﷽
seri tanya jawab Mulla Adhy Chaer dengan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326176887427114/ by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, December 28, 2011 at 9:51pm
Mulla Adhy Chaer: Assalamualaikum. Afwan ustadz.. jika yang dimaksud dengan ilmu adalah sesuainya yang kita tahu dengan kenyataannya..lalu bagaimana dengan Tuhan, saya masih kurang mengerti Tuhan sebagai kenyataan?
Ammar Dalil Gisting menyukai ini.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
(1). Ilmu itu memang sesuainya info yang ada di akal kita dengan yang senyatanya, atau obyek ilmunya.
(2). Sedang info yang salah, dikatakan sebagai kebodohan atau ketidaktahuan.
(3). Info yang salah, tapi diyakini benar, dikatakan tetap ketidaktahuan, tapi pemiliknya dikatakan Jahil Murakkab, Kebodohan Ganda atau Ketidaktahuan Ganda atau Bodoh Ganda.
(4). Ilmu banyak bagiannya. Salah satunya, dilihat dari infonya yang datang, apakah obyeknya langsung sehingga dikatakan Ilmu Hudhuri, atau copy-annya lewat panca indra hingga dikatakan Ilmu Hushuli.
(5). Ilmu Hudhuri itu ada 3 macam: Ilmu sesuatu pada dirinya sendiri; Ilmu sesuatu pada akibatnya; dan Ilmu sesuatu pada sebabnya seukuran akibatnya.
(6). Ilmu Tuhan terhadap DiriNya, atau ilmu makhluk yang memiliki akibat, terhadap akibatnya, adalah ilmu Huduri. Begitu pula ilmu akibat terhadap sebabnya.
(7). Ilmu akibat terhadap sebabnya ini tidak bisa melebihi ukuran diri akibat tersebut.
(8). Sekarang baru masuk bab Ilmu kita tentang Tuhan. Kalau ilmu kita itu Hudhuri, seperti mengetahuiNya tanpa perantaraan yang ada di ilmu Hushuli, seperti panca indra dan pikir, maka ilmu kita tentangNya adalah Hudhuri dan ini sebaik-baik ilmu tentangNya. Karena kita mengetahuiNya dengan kehadiranNya pada diri kita.
Tapi jangan lupa bahwa harus dibedakan dengan berkhayal menghadirkanNya atau mengilmu- hudurikanNya. Karena banyak orang merasa menghadirkan Tuhan padahal itu khayalannya saja. Seperti merasa khusyu’ berdoa atau shalat manakala diiringi musik. Instrumen ini adalah haram. Karena itu ketika ia merasa khusyu’ dengan musik itu, sebenarnya ia hanyut dalam perasaannya sendiri hingga ia menghayal bahwa ia dekat denganNya atau bersamaNya. Begitu pula dengan perasaan-perasaan lainnya yang merasa telah merasakan kehadiranNya padahal ia bermaksiat padaNya. Kehadiran-kehadiran seperti itu sebenarnya adalah kehadiran yang sangat dangkal, karena di bawah perasaannya, bukan hakikat kehadiran yang dibahas dalam ilmu kehadiran atau Hudhuri itu.
Sedang yang merasakan kehadiranNya dan tidak maksiat padaNya, ada kemungkinan itu memang benar ilmu Hudhuri tentangNya. Tapi bisa saja tetap hayalannya. Tergantung keadaan masing-masing. Yang jelas, kalau bermaksiat berarti bukan kehadiranNya, tapi kalau tidak maksiat belum tentu kehadiranNya.
Apapun kehadiran itu, baik yang tinggi, seperti Ilmu Hudhuri ini atau yang rendah seperti hayalan itu, tetap saja memiliki manfaat dan merupakan hidayah Tuhan. Karena itulah, nanti di akhirat, yang bermaksiat tidak bisa membela diri, karena ia sudah tahu kalau dilihat Tuhannya, yakni dalam kehadiranNya. Itulah yang dimaksud Imam Khumaini ra, janganlah kalian bermaksiat, karena alam ini ada dalam kehadiranNya.
Apapun tingginya dan bagaimanapun hakikat Ilmu Hudhuri tentang Tuhan ini, tetap saja tidak akan melebihi tingkatan dirinya, walau ia seorang Insan Kamil sekalipun. Karena itulah, maka Tuhan tetap lebih besar dari yang diketahuinya itu. Inilah makna Allahu Akbar, yakni Allah Lebih Besar. Yakni bukan lebih besar makhluk, karena yang terbatas tidak mungkin dibandingkan dengan yang tidak terbatas, lalu dikatakan yang tidak terbatas itu lebih besar. Karena terlalu jauh jaraknya, dan bahkan tidak terbatas. Karena jarak yang terbatas dengan yang tidak terbatas, adalah tidak terbatas pula. Mengatakan bahwa langit itu lebih tinggi dari manusia saja sudah lucu, kita lebih tampan dari keledai saja sudah lucu, padahal kedua- dua yang dibandingkan itu sama-sama terbatas, apalagi kalau salah satunya tidak terbatas (Tuhan). Inilah makna Allhu Akbar.
(9). Tapi kalau ilmu tentang Tuhannya itu didapat dari alat Ilmu Hushuli, seperti panca indra dan pikir atau renung, maka semua ilmunya adalah ilmu Hushuli. Jadi, kalau kita ini mengerti Tuhan dengan argumentasi maka itu semua adalah Ilmu Hushuli.
(10). Beda Ilmu hushuli dan hudhuri tentang Tuhan ini jelas sekali. Yang satu merasakan kehadiran- Nya sesuai dengan keluasan dirinya sendiri, bukan sesuai keMaha Luasan DiriNya, sedang ilmu Hushuli mendapat info tentang kehadiranNya itu. Jadi, Hushuli info kehadiranNya, sedang Hudhuri kehadiranNya itu sendiri.
(11). Ilmu Hudhuri sudah pasti benar karena yang datang adalah obyek ilmunya langsung, sedang ilmu Hushuli belum tentu benar, karena info.
(12). Kalau dasar dari Hushuli itu adalah argumentasi yang kuat dan gamblang, maka sangat mungkin ia merupakan kebenaran. Akan tetapi derajatnya tetap saja di bawah Hudhuri. Karena info tentang kurma dengan makan kurma itu berbeda sama sekali.
(13). Walaupun Ilmu Huduri yang dalam hal ini adalah ilmu tentang Tuhan itu adalah pasti benar (tentu yang hakikinya, bukan yang khayalannya atau dakwaannya atau perasaannya saja), dimana sudah dikatakan bahwa tidak akan melebihi batasan yang tahu hingga karenanya dikatakan bahwa Allah itu Lebih Besar, namun demikian, ilmu tersebut tetap bisa dikatakan benar. Artinya, walaupun orang buta mengerti gajah seukuran telinga yang dirabanya, tapi ia tetap saja bagian dari gajah dan tidak dusta. Ini contoh materinya. Sementara Tuhan bukan materi. Karena itulah, orang yang mengatakan bahwa ia merasakan kehadiranNya sebatas dirinya sendiri, maka bisa saja ia tidak dusta (tergantung pada hakikat yang dirasakan dan tanda-tanda aplikasinya). Tapi kalau mengatakan merasakan Tuhan sebagaimana Tuhan, maka ia pasti dusta, kecuali kalau bermaksud hiperbolik dalam sastra. Jadi, ilmu kita tentang Tuhan dalam Ilmu Hudhurinya ini juga memiliki gradasi, begitu pula ilmu-ilmu manusia dengan para malaikat, atau ilmu semuanya dengan Ilmu Tuhan itu sendiri.
Sedang Ilmu Hushuli yang gamblang itu, walaupun bisa juga dikatakan pasti benar, namun demikian ia tetap di bawah Ilmu Hudhuri. Karena info tetap hanya info, bukan yang diinfokan. Akan tetapi, ia bisa dikatakan benar, karena memang infonya sesuai dengan kenyataanNya walau, sekali lagi, hanya berupa info.
(14). Salah satu beda Hudhuri yang didapat dengan mengaplikasikan ilmunya tentang Tuhan, dengan ilmu Hushuli yang filosofis dan argumentatif yang didapat dengan perenungan, adalah terbawanya ilmu Hudhuri itu ke mana saja walau ke kubur dan ke akhirat, akan tetapi ilmu Hushuli akan meninggalkan kita manakala kita sudah pikun dan apalagi mati.
Itulah mengapa tidak ada filosof yang hakiki yang pernah bangga dengan ilmunya. Karena ia tahu, ilmunya hanyalah pintu pertama mengenalNya untuk diaplikasikannya. Jadi, ilmu argumentatif non taqwais atau non aplikatif, maka ia walaupun cahaya, akan tetapi merupakan cahaya pertama yang akan meninggalkan kita.
Mana bisa orang dikatakan tahu Tuhan secara hakiki, walaupun sudah dengan menulis buku argumentasi tentang KeMaha Melihatan Tuhan dalam seratus jilid dan membuat pembacanya sampai pingsan-pingsan karena berfikir dan karena kehebatannya, tapi dalam pada itu, ia tetap melakukan riya’, maksiat, pamrih, dan seterusnya ???!!!!? Apakah bisa dikatakan bahwa ia tahu tentang keMaha Melihatan Tuhan itu dengan hakiki???? Itulah mengapa orang seperti ini, jangankan bisa melihat ilmunya di kuburan, menciumnya saja tidak akan bisa.
Begitu pula sang ’Arif (baca yang mengaplikasikan semua ilmunya tentang Tuhan, bukan wahdatulwujud), ia juga tidak akan pernah membanggakan walau dalam hati tentang ilmu Hudhurinya itu. Karena sekali bangga, maka ia akan keluar dari Hudhurinya dan akan masuk kembali ke Hushulinya.
Jadi, keduanya, Filosof dan ’Arif, sama-sama tidak akan pernah membanggakan dirinya walau pada dirinya sendiri, apalagi pada orang lain.
Tambahan sedikit:
Ilmu Khudhri atau Hushuli yang benar itu, adalah benar dan boleh disembah kalau diyakini sebagai jauh lebih kecil dari Allah dimana dikandungi dalam takbir kita, Allahu Akbar. Tapi akan menjadi salah, kalau didakwa sebagai Ia secara hakiki, seperti orang buta yang mengatakan bahwa gajah itu lembaran SAJA.
Itulah mengapa Imam Ja’far as mengatakan (+/-): ’Apapun yang kamu tahu tentang Tuhan, ia adalah patung buatanmu sendiri.” Artinya, bukan Tuhan secara hakiki. Karena itulah sembahlah Ia dengan ilmu kita itu, tapi selalu dinafasi dengan Allahu Akbar.
Penutup:
Dengan semua penjelasan itu, apakah saudara-saudaraku sudah paham:
- Mengapa alfakir selalu menekankan argumentasi gamblang ????!!!!!? Tentu saja supaya tidak salah mengaplikasikannya dan menuju Tuhannya.
- Mengapa alfakir selalu menekankan aplikatifnya??!!!!? Tentu saja supaya ilmu tentang Tuhannya itu bisa dibawa mati dan ke akhirat.
- Mengapa alfakir selalu menekankan ikhlash dan tanpa pamrih????!!!!? Tentu saja supaya tidak menentang ilmunya sendiri, karena hal itu akan membakar imunya itu sendiri hingga tidak tersisa untuk ke kuburan.
- Mengapa alfakir selalu mengatakan hati-hati dalam agama untuk tidak ngomong sembarang- an????!!!? Tentu saja, supaya kalau salah, tidak menanggung dosa orang lain, yakni ikut dosa dan kesesatannya.
- Mengapa alfakir selalu mengatakan jangan bersyair dalam beragama (hanya berkata-kata indah)?????!!!!!!? Tentu saja, karena syair-syair indah yang non aplikatif itu hanya akan menjadikan kita berhayal sudah menjadi orang muslim yang baik. Sementara hayal ini, jangankan dibawa ke kuburan, dibanding dengan ilmu hakikat yang Hushuli saja sudah jauh di bawahnya.
- Mengapa alfakir sering mengatakan jangan pernah seperti wahabi yang membagi-bagi kebenaran dan kesesatan atau neraka dan surga di mana-mana seperti pewaris kebenaran dan surga-neraka itu???!!!!? Tentu saja karena ilmu Tuhan yang seperti ini, bukan tidak lagi terbawa ke akhirat, tapi akan menjadi saksi terhadap kefir’unannya, terhadap kemerasatuhanannya, kemerasamahabenarannya,..... dan seterusnya termasuk terhadap kegilaannya itu.
- Mengapa alfakir walau hati ini dipenuhi rindu tak terbatas, tapi tidak berani menyapa antum semua dengan dada penuh sesak kesombongan, keriya’an, kekotoran, kepamrihan dan kebah- lulan ini???!!!? Tentu saja karena masih mengharap pengabulanNya dan tidak akan putus asa atas rahmatNya.
Wassalam.
Tio Adjie: Allahu Akbar. Ya Allah ma’afkan kami yang pernah merasa kenal denganMu padahal kami adalah wujud yang terbatas sementara diriMu adalah yang Sempurna yang tiada terbatas. Ma’afkan kami yang berpikir bahwa perjalanan akhir pencari ilmu adalah dalil yang gamblang sementara disitu pula kami berbuat maksiat. Padahal Imam berkata tiadalah orang dikatakan tahu dan berilmu bila tidak bisa meninggalkan maksiat. Dan kami baru sadar bahwa dalil argumentatif yang tidak diaplikasikan dalam bentuk amal saleh tidak akan bisa menyelamatkan kami diakherat. Ya Allah ma’afkan kami. Terima kasih Ustadz sharing ilmunya, hanya Allah yang membalas. Salam.
Daris Asgar: Sangat mencerahkan,,,Syukron Ustadz,,,...Semoga Antum sekeluarga mendapatkan Pahala Sebesar-besarnya,,,Ya Allah berikan dan jadikanlah Ilmu yang manfa’at kepada kami semua. Amin...
January 30, 2012 at 4:02pm
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar