Sabtu, 30 November 2019

Hubungan Tuhan dan Makhluk

1. Hubungan Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (1)

https://m.facebook.com/notes/abil-ghifari/hubungan-antara-tuhan-yang-mutlak-dan-suci-dengan-manusia-1/750244908392252/?refid=21

Anggelia Sulqani Zahra: Salam ustadz Sinar Agama... Bagaimana pandangan ustadz tentang hal ini “saya mulai khuatir dan ragu dengan kemakshuman para nabi dan para imam as... Mohon tanggapannya ustadz >>>>> ”Tuhan adalah Mutlak dan suci, sedangkan manusia adalah relatif dan tidak suci, ketika yang mutlak dan suci berhubungan dengan yang tidak mutlak dan tidak suci, maka yang mutlak dan suci akan menjadi tidak suci atau sebaliknya. Jadi tidak ada hubungan langsung antara yang mutlak dan suci dengan yang relatif dan tidak suci. Tuhan yang mutlak dan suci tidak akan pernah berhubungan secara logis dengan manusia yang relatif. Begitu pula halnya dengan agama sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan kepada manusia...” halaman 16 - 17 buku Syi’ah Menurut Syi’ah Penulis Tim Ahlulbayt Indonesia

Ammar Dalil Gisting: Salam. Kembali ke filsafat lagi.. pembahasan yang sangat menarik nih!

Syamhudi Maksum: Tu.. dijaga atau dipelihara oleh yang maha suci.. maaf menurut pendapat saya.. sekedar shering aja.

Bande Husein Kalisatti: Apakah Nabi as dan Imam as juga manusia relatif dan tidak suci...? Sehingga tidak bisa berhubungan langsung dengan Tuhan yang mutlak dan suci..?

Heriyanto Binduni: Waktu itu pernah dengar, kira-kira, hubungan itu mengambarkan hubungan tuhan dan manusia pada umumnya, para nabi dan imam, adalah penghubungnya. Karena kesuciannya, tuhan tidak bisa berkomunikasi langsung dengan manusia. Jika tuhan itu pena, dan manusia itu kertas, maka nabi dan imam adalah tinta. Pena tidak bisa langsung menyentuh kertas tanpa adanya tinta.

Wahyu itu mutlak ditangan nabi dan imam tapi wahyu yang kita pahami ini, adalah relatif terhadap pemahaman kita, hilang sifat mutlaknya.

Bande Husein Kalisatti: Dibuku itu dijelsaknkan tidak, adanya penghubung Tuhan yang mutlak dan suci dengan manusia yang relatif dan tidak suci..?

Kiki Overloadpro: Itu konsep shalawat yang sering kita baca bahwa filosofi yang mutlak dan yang relatif tidak akan bertemu secara langsung karna tidak ada afinitasnya dapat diselesaikan dengan shalawat yang berkesadaran akan sang penghubung cahaya Muhammad yang diwakili dalam sosok nabi dan Ahlulbait.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Setelah menyimak beberapa tempat dari buku yang antum upload halaman depannya itu, dari buku yang juga ada di tangan alfakir, maka sulit mengatakan masih halal bagi orang Syi’ah untuk membacanya, menyebarkannya dan menjualnya. Bagi saya, buku itu, termasuk buku yang menyesatkan yang dalam katagori fatwa yang seperti ini “Diharamkan membaca buku yang menyesatkan, kecuali bagi yang mampu memahami dan menanggulanginya”.

Karena itu, disebabkan kurangnya ulama Syi’ah di tanah air, dan lahabnya teman-teman Syi’ah yang rata-rata sama dengan saya, yakni mustabshiriin (Syi’ah hijrahan dari selain Syi’ah), maka saya dengan sangat berat di hari duka wafatnya kanjeng Nabi saww ini dan syahidnya imam Hasan as ini, menulis hal di atas itu.

Saya sebagai orang terhina di Ahlulbait as (baca: Paling tidak berartinya orang Syi’ah), ingin menyatakan bahwa saya berlepas diri dari buku tersebut di dunia dan di akhirat kelak.

Ingat, pernyataan ini, dan diskusi ini atau yang sebelumnya serta yang berikutannya, sama sekali tidak bermuatan politis, tapi benar-benar hanya bermuatan ilmu dan keilmuan. Karena itu, pernyataan dan semua diskusi saya di fb ini, tidak ada hubungannya dengan ormas ABI sama sekali, karena yang saya soroti dan niati, benar-benar hanya buku tersebut yang, kebetulan ditulis oleh penulis-penulis yang kebetulan dari Tim ABI.

2- Kalau buku itu ingin menerangkan Syi’ah, maka dia seperti di poin 1 di atas, yakni menyesatkan, hingga tidak bisa dibaca orang Syi’ah dan bahkan orang Sunni sekalipun. Kalau buku itu untuk takiah, maka jelas sekali bukan ditulis untuk orang Syi’ah hingga orang Syi’ah juga sulit dihalalkan membacanya. Yakni Syi’ah yang tidak belajar lama di hauzah. Sebab kalau belajar beberapa tahun saja, mungkin belum bisa melihat kesalahannya.

(...besambung ke Jawaban Soal....)

Azmy Alatas: Tanpa memberikan ulasan kok tiba-tiba mengeluarkan fatwa haram...???

Hendy Laisa: Azmy Alatas> SABAR BRO...

Azmy Alatas: Bakal jadi rame nih....hehehe...asiikkk..

Irsan Fadlullah Al Hajj: Diantara yang Mutlak dan Relative... Diantara Sang Khalik dan Makhluk Ada mediator Malaikat Jibril

Arief Bin As’ari: Yang bicara relatif dan tidak suci berarti belum tentu benar

Irsan Fadlullah Al Hajj: Tidak ada yang makshum saat ini
Yaa Mahdi afs adrikni ...

Sinar Agama:

3- Jawaban Soal:

Untuk menanggapi tulisan yang antum nukil itu, maka perlu adanya perhatian terhadap beberapa hal sebagai berikut:
  • a- Penyatuan pahaman terhadap istilah-istilahnya terlebih dahulu, seperti:
    • a-1- Mutlak. Mutlak biasanya diartikan: 1- Mengenai segenapnya (sagalanya); seutuhnya: menyerah secara ------; 2- Tiada terbatas; penuh: ia diberi kuasa ----- untuk menangani masalah itu; 3- Tidak boleh tidak; harus ada: hal itu merupakan syarat -----.
    • a-2- Relatif. Tidak mutlak; nisbi: hasil produksinya dijual dengan harga yang ----- murah; terbatas.
    • a-3- Suci. Bersih; kudus; tidak berdosa; tidak bercela; tidak bernoda; keramat; murni; bebas; steril dan semacamnya.
  • b- Kalau kita sudah punya gambaran dari makna masing-masing kata dan istilahnya, maka kita bisa membahas dan meraba maksudnya sebelum kemudian, kita komentari.
  • c- Dari penjelasan kata di atas, maka pemakaiannya dalam tulisan tersebut, bisa bermakna:
    • c-1- MUTLAK dalam tulisan itu, bisa dimaknai dengan dua makna: Pertama, bermakna penuh yang juga seirama dengan makna seutuhnya dan tiada terbatas. Ke dua, bermakna tidak boleh tidak yang, seirama dengan pasti.
    • c-2- RELATIF, yakni tidak mutlak. Karena itu, bisa berarti “tidak penuh” dan juga tidak benar atau, “belum tentu benar”.
    • c-3- SUCI, bisa diartikan sebagai kudus, tidak bercela, tidak bernoda, murni.
    • c-4- TIDAK SUCI, bisa diartikan, tidak kudus, tidak tidak bercela (bercela), tidak tidak bernoda (bernoda) dan tidak murni.
  • d- Sekarang mari kita lihat apa yang bisa dihaml-kan atau dibebankan kepada kalimat yang tertulis dalam pertanyaan antum itu, dengan penerapan istilah atau kata yang biasa terpakai dalam bahasa Indonesia kita di atas. Kita akan lihat satu persatu kalimat yang bisa dijadikan telaah bersama, seperti:
    • d-1- “Tuhan adalah Mutlak dan suci, sedangkan manusia adalah relatif dan tidak suci,...”Dalam kalimat di atas, maka bisa memiliki arti seperti ini:
      • d-1-a- Tuhan adalah tidak terbatas dan tidak bercela, sedangkan manusia adalah terbatas dan tercela.
      • d-1-b- Tuhan adalah pasti dan tidak bercela, sedangkan manusia adalah tidak pasti dan tercela.
    • d-2- “...ketika yang mutlak dan suci berhubungan dengan yang tidak mutlak dan tidak suci, maka yang mutlak dan suci akan menjadi tidak suci atau sebaliknya.” Dalam kalimat di atas, dapat diartikan sebagai berikut:
      • d-2-a- ketika yang tidak terbatas dan tidak tercela, berhubungan dengan yang terbatas dan tercela, maka yang tidak terbatas dan tidak tercela, menjadi tidak tidak terbatas (terbatas) dan tidak tidak tercela (tercela), dan sebaliknya (yakni yang yang terbatas dan tercela, menjadi tidak terbatas dan tidak tercela).
      • d-2-b- ketika yang pasti dan tidak tercela, berhubungan dengan yang tidak pasti dan tercela, maka yang pasti dan tidak tercela akan menjadi tidak pasti dan tercela, begitu pula sebaliknya (yang tidak pasti dan tercela, akan menjadi pasti dan tidak tercela).
      • d-3- “Jadi tidak ada hubungan langsung antara yang mutlak dan suci dengan yang relatif dan tidak suci. Tuhan yang mutlak dan suci tidak akan pernah berhubungan secara logis dengan manusia yang relatif.” Dalam kalimat di atas, dapat dipahami sebagai:
        • d-3-a- Jadi tidak ada hubungan langsung antara yang tidak terbatas dan tidak tercela dengan yang terbatas dan tercela. Tuhan yang tidak terbatas dan tidak tercela tidak akan pernah berhubungan secara logis dengan manusia yang terbatas.
        • d-3-b- Jadi tidak ada hubungan langsung antara yang pasti dan tidak tercela dengan yang tidak pasti dan tercela. Tuhan yang pasti dan tidak tercela tidak akan pernah berhubungan secara logis dengan manusia yang tidak pasti.
      • d-4- “Begitu pula halnya dengan agama sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan kepada manusia.” Dalam kalimat di atas dapat dipahami sebagai berikut:
        • d-4-1- Begitu pula halnya dengan agama yang tidak mutlak (terbatas) dan tercela yang berasal dari Tuhan yang mutlak (tidak terbatas) dan tidak tercela kepada (sehubungan dengan) manusia yang terbatas dan tercela.
        • d-4-2- Begitu pula halnya dengan agama sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan dimana berarti agama itu mutlak (tidak terbatas) dan tidak tercela, kepada (sehubungan dengan) manusia yang terbatas dan tercela.
        • d-4-3- Begitu pula halnya dengan agama yang pasti dan tidak tercela yang berasal dari Tuhan yang pasti dan tidak tercela, kepada (sehubungan) dengan manusia yang tidak pasti dan tercela.
        • d-4-4- Begitu pula halnya dengan agama yang berasal dari Tuhan dimana berarti agama itu pasti dan tidak tercela kepada (sehubungan dengan) manusia yang tidak pasti dan tercela.
      • d-5- “Iman Relatif. Iman Relatif adalah iman yang diperoleh melalui konsepsi yang melahirkan pengetahuan. Disebut relatif karena subyek penerimanya relatif dan terbatas, yaitu manusia.”
Dari kalimat lanjutan di buku itu, yakni yang saya jadikan pelengkap di poin d-5 di atas, maka dapat dipastikan bahwa yang diinginkan penulis dari RELATIF, adalah TIDAK PASTI DAN TERBATAS. Jadi, makna MUTLAK, seperti yang sudah dikatakan di atas itu, yaitu TIDAK TERBATAS DAN PASTI.

KOMENTAR:

a- Kalau yang dimaksudkan di poin d-2-a itu benar, yakni:

“ketika yang tidak terbatas dan tidak tercela, berhubungan dengan yang terbatas dan tercela, maka yang tidak terbatas dan tidak tercela, menjadi tidak tidak terbatas (terbatas) dan tidak tidak tercela (tercela), dan sebaliknya (yakni yang yang terbatas dan tercela, menjadi tidak terbatas dan tidak tercela).”

Maka:

Karena lawanan Mutlak adalah relatif dan Suci adalah tidak suci, berarti Tuhan yang ada di manusia yang relatif dan tercela itu, adalah TERBATAS DAN TERCELA.

Keterbatasan Tuhan di dalam manusia, tidak ada yang meragukan. Karena Tuhan Yang Tidak Terbatas, sudah pasti tidak akan bisa dipahami oleh manusia yang terbatas, setinggi dan sesuci apapun manusianya.

AKAN TETAPI, tidak mesti yang terbatas itu tercela. Karena yang terbatas ini, bisa suci dari kesalahan. Jangan katakan maksud saya “tidak suci” itu adalah “terbatas”, sebab Anda sudah melawankan terbatas dengan Mutlak. Karena itu, “tidak suci” berarti tercela. Dengan demikian, maka kalimat di atas, tidak bisa dibenarkan dan bertentangan dengan Qur an sendiri. Seperti:
  • a-1- Allah sendiri memerintahkan untuk mengetahuiNya. Dan Tuhan, tidak mungkin memerintahkan manusia, kepada yang tercela. Karena itulah, mengetahui Tuhan itu, wajib hukumnya secara akal dan Qur an. Ini Qur annya:
--- QS: 47:19 (perintah mengetahui DiriNya):

ُفَاْعلَْمأَنَّهَُلاإِلَهَإَِّلااللَّه

“Ketahuilah (wajib kalian tahu dan mencari tahu) bahwa sesungguhnya tiada Tuhan, selain Allah!”

--- QS: 2:209 (perintah mengetahui SifatNya):

فَاْعلَُموا أََّن اللَّهَ َعِزيٌز َح ِكيٌم

“Ketahuilah (sama perintah wajib) bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Mulia dan Bijaksana!”

--- QS: 5:34:

فَاْعلَُموا أََّن اللَّهَ غَُفوٌر َرِحيٌم

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Penyayang!”


--- QS: 8:40:

فَاْعلَُموا أََّن اللَّهَ َمْوَلاُكْم نِْعَم الَْمْولَى َونِْعَم النَّ ِصيُر

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah itu Tuan/penguasa kalian, senikmat-nikmatnya Penguasa dan senikmat-nikmatnya Penolong.”

Masih banyak lagi ayat yang memerintahkan manusia untuk mengerti Allah dan Sifat-sifatNya.

KARENA TUHAN ITU TIDAK MEMERINTAH KEPADA YANG TIDAK DIMAMPUI MANUSIA, DAN TIDAK MUNGKIN TUHAN MEMERINTAH KEPADA YANG TERCELA, MAKA MENGETAHUI TUHAN DAN PENGETAHUAN TUHAN YANG ADA PADA MANUSIA, BUKAN SESUATU YANG TERCELA.

  • a-2- Allah sendiri menafikan pensifatan orang-orang yang mensekutukanNya dengan beberapa hal. Ini berarti, bahwa tidak mensekutukanNya dengan hal-hal tersebut, pertanda telah mensucikanNya. Mana ada pensucian Tuhan dikatakan TERCELA?? Perhatikan ayat berikut ini:

--- QS: 6:100:

َوَجَعلُوا لِلَِّه ُشَرَكاَء الْ ِج َّن َوَخلََقُه ْم َوَخَرقُوا لَهُ بَنِي َن َوبـَنَا ٍت بِغَْيِر ِعْلٍم ُسْب َحانَهُ َوتـََعالَى َعَّما يَ ِصُفوَن

“dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.”

Ayat ini, bukan untuk bercerita saja pada manusia. Yakni bercerita adanya orang-orang yang mensukutukan Tuhan dengan jin dan mengatakan bahwasanNya mempunyai anak. Akan tetapi, pelajaran buat manusia yang relatif ini, agar MENSUCIKANNYA DARI SEMUA ITU. Lalu mana ada mensucikanNya dikatakan dengan TERCELA???

--- QS: 21:22:

لَْو َكاَن فِيِهَما آلَِهةٌ إَِّلا اللَّهُ لََف َسَدتَا فَ ُسْب َحاَن اللَِّه َر ِّب الَْعْر ِش َعَّما يَ ِصُفوَن

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.”

Jalas dalam ayat di atas, kita diperintahkan untuk mensucikanNya dari penyekutuan hingga Tuhan sendiri berdalil bahwa kalau ada Tuhan lain selain Allah di langit dan di bumi, maka keduanya akan binasa. Lah, terus untuk apa pengajaran ini tetap diajarkan olehNya, kalau pengajaranNya ini, tetap tidak bisa dipahami manusia dan pemahaman manusianya itu, tetap dikatakan tercela??

--- Ayat yang sebangsa dengan ayat di atas, yaitu yang mengajarkan Pensucian Terhadap Allah, banyak sekali. Kalau semua ayat itu tidak bisa dipahami dan/atau kalau masih saja pemahamannya tercela, lah....terus untuk apa agama dan ayat-ayatNya itu diturunkan untuk manusia?
  • a-3- Allah sendiri, dengan tegas menerima pensifatan orang-orang yang tergolong Mukhlashiin. Ini tandanya, selain tidak tercela, juga bahkan diterima Allah. Perhatikan ayat berikut:

--- QS: 37:108-109:

َوَجَعلُوابـَيـْنَهَُوبـَْيَنالِْجنَِّةنََسبًاَولََقْدَعلَِمِتالِْجنَّةُإِنـَُّهْملَُمْحَضُروَن(851) ُسْبَحاَناللَِّهَعَّمايَِصُفوَن(951) إَِّلا ِعبَاَداللَِّهالُْمْخلَِصيَن

“Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. dan Sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka ), Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan dari (dosa, mukhlashiin).”

Catatan Ayat:

  • - Dilihat dari qarinah/kondisi ayatnya, maka mukhlashiin di atas bisa diartikan sebagai orang yang banyak ikhlash dalam tidak mensifatiNya dengan keberanakanNya dan kebernasabanNya dengan jin. Karena itu, Maha Suci Allah dari pensifatan mereka, kecuali pensifatan orang yang mukhlashiin, memiliki arti, bahwa yang tidak mensifatiNya dengan kebernasaban Tuhan dengan jin itu, adalah pensifatan mukhlashiin dan diterima Allah sebagai sifat SuciNya. KARENA ITU, MANA ADA PENSUCIANNYA DIKATAKAN TERCELA??!!!
  • - Kalaulah mau diartikan secara umum, yaitu bahwa mukhlashiin di sini, tidak dikondisi-i oleh pensifatanNya dengan penasabanNya dengan jin dan makhluk lainnya, hingga seperti dalam peristilahan Kalam dan Filsafat, dimana Mukhlashiin (bukan mukhlishiin) adalah banyak ikhlash, yaitu yang tidak mengaharp surga dalam taat kepadaNya dan tidak karena takut neraka, maka tetap saja ada pensifatan manusia yang relatif ini, yang diterima oleh Allah swt. LAH, KALAU ALLAH SENDIRI MENERIMANYA, MAKA MANA MUNGKIN MASIH DIKATAKAN SEBAGA TERCELA???!!! DAN KALAU PENSIFATAN PARA MUKHLASHIIN SAJA SUDAH DITERIMANYA DAN SUDAH DIGOLONGKANNYA KEPADA PENSUCIANNYA, LALU APALAGI PARA NABI, NABI saww DAN AHLULBAIT as???!!!!
b- Kalau yang dimaksudkan di poin d-2-b itu yang benar, yakni:

“ketika yang pasti dan tidak tercela, berhubungan dengan yang tidak pasti dan tercela, maka yang pasti dan tidak tercela akan menjadi tidak pasti dan tercela, begitu pula sebaliknya (yang tidak pasti dan tercela, akan menjadi pasti dan tidak tercela).”

Maka:
  • b-1- Kalimat dan maksud ini, jauh lebih parah dari yang sebelumnya. Sebab berarti, pemahaman manusia tentangNya, sudah tidak ada lagi yang pasti.

Saya sudah tidak perlu membahas dari sisi sucinya lagi, karena apapun pemahaman manusia yang sudah selaras dengan keTidakterbatasanNya, jelas tidak tercela karena sudah mensucikanNya dan, jelas sudah diterima Tuhan sebagaimana ayat-ayat di atas itu.

Mengapa dikatakan sudah tidak ada lagi yang pasti kalau kalimat dan maksud yang poin d-2-b ini yang benar? Sebab semua ilmu manusia tentang Tuhan, sudah tidak bisa dipastikan lagi kebenarannya. Bukan saja ilmu-ilmu kita, akan tetapi ilmu para nabi, Nabi saww dan Ahlulbait as sendiri, sudah tidak pasti benar.

Dengan mentidakpastikanbenarnya ilmu para nabi, Nabi saww dan Ahlulbait as, sudah cukup untuk dijadikan alasan menolak seluruh agama dan dakwah para utusan dan penerus utusan.
  • b-2- Di samping itu, karena ketika sudah dikatakan tidak pasti benar, berarti sudah tidak ada jalan pembuktiannya. Karena pembuktinya tidak pasti benar, dan yang akan memahaminya, juga tidak pasti benar.
  • b-3- Kalau sudah tidak ada jalan untuk membuktikannya, maka sejuta ayat Qur an diturunkan untuk menjelaskan DiriNya, SifatNya dan PensucianNya, juga tidak akan ada gunanya. Lah, terus buat apa ada pewajiban mengetahuiNya dan sifat-sifatNya dalam Qur an-Nya??? Lalu buat apa juga agamaNya diturunkan? Bukankah sudah tidak bisa lagi menyembahNya karena tidak mengetahuiNya. Atau bukankah menyembahNya berarti menyembah yang celaNya dan tidak benarNya??
c- Kalau kalimat kelanjutannya, poin d-3-a yang benar dan dimaksudkan, yakni:

“Jadi tidak ada hubungan langsung antara yang tidak terbatas dan tidak tercela dengan yang terbatas dan tercela. Tuhan yang tidak terbatas dan tidak tercela tidak akan pernah berhubungan secara logis dengan manusia yang terbatas.”

Maka:
  • c-1- Dengan penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka kata tidak logis di sini, benar-benar tidak logis untuk kelogisan. Sebab yang dia katakan tidak logis, secara nyata, adalah kelogisan yang mutlak kebenarannya. Dengan dalil:
    • c-1-1- Tuhan telah mengadakan hubungan tersebut, yakni dengan manusia yang relatif dan tercela (menurut penulis). Bukan saja mengadakan hubungan, akan tetapi justru hubungan itu, merupakan keLathiifanNya dan keMahapemurahNya serta keMahahidayahanNya kepada manusia. Sebab kalau tidak logis, maka semua penjelasan tentang DiriNya di dalam Qur an, dan penjelasan tentang Sifat-sifatNya, sungguh tidak bisa dikatakan logis lagi. Nah, karena Tuhan yang Maha Logis telah mengadakan hubungan itu, dan telah mengenalkan Diri dan Sifat-sifatNya dengan ayat-ayatNya itu (baik ayat Qur an atau ayat kauniyyah yang berupa alam semesta), maka sudah pasti inilah yang logis dan yang penulis katakan tidak logis itu, benar-benar tidak logis.
    • c-1-2- Saya heran pada seorang muslim dan mengaku Syi’ah lagi, yang berani mengatakan bahwa manusia itu tidak suci. Sebab di dalamnya terdapat banyak sekali manusia-manusia suci. Mentidaksucikan atau mentercelakan para nabi, Nabi saww dan Ahlulbait as, sungguh sulit masih dapat dipertahankan dan dikatakan sebagai Syi’ah.
    • c-1-3- Jangan katakan bahwa maksud tidak suci itu adalah terbatas, sebab yang terbatas ini, sudah dilawankan dengan Mutlak. Jadi, perkataan manusia yang relatif (terbatas) dan tidak suci, maksudnya adalah manusia yang terbatas dan tidak suci (tercela), bukan manusia yang terbatas dan terbatas. Sebab kalau tidak suci itu diartikan terbatas, maka akan ada dua pensifatan yang jelas tidak umum didankan sebagaimana telah dijelaskan itu, yakni manusia yang terbatas dan terbatas. Nggak lucu bukan? Jadi, maksud dari manusia yang relatif dan tidak suci, adalah manusia yang terbatas dan tercela.
    • c-1-4- Kalau yang dimaksudkan tercela itu, adalah tercela karena dosa, maka jelas hal ini adalah kufur yang terang-terangan. Kalau tercela dari kebenaran pemahaman tentang Allah swt, maka jelas bertentangan dengan akal sehat sebagaimana maklum dan bertentangan dengan ayat-ayat Qur an di atas itu.


.....bersambung ke (c-2)......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar