaziid dan Marwan. Jadi, bisa saja maksud Sahl bukan merafa’kan atau menghubungkan perintah itu kepada Nabi saww, akan tetapi memang maksudnya adalah salah satu dari pemerintahan itu. Kalau hal ini ditambah dengan riwayat dari kitab-kitab Syi’ah yang mengatakan bahwa yang menyuruh sedekap dalam shalat itu adalah Umar, yaitu ketika ia memeriksa tawanan orang-orang Iran yang mana para tawanan meletakkan tangan kanannya di dada sambil membungkuk ke Umar lalu Umar bertanya perbuatan apa ini, kemudian dijawab penghormatan, maka Umar mewajibkan orang-orang untuk meletakkan tangan ke dada ketika shalat untuk menghormati Tuhan. Dan karena Tuhan lebih mulia dari selainNya, maka tangan yang diletakkan di dada, adalah dua-duanya, bukan satu tangan. Perbuatan Umar ini, konon, untuk membuat orang-orang Iran lebih cepat menerima Islam.

  • 8-4-b- Yang diriwayatkan dari imam Ali as. Riwayat ini diriwayatkan di kitab Ibnu Syaibah, Abu Daaud, al-Daaru Quthni dan Baihaqi dari jalur ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq Abu Syaibah al-Waasithi, dari Ziyaad bin Zaid al-Siwaa-ii, dari Abu Juhaifah, dari imam Ali as yang berkata:

“Meletakkan telapak tangan ke atas telapak tangan dalam shalat di bawah pusar, adalah sunnah.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, hadits ini jelas tidak bisa dipakai karena dihubungkan ke perkataan shahabat, karena hal ini dikatakan dengan Mauquuf sebagaimana maklum.

Ke dua, semua ahli hadits dan rijal Sunni melemahkan hadits ini kecuali Ibnu al-Qayyim dimana ia satu-satunya orang Sunni yang menshahihkan hadits ini. Sedangkan yang melemahkannya banyak sekali, seperti: al-Nawawii dimana bahkan ia mengatakan bahwakedha’iifannya adalah merupakan kesepakatan; al-Daaru Quthnii; Baihaqii; dan lain-lain.

Ke tiga, ada perawi yang bernama ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq yang dilemahkan oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Mu’iin, Abu Haatim, AbuZar’ah, Abu Bakar bin Khaziimah, al-Bazzar, Ibnu ‘Uddaa, al-‘Uqaili, Nasaai (al-Dhu’afaa-u), al-Daaru Quthni (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin).

Ke empat, juga terdapat orang yang bernama Ziyaad bin Zaid dimana Abu Haatim, al-Khazrajii, Dzahabi dan Ibnu Hajar mengatakannya sebagai Majhuul (yang tidak ketahuan identitasnya).

  • 8-4-b- Yang diriwayatkan dari Imam Ali as secara Mauquuf adalah yang diriwayatkan oleh Abu Daaud dan Ibnu Syaibah dari jalur Abu Thaaluut ‘Abdu al-Salaam, dari Ibnu Jariir al-Dhabii, dari ayahnya yang berkata:

“Aku melihat Ali ra menyentuh tangan kirinya dengan tangan kanannya di pergelangan di atas pusar.”

Yang dari Abu Syaibah:


“Ali ketika berdiri melakukan shalat, meletakkan tangan kanannya di atas pergelangan tangan kirinya, sampai ia melakukan ruku’, kecuali kalau ia mau membenahi bajunya atau menggaruk badannya.”

Ibnu Hazm juga meriwayatkan tentang imam Ali as:


“Kalau shalat Ali lama/panjang dalam berdiri, maka ia memegang lengan kirinya dengan tangan kanannya dari tapak tangannya kecuali kalau membenahi bajunya atau menggaruk badannya.”

Riwayat ini, yaitu yang menandakan bahwa bolehnya seseorang menggunakan tangan dalam shalat ketika perlu, dikuatkan oleh Bukhari dalam shahih Bukhari-nya (hadits ke: 521). Yaitu dengan memasukkan peletakan tangan kanan imam Ali as di atas tangan kirinya ini, dalam “Babu Isti’aanati al-Yadi Fi al-Shalaati”, yakni “Bab menggunakan tangan dalam shalat.”

Maksud dari penjelasan ini adalah bahwa kalau shalat imam Ali as itu sudah panjang atau lama dan terasa lelah di tangan, maka boleh ditelakkan ke atas yang lain. Artinya, bukanlah sedekap itu ajaran Islam, tapi dibolehkan saja seperti menggaruk badan.

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, semua ahli hadits Sunni melemahkan hadits ini, seperti: Ibnu Hajar, al- Syaukaanii, Abu al-Thayyib al-Abaadii.

Ke dua, terdapat perawi yang bernama Jariir al-Dhabii dimana Ibnu Jariir mengatakan bahwa dia itu tidak diketahui identitasnya (al-Miizaan).

Ke tiga, terdapat orang yang bernama Ibnu Jariir, dimana orang ini tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Habban sementara Ibnu Habbaan terkenal mentsiqahkan Majaahiil (orang yang tidak ketahuan identitasnya).

Ke empat, haditsnya muththarib alias berbeda-beda kata. Muththarib ini, salah satu kelemahan hadits sebagaimana disepakati ahli hadits.


  • 8-4-c- Yang diriwayatkan atau dihubungkan ke Abu Hurairah. Riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Daaud, al-Daaru Quthnii, dari jalur ‘Abdu al-Waahid bin Ziyaad, dari ‘Abdu al-


Rahmaan bin Ishaaq al-Kuufii, dari Sayyaar Abu al-Hakam, dari Abu Waail Syaqiiq bin Salamah al-Asadi yang berkata bahwa Abu Hurairah berkata:


“Memegang tangan dengan tangan di bawah pusar dalam shalat adalah sunnah” ( yang diriwayatkan Abu Daaud).

“Meletakkan tangan di atas tangan dalam shalat adalah dari sunnah.” (yang dari al-Daaru Quthni).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, matannya muththaribah seperti sebelum-sebelumnya. Karena itu tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Karena yang satu mengatakan “meletakkan” dan yang lainnya mengatakan “memegang”. Satu haditsnya mengatakan di bawah pusar dan yang lainnya, tidak mengatakan apa-apa.

Ke dua, hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama Sunni seperti: Abu Daaud, Baihaqii, Abu al-Thayyib al-Abaadii, Ibnu ‘Abdu al-Bar.

Ke tiga, ada perawi-perawi yang dikenal sebagai dha’iif, seperti ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq al-Kuufii, Syaqiiq bin Salamah.

  • 8-4-d- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada Ibnu Zubair. Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dan dari Jalur/thariiq Baihaqi, diriwayatkan kepada kami oleh Nashr bin ‘Ali, dari Abu Ahmad, dari al-’Alaa’ bin Shaalih, dari Zar’ah bin ‘Abdurrahmaan yang berkata: Aku mendengar Ibnu Zubair berkata:

“Meratakan dua kaki dan meletakkan tangan di atas tangan adalah sunnah”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, berkata Ibnu al-Madiinii: ‘Alaa’ bin Shaalih itu banyak meriwayatkan riwayat- riwayat yang mungkar (tidak bisa diterima).

Ke dua, Abu Daud tidak meriwayatkan hadits dari Zar’ah bin ‘Abdurrahman kecuali dalam hadits ini. Jadi dia ini bukan perawi yang dibesarkan Abu Daud.

Ke tiga, tidak ada yang mentsiqahkan/menshahihkan Zar’ah bin ‘Abdurrahman ini kecuali Ibnu Habbaan dimana ia memang suka mentsiqahkan orang-orang yang dikenal (majaahiil/majhuul).

  • 8-4-e- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada ‘Aisyah. Riwayat ini dikeluarkan oleh al-Daaru Quthnii dan Baihaqii dari jalur/thariiq Syujaa’ bin Mukhallad al-Falaas, dari Hasyiim, yang berkata Manshuur bahwa telah diriwayatkan kepada kami dari Muhammad bin Abaan al-Anshaarii, dari ‘Aisyah yang berkata:


“Ada tiga hal dari kenabian: Mempercepat buka puasa, memperlambat sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (Baihaqi berkata: Riwayat ini paling shahihnya riwayat dalam pandangannya).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, sekali lagi, bahwa hadits ini tergolong bagian hadits mauquuf yang tidak bisa dipakai. Beda kalau ‘Aisyah berkata seperti “Aku melihat Nabi saw shalat dengan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri”. Karena riwayat seperti ini, tidak akan dikatakan riwayat atau hadits Nabi saw, bukan pendapat ‘Aisyah yang bisa dikatakan mauquuf atau juga marfuu’. By the way.

Ke dua, riwayat dari ‘Aisyah ini, hanya melalui satu orang saja, yaitu si Muhammad bin Abaan. Karena itu, tidak bisa dijadikan pegangan (tentu selain kemarfuu-’annya di atas).

Ke tiga, Muhammad bin Abaan ini adalah seorang yang majhuul (tidak diketahui siapapun identitasnya) hingga karena itu, tidak bisa dijadikan pegangan karena tidak bisa dinilai ketsiqahan dan tidaknya.

Ke empat, riwayat kata-kata ‘Aisyah dari Muhammad bin Abaan ini dinilai oleh Bukhari sebagai terputus (terputus antara Muhammad dan ‘Aisyah yang sudah tentu lebih lemah lagi dari terputusnya seorang perawi dari Nabi saww itu sendiri). Bukhari berkata “Tidak ada cerita/riwayat bahwa Muhammad mendengar/berjumpa dari/ dengan ‘Aisyah.

Ke lima, Ibnu Habbaan berkata bahwa yang mengira bahwa Muhammad bin Abaan ini mendengar/berjumpa dari/dengan ‘Aisyah, maka ia telah mengkhayal.

Ke enam, Ibnu Hajar berkata bahwa tidak pernah terdengar bahwa Muhammad bin Abaan itu telah mendengar/berjumpa dari/dengan ‘Aisyah dimana hal ini dikatakan oleh Bukhari.

Ke tujuh, Yang dimaksud dengan Manshuur dalam riwayat ini, adalah Manshuur bin Zaadzaan, bukan Manshuur bin al-Mu’tamar yang dikenal sebagai haafizh hadits dan tsiqah/dipercaya.

Ke delapan, kalau menurut Baihaqi riwayat ini adalah paling shahihnya riwayat dalam hal bersedekap dalam shalat ini, maka bagaimana dengan hadits-hadits lainnya.

  • 8-4- f- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada Abu Bakar. Riwayat kata-kata/ perbuatan Abu Bakar ini, diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dari jalur Ibnu Mundzir, dari Yahya bin Sa’iid, dari Tsaur, dari Khaalid bin Ma’daan, dari Abi Ziyaad maula/pembantu Aali Darraaj yang berkata:

“Aku tidak pernah melihat sesuatu lalu melupakannya. Aku tidak pernah lupa bahwa kalau Abu Bakar melakukan shalat, seperti ini (lalu ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya).” (ini versi yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah). Sedang yang riwayat versi Ibnu al-Mundziir seperti ini:

“…..ia –Abu Bkar- berdiri seperti ini (lalu ia meletakkan tapak tangan kanannya ke atas siku lengan kirinya dengan menempelkan pergelangannya).”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, sebagaimana yang telah lalu, hadits ini tergolong hadits marfuu’ dan mauquuf yang tidak bisa dijadikan pegangan.

Ke dua, Ibnu Hajar berkata bahwa Abu Ziyaad maula Aali Darraaj itu, tidak diketahui orangnya.

Ke tiga, al-Daaru Quthnii berkata bahwa Abu Ziyaad itu matruuk (ditinggalkan/tidak- dipakai).

Ke empat, adanya Taur bin Yaziid yang tidak bisa dipakai sebagaimana sudah diurai di atas di bahasan hadits Thaawuus (point 8-2-f).

  • 8-4-g- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada Abu al-Dardaa’. Penghubungan ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dari jalur Hajjaaj yang berkata bahwa telah diriwayatkan kepada kami oleh Hamaad bin Zaid, dari ‘Ali bin Abi al-‘Aaliyah, dari Mauriq al-’Ajalii yang berkata bahwa Abu al-Dardaa’ telah berkata:


“Tiga hal termasuk dari kebaikan: Mempercepat ifthar (buka puasa), menyempurnakan sahur dan meletakkan tangan di atas tangan dalam shalat.”

Dan Abu Syaibah juga meriwayatkan kata-kata Abu al-Dardaa’ di atas itu, melalui Wakii’, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari al-A’masy, dari Mujaahid, dari Mauriq al-’Ajalii, dari Abu al-Dardaa’ yang berkata:


“Salah satu akhlak para nabi adalah meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri dalam shalat.” (al-Hasitsamii hanya mengisyaratkan terhadap hadits ini dalam kitab Majma’nya dan ia menyebutkan bahwa al-Thabrani telah meriwayatkannya dalam kitab al-Kaabir-nya).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, tentang yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir, sebagaimana maklum bahwa hadits ini tidak bisa dipakai karena marfuu’ dan mauquuf.

Ke dua, dalam riwayat itu ada yang bernama ‘Ali bin Abi al-’Aliyyah dimana orang ini tidak dikenal.

Ke tiga, Bukhari mengatakan bahwa riwayat ‘Ali bin Abi al-’Aliyyah dari Mauriq adalah mursal (diriwayatkan seseorang dari orang lain yang tidak pernah ketemu).

Ke empat, tentang yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah maka selain kemauquufan- nya, terdapat perawi yang bernama Ismaa’iil bin Abu Khaalid dan al-A’masy dimana keduanya telah disifati para ahli hadits sebagai Mudallis (menyembunyikan kekurangan perawi yang darinya mengambil riwayat atau menyembunyikan kelemahan riwayatnya, seperti merawikan dari anak kecil lalu namanya diganti dengan fulan, atau dari orang yang tidak pernah ketemu tapi diucapkan seperti pernah bertemu dengannya…dan seterusnya).

  • 8-4-h- Yang dihubungkan kepada ‘Abdullah bin Jaabir al-Bayaadhii. Riwayat tentang ‘Abdullah bin Jaabir ini, diriwayatkan oleh al-Thabraanii dalam kitab al-Kaabir-nya dan Ibnu al-Atsiir dalam Usdu al-Ghaabah-nya dari jalur Hisyam bin ‘Ammaar, dari Abdullah bin Abu Sufyaan –orang Madinah- yang berkata “Aku mendengar dari kakekku ‘Uqbah bin Abi ‘Aisyah yang berkata”:


“Aku melihat shahabat Nabi saw yang bernama ‘Abdullah bin Jaabir al-Bayaadhii meletakkan salah satu tangannya ke atas sikunya dalam shalat.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, Abdullah bin Abi Sufyaan itu seorang yang majhuul/tidak-dikenal.

Ke dua, Abu Daud berkata bahwa Hisyaam bin ‘Ammar telah meriwayatkan 400 hadits yang bersanad tapi tidak ada asalnya (hakikatnya).

Ke tiga, Musallamah berkata tentang Hisyaam bin ‘Ammaar bahwa dia banyak dicela (dibincangkan keburukannya).

Ke empat, Dzahabi berkata bahwa Hisyaam bin ‘Ammar itu banyak kemungkarannya (hadits-hadits mungkar/tertolak-nya) dan telah diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa dia itu sangat tidak tentu arah (kurang akal dan kurang ingatan) semoga Allah membunuhnya.

Ke lima, dinukilkan dari Ibnu al-’Ajami bahwa ia termasuk orang yang mensifati Hisyaam itu dengan “kacau” atau “campur baur”.

Ke enam, dalam riwayat itu juga terdapat perawi yang bernama ‘Uqbah dimana orang ini majhuul/tidak-dikenali dan tidak ada satu orangpun yang mentsiqahkannya.

Ke tujuh, Bukhari dan Abu Haatim tidak berkata apa-apapun tentang ‘Uqbah itu kecuali hanya berkata bahwa ia meriwayatkan dari Abdullah bin Jaabir dan Abdullah bin Abi Sufyaan (yakni tidak mengomentari apapun, baik tsiqahnya, nyambungnya, tidak terputusnya, majhuulnya…dan seterusnya…dimana hal ini berarti, tidak dianggapnya shahih karena tidak mendapat perhatiannya).

  • 8-5- Dalil sedekap yang diambil dari penafsiran ayat yang berbunyi:


“Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan bernaharlah”

Nahar ini memiliki makna kata “leher”. Selalunya dan umumnya, para mufassir Sunni dan Syi’ah, menafsirkan dengan penyembelihan. Yakni karena Nabi saw telah diberi Kautsar, maka beliau saww diperintah shalat dan menyembelih binatang atas nama Allah swt.

Walau begitu, terlihat tafsir lain dari nahar di ayat ini, seperti mengangkat tangan sampai ke leher ketika melakukan takbiratul-ihram dalam shalat. Begitu pula tafsiran-tafsiran yang lain seperti menghadap kiblat dan lain-lainnya.

Nah, salah satu tafsiran yang dilemahkan Sunni sendiri, adalah meletakkan tangan ke atas tangan yang lain dalam shalat (sedekap). Poin kita sekarang ini, akan membahas tentang penafsiran “sedekap” dalam shalat pada ayat di atas. Dan kita akan melihat kenyataan kelemahannya menurut Sunni sendiri seperti hadits-hadits di atas yang juga dilemahkan para ulama Sunni sendiri.

Riwayat tentang penafsiran “sedekap” ini, dihubungkan kepada Anas, Ibnu Abbaas dan imam Ali as. Misalnya di tafsir al-Durru al-Mantsuur, Suyuthi, setelah menulis tafsiran- tafsirannya tentang “nahar” itu, ia juga menukilkan bahwa ada makna lain yang dinukilkan dari Ibnu Syaibah, Bukhari (dalam kitab taarikhnya), Ibnu Jariir Thabari, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Haatim, al-Daaru Quthni, Abu al-Syaikh, Hakim , Murdawaih dan Baihaqi yang diriwayatkan dari imam Ali as.:


in'syaa Allah, kita akan melihat periwayatan/penukilan tafsir di atas satu persatu-satu.


  • 8-5-a- Yang dihubungkan kepada Anas. Tafsiran Anas ini diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari Anas yang berkata:


“Yang termasuk akhlak kenabian adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, hadits seperti ini jelas dari Anas sendiri dan bukan dari Nabi saww karena Anas tidak sedang menukil hadits Nabi saww. Karena itu, ia adalah hadits mauquuf (perbuatan atau pendapat shahabat dan bukan Nabi saw) yang sama sekali bukan hujjah seperti yang sudah disepakati ulama hadits Sunni dan Syi’ah.

Ke dua, Al-Mubaarakfaurii berkata: “Aku tidak menemukan sanad hadits ini. Ulama-ulama dari madzhab Hanafi menyebutkannya dan menjadikannya hujjah akan tetapi tidak menyebutkan sanadnya. Karena itu tidak bisa dijadikan hujjah.”

Ke tiga, pengarang kitab Al-Durrah berkata: “ Hadits Anas yang berkata: Yang termasuk akhlak kenabian….’, yang dikatakan oleh al-’Ainii bahwa Ibnu Hazm telah meriwayatkannya, maka sanadnya tidak ada hingga karena itu tidak dapat dilihat apakah rijal-rijalnya (perawi-perawinya) adalah orang-orang yang dapat diterima/ tsiqah atau tidak.

Ke empat, diriwayatkan pula oleh Baihaqii dari jalur ‘Aashim al-Ahwal dari seorang lelaki dan Anas seperti riwayat yang diriwayatkan dari Ali danAbbaas dalam tafsir ayat fashalli lirobbika wanhar. Dan hadits yang dari satu sisi sudah bukan dari Nabi saww dan dari sisi yang lain, juga majhuul/tidak-dikenal. Karena dikatan dari seorang lelaki. Jadi, tidak ada nilainya dan tidak bisa dijadikan hujjah/dalil/dasar.

Ke lima, justru ada riwayat yang terkenal dari Anas yang beda dari hadits di atas. Yaitu yang menafsirkan nahar itu bukan bersedekap. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Jariir Thabari, dari Hamiid, dari Haaruun bin al-Mughiirah, dari ‘Anbasah, dari Jaabir, dari Anas bin Maalik yang berkata:


“Pada awalnya Nabi saww bernahar (menyembelih atau apa saja yang penting bukan sedekap dalam shalat) sebelum shalat. Kemudian diperintah untuk shalat dulu baru setelah itu bernahar.”

  • 8-5-b- Yang dinukilkan dan dihubungkan kepada imam Ali as. Riwayat ini diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, al-Daaru Quthni, Haakim, Bukhari (dalam kitab Taarikhnya), Ibnu Jariir (dalam tafsirnya), melalui jalur ‘Aashim al-Jahdari, dari ‘Aqabah bin Zhahiir atau Ibnu Dhabyaan atau Ibnu Shabyaan (terdapat perbedaan periwayatan nama), dari Ali yang berkata:


“(wanhar) Adalah meletakkan tangan kananmu ke atas tangan kirimu dalam shalat.”

Dan dalam riwayat yang lain dikatakan: “Meletakkan tangan kanannya ke atas pertengahan lengannya di atas dadanya.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, sebagaimana maklum bahwa imam Ali as di Sunni, tidak seperti di Syi’ah. Yakni tidak diakui sebagai makshum sekalipun hadits-hadits Sunni mengatakan mak- shum. By the way, beliau di mata mereka bukan penerus agama hingga karena itu, pendapatnya tidak bisa disejajarkan dengan hadits Nabi saww hingga dijadikan dalil. Karena itu, hadits ini, sekali lagi, tergolong hadits mauquuf yang tidak bisa dijadikan dalil.

Orang Syi’ah juga tidak bisa mengambil hadits ini, karena banyak cacatnya dalam periwayatannya sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.

Ke dua, Ibnu Katsir berkata bahwa penukilan pendapat Ali ini, tidak benar.

Ke tiga, Ibnu al-Turkemaani berkatan bahwa dalam sanadnya memiliki goncangan (tidak searah).

Ke empat, matannyapun (kalimatnya) banyak memiliki goncangan (tidak satu/tidak menentu).

Misalnya Bukhari dalam kitab sejarahnya (Taariikh al-Bukhaari), meriwayatkan dengan kalimat:


“Meletakkan tangannya di atas pertengahan lengannya di atas dadanya.”

Ibnu Syaibah, Ibnu Jariir, Haakim, al-Daaru Quthnii dan Baihaqii meriwayatkan dalam bentuk seperti ini:


“Meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri dalam shalat.” Baihaqi dan Ibnu Jariir, juga meriwayatkan dalam bentuk seperti ini:


“Meletakkan tangan kanannya ke atas pertengahan lengan kirinya, kemudian meletak- kannya ke atas dadanya.”

Ke lima, sanadnya juga muththaribah (goncang atau beda-beda).

Misalnya Bukhari dan Ibnu Syaibah, silsilah perawinya yang dari Yaziid bin Ziyaad, merawikan dari ‘Aashim, dari ‘Uqbah dan dari Ali.

Dan di tempat lain dalam Taariikhnya, Bukhari dan juga Haakim, perawian yang dari Hamaad bin Zaid, dari ‘Aashim al-Jahdari, dari Ayahnya, dari ‘Uqbah, dari Ali. Di sini nampak ada kelebihan perawi setelah ‘Aashim, yaitu ayahnya.

Ahli hadits Sunni, Ibnu Abi Haatim, telah menjelaskan kegoncangan perawi hadits tersebut dalam kitabnya, al-Jarahu wa al-Ta’diilu. Dan ulama lain yang bernama Ibnu al-Turkemaani dalam kitabnya, al-Jauharu al-Naqii.

Ke enam, karena disebutkan dari imam Ali as, maka perlu adanya penyebutan salah satu dari hadits-hadits Syi’ah yang datang dari Ahlulbait as. Hal ini, perlu disajikan di sini karena Ahlulbait as lebih tahu tentang keadaan bait/rumah-nya. Jadi, riwayat yang tidak sama dari riwayat Ahlulbait sendiri, maka tidak bisa diterima. Saya akan menyebutkan beberapa seperti:

Dari imam Ja’far as berkata:


“Al-Nahru/nahar di hadapan Allah adalah tegap dalam berdiri (tidak miring kanan dan kiri atau ke depan dan belakang), yaitu dengan meluruskan tulang punggungnya dan lehernya dan tidak bersedekap, karena bersedekap itu dilakukan oleh majusi.”

Ke tujuh, penafsiran al-nahru dengan leher-binatang, lebih cocok dari tafsiran-tafsiran yang lain hingga karena itu, tidak mungkn imam Ali asyang merupakan murid teragung Nabi saww, perlu menafsirkan nahru itu kepada makna yang tidak lumrah (meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri) dimana tafsiran yang tidak lumrah ini, sama sekali tidak berkaitan dengan asal kata yang dipakai Qur'an, yaitu al-nahru.

Ke delapan, al-Roozi juga berpendapat seperti itu, yakni menguatkan tafsiran tegapnya badan dari yang lainnya:


“Penggunaan al-nahru kepada makna leher-binatang, lebih umum dari penggunaan yang lainnya. Karena itu wajib kita memaknai ayat ini dengan makna tersebut.”

Ke Sembilan, Ibnu Jariir al-Thabari berkata:


“Yang lebih utama bagiku dan paling benar, adalah yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah seperti ini: ‘Jadikanlah shalatmu untuk Tuhanmu secara menye- luruh dan secara ikhlash serta tidak diiringi dengan yang lainNya dari tuhan-tuhan lain. Begitu pula jadikan qurbanmu untukNya dan bukan untuk patung-patung, sebagai rasa syukur kepadaNya terhadap apa-apa yang telah diberikanNya kepadamu sebagai kemuliaan dan kebaikan yang tidak bisa dibayar dengan apapun, dan telah mengkhususkanmu dengannya, yaitu dengan memberikanmu al-Kautsar.’.”

Ke sepuluh, Ibnu Katsiir juga berkata:


“Apa yang dikatakannya ini (Ibnu Jariir) adalah sebaik-baiknya perkataan. Sebelum dia, Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhii dan ‘Athaa’, telah sampai kepada kesimpulan ini.”

Ke sebelas, Ibnu Katsiir juga berkata setelah menukilkan berbagai riwayat-riwayat yang bermacam-macam itu:


“Semua penafsiran-penafsiran ini, sangat aneh. Yang benar adalah pendapat yang pertama, bahwasannya yang dimaksud dengan nahru adalah menyembelih qurban haji.”


  • 8-5-c- Yang dinukilkan dan dihubungkan dengan Ibnu ‘Abbaas. Penukilan tafsiran Ibnu ‘Abbaas ini diriwayatkan oleh Baihaqii dari jalur Ruuh bin al-Musayyad, dari Umar bin Maalik, dari Abu al-Jauzaa’, dari Ibnu ‘Abbaas dalam firmannya yang berbunyi (fashalli lirobbika wanhar), ia berkata:


“Meletakkan tangan kiri ke atas tangan kanan di dekat leher dalam shalat.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, Ibnu Habbaan berkata bahwa Ruuh bin al-Musayyab itu adalah orang yang merawikan hadits-hadits maudhu dari tsiqah lalu merubah sanad-sanadnya dan juga menghilangkan mauquufnya. Riwayatnya tidak boleh dinukilkan atau ditulis, kecuali kalau hanya untuk pemberitaan (baca: bukan untuk menjadikannya dalil atau hujjah).

Ke dua, Abu Haatim berkata bahwa Ruuh bin al-Musayyab itu orang shalih akan tetapi dhaif/lemah.

Ke tiga, Ibnu Mu’iin berkata bahwa Ruuh bin al-Musayyab itu shalih kecil (kata ejekan atau pelemahan dalam ilmu hadits).

Ke empat, Ibni ‘Uddaa berkata dalam kitabnya “Al-Dhu’afaa’” (orang-orang yang didhaif- kan) tentang Ruuh bin al-Musayyab itu bahwasannya dia itu meriwayatkan dari Tsaabit dan Yaziid al-Raqqaasyi hadits-hadits yang tidak terjaga.

Ke lima, Dalam riwayat itu terdapat perawi yang bernama ‘Umar bin Maalik al-Nakarii dimana Ibnu Habbaan dalam kitabnya “Al-Tsiqaat”: Dia suka salah dan mengharibkan hadits (baca: meriwayatkan hadits-hadits asing/aneh).

Ke enam, Ibnu ‘Uddaa berkata bahwa ‘Umar bin Maalik itu menukil hadits-hadits mungkar (yang mesti ditolak) dan suka mencuri hadits. Dan dia juga berkata bahwa ‘Umar bin Maalik itu, juga meriwayatkan dari Abu al-Jauzaa’, hadits-hadits yang tidak terjaga.

Ke tujuh, Abu Ya’laa berkata bahwa ‘Umar bin Maalik itu adalah seorang yang dhaif/ lemah.

Ke delapan, Ibnu Hajar berkata bahwa Bukhari mendhaifkannya.

Ke Sembilan, terdapat jarak yang terputus (munqathi’) antara Abu al-Jauzaa’ dengan Ibnu ‘Abbaas. Bukhari juga berkata bahwa sanadnya Abu al-Jauzaa’ itu memiliki problem. Ia juga berkata bahwa orang-orang bersengketa tentangnya.

Ke sepuluh, Ibnu ‘Uddaa berkata bahwa Abu al-Jauzaa’ itu meriwayatkan dari shahabat Nabi saww seperti Ibnu ‘Abbaas, ‘Aisyah dan Ibnu Mas’uud, dimana hal ini tidak bisa dibenarkan bahwa ia mendengar riwayat-riwayat itu dari mereka (para shahabat).

Ke sebelas, Abu Zar’ah berkata bahwa hadits ini mursal. Dan berkata Ibnu Jariir bahwa Abu al-Jauzaa’ itu banyak memursalkan hadits (menghubungkan kepada orang lain yang tidak ditemuinya hingga seakan ia meriwayatkan langsung dari mereka).

Ke dua belas, yang paling terkenal dari Ibnu ‘Abbaas bahwa ia menafsirkan ayat tersebut dengan qurban di waktu haji. Seperti yang diriwayatkan Ibnu Jariir al-Thabari:


Ke tiga belas, hadits di atas telah dilemahkan oleh para haafizh hadits dari Sunni sendiri seperti Ibnu Jariir yang berkata: “Sanad hadits ini, lemah/dha’if.”

Tambahan Keterangan:

1- Kejelasan Shalat dan Ketertutupan/kesamaran Sedekap.

Kita telah kaji dalil-dalil tentang sedekap dalam shalat dimana semua hadits-haditsnya, tidak bisa dijadikan dalil dan hujjah karena kelemahannya. Kalau kita perhatikan dalilnya yang lemah itu, maka sangat kontradiksi dengan sifat shalat itu sendiri. Artinya, shalat yang sebegitu besarnya arti dan posisinya dalam Islam dimana menjadi penentu sejati tidaknya iman seseorang, akan sangat aneh, kalau salah satu kewajibannya, terlihat samar.Karena itu, sangat diragukan bahwa sedekap yang samar itu, bagian dari ajaran shalat yang terang tersebut.

Kesamaran dalil sedekap ini, menjadi lebih samar dengan banyaknya pengingkar terhadapnya yang datang dari para shahabat dan pembesar salaf yang mana mereka meluruskan tangan ketika shalat.

2- Banyak sekali shahabat dan para pembesar salaf yang meluruskan tangannya dalam shalat.

Ibnu Syaibah berkata:


“Al-Hasan, al-Mughiirah, Ibnu Zubair, Ibnu Siiriin, Ibnu al-Musayyab, Sa’iid bin Jubair dan al- Nakha’ii, meluruskan tangan dalam shalat dan tidak meletakkan salah satu tangannya ke atas yang lain. Bahkan sebagian mereka, mengingkari/melarang orang yang melakukannya (sedekap).” (al-Mushannaf, 1/343; al-Majmuu’, 3/311; al-Mughnii, 1/549; Syarhu al-Kabiir, 1/549; ‘Umdatu al-Qaari, 5/279).

3- Imam Maalik bin Anas, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, sebagai salah satu imam madzhab Sunni, memakruhkan sedekap dalam shalat wajib. Pemakruhan imam Maalik ini, tidak lain karena memang tidak ada ajaran sedekap itu dalam islam.

Empat hal penting menyangkut Imam Maalik bin Anas ini:

  • a- Ia sebagai alim terbesar salaf yang tidak ada yang tidak mengenalnya.
  • b- Ia lahir hidup diantara th 93-179 H. Artinya, sangat dekat dengan jaman syariat. 
  • c- Ia tinggal di Madinah yang sebagai pembesar alim di kota tersebut.
  • d- Ia seorang yang sangat tsiqah/terpercaya.

Dari keempat hal di atas, maka pandangan beliau ini, sangat memiliki kekhususan. Artinya, dapat diyakini kebenarannya bahwa sedekap itu memang tidak diajarkan Nabi saww. Karena itu, ketika Maalik ditanya tentang sedekap dalam shalat, ia menjawab:

لا أعرفه في الفريضة

“Aku tidak mengetahui/mengenalnya dalam shalat wajib.” (al-Mudawwanah, 1/76).

Karena Nabi saww tinggal di Madinah, dan imam Maalik juga seperti itu, dan ia sangat dekat dengan jaman Nabi saww, ditambah sebagai alim besar di kota tersebut dan ditambah ketsiqahannya, maka dapat diyakini bahwa sedekap ini, bukan ajaran Nabi saww. Terlebih semua alim meriwayatkan bahwa madzhab orang-orang Madinah, adalah tidak sedekap dalam shalat.

4- Sebagaimana pentingnya pandangan imam Maalik terhadap sedekap ini, maka tak kalah pentingnya pandangan orang-orang Madinah kala itu. Karena Madinah, adalah kota tempat tinggalnya Nabi saww dimana orang-orangnya, sudah pasti lebih tahu tentang perbuatan beliau saww. Nah,karena imam Maalik juga mengambil dari sebelum-sebelumnya dari orang-orang Madinah, maka jelas pandangan penduduk Madinah adalah tidak bersedekap dalam shalat.

Allaamah al-Fudhail berkata:


“Perkataan Maalik itu (“aku tidak mengetahuinya”) memiliki arti bahwa tidak ada orang Madinah yang mengetahuinya –sedekap. Karena itu, orang madzhab Maaliki, semuanya tidak ada yang melakukan sedekap dalam shalat sampai hari ini. Dan para ahli fikih Maalikiyyah dalam kitab-kitab mereka, berkata: “Sesungguhnya meluruskan tangan dalam shalat itu, adalah ijma’/kesepakatan semua orang Madinah”. (al-Risaalataan, 9-10).

5- Riwayat shalat yang paling terkenal di Sunni, adalah hadits berikut ini dimana tidak menyebutkan adanya sedekap dalam shalat. Hadits ini, sangat penting. Karena perawinya yang juga shahabat (Abu Humaid al-Saa’idii) semacam sedang dites oleh 10 shahabat yang lain. Dalam riwayat ini, sama sekali tidak menyebut sedekap. Karena itu, sedekap itu, memang tidak pernah diketahui shahabat-shahabat Nabi saww.

  1. مارويعنأبي ُحَمْيٍدالّساِعِدّيفقد ُسِمع -وهوفي َعْشَرةمنأصحابالنبيصلىاللهعليهوآلهوسلم، منهم أبي قتادة الأنصاري،  ( وأبي هريرة، وأبي أسيد، وسهل بن سعد) -يقول :أنا أعلمكم بصلاة رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.
    قالوا :لم ؟ فالله ماكنت أقدمنا له صحبةً ولا أكثرنا له إتياناً.قال :بلى، قالوا :فاْعِرض .
    فقال :كان رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم إذا قام إلى الصلاة اعتدل قائماً ورفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه، فإذا أراد أن يركع رفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه، ثم قال :الله أكبر، وركع، ثم اعتدل، فلم  
    يصوب رأسه ولم يقنع، ووضع يديه على ركبتيه ( وفرج بين أصابعه ثم هصر ظهره 
    ثم قال :سمع الله لمن حمده، ورفع يديه واعتدل، حتى يرجع كل عظم في موضعه معتدلاً، ثم أهوى إلى الأرض ساجداً، ثم قال :الله أكبر، ثم جافى عضديه عن إبطه، وفتح أصابع رجليه، )وأمكن أنفه وجبهته وأمكن الأرض بكفيه وركبتيه وصدور قدميه( ثم ثنى رجله اليسرى وقعد عليها، ثم اعتدل حتى يرجعكل عظم
في موضعه معتدلاً، ثم أهوى ساجداً،
ثمقال:اللهأكبر،ثمثنىرجلهوقعدواعتدلحتىيرجعكلعظمفيموضعه،ثمنهض .ثمصنعفيالركعة الثانية مثل ذلك، حتى إذا قام من السجدتينكبر ورفع يديه، حتى يحاذي بهما منكبيه،كما صنع حين افتتح الصلاة،ثمصنعكذلكحتىكانتالركعةالتيتنقضيفيهاصلاتهأّخررجلهاليسرىوقعدعلىشقهمتوركاً، ) فافترش رجله اليسرى وأقبل بصدر اليمنى على قبلته ووضعكفه اليمنى على ركبته اليمنى وكفه اليسرى على
 ركبته اليسرى وأشار بأصبعه(، ثم سلم 

Abu Humaid al-Saa’idii ketika berada di hadapan 10 orang shahabat yang diantaranya Abu Qutaadah al-Anshaari (dan Abu Hurairah, Abu Asiid dan Sahlbin Sa’d) berkata: “Aku lebih tahu dari kalian tentang shalat Rasul saww.”

Mereka berkata: “Mengapa bisa begitu? Demi Allah kamu tidak lebih lama dari kami menjadi shahabat beliau saww dan tidak lebih banyak dari kami dalam mendatangi beliau saww.

Ia menjawab: “Benar”.

Mereka berkata: “Kalau begitu, paparkanlah!” Ia berkata:

“Ketika Rasulullah saww berdiri mendirikan shalat, beliau saww berdiri dengan tegap/lurus dan mengangkat kedua tangannya hingga sama rata dengan kedua bahu beliau saww. Kalau ingin melakukan rukuk, beliau saww mengangkat kedua tangan beliau saww sampai rata dengan kedua bahu beliau saww sambil mengucap ‘Allaahu Akbar’, lalu rukuk. Setelah itu beliau saww berdiri lurus lagi (I’tadala) tanpa merendahkan kepala beliau saww dan tidak menghinakannya. Lalu beliau saww meletakkan kedua tangannya di atas kedua lutut beliau saww (dan beliau saww membuka jemari-jemari beliausaww dan membungkukkan punggung beliau saww).

Kemudian beliau mengucapkan, ‘Sami’allaahu Liman Hamidahu’ sambil mengangkat kedua tangan beliau saww dan berdiri tegak hingga semua tulang-tulang beliau saww kembali ke posisinya seperti semula. Lalu beliau saww menjatuhkan ke tanah bersujud sambil mengucap ‘Allaahu Akbar’. Beliau saww menjauhkan kedua lengan bagian atas beliau saww dan ketiak beliau saww dan membuka jemari kedua kaki beliau saww (dan menyentuhkan hidung, dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut beliau dan ujung kaki beliau saww ke atas tanah). Kemudian beliau saww melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya dengan tegap hingga semua tulang pada posisinya, lalu melakukan sujud sambil mengucap ‘Allaahu Akbar’. Kemudian beliau saww melipat kaki kiri beliau saww dan duduk di atasnya dengan tegak hingga semua tulang kembali ke posisinya sebelum kemudian bangkit.

Kemudian beliau saww melakukan hal yang sama pada rakaat ke dua. Ketika beliau saww bangkit dari kedua sujud beliau saww, mengucap takbir sambil mengangkat kedua tangan beliau saww hingga rata dengan kedua bahu beliau saww seperti waktu memulai shalat. Begitu seterusnya hinggaketika sampai akhir shalat, beliau saww mengakhirkan kaki kiri beliau saww dan duduk menyamping dengan meletakkan kedua tangan beliau saww diatas kedua pangkal paha beliau saww (beliau saww menghamparkan kaki kiri beliau saww dan menghadapkan dengan dada beliau saww yang bagian kanan ke arah kiblat dan meletakkan tapak tangan kanan beliau saww ke atas lutut kanan beliau saww dan tangan kiri beliau saww ke atas lutut kiri beliau saww sambil menunjuk dengan jari telunjuk beliau saww) kemudian mengucap salam.”

(Riwayat ini diriwayatkan di: Turmudzi, 2/105, no. 304. Sedang yang dilengkapi dengan tulisan di dalam kurung, adalah riwayat yang diriwayatkan oleh: Shahih Bukhari, 2/11; Abu Daud, 1, no. 730-734; Nasai, 2/211; Ibnu Maajah, 1/337; Ibnu Khaziimah, 1, no. 587, 651 dan 700; Musnad Ahmad bin Hanbal, 5/424; Ibnu Habbaan, 5, no. 1866, 1867, 1869, 1870, 1871 dan 1876; Ibnu Abi Syaibah, 1/235; Sunan Baihaqi, 2/116).

Catatan Kecil:

a- Hadits ini dishahihkan oleh banyak ulama Sunni kecuali satu orang yang bernama Ibnu Hazm (al Muhallaa, 3/30) yang, sudah tentu ditentang oleh ulama-ulama Ahlussunnah yang lain.

b- Abu Humaid ini sedang menjelaskan penglihatannya tentang shalat Nabi saww kepada 10 shahabat yang lain yang sedang mengetesnya dimana sudah pasti kalau ada kekurangan, akan segera ditegurnya. Akan tetapi, mereka tidak menyalahkannya sama sekali sementara dalam penjelasannya itu, sama sekali tidak menyebut tentang sedekap. Karena itu, dapat diyakini bahwa Nabi saww tidak bersedekap ketika melakukan shalat.

Semoga tulisan pendek ini, dapat memberikan manfaat (amin) walau, topiknya tidak terlalu urgen/darurat/penting karena dari awal, yang melakukan sedekap, tidak menganggapnya sebagai kewajiban kecuali dari golongan orang awam agama, yaitu orang-orang yang tidak mengerti banyak tentang agama dan tidak mempelajarinya secara spesifik.

Yang jelas, tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan dan terlalu ringkas bagi pelajar agama. Tapi ia sudah cukup rinci dan bahkan bertele-tele dan bisa membosankan bagi orang umum. Semoga kekurangannya diampuni Allah dan dimaklumi serta dimaafkan antum semua, amin.

Tulisan ini telah ditulis sejak lama, tapi karena selalu melayani pertanyaan keseharian di dinding dan inbox, akhirnya menjadi terlantar. Karena itu, bagi yang merasa lama menunggu janji saya tempo hari tentang penjelasan sedekap ini, saya mohon maaf dan keridhaannya.

Dengan tidak membuka fb sama sekali di tanggal 27-10-2013, akhirnya penyelesaian akhir dari tulisan ini, dapat terselesaikan. Sudah tentu, tanpa ijin takwiniNya (pewujudan), tidak mungkin tulisan pendek ini selesai. Semoga saja Ia, sudi memberikan ijin tasyri’iNya terhadap tulisan yang tidak seberapa ini, hingga dapat menjadi pencerah bagi pencari pencerahan dan membuahkan keberkahan dunia dan akhirat kelak bagi alfakir sendiri dan bagi semua teman-teman budiman sekalian, amin.

Wassalam.


Artikel sebelumnya:
================


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 10 Desember 2019

Imam Ali as dan 40 Penolong


Seri tanya jawab Titan Rubiansyah dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 3:29 pm


Titan Rubiansyah mengirim ke Sinar Agama: (11-4-2013) Salam ustadz

Apa selama masa kekhalifahan AUU 26 tahun imam Ali tidak punya pengikut 40 orang sehingga dapat mengambil haqnya sebagai khalifah?


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

Mungkin saja tidak ada. Dan mungkin saja justru semakin tidak ada. Masih mending di awal-awal jaman khalifah pertama karena sempat ada yang datang lebih dari jumlah 40 itu. Tapi imam Ali as menyuruh mereka pulang dan menyuruh kembali lagi besok hari dengan pedang dan kepala digundul (supaya tahu siapa lawan dan kawan). Tapi ternyata tidak datang kecuali beberapa orang saja yang tidak sampai sepuluh orang.

Nah, setelah itu, berbagai intimadasi terjadi di awal-awal itu. Dan bahkan peperangan terjadi ke atas yang menentang mereka seperti shahabat sukuBani Tamiim yang bahkan beberapa shahabat dari suku ini, dibakar hidup-hidup di depan umum oleh panglima Abu Bakar yang bernama Khalid Bin Walid.

Dengan semua itu, maka mungkin saja mereka malah semakin takut. Bayangin, bukan hanya rumah hdh Faathimah bintu Nabi saww yang dibakar dan didobrak, tapi kitab-kitab hadits yang ditulis langsung di depan Nabi saww -pun dibakarin oleh mereka dan diberangus. Jadi, situasi kala itu sangat mencekam dan menakutkan. Begitu seterusnya.

Jadi, 40 orang yang merupakan Syi’ah hakiki yang tahan segala-galanya, bisa saja sangat sulit. Akan tetapi, mungkin saja setelah awal-awal masa sulit itu, karena pemerintahan sudah bergulir beberapa tahun dan bahkan sudah berganti khalifah ini dan itu, maka bisa saja maslahatnya sudahmenjadi lain hingga walau ada 40 orang, sudah tidak darurat lagi dan bahkan mungkin bisa saja akan terjadi mudharat yang lebih parah.

Bayangin, ketika imam Ali as jadi khalifahpun, ribuan orang dipimpin ‘Aisyah, Thalhah dan Zubair, menyerang imam Ali as dalam perang terbuka yang sempat menelan korban paling sedikitnya yang diakui Sunni berjumlah 13.000 orang (shahabat dan tabi’iin). Lah, kalau sudah jadi khalifah saja seperti itu, maka apalagi hanya dengan 40 orang.

Lagi pula, mungkin saja ada faktor lain. Misalnya, 40 orang itu akan cukup di awal-awal pemerintahan mereka itu karena belum ada kesiapan ketentaraan yang kuat. Tapi setelah itu, apalagi setelah memilki pasukan besar yang dapat menggilas Bani Tamiim, maka bisa saja angka 40 itu sudah tidak berlaku lagi.

Tapi bisa saja ada hal lain yang tidak bisa kita raba dengan akal dan hati yang banyak batasan ini. 
Wassalam.


1 Share

22 people like this.



Riri Thea: Nyimak.

Ela Hoor: Ustadz. Sinar Agama, Bisa dilengkapi penjelasan ustadz di atas dengan Sejarah kepemimpinannya Amirul Mukminin Saydina Ali RA versi syiah dan Sunni.

Sinar Agama: Ela, secara global, ketika Utsman terbunuh, maka seperti serempak kaum muslimin mendatangi imam Ali as dan berbaiat. Tapi imam menolak dan berkata, mengapa kalian tidak mencari selainku seperti selama ini? Orang-orangpun menjawab bahwa mereka sudah kapok dan sadar. Karena itu mereka tetap memaksa baiat. Dan akhirnya imam Ali as pun menerimanya.

Dikatakan sejarah bahwa waktu baiat itu, saking berduyun-duyunnya umat, maka mereka menyentuhkan tangan mereka ke imam Ali as seperti bulu-bulu binatang yang menempel di badannya.

Sinari Beta: Salam Ustadz SA maaf bertanya di sini, karena ana gak bisa nulis di wall antum, semoga antum selalu dalam kesehatan dan lindunganNya, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan :

1. Kadang-kadang sebelum mengaji saya mengirim alfatihah dulu kepada Rasulullah saww dan ahlulbaitnya as, kemudian baca shalawat 3x(niatnya untuk tabarruk saja), gimana hukumnya?

2. Saat saya membaca shalawat 100 kali, kadang saya niatkan dan berdo’a kepada Allah agar berkah dan pahala shalawat saya disampaikankepada masing-masing berikut dengan niat : 14 shalawat untuk ayah saya, 14 untuk ibu saya, 14 untuk istri, 14 untuk anak, 14 untuk para pecinta Rasulullah saww dan Ahlul baitnya as, 14 untuk orang-orang yang telah berbuat baik pada diri dan keluarga saya serta para guru-guru saya, sisanya untuk kaum muslim dan muslimat baik masih hidup maupun sudah meninggal. Apakah hukumnya amalan ini ustadz? Boleh kah? Aapakah akan sampai pahala dan berkah tersebut kepada masing-masing yang saya niatkan?

3. Bolehkah berzikir gak pake tasbih? Karena saya sering dengan menggunakan jari untuk menghitungnya, jarang sekali dengan tasbih.

4. Turba untuk shalat bolehkah dipakai bolak balik (karena bagian atas yang ada ukiran dan kaligrafi, dan bagian bawah polos saja)?

5. Saya pernah membaca bahwa dilarang berziarah di malam hari, apakah betul ustadz? Bila iya dilarang, gimana hukumnya dengan berziarah kemakam Rasulullah saww dan ahlulbaitnya as (baik dari dekat maupun dari jauh)?

Sekian dulu ustadz nanti nyusul lagi, semoga Allah meringankan beban antum dan memberkahi antum, Wassalam.


Sinar Agama: Sinari,

1- Hukumnya boleh saja dan akan mendapatkan pahala sunnah muthlaq/mutlak in'syaa Allah. Tentu asal tidak diniati sebagai kesunnahan dan, apalagi kewajiban dari agama.

2- Sangat boleh dan pahalanya akan sampai dan akan kembali kepada antum dengan lebih meningkat lagi.

3- Jelas tidak masalah.

4- Penggunaannya adalah bagian yang polosnya. Akan tetapi kalau dipakai bagian yang ada tulisannya, juga sama sekali tidak ada masalah.

5- Kalaupun ada larangan (saya sudah cari di puluhan kitab akan tetapi tidak mendapatkannya), maksimalnya adalah makruh. Akan tetapi menziarahi para makshumin as jelas tidak sama. Apalagi ada perintah-perintah khusus atau amal-amal khusus yang sangat umum dalam kitab- kitab doa, untuk berziarah pada imam as di malam hari. Misalnya di amalan-amalan malam Qadr dimana ada perintah sunnah untuk ziarah kepada makshumin as.

November 1 at 2:31pm via mobile · Like · 1



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 18 November 2018

Shahabat dan Perang Jamal






Seri tanya jawab Sufyan Hossein dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, December 20, 2012 at 12:35 am



Sufyan Hossein: Rabu: 26-9-2012, 

Salaamun alaikum... Ya ustadz Sinar Agama dan Akhi Sang Pencinta... 

Kemarin saya sudah membaca link-link diskusi dan catatan ustadz Sinar mengenai sejarah dan kronologi, dimulai sejak wafatnya Baginda Rasul SAWW, Pengangkatan khalifah pertama (yakni Abu Bakar), proses penyerbuan dan pembakaran rumah sayyidah Fatimah az zahra (as) sampai syahidnya Az Zahra (as)... Salam atasmu Ya Zahra... 

Kemarin ketika saya membaca sejarah itu, hati saya seperti terhenyak dan tersayat melihat penderitaan Ahlul Bayt(as) sepeninggal Rasul SAWW... 

Jika benar yang terjadi seperti itu, maka kecelakaan besarlah bagi orang yang menyakiti Ahlul Bayt (as)... Sungguh, saya baru mendengar kisah tragis ini, karena saya ini seorang Sunni, dan guru- guru saya ketika saya tanyakan tentang hal ini, beliau menjawab : Para shahabat ra adalah alim dan adil, baik ketika Rasulullah SAWW masih hidup maupun ketika Beliau SAWW telah wafat, dan pengangkatan dan pembaiatan khalifah, dari Abu Bakar , Umar, Utsman adalah ijma’ (kesepakatan) seluruh shahabat , termasuk Imam Ali as dan Hz Fatimah as... Dan ketika saya tanya kepada guru saya tentang sebab terjadinya perang jamal, beliau menjawab: setelah terbunuhnya khalifah Utsman, Aisyah menuntut kepada Imam Ali as, bahwa pembunuh Utsman harus segera diadili, namun Imam Ali as, berpendapat bahwa harus menunggu situasi kondusif dulu, baru pembunuh Utsman tersebut diadili... Menurut literatur Sunni, Imam Ali as dalam posisi yang benar... 

Namun ketika Aisyah menyadari kesalahannya ia lalu bertaubat. Di antaranya sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : Artinya : “Tidaklah terjadi kiamat itu sampai berperangnya dua kelompok besar dan dakwa (seruan) mereka satu.” (HR Bukhori dan Muslim).. 

Itulah salah satu tanda kecil kiamat kubro yang diprediksikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam-, bahwa akan terjadi peperangan antara 2(dua) kelompok muslim. Dan itu terjadi pada perang Jamal dan perang Shiffin. - Terjadinya Perang Jamal. Ketika amirul mukminin Utsman bin Affan terbunuh, keesokan harinya, orang-orang mendatangi Ali bin Abi Tholib untuk membaiatnya menjadi khalifah, akan tetapi Ali menolaknya. Ali berkata : sampai berkumpulnya manusia. Kemudian berkumpullah orang-orang, di antaranya Thalhah dan Az-Zubair. mereka membaiat Ali sebagai khalifah. 

Diriwayatkan bahwa Thalhah dan Az-Zubair meminta izin dari Ali untuk pergi umrah. dan ketika itu juga istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- baru menjalankan umrah dan kemudian tinggal di Mekkah karena terjadinya fitnah sampai terbunuhnya Utsman - rodhiallahu ‘anhu. kemudian Thalhah dan Az- Zubair menemui ‘Aisyah untuk dimintai pendapat mengenai hak atas darah Utsman. Maka ‘Aisyah setuju untuk menuntut hak pembalasan bagi para pembunuh Utsman. Kemudian datang Ya’la bin Umayyah dari Yaman ke Mekkah, dia adalah orang yang diangkat Utsman sebagai wakilnya di Yaman. dan mereka sepakat untuk pergi ke Basrah guna menuntut pembalasan atas para pembunuh Utsman. ‘Aisyah, Thalhah, Az- Zubair dan Ya’la dan 1000 pengendara kuda yang lain pergi ke Basrah. dan menyusul mereka 2000 orang lagi. ‘Aisyah menaiki onta yang diberi nama Askar yang ditelakkan di atasnya seperti rumah- rumahan. 

Suatu ketika mereka berhenti di salah satu sumber air milik Bani ‘Amir. kemudian ‘Aisyah mendengar lolongan suara anjing. ‘Aisyah bertanya kepada salah seorang dari mereka : telah sampai manakah kita? Maka dijawabnya : kita telah sampai “Jauab”. setelah mendengarnya ‘Aisyah berkata : lebih baik kita kembali. Orang- orang berkata : bagaimana anda kembali sedangkan menyetujui untuk pergi ke Basrah. Dan semua orang berharap agar anda dapat menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kita. ‘Aisyah tetap bersikeras meminta semuanya untuk kembali. Ditanya kenapa ingin kembali? ‘Aisyah menjawab: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- pernah menyampaikan kepada para istrinya bahwa salah satu dari kita akan pergi dan menjadi peserta dalam perang Jamal. Keluar dan sebagai tandanya adalah lolongan suara anjing di sumur “Jauab” yang akan terbunuh di kanan dan kirinya banyak orang. Diriwayatkan bahwa Ali telah pergi bersama 900 penunggang kuda lainnya. Ali ingin meminta pertanggungjawaban Thalhah dan Az-Zubair karena mereka telah membaiatnya akan tetapi sekarang malah pergi tanpa persetujuan darinya. 

Diriwayatkan sebelum dimulainya peperangan, Ali menemui Az-Zubair dan berkata: aku bersumpah kepada Allah, apakah kamu tidak ingat ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- berkata kepadamu bahwa suatu ketika kamu akan memerangi Ali sedangkan kamu dalam posisi yang salah (dholim). Az-Zubair berkata : aku lupa sejak dikatakan seperti itu. Maka aku sekarang tidak akan memerangimu. Az- Zubair kemudian pergi dan tidak ikut dalam peperangan. Abu bakrah pernah ditanya : kenapa anda tidak ikut pergi ketika orang pada pergi? Beliau berkata : aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- bersabda : “akan keluar sekelompok kaum yang akan binasa yang pemimpinnya adalah perempuan di neraka. 

“Hudzaifah bin Al-Yaman berkata : bagaimana kalian suatu ketika akan membiarkan orang-orang di antara kalian akan saling membunuh dalam dua kelompok? Orang- orang bertanya : wahai Abu Abdillah, apa saran anda jika kami ada ketika itu? Hudzaifah berkata : lihatlah kepada kelompok orang yang membela Ali, karena sesungguhnya mereka di atas kebenaran. 

Kesimpulan: Perang Jamal terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat orang-orang pada masa itu tentang penuntutan balas atas terbunuhnya Utsman dan pendapat Ali yang lebih mendahulukan untuk menata kembali negara yang telah berpecah setelah terjadinya fitnah. Para Ulama sepakat bahwa Ali berada pada posisi yang benar. Akan tetapi telah banyak riwayat yang meriwayatkan bahwa Aisyah dan para sahabat lainnya yang menentang Ali telah bertaubat setelah itu. Dan para ulama melarang kita untuk menyalahkan salah satu dari mereka karena mereka adalah para sahabat Nabi –shalallahu ‘alaihi wasallam- dan mereka telah bertaubat. Dan karena sulitnya keadaan waktu itu, karena fitnah sedang menyebar di antara mereka. # Rujukan 

Fath Al-Bari fi Shohih Al-Bukhori, karya Ibnu Hajar Al-Asqolani. Al-Bidayah Wa An-Nihayah, karya Ibnu Katsir, 

Mohon Pencerahan ya ustadz, Jazakallah khairan 

— dengan Sinar Agama dan Sang Pencinta

Sufyan Hossein: Tentu saya tidak taqlid buta terhadap peristiwa di atas, saya ingin sekali dan berharap dapat penjelasan dari ustadz Sinar tentang kronologi perang Shiffin menurut pemahaman mazhab Ja’fari.. Supaya akal sehat saya dapat menimbang mana yang mendekati kebenaran.. 

Sang Pencinta: Sembari menunggu respon ustadz Sinar, izinkan saya komentar sedikit, secara logika sederhana jika ada dua pihak yang berperang, maka satu pihak berada di kebenaran, pihak lain salah, apala... 

{**}Ghadir Khum{/**} 

arsipsinaragama.com 

Sufyan Hossein: Salah seorang sahabat bercerita, “Suatu hari Rasulullah saw pergi bertamu. Di tengah jalan tampak Husain sedang bermain-main dengan anak sebayanya. Rasulullah menghampirinya karena ingin memangkunya, tapi Husain malah berlarian ke sana kemari. Rasulullah saw tertawa- tawa dan akhirnya berhasil menangkap Husain as. Kemudian Rasulullah mencium bibir Husain sambil mengatakan, ‘Husain bagian dariku dan aku bagian dari Husain. Sesiapa yang mencintai Allah pasti mencintai Husain as “’. 

Jabir mengatakan, “Aku melihat Hasan dan Husain sedang duduk di atas punggung Rasulullah saw. Rasulullah kemudian berjalan-jalan di atas tangan dan lututnya sambil mengatakan, ‘Unta kamu adalah unta terbaik dan barang yang dibawanya adalah barang yang ”terbaik”. Rasulullah saw adalah penyayang anak-anak bahkan ketika melakukan shalat pun beliau tidak mau mengecewakan anak-anak kecil. Salah seorang sahabatnya bercerita, “Kami sedang bersama-sama Rasulullah saw melaksanakan shalat, tiba- tiba Husain masuk. Ketika Rasulullah sujud, Husain menunggangi punggung Rasulullah. Rasulullah kemudian dengan hati-hati mendudukkan Husain di sampingnya. Setelah selesai shalat, kami bertanya kepada Rasulullah, Rasul menjawab bahwa Husain as adalah wewangianku.” 

Anas bin Maalik bertanya kepada Nabi saww: “Ahlulbait yang mana yang paling kamu cintai?” Nabi saww menjawab: “Hasan dan Husain.” (lihat riwayat-riwayat seperti ini atau semakna di: Shahih Turmudzii, jld. 2, hal 306; Faidhu al-Qadiir, jld. 1, hal. 138; Thabari dalam Dzakhaaitu al-’Uqbaan ya, hal 122; Kunuuzu al-Haqqaiq , hal. 5; Majma’ Haitsamii, jld 9, hal 175) 

Sufyan Hossein: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya. Dengan membaca pertanyaan di atas secara cepat dan global, maka sekedar untuk menambahi yang sudah-sudah: 

a- Sudah sering saya katakan bahwa ‘Aisyah itu salah satu pembenci Utsman dan sampai-sampai menyuruh orang-orang untuk membunuhnya. Misalnya riwayat-riwayat sebagai berikut: 

فلقد قالت عائشة: اقتلوا نعثال فقد كفر 

Berkata ‘Aisyah: “Bunuhlah Na’tsal (si Bodoh, maksudnya Utsman) karena ia telah kafir!” 

Lihat di: al-Futuuh, karya Ibnu A’tsam, 1/64; al-Mustarsyid, karya Ibnu Jariir Thabari, 165 (di sini malah ada sumpah ‘Aisyah bahwa ia bersaksi bahwa Utsman itu adalah bangkai di shiraathalmustaqiim); Taariikh Ibnu Atsiir, 2/206; al-Siiratu al-Halabiyyatu, 3/286; Tafsiir Aluusii, 16/108; Taariikh Thabari, 3/477; al-Kaamil fi al-Taariikh, 2/28, 3/100; 

Coba perhatikan kata-kata ‘Aisyah di tafsiir Aluusi ini (16/108): 


Ia -’Aisyah- adalah orang yang merangsang umat untuk membunuh Utsman dan berkata: 

“Bunuhlah si bodoh itu, karena ia telah berbuat fajir seperti orang-orang Yahudi dan dijuluki si bodoh.” 

Hingga ketika ia -Utsman- terbunuh dan umat membaiat Ali, ia -’Aisyah- berkata: 

“Aku tidak perduli apakah langit akan jatuh ke bumi, demi Allah, ia -Utsman- telah dibunuh secara teraniaya dan aku adalah orang yang menuntut darahnya.” 

Karena itulah, salah satu shahabat yang lain yang bernama Ibnu Ummu Kilaab mendebat ‘Aisyah. Perhatikan nukilan sejarah Sunni (yang di atas itu juga semuanya riwayat Sunni) Tariikh Thabari, 3/477 dan al-Kaamil Fii al-Taariikh, 2/28 dan 3/100 ini: 

.....kemudian ia -’Aisyah- menuju Makkah dan berkata: 

“Demi Allah, Utsman telah dibunuh secara aniaya, demi Allah aku menuntut darahnya.” Berkata kepadanya Ibnu Ummu Kilaab: 

“Demi Allah, mengapa demikian? Bukankah kamu yang pertama kali berpaling darinya -Utsman- dan kamu berkata: ‘Bunuhlah si bodoh karena ia sudah kafir?” 

Ia -’Aisyah- menjawab: 

“Sesungguhnya orang-orang itu memintanya bertaubat kemudian membunuhnya. Aku memang pernah berkata seperti itu dan orang-orang juga berkata seperti itu. Akan tetapi kata-kataku yang akhir ini, lebih bagus dari kata-kataku yang pertama.” 

Kemudian Ibnu Ummu Kilaab berkata padanya: 

“Dari kamu permulaannya dan dari kamu juga perubahannya ....”. 

b- Kalau diperhatikan, maka permusuhan ‘Aisyah dengan Utsman itu hakiki hingga karena itu ia menyuruh orang-orang untuk membunuhnya. Dan perlu diketahui, bahwa banyak sekali shahabat yang tidak mau kepemimpinan Utsman dan bahkan tidak mau shalat di belakangnya (lihat semua sejarah Sunni). 

Akan tetapi, karena umat berbondong-bondong membaiat Imam Ali as setelah terbunuhnya Utsman, di mana beliau as ini musuh paling utamanya ‘Aisyah, sebagaimana tertuang di hadits-hadits dan sejarah-sejarah Sunni, maka ‘Aisyah berubah haluan dari membenci Utsman menjadi membelanya. 

c- Ketika Imam Ali as menjadi khalifah, sudah seharusnya ditaati oleh semua orang. Kalau di jaman Abu Bakar, orang yang tidak bayar zakat ke pusat pemerintahan Abu Bakar dan membaginya sendiri saja, sudah dianggap kafir dan diperangi serta sebagian mereka dibakar hidup-hidup oleh jenderalnya Abu Bakar, yaitu Khalid bin Walid, maka bagaimana dan apa hukumnya bagi orang yang tidak ikut kebijakan Imam Ali as dan bahkan memeranginya dengan pedang dan pasukan? 

d- Tidak terima kepada keputusan khalifah yang syah, di samping sudah merupakan pelanggaran, kalaulah dianggap kebenaran juga, bukan berarti tuntutannya adalah melawan dengan pedang dan perang, hingga paling sedikitnya korban yang jatuh di perang jamal itu, sesuai dengan tariikh Sunni, sebanyak 13.000 shahabat dan taabi’iin. 

e- Sejarah hitam ini, merupakan kenyataan yang tidak bisa disangkal. Sementara taubat masing- masing orangnya, merupakan hal yang masih diperselisihkan. Terlebih lagi, taubat dari darah (membunuh), adalah qishash (dibunuh), bukan istighfaar. 

f- Ketika para shahabat itu saling berperang dan berbunuh-bunuhan dalam peperangan, bukan dalam perkelahian, di mana jelas ribuan orang melawan ribuan orang dan terjadi beberapa kali, maka yang paling sedikit bisa ditarik pelajaran darinya adalah bahwa mereka tidak bisa lolos sensor hadits. Karena sekali bohong saja haditsnya sudah dianggap dha’if, apalagi membunuh. Mengkritisi shahabat saja sudah dibilang kafir, apalagi membunuh dan bahkan membakar hidup-hidup shahabat. 

Maksud saya, adalah kita tidak bisa memukul rata bahwa semua riwayat yang ada dari mereka itu dikatakan shahih hanya dengan alasan bahwa mereka itu shahabat Nabi saww. 


g- Perkataan bahwa hal itu sudah diprediksi Nabi saww dan sebagai tanda-tanda hari kiamat, bukan berarti peperangan itu direstui Nabi saww dan sama-sama benar. Dengan demikian, maka kritikan dan kejelian terhadap masalah-masalah di atas, sangat diperlukan, karena kita harus memilih hadits mana yang mau kita ikuti dan hadits mana yang tidak boleh kita ikuti. Yakni hadits dari kelompok mana yang harus diikuti dan yang mana harus ditolak atau, setidaknya tidak dikomentari tapi tidak diikuti. Apakah kita akan mengikuti riwayat-riwayat yang diperangi atau yang memerangi, yang membunuh atau yang dibunuh...dan seterusnya. 

Intinya, kita tidak boleh mengorbankan akhirat kita hanya dengan semboyan-semboyan belaka walau, sudah tentu kita harus saling menghormati dalam arti tidak mencemooh dan tidak menindas orang-orang yang berpendapat lain. 

h- Taubat para penyerbu kepada Imam Ali as, kalaulah benar, hanya dijadikan sebagai pengesah keshalihan mereka oleh para pengikut mereka. Tapi tidak dijadikan ibrat dan penerapan secara konsekuensi kepada kehidupan beragama kita. Buktinya, tetap saja ketika berbicara tentang perang Jamal (misalnya), mereka-mereka ini tetap mengangkat dalil-dalil para penyerbu itu. Sementara ketika mereka-mereka ini mengatakan bertaubat, kan mestinya bertaubat dari semua jalan berfikir sampai kepada penyerbuan itu. Tapi anehnya, taubat itu hanya dijadikan supaya para shahabat itu tetap dihormati, tapi di lain pihak, ucapan dan dalil-dalil mereka untuk berontak itu, tetap dipakai sampai sekarang ini.

i- Semua shahabat alim dan semacamnya, sangat-sangat tidak relevan sama sekali. Kok bisa sama-sama alim saling berperang dan berbunuh-bunuhan dan, itupun sering kali dan dalam peperangan antara ribuan shahabat dengan ribuan yang lainnya (baca: bukan perkelahian biasa dan personal). Lah, kalau alim sama alim seperti ini, maka sebaiknya kita jangan menjadi orang alim, supaya tidak saling bunuh.

j- Kronologis setiap peperangan, hampir sama, baik yang diriwayatkan Sunni atau Syi’ah. Yang beda itu adalah cara menatap sejarah tersebut. Kalau di Syi’ah ditatap sebagai suatu kejadian yang harus diambil ibrat/pelajaran terutama dalam penyaringan hadits shahih dan tidak. Tapi di Sunni, biasanya dijadikan peristiwa masa lalu yang tidak boleh dibahas lagi karena mereka sama-sama adil, sama-sama alim dan sama-sama masuk surga. Walhasil.... 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ