Tampilkan postingan dengan label Ikhtiar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ikhtiar. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Desember 2019

Takdir


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=217527048292099 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 13 Juli 2011 pukul 16:43


Alie Ntu Vharug: Assalamualaikum.

Ustad. Saya mau tanya. Apakah yang terjadi di dunia ini sudah takdir tuhan dan apakah rejeki, mati, jodoh itu ditentukan tuhan ? Jika semuanya sudah ditentukan kepada kita, kenapa kita masih harus berikhtiyar ?

Rabu, 11 Desember 2019

Banyak Shalat dan Kewajiban


Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 4:05 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: (13-4-2013) Assalamu ‘alaikum wr...wb.sholawat. Ustadz, afwan. Fiqih tentang sholat bila dilakukan sesering mungkin, apakah efek yang paling utama bagi jasadi & ruhani musholi. Apakah kita boleh memaksakan diri untuk sering melakukan sholat seperti Imam Ali Zaenal Abidin Sa. bagaimana tips-tips agar ketika sedang sholat benar-benar mampu merasakan bahwa kita sedang berhadapan dengan Sang Maha Agung. Mohon penjelasan berkaitan dengan pernyataan ‘barang siapa yang mengejar dunia maka dunia akan berlari, lalu Imam Ali Amiril Mukminin yang telah mentalaq dunia justru dunia menghampiri & bertekuk lutut di bawah telapak kakinya’. Bagaimana proses siapa saja yang mengurus agamaNYA maka Allah Swt akan memenuhi seluruh kebutuhan hamba tersebut. Apakah kita mesti menganggap dunia sebagai bangkai yang menjijikan seperti pernyataan suami Hadrat Fatimah Azzahro Sa dalam Nahjul Balaghoh. Motivasi apa yang memicu Ustadz berikhtiar sedemikian keras hingga detik ini.

Zu Baida, Anita Zahra, dan Etika Maria menyukai ini.


Sang Pencinta: Salam, 108. Khusyu Oleh Ustadz Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=217527258292078
, 219. Apakah Bisa Kita Manusia Biasa yang penuh dosa Menembus Hijab yang tebal dalam sholat seperti para imam Makshum..Oleh Ustad ...Lihat Selengkapnya
Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama 

Sang Pencinta:
http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/355710674473735/ ,

800. Penjelasan Kalimat ‘’Hisablah Dirimu Sebelum Hari Penghisaban Itu Datang’’ Oleh Ustadz Sinar Agama:

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/404613026250166/ , 1161. O...Lihat Selengkapnya

Sang Pencinta: http://www.facebook.com/notes/sinar-agama/makna-puasa-hati-seri-tanya-jawab-mata-jiwa-dg-sinar-agama/541916892485530

Makna Puasa Hati, seri tanya jawab Mata Jiwa dengan Sinar Agama

Bismillaah: Makna Puasa Hati Mata Jiwa mengirim ke Sinar Agama 6-11-2012 Salam.....Lihat Selengkapnya


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

1- Jawaban saya sama dengan yang sebelum-sebelumnya.

2- Kalau dunia ini bangkai menjijikkan, maka antum jangan memakannya.

3- Sebegitu berharganya rejeki Tuhan sampai-sampai para imam mencium roti yang dihidang- kannya.

4- Dunia itu adalah cinta kita kepadanya, bukan alam yang berupa Tajalli dari Jamal dan Jalal Allah itu.

5- Kenapa antum tidak mengambil hadits imam Baqir as yang rajin mencangkul di ladang di siang hari sementara badannya agak gemuk sampai-sampai pencintanya ketakutan beliau as akan pingsan atau mati dan menasehatinya untuk tidak melakukan hal itu. Lalu beliau as menjawabbahwa hal itu adalah perintah Tuhan (untuk mencukupi diri dan keluarga dan tidak meminta kepada orang lain) dimana beliau as katakan bahwa kalau beliau as mati kala itu, maka akan terhitung syahid????!!!!!!

6- Nasi dan uang itu bisa menjadi dunia dan bisa menjadi Wajah Tuhan. Kalau antum cintai maka itulah dunia dan kalau antum tidak mencintainya dan hanya mencintai Allah hingga sama sekali tidak terikat kepadanya dan tidak tertarik, hingga hanya dibelanjakan dalam jalan Tuhan dan kepentingan agama dan sosial, maka itulah akhirat.

7- Satu lagi, MALAS BEKERJA DAN TIDAK BERIKHTIAR MENCARI REJEKI UNTUK DIRI DAN KELUARGA- NYA, ADALAH BUKAN HANYA HAKIKAT DUNIA ITU, TAPI MALAH DARI JENIS TERBURUKNYA YANG BAHKAN LEBIH BURUK DARI DAGING BABI BAGI MANUSIA.

8- Satu lagi, malas membaca penerangan-penerangan yang sudah dipaparkan dan dihantar sampai ke rumah-rumah, jelas merupakan dunia yang mungkin lebih buruk dari semuanya (Tulisan ini hanya untuk keilmuan, bukan untuk antum).

9- Orang kalau sudah mengamalkan fikih, maka di sana cara khusyuk dan semacamnya sudah diterangkan. Seperti memahami yang dibaca. Seperti meninggalkan semua dosa. Seperti benar dalam thaharah, wudhu, mandi dan shalatnya itu sendiri....dan seterusnya.


Tambahan:

Shalat sunnah yang banyak, kalau melepaskan tanggung jawab yang lain, bukan hanya tidak berpahala, akan tetapi bisa saja batal dari awal dan bisa dosa. Misalnya, banyak shalat sunnah, sementara istri dan anaknya kelaparan.

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 29 September 2018

Maqam Kenabian dan Imamah dengan Ikhtiar atau usaha ?

Maqam Kenabian dan Imamah dengan Ikhtiar/ usaha (mengenal waktu manusia dan matahari)




Seri: Tanya-jawab Rico dengan Sinar Agama

by Sinar Agama (Notes) on Saturday, April 9, 2011 at 11:44 am



Rico Cori : Afwan numpang tanya: Apakah rosul itu berupaya dari kecil sehingga setelah umur 40 baru diangkat? Atau bagaimana?

Sinar Agama: Rico, benar demikian. Dalam Islam yang sebenarnya, Nabi saww tidak pernah dibedah dulu hingga dikeluarkan syethannya dari dalam hati beliau. Tapi beliau dengan bimbingan ibu, kakek dan pamannya, tidak pernah melakukan penyembahan berhala dan mengikuti dengan benar agama nabi Ibrahim as. Tapi kehebatan beliau dalam taat itu, melebihi kedua orang tuanya, kakek dan pamannya Abu Thalib. Karena orang-orang kafir jazirah Arabpun mengakui kehebatan beliau saww hingga dari sejak muda sudah dijuluki al-Amiin. Al-amiin ini, memiliki makna luas. Karena buat apa jujur kalau mencuri, khianat, membunuh, judi, zina, .... dan semacamnya. 

Jadi, julukan al-Amiin itu mengandungi makna yang luas dari arti Jujur itu. Nah, itulah dalam Syi’ah diharuskan bahwa calon nabi itu harus makshum (tidak melakukan dosa dari agama sebelumnya) sejak dari kecil. Karena kalau melakukan dosa, akan dilecehkan orang lain setelah nantinya mengaku sebagai nabi dan utusan Tuhan. 

Akan tetapi kehebatan dan kemakshumannya itu harus dengan ikhtiarnya sendiri. Sebab kalau dengan dicuci Tuhan, seperti dibedah dadanya, maka orang lain akan melecehkannya, atau setidaknya orang lain tidak akan maksimal mengikutinya, sekalipun beliau dan Tuhannya mewajibkan untuk mengikutinya. 

Mengapa demikian? 

Karena umatnya akan berkata: Bagaimana kita bisa mengikutinya, lah ... wong beliau dibedah dadanya hingga mudah melakukan taat dan menjauhi maksiat. Sementara kita-kita yang kotor ini, bagaimana bisa mengikutinya? 

Karena itu, di kalangan saudara-saudara Sunni sering ada kata “kita manusia biasa yang tidak luput dari dosa”. Padahal makshum itu wajib bagi semua orang. Karena menjauhi dosa dan melakukan kewajiban itu adalah wajib dan yang tidak melakukannya menjadi dosa dan maksiat. Sementara maksiat, hukumnya, wajib ditinggalkan. 

Dengan demikian, maka makshum itu wajib bagi setiap manusia, bukan hanya atas Nabi saww. saja. 

Banyak dalil dari keikhtiaran akhlak mulia Nabi saww sebelum menjadi nabi dan layak. Diantaranya, adalah Tuhan sendiri mengatakan bahwa beliau saww adalah uswah hasanah. 

Lah.....bagaimana menjadi uswah hasanah kalau beliau dicuci dadanya dari syethan sementara umatnya tidak dicuci? Apa bisa yang kotor mengikuti yang bersih? Bukankah Tuhan mengatakan bahwa Ia tidak memerintah manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya? 

Dalil yang lainnya adalah, kalau umat Islam bisa mengikuti sepuluh persen saja dari ketaatan Nabi saww (padahal Tuhan mewajibkannya seratus persen untuk menaati beliau di banyak sekali ayat Qur'an), maka umatnya akan lebih afdhal dari beliau saww. Karena sekalpun beliau saww taat seratus persen, tapi dengan bantuan Tuhan, sementara umatnya tdk dengan bantuanNya (seperti cuci dada dari syethan). Dengan demikian 10 persen ketaatan umat, jauh lebih berharga dari 100 persen ketaatan beliau saww. Dengan demikian maka yang layak menjadi contoh yang baik adalah umat bagi Nabi saww, bukan sebaliknya. 

Rico Cori: Syukron, kalau begitu rosul bisa menceritakan banyak hal dari jaman sebelum Adam as sampai nabi Musa as, siapa yang mengajari? 

Sinar Agama: Pelajaran-pelajaran seperti itu, kalau tidak ada perubahan dari kitab-kitab yang ada dari agama sebelumnya, maka didapat dari ayah, ibu atau kakek serta pamannya. Artinya cerita- cerita dasar, seperti tentang nabi Ibrahim as dan bangungan Ka’bah, dan semacamnya. Akan tetapi yang jauh lebih detail dari agama-agama lama itu, maka biasanya Nabi saww tahu langsung dari Allah setelah kenabian. Jadi cerita-cerita dasar itu didapat seblum kenabian, dan didapat dari orang tua serta keluarganya yang memang bertauhid (hal ini bisa dibuktikan dengan sejarah Sunni sekalipun, seperti tauhidnya Abu Thalib dsb, seandainya kalau bukan hadits seperti Abu Hurairah yang tidak pernah ketemu dengan bayang-bayang Abu Thalib sekalipun itu yang telah merusaknya hingga berkata beliau kafir). Lah ... emangnya Nabi saww itu begitu lahir langsung jadi nabi? 

Karena itulah mungkin logika bedah dada itu dicipta mereka. Yakni supaya memutus hubungan Nabi saww dengan keluarganya dalam ketauhidan hingga dikira semua keluarga nabi pada kafir semua, tapi Nabi saww tidak pernah kafir karena dibedah jantungnya, bukan kerena pelajaran keluarga. Maka terjadilah apa yang terjadi. Semua itu dibuat oleh keluarga Abu Sufyan atau Mu’awiyah, supaya keluarga Nabi saww nantinya dianggap sama seperti keluarga dia yang kafir. 

Padahal tidak demikian. Yakni keluarga Nabi saww itu orang-orang yang bertauhid, Abdullah dan siti Aminah kedua orang tua Nabi saww, kakek yang mengasuhnya begitu pula Abu Thalib yang mengasuhnya setelah itu, semua orang-orang itu adalah orang-orang beriman yang tidak pernah menyekutukan Tuhan dengan berhala-berhala. Tapi karena keluar Abu Sufyan dendam pada Nabi saww karena banyak yang terbunuh karena Nabi saww di peperangan antara muslim dan kafir, maka dibuatlah apa yang ada di sebagian sejarah Sunni atau riwayat-riwayat Sunni itu. Bayangkan saja ada hadits, bahwa Rasulullah saww bersabda: “Aku memohon pada Allah untuk diijinkan memintakan ampun untuk ibuku tapi Tuhan tidak memperkenankannya, tapi Ia mengijnkanku untuk menziarahi kurburnya.” Padahal dalam isyarat Qur'an dan hadits-hadits yang banyak dan shahih, cahaya Nabi saww itu (bibit beliau saww) diestafetkan oleh Allah pada sulbi-sulbi yang bertauhid dan rahim yang suci dari kemusyrikan dan buruk akhlak. 

Kesimpulannya: Tentang kisah-kisah nabi terdahulu yang bersifat dasar, begitu pula tentang pelajaran tauhid dan semacamnya, termasuk shalat yang dari nabi Ibrahim as yang hanya berdiri dan berdoa lalu sujud (tanpa rukuk), ,,,, dan seterusnya dimana semua itu besifat dasar, maka biasanya didapat dari keluarga dan sebelum kenabian. Tapi yang detail, biasanya didapat dari wahyu Allah setelah kenabian. Wassalam. 


Rico Cori: Kalau rosul berupaya untuk menjadi nabi, bagaimana upaya al mahdi untuk menjadi imam? 

Sinar Agama: Untuk menjadi nabi, rasul dan imam, tidak bisa sembarangan dan tidak pula diundi oleh Tuhan. Tapi berdasar pada potensi yang ada pada manusia itu. Karena itu saya pernah karena di suatu tulisan fb ini yang entah dimana, bahwa ditunjuknya nabi Muhammad saww sebagai nabi, bukan karena di tanah arab paling jahiliyyahnya tempat. Karena jelas di Indoesia, secara sepintas sangat mungkin lebih jahiliyyah lagi. Karena tidak ada sisa-sisa agama nabi Ibrahim as, dan kalau dilihat keberadaan bangsa yang kita lihat sekarang ini, maka Indonesia tidak biasa menyanjung kejujuran dan bahkan dianggap bodoh. 

Misalnya kita menjual barang dan menceriterakan keburukan barang-barangnya itu, atau duduk di DPR lalu tidak terima amplop apapun selain bayaran bulanannya ...dan seterusnya... maka biasanya dianggap bodoh, atau setidaknya tidak ada yang menolaknya atau tidak ada yang menceritakan keburukan barangnya itu. Dilihat dari sisi ini, maka Indonesia tentu lebih jahiliyyah. Karena sudah menyembah batu, ditambah lagi dengan tidak menyanjung kejujuran (tentu dengan pantauan bangsa kita sekarang ini). 

Beda dengan bangsa Arab waktu itu, di samping mereka masih punya sisa-sisa tauhidnya nabi Ibrahim as, shalat dan hajinya nabi Ibrahim as serta puasa dan semacamnya, mereka sangat menyanjung kejujuran. Karena itulah Nabi saww dijulukinya dengan al-Amin. Bangsa Arab sekarang juga seperti itu, karena itu di sana ada kebangkitan, karena harga diri masih sangat disanjung tinggi. Yakni harga diri dalam arti positif. Beda dengan bangsa kita. 

Karena itu, maka dipilihnya seorang nabi dari bangsa Arab, bukan karena keterjahiliahannya, karena banyak bangsa lain yang lebih parah dari mereka. Akan tetapi karena orang yang layak jadi nabilah yang ada di jazirah Arab pada waktu itu, yaitu junjungan besar kita kanjeng nabi kita Muhammad saww. 

Sampai di sini, saya hanya mengulang dan berusaha memantapkan posisi dan dalil gamblangnya terhadap bahwa seorang nabi itu mesti lewat dasar potensi dan kelayakan, bukan undian atau ketentuan paksa Tuhan. Karena itu juga, maka tidak perlu pakai bedah-bedah dan dimana kalau pakai bedah, maka tidak akan diikuti umatnya karena tidak mungkin yang tidak dicuci menyontohi yang dicuci dadanya. Ini dasar pertama tentang usaha menjadi nabi dimana sebenarnya cita-cita itu tidak ada pada pelakunya. Karena yang ada tidak lain hanyalah iman dan pengabdian pada Tuhannya baik secara langsung atau melalui sosial manusia. 

Usaha-usaha menjadi orang beriman dan taqwa alias taat ini, juga diistilahkan menjadi insan kamil. Jadi, usaha para nabi dan imam itu, bukan untuk menjadi nabi dan imam atau rasul, tapi menjadi hamba sempurna atau budak sempurna. 

Setelah mereka itu mencapai budak sempurna itulah, baru nanti diadakan pemilihan oleh Tuhan, baik dari sisi waktu atau orangnya. Artinya apakah jaman eks (x) itu harus ada nabi dan apakah harus diambil dari budak sempurna yang itu atau yang ini, semuanya itu tergantung padaNya sesuai dengan Ilmu dan HikmahNya. Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa potensi kenabian atau menjadi nabi, rasul dan imam itu adalah ikhtiari, tapi penentuannya adalah Ilahi atau keputusan dan ketentuanNya. 

Usaha-usaha mereka itu, tentu sudah diketahui olehNya sebelum penciptaan sekalipun. Seperti ilmuNya tentang siapa-siapa dari kita yang menjadi muslim dan kafir, Sunni dan Syi’ah ... dan seterusnya. Semua itu diketahuiNya. Inilah makna tertulisnya semua kejadian di Lauhul Mahfuuzh itu, sekalipun daun yang jatuh di tengah malam. Jadi, ada kejadian-kejadian yang memang ditentukan Allah, seperti api panas, matahari bersinar dan memberikan energi panas ke bumi ...dan seterusnya. Tapi ada pula kejadian-kejadian yang diketahuiNya itu tidak berdasar pada ketentuanNya, tapi berdasar pada ikhtiar manusia, seperti menjadi muslim dan tidaknya, taat dan tidaknya dan seterusnya itu. 

Nah, dari Ilmu-ilmuNya tentang manusia-manusia itu, dimana di dalamnya terkadang terdapat manusia yang akan mencapai budak sempurna, dan dari Ilmu-ilmuNya tentang kondisi sosial manusia pada jamannya manusia-manusia yang mencapai budak sempurna itu, maka disitulah Tuhan memutuskan (sebelum penciptaan) untuk memilih orang-orang yang berhasil itu untuk menjadi nabiNya dan menentukan kadar ajaran yang akan diajarkan padanya dan umatnya. Karena itualah sering Allah memberitakan tentang nabi besar kita Muhammad saww pada nabi Adam as sekalipun hingga beliau pernah bertawassul padanya (lihat di banyak tafsir Sunni tentang dilemparkannya kalimat-kalimat padanya dari Allah) dan begitu pula kepada nabi-nabi yang lain. Padahal belum ada ikhtiar dan keputusanNya belum de fakto. Tapi karena IlmuNya itu pasti, maka Ia memastikan penentuaNya itu. Jadi Ia tahu pasti siapa-siapa yang berhasil dan siapa-siapa yang dari mereka itu yang akan dipilih menjadi nabi karena kesesuaiannya dengan jamannya artinya bertepatan pada jaman yang memerlukan nabi. 

Nah, salah satu kunci banyak masalah, adalah IlmuNya tersebut tentang siapa-siapa yang akan berhasil tersebut dan yang akan diangkat jadi rasul atau imam tersebut, salah satunya, adalah ilmunya tentang masa depan seorang bocah yang diketahui pasti olehNya akan menjadi insan budak sempurna dan di jaman yang memerlukan nabi atau imam. Dimana kuncinya? Kuncinya di masalah-masalah dimana Allah, karena kondisi tertentu, telah mengangkat seorang bayi misalnya, untuk menjadi nabi, seperti nabi Isa as. 

Dalam peristiwa nabi Isa as ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan: 


(1). Ibunya as sedang dicurigai orang bahwa anaknya itu hasil dari hubungan yang haram. 

(2).    Tidak ada saksi tentang datangnya malaikat dan tentang kesuciannya. 

(3). Tidak bisa ditangkisnya tuduhan-tuduhan mereka itu dengan cara apapun kecuali mukjizat. 

(4). Karena itulah, maka Tuhan memberikan mukjizat kepada nabi Isa as bukan atas dasar ikhtiar dan usahanya. Tapi atas putusan Tuhan yang disebabkan kondisi di atas itu. Yakni, dari satu sisi Allah tahu bahwa nabi Isa as akan menjadi anak yang taat dengan ikhtiarnya sendiri hingga mencapai maqam budak hakiki itu. Ilmu Tuhan ini, ditambah dengan 4 poin di atas itu, maka terjadilah apa yang terjadi seperti yang dikisahkan dalam Qur'an itu. Yakni memberinya mukjizat berupa bisa bicara walau baru berumur beberapa hari, dan mengangkatnya sekaligus seorang nabi. Tentu saja de fakto pemerintahan batin kenabiannya belum berlaku. Karena itu orang-orang belum wajib taat padanya sampai beliau as mengerti sebagaimana manusia yang lain. Akan tetapi, pangkat itu sudah diberikan pada waktu itu, demi membersihkan ibundanya dari tuduhan dan demi memudahkan orang menerimanya di kemudain hari dan demi hal-hal lain dimana hanya Tuhan yang tahu. 

Ketidak-de-faktoan pemerintahan batin nabi Isa as pada waktu itu, disebabkan ketidakperluan adanya. Karena pada jaman itu masih ada nabi Zakariyya as. 

Masalah imamah ini tidak beda dengan masalah kenabian di atas. Pertama harus dengan ikhtiar untuk mencapai insan kamil atau budak hakiki Tuhan itu. Ke dua, diketahui olehNya seblum penciptaan alam sekalipun. Ke tiga, diperlukannya secara darurat pada jamannya. 

Karena itu, tidak heran Nabi saww sudah mengatakan akan adanya 12 imam itu sekalipun mereka belum lahir semua. Karena itulah di Bukhari dan Muslim sangat jelas dikatakan oleh Nabi saww bahwa setelah beliau saww akan ada 12 imam. Apalagi di Yanaabii’u al-Mawaddah diterangkan nama-nama mereka dari imam Ali as sampai imam Mahdi as yang, lengkap dengan julukannya masing-masing. Lihatlah kehebatan Allah dan Nabi saww dalam memberitakan 12 imam yang dengan julukannya itu. Karena kalau hanya nama, orang-orang bisa menyangka-nyangka bahwa nama anaknya dicocokkan oleh ayahnya ke nama-nama yang ada di riwayat tersebut (kepada anaknya). Tapi kalau julukan, khayalan seperti itu tidak ada lagi. Karena julukan itu muncul dari masyarakat yang memberikannya berdasarkan kepada apa yang mereka lihat sendiri dari yang akan diberikan julukan padanya. Persis seperti kita menjuluki teman-teman kita dengan si kepet, si pinter, si kemayu, si PD, si filosof, si pemarah ...dan seterusnya dimana muncul dari kejadian- kejadian terulang dan masyarakat sendiri yang membuatnya tanpa adanya suatu rapat kampung sebelumnya. Yakni seperti disepakati bersama. Begitu pula dengan julukan-julukan para imam yang disebut Nabi saww jauh-jauh sebelum kelahiran mereka, seperti al-Sajjad, al-Baqir, al- Kazhim, al-Mahdi ...dan seterusnya. 

Jadi, tentang imam-imam ini dapat dikatakan bahwa: 


(1). Tuhan tahu siapa-siapa yang akan mencapai derajat budak hakiki, yakni makshum hakiki. 

(2) Mereka itu hanya berjumlah 12 orang. 

(3). Mereka itu tidak perlu diangkat menjadi nabi dan rasul, karena agama yang dibawa Nabi saww, sudah agama yang paling sempurna yang bisa mengantar manusia ke tingkat yang paling tinggi dan bisa mengimbangi kemajuan teknologi apapun karena dimensi agama adalah acuan karakternya dimana akhirnya kemajuan itu hanya bersifat alat kerja yang tidak beda dengan alat-alat sebelumnya dari sisi hubungannya dengan karakteristik manusia. Karena itu tidak perlu nabi baru. 

(4) Akan tetapi dari sisi keharusan terjaganya agama akhir itu secara seratus persen, dari kemungkinan penyelewengan dan kesalahpahaman (sengaja atau tidak), maka sudah pasti diperlukan penjaga agama yang makshum, maka mereka yang hanya 12 itu dipilihNya menjadi penerus alias penjaga ajaran Nabi saww. 

(5). Karena sifat makshum ini, tidak bisa diketahui manusia yang hanya tahu lahiriah dan itupun dalam batas-batas tertentu, maka sudah tentu Tuhan secara niscaya mesti mengumumkannya pada manusia melalui Qur'an dan NabiNya. Karena itulah banyak sekali ayat yang menyuruh kita bertanya kepada yang tahu, mengikuti imam (seperti taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasul dan pemimpin diantara kamu = QS: 4:59), atau melarang kita mengikuti yang punya dosa atau tidak makshum (dan jangan ikuti yang berdosa dan kafir = 76: 24), atau firmanNya tentang tidak bisa menyentuh Qur'an kecuali orang suci (dan tidaklah bisa menyentuh Qur'an itu kecuali orang-orang yang suci -dari dosa = QS: 56: 79), atau (sesungguhnya penguasa kalian itu adalah Allah, Rasul dan orang-orang beriman yang melakukan shalat dan membayar zakat dikala rukuk = QS: 5: 55) atau perintah Tuhan kepada kita untuk meminta jalan lurus yang tidak sesat atau salah sedikitpun (wa laa al-dhaalliin) yang mana tidak mungkin tanpa orang makshum dimana berarti orang makshum itu ada karena Tuhan memerintahkan kita memintanya.... dan seterusnya. Begitu pula kalau dilihat dari hadits yang banyak sekali. Baik yang menyatakan bahwa mereka itu imam (artinya makshum karena kalau berdosa dilarang untuk ditaati secara mutlak sebagaimana ayat di atas tadi) ...dan seterusnya. 

(6). Sewaktu-waktu imam penerus masih kecil dikala imam sebelumnya sudah syahid. Akan tetapi mereka memang sudah mencapai derajat budak hakiki itu. Jadi tidak perlu penjelasan seperti nabi Isa as. Karena itu, imam Mahdi sewaktu ditinggal ayahandanya masih berumur sekitar 5 tahun matahari. Hal ini, tidak perlu penjelasan seperti pada peristiwa nabi Isa as karena nabi Isa as masih dalam gendongan waktu itu, sedang imam Mahdi as sudah umur 5 tahun matahari. Karena itu perlu penjelasan yang lain. Karena itu perlu adanya beberapa mukaddimah sbb:

(a). Jaman atau waktu, bukanlah putaran matahari. Karena kalau matahari maka di matahari tidak ada waktu. Karena di sana tidak ada siang dan malam, tapi bahkan seluruhnya siang.

(b). Dalam filsafat dan hakikat keberadaan atau kenyataan niscayanya, waktu itu adalah “ukuran gerak atau proses”. Karena itu setiap benda memiliki waktunya tersendiri. Misalnya pohon pendek ke pohon tinggi, anak ayam ke ibu ayam, telur ke anak ayam, mani ke manusia ... dan seterusnya. Mereka itu memiliki volumenya sendiri. Karena itu, dua biji yang ditanam dalam bersamaan, dikala yang satu lebih tinggi dari yang lainnya, maka volume waktunya yang lebih tinggi itu secara hakikat (bukan ukuran putaran matahari) lebih banyak dari yang lebih pendek. Dan karena ia lebih banyak, maka waktunya lebih banyak. Karena waktu adalah volume gerak. Jadi yang volumenya lebih banyak, maka dialah yang lebih banyak waktunya secara hakiki dan filosofis. 

(c). Karena volume gerak dan proses itu adalah waktu baginya, maka yang volumenya geraknya lebih banyak dari yang lainnya, maka dia lebih banyak waktunya. Dan karena lebih banyak waktunya maka ia lebih tua dari yang lainnya. Karena itu, maka pohon yang lebih tinggi di contoh itu lebih tua dari yang lebih rendah, sekalipun diukur dengan putaran matahari jelas sama. Karena sama sekian hari misalnya. 

(d). Sekarang kita lihat contoh dari imam kita, misalnya imam Hasan as dan imam Husain as. Pada waktu mereka sakit, imam Ali as dan siti Faathimah as bernadzar untuk puasa 3 hari kalau kedua anaknya sembuh. Setelah sembuh imam Ali as dan Siti Faathimah as melakukan puasa nadzar. Akan tetapi pada waktu itu mereka tidak punya apa-apa untuk dijadikan makan buka dan sahur. Karena itu imam Ali as berhutang kepada orang tepung gandum seukuran buka tiga hari. Antum lihat, yang nadzar itu kedua orang tuanya, akan tetapi kedua putra yang masih di bawah 5 tahun itu ikutan puasa. Namun, sebelum mereka berbuka, ada orang mengetuk pintu dan mengatakan kelaparan sekali. Imam Ali as dan siti Faathimah as memberikan roti mereka dan mereka hanya berbuka dengan air. Antum lihat kedua anak yang masih di bawah 5 tahun ukuran matahari ini juga memberikan roti mereka hingga mereka juga hanya berbuka dengan minum air. Esoknya peristiwa itu terulang lagi dengan pengemis yang lebih parah dan lebih lapar dari mereka. 

Begitulah, peristiwa itu berlanjut sampai tiga hari dimana mereka puasa dimana buka dan sahurnya hanya air belaka yang disebabkan rotinya yang pas-pasan itu diberikan kepada orang yang lebih membutuhkannya. Karena itulah maka langit tergetar dan akhirnya Tuhan mengabadikan peristiwa tersebut dengan satu surat yang bernama “Al-Dhar” atau “al-Insaan”. Antum lihat, imam Hasan as dan Husain as kala itu masih di bawah 5 tahun matahari, tapi gerakan proses keinsanan mereka mengalahkan yang berumur seratus tahun sekalipun. Karena itu imam Hasan as dan Husain as yang di bawah 5 tahun matahari itu jauh lebih tua dari kita yang sudah bungkuk-bungkuk sekalipun. Hal itu karena gerakan mereka lebih jauh yang, karenanya volume gerak mereka lebih banyak yang, karenanya merka lebih tua secara hakikat niscayanya hakikat keberadaannya. 

Rico Cori: Afwan, bukankah alam semua diciptakan karena engkau ya Muhammad SAW. 

Sinar Agama: Rico, semoga antum orangnya bukan orang yang terburu-buru yaitu yang meloncat dari bahasan yang belum selesai ke topik yang lain. Nah, untuk urusan keimamahan itu saya sudah selesai menjawabnya yang, kesimpulannya adalah: Bahwa karena yang mencapai maqam imamah dengan ikhtiarnya itu hanya 12 orang, maka hanya mereka yang layak jadi imam, karena imam harus makshum. Dan karena sertelah imam 12 tidak ada lagi orang makshum, maka terpaksa imam ke 12 itu dipanjangkan umurnya, walaupun dighaibkan (tidak diperkenalkan saja, bukan jadi angin) karena menghindari kejaran Bani Abbass yang membunuhi imam-imam sebelumnya dari ahlulbait sebagaimana telah dibunuhi juga oleh Bani Umayyah. 

Tetang alam dicipta demi Muhammad saww itu mudah. Antum sekolah dan kuliah untuk apa? Jawabannya untuk menjadi sarjana dan bekerja. Lalu pertanyaan berikutnya, apakah titel sarjana dan pekerjaan antum itu sudah ada sebelum antum sekolah TK,... SD, SMP dan SMA? Jawabnya pasti tidak bukan? Nah, hal ini dalam filsafat disebut dengan sebab tujuan, bukan sebab keberadaan. Sarjana dan bekerja, adalah sebab tujuan, sedang seperti mani dan ovum atau SD untuk SMP adalah sebab keberadaan. Dan sebab tujuan ini, ada sebelum adanya penuju, tapi keberdaannya bukan di alam nyata, tapi hanya di alam ilmu. Tapi sebab keberadaan lebih awal dalam wujud nyata. Jadi, sarjana lebih awal dari SD dan SMP dalam ilmu, tapi SD dan SMP lebih awal dari sarjana di alam wujud dan kenyataan. 

Nah, kesebaban Nabi saww untuk penciptaan alam ini, bukan kesebaban wujud nyata, tapi sebab tujuan. Yakni kalau dalam Ilmu Tuhan tidak ada orang yang mencapai maqam yang dicapai oleh Nabi saww maka Allah tidak akan mencipta alam ini karena menjadi sia-sia dan atau setidaknya kurang afdhal. Tapi karena ada orang yang mencapainya dengan susah payah dan ikhtiarnya sendiri hingga membuat seluruh malaikat tinggipun terperangah karenanya, maka Tuhan berkehendak mencipta alam ini. Jadi, kemaqaman Nabi saww dalam ilmu Tuhan, adalah tujuan dan ada sebelum alam (tapi dalam bentuk ilmu) tapi keberadaan Nabi saww sudah tentu setelah alam ini dicipta, manusia dicipta, .... dan seterusnya sampai ke orang tua beliau dan akhirnya sampai ke beliau saww sendiri. Jadi beliau mendahului semuanya dalam Ilmu Tuhan, tapi belakangan dari sisi keberadaannya. 

Wassalam. 

Haidar Dzulfiqar, Hidayatul Ilahi and 34 others like this. 

Dharma Dharma Narendra: Ustadz, ana izin share .... syukron. 

Angga de Lova

1. Apakah benar tidak akan ada lagi yang makshum setelah 12 imam tersebut? 

2. Apakah sebelum imam makshum yang 12 ada jabatan/pangkat imam juga? Karena setahu saya yang namanya ummat pasti ada imam-nya. 

3. Apakah keluarga Kanjeng Nabi saww mengikuti ajaran nabi ibrahim? Kenapa tidak mengikuti ajaran nabi Isa as?

4. Apakah kenabian berakhir karena agama Islam adalah agama paling sempurna? 
Kalau demikian kenapa agama sebelumnya tidak/kurang sempurna?

5. Jikalau proses penentuan/pengangkatan nabi didasarkan pada manusia yang telah mencapai maqam insan kamil dan Allah memilih diantara mereka (para insan kamil) yang notabene pencapaian insan kamil adalah secara ikhtiari/proses, kenapa Nabi Isa as diangkat menjadi nabi karena terpaksa melindungi Ibunya yang tertuduh padahal beliau (nabi Isa ra) belum berproses menjadi insan kamil secara de facto bahkan beliau belum mengerti sebagaimana manusia lain? Ataukah memang proses menjadi Insan Kamil tersebut tidak perlu secara de facto, tetapi cukup secara/menurut Ilmu Tuhan saja, jikalau demikian apakah itu (proses/ ikhtiar yang belum de facto) bisa disebut dengan istilah proses/ikhtiar? 

Di Arab ada fiqih yang mengatur tidak boleh bersetubuh dengan hewan, yang bagi masyarakat indonesia perbuatan itu sangat sangat aneh dan tidak mungkin terpikirkan oleh manusia normal. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Dharma, silahkan saja. 

Sinar Agama: Angga: 

(1). Mengingat Tuhan hanya mengabarkan kepada kita melalui NabiNya bahwa imam itu hanya 12 orang, maka bisa dipastikan bahwa makshum di umat Nabi saww hanya 12 orang. Karena itulah maka umur imam ke 12 dipanjangkan secara terpaksa. Karena kalau masih ada yang lain, maka tidak perlu adanya perpanjangan umur itu.

(2). Di jaman sebelum Islam, biasanya selalu ada imam, walau derajatnya tidak seperti imam dalam Islam. Yakni adanya wali-wali Tuhan yang mencapai insan Kamil. Karena tanpa khalifatullah di muka bumi, maka alam ini bisa berantakan. 

(3). Keluarga kanjeng Nabi saww mengikuti ajaran nabi Ibrahim as karena ajaran itu yang ada di jazirah Arab yang, kemungkinan sampai saat itu belum terselewengkan. Ka’bah dan zamzam merupakan peninggalan nabi Ibrahim. Tentu saja penyelewengan itu ada, tapi dalam perakteknya yang muncul akibat adanya promosi perdagangan yang demi menyenangkan kabilah-kabilah yang berdagang dengan orang-orang Arab, maka patung-patung suku-suku yang ada itu diijinkan untuk meletakkan tuhan-tuhan/patung-patung mereka di Ka’bah. Tapi ajaran nabi Ibrahim as, tidak tercemari sama sekali, tidak seperti ajaran nabi Isa as. 

Apapun kemungkinan-kemungkinan yang ada, yang terpenting adalah bahwa ajaran tauhid nabi Ibrahim sebegitu menggetar alam ini, maka beliau as dijuluki bapak tauhid. Karena itu layak untuk menjadi ikutan dan panutan. Walaupun, sekali lagi, agamanya itulah yg ada di Jazirah Arab kala itu, atau setidaknya agama asli di sana. 

(4). Agama berakhir dengan Islam karena agamanya sudah sempurna. Dan agama-agama sebelumnya belum sempurna, karena umatnya, walau dalam potensi, belum bisa diajak ke maqam yang paling tinggi dalam kehidupan dunia dan akhirat. Artinya, peradaban mereka belum memiliki potensi untuk menapaki kesempurnaan tertinggi. Apakah bisa hijab itu wajib di jaman nabi Adam as?

(5). Ilmu Tuhan tentang manusia ini sudah ada sejak sebelum ada sejak/waktu. Dan ilmuNya yang mendahului kita tidak berbeda dengan IlmuNya setelah kita. Jadi, orang yang akan berikhtiar nanti itu, sama dengan keberikhtiarannya. Artinya sudah pasti akan demikian, karena IlmuNya tidak mungkin salah. 

Nah, ketika IlmuNya demikian, lalu ada hal-hal sebelum kenabian seseorang yang membuat harus diambilnya jalan keluar yang tidak bisa tidak, harus menyangkut dengan pangkat kenabiannya, maka tidaklah bertentangan dengan akal gamblang adan hikmahNya, kalau Tuhan mendahulukan ganjaran, pahala dan pengumuman pangkat kenabiannya yang akan dicapainya nanti, sebagaimana yang telah terjadi pada nabi Isa as. 

Antum merasa aneh orang bersetubuh dengan binatang di Indonesia? Saya justru merasa aneh dengan keanehan antum ini. Sekitar tahun 1991-1992 saja pernah dimasukkan ke TV di Indonesia, akan adanya sapi yang berwajah manusia yang ia dalam keadaan menangis. Bagi yang memelihara kambing atau sapi, hal seperti itu, sangat bisa saja terjadi. Bahkan menurut cerita pelaut di Indonesia, ikan pari juga tidak luput dari kumpul kebonya orang Indonesia itu (eh kumpul ikan ya... berarti). 

Tentu saja saya tidak bisa memastikan kejadian-kejadian itu, yakni akan adanya kumpul kebo, kumpul kambing atau kumpul ikan pari, tapi setidaknya cerita itu ada. Nah, karena itulah saya heran dengan herannya antum. 

Jadi, tdk heran kalau dalam fikih Islam ada rincian hukum terhadap peristiwa di atas itu, misalnya binatangnya jadi haram (sudah tentu kalau ikan pari memang haram dari awal karena tidak bersisik). Kotorannya menjadi najis ... dsb. 

Kalau boleh gurau, mestinya antum takut sedikit, jangan-jangan dalam Islam ada hukum yang mengatur orang yang merasa aneh dengan keanehan hukum Islam? he he he ....gurau... sudah tentu semua orang boleh merasa aneh terhadap apapun sekalipun hukum Islam. Akan tetapi ditanyakan kepada yang tahu untuk mencari kebenaran dan filsafatnya atau hikmahnya. Dan antum sudah melakukan hal yang baik itu, yakni ibadah yang sangat menyangkut pribadi antum sendiri yang, mungkin juga menyangkut orang lain. Yang jelas, antum telah melakukan sesuai dengan yang diperintah Tuhan. Hal itu karena kalau tidak ditanyakan, akan membuat keraguan dan membuat hati kita diombang-ambing syethan hingga lambat laun kepercayaan kita kepada Islam menjadi hilang. 

Wassalam. 

Abuzahra Gagah: Ijin share ya ustadz. 

Angga de Lova: Waalaikum salam ya ustadz..terimakasih atas pencerahannya. Mengenai yang terakhir , itu hanyalah sebagian dari sikap nasionalis saya yang tergetar ketika uztadz mengatakan di Indonesia mungkin lebih jahiliyah daripada di Arab pada waktu itu..ya mungkin salah juga tetapi harap maklum..hehehe. syukron. 

Sinar Agama: Ternyata Indonesia masih lebih jahiliyyah kan, karena ada ikan parinya he he... jangan sebut onta ya... karena Indonesia masih lebih karena meliputi binatang darat dan laut .... he he ... 

Mujahid As-Sakran: Ijin share ustadz, afwan. 

Anarko Individualis: As....... Afwan ustadz, bukankah nabi Muhammad saww adalah yang ke dua setelah ALLAH, kemudian dia adalah yang terpilih, gimana maksudnya ustadz........?? 

Sinar Agama: Mujahid, ok silahkan. 

Sinar Agama: Anarko, ke duanya Rasulullah saww itu karena usaha beliau saww mencapai derajat tinggi tersebut. Dan justru karena usaha beliau saww itulah maka beliau saww layak disanjung, dicintai dan dipilih menjadi seorang rasul. Kalau semua diberiNya, maka apa kelebihan beliau saww hinngga perlu kepada kepengutamaanNya? 

Muhammad Shullahuddin: Yah manusia ada kalanya menghayalkan sesuatau untuk bisa menjadi nyata, ingat sebelum ada pesawat orang menghayal untuk bisa terbang dikemudian hari khayalan tersebut jadi nyata. Orang berkhayal ingin terbang ke bulan khayalan itupun menjadi nyata adanya. Agama islampun dan Nabi muhammad sekalipun seorang penghayal besar dengan khaayalanya tersebut akan menjadi nyata dikemudian hari, ustadz sinar agama juga berkhayal tentang insan kamil, surga, neraka, imam 12 bahkan akan ada khayalan lagi mungkin akan datangnya imam mahdi yang ditunggu tunggu kaum siah dan setelah lebih dari 14 abad keberadaanya belum terbukti masih dengan kahyalan mereka yang entah sampai kapan berhasil menjadi nyata. Manusia dibekali oleh Allah berupa akal fikiran dari mereka berfikir inilah timbul berbagai angan angan khayalan dan jangan mengatakan khayalan ini suatu yang negatif ndak (kecuali angan-angan kosong alias ngelamun yang tidak didasari ilmu) khayalan merupakan dasar dari ilmu pengetahuan adanya segala sesuatu alat teknologi. 

Tanpa mengurangi yang sinar sampaikan ada betulnya juga, Nabi ikhtiar dan berusaha menjadi Nabi sejak masa kanak-kanak tentu memiliki cita cita dan tujuan menjadi Nabi dan rosul maka Nabi berusaha keras untuk mencapainya dengan berbagai ikhtiar dan usaha diantaranya pergi beruzlah di dalam gua hira sampai datangnya malaikat Jibril as dan Allahpun mengabulkan segala ikhtiar dan cita cita Nabi untuk menjadi Nabi dan rosul. Sebab Nabi berdoa dan memohon untuk dijadikanya Nabi dan rosul begitu mungkin yang bisa saya tambahkan. 

Kayak anak-anak jaman sekarang bila ditanya apa cita citanya menjadi dokter, nah mungkin Nabipun waktu kecil tidak dibedah namun ditanya malaikat apa cita cita mu nak menjadi Nabi dan rosul pak malaikat. Nah dengan ikhtiarnya sendiri akhirnya Nabi mencapai apa yang dicita citakan. Kemudian waktu perang badar Nabi juga ihtiar sendiri untuk kemenangan kaum muslim dan Allahpun mengabulkan doanya, kemudian Nabi memiliki cita cita lagi untuk bisa isro’ mi’roj bertemu Allah maka keinginan inippun dikabulkan oleh Allah karena ikhtiar dan usaha Nabi sendiri. Tanpa campur tangan Allah semua cita cita Nabi dikabulkan Allah karena ikhtiar dan usahanya sendiri. Allahpun hanya tinggal acc its oke aja semua. Dan karena ikhtiarnya Nabi sampai sampai Allah sendiri mebacakan sholawat untuk beliau. Sungguh fantastis usaha dan ikhtiar Nabi tanpa diistimewakan Allah menjadi istimewa sendiri. Tanpa campur tangan Allah Nabi menjadi rosul sendiri, tanpa campur tangan Allah Nabi bisa isro’ mi’roj, sungguh hebat Nabi kita semua hanya ikhtiarnya. 

Yustanur: Terimakasih atas penjelasan ustad yang panjang lebar ini semoga dirhidoi Allah swt, namun untuk lebih memudahkan pemahaman saya tentang uraian ustad di atas saya mohon dijelaskan bagaimana menurut pandangan Shiah tentang Takdir, wassalam. 

Sinar Agama: Yustanur, takdir yang bermakan nasib manusia itu tidak ada dalam Islam, yang ada hanya di agama Hindu, Budha, Masehi dan lain-lainnya. 

Kalau Yustanur ingin tahu, maka sudah kutulis di catatanku yang berjudul “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah” bagian ke 2, kalau yang bagian 1-nya adalah tentang ke-Tuhanan. 

Sinar Agama: Muhammad, kamu kurang jeli membaca tulisan, mungkin karena dari awal kamu sudah merasa benar sendiri. Itu adalah hak antum, tapi tolong baca tulisan orang dengan memaksudkan maksud penulisnya. 

(1). Tidak ada orang bercita-cita jadi nabi dan rasul atau imam. Yang ada adalah orang ingin menjadi insan Kamil, alias budak Tuhan secara hakiki, dengan melakukan taat dan menjauhi keburukan maksiat serta rasa kepemilikan kebaikannya (karena budak, tidak memiliki apa- apa). 

(2). Nah, dari dari yang taat itu, kalau Tuhan berkehendak maka dipilh menjadi utusanNya, dan kalau tidak maka sebaliknya. 

(3). Jadi suatu yang sangat ngawur ketika orang mengatakan bahwa seseorang berkhayal dan menginginkan menjadi nabi, imam. Justru inilah yang bisa dikatakan hakikat ngelantur dan mengkhayal itu. 

(4). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa potensi menjadi nabi itu, yakni budak Tuhan secara hakiki itu, adalah ikhtiari manusia, tapi pemilihannya untuk menjadi rasul dan nabi atau imam tergantung kepada Tuhan.

(5). Sedang imam 12 tidak beda dengan kerasulan, yakni ia dipilih Tuhan dari orang yang telah berikhtiar menjadi budak hakikiNya. Dan sudah sering dijelaskan bahwa 12 orang ini adalah diketahui Tuhan sebelum penciptaan sekalipun. Karena itu diumumkan bahkan kepada nabi Adam as. Apalagi kepada nabi Muhammad saww. 

(6). Karena itu 12 imam itu bukan khayalan, tapi berita Tuhan melalui Nabi saww yang diriwayatkan oleh shahih Bukhari hadit ke: 7222 dan 7223; shahih Muslim hadits ke: 3393 dan 3394 dan 3398; dan kitab-kitab shahih lainnya. 

(7). Kalau antum ya...Muhammad mengatakan bahwa 12 imam itu adalah khayalan, berarti antum telah memfitnah Nabi saww berkhayal dan bukan sedang memberitakan ilmu Tuhan. 

(8). Dalam hadits yang lain, seperti di Yanaabii’u al-Mawaddah (kitab Sunni), dikatakan bahwa imam ke 12 itu akan dighaibkan (ditidakkenalkan) oleh Tuhan sebegitu lamanya sampai- sampai orang-orang merasa berat mengimani keberadaan dan kelahirannya, lalu dikeluarkan (diperkenankan untuk mengenalkan diri) dengan ijianNya untuk meratakan keadilan di muka bumi ini. 

(9). Di Bukhari juga dikatakan bahwa nabi Isa akan turun membatu imam 12 itu, begitu pula dikatakan di Bukhari bahwa keduanya itu akan memerangi Dajjal. Apakah semua ini khayalan? 

(10). Ketahuilah ya... Muhammad, kalau imam makshum itu tidak ada, maka jalan lurus itu juga tidak akan ada. Bagaimana mungkin jalan lurus yang dikatakan dalam Fatihah sebagai jalan yang tidak dhaaliin sedikitpun yakni tidak salah sedikitpun, tapi di lain pihak orang yang makshum ilmu dan amalnya tidak ada? Apakah bisa jalan yang tidak salah sedikitpun itu ada, tanpa adanya orang yang memiliki ilmu Islam yang lengkap dan semua benar? Kami yang berkhayal atau kamu yang berkhayal beragama Islam hakiki?

(11). Pelengkap, nabi Nuh as saja, hanya dalam berdakwahnya saja, memakan waktu 950 tahun yang, berarti umurnya sendiri tentu melebhi 1000 tahun. Nabi Yunus as saja ketika dimakan ikan, Allah berfirman dalam QS: 37: 143-144: “Kalau ia bukan termasuk orang-orang yang ahli bertasbih, maka Kuletakkan di perut ikan itu sampai hari kiamat”

(12). Apakah nabi Nuh as yang umur lebih dari 1000 tahun, atau nabi Yunus as yang kalau Tuhan berkehendak akan diletakkan di dalam perut ikan dari jamannya itu sampai hari kiamat tiba, merupakan khayalan? 

Coba muslimin tidak memburu imam Mahdi as untuk dibunuh sebagaimana 11 imam sebelumnya yang dibunuhi oleh khalifah-khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas dan didukung oleh muslimin yang mengingkari imam makshum, maka sudah pasti imam Mahdi as tidak perlu dipanjangkan umurnya dan dighaibkan. 

Tapi karena yang terjadi sebaliknya, maka terjadilah apa yang terjadi. Dan semua ikhtiar manusia ini, sudah diketahuiNya sejak sebelum alam ini dicipta. Jadi, berita-berita tentang imam 12, panjangnya umur imam ke 12, dsb, adalah berita-berita ghaib dari IlmuNya yang diberikan kepada NabiNya saww. Jadi, bukan ketentuanNya, tapi beritaNya. 

Wassalam. 


Yus Ta Nur: Terimakasih ustad anda telah menjawab pertanyaan saya, dan saya telah membaca tulisan yang anda anjurkan, namun sepertinya apa yang anda sampaikan baru sebatas kemampuan akal anda semata sepertinya seakan-akan anda lebih mampu menjawab permasalah ini dari pada Rasulullah dan Alguran, kenapa saya katakan demikian anda amat sedikit sekali merujuk pada Hadist dan Alquran ataupun pendapat ulama-ulama terdahulu ....mohon maaf yang sebesar besarnya. Wassalam. 

Sinar Agama: Yustanur, yang kujelaskan itu adalah dari Qur'an dan Hadits. Tentu saja Qur'an dan hadits yang dipahami dengan akal yag argumentatif. Ghini aja, mana menurutmu yang bertentangan dengan keduanya? Apakah kamu sudah tahu semua Qur'an dan hadits, hingga mengatakan keduanya tidak menjelaskan dan aku yang menjelaskan dan anda mengatakan aku lebih tahu dari keduanya? 

Ki Fuat Damahcom Gaikutenentangaruz: Lanjutkan, top abis. 

Yus Ta Nur: Baiklah ustad jawaban anda yang terakir ini mengisyaratkan bahawa anda telah mengkaji semua kandugan Alquran dan Hadist sehingganya Akal argumentatif anda telah sampai pada sebuah keyakinan yang kuat pada diri anda, sehingganya dengan mudah sekali anda mengatakan Takdir itu tidak ada di dalam Islam yang ada hanya di agama hindu` namun walaupun demikian halnya perihal tentang anda saya tetap merujuk pada diri Rasullullah dalam mencapai kesempurnaan dan kerasulannya baru setelah mencapai usia 40 tahun adanya, artinya baginda melalui proses yang sangat panjang hampir-hampir sepenuh hidupnya.. namun Beliau tetap tawaduk wassalam. 

Sinar Agama: Yustanur, Anda mau belajar ke siapa, itu terserah Anda. Karena hal itu adalah hak Anda hidup. Anda mau belajar ke Rasulullah saww yang ala Anda, atau ala saya, itu mah....terserah saja. Yang saya ingin tekankan, jangan sesekali mengatakan bahwa Tuhan dan Rasul serta Qur'an dan Hadits yang Anda kenal itu, sudah pasti Tuhan, Nabi saww, Qur'an dan hadits. 

Nah, kita-kita ini, tidak ada yang mau ikut jin atau kitab-kitab komik, semua mau mengikuti Tuhan, Nabi saww, Qur'an dan hadits. Akan tetapi yang mana? Yang kita persepsikan, atau yang Anda persepsikan? Karena itulah diskusi itu gunanya mencari Tuhan, Nabi saww, Qur'an dan Hadits yang lebih akurat. Setidaknya, sudah merupakan usaha. 

Tapi kalau masing-masing kita sudah merasa bahwa Tuhan yang ia kenal, Nabi saww yang ia kenal, Qur'an dan hadits yang ia kenal, sudah pasti benar, maka sebaiknya ngaku nabi saja. Kan tidak begitu kan? 

Saya sendiri bisa dikatakan belajar di pesantren sudah puluhan tahun dan tidak pernah kerja kecuali belajar, bukan main-main kan? Akan tetapi saya tetap tidak memperdulikan siapapun, termasuk diri saya sendiri, kecuali argument yang benar dan jelas. Artinya, apapun yang saya tahu, belum tentu benar. Memang, yang aku pegang, walaupun sebatas “rasa” dan argumentasi semampunya, sudah dirasakan dan diyakini benar, yakni sudah sesuai dengan argument akal, Qur'an dan hadits. Akan tapi, tetap saja bisa salah. Nah, kalau sudah terbukti salah, mengapa saya harus sayangi dan menolak yang benar itu? 

Karena itu, anjuranku padamu, cari terus dan renungi dengan adil, serta berdoa padaNya, untuk mendapatkan dan memilih yang benarnya. 

Yustanur, kalau suatu saat, antum merasa ingin curhat dan berdebat denganku, maka pintuku tetap terbuka dan aku tidak akan pernah jadi nabimu, yakni yang memaksakan pandangannya padamu. Tidak akan. Anggaplah aku saudaramu yang bisa diajak ngobrol, bertengkar dan semacamnya, asal masih dalam koridor bertengkar dengan kakak atau adik, bukan musuh. Bertengkarlah denganku kalau perlu, tapi doakan aku dalam sela-sela munajatmu supaya aku mendapat kebenaranNya. 

Tentu saja, kalau semua diskusi dilakukan dengan lebih santun, tentu lebih bagus, dan aku juga senang. Tapi bagaimanapun, harus tetap kritis. 

Atau begini saja, pandangan mana dari pandanganku yang kamu inginkan ayatnya, maka insya Allah akan kutunjukkan ayatnya. Semoga aku mampu. 

Sedang tentang takdir terhadap nasib manusia yang kamu yakini, ayat itu, dicari sampai ke kulit Qur'an-nyapun tidak ada. 

Orang banyak menggunakan ayat telah keliru. Misalnya apapun yang terjadi itu sudah ditulis di Lauhu al-Mahfuuzh, termasuk daun yang jatuh. 

Nah, ayat ini, kalau diartikan bahwa ditulis itu adalah ketentuanNya dan meliputi nasib manusia, baik jodoh, rejeki, umur, iman, kafir, baik, buruk, surga dan nerakanya, maka akan bertentangan dengan banyak sekali ayat-ayatNya yang menyuruh kita mencari pasangan yang baik, menyuruh kita berusaha, menyuruh kita taqwa, menyuruh kita jangan maksiat, menyuruh kita taat, “tidak Kucipta jin dan manusia kecuali taat”, .... dan seterusnya. 

Dengan demikian, maka maksud ditulis itu adalah ditulis sesuai dengan IlmuNya yang mendahului penciptaan alam semesta ini. Yakni diketauiNya, bukan ditentukanNya. Jadi, apapun pilihan dan ikhtiar manusia, sudah diketahui Tuhan sebelum penciptaan dan pengetahuanNya itulah yang dituliskan di kitab Lauhu al-Mahfuuzh. 

Nah, pemahaman seperti itu tentang Lauhu al-Mahfuuzh, tidak bertentangan dengan diturunkannya agama itu sendiri. Kan aneh, kalau semua sudah ditentukan lalu Tuhan masih juga menurunkan agamaNya yang, melarang ini dan itu, menyuruh ini dan itu serta mengancam neraka pada yang maksiat dan menjanjikan surga bagi yang taat. Taat dan maksiat yang mana kalau semuanya sudah ditentukanNya???!!!!! 

Bayangin saja: Rasulullah saww naik mimbar dan bersabda (misalnya): 

“Carilah istri yang cantik, kaya dan taqwa. Dan yang paling baik adalah yang taqwa.” Terus besoknya Rasul saww ditanya: 

“Ya Rasulullah, kalau jodoh itu sudah ditentukan, maka buat apa dicari lagi?” Lalu apa kira-kira jawab beliau? Apakah bisa beliau saww menjawab: “Pokoknya cari saja sekalipun jodoh kalian sudah ditentukan!” ???!!!!! 

Shahabat akan berkata lagi: 

“Ya Rasulullah, kalau orangnya sudah ditentukan sebagai jodoh kita, dan waktu kawinnya juga sudah ditentukan untuk kita, terus buat apa dicarinya??!!!” 

Apakah Rasulullah saww akan menjawab: 

“Pokoknya semua sudah ditentukan, aku menyuruh ini juga ditentukan, kalian bertanya juga ditentukan, kalian mau cari atau tidak sudah ditentukan, ketemu atau tidak sudah ditentukan, siapa jodohnya dan kapan kawinnya juga sudah ditentukan ...dan seterusnya “ ???!!!! 

Nah, kalau sudah begitu terus buat apa agama diturunkan atau buat apa ditakdirkan dalam turunnya dimana ia melarang ini dan itu, dan mewajibkan ini dan itu???!!!! 

Kan berarti sama saja dengan pernyataan agama yang mengatakan: 

“Wahai manusia, jangan dekati zina, tapi sudah Kami tentukan siapa-siapa yang berzina dan yang tidak berzina.” ???!!! Begitukah???!!! 

Yustanur, alfakir ini sudah merasa bangga, Anda sudi membaca tulisanku, semoga tidak menjadikannya pelacakan terakhir, dan maafkan kalau ada kata-kataku yang kurang berkenan, sungguh hati ini tidak menyimpan apapun kecuali kecintaan kepada sesama muslim. Wassalam. 

Muhammad Shullahuddin: Pak Sinar, manusia dibekali oleh Allah berupa akal fikiran sebelum sesuatu terjadi manusia melihat sesuatu tentu kita berfikir berkhayal akan sesuatu itu Nabi juga melakukan proses seperti itu pak Sinar juga sayapun juga kita semua juga sebab tadi pak sinar mengatakan segala ketentuan ada di tangan Allah. Nah karena kita tidak tahu akan ketentuan Allah manusia berkhayal tentang adanya surga neraka kiamat dll karena kita belum tahu seperti apa itu surga neraka dan kiamat semua itu masih gambaran semu, sebab kenyataan surga dan neraka sendiri belum terbukti nyata nah dari hasil olah fikir dan khayalan manusia tersebut akan terbentuk surga dan neraka menurut apa yang dirasakan manusianya secara individu. Gambaran kita tentang surga di dunia akan menjadi nyata KELAK DIKEMUDIAN HARI. 

Lanek imam 12 yang 11 dibunuh tinggal 1 ini disembunyikan akan lahir kelak dikemudian hari dan sekarang sudah 14 abad juga belum lahir dia dan nanti akan lahir, ini bertetangan dengan kodrat mahluk dan sunnatullah, nabi Muhammad aja manusia terpilih umurnya cuma 63 tahun lanek imam Mahdi hidup sampai sekarang apa itu tinemu akal coba pak Sinar fikir afala taqilun afala tatafakarun? 

Takdir dan usaha manusia itu berjalan bersama, manusia hidup untuk memenuhi takdirnya masing masing bersama dengan ketentuan Allah, daun jatuh itu takdir juga kejadian yang sudah diketahui Allah karena Allah maha tahu akan apa yang terjadi pada mahluk. 

Sinar Agama: Muhammad,: 

(1). Kalau baca tulisan orang itu mesti teliti. Semua orang pasti punya khayalan dalam arti bayangan, akan tetapi Nabi saww mengkhayalkan ingin jadi Nabi itu adalah khayalanmu semata. Para nabi dan wali, hanya mengangankan menjadi budak yang baik, setelah itu terserah padaNya. 

(2). Kamu mau khayal atau tidak, itu urusanmu, tapi mengukur para nabi dengan dirimu, itu sesuatu yang aneh amat. Sekarang aku mau tanya apakah kamu mengkhayal jadi nabi, rasul, pencuri (maaf), menjadi presiden Mesir, ... dan seterusnya dan lalu mengejar khayalanmu itu? 

(3). Tidak ada ketentuan dalam nasib manusia, mau kutulis berapa kali? 

(4). Imam ke 14 itu sudah lahir. Bagaimana mungkin imam makshum ilmu Islamnya dan amalannya juga begitu, tapi belum lahir? Lah .. kalau belum lahir terus mau belajar kepada siapa nanti kalau sudah lahir? Bisakah yang makshum belajar ke orang yang tidak makshum? Atau bisakah belajar ke orang yang tidak makshum ilmu dan amal Islamnya, kemudian muridnya ini menjadi makshum ilmu dan amal???!!! 

(5), Perkataan takdir dan usaha berjalan seirama itu adalah kata-kata yang puitis dan tidak argumentatif. Lah ... wong sudah ditentukan kok berusaha? Usahanya untuk apa? 


Yus Ta Nur: Waalaikum salam, terimakasih saya ucapkan yang sebesar-besarnya atas kesediaan ustad merespon komentar saya, yang telah begitu panjang lebarnya, mudah mudahan menjadi ilmu yang bermanfaat buat saya, kalau boleh saya menanggapi uraian 2 di atas yang mana di dalam penafsiran saya tentang usaha ataupun ikhtiar di dalam menjalani takdir ialah: 

Karena ketidakberdayaan manusia mengetahui takdir itu sendiri maka kita diwajibkan berusaha. Boleh saya contohkan sepertinya saya melaksanakan sebuah pekerjaan yang menurut akal saya sudah pasti bisa saya tuntaskan, tapi kita diwajibkan untuk membaca: Insyaallah. Betul ada perbedaan antara kita, saya memulai mencari kebenaran dari merujuk pada khalwatnya (menyepi) Rasulullah di gua Hira yang mana diwaktu itu akal argumentatif susah untuk menerimanya, tentu jauh bedanya dengan setelah turunnya ayat-ayat Alquran atau sampai seperti yang ustad jalani melalui pesantren ataupun perguruan tinggi..dari itu saya sangat bersukur dapat berkomunikasi dan,menambah ilmu dari ustadz, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kiranya tulisan ataupun komentar saya menyinggung perasaan ustad Wassalam. 

Sinar Agama: Yustanur, bahagia bisa membaca komentar antum lagi. 

(1). Ketahuilah bahwa takdir itu bukan konsep Nabi saww atau Tuhan, ia adalah konsepnya Abu al-Hasan al-Asy’ari, yakni katakanlah seorang ulama. Karena itu hanya dia yang punya pandangan seperti itu dan diikuti oleh orang-orang Syaafi’ii di Indonesia yang, walaupun sudah masuknya wahhabi (bc: Muhammadiah) keyakinan itu tetap terpelihara sampai sekarang. Sementara seperti Sunni yang Mu’tazilah dan apalagi Syi’ah yang wajib mengimani ke-Adilan Tuhan, maka takdir dalam arti nasib manusia itu tidak ada. 

(2). Di samping tidak ada dalilnya, keyakinan itu bertentangan dengan ribuan ayat Qur'an yang jelas dan mudah atau Muhkamaat, begitu pula dengan ribuan hadits Nabi saww yang mutawatir atau di atas mutawatir.

(3). Salah satu dalil akuratnya, adalah diturunkannya agama itu sendiri. Nah, kalau semua sudah ditentukan maka buat apa agama diturunkan yang menyuruh ini dan itu? 

(4). Kalau di Syi’ah, selain dalil di atas, penaqdiran itu juga betentangan dengan ke-AdilanNya. Karena kalau Tuhan yang menentukan seseorang itu bejat dan masuk neraka maka Tuhan aniaya pada hambaNya, karena kebejatannya itu dariNya, sementara yang akan masuk neraka adalah manusia yang Ia tentukan itu. Begitu pula kalau seseorang di dunia ini gagal bisnis. Karena Ia menyuruh manusia untuk berusaha, dan si manusianya sudah berusaha, tapi karena takdirNya maka ia bangkrut dari usahanya. Ini namanya aniaya, padahal usaha sudah profesional dan harus berhasil, tapi karena ditabrak takdir, maka ia gagal dan hidupnya jadi menderita. Ini artinya, Tuhan telah aniaya pada hambaNya. Apalagi kalau si manusia itu ditakdirkan lagi olehNya untuk putus asa dan bunuh diri. Bisnisnya sudah bangkrut karenaNya, dan sekarang ia harus mati bunuh diri karenaNya yang, nanti akan masuk neraka karenaNya juga. 

Nah, logika yang sangat mudah pada beberapa dalil di atas itu tidak bisa dipahami oleh orang yang namanya Asy’ari yang antum ikuti itu. Dia meteteng/ngotot bahwa semua itu sudah ditentukan Tuhan. Ada syariat kek atau tidak kek, ada usaha kek atau tidak kek,...dan seterusnya, pokoknya sudah ditentukan. Semua ulama Sunni Mu’tazilah dan Ahlulbait Nabi saww tidak didengarkannya. Dan kalau ditanya bagaimana logikanya? Bagaimana supaya tidak bertentangan dengan akal dan ribuan ayat itu? Dia dan para pengikutnya menjawab: 

“Wah .... takdir ini adalah alam yang sangat gelap yang tidak sembarang orang bisa memahaminya”. 


Nah, yang jadi agak lucunya itu, kok bisanya kata-kata dia dipercaya dan ribuan ayat itu dibuang tiada berarti? Kok bisanya kata yang benar-benar penipuan ilmu itu yang dengan berkata alam gelap lah, ilmu yang rumit lah ... dan seterusnya, dipercaya orang-orang selama berabad-abad tahun lamanya tanpa perduli pada ribuan hadits dan ayat-ayat??? Kok bisa orang ikut Asy’ari tanpa ikut Tuhan dan Rasul saww? 

Saya mau tanya dan tak perlu dijawab di sini tapi cukup di hati antum saja. Kalau antum ditakdirkan olehNya sebagai orang kaya, keluarga sakinah, taat dan masuk surga, apakah antum nanti bangga di surga? Atau, na’uzdu billah, kalau antum ditentukan bangkrut, keluarga berantakan, dan mabok-mabokan, kemudian merampok dan mati dikeroyok orang sekampung lalu di akhirat masuk neraka, apakah antum rela punya Tuhan seperti itu dan akan tetap mengatakan Ia itu Adil, Maha Kasih, Maha Penyayang, Maha Mulia .... dan seterusnya????!!! 

Yustanur, aku sama sekali tidak tersinggung dengan komentar antum, dan sebaliknya, senang bisa diskusi. Teruskan saja seandainya antum masih punya dalil. Ketahuliah, karena di Indonesia meyakini konsep Asy’ari itu, maka penjelasan tentang Mu’tazillah dan apalagi Syi’ah, selama berabad-adab tahun ini tidak dapat tempat di Indonesia. Karena itu ketidakmasukakalan dan ketidakmasukayatan dan ketidakmasukhaditsannya, ditutupi dengan kata-kata seperti rukun iman ke enam dimana yang tidak percaya bisa kafir dan ditambah lagi dengan perkataan: 

“Takdir adalah alam atau daerah gelap yang tidak bisa ditembus” ...dan seterusnya. Sekian dulu dan wassalam. 


Ingat: Saya tidak membantah tentang usaha itu, karena bisa saja dikatakan saya usaha karena saya tidak tahu takdir saya. Jadi, apapun kepercayaan kita, tetap harus usaha. Tapi yang yang saya bahas itu, bahwa dalam keyakinan takdir ini, maka diyakini bahwa semua usaha dan hasilnya itu adalah takdir yang sering juga hal ini tidak disadari. Karena orang yang percaya takdir itu kan selalu mengatakan bahwa kita harus berusaha dan hasilnya Tuhan yang menentukannya. Lah ... kalau kita percaya takdir, maka usaha tidak usahanya itu juga takdir. Kan lucu, dari satu sisi mengatakan sudah ditentukan, tapi dari sisi yang lain menyuruh usaha. Padahal mau usaha kek mau tidak usaha kek, semua dan semua, tergantung takdir bukan? Jadi, buat apa orang yang percaya takdir itu mengajar dan menyuruh, toh yang disuruh berusaha itu, kalau tidak ditentukan berusaha, maka pasti tidak berusaha, begitu pula sebaiknya. 

Pintu ilmu Nabi saww, yakni imam Ali bin Abi Thaalib as, shahabat paling pandai yang diakui kawan dan lawan, pernah duduk merindang di sebuah dinding. Setelah diperhatikan dinding itu mau roboh. Karena itu imam Ali as menghindar dari tembok miring tersebut. Dalam pada itu, perbuatan itu diperhatikan oleh orang yang percaya takdir ini. Orang itu bertanya: 

“Ya Ali, mengapa kamu pindah duduknya?” Imam Ali as menjawab: 

“Karena tembok ini bisa roboh”. Orang itu berkata: 

“Ya Ali, kalau Tuhan tidak menakdirkanmu mati ditimpa tembok ini, maka sekalipun kamu tidak pindahpun kamu tidak akan mati. Tapi kalau kamu ditentukan mati ditimpa tembok ini, maka kamu akan mati sekalipun kamu lari darinya.” 

Lalu imam Ali as menjelaskan apa takdir itu (di selain nasib dan seterusnya). Setelah banyak menerangkan, imam Ali as bertanya padanya: 

“Kalau kamu memang percaya takdir, mestinya kamu tahu bahwa pindahku ini juga takdir, tapi mengapa kamu menanyakannya dan menghubungkannya padaku?” 

Jadi yang kita bahas bukan usaha sebagai usaha yang bisa karena tidak tahu takdirnya. Tapi meyakini bahwa usaha itu adalah takdir itu sendiri. Sebab daun jatuh itu sudah ditentukan, apalagi yang lebih besar seperti usaha tidaknya si fulan manusia itu, maka sudah pasti, konsekuensinya, diyakini sebagai takdirNya bukan? Nah, lucunya, banyak orang marah pada temannya, atau orang tua pada anaknya, dikala mereka melakukan pencurian, pemukulan, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, sogok menyogok ....dan seterusnya.. Lah kok bisa dimarahi wong semua itu Tuhan yang menentukan. Jangan katakan bahwa Anda marah juga karena takdir Tuhan, karena dialog ini akan menjadi semacam main kelereng/gaplek. Sebab ketika Anda atau mereka yang marah itu, benar- benar marah dalam dirinya dan tidak menyandankarnya padaNya dan begitu pula protesnya itu benar-benar ditujukan pada yang dimarahi yang, kadang sambil memukulinya, tanpa merasa memarahi Tuhan yang telah menakdirkannya itu. Apakah kekotradiksian kenyataan ini masih belum jelas juga? Kontradiksi dengan keyakinannya sendiri, dengan ribuat ayat dan hadits, serta akal Anda dan siapapun yang mengimani takdir ini yang marah-marah tadi atau marah-marah sambil mukul-mukul itu. Wassalam. 

Yus Ta Nur: Alhamdulillah ternyata saya masih diberikan kesempatan, dan perlu juga saya sampaikan di sini saya tidak dalam kapasitas berdebat mungkin ustad maklum bisa dilihat di frofil saya, saya bukan siapa-siapa. Tanggapan ustadz insya Allah sudah saya mengerti arahnya namun kalau ustad tidak bosan untuk melengkapi tanggapan sebelumnya saya mohon juga dijelaskan tentang perihal MIMPI, kalupun hal itu tidak menyimpang dari pembahasan kita...terlebih dahulu saya ucapkan terimakasih. Wassalam. 

Dan itu yang pertama, dan kedua saya juga mohon penjelasan dari ustad tentang masalah musibah dan bencana, atau hal-hal yang menyangkut dengan topik kita, dengan harapan setelah mendengarkan penjelasan tersebut , saya dapat menarik benang lurus dari setiap permasalan diseluruh lini kehidupan ini yang tersimpul menuju penghambaan dan berawal dari pada kepatuhan dan ketaatan. Wassalam. 

Sinar Agama: Yustanur: Salam dan terimakasih atas balasannya, wah .... kayak surat menyurat aja nih ... he he. Yustanur, ana/aku tidak bosan dan juga tidak marah didebat, karena akidah memang tidak boleh taqlid, beda dengan fikih yang harus dibidangi puluhan tahun bisa mencapai mujtahid. Kalau tentang mimpi, aku sudah menjelaskannya -sebatas fb- di salah satu jawabanku terhadap pertanyaan teman-teman face book yang, sudah dijadikan Lensa oleh Anggelia, yaitu Lensa: 17. Ada juga di antara tag-tag yang ada di berandaku ini. Tolong cari dan baca, nanti kalau masih ada hal, maka bisa didiskusiian lagi. 

Kalau musibah, ana juga pernah menjelaskannya di ke-Adilan Tuhan di catatan Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah dan/atau juga di tempat lain yang berserak, ringkasnya: 

Kalau musibah itu dari akibat buah tangan manusia, seperti tanah longsor akibat ditebannya pohon-pohon, banjir yang karena sampah di sungai, wabah yang karena kotornya lingkungan, malaria yang karena tidak bersihnya kita, .... dan seterusnya. Maka jelas hal itu tidak dari Tuhan. Ia dari manusia tapi dalam sistem Tuhan. Jadi, sekalipun semuanya kembali kepadaNya, baik langsung atau kepada sistemNya, maka sekalipun bisa dikatakan makhlukNya, tapi penanggung jawab dari semua musibah itu adalah manusia itu sendiri. 

Musibah model pertama ini, tergantung masing-masing orangnya. Bagi pelakunya, kalau dia sadar akibat dari perbuatannya itu, maka sangat mungkin akan mendapat dosa dan siksa di akhirat, terutama kalau sampai jatuh korban, seperti manusia lain yang kena longsorannya atau banjirnya hingga membuat hamba-hamba Tuhan menderita lantaran perbuatannya. Tapi bagi yang bukan pelaku tapi terkena, maka kalau dia telah melakukan nahi mungkar dan amar makruf terhadap masalah tersebut atau masalah sebabnya itu, seperti “jangan buang sampah disini” dan semacamnya, maka ketika ia terkena musibah itu, maka kalau ia sabar akan sistem Tuhan ini, maka ia akan mendapat pahala dan berkurang dosa-dosanya dan kalau mati, insyaAllah semacam syahid. Tapi kalau tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar itu, maka sangat mungkin jangankan dapat pahala, tapi bahkan mungkin bisa dapat dosa. 

Tapi kalau musibahnya itu memang dari Tuhan, seperti gunung meletus yang untuk menyeimbang- kan bumi supaya tidak meledak, atau gempa bumi, maka bagi yang terkena juga bermacam-macam. Kalau dia pendosa yang tidak kaliber, maka hal itu adalah peringatan dariNya agar dia bertaubat. Dan kalau pendosa kaliber, maka itu merupakan hukuman sebelum datangnya hukuman neraka baginya. Tapi kalau orangnya taat dan melakukan amar makruf dan nahi mungkar dalam segala macam lapisan sosialnya, maka ia akan mendapat pahala dan kurang dosanya serta bencana itu akan menjadi ujian baginya untuk meninggikan derajatnya baik di dunia -seperti ilmu-ilmu tentang gempa bumi- atau di akhirat, yakni surga. 

Bencana itu secara umum, bisa karena hukuman, bisa karena seperti orang-orang tahu tentang keAgunganNya hingga bertaubat, supaya manusia ingat akhirat, supaya manusia tahu bahwa dirinya kecil, supaya manusia bisa lebih maju seperti teknologi gempa dan bangunan tahan gempa, supaya manusia tawadhu’ di hadapan alam semesta yang agung ini, supaya manusia mensyukuri nikmatNya, seperti manusia takut siksaNya ..... dan seterusnya. Dan, yang paling penting, setiap manusia akan tersesuaikan dengan sisi filsafat bencana itu sesuai dengan keadaaan dirinya masing-masing. Seperti kalau pendosa yang keliber yang sebagai hukuman sesuai dengan penjelasan di atas itu. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 23 Agustus 2018

Doa, Ikhtiar, Tawassul, Syafaat dan Berkah



Seri tanya jawab: Bintang Ali dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, June 21, 2011 at 12:49 pm 




Bintang Ali : Salam ustad, semoga ustadz diberi kelapangan dan ridhoNya beserta keluarga ustad.. Stad, apa relasinya antara ihktiyar dan doa? Apakah ikhtiyar seseorang bisa di dilancarkan/ digagalkan dengan doa? Apakah Ikhtiyar dan doa itu sejajar? Gimana menjelaskan ikhtiyar orang non muslim padahal dia tidak berdoa kepada Allah? Mohon penjelasannya stad.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Saya sudah pernah merinci ini, tapi entah dimana. Sekali lagi kalau si Anggelia aktif, maka mungkin bisa ditanyakan ke dia. Tapi sayang dia sepertinya sudah tidak aktif lagi dan membuatku juga kehilangannya.

(2). Tidak ada yang sulit untuk mengerti doa dan ikhtiar. Karena doa itu bagian dari ihkhtiar itu sendiri.

(3). Pada prinsipnya kan kita sebagai orang Syi’ah tidak meyakini adanya takdir Tuhan yang bermakna penasiban manusia. Karena dalam Islam ajaran seperti itu tidak ada dan adanya hanya dalam agama-agama seperti Kristen, Yahudi atau Hindu. Karena itu, semua yang akan menyangkut manusia, yakni tentang seluk beluk kehidupannya, akan ditentukan oleh ikhtiarnya.

(4). Akan tetapi ikhtiar manusia ini, tidak mansidi hingga menjadi penentu satu-satunya terjadinya perbuatan manusia. Karena itu ada ikhtiar ke dua di balik ikhtiar pertama. Misalnya kita sudah tidur sebelum setir mobil supaya tidak tidur di mobil. Ini adalah ikhtiar pertama.

Tapi di tengah jalan ternyata kita tabrakan, karena sopir lain dalam ikhtiarnya tidak memilih tidur hingga ia menabrak kita. Nah, dalam peristiwa ini, ikhtiar pertama kita sudah benar, yaitu istirahat yang cukup. Tapi apakah tabrakan ini tidak menyangkut ikhtiar kita hingga kita kembalikan ia kepada ketentuan Tuhan? Tidak sama sekali. Karena kita ketika memilih menyetir mobil, sekalipun kita sudah tidur dengan cukup, tetap saja akal kita mengatakan bahwa tetap sangat mungkin terjadi tabrakan dengan sopir lain yang tidur dan menabrak kita. Akan tetapi kita terus saja memilih turun ke jalan dan menyetir mobil sambil berkata ”itu sudah resiko”. Nah, tetapnya kita turun ke jalan itulah yang disebut dengan ikhtiar ke dua. Yakni kita tidak ingin secara perasaaan untuk tabrakan, tapi karena tetap turun ke jalan, maka secara filosofis berarti kita menginginkannya yang, kemudian kita katakan resiko.

(5). Sebelum kuteruskan, barangkali perlu sekali antum merujuk ke catatanku yang berjudul “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah.” bagian ke 2-a dan 2-b.

(6). Doa adalah bagian dari ikhtiar kita. Terutama kita dalam memilih masing-masing ikhtiar kita, diselimuti dengan jutaan ikhtiar orang lain (seperti sopir lain yang ketiduran itu) atau diselimuti jutaan hukum alam (seperti berlayar mencari ikan dengan pikiran tidak akan ada gelombang karena cerah). Nah, dalam masing-masing ikhtiar kita diselimuti dengan jutaan ikhtiar orang lain atau hukum-hukum alam. Karena itulah dikatakan bahwa manusia itu lemah dan tiada berdaya.

Dalam keadaan seperti itulah maka manusia berdoa kepada Allah, agar seandainya ikhti- arnya yang dikira baik itu ternyata tidak baik dan menjurus kepada kecelakaan, dapat dihindarkan olehNya. Dan apapaun yang akan dilakukan Tuhan, karena doa kita itu, maka ia bagian dari ikhtiar kita tsb. Tentu saja doa yang maqbul dan diterima. Misalnya, ketika sudah tidur cukup, lalu ketika keluar rumah berdoa kepada Allah untuk diselamatkan sampai tujuan, maka kalau doa kita itu qabul, bisa saja Tuhan memberikan sedikit energi kepada sopir yang akan ketiduran manakala ia akan salipan dengan kita di jalan itu. Atau Tuhan memberikannya ilham dan rasa takut hingga ia berhenti di pinggir jalan dan tidur sejenak. Atau membuat bayinya di rumahnya nangis-nangis terus hingga ia -calon sopir yang akan menabrak kita itu- tidak jadi keluar rumah dan menyetir dalam keadan mengantuk tsb. Jadi berbagai cara dan sejuta cara untuk mengadakan pencegahan.

Itulah mengapa orang shalih bisa mensyafaati orang lain, walau masih di dunia ini, walau tidak dimintanya. Seperti contoh di atas itu. Sopir ke dua yang nekad itu, menjadi selamat karena doa orang pertama terhadap dirinya sendiri. Tapi berkah doanya untuk dirinya itu bisa menyelimuti sopir ke dua tersebut.

Karena itu tidak heran manakala malaikat pencabut nyawa kebingungan dikala mau mencabut wali-wali Tuhan. Karena kalau tidak dicabut, tidak akan bertambah dekat dengan Tuhannya dan menunda pertemuannya. Tapi kalau dicabut, berkahnya akan hilang di dunia ini.

(7). Tentu saja tidak ada doa yang ditolak oleh Allah swt. Karena Dia sendiri sudah berjanji di dalam Qur'an untuk menerima doa kita dan Dia pasti akan memenuhi janjiNya. Dalam QS: 40: 60, Tuhan berfirman:

”Dan Tuhan kalian berkata: ’Mintalah kepadaku niscaya Aku pasti mengabulkannya!’”

Di sini Tuhan tidak memberikan syarat-syarat apapun untuk pengqabulan doa tersebut.

Akan tetapi karena pengqabulanNya, sesuai dengan sifat-sifatNya seperti Bijaksana, Kasih dan semacamanya, maka tidak mesti berupa apa yang kita minta kepadaNya. Misalnya kita minta mobil, tapi kalau Ia tahu mobil itu akan membuat kita celaka dunia-akhirat, maka bisa saja, sekali lagi, bisa saja, Dia tidak akan memberikannya. Tapi sudah tentu akan memberikan atau menggantikan dengan yang lainnya, seperti pahala, pangampunan dosa, sawah atau rumah dan semacamnya.

(8). Karena itu maka tawassul dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, yang yang dianjurkan oleh agama untuk dilakukan sebelum berdoa demi membuat doa menjadi istijabah/diterima, adalah untuk mengistijabahkan yang didoakannya, bukan doa itu sendiri. Seperti minta mobil pada contoh di atas. Artinya, tawassul, shalawat, sedekah, wudhu, shalat sunnah, menangis ...dan seterusnya itu adalah mukaddimah doa hingga doanya diterima sesuai yang diminta (seperti mobil dalam contoh di atas) dengan tanpa adanya resiko dan efek-efek sampingannya.

Jadi, kalaulah kita banyak dosa dimana doa kita itu tidak mustajab dalam bentuk yang diminta dan digunakan oleh Tuhan untuk menghapus dosa kita sebagai pengabulanNya, maka dengan mukaddimah-mukaddimah doa tadi, dosa kita sudah terhapus hingga doa minta mobil itu tidak lagi ada halangannya. Atau kalau minta mobil itu memiliki resiko, maka mukaddimah-mukaddimah itu diharapkan bisa menghilangkan resikonya.

(9). Untuk orang-orang kafir, maka biasanya mereka akan lebih lancar dalam masalah-masalah dunianya. Karena pemberian-pemberian Tuhan itu dimaksudkan mengingatkannya akan kepapaan mereka. Artinya, mereka bukanlah orang yang dipilihkasih-i olehNya dalam pemberian. Hal itu karena memang kelas mereka di situ saja. Yakni bahwa Allah tidak menghambatirikan mereka dari kaum beriman. Jadi, mereka akan teruji dengan pemberian- pemberian itu dan tidak lebih. Dan bagi kafirin yang doanya dan hajat-hajatnya tidak terpenuhi, maka dimaksudkan supaya sadar akan kelemahannya dan mengimani yang Maha segala-galanya sebelum kemudian menaatiNya.

Akan tetapi muslimin, yakni telah menerimaNya, maka mereka berarti siap untuk diuji dengan ujian-ujian lainnya. Karena itu, maka muslimin bisa sangat lebih menderita dan menghadapi ujian yang bertubi-tubi. Tentu saja tidak semua musibah itu dariNya. Karena bisa saja dari kesalahan kita sendiri dalam memilih ikhtiar yang salah, seperti menyetir dalam keadaan ngantuk itu.

Nah, kalau ada musibah yang memang dari Tuhan, seperti banjir yang bukan karena sampah di sungai dan bukan karena penebangan hutan, dan lain-lain sabab yang bersumber dari tangan manusia, maka hal itu disebabkan karena Tuhan ingin menaikkan derajat kita. Persis seperti kelas di sekolah yang mana kalau kelas bawah ingin naik ke kelas atas harus menghadapi ujian terlebih dahulu.

Nah, muslimin itu adalah orang-orang yang mendaftar ke kelas-kelas itu dan mendaftar untuk diuji. Sementara orang-orang kafir ibarat orang yang tidak sekolah dan tidak mendaftar untuk diuji. Jadi sudah pasti ujian muslimin akan jauh lebih besar dari kafirin.

Jadi, seorang muslim yang ada sedikit iri dan cemburu dengan kekayaan kafir, biasanya disebabkan ketidak mengertiannya tentang hal ini. Sudah tentu kalau muslim dan kafirnya di sini sudah selevel. Artinya dalam kecerdasan, usaha dan ikhtiar-ikhtiarnya. Misalanya sama hebat dalam berbisnis dan menentukan moment serta menentukan partner. Tapi kalau muslimnya bahlol (maaf), ya .... karena memang keburukan ikhtiarnya yang malas belajar ilmu (bisnis misalnya) dan malas berusaha gigih. Jadi, dalam konsidi seperti ini, irinya dia itu benar tidak pada tempatnya. Tapi kalau sama-sama hebat, tapi yang muslim tidak berhasil tapi yang kafir berhasil, maka bisa saja karena ia telah mendaftar untuk menjadi murid yang akan diujiNya, dan, sudah tentu si muslim tadi sedang menumpuk pahala dan keberhasilan akhiratnya dalam tanpakan ketidak berhasilannya di dunianya.

Misalnya, ia tidak korupsi untuk cepat berhasil. Ia juga tidak menyoigok untuk berhasil. Ia tidak menipu orang dalm bisnis hingga tidak menjaul barang kecuali yang baik. Ia sangat cinta dengan hukum Tuhan walau ia akan mengalami ketidak berhasilan. Nah, di sini ia bisa tidak berhasil di dunia, tapi ia di Mata Tuhan, di dunia ini justru telah berhasil. Karena di MataNya, berhasil di dunia itu bukan kaya, tapi beramal sesuai dengan nilai-nilaiNya.

Penutup: Fiddun-ya hasanah (di dunia mendapat kebaikan), bukan berarti dapat harta, sehat badan, dan ketentraman. Akan tetapi menjalani hidup sesuai dengan kemauanNya yang telah dituangkan dalam syariatNya (akidah dan fikih). Wassalam.


Bintang Ali: Syukran stadz..sangat memuaskan,,hehe.

Bande Huseini: Syukron..telah menambah keyakinanku.

Maryam Bunda Isa Almasih: Iya Ustad, dengan memahami bahwa kita dalam posisi Di Uji, meringankan beban kita. Terima kasih Pencerahannya.

Aufa Opa: Maaf ustad.. Mau tanya tentang ayat yang mengisaratkan dan menunjukkan bahwa Allah telah merıdhoı sahabat (al-fath : 19) dımana jelas Allah berfırman bahwa DIA telah meredhoı mereka yang berbaiat ”tahtasy syajarah”... Dimana dalam ayat tersebut termasuk Abu Bakar, Umar dal lain-lain,, benarkah, atau bagaimana ??? Mohon penjelasannya ustad,,,

Sinar Agama: Aufa,:

(1). Bukan ayat itu yang biasa dijadikan dalil tentang keridhaan Tuhan pada shahabat, tapi surat Taubah ayat 100 yang berbunyi: ”Dan orang-orang terdahulu dari muhajrin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah meridhai mereka dan mereka juga meridhaiNya. Dan Allah menjanjikan kepada mereka surga-surga yang mengalir sungai di bawahnya. Mereka kekal abadi di dalamnya. itulah kemenangan yang agung.”

(2). Sebagian muslimin dengan ayat tersebut, terus mengunci mati apapun yang bisa membuat para shahabat itu bisa celaka. Artinya, ayat tersebut sudah harga mati dan tidak bisa diganggu gugat. Yakni bahwa semua shahabat itu dan siapapun yang mengikuti mereka akan mendapat kemenangan agung itu (surga).

(3). Padahal, kalau kita merujuk ke berbagai tafsir dan ayat-ayat lainnya, maka hal seperti itu tidak ada dalam Islam. Karena itu siapa saja yang shalih diantara shahabat itu, maka dialah yang akan masuk surga.

(4). Bukti yang sangat nyata adalah, bahwa para shahabat itu saling berperang dan membunuh sampai-sampai di perang Jamal saja (perang antra imam Ali as dan ‘Aisyah) jatuh korban 7000 orang yang setidaknya bisa diperkirakan bahwa separuh mereka adalah shahabat. Belum lagi peperangan di jaman Abu Bakar dimana sampai jenderalnya yang bernama Khalid bin Walid bahkan membakar hidup-hidup beberapa shahabat di depan umum.

Lihat sejarah Sunni tentang korban yang terbunuh di Perang Jamal, antara Imam Ali as dan ‘Aisyah:

Muruuju al-Dzahab, Al-Ma’uudii, 2/367, menyatakan ada 20.000 korban. Al-Muntazhim, Ibnu Jauzii, 2/99, menyatakan ada 10.000 korban.

Taariikh Thabari, Thabarii, 5/542-555, menyatakan ada 15.000 korban. Taariikh Khaliifah, Bin Khiyaath, menyatakan ada lebih dari 6.000 korban.

Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 7/546 dan Fathu al-Baarii, 13/62, menyatakan ada 32.000 korban.

Catatan: Keterangan pertama, ke tiga, ke empat dan ke lima, diambil dari kitab Siiratu Amiiru al-Mukminiin Ali bin Abi Thalib, karya Ali Muhammad Muhammad al-Shulaabii, dicetak pertama kali tahun 2005. Tentu saja, penulisnya hanya menukil sebelum menolaknya dengan hitung-hitungan khayalnya dan tanpa melalui data sejarah. Untuk keterangan ke dua, saya ambil sendiri dari kitab yang telah disebutkan di atas itu.

(5). Baiklah, biarkan dulu hal pahit di masa lalu itu. Walaupun ia bagus dibahas secara ilmiah karena bisa melahirkan segala macam persepsi terhadap Islam sekarang yang kita pahami ini. Bayangin saja, orang Syi’ah dikafirin hanya karena kritis walau terhadap shahabat, padahal.. para shahabat itu bukan hanya mengkritisi satu sama lain, akan tetapi saling mengafirkan dan saling bunuh dan banyak kali peperangan yang dilakukan diantara mereka sendiri. Nah, kalau mengkritisi saja kafir, atau anggap deh mengecam shahabat itu kafir, lah ... bagaimana dengan yang mengafirkan dan membunuh shahabat?

(6). Kembali kepada masalah ayat di atas itu (Taubah:100), maka sebenarnya masalahnya sangat mudah, asal dada ini dikosongkan dulu dari doktrin yang diatasnamakan Islam itu.

(7). Study gampangannya, baca saja terus ayat berikutnya. Nih kalau ditulis lengkap seperti ini:

”Dan orang-orang terdahulu dari muhajrin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah meridhai mereka dan mereka juga meridhaiNya. Dan Allah menjanjikan kepada mereka surga-surga yang mengalir sungai di bawahnya. Mereka kekal abadi di dalamnya. itulah kemenangan yang agung.”

”Dan di sekitar kalian dari orang-orang pinggiran (desa) terdapat orang-orang munafik. Dan bahkan orang-orang yang ada di kota, mereka keterlaluan dalam kemunafikan. Kalian tidak bisa mengenali mereka, tapi Kami mengenali mereka. Kami akan mengazab mereka dua kali sebelum Kami ceburkan mereka ke dalam azab yang agung.”

”Dan sebagian mereka telah mengakui bahwa mereka mencampur perbuatan baik dan buruk. Semoga saja Allah kembali kepada mereka dan mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Kasih.”

”Ambillah sebagian harta mereka sebagai sedekah (seperti zakat) untuk membersihkan dan mensucikan meraka. Dan berterimakasihlah dan berdoalah untuk mereka karena hal itu menenangkan hati mereka. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

”Apakah mereka tidak tahu bahwa Allah itu menerima taubat dan menerima sedekah, dan bahwasannya Allah itu Maha Penerima taubat?”

”Dan katakan -Muhammad: ’Berbuatlah kalian sesuka hati kalian, karena sesungguhnya Allah, Rasul saww dan orang-orang mukmin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu, dan kemudian kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan syahadah (akhirat) lalu dikabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.”

”Dan sebagian mereka, urusannya, diserahkan kepada Allah, apakah akan mengazab mereka atau mengampuni mereka. Dan sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dan Bijaksana.”

(8). Kalau kita baca terus ayat 100 itu sampai dengan 106, maka jelas bahwa keridhaan yang dimaksud Tuhan itu mestilah memiliki kondisi. Artinya tidak mutlak. Yakni baik kondisi orangnya atau perbuatan yang telah membuat ridha Tuhan itu. Kalau melihat orangnya, banyak mufassir yang menafsirkan bahwa mereka itu adalah Muhajirin dan Anshar yang melakukan baiat Ridwan. Ada lagi yang juga tafsir Sunni, yang mengatakan bhw mereka itu adalah Muhajirin dan Anshar yang shalat di dua kiblat. Jadi tidak semua Muhajarin dan Anshar.

(9). Kemudian ayat 100 itu sendiri telah menerangkan perbuatan yang membuat Allah ridha, baik baiat atau shalat bersama Nabi saww itu. Yaitu ”kebaikan”. Baik ditafsirkan dengan ”mengikuti mereka dengan baik”, atau ditafsirkan dengan ”mengikuti kebaikan mereka”. Artinya, kalau ditafsirkan dengan yang pertama ini, maka ayatnya akan berbunyi bahwa:

”Tuhan ridha kepada Muhajirin dan Anshar KARENA TELAH MELAKUKAN KEBAIKAN BERUPA PERJUANGAN DAN BAIAT SAMPAI PADA BAIAT RIDWAN ATAU TABAH BERJUANG DENGAN NABI SAMPAI KEPADA BERUBAHNYA KIBLAT, dan yang mengikuti mereka dengan baik DALAM KEBAIKANNYA ITU.”

Atau kalau dengan makna ke duanya, akan bermakna seperti ini:

”Tuhan telah ridha kepada Muhajirin dan Anshar karena telah melakukan kebaikan berupa perjuangan dan baiat sampai pada baiat Ridwan dan/atau sampai pada berubahnya kiblat, DAN ORANG-ORANG YANG MENGIKUTI KEBAIKAN MEREKA.”

Kalau kita lihat kedua makna itu, maka tekanan ridha Tuhan itu pada perbuatan baik, seperti Islam, iman, berjuang, tabah, baiat dan semacamnya. Jadi, ia adalah keridhaan yg(yang) bergantung kepada sesuatu, yaitu kebaikan dan perbuatan baik. Jadi tidak mutlak keridhaan tanpa melihat apapaun. Dan kalau kita memutlakkannya maka kita telah menjadikan Tuhan bebas nilai dan syariatNya ini adalah palsu. Bukankah Tuhan mengatakan siapa berbuat kebaikan akan mendapat pahala dan yang berbuat jelek mendapat dosa? Nah, kalau keridhaan ini dimutlakkan, yakni semua shahabat diridhai, tanpa alasan apapun, maka berarti ajaran Islam yang berdasar pada keadilan balasan itu, menjadi roboh sampai ke akar- akarnya. Dan tidak ada satu orang Sunnipun yang akan berkata seperti itu.

Jadi keridhaan Tuhan itu, walau pada shahabat, adalah karena kebaikan dan ketaatannya. Tidak lain dan tidak bukan.

(10). Sekarang, kalau keridhaan Tuhan itu karena kebaikan, dan memang seperti itu, maka pertanyaannya, bagaimana kalau kebaikan itu berubah jadi keburukan, atau dicampur dengan keburukan? Jawabnya jelas akan keluar dari keridhaan pertama ini. Karena itulah kalau ayat 100 itu diteruskan maka akan terlihat dengan nyata, bhw diantara mereka itu terdapat orang-orang munafik dan bahkan dikatakan bahwa mereka keterlaluan dalam kemunafikannya itu. Yakni sebegitu rupa mereka dapat menyembunyikan kemunafikan mereka hingga SEMUA MUSLIMIN DAPAT DITIPUNYA KECUALI ALLAH. Karena itulah Alllah mengatakan bahwa ”kalian tidak mengetahui mereka tapi Kami mengetahui mereka”. Ini karena kehebatan mereka dalam menyembunyikan kemunafikan mereka sampai-sampai TAK SEORANGPUN DARI KAUM MUSLIMIN YANG MENGETAHUI MEREKA.

(11). Dengan keterangan poin 10 dapat diketahui bahwa munafikin keluar dari keridhaan Tuhan ini. Jadi tidak semua shahabat diridhai.

(12). Kalau diteruskan lagi ayatnya, maka kedapatan bahwa sebagian mereka (shahabat) ini telah mencampur taat dengan maksiat. Nah, golongan ini sudah jelas keluar dari ridha dan janji Tuhan di atas. Urusan mereka ini nanti terserah kepada mereka atau terserah kepada Tuhan. Yang jelas Tuhan merangsang mereka untuk taubat, tapi siapa yang taubat dan siapa yang tidak, hanya Tuhan yang tahu. Artinya, dengan ini kita tidak bisa mengatakan bahwa semua shahabat diridhai dan dijanjikan surga.

(13). Kalau diterusin lagi ayatnya, maka Tuhan menyuruh Nabi untuk mengambil sedekah (zakat) dari mereka untuk mensucikan mereka dari dosa-dosa mereka. Di sini juga bisa dipahami bahwa ridha dan janji Tuhan itu, masih harus diteruskan dengan perbuatan baik lainnya dari sekedar Islam, iman , berjuang ...dan seterusnya yang sampai ke masa pergantian Kiblat atau baiat ridhwan. Artinya, terlihat sekali bahwa ridha dan janji itu sangat bisa berubah. Yakni kalau tidak bayar zakat dan semacamnya. Kalau dalam bahasa ilmiah keridhaan dan janji di ayat 100 itu masih Muta’alliq, yakni berkondisi dan bergantung. Yaitu bergantung kepada ketaatan-ketaatan yang lain seperti zakat ini. Jadi, walau sudah diridhai sampai pada waktu itu, akan tetapi tidak bayar zakat, maka dosa mereka tidak bersih dan akan masuk neraka.

(14). Ketika zakat dapat mengeluarkan mereka dari ridha dan janji surga itu, maka ibadah-ibadah lainnya juga demikian. Seperti shalat, puasa, murtad ...dan seterusnya. Artinya, KERIDHAAN DAN JANJI ITU TIDAK BAKU DAN BISA BERUBAH KAPAN SAJA.

(15). Dan kita dengan melihat sejarah dan banyaknya pertempuran diantara shahabat dengan shahabat dapat dipastikan bahwa keadaan mereka sudah berubah. Dan betapa agungnya perubahan mereka. Karena bukan hanya tidak shalat dan tidak bayar zakat, tapi bahkan saling mengafirkan dan saling bunuh dan bahkan membakar hidup-hidup mereka.

(15). Ketika sudah kita yakini terjadi perubahan itu, MAKA SUDAH SELAYAKNYA BAGI KITA UNTUK MENYELEKSI MEREKA-MEREKA ITU HINGGA MENGIKUTI YANG BAIK -bi ihsaan- DAN MENINGGALKAN YANG TIDAK BAIK -berubah.

(16). Terakir dari ayat di atas adalah, kalau diterusin lagi, maka kita akan melihat dengan jelas ANCAMAN TUHAN PADA PARA SHAHABAT ITU, dengan firmanNya:

”Dan katakan -Muhammad: ’Berbuatlah kalian sesuka hati kalian, karena sesungguhnya Allah, Rasul dan orang-orang mukmin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu, dan kemudian kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan syahadah (akhirat) lalu dikabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.”

Di sini jelas bahwa Tuhan mengancam para shahabat Nabi saww bahwa siapa saja yang akan berubah dan/atau berbuat kejahatan, maka Tuhan akan mengazabnya.

(17). Kalau kita hubungankan dengan ayat lain di surat lain seperti: di surat Fath ayat 10 yang berbunyi:

”Sesungguhnya yang berbaiat padamu -Muhammad- adalah berbaiat pada Allah, maka barangsiapa yang mengkhianati baiatnya setelah itu, maka ia telah mengkhianati dirinya sendiri, dan yang setia maka Allah akan mengganjarnya dengan pahala yang besar.”, maka jelas akan terlihat, bahwa siapaun yang beriman dan Islam serta berjuang di jaman Nabi saww sampai pada baiat Ridhwan atau berubahnya Kiblat itu, memiliki dua kemungkinan. Artinya bisa tetap setia dan bisa saja berkhianat.

Yang setia pada iman, Islam, Tuhan dan Nabi saww sampai akhir hayatnya, maka merekalah yg telah diridhai dan dijanjikan surga oleh Tuhan tanpa mengalami perubahan.

Yang tidak setia dan khianat pada iman, Islam, Tuhan dan Nabi saww, setelah itu, maka mereka yang telah diridhai dan dijanjikan surga oleh Tuhan, tapi sudah mengalami perubahan. Artinya ridha dan janji Tuhan itu berubah menjadi murka dan neraka, dikarenakan perubahan mereka sendiri.

Dan sudah tentu, dengan adanya berbagai perang dan pengkafiran, pembunuhan serta pembakaran diantara mereka, maka sudah jelas telah terjadi perubahan.

Terakhir: Kalau digabung dengan ayat lain seperti QS: 47: 38, yang berbunyi:

”.... dan kalau kalian -shahabat- berubah, maka Allah akan mengganti kalian dengan umat yang lain, DAN MEREKA TIDAKLAH SEPERTI KALIAN.”

Lihatlah ayat ini dengan seksama.

Pertama: ia mengatakah ”Kalau kalian berubah”. Maka ini jelas menggambarkan bahwa mereka sangat mungkin berubah.

Ke dua: ayat ini, walaupun terlihat hanya menggambarkan akan bisanya terjadi perubahan, akan tetapi kalau direnung-renung, seperti memang mengabarkan akan terjadinya peru- bahan itu. Karena itulah Tuhan mengatakan akan mengganti kalian dengan umat lain YANG TIDAK SEPERTI KALIAN.

Ke tiga: Tuhan dalam ayat ini benar-benar memburukkan shahabat itu karena telah mengatakan DAN MEREKA TIDAK SEPERTI KALIAN. Artinya, apakah memang akan terjadi, atau dalam perumpamaan, maka bisa dikatakan bahwa mereka mencela shahabat-shahabat itu. Apalagi celaan ini dapat dipastikan mengingat golongan ayat pertama dari surat Taubah itu dimana menceritakan bahasa sebagian mereka munafik, sebagian mencampur dengan maksiat dan secara umum mereka diancam Tuhan dengan mengatakan :

”Berbuatlah kalian sesuka hati karena Allah, Nabi dan mukminin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu dan kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan kemudian akan dikabarkan kepada kalain apa-apa yang telah kalian lakukan.”

Celaan itu juga dapat dipastikan karena sebenarnya ayat di atas memberikan kabar tentang akan munculnya umat yang lebih baik dari mereka para shahabat di akhir jaman. KARENA DIKATAKAN DALAM HADITS-HADITS SUNNI YANG BANYAK DIMUAT DALAM BANYAK TAFSIR- TAFSIR SUNNI BAHWA UMAT PENGGANTI ITU ADALAH IRAN.

Lihat tafsir: Al-Durru al-Mantsuur, karya Suyuuthi; Kasysyaaf, karya Zamakhsyarii; Ibnu Katsiir; al-Aaluusii; Baidhaawii; al-Tsa’aalibii; Tsa’labii; Fakhru al-RAaazii; Thabarii; Qurthubii; dan lain-lainnya.

Penutup: Saya tidak halalkan siapa saja yang menggunakan tulisan saya tentang shahabat ini untuk perpecahan umat muslim (Sunni dan Syi’ah). Karena tulisan ini hanya untuk kajian semata sesuai dengan salah satu tinjuannya yang saya yakini kebenarannya dimana keyakinan saya ini tidak menjamin kebenaran di sisiNya. Jadi, ia hanya bersifat kajian untuk direnungkan, bukan untuk dikobar-kobarkan dimana bisa menimbulkan kesalahpahaman dan perpecahan. Keyakinan yang saya maksud adalah bahwa shahabat itu adalah umat seperti umat-umat lainnya yang, bisa diridhai Tuhan dan bisa dimurkai, bisa juga diridhai tapi setelah itu dimurkai ..dst. Artinya ayat 100 surat Taubah itu bukan jaminan bagi shahabat dan bukan perintah mutlak kepada kita untuk mengikuti shahabat secara mutlak. Jadi, yang diridhai Tuhan dan dijanjikan surga adalah shahabat yang baik dan kebaikannya itu tidak berubah, begitu pula orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan mereka itu. Wassalam.

Aufa Opa: Terima kasih ustad...

Komarudin Tamyis: Ahsan wa syukran.

Sinar Agama: Aufa + Tamyis: ok, sama-sama. 



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ