Jumat, 15 November 2019

Imamah dan Khilafah

1. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 1

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-1/10152453504393937


Sang Pencinta: Salam, ada yang merikues tanggapan ustadz tentang paparan ustadz Muhsin Labib dengan tema Imamah & Khalifah berikut.

https://www.facebook.com/yandasadra/posts/10204540161401694


Muhsin Labib:

10 September ·

Salam

Izinkan saya mengeluarkan uneg-uneg yang hanya mewakili perspektif saya pribadi terkait isu paling banyak menghamburkan energi positif umat Islam, Sunni dan Syiah karena konflik yang diciptakan oleh pihak ketiga maupun konflik yang muncul sebagai akibat kehendak saling menafikan.


Kepemimpinan setelah Nabi

Biang Perbedaan


Bagaimana konsep kepemimpinan dalam Islam? Bagaimana mendudukkan imamah dan khilafah dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaan politik? Benarkah kepemimpinan Imamah ala Syiah dan kepemimpinan Khilafah ala Sunni bertentangan?

Secara etimologis, khalifah berasal dari khalafa, yang berarti menyusul, melanjutkan, dan lawan kata dari salafa, yang berarti mendahului. Dari arti umum ini khalifah mencakup arti keseluruhan, suksesi kepemimpinan. Ia bisa berarti nabi yang datang menggantikan nabi sebelumnya, sebagaimana Isma’il dan Ishaq yang menggantikan posisi Nabi Ibrahim as, atau boleh jadi person bukan nabi yang melanjutkan kepemimpinannya, sebagaimana sahabat yang diyakini melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.

Dalam konteks Nabi sebagai pemimpin, terdapat dua fungsi, yaitu: kepemimpinan vertikal dan kepemimpinan horisontal. Karena itu, person yang diyakini sebagai pengganti Nabi, mesti diperjelas apakah ia merupakan pengganti Nabi dalam konteks vertikal ataukah horisontal. Meskipun khalifah mempunyai arti luas, suksesi atau melanjutkan, khalifah telah terbatas pengertiannya dalam terapan yang bersifat sosial, politik, kenegaraan, teritorial dan horisontal. Sedangkan Imamah yang juga mempunyai arti luas bahkan mencakup imam salat dan suami sekali pun, dalam kenyataannya, telah terbatas pengertiannya dalam terapan yang bersifat individual, spiritual, intelektual, universal dan vertikal. Penjelasan ini penting agar ba-nyaknya istilah khilafah, imamah, imarah tidak mereduksi pengertian kepemimpinan horisontal dan vertikal. Dalam kenyataan historisnya, khilafah diterapkan sebagai kepemimpinan horisontal dan imamah diterapkan sebagai kepemimpinan vertikal.

Dengan demikian, khilafah yang dimaksud di sini bermakna kepemimpinan pengganti Nabi (khalifah al-Nabi), bukan khalifah dalam ayat 30 surah Al-Baqarah, khalifah fi al-ardh (khalifah di muka bumi). Khalifah pada ayat tersebut bermakna manusia sebagai spesies, bukan manusia sebagai individu.

Sebagian kalangan Syiah menganggap dua frase itu sama dalam makna sehingga menganggap kepemimpinan yang diklaim Sunni sebagai kontra kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait. Sebagian kalangan Sunni juga menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagai delegitimasi kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Sudah banyak polemik dan perdebatan antara Syiah dan Sunni untuk membuktikan kebenaran pendapat masing-masing. Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengemukakan salah satu pendapat yang mewakili satu mazhab, namun berusaha mencari sebuah konsep yang diharapkan mampu mengharmoniskan keduanya.

Bila isu kepemimpinan ini dijelaskan secara komprehensif de-ngan mengedepankan semangat mencari benang merah untuk diterima oleh kedua belah pihak, maka jalan menuju kesepahaman dan rekonsiliasi terbuka lebar. Salah satu syaratnya adalah membuang jauh-jauh tendensi klaim kebenaran mutlak yang secara logis tidak bisa diterima.

Konflik menjadi makin rumit karena Sunni menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagai tandingan konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni, dan Syiah menganggap konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni sebagai antikonsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah. Padahal, bila diperhatikan secara seksama dan bebas dari sentimen sektarianisme, rincian konsep Khilafah dan Imamah berbeda secara substansial dan tidak niscaya saling menafikan.

Perbedaan Khilafah dan Imamah

Area

Khilafah adalah kepemimpinan dengan batas teritori tertentu, yang mengikat secara struktural setiap warga yang berada di dalamnya, sehingga tidak mengikat orang di luar area tersebut. Sedangkan imamah adalah kepemimpinan yang melampaui batas teritorial, daerah, negara, dan lainnya tetapi mengikat secara spiritual dan teologis setiap pribadi yang meyakininya. Adanya kelompok yang ingin mengembalikan kekhilafahan di masa lalu untuk umat Islam menjadi tidak tepat guna, karena khalifah bersifat institusional (kenegaraan) dan teritorial.

Objek

Umat adalah pihak lain yang merupakan objek niscaya imam. Di dalam Alquran, surah Yunus ayat 19 misalnya, Allah menyifatkan umat – ummah serumpun dengan imam dan imamah – sebagai sesuatu yang tunggal. Hal ini menunjukkan keterkaitan langsung antara Imam dan Ummah. Sedangkan khilafah mempunyai objek warga negara yang membaiatnya. Dalam ayat Alquran, bangsa (sya’b) disebutkan dalam bentuk plural – syu’uban wa qabail.415 Di sinilah objek khilafah dan imamah menjadi benderang.

Relasi

Kepemimpinan vertikal atau imamah semestinya memang dipegang oleh orang-orang suci dan memiliki spiritualitas tinggi seperti Nabi dan wali. Kepemimpinan horisontal atau khilafah tidak niscaya dipegang oleh manusia suci. Meski tentu, Nabi, sebagai pemimpin umat (imam) diyakini telah terbukti menjadi pemimpin horisontal yang menjalankan fungsi kepemimpinan administratif juga.

Keabsahan

Syiah meyakini Imamah sebagai kepemimpinan umat. Karena-nya, ia harus dipegang oleh pribadi yang memenuhi syarat-syarat ketat yang tidak bisa disandang oleh pribadi yang tidak suci. Karena itu, Syiah meyakini Ali sebagai pemimpin umat. Sedangkan Sunni meyakini kepemimpinan yang bersifat struktural dengan batas teritorial sebuah state (negara). Karena itu, Sunni tidak menetapkan syarat kesucian bagi pemegangnya.

Pemangku

Ali bin Abi Thalib diyakini sebagai imam sedetik setelah Nabi wafat karena kepemimpinan umat (Imamah) tidak dibangun legitimasinya melalui pemilihan masyarakat. Ia seorang yang tidak pernah melakukan penyembahan berhala sejak kecil. Sedangkan Sunni menitikberatkan pada konsep keadilan bagi seorang khalifah, yaitu tidak cacat moral.

Mekanisme

Ali bin Abi Thalib diyakini sebagai Imam dengan proses deklarasi pengangkatan oleh Nabi Saw saat di Ghadir Khum sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt dalam Alquran.416 Sementara Ali bin Abi Thalib memberikan baiatnya kepada Abu Bakar sebagai pemimpin masyarakat (Khalifah), karena tidak menganggapnya sebagai pemimpin umat. Baiat merupakan kontrak sosial politik. Karena itu pula, Syiah tidak mensyaratkan baiat untuk menjadi pengikut Ali (sebagai pemimpin umat). Dalam Syiah, baiat memang bukan syarat.

Fungsi

Sebagaimana mekanisme imamah dan khilafah berbeda, maka fungsi imamah bersifat spiritual, bukan institusional sebagaimana dalam khilafah.

Karakteristik

Tolok ukur khilafah adalah kapabilitas, akuntabilitas, dan aksep-tabilitas. Sementara konsep imamah, tak harus diterima oleh publik (sosial). Karena memang imamah tidak ada hubungannya dengan pilihan masyarakat. Ia adalah hak prerogatif Tuhan yang bersifat transenden dan divine. Persis sebagaimana Muhammad Saw ditunjuk sebagai Nabi, publik suka atau tidak, setuju atau tidak, Muhammad tetaplah seorang Nabi. Selanjutnya, dalam berbagai ordo tasawuf pun, Imam Ali diyakini sebagai pemimpin para wali. Hubungan ini bersifat kepatuhan spiritual yang didasarkan pada hubungan cinta bukan bersifat kepatuhan administratif. Kepatuhan administratif ini lebih menekankan hubu-ngan tugas kelembagaan, antara atasan dan bawahan.

Bentuk

Sebagaimana pernah dijelaskan tentang pengangkatan Nabi Ibrahim as sebagai Imam dalam QS. Al-Baqarah [2]: 124 pada bagian pertama buku ini yang menunjukkan bahwa imamah merupakan proses penciptaan (takwini). Sementara bentuk khilafah adalah penetapan yang bersumber dari kontrak sosial (tasyri’i).

Kritik Syiah terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman harus dipahami sebagai kritik terhadap kebijaksanaannya sebagai pemimpin struktural administratif. Bahkan penolakan Syiah terhadap ketiga khalifah tersebut karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat kepemimpinan administratif, bukan kepemimpinan spiritual. Sayangnya, sebagian orang Syiah, juga Sunni, menganggap imamah dan khilafah sebagai satu makna. Akibatnya, substansi masalah tereduksi dan dikaburkan oleh sentimen sektarian yang memanas karena kesalahpahaman yang berkepanjangan.

Kesalahpahaman tanpa Klarifikasi

Yang patut disayangkan, adanya orang-orang Syiah yang memberikan pernyataan yang bisa ditafsirkan sebagai penolakan terhadap kepemimpinan struktural itu. Misalnya, dengan memunculkan terma ‘perampasan hak kepemimpinan’, yang terkesan mereduksi Imamah menjadi Khilafah. Padahal, perampasan tidak ada dalam konteks imamah. Imamah tak bisa dirampas dan diberikan oleh siapa pun.

Menurut orang Syiah, syarat keterpilihan para khalifah terdahulu masih patut dipertanyakan. Jadi, kritik Syiah atas keterpilihan para khalifah bukan pada soal perampasan imamah, melainkan dalam hal proses pemilihan dan kebijakan mereka selama menjadi khalifah.

Sejarah menunjukkan bahwa Imam Ali tetap mendukung dan membaiat khalifah Abu Bakar, meskipun setelah berlalu enam bulan. Pembaiatan tersebut justru menjadi indikator bahwa syarat aksep-tabilitas publik telah terpenuhi dan kebijakan khalifah telah diakui. Hal ini bisa menjadi dasar bahwa kekhalifahan tidaklah berada dalam posisi vis a vis dengan imamah. Sebaliknya, ucapan selamat dari Umar atas Imam Ali pada hari Ghadir Khum adalah pengakuannya kepada Ali bin Abi Thalib sebagai wali/Imam (spiritual) dan tidak menghilangkan peluangnya sebagai khalifah (struktural) pada periode selanjutnya. Imam Ali jelas tidak pernah mundur dari posisinya sebagai Imam, karena memang posisi Imam tidak bisa dianulir.
Posisi Imam bukan kepemimpinan yang bersifat struktural dan ditentukan berdasarkan banyaknya suara pemilih. Syiah berkeyakinan bahwa Imam Ali ditunjuk langsung sebagai Imam oleh Nabi.

Dua Dimensi Kepemimpinan Nabi

Langkah dan kebijakan pertama yang diambil Nabi dalam upaya menjaga kelancaran dan membina masyarakat ialah mengendalikan pemerintahan secara langsung. Langkah kedua ialah melakukan serangkaian kebijakan dengan perencanaan matang agar program ini tidak mandek dengan melancarkan aksi perombakan dan pembenahan total dalam tubuh masyarakat; moral, mental, pola tindak, cara berfikir, watak dan seluruh aspek yang bertalian erat dengan umat.

Patut diingat bahwa reformasi menyeluruh memerlukan jangka waktu panjang dan menuntut adanya SDM yang dapat diandalkan untuk mengawal pembinaan masyarakat sekaligus mengantisipasi hambatan dan gejala-gejala kelesuan yang bisa mengganggu.

Syiah meyakini bahwa Rasulullah Saw mempersiapkan Ali seba-gai pemimpin spiritual (agama) dan sekaligus struktural (politik). Karena masyarakat kala itu belum memiliki kematangan yang cukup untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan Syura.

Kemudian setelah diteliti secara seksama situasi dan kondisi yang ada, sistem kepemimpinan yang disiapkan oleh Nabi Muhammad Saw sesungguhnya mengikuti situasi sosiologis yang melingkupi umat Islam pada saat itu. Mengapa? Nabi sangat sadar bahwa masyarakat sepeninggalnya masih belum bersih dari karakteristik tribal yang amat jauh berjarak dari masyarakat berperadaban yang ideal.

Dalam pandangan ini hanya ada dua asumsi, yakni; Pertama, Nabi tidak memikirkan pentingnya kepemimpinan sepeninggal beliau Saw. Asumsi ini tentu tertolak karena bertentangan dengan sifat kepemimpinan Nabi yang harish, ra’uf dan rahim. Tidak mungkin Nabi membiarkan umat yang akan ditinggalkannya terbengkalai tanpa pemimpin. Kedua, Nabi merencanakan suksesi sepeninggal beliau Saw. Asumsi kedua ini terbagi menjadi dua kemungkinan, yaitu; pertama, bahwa Nabi telah membentuk masyarakat yang matang dan ideal untuk menjalankan prinsip-prinsip syura dalam menentukan pemimpin sosial, dan kedua, Nabi menyiapkan kader handal sebagai pemimpin yang akan mengantar terbentuknya masyarakat beradab.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kondisi masyarakat sesaat setelah Nabi wafat belum memenuhi syarat masyarakat pada kemungkinan pertama di atas. Hal ini ditunjukkan misalnya, tersisanya karakter tribal jahiliyah dan sentimen primordial di balai Saqifah dengan saling mengunggulkan klan masing-masing. Oleh sebab itu, kemungkinan ini juga tertolak.

Sedangkan kemungkinan kedua pada asumsi kedua di atas, sebagai seorang Nabi yang suci tentu merencanakan sosok kader yang handal untuk membentuk masyarakat ideal. Sebagai seorang Rasul beliau bertugas menghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan menjadi jalan keluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema kehidupan dengan menunjuk figur terbaik dan handal sepeninggal beliau. Selain itu, figur tersebut berfungsi untuk menerjemahkan dan menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran.

Umat Islam memerlukan pemahaman yang jelas dan sempurna tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiap perkara. Mereka niscaya memerlukan adanya kepemimpinan spiritual yang ditetapkan oleh Allah Swt dan disampaikan melalui lisan Rasulullah Saw.

Kepemimpinan Spiritual dan Struktural

Kepemimpinan spiritual berbeda dengan kepemimpinan struk-tural (politik). Bila seorang khalifah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin intelektual dan menjadi panutan pemikiran atas dasar Alquran dan Sunnah dalam memahami teori tersebut. Dan terbukti bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syarat penting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlul Bait dengan segala kemampuan mereka dan tergambar dalam nas serta bukti-bukti yang sudah ada.

Karena itu, kepemimpinan spiritual lebih penting dari kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Dan akhirnya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpin spiritual karena mempertimbangkan satu dan sebab lainnya. Sampai-sampai Khalifah Kedua seringkali bersumpah dengan memuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah spiritual.
la selalu berkata, “Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah akan membiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali) tidak segera menyelesaikannya.”

Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnya terhadap Ahlul Bait Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh dan pemimpin dalam bidang spiritual, dan sebaliknya mereka sedikit demi sedikit memandang Ahlul Bait sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka dan bahkan menganggap mereka sebagai awam.

Secara nyata terbukti bahwa Ahlul Bait kehilangan fungsi isti-mewa sebagai pemimpin-pemimpin spiritual dan pudar di tengah-tengah para sahabat. Mereka berstatus tidak lebih sebagai sahabat Rasul yang sama-sama berhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin spiritual.

Sebagaimana telah terbukti dalam sejarah para sahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian yang terkadang meminta darah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang mereka kobarkan sendiri. Masing-masing pasukan menganggap lebih konsekuen terhadap nilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng.

Sebagai akibat dari perselisihan dan perang tuduh yang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin itulah timbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh masyarakat Islam.

Ambiguitas Mekanisme dan Kebijakan dalam Khilafah

Apakah Nabi Saw mewariskan sistem atau format tertentu tentang kepemimpinan? Ada dua jawaban, ya dan tidak. Ya, bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinan keagamaan. Tidak, bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinan sosial kenegaraan. Sejak Abu Bakar sampai Ali tak ada satu konsep baku mengenai mekanisme penunjukan khalifah. Bahkan seandainya peristiwa di Saqifah Bani Saidah dianggap sebagai sistem pemilihan pemimpin yang terbaik, niscaya Abu Bakar sendiri akan meniru sistem tersebut.

Nyatanya, Abu Bakar lebih memilih untuk menunjuk Umar secara langsung –kemudian diikuti sahabat lainnya—sebelum beliau wafat. Begitu pula ketika Umar terluka, beliau lebih memilih enam orang pembesar sahabat untuk menjadi kandidat khalifah setelahnya, dan begitu seterusnya.
Tak ada konsep baku dalam pemilihan khalifah. Ia terus menga-lami perubahan dari satu sistem ke sistem lainnya. Sebagai bentuk ketegasan bahwa konsep khilafah adalah urusan furu’-ijtihadi, yang suatu saat akan [pasti] mengalami perubahan. Penikmat sejarah akan tahu bahwa konsep khilafah hanya satu dari sekian sistem yang pernah dipraktekkan dalam peradaban manusia. Sistem khilafah sama dengan sistem lainnya: kesepakatan manusia yang kemudian membentuk konsep, yang barangkali ideal pada masa tertentu. Khilafah, atau apa pun namanya, merupakan salah satu temuan yang mencoba mewujudkan kemaslahatan dan keadilan di dunia.

Selain itu, bisa disimpulkan, tak semua kebijakan para khalifah (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) sekali pun bisa ditafsirkan seba-gai keputusan keagamaan, karena semata kebijakan politik.


Banyak pihak menduga keputusan Abu Bakar memerangi kaum murtaddin (dianggap keluar dari agama Islam karena tak mau bayar zakat) sebagai keputusan keagamaan. Padahal sesungguhnya itu adalah kebijakan politik semata. Abu Bakar mempertimbangkan gejala tersebut sebagai sinyal bahaya yang mengancam kesatuan negara setelah wafatnya Rasul Saw dan perlu segera diambil tindakan. Memahami kebijakan harb al-riddah (perang terhadap kaum yang dianggap murtad) sebagai konsekuensi logis agamis tidaklah tepat, sebab Umar sendiri sempat protes, “Bagaimana bisa engkau hendak memerangi orang-orang yang masih menghadap kiblat (salat)?”

Selain itu, zakat termasuk salah satu devisa terbesar negara waktu itu di samping harta rampasan (ghanimah). Kebijakan Abu Bakar kemudian dilanjutkan oleh Umar setelahnya. Namun di masa Ustman, zakat tak lagi diurus oleh negara, tapi diserahkan sepenuhnya pada individu kaum muslimin tanpa intervensi negara. Di sini, penamaan harb al-riddah bisa dipahami sebagai “tendensi politik”, karena muslim yang tidak mengeluarkan zakat secara ijmak bukanlah murtad. Bisa jadi keputusan Bani Tamim yang tak mau bayar zakat pada negara bermuatan politis karena pengangkatan Abu Bakar dianggap tidak memenuhi quorum.

Khalifah kedua, Umar bin Khatthab, juga demikian. Khalifah yang terkenal pemberani ini banyak melakukan terobosan kontroversial. Bahkan Umar dalam banyak kasus sering melabrak teks-teks qath’i (hukum pasti), semisal kebijakannya untuk tidak memotong tangan pencuri tatkala masa paceklik, atau kebijakan Umar yang tak mau memberi jatah golongan muallaf karena keislaman mereka yang masih dianggapnya oportunistik.


Tribalisme atas Nama Khilafah

Faktor lain yang turut melanggengkan konflik ini adalah upaya Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah memanipulasi isu kepemimpinan ini dengan memberi warna keagamaan atas kepemimpinan formal administratif ini demi memberikan legitimasi atas kekuasaannya yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan spiritual (imamah) dan syarat kepemimpinan formal struktural, seraya mengampanyekan bahwa kekuasaannya adalah kepanjangan dari kepemimpinan tiga khalifah.

Akibatnya, sebagian orang Sunni terpengaruh dan cenderung menganggap konsep kepemimpinan Syiah sebagai antikepemimpinan yang diyakini Sunni. Selanjutnya, ditafsirkan secara ekstrem sebagai penghinaan terhadap para khalifah tersebut. Konflik makin sengit manakala melebar ke persoalan-persoalan keagamaan lainnya, sehingga terbelahlah tubuh umat yang satu menjadi dua; Sunni dan Syiah.

Kritik terhadap Khalifah

Kritik Syiah terhadap khalifah-khalifah bersifat politis semata. Hal itu karena bagi Syiah, kepemimpinan keumatan (imam) adalah masalah final yang tidak terkait secara langsung dengan kepemimpinan struktural. Artinya, meski menerima dua jenis kepemimpinan; keumatan dan kemasyarakatan, tidak niscaya Syiah tidak mengkritik dan mengajukan keberatan terhadap para khalifah itu terkait elektabilitas, kredibilitas dan kebijakan-kebijakannya selama menjadi pemimpin negara.

Tidak hanya Syiah yang meyakini khalifah bukanlah imam, tapi juga Sunni. Dengan meyakini tiga khalifah bukan imam, dengan melakukan penunjukkan secara personal, itu semuanya mengonfirmasi bahwa Sunni tidak sedang membicarakan kepemimpinan ketuhanan yang menjadi pilar penting mazhab Syiah.

Dengan begitu kita bisa membedakan dua jenis kepemimpinan ini. Kepemimpinan ala Syiah adalah jenis kepemimpinan spiritual yang sifatnya vertikal. Konsep kepemimpinan yang dibangun karena meyakini Nabi sebagai orang yang mendapatkan legitimasi ketuha-nan pasti menunjuk orang untuk menggantikannya.

Sementara kepemimpinan struktural dibangun atas dasar akseptabilitas publik. Sehingga boleh jadi seorang imam juga bisa sekaligus menjadi pemimpin struktural (khalifah) kalau memang diterima oleh masyarakatnya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Hasan dan Husain adalah dua Imam, baik berkuasa maupun tidak berkuasa.” Artinya baik saat kepemimpinan politik atau administrasi ia pegang atau pun tidak, mereka tetaplah Imam.

Dalam konteks ini muncul dua istilah yang sebetulnya berbeda, tetapi sering disalahpahami sebagai satu hal yang sama, yaitu kepemimpinan dan kekuasaan. Seorang pemimpin dalam pengertian Imam tidaklah harus berkuasa. Karena kekuasaan dibangun de-ngan media pemilihan atau kekuatan. Ia ambil kekuasaan itu dengan kekuatan (pemaksaan) atau dengan pemilihan (akseptabilitas publik).

Meski berbeda basis, Imamah yang basisnya adalah legitimasi ketuhanan, sedangkan Khilafah yang basisnya adalah pilihan dan akseptabilitas publik, bukan berarti keduanya tidak bisa bertemu dalam satu bentuk dan beririsan antar keduanya. Bisa jadi Khilafah dan Imamah berlaku dalam satu sistem, sebagaimana Imam Ali saat menjabat sebagai Khalifah keempat. Sehingga, jika sejak awal Imamah dipahami sebagai kepemimpinan spiritual, maka tidak seperti anggapan sebagian Sunni, imamah Ali bin Abi Thalib tidak gugur meskipun dia tidak menjabat sebagai khalifah.

Kesimpulan

Ternyata kesalahpahaman yang tidak segera diklarifikasi akan menjadi objek dramatisasi dan bahan bagi pihak ketiga untuk me-ngadu domba dua kelompok besar umat Islam. Lemahnya posisi umat Islam di dunia merupakan akibat nyata dari sektarianisme yang menjangkiti kedua kelompok tersebut dan masuknya isu-isu lain ke dalam isu perbedaan interpretasi tentang kepemimpinan.


Mungkin hipotesa dan analisa di atas tidak direstui oleh para pemegang otoritas dalam dua kelompok Sunni dan Syiah, namun yang perlu digarisbawahi ialah, reinterpretasi konsep kepemimpinan setelah Nabi di atas tidak mereduksi konsep Khilafah yang umum diyakini oleh kalangan mainstream Sunni dan tidak pula mendistorsi substansi kepemimpinan Imamah yang dipegang teguh oleh kalangan Syiah.

Dengan paparan di atas, kalangan Sunni secara de facto menerima kepemimpinan esoterik Ali dan Ahlulbait, sebagaimana terkonfirmasi melalui ragam riwayat dalam referensi-referensi utamanya, terutama di kalangan sufi. Sementara kalangan Syiah secara de facto menerima kepemimpinan eksoterik khilafah yang diusung oleh Sunni, yang dimulai dari Abu Bakar.

Tentu penerimaan de facto Sunni terhadap kepemimpinan esoterik (keagamaan) dan penerimaan de facto Syiah terhadap kepemimpinan kenegaraan (sosial) tidak bisa menjadi alasan untuk fusi atau peleburan dua bangunan peradaban yang telah berdiri menjulang ini. Keduanya adalah realitas natural dan historis yang mesti diapresiasi sebagai kekayaan. Penunjukan Nabi membuahkan legitimasi yang bersifat vertikal dan pemilihan publik menghasilkan akseptablitas yang bersifat horisontal.

Menjadi Sunni atau Syiah bukanlah kesalahan. Seorang Muslim yang dibentuk karena asas ketauhidan dan kerasulan Muhammad, sebagaimana tercakup dalam dua kalimat syahadat, harus menafsirkan dua konsep kepemimpinan, Khilafah dan Imamah, sebagai konsekuensi dari dua perspektif yang berbeda.

Selanjutnya para pemikir kedua kelompok ini harus mengubah energi gontok-gontokan menjadi energi saling mendukung dan mem-bahu mencerdaskan akar rumput dan awamnya serta membuang semua isu elementer yang menjadi biang kebencian mutual. Kalangan Sunni harus rela memosisikan para khalifah dan sahabat sebagai manusia yang tidak sempurna, yang bila tidak diyakini kekhalifa-hannya tidak berarti keluar dari Islam. Kalangan Syiah perlu makin aktif mene-gaskan bahwa kepatuhan dan kecintaan kepada imam tidak bersifat primer, karena itu merupakan konsekuensi dari kepatuhan dan kecintaan kepada Nabi Saw dan bahwa orang yang tidak memosisikan mereka sebagai imam tidak menyebabkannya keluar dari Islam.

(Mohon tidak dishare. Tulisan ini dikutip dari buku SYIAH MENURUT SYIAH yang akan segera diterbitkan oleh DPP ABI).


Terimakasih ustadz Sinar Agama

*****


Doeble Do: Salam. Afwan, pesan dari ustadz Muhsin Labib dalam komentar di bagian akhir bahwa ‘Mohon tidak dishare. Tulisan ini dikutip dari buku SYI’AH MENURUT SYI’AH yang akan segera diterbitkan oleh DPP AB’

Muhammad Wahid: Pesannya kontradiktif mas bro, posting di FB mana ada yang tidak ke share, post sendiri otomatis ke share kemana-mana. Lagipula itu sudah terbit, bukunya sendiri sudah ke share.. hehe.. jadi pesannya sudah lewat, karena hanya berlaku saat itu saja.

Doeble Do: Apapun yang di posting, mau pro atau kontra dan walupun menulis FB diketahui oleh orang, namun lihat kalimat pesan terakhir. Maksudnya adalah jangan di copas di share kembali mas broooo..walaupun bukunya sudah terbit dan itu berlaku dari awal buat status pak bos....

Bintang Az Zahra: Berarti yang ngeshare gak amanah ,,, biarin aja deh. ,,,buku besok minggu juga udah ﴾sampai di hk.

Muhammad Wahid: Ya, mungkin biar sekalian nambah pertanyaan ke ustadz Sinar Agama.. mengenai hukum sharing-sharing, untuk postingan itu terhadap yang melanggarnya. Karena walaubagaimanapun itu sebuah wacana pemikiran yang bisa salah bisa benar dan urusannya akhirat pula, dan apalagi di post secara terbuka,.. afwan, menunggu ustadz SA saja. 

Haidar Husein: Silahkan konfirm di abi pers.... karena saya rasa abi pers juga tidak sembarangan...

Muhammad Wahid: MasyaAllah, yang di link berikut kok begitu-begitu amat yah?.. link di bawah ini, menanggapi tulisan ustadz Mukhsin Labib..

https://www.facebook.com/bocah.../posts/671809809601230:0

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
Karena tulisannya panjang dan memiliki latar belakang, maka saya akan mencoba memberikan tanggapan karena MEMANG WAJIB DITANGGAPI, MAU DIANGGAP HALAL KEK PENULISNYA ATAU TIDAK.

Panduannya, saya akan mengutip atau menerangkan sub judul apa atau paragraf apa sebelum dikomentari. Akan tetapi, saya tidak akan menuliskannya lagi tulisan yang cukup panjang tersebut. Jadi, teman-temah, wajib teliti dalam menghubungkan komentarku dengan asal tulisannya:

Komentar:

Mukaddaimah Pertama (mukaddimah komentar):

a- Demi Allah saya sangat terkejut membaca tulisan ini. Saking tidak tahannya, kadang satu paragraf, saya baca sampai beberapa kali. Hal itu karena saya tidak percaya dengan yang saya baca dan takut salah memahami tulisan orang lantaran menahan emosi melihat tulisan yang benar-benar telah merusak ajaran Islam dan mencela para ulama sepanjang sejarahnya.

b- Tulisan saya ini, tidak mewakili siapa-siapa sekalipun saya ingin menulis secara benar menurut apa yang saya yakini sebagai seorang Syi’ah. Akan tetapi, biarlah saya menulis ini sebagai orang yang baru memahami Syi’ah, dan bukan tokoh Syi’ah apalagi, mewakili Syi’ah.

c- Komentar ini, mesti saya berikan. Dan saya tidak akan taqiah dalam mengomentarinya, dalam arti tidak akan memakai bahasa yang terlalu halus hingga tidak bisa dipahami maksudnya.

d- Namum demikian, tulisan saya ini, tidak memiliki muatan apapun, selain hanya masalah-masalah keilmuan. Jadi, tidak bermuatan politis. Karena itulah, maka saya tidak akan taqiah sebagaimana selama ini diskusi dengan teman-teman Sunni atau bahkan wahabi.

Mukaddimah Ke Dua (mukaddimah isi komentar secara global):

a- Tulisan ini (tulisan penulis yang berikutnya akan disebut “tulisan”, dan komentar saya akan disebut dengan “komentar”), secara gamblang keluar dari ajaran Syi’ah sebagaimana akan dijelaskan global di mukaddimah ini dan dalam setiap komentar yang dirasa perlu pada masing-masing paragraf tulisannya.

b- Tulisan ini bukan hanya merusak konsep imamah dalam Islam yang diikuti secara istiqamah oleh Syi’ah, akan tetapi juga sangat merusak konsep kenabian menurut Islam yang, pada akhirnya merusak keTuhanan.

c- Tulisan ini, bukan hanya merusak konsep imamah dari akar-akarnya, akan tetapi juga telah melebihtauhui Tuhan, Nabi saww, imam Makshum as dan para ulama Syi’ah sepanjang sejarahnya.

d- Tulisan ini, sangat-sangat tidak bermuatan ilmiah sama sekali. Karena ketika mengatakan Syi’ah, bukan hanya sama sekali tidak mewakili Syi’ah, akan tetapi tidak sebutir referensipun yang diambil dari sumber Syi’ah. Lah, terus Syi’ah yang mana ini?

e- Menurut saya, kalau tulisan itu dinukil dari buku “Syi’ah Menurut Syi’ah”, sebaiknya namanya diganti menjadi “Syi’ah Menurut Beberapa Orang Yang Baru Menjadi dan Merasa Syi’ah”.

Mukaddimah Ke Tiga (Ajaran imamah/khilafah dalam Islam/Syi’ah secara global):

a- Imam adalah pemimpin umat, baik secara batin atau secara lahir. Dalam istilah penulis, vertikal atau horisontal. Jadi imam, bukan seperti yang dikatakan penulis yang hanya merupakan kepemimpinan vertikal dan hanya mentidakkontradiksikan dengan khilafah (dan bisa kompromi menerima khilafah orang lain), akan tetapi benar-benar bahwa imamah dalam Islam itu adalah kepemimpinan lahir dan batin atua kepemimpinan vertikal dan sekaligus horisontal.

Karena tulisan ini ala fb saja, dan hal ini merupakan yang lebih terang dari matahari di siang bolong bagi yang sangat baru Syi’ah sekalipun, maka saya tidak akan menyebutkan banyak referensi. Cukup saya ambil satu saja dari ribuan kitab akidah Syi’ah, yaitu dari kitab Al-Syii’ah

Fii al-Islaam, karya ‘Allaamah Thaba Thabai ra:

. ماملاا ىنعم

يف اما , ةيلوؤسملا هذه بع لمحتيو , ةئف وا ةعامج دوقي صخش ىلع دئاقلا وا ماملاا ةملك قلطت

لاجملا ةعس ىدمو , هيف شيعي يذلاطيحملاب هلمع طبتريو , ةينيدلا وا ةيسايسلا وا ةيعامتجلاا لئاسملا

. هقيض وا هيف لمعلل

لك نم رشبلل ةماعلا ةايحلا ىلا رظنت ) ةقباسلا لوصفلا يف حضتا امك( ةسدقملا ةيملاسلاا ةعيرشلا نا

ةيدرفلا ةيحانلا نم ةيروصلا ةايحلا يفاذكو , ةيونعملا ةايحلا يف ناسنلاا داشرلا اهرماوآ ردصت يهف , ةهج

.اضيا ) ةموكحلا( ةيدايقلاو ةيعامتجلاا هتايح يف لخدتت امك , هنوؤش ةرادا يف لخدتتو ,

: ثلاث تاهج نم مامتهادروم نوكي نا نكمي , ملاسلاا يف ينيدلا دئاقلا وا ماملاا ناف , هركذ رم ام ىلعو

. ةيملاسلاا ةموكحلا ةهج نم : ىلولاا

.اهرشنو ةيملاسلاا ماكحلااو فراعملا نايب ةهج نم : ةيناثلا

. ةيونعملا ةايحلا يف داشرلااو ةدايقلا ةهج نم : ةثلاثلا


يذلاو ,امربم اجايتحا ,اهركذ قبس يتلا ثلاثلا تاهجلا ىلا جاتحي يملاسلاا عمتجملا ناب ةعيشلا دقتعت

مظعلاا لوسرلاو هّللا لبق نم نيعي نا بجي, عمتجملا ةدايق اهيف امب , ثلاثلا تاهجلا ةدايقل ىدصتي

. ىلاعت هّللا نم رماب ماملاا نيعي اضيا ) ص( يبنلا ناب املع ,) ص)


((Makna Imam: Imam dikatakan untuk orang yang memimpin umat atau kelompok dan memikul beban tanggung jawab tersebut, baik dalam urusan-urusan sosial dan politik (horisontal) atau keagamaan (vertikal) dan perbuatannya berhubungan erat dengan kehidupan sosialnya dimana ia (imam) hidup, baik dapat leluasa dalam menerapkan keimamahannya atau tidak (karena terhalang atau tidak diterima umat, penj).

Syari’at Islam yang suci (sebagaimana sudah dijelaskan di pasal-pasal sebelumnya) melihat kehidupan manusia secara umum dan dari segala sisinya. Karena itu, ia (syari’at) memberikan ajaran-ajarannya untuk membimbing manusia dalam kehidupan maknawiah (ibadah-ibadah vertikal) dan juga dalam kehidupan lahiriah (sosial-politik) pada setiap individu. Karena itu, ia (syari’at) mengatur kehidupan pribadinya, sebagaimana juga mengatur kehidupan sosial dan kepemimpinannya (pemerintahan, keterangan penulis buku sendiri, bukan penerjemah).

Sesuai dengan yang telah disebutkan di atas itu, maka IMAM atau PEMIMPIN AGAMA DALAM ISLAM, penekanannya terletak pada tiga dimensi:

a-1- Dimensi pemerintahan Islam (horisontal).

a-2- Dimensi penjelasan tentang ilmu-ilmu keIslaman, fikih Islam dan penyi’arannya (Horisontal Vertikal).

a-3- Dimensi kepemimpinan dan pengarahan dalam kehidupan maknawiyyah/speritual (vertikal).

SYI’AH MEYAKINI bahwa pemimpin umat Islam yang memerlukan pemimpin dalam tiga dimensi di atas itu secara fondasional (darurat) untuk memimpinnya dalam tiga hal tersebut, sebagai pemimpin, harus ditentukan oleh Allah dan Nabi Agung saww, sebagaimana beliau saww juga dipilih oleh Allah.))

..............bersambung...............


Artikel selanjutnya:
=================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar