Tampilkan postingan dengan label Akal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akal. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Mei 2021

Gado-gado: Sekelumit Tentang Raj’ah, Agama Bumi, Peranan Qur'an, Akal dll


seri tanya jawab Adil Priyatama dengan Sinar Agama. http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326171017427701/ by Sinar Agama (Notes) on Thursday, December 29, 2011 at 7:59pm


Adil Priyatama: Assalamu’alaykum. Mohon penjelasannya mengenai persamaan dan perbedaan di antara hal-hal di bawah ini:

1. Antara ajaran/keyakinan agamis dengan ajaran/keyakinan non-agamis.

(yakni bagaimanakah membedakan suatu keyakinan termasuk ranah agama, sementara keyakinan lainnya bukan termasuk agama.)

2. Antara agama langit dan agama bumi.

(apakah pembedanya adalah wahyu / kitab, karena beberapa agama yang dipersepsikan sebagai agama bumi ternyata memiliki kitab suci juga.)

3. Antara ghaibnya Nabi Isa dengan ghaibnya Imam Mahdi.

(apakah hidupnya di alam lain selain dunia yang kita huni ini, ataukah hidup dan bermasyarakat di dunia yang sama dengan yang kita huni hanya saja tidak dikenali.)

4. Antara mati syahid dengan mati non-syahid.

(karena dalam ayat dikatakan bawa yang mati syahid itu ’sesungguhnya mereka itu hidup dan menerima rizki dari Tuhannya’, bagaimanakah bentuk kehidupan para syuhada setelah kesyahidannya tersebut? Apakah hidup di alam lain, seperti ghaibnya Nabi Isa dan/ Imam Mahdi?)

5. Antara raj’ah dengan reinkarnasi.

(Apakah perbedaannya hanya dalam hal bahwa raj’ah itu kembalinya kepada tubuh yang sama sementara reinkarnasi dalam tubuh yang baru, atau ada yang lainnya?)

Tambahan dua pertanyaan:

6. Apakah manusia yang sudah ada di surga dan neraka sebagai balasan dari kehidupannya yang dulu, sebelum penciptaan Adam yang sekarang ini, bisa diciptakan lagi ke alam dunia pada penciptaan berikutnya?

7. Apakah ketika kiamat kubra, alam barzakh juga punah (yakni kembali ke alam akal) ataukah kekal?

Mohon maaf kalau merepotkan dengan banyaknya pertanyaan. Tidak lain karena yang satu berkaitan dengan yang lainnya, dan supaya lebih tergambar kumpulan pertanyaan yang ada dalam benak ini. Sehingga meskipun awalnya saya ragu untuk bertanya secara paket seperti ini, saya akhirnya memberanikan diri saja. Sekali lagi mohon maaf dan terima kasih sebelumnya. Wassalam.

Jumat, 05 Maret 2021

Apakah di alam barzakh dan di akhirat kelak AKAL kita masih bisa berfungsi


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/324618094249660/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Februari 2012 pukul 18:09


Bunga Cinta Kebenaran: Salam Ustadz, apakah di alam barzakh dan diakhirat kelak AKAL kita masih bisa berfungsi, misalnya dengan akal itu kita bisa memecahkan masalah, atau membuat ini dan itu seperti layaknya fungsi akal di dunia, mohon pencerahan, syukran.

Jumat, 11 September 2020

Cara Mengenal Tuhan



Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/272651062779697/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 8 November 2011 pukul 15:59


Abuzahra Gagah: Salam, ustadz sinar. Afwan, mungkin ini adalah pertanyaan anak TK. Bagaimanakah cara kita mengenal Tuhan? Apakah jika kita tidak mengetahui tentang Tuhan, bisa di anggap insan beragama ?

Mohon penjelasan ustadz, baik dengan dalil aqli dan naqli.Salam..

Sabtu, 25 Juli 2020

Akal Konvensional dan Akal Universal ??!!!


Seri tanya-jawab: Dedy Hadi dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250778364966967/ by Sinar Agama (Notes) on Friday, September 16, 2011 at 9:49pm


Dedy Hadi: Apa bedanya akal konvensional dengan akal universal ?

Al Louna dan Paidi Bergitar menyukai ini.

Selasa, 12 Mei 2020

Hidayah Takwiniyyah-Tasyri’iyyah, Fungsi Akal, Akal Gamblang dan Sitiran Terhadap Pluralisme


Tanya-jawab: Al Louna dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/?id=231334233578047 by Sinar Agama (Notes) on Monday, July 25, 2011 at 2:47am

Al Louna: Salam ustadz, tolong jelaskan tentang hidayah:

1. takwiniah (langsung dari allah)
2. tashri’ayah (tidak langsung)

lalu apa perbedaan hidayah dan mu’zizat?..

Sabtu, 22 Februari 2020

Hidayah Takwiniyyah-Tasyri'iyyah, Fungsi Akal, Akal Gamblang dan Sitiran Terhadap Pluralisme


Tanya-jawab: Al Louna dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=223765007668303 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 26 Juli 2011 pukul 15:03


Al Louna: Salam ustadz, tolong jelaskan tentang hidayah:

1. Takwiniah (langsung dari allah).

2. Tashri'ayah (tidak langsung).

Lalu apa perbedaan hidayah dan mu'zizat?..

Minggu, 23 Desember 2018

Akal itu Yang Menaati Allah dan Berusaha Menggapai Surga



Pertanyaan page Ali Akbar Velayati dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, March 31, 2013 at 1:27 pm

Ali Akbar Velayati: (10-2-2013), Salam ustadz, afwan ana mau tanya pendapat antum mengenai kalam imam ja’far asshodiq yaitu’’ al aqlu ma abduhur rahman wak tasaba bihil jinan...maksudnya apa ustadz?? Syukron wa afwan. 

Sang Pencinta: Salam, bisa diterjemahkan artinya mas?, mungkin ada di arsip ustadz sinar, yang bisa saya bawakan, terima kasih. 

Ali Akbar Velayati: Wasalam...afwan, oleh karena itu saya tanyakan sama ustadz sinar agama, kalau secara bahasa ana takut mengurangi maksudnya... 

Yayasan Al-Ittihad Al-Islami: Ali buka kamus munjid, maurid, mu’jam maqayis..... 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

1- Mungkin tulisan yang benar seperti ini: al-’aqlu maa ‘ubida bihi al-Rahmaan wa uktusiba bihi al-jinaan, sebagaimana arabnya yang diucapkan oleh imam Ja’far as ketika menjawab pertanyaan shahabatnya dengan pertanyaan “’Aql/akal itu apa?” dengan jawaban: 

ما عبد به الرحمن واكتسب به الجنان 

2- Maknanya adalah: “Apa-apa yang dengannya Allah ditaati dan surga dimasuki.”

3- Maksud Haditsnya (secara rabaan dan kurang lebih): 
  • 3-1- Seperti yang sudah sering saya terangkan tentang akal ini, bahwa ia meliputi dua makna secara hakiki: Pertama, memahami sesuatu dengan benar dan dengan dalil gamblang. Ke dua, memahami bahwa yang benar dari yang diketahuinya itu harus diaplikasikan/ diamalkan dan hal-hal yang dipahaminya sebagai suatu kesalahan itu, harus ditinggalkan. Jadi, akal bukan hanya untuk memahami kebenaran sebagai yang benar dan memahami kesalahan sebagai kesalahan, tapi juga memahami yang benar harus diikuti dan yang salah harus ditinggalkan. 
  • 3-2- Imam Ja’far as merangkai dengan indah makna akal tersebut dalam bentuk kalimat akhlaki yang cukup sederhana walau mengandungi makna filosofis yang sangat dalam. Hal itu, karena beliau as dan para imam as yang lain mengikuti para nabi as yang tidak mengajarkan ilmu tertentu dan hanya mengajarkan agama yang meninggikan masyarakat baik dengan menumpangi berbagai ilmu sekalipun. Karena itulah, para makshum as itu, selain imamnya para umat biasa, juga merupakan imamnya para filosof dan cendikiawan. Karena itulah, kalimat-kalimat yang disampaikan itu dapat dipahami orang yang tidak sekolah dan dapat dipahami pula oleh para filosof dan cendikia yang paling hebat sekalipun, sesuai dengan ilmu-ilmu mereka sendiri-sendiri. 
  • 3-3- Karena itulah imam as meringkasnya bahwa akal itu adalah yang dengannya dapat menaati Allah. Jadi, yang akalnya tidak digunakan untuk mengerti Allah dan agamaNya, dan tidak digunakan untuk menaatiNya, maka ia bukan akal yang sesungguhnya. Karena kalau tidak dibuat tahu dan belajar, maka ia telah difungsikan di posisi yang rendah dimana posisi itu adalah posisi binatang (karena itulah Tuhan mengatakan bahwa orang- orang seperti ini adalah menempati posisi binatang atau bahkan lebih rendah lagi, QS: 25: 44). Dan kalau digunakan untuk belajar tapi tidak diamalkan, maka ia juga bukan hakikat akal itu. Karena apa gunanya tahu bahwa racun itu mematikan dan berbahaya tapi tetap saja meminumnya??. Sudah tahu kalau selain ajaranNya itu tidak benar, tapi tetap saja tidak memakai ajaranNya dalam segala kehidupan??? 
  • 3-4- Jadi, yang tidak belajar tentang Allah dan agamaNya, tidak akan tahu cara taat kepadaNya. Dan yang hanya belajar tapi tidak mengamalkannya, maka ia tidak menggunakan akalnya. Jadi, kedua kelompok ini, yakni yang tidak belajar dan yang belajar tapi tidak mengamalkannya, memiliki satu derajat yang sama, yaitu “Tidak Berakal”. Itulah mengapa imam as mengatakan bahwa Akal itu adalah yang dengannya dapat menaati Allah. 
  • 3-5- Sedang potongan ke dua-nya juga seperti itu, yaitu “yang dengannya berusaha untuk mencapai surga.” Hal itu, karena akal sudah pasti tahu bahwa kita akan mati dan umur kita sangatlah pendek di dunia ini. Dan akal juga tahu bahwa kelezatan dunia ini bagai sedetik saja. Akal juga tahu bahwa kita akan segera mati dan akan dibangkitkan nanti dalam kehidupan yang abadi. Akal juga tahu bahwa kenikmatan surga itu abadi. Akal juga tahu bahwa neraka itu panasnya tidak bisa dibayangkan. Akal juga tahu dan tahu.....dan seterusnya. 

Nah, dalam keadaan seperti itu, lalu masih saja kebanyakan umurnya digunakan untuk dunia dan kelezatannya dan mengabaikan akhiratnya, atau kalau menabungpun tidak seserius pengejarannya terhadap dunia dimana selalu dengan sebegitu seriusnya hingga selalu takut gagal, ....dan seterusnya...maka jelas akal seperti ini tidak layak dikatakan sebagai akal. 

Inilah kurang lebih sebagian kecil dari maksud beliau as itu. Semoga kita semua dapat lolos dengan baik dan profesional menghadapi segala macam ujian hingga menjadi orang yang selamat menurutNya (bukan hanya dakwaan dan khayalan atau harapan kita saja) di dunia ini dan di akhirat kelak, amin. 

Wassalam. 

Ali Akbar Velayati: Ajibb, syukron pemaparannya, jazakumullah khairal jaza’. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 02 Desember 2018

Jubah Kholiq




Seri komentar terhadap tag-an Komar Komarudin oleh Sinar Agama
by Sinar Agama on Sunday, January 6, 2013 at 2:54 pm



Komar Komarudin: 9-11-2012, Kebebasan dalam berfikir dan memilih adalah harga MATI, jangan terjebak dalam satu komunitas/Golongan tertentu, sehingga memasung dalam mengutarakan pendapat. Doktrin berguna pada saat itu masuk dalam wilayah hukum-hukum yang mewajibkan hambanya untuk taat Pada Rasul dan Allah SWT. 

Allah SWT yang Maha segala-galanya tidak pernah memaksa hambaNya, bagaimana mungkin sang mahluk memakai jubah sang Kholik.... — bersama Muhsin Labib dan 2 lainnya. 


Mohammad Jesus Kristus: Foto di atas memiliki Aura “Kesejukan”, Herannya kalau di Indonesia Orang yang berkostum seperti foto di atas, anak-anak muda yang beraura “Fasik”. 

Faizal Haris: Ijin share Mas 

Zila Rahim: Salam, wajahmu tenang dan menentramkan jiwaku. 

Komar Komarudin: “Ya Allah panjangkanlah umurnya, sehingga kaum muslimin mendapatkan banyak manfaat dari apa saja yang menjadikan kami semua terbimbing dari kepemimpinan-MU menuju kebenaran yang hakiki”, Ilahi ya Rabb. 

Fibri Behesyti: Semoga Allah selalu menjaga beliau. Amiiin. 

Ajeg Sinau: @MJK, maksudnya yang dahinya diitemin dan berbaju gamis? 

Abu Mohsein Ahmad: Ya Allah peliharalah anak cucu Muhammad ini, dan panjangkanlah umur Rahbar, dan perkuatkan kaki-kaki kami untuk mempertahankan kebenaran Muhammadi dan kesucian Ahlul Bait, a.s 

Dul Siaga: Allahumma Sholli Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad, Wa Ajil farojahum. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-annya, terlebih dengan foto Sang Rahbar hf yang kita cintai besama. 

Sedikit komentar terhadap pemaksaan. Ada beberapa model pemahaman tentang pemaksaan dan penerapannya serta gaya-gayanya sehubungan dengan hal-hal yang berkenaan dengan Islam. Dan hubungan keduanya dengan keTuhanan. 

Model-model Pemaksaan

1- Memaksakan pandangannya kepada orang lain dengan kekerasan fisik. 

2- Memaksakan pandangannya kepada orang lan dengan pemboikotan. 

3- Memaksakan pandangannya kepada orang lain dengan kata-kata kasar, hardikan, cemoohan, lecehan, penjuluran lidah dan seterusnya. 

Model-Model Pandangan

1- Pandangan yang bermodel pemberian, yakni memberikan pandangannya kepada orang lain. 

2- Pandangan yang bermodel penolakan, yakni panolakan terhadap pandangan orang lain. 

Model-model Gaya Pemaksaan

1- Kasar dan kaku. Artinya, dalam memberikan atau menolak suatu pandangan, memakai retorika yang kasar (baca: pede banget) dan kaku hingga tidak memberikan kemungkinan akan kesalahannya, baik di dalam dirinya atau audiennya/umatnya. Kata-kata seperti “sesat”, atau “gila”, atau “tidak sehat akal”, atau “kaku”, atau “bid’ah”, atau “musyrik”, atau dan atau ... 

2- Argumentatis. Maksud argumentatif disini, bukan yang sesungguhnya, karena kalau sesung- guhnya, tidak akan pernah memaksakan pandangannya atau penolakannya kepada orang lain. Jadi, argumentasinya dan dalil-dalilnya, berupa dalil-dalil yang sebenarnya belum tuntas dan belum akhir dan, sudah tentu masih memiliki kelemahan sana-sini. Kelemahan-kelemahannya ini, biasanya tidak terlihat oleh murid-muridnya yang mungkin maqom ilmunya lebih rendah dari dirinya. Karena itu, cara ini, banyak sekali menjaring umat dan sering cara ini dipakai oleh orang yang tidak jujur dan tidak takut kepada Allah alias mengutamakan diri dan harga dirinya ketimbang Tuhan dan agamaNya. 

3- Akhlakis. Maksudnya bukan akhlak yang sebenarnya. Karena akhlak yang sebenarnya, kalau dalam ilmu, adalah dengan mengajukan argumentasi/dalil terbuka. tapi gaya ke tiga ini, sebenarnya penentang akhlak dengan corak akhlak. Jadi, trik yang dipakai adalah premis- premis akhlak yang sebenarnya tidak berhubungan dengan topik yang sedang dibahas dan dihadapinya. 

Kata-kata seperti “kita harus ikhlash kepada Tuhan”, atau “kita tidak boleh berjubah Kholiq”, atau “orang itu berjubah kholiq”, atau “kita tidak boleh mengotori malam qadr dengan kajian dan pembahasan ilmu yang mengutarakan perbedaan”, atau “Acara ritual tidak boleh dicampur dengan kajian dan politik”, atau “masjid bukan tempat politik tapi tempat ibadah”, atau “asyura bukan tempat membahas perbedaan”, atau “kita jangan mengotori hati dengan bedebat”, atau “kita harus takut kepada Allah”, atau “kita harus meniru makshumin”, atau “kita harus menghormati para marja’”, atau “kita harus menghormati dan menaati Rahbar hf”, atau ..........atau...........dan atau...... 

4- Irfanis. Maksudnya bukan irfan yang hakiki, karena kalau irfan yang hakiki, sudah tentu dalam membahas ilmu dan pandangan-pandangannya harus tuntas dan karenanya harus terbuka. Karena yang dikejar adalah kebenaran sebelum mengaplikasikannya, bukan mengokohkan pandangan atau penolakannya. 

Gaya ke 2-4 ini, sering berhasil menjaring dan menipu umat. Karena secara umum, masyarakat kurang menggunakan akalnya dalam menghadapi masalah. Kalau ngaji dan diskusi dengan lingkungannya, mungkin cerdas dan mengutamakan akal. Akan tetapi, ketika berdiskusi dengan orang atau kelompok lain atau menghadapi masalah-masalah kehidupan dan pene- rapan, maka perasaan dan seleranya yang didahulukan dari akalnya. 

5- Puitis. Disini, keindahan natural dari sebuah puisi, dimanfaatkan untuk mencapai hal-hal yang tidak natural, yaitu pemaksaan dalam pemberian atau penolakannya terhadap suatu pandangan atau teori. Orang-orang yang lebih menguatkan perasaan, rasa dan khayalan, akan banyak terjebak dalam keindahan puisi ini hingga terseret kepada pahaman yang diembannya itu. Kata-kata indah seperti “Jubah Khaliq” akan sangat mampu menjebak orang ke dalam perangkat kejumudan. Tentu kalau digunakan dengan maksud pemaksaan tersebut, walau secara lahiriah dalam rangka menolak pemaksaan itu sendiri. 

6- Tangisan. Oh......air mata ini adalah jalan yang termasuk canggih untuk menipu diri dan orang lain. Dikira, air mata itu bukti kebenaran dan ketidakjumawaan. Padahal air mata yang menolak kebenaran, adalah kesombongan yang nyata selain, tentu saja, keriya’an yang menjijikkan. Tangisan, yang tersalur di bawah pimpinan akal, merupakan tangisan yang menyelamatkan. Akan tetapi air mata ini, lebih palsu dan berbahaya dari pada air mata buaya. Karena yang mau ditipu, bukan hanya seorang wanita/lelaki, akan tetapi dirinya sendiri, umat, agama dan bahkan Tuhannya. 

Keterangan

  1. Pembagian-pembagian di atas itu, mungkin tidak jami’ dan mani’, artinya tidak mencakup semua bagian-bagiannya dan tidak menolak masuknya bagian-bagian lain ke dalamnya.
  2. Komentarku ini, hanya sekedar adanya suatu lintasan yang melintas di benakku yang ku- khawatirkan tidak terlintas di benak sebagian teman. Karena itu, kadang ketika seseorang ditekan atau ditindas orang lain seperti ditekan wahabi, ia berteriak-teriak sebagai mazhlum/ tertindas, tapi kadang ketika ia sendiri menghadapi orang lain yang lebih lemah atau kelompok lain yang lebih sedikit, maka ia sendiri tidak beda dengan si wahabi itu. Kasar dan jumawa.
  3. Pemaksaan pandangan, biasanya selalu tergambar dengan pemberian pandangan. Padahal, sesuai dengan kenyataannya, dan sesuai dengan pembagian di atas itu, bisa juga berupa penolakan. Karena itu, pemaksaan ini, bukan hanya bisa berupa pemberian, akan tetapi juga bisa berupa penolakan.
  4. Dalam keadaan seperti di atas itu, maka akan sangat sulit bagi kita untuk selamat. Keindahan kata, ayat, hadits, akhlak, kelembutan sikap, ketawadhuan lahiriah, sopan santun dan seterusnya. 
Jalan Selamat: 

1- Kita tidak boleh memancing atau terpancing dan apalagi memberikan reaksi, terhadap apa- apa yang kita sukai atau kita benci (tidak suka). Karena kalau terpancing karena hal ini, jelas akan membuat diri kita keluar dari jalan ilmu dan kebenaran. Jaminan keluarnya itu, atau setidaknya kesangat mungkinan keluarnya itu, disebabkan karena dalam kondisi seperti ini, yang mana rasa/perasaan diutamakan, maka jelas akalnya dijauhkan atau setidaknya dikotori dengan rasa/perasaannya ini. Dan, kalau akal sudah diliburkan, maka apa lagi yang bisa diharapkan untuk dijadikan pegangan membedakan yang benar dan salah secara hakiki, bukan hanya sekedar islami secara lahiri. 

2- Akal adalah satu-satunya jalan keselamatan. Karena akal ini, diberikan Tuhan sebelum Ia 
memberikan agamaNya yang meliputi akidah, hukum, akhlak dan semacamnya itu. Jadi, kalau tidak ada akal, sudah pasti tidak akan penah ada yang namanya agama. Nah, ketika demikian halnya, maka mengapa akal ini sekarang bisa ditipu dengan hanya atas nama agama???!!! Mengapa kecerdasannya menjadi tumpul hanya dengan menghadapi nama-nama, Tuhan, Nabi saww dan Ahlulbait as???!!! 

Dulu, sebelum memilih Islam (bagi yang muallaf), cerdas menimbang hingga menentukan pilihannya kepada agama Islam. Nah, sekarang, ketika ada perbedaan di dalam Islam itu sendiri, mengapa menjadi tumpul dan tertipu hanya atas nama Islam itu juga? 

Dulu, sebelum menjadi Syi’ah, sangat hati-hati berdiskusi dan sangat cermat hingga tidak bisa tertipu dengan hanya pengajuan ayat-ayat, hadits-hadits makshumin as. Lah sekarang ketika sudah menjadi Syi’ah, mengapa akalnya menjadi tumpul dan mudah tertipu hanya karena pengajuan ayat-ayat, hadits-hadits makshumin dan hanya karena ustadznya seorang Syi’ah, cendikiawan, alumni hauzah, sarjana dan seterusnya. 

Padahal, semua itu, secara langsung tidak ada hubungannya dengan ilmu dan penyelesaian perbedaan pendapat dan pandangan, karena yang berhubungan, jelas dalil dan argumentasinya. Memang, kealiman atau keilmuan seseorang menjadi petunjuk bagi penguasaannya dalam bidang yang ia tekuni itu. Akan tetapi, ketika ada perbedaan pendapat, maka jelas semua embel-embel selain argumentasi itu sendiri, tidak bisa dijadikan pedoman untuk memilih salah satu dari pandangan-pandangan yang berbeda tersebut. 

Karena itulah, maka seorang alim yang tulus, akan tetap mengutarakan pandangannya dengan argumentasi dan dalil, serta akan malu meneriakkan titelnya dalam membela pandangannya. Seorang guru yang bijak dan arif, akan tetap memaparkan pandangannya dengan dalil dan akan malu meneriaki muridnya yang dari awal sudah jatuh mental itu. 

Penutup

Jangan sampai salah paham dengan tulisan di atas hingga mengatakan bahwa saya sudah meremehkan ayat, hadits, agama, Tuhan dan makshumin as. Na’udzubillah. 


Ayat-ayat, hadits-hadits, puisi, irfan, akhlak, tangisan, munajat, dan seterusnya itu jelas dapat digunakan untuk jalan kebenaran. Akan tetapi, setelah meluruskan akal kita dan membersihkannya dari pengaruh rasa dan perasaan. Karena kalau tidak, maka kita akan menjadi pembeli ayat- ayat dan syi’ar-syi’ar Tuhan dengan harga yang teramat sedikit, yaitu demi diri kita sendiri, baik langsung atau tidak langsung (seperti keluarga, kelompok dan seterusnya). Allah swt berfirman: - QS: 2: 41-42: 


“Dan berimanlah kalian kepada apa-apa yang telah Kuturunkan dimana membenarkan yang telah ada bersama kalian dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama yang mengingkarinya dan janganlah kalian beli ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit serta bertaqwalah kepadaKu (41). Dan jangan bungkus kebenaran itu dengan kebatilan dan janganlah menyembunyikan kebenaran sementara kalian menyadarinya!” 

- QS: 5: 44: 


“...., maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kepadaKu serta jangan beli ayat- ayatKu dengan harga yang sedikit (murah), dan barang siapa yang tidak menghukum dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” 

Ringkasan Dalam Satu Kalimat

Ikutilah dalil yang terbuka dan waspadailah dalil-dalil yang nyelip-nyelip dan menyelinap-nyelinap di gang-gang universitas semesta, serta tekan kuat-kuat gejolak rasa dan perasaan hingga akal kita menjadi jernih dan tanpa pamrih dan dapat memahami kebenaran itu dengan mudah, baik yang dicuatkan melalui rangkaian kata-kata argumentasi, rangkaian keindahan semesta alam ini, rangkaiana ayat-ayat, hadits-hadits, munajat-munajat, kidung-kidung, puisi-puisi dan tangisan ratapan ke hadiratNya. 

Wassalam. 


Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad 

Komar Komarudin: @ S A: Syukron Jazilah atas uraian/penjelasan yang mendalam terhadap status di atas, pandangan dunia tauhid yang argumentatif, dari sisi sosial masyarakat yang hetorogen, budaya, karakter dan lain-lain. Paramaternya jelas (akal) cara mensikapi Daya TOLAK dan daya TARIK, terhadap sebuah persoalan. 

Dul Siaga: catatan S.A, sebagaimana Imam Ali as, menghadapi LAWAN dan KAWAN senantiasa mengedepankan kepentingan umat, ketimbang pribadi dan keluarganya. Persoalanya adalah, apakah sesuai tanggung jawabnya, dan apakah pemikiran dan argumen yang kita bangun itu memang kehendak hukum Allah SWT, atau hal lain, tentu saja perlu ilmu yang mendalam untuk menilainya. Akal itu sendiri adalah karunia atau potensi yang diberikan kepada setiap manusia, tapi ketika dikembalikan ke masing-masing hambanya dan teraktual akan menjadi beda dalam penerapannya, artinya akal itu sendiri masih relatif sesuai fungsi-fungsinya pada saat diaplikasikanya 

Artinya, tidak cukup dengan akal saja sebagai parameternya, tapi harus terstruktur dan terbimbing berdasarkan proposal-proposal yang diajukan atas nama kebenaran hakiki (Agama), dan lebih mendalam lagi adanya pembawa kebenaran hakiki itu terwujud asli yang dapat menjawab persoalan-persoalan masyarakat, dan masyarakat itu sendiri menyambut dan menerima keberadaanya secara totalitas, tanpa itu menurut hemat saya, claim-claim atas nama golongan/ komunitas dan lain-lain. Sudah hampir pasti tanpa disadari bermuara kepada kepentingan kelompok/golongan, dengan kata lain “politik hewani”, afwan Ustadz mungkin komen ana terlalu jauh, kalau ada yang melenceng tolong diluruskan 

Sinar Agama: Dul S: Antum ini mungkin belum memahami yang saya tulis. Kalau semua dengan nama agama menjadi selesai, Tuhan lebih mudah dari awal menyelesaikan masalah umat ini. Bagaimana tidak, Dia yang diterima semua orang sebagai Tuhan (setidaknya bagi muslim), Dia Yang Maha Tahu, Dia yang punya surga-neraka, Dia yang melihat dan mendengar semua perbuatan manusia, Dia yang menurunkan Rasul-rasul as, Dia yang menurunkan imam-imam makshumin as, dan seterusnya. Akan tetapi, kapan Tuhan pernah berhasil dalam arti keseluruhan dan tuntas? Bukankah umat ini sejak dari nabi Adam as ya....selalu begini, yakni bisa dikatakan lebih banyak yang tidak baiknya? 

Nah, kalau Tuhan saja tidak bisa membuat manusia ini menjadi baik, lah apalagi kita yang hanya mengatasnamakan agamaNya? 

Mengapa wahabi itu sulit diperbaiki? Karena mereka meyakini sampai ke tulang sumsumnya sesuatu yang sebenarnya bersifat khayalan dan tidak ada ilmiahnya sama sekali, yaitu meyakini seratus persen di jalan Tuhan. Artinya, mereka benar-benar membuat jauh-jauh apa-apa selain agama Tuhan sekalipun itu dikatakan akal atau apapun juga. Inilah yang dalam sejarah Islam dikatakan ahlulhadits, salaf, wahabi dan seterusnya. 

Dengan demikian, pengatasnamaan agama, kemerasamerujukan kepada agama dan bahkan Yang Memiliki Agama itu sendiri, tidak bisa membuat kita menjadi benar dan menjadi baik. 

Mungkin ada orang berkata: “Uwwah si sinar agama yang Syi’ah bukan hanya mengatakan bahwa nabi-nabi as itu gagal, tapi Tuhan juga gagal.” 

Pernyataan ini, karena mereka masih merasa bahwa agama yang mereka pahami itu benar adanya. Jadi, mereka yang dengan seluruh lapisannya, baik yang tidak sekolah, yang SD, yang SMP yang SMA yang universitas, yang kiyai, yang ustadz dan seterusnya, merasa benar memahami agama. Memang, kalau ditanya secara sadar “apakah ilmu merkea sudah lengkap tentang Islam dan pasti benar/makshum?”, mereka pasti akan menjawab “Tidak”. Akan tetapi, dalam kehidupan, mereka mengamalkan kemakshuman mereka itu. Karena itu, mereka secara rata (padahal berbagai derajat pendidikannya), akan menanggapi setiap persoalan dengan meyakinkan dan mengatakan yang ini benar/Islam dan yang itu salah/bukan-Islam, yang ini hidayah dan itu sesat dan seterusnya. 

Karena itulah, bagi mereka yang Namanya Tuhan dan para nabi as, harus sukses dan tidak boleh salah hingga kalau ada yang berkata sebaliknya maka ia telah kafir dan melecehkan Tuhan dan para nabi as itu. Terlebih kalau mereka bergaya hidup dengan rukun iman “Apapun telah digariskan Tuhan”, wah....tambah berabe/hancur. Karena dari satu sisi akan mengatakan bahwa Tuhan dan para nabi as itu pasti berhasil dalam mendidik umat, di sisi lain, yang berbunuh- bunuhan dari umat nabi as seperti shahabat Nabi saww, sama-sama hebat, sama-sama benar, harus ditiru dengan baik dan sama-sama diridhai Tuhan di surga dan seterusnya. 

Akal mereka tidak akan pernah dibuka untuk mengerti kekontrasan dua proposisi: “Tuhan dan para nabi as pasti benar dalam mendidik manusia” dan “Kegagalan manusia/umat yang nyata dalam sepanjang sejarah agama dan kenabian”. Mereka sangat-sangat tidak mampu memecahkan masalah yang sangat sederhana ini. Mengapa? Karena mereka sangat menyanjung agama dan menepis semuanya terlebih yang namanya akal. 

Kata-kata: “Agama adalah tempat kembali manusia”, atau “Agama dari Tuhan karenanya lebih unggul dari semua pemikiran”, atau “Agama adalah tempat kembalinya akal.”, atau “Agama adalah pemecah hakiki dan bukan akal yang relatif.”, atau “Agama dari Tuhan dan pemikiran akal dari manusia”, atau “Agama adalah pembimbing akal.” , atau “Akal tanpa bimbingan agama akan sesat.”, atau “Agama adalah kebenaran hakiki dan akal adalah kebenaran relatif dan hewani”, dan seterusnya adalah pernyataan yang sangat indah dan mempesona hingga berabad tahun yang lalu dan ke depan, akan tetap menelan korban dari kebanyakan manusia dimana kebanyakannya justru umat yang beriman. 

Mengapa demikian? Karena ia tidak menyadari dan tetap tidak mau menyadari bahwa agama yang ia pahami itu adalah hasil dari akalnya sendiri. Dia mengira, kalau sudah agama, kalau sudah ayat, kalau sudah hadits shahih, kalau sudah hadits mutawatir, kalau sudah Nabi saww, kalau sudah imam makshum as, kalau sudah imam Khumaini ra, kalau sudah Rahbar hf, kalau wilayatulfakih, dan seterusnya sudah pasti benar, harga mati, kebenaran hakiki, tanpa kepentingan, dan seterusnya. Padahal, yang ia pahami dan yakini sebagai ayat, hadits, Nabi saww, para imam as, para marja’, wilayatulfakih, Rahbar hf, imam Khumaini ra, tanpa kepentingan, agamis dan tidak hewanis dan seterusnya itu, adalah seuatu kenyataan yang ada dalam bayang akal dia sendiri. Inilah yang saya mungkin sering katakan “Ingin menjadi Tuhan”. Gaya hidup seperti ini, biasanya dimiliki wahabi dan umat lain yang bergaya hidup seperti mereka termasuk sebagian teman Syi’ah di Indonesia ini (semoga antum tidak seperti itu walau hal itu tercium dari tulisan antum tersebut, amin). 

Premis-premis atau proposisi-proposisi atau statement-statement seperti “Tuhan adalah segala- galanya.”, atau “Agama adalah kebenaran hakiki dan tempat kembalinya akal” dan seterusnya dari kalimat-kalimat di atas itu, memang merupakan proposisi yang benar. Ini persis dengan pertanyaan Sarboz Osemon tentang pendahuluan akhlak kubro terhadap akhlak sughra yang namanya fikih. Artinya, tanpa penerapan ke premis kecilnya, sama sekali tidak akan menghasilkan apa-apa. 

Misalnya, “Agama adalah tempat kembalinya akal”. Nah, terus mau apa? Apakah kalau kita buka Qur'an, lalu itu agama? Bukankah Qur'an yang kita pahami, hadits yang kita pahami, wilayatulfakih yang kita pahami dan seterusnya itu merukan pahaman akal kita? Lah, kalau akal kita ini harus dikembalikan ke agama, lalu pemahaman agamanya juga tergantung kepada akal kita dan kecerdasannya, maka adalah keberputar-putaran lebih jelas dari hal ini? Adakah kekusutan melebihi kekusutan cara berfikir ini? Mengapa sangat sulit menerangkan yang sangat sederhana ini? 

Karena itu, untuk melepaskan diri dari kepentingan apapun, maka harus ikut dalil akal dan menjauhi selainnya sekalipun itu atas nama agama itu sendiri. Karena sering kali, agama ini, dijadikan tumbal bagi pemahaman akal seseorang yang sangat sempit dan kebodoh-bodohan dalam memahami agama, tapi sok pada dan mengatakan “Inilah agama”, “Ini ayatnya”, “Ini haditsnya”, “Ini fatwa Rahbarnya” dan seterusnya. 

Ayatullah Jawadi Omuli hf, sering menyampaikan keherannya (tidak dalam kalimat langsung) tentang orang-orang yang mengkontrakan akal dan Qur'an (agama). Karena akal, bukan untuk dihadapkan kepada agama atau bukan untuk dibandingkan dengan agama atau diadu dengan agama. Akan tetapi, ia adalah dasar memahami agama itu sendiri. Artinya, tanpa akal (maksudnya yang argumentatif dan bukan akal-akalan), maka manusia seperti hewan yang sama sekali tidak akan memahami ajaran agama itu sendiri. 

Beliau hf mengatakan (ini bukan untuk ditaqlidi, sekedar menukilkan salah satu petuah-petuah hikmah/argumentatif-nya) bahwa “Akal dan agama itu adalah sama-sama alat untuk memahami hakikat dan jalan hidup.” 

Jadi, ketika Tuhan mencipta alam semesta ini dan manusia di dalamnya, maka karena manusia memiliki akal, mestilah ada tanggung jawabnya. Karena itu, Tuhan mengurai tentang alam dan tanggung jawab manusa ini di alam ini. Uraian Tuhan inilah yang dikatakan agama. 

Nah, akal sendiri, sangat mengetahui hal itu. Yakni bahwa karena ia dicipta Tuhan dan memiliki akal, maka ia harus hidup sebagaimana layaknya makhluk berakal dan tidak hidup seperti hewan. 

Inilah yang dikatakan sebagai tangung jawab itu. 

Banyak sekali hakikat yang diurai agama, sebenarnya bukan penguraian sebagai penjelasan, akan tetapi penguraian sebagai pengingatan. Yakni mengingatkan kepada yang sudah diketahui manusia. Karena itulah, salah satu nama agama itu adalah sebagai peringatan atau pengingat. Karena itu Nabi saww dikatakan sebagai Mudzakkir/ Pengingat. 

Memang, dalam beberapa hal, terutama yang berupa ghaib seperti akhirat, walaupun akal dapat tahu secara globalnya, akan tetapi untuk mengetahui rinciannya, akan terasa sulit. Begitu pula tentang rincian-rincian dan detail-detail tanggung jawab di dunia ini. Karena itulah Tuhan menurunkan agamaNya untuk merincikan semua tanggung jawab dunia itu dan hal-hal ghaib akhirat. 

Tapi ingat, Tuhan menurunkan agamaNya itu bukan dengan tujuan membunuh akal dan mele- cehkannya sebagai kepentingan hewani, tapi justru menurunkannya untuk membimbing akal tersebut hingga menjadi paham dan benar menjadikannya akal yang sempurna dan keluar dari akal-akalan yang diatas namakan kebenaran dimana justru yang seperti inilah yang layak dikatakan sebagai “kepentingan hewani”, walau bersembunyi di ketiak agama. 

Nah, ketika Tuhan menurunkan agamaNya untuk dipahami akal, maka disinilah kita mesti memaksimalkan daya tangkap agama ini. Yaitu akal kita. Karena itulah, kita tidak boleh sama sekali mengatasnamakan agama hanya karena kita memahami agama tersebut seperti itu. 

Jadi, satu-satunya tempat kembali dalam memahami masalah, termasuk dalam memahami agama itu sendiri, adalah akal semata. Dan akal, sudah tentu adalah yang benar-benar akal, bukan yang akal-akalan dan abu-abu. Yakni harus berupa akal argumentatif, gamblang, terbuka, teruji di atas ring dunia/umum seperti fb ini (bukan teruji di depan murid-muridnya yang memang sudah kuduk/tunduk duluan dari awal dan sering menjadi korban pembodohannya dengan berbagai tangisan, kekhusukan, anjuran akhlak, sopan santun dan seterusnya di mana tidak ada hubungannya dengan pencarian kebenaran secara langsung dan bahkan dimaksudkan untuk menutupi kesalahannya dan kebodohannya, baik sengaja atau tidak, baik langsung atau tidak). 

Hanya kepada Allah kita harus berharap agar kita bisa benar-benar menjadi manusia yang manusia yang terbedakan dari makhluk lainnya, yaitu manusia berakal yang sempurna. Di mana akal ini jelas dua bagian: Akal-pahaman (untuk memahami masalah dengan benar melalui argumen yang jelas) dan Akal-aplikatif (yang menyuruh mengamalkan yang sudah benar dipahami), amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 17 Oktober 2018

Tidak Terbantahkan, Belum Tentu Benar



Seri tanya jawab Ahmad Bahagia dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Monday, July 2, 2012 at 11:29 pm


Ahmad Bahagia: Salam ustadz.. mohon penjelasannya.. 

Apakah jembatan antara pengetahuan argumentatif tentang aqidah yang tak terbantahkan menjadi suatu keyakinan, lalu menjadi keyakinan yang berimplikasi pada amal sehari-hari. Bagaimana mengelola dunia agar tidak menjadi jurang pembatas antara keduanya. Terima kasih ustadz atas pemaparannya.. 


Ahmad Bahagia: Sebagai contoh misalnya orang-orang kafir yang hidup pada zaman Rasulullah saaw. Misalnya para pendeta najran, atau sebagian besar “sahabat-sahabat” Rasulullah saww yang pastinya telah menerima penjelasan masalah aqidah dari Rasulullah saaw.. Saya yakin pasti Rasulullah saww menjelaskannya secara jelas, gamblang, terperinci dengan argumentasi yang tidak terbantahkan, sangat pasti diterima akal. 

Tetapi mereka tidak menerima seruan Rasulullah saww sebagaimana orang-orang yang masih dalam kekafirannya atau tidak menerima keseluruhan seruan Rasulullah saww sebagaimana para “sahabat-sahabat”.. 

Yang jelas berpengaruh pada amal-amal yang dilakukan oleh mereka, misalnya tidak menerima keimaman Imam Ali as., dan seterusnya malah bahkan tega menganiaya Ahlulbayt as.. 

Ahmad Bahagia: Saya pernah berfikir bahwa semuanya karena kecintaan dunia, ataupun ego diri.. apa emang hanya itu masalahnya ustadz? Dan apa cara paling jitu buat mengelolanya ustadz? Terima kasih..

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya, tapi afwan saya belum paham maksud pertanyaan antum. Bisa dijelaskan lagi? Karena saya mengira yang ditanyakan itu adalah “jem- patan”-nya. Tapi antaranya, hanya satu saja. Jadi antara pengetahuan .... DENGAN APA??!!! 

Karena ...argumentatif tentang aqidah yang tak terbantahkan menjadi suatu keyakinan, lalu menjadi keyakinan yang berimplikasi pada amal sehari-hari..... ini adalah sifat dari pengetahuan itu. Tapi kalau antum punya maksud lain, coba terangkan secara lebih mudah. 

Pagi ini saya lihat lagi pertanyaan antum, kok ada terusannya di komen. Kemarin sewaktu saya menjawabnya, pertanyaan lanjutan di koment ini belum tampak. Apapun pertanyaan dan maksud antum dari uraian-uraian pertamanya sampai ke sebelum pertanyaan akhirnya, maka saya hanya akan menjawab pertanyaan akhirnya saja. 

Cara paling jitu untuk selamat adalah mencari ilmu Islam dengan akal-gamblang dan mengamal- kannya dengan seikhlash-ikhlashnya. Kalau hal itu dilakukan, maka semua perasaan dan kesukaan pada dunia, dengan sendirinya akan menjadi semakin tersingkir hinggga pada akhirnya antum atau kita semua, menjadi hamba-hamba yang hakiki, budak-budak yang hakiki, budak-budak yang tidak merasa memiliki apapun kecuali kenistaan dan kehinaan. Beribadah dan taat pada Tuhan untuk semakin menjadi hamba yang sempurna. Dan kesempurnaan hamba itu ada di tidak mulia dan tidak kepemilikannya itu. Jadi, taat bukan untuk mulia dan bersanding dengan Tuhannya, tapi taat untuk semakin hina di hadapannya, baik di dunia ini atau di akhirat kelak.

Ahmad Bahagia: Maaf ustadz kalau mutar-mutar.. saya juga agak bingung, karena logikanya seperti yang ustadz bilang pengetahuan menjadi keyakinan itu sifat dari pengetahuan itu.. sifat itu kan selalu mengikuti yang disifatinya ustadz, tapi realitanya kok kayaknya gak begitu. 

Sepertinya pengetahuan menjadi keyakinan itu cuma nampak sebagai sifat pada kehidupan nyata (duniawi). Mudah-mudahan ustadz bisa menangkap maksud saya.. terima kasih ustadz.. 

Orlando Banderas: Ahmad, menurut saya pengetahuan itu hanya teori tidak ilmu aplikatif karena banyak sebab seperti gengsi, cinta dunia, wanita, dan lain-lain. Salam. 

Ahmad Bahagia: Orlando, Salam dan terima kasih komentarnya.. saya juga berfikir +- sama, makanya saya menanyakan pertanyaan kedua. 

Diberi tahu sesuatu itu benar, lalu percaya sesuatu itu benar, lalu yakin sesuatu itu benar, lalu kebenaran yang diyakini itu berefek pada pola pikir dan perilaku.. normalnya, seharusnya, mustinya.. 

Mungkin saya salah mendefinisikan pertanyaan.. atau pertanyaan saya seharusnya.. sesuatu yang tidak dapat dibantah itu kok tidak bisa meyakinkan? 

Orlando Banderas: Sebenarnya sudah sering dibahas oleh Ustadz. Coba cari lagi. Salam.

Sinar Agama: Sesuatu yang tidak bisa dibantah itu belum tentu benar, karena mungkin yang mau membantahnya tidak mampu untuk membantah. Tapi kalau ketidakterbantahan sesuatu itu karena kegamblangannya, maka ini bisa dijadikan petunjuk tentang kebenarannya. 

Kebenaran gamblang yang tidak terbantahkan ini, juga belum tentu diyakini oleh hati yang memahaminya. Karena yakin itu ada dua, yakin hati dan yakin akal. Akalnya, sudah yakin, tapi hatinya belum yakin. 

Hati, ada dua makna. Hati yang tempatnya rasa dan perasaan, yakni di ruh yang daya-hewani (tempat pengaturan gerak ikhtiari, rasa dan perasaaan) dimana hati dengan makna ini adalah hati yang sering dipakai oleh umum, seperti tempat cinta, marah, benci, rindu, dendam ... dan seterusnya. Tapi ada hati yang bermakna akal-aplikatif. 

Nah, ketika seseorang sudah memahami dengan akal-gamblang tentang keberan sesuatu, maka hatinya memiliki dua sikap. Mengikuti kata akal-gamblangnya itu, sebagai obornya, karena akal- gamblang itu adalah akal-pahaman, atau tidak mengikutinya. Kalau mengikutinya, maka hatinya menjadi yakin dan kalau tidak maka sebaliknya. 

Kalau yang tidak yakin itu adalah hati yang bermakna ruh-daya-rasa/perasaan, maka kemung- kinan besar sebabnya adalah belum jinaknya hati tersebut selama ini. Karena bagi dia, kalau lapar yang penting makan, kalau syahwat yang penting disalurkan ... dan seterusnya. Tak peduli benar salahnya, dosa tidak-nya, karena ia memang tidak mengerti hal itu. Karena yang mengerti itu adalah akalnya, bukan rasa/perasaannya. Karena itu, sudah merupakan tugas akal untuk menjinakkannya. Yaitu dengan mengarahkannya kepada hal-hal yang dibenarkan saja. Termasuk mengarahkan untuk patuh pada pahaman gamblang tadi itu. 

Karena biasanya, ketika akal gamblangnya sudah paham tentang sesuatu yang benar tapi hati ini tidak meyakininya, biasanya yang dipahami akalnya itu sesuatu yang tidak disukai hati ini. Seperti lapar di siang bulan Ramadhan, atau mencegah pacaran, atau mencegah apa-apa yang ia inginkan. Karena itu, hati ini perlu dilatih dan dibiasakan. Tapi kalau yang diketahui gamblang itu adalah hal-hal yang disenangi hati rasa/perasaan ini, maka biasanya lancar-lancar saja. 

Kalau yang tidak yakin itu adalah hati yang bermakna akal-aplikatif, maka caranya, adalah tengok lagi kepahamannya itu. Kalau memang benar sudah merupakan akal gamblang terhadap kebenarannya itu, seperti “racun itu membunuh”, maka akal-aplikatif sudah semestinya malu kalau tidak mengaplikasikan ilmunya dan meminum racun tersebut. Jadi, penyakitnya bukan berantem dengan perasaannya, tapi berantem dengan konsekuensi dari pengatahuannya itu. Artinya, maukah kita mengaplikasikan konsekuensi itu atau tidak. Yakni maukah kita mengaplikasikan ilmu pahaman gamblang itu atau tidak. 

Karena itulah, maka ilmu-gamblang itu belum sepenuhnya cahaya dan petunjuk. Persis seperti Qur'an dan Hadits. Karena petunjuk yang lengkap, sinar yang lengkap, adalah manakala pahaman terhadap ilmu-gamblang, Qur'an dan hadits itu, sudah diaplikasikan oleh akal-aplikatifnya dimana hal ini pertanda pengetahuannya sudah sempurna, karena tahu-pahaman dan tahu-aplikatif, dan pertanda juga bahwa hati rasa/perasaannya sudah terkedali oleh akalnya secara penuh. 

Inilah yang disebut manusia yang sebenarnya, karena ia telah ikut akalnya, baik akal-pahaman atau akal-aplikatifnya dan, sudah tentu meninggalkan hati rasa/perasaannya dimana hal ini adalah makam binatang tak berakal.

Ahmad Bahagia: Terima kasih ustadz.

Saya langsung teringat dengan pekerjaan saya yang berkaitan dengan sistem manajemen mutu yang dibuat berdasarkan persyaratan dan proses yang harus dijalankan dibuat berdasarkan ilmu, akal gamblang agar tidak terjadi suatu kesalahan atas hasil pekerjaan.. walaupun sudah gamblang pada pelaksanaannya juga tidak bisa terjadi begitu saja.. harus dipaksa, lalu terpaksa, lalu terbiasa, sampai terbentuk suatu budaya.. Harusnya hal yang sama bisa diaplikasikan ke kehidupan beragama juga ya ustadz.. penerimaan hati akal tetap harus dipaksa dulu agar hati rasa/perasaan bisa tunduk/jinak. 

Maaf kalau saya simpulkan demikian (mohon koreksi kalau saya salah menyimpulkan). 

Kalau inputnya adalah diri kita yang sekarang dengan spesifikasi yang keyakinannya masih dipertanyakan, kotor dan masih banyak maksiat, sedikit ibadah dan dekat dengan hal-hal yang dimurkai Allah (jauh dari Allah).. 

Dan output yang diharapkan adalah diri kita kelak harus memenuhi spesifikasi memiliki keyakinan yang kuat, bersih, tidak bermaksiat, banyak ibadah dan dekat dengan hal-hal yang diridhoi Allah (dekat dengan Allah).. 

Maka awalnya kita harus dipaksa untuk menjauhkan diri dari yang diharamkan dan memperbanyak ibadah walaupun dengan perasaan terpaksa, terus memaksa diri sampai terbiasa, terus membia- sakan diri sampai menjadi suatu adat kebiasaan.. 

Sinar Agama: Ahmad: Ahsantum, memang seperti itu adanya. Karena itu juga Tuhan sering memberitakan adanya neraka, supaya manusia mau takut dan taat padaNya walau terpaksa. Begitu pula sering mengimingi surga, supaya manusia dapat memaksa dirinya menekan hawa nafsunya dan memilih taat kepadaNya. Walau Tuhan tidak ingin manusia melakukan taat itu karena neraka dan surga, tapi demi kelayakannya menjadi yang terbaik karena akalnya tersebut. (Akal-pahaman yang untuk tahu bahayanya racun misalnya, dan akal-aplikatif yang menyuruh menghindari racun misalnya). Karena itu, Allah selalu memuji hamba-hambaNya yang hebat yang tidak melakukan taat karena keduanya itu (neraka dan surga). Yaitu yang ketaataannya hanya dan hanya karenaNya semata, seperti para anbiya dan rasul dan orang-orang shalih yang kelas tinggi (auliyaa’). 

Orang, KADANG-KADANG sering bergaya-gaya dengan mengatakan: 

“Saya jujur dan tidak mau membohongi diri, hingga karena itu sebelum saya ingin benar-benar taat, maka saya maksiat dulu, saya pacaran dulu, saya tidak shalat dulu ...dan seterusnya... karena saya tidak mau munafik.” 


Ini lagu syaithan yang paling laris di kalangan kaula muda, terutama mahasiswa/i. Lucu amat, maksiat jadi kejujuran dan ketidakmunafikan, lalu taat menjadi sebaliknya. 

Mereka mengira bahwa kalau ingin makan, maka harus makan walau di siang Ramadhan; kalau ingin lawan jenis, maka harus cari pacar; kalau malas shalat, maka harus tidak shalat..... dan seterusnya. Mereka tidak tahu bahwa inginnya rasa/perasaan itu adalah keinginan yang normal sebagai hewan. Sudah tentu yang baligh ingin kawin, yang kosong perutnya ingin makan ... dan seterusnya. Semua itu karena memang fitrah yang diberikan secara rata kepada semua binatang, termasuk binatang rasional ini. 

Tapi kalau manusia selain kebinatangan, juga memiliki kerasionalan, maka sudah merupakan tanggung jawab akal untuk mengatur nafsu-nafsu tersebut. Karena itu, sudah pasti banyak pertentangan seperti jauhnya perbedaan peradaban manusia dengan semua binatang di dunia ini. 

Karena itu kejujuran dan ketidakmunafikan, adalah mengikuti akal-gamblang dan menekan nafsu-nafsunya hingga takluk pada akal gamblangnya itu dan, di kemudian hari, menjadi terbiasa dengannya hingga, jadilah peradaban yang shalih yang menguasai kemasyarakatannya, bukan sosial yang amburadul seperti amburadulnya pergaulan binatang.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 09 Oktober 2018

Isra’ Mi’raj Dalam Tinjauan Naql dan Akal

Isra’ Mi’raj Dalam Tinjauan Naql dan Akal 

(Perjalanan dengan Badan dan Ruh, atau Ruh saja atau terinci dari keduanya?!!)



by Sinar Agama (Notes) on Sunday, July 3, 2011 at 7:08 pm



Isra’ Mi’raj dalam Tinjauan Naql dan Akal (perjalanan dengan badan dan ruh, atau ruh saja atau terinci dari keduanya?!!) 


Banyak pertanyaan dari teman-teman tentang hakikat Isra’ Mi’raj ini. Saya sendiri kurang tertarik membahasnya. Karena terkadang sebagian orang hanya ingin tahu saja, atau bahkan ada yang bertanya karena mau menulis di sebuah buletin. Belajar yang model ini –model ingin tahu apa ceritanya atau ingin menuliskannya ke orang lain- sulit melahirkan ketaqwaan. Karena itu saya kurang tertarik menuliskannya. Terlebih lagi, karena untuk menguak hakikatnya perlu kepada pembahasan filsafat, maka saya semakin tidak tertarik. Karena disamping hakikat ini tidak wajib diketahui secara detail, bisa-bisa pembahasan filosofisnya ini bahkan menjadikan diri kita bangga saja. Sementara kebanggaan seperti ini (hanya tahu, yakni tidak untuk diimani dan diamalkan) adalah kebanggaan yang kering dan kosong. Karena jelas, setinggi apapun argumentasinya, maka ia tetap merupakan Ilmu Hushuli yang akan hilang dikala kita mati. Tapi kalau untuk diimani dan diamalkan, maka ia jelas akan menjadi Ilmu Hudhuri yang akan dibawa mati. 

Baiklah saya akan coba memberikan sedikit penjelasan tentang Isra’ Mi’raj itu sesuai kemampuan, ruang dan waktunya. 

Namun, sebagai anjuran, hendaknya kita membuat sistematika pembelajaran Islam. Setidaknya supaya kita tidak mempelajari Islam tergantung dengan situasi dan kondisi. Ini yang pertama. 

Yang ke dua, hendaknya pandai-pandai memilih obyek pengetahuan Islam yang mau dipelajari, hingga bisa mendahulukan yang memang perlu didahulukan, dan dan mengenyampingkan yang tidak darurat atau setidaknya kurang emergency. 

Ke tiga, penjelasan Isra’ Mi’raj ini, akan sangat tergantung pada penjelasan-penjelasan saya sebelumnya tentang makhluk sesuai dengan pandangan filsafat. Karema itu saya akan memberikan ulasan ulang sedikit tentang hal tersebut: 

Tatanan Wujud Ciptaan atau Gradasi Ciptaan 


Sebelum ini, sudah sering saya jelaskan tentang gradasi alam semesta (bukan gradasi wujud) atau makhluk Tuhan. 

Ringkasnya sebagai berikut: 

(1-a). Golongan pertama, makhluk Tuhan yang dikenal dengan Akal. Makhluk Akal ini dimulai dari Akal-pertama, ke dua, ke tiga ...dan seterusnya sampai pada Akal-akhir. 

Definisi makhluk Akal ini adalah keberadaan non materi mutlak dengan makna pertama, yaitu yang tidak mengandungi apapun kehinaan rangkapan materi, baik rangkapan materialnya atau sifat-sifatnya. 

Rangkapan, merupakan kehinaan bagi wujud, karena menkonsekwensi-i keterikatan pada masing-masing rangkapannya itu. Karenanyalah maka semakin banyaknya rangkapan yang dikandungi sesuatu itu, akan membuatnya semakin terikat. Sedang wujud yang semakin terikat, dalam hakikat dan filsafat, dikatakan semakin hina dalam gradasi wujudnya. Karena semakin banyaknya keterikatan dalam wujudnya, walau hanya pada bagian-bagian dirinya, akan membuatnya semakin tergantung pada bagian-bagiannya tersebut. Inilah makna hina dalam wujud dan filsafat, bukan dalam akhlak. 

Jadi, ketergantungan sesuatu pada bagian-bagiannya, sama dengan ketergantungannya pada sebab pewujudnya. Karena bagian-bagiannya itu juga sebab bagi keberadaannya dimana kalau tidak ada bagiannya, pasti tidak akan penah ada keseluruhannya. Jadi, disamping sesuatu itu tergantung pada sebab adanya, ia juga tergantung pada sebab bagiannya. Dan semakin sesuatu itu memiliki banyak ketergantungan ini, maka hal itu akan menyebabkannya semakin rendah dalam derajat wujudnya. 

Sedang Wujud Akal yang tidak memeiliki rangkapan itu, sudah pasti merupakan wujud yang barada di maqam yang paling tinggi di antara makhluk-makhluk lainnya. Dan karena ketinggian mereka itulah maka mereka juga disebut dengan surganya orang-orang yang didekatkan (muqarrabun yang jauh di atas surganya mukminin). Dan, hanya yang paling tinggi diantara merekalah, yakni Akal-pertama yang hanya layak disentuh tangan Tuhan dan menjadi makhlukNya secara langsung. Karena itu, yang lainnya, seperti Akal-dua, tiga, empat ... dan seterusnya diciptaNya melalui yang sekelas di atasnya. Misalnya Akal-dua, diciptaNya dengan perantaraan Akal-satu. Akal-tiga dengan perantaan Akal-dua ...dan seterusnya. 

Beda antara Tuhan yang tidak berangkap wujud-wujud Akal yang juga tidak berangkap itu adalah pada keterbatasan mereka dan ketidak terbatasanNya (dan jarak ini tidak sedikit, bahkan juga tidak terbatas). Yang ke dua, mereka terikat padaNya dan pada sebab-sebab perantaranya (bagi selain Akal-pertama) sekalipun tidak terikat pada bagian-bagian diri mereka yang dikarenakan ketidak punyaan mereka terhadap rangkapan-rangkapan diri tersebut. 

Sebagai tambahan: 

Akal-pertama juga dikenal dengan Nur Muhammad; Akal-akal itu dikenal dengan Jabaruut atau Jannatulmuqarrabiin atau Surga yang didekatkan padaNya; Akal-akhir juga disebut ‘Arsy atau Maqam pertama di atas surga atau Lauhu al-Mahfuzh. Dan dalam Qur'an juga biasa dikenal dengan Malaikat ‘Aaliin/tinggi: 


قَال يَا إِبْلِيسُ مَا منَعَكَ أَنْ تَسْجُد لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ



“Berkata –Allah: ‘Wahai iblis, apa yang membuatmu tidak bersujud kepada –Adam- yang telah Kubuat dengan kedua tanganKu sendiri. Apakah karena kamu sombong atau karena kamu tergolong dari yang tinggi?’” (QS: 38: 75) 

Ayatullah Jawadi Omuli, walau tidak terlalu memastikan dalam pelajaran Filsafat dan Irfannya, mengatakan bahwa memang ada kemungkian terhadap adanya malaikat tinggi yang tidak diperintah sujud kepada nabi Adam as. Karena itu Allah berfirman: 

“Apakah karena engkau sombong atau karena kamu tergolong dari yang tinggi kedudukan- nya? 

Dalam hadits juga banyak diriwayatkan yang secara lahiriahnya berbeda akan tetapi bisa dipadukan setelah kita mengenali kaidah akal. Hadits-hadits yang dimaksud seperti berikut: 

في سئواالت الشامي عن أميرالمؤمنين أخبرني عن أول ما خلق اهلل تبارك وتعالى فقال: النور 

“Yang termasuk pertanyaan orang Syam (Suriah) kepada imam Ali as adalah: ‘Beritahukan padaku tentang apa yang pertama kali dicipta Allah?’ Beliau menjawab: ‘Cahaya.’.” (Biharu al- Anwaaar, jld. 1, hlm. 96) 

قال النبي) صلى الله عليه وآله: (أول ما خلق الله نوري

“Nabi saww bersabda: ‘Pertama kali yang dicipta Allah adalah cahayaku.’.” (Bihaaru al-Anwaar, jld 1, hal. 97) 

وفي حديث آخرأنه ) صلى اهلل عليه وآله (قال: أول ما خلق اهلل العقل 

Dalam hadits yang lain Nabi saww bersabda: “Pertama kali yang dicipta Allah adalah Akal.”  (Biharu al-Anwaar, jld 1, hal. 97) 

Saya tidak akan menjelaskan tentang masalah Akal-pertama dan mengapa bisa diterapkan hadits Cahaya, Cahayaku atau Akal di atas. Karena memang kita sekarang tidak sedang membahasnya dan, apalagi sepertinya saya dulu sudah pernah menuliskannya. 

Dalil filosofisnya: Sudah sering pula saya jelaskan tentang dalil mengapa Tuhan mesti mencipta satu makhluk dulu, baik di keterangan-keterangan filsafat dan Irfan atau, bahkan di penjelasan tentang akidah. 


Intinya adalah: Kalau Tuhan mencipta dua atau lebih makhluk secara langsung, maka Ia akan menjadi terpetak. Dan keterpetakanNya ini akan membuatNya terbatas dimana kalau Ia menjadi terbatas maka Ia pun akan menjadi makhluk, bukan Tuhan. 



Penjelasannya: 

(1-a-1). Antara sebab dan akibat mesti memiliki kesejenisan (bc tidak asing). Karena itu mani manusia hanya akan menjadi manusia; biji jagung hanya menumbuhkan pohon jagung; api hanya melahirkan panas; es hanya menyebabkan dingin ....dan seterusnya. 

(1-a-2). Kalau Tuhan mencipta dua atau lebih makhluk yang berbeda secara hakikat dan esensi secara langsung, maka masing-masing esensi itu pastilah keluar dari KuasaNya tersendiri. Misalnya mencipta langit dan bumi. Karana kedua makhluk/ esensi ini saling berbeda, dan karena antara sebab dan akibatnya harus memiliki kesejenisannya, maka sudah pasti langit dan bumi tersebut diakibatkan oleh dua KuasaNya, bukan satu KuasaNya. Karena kalau diakibatkan oleh satu KuasaNya, maka salah satu dari keduanya itu sudah pasti tidak diakibatkan oleh akibat yang senafas dengannya. 

Misalnya, kalau bumi yang diakibatkan oleh Kuasa kebumianNya, maka keluarnya langit dari sumber atau Kuasa yang sama membuatnya juga diakibatkan oleh Kuasa Kebumian tersebut. Dan, kalau hal ini terjadi, berarti langit diakibatkan oleh akibat yang asing dan tidak sejenis atau senafas dengannya. Ini berarti, kita telah mengingkari keharusan adanya kesejenisan antara sebab dan akibat. Akibatnya, sama saja dengan kita mengatakan bahwa telur ayam telah menetaskan anak harimau atau ikan paus atau manusia atau pohon jagung. 

Tambahan penjelasan: Dari semacam penjelasan di atas itulah yang kemudian muncul teori yang sangat kesohor di filsafat yang mengatakan: “Satu hanya melahirkan satu”, atau “Satu hanya akan diakibatkan dari satu”. 

Sudah tentu satu disini adalah satu yang hakiki, bukan yang mengandungi rangkapan seperti mani dan seterusnya. Karena kelau mengandungi rangkapan seperti mani tersebut, maka ia juga akan mengakibatkan banyak (tidak satu), baik banyak yang dalam rangkapan atau bisa saja banyak yang terurai atau yang cerai berai. 

Simpulan penjelasan tentang makhluk Akal: 

Dengan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Akal-akal ini, khususnya Akal satu, tidak hanya dicipta sebagai makhluk pertama sebagai makhuk pertama saja dan makhluk-makhluk lainnya juga akan diciptakanNya secara langsung seperti dia setelah menciptanya. Karena kalau hal ini terjadi, maka kita harus mengingkari keharusan adanya kesenyawaan dan kesejenisan antara sebab dan akibat sebagaimana maklum. Akan tetapi ia (Akal-pertama), dan siapapun yang dicipta mendahului yang lainnya (tentu yang ada dalam satu garis, seperti mani yang telah menjadi kita, bukan mani yang telah menjadi kakek tetangga dengan diri kita yang lahir setelahnya), maka ia adalah sebab perantara baginya. Inilah makna mendahului dalam filsafat. Yakni menjadi sebab bagi keberadaan wujud berikutnya. 

Dengan demikian, maka satu-satunya makhluk Tuhan hanyalah Akal-pertama tersebut. Dan yang lainnya diciptakanNya melaluinya secara berurut dan beruntun. Jadi, dari Akal- pertama akan tercipta Akal-dua, dari Akal-dua tercipta Akal-tiga ...dan seterusnya sampai kepada Akal-akhir yang juga disebut ‘Arsy ini. Lalu dari Akal-akhir muncul makhluk Barzakh sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini. 

Tambahan simpulan: 

Karena Akal-pertama atau Akal-satu itu adalah makhluk yang telah diberikanNya kesempurnaan akan munculnya makhluk-makhluk berikutannya secara beruntun dan tertib, dan juga yang akan terus saling terikat disebabkan sistem sebab-akibat itu (lihat penjelasan lebih lanjut di makhluk Golongan ke dua alias Barzakh), maka perkataan bahwa Tuhan hanya mencipta Akal-pertama secara langsung itu, sama dengan mengatakan bahwa Tuhan mencipta alam ini dengan sekali ciptaan. Atau dapat dikatakan bahwa ketika Tuhan mencipta Akal-pertama, maka berarti Ia telah mencipta semua alam dengan segala susunannya, keterikannya dan kepengaturannya itu. Karena itulah, maka Akal-satu juga dikenal dengan Alam-Jaami’, Alam-Lengkap dan Alam-sempurna. Ia satu makhluk, tapi karena ia adalah sebab, pengikat dan pengatur bagi semua wujud yang berada di bawahnya (langsung dan tidak langsung), maka ia adalah hakikat semesta itu sendiri. Terlebih ketika ditambahkan kaidah lain yg (yang) mengatakan bahwaakibat itu tidak akan pernah berpisah dari sebabnya. 

(1-b). Golongan ke dua adalah Makhluk Barzakh. Hakikat Barzakh ini adalah non materi mutlak dalam arti kedua (yaitu yang zat dirinya non materi dan kerja-kerjanya tidak memerlukan kepada materi. lawan dari ruh –seperti ruh manusia- yang zat dirinya non materi tapi dalam kerja-kerjanya memerlukan materi –non materi tidak mutlak). Yaitu wujud non materi dalam arti tidak memiliki material atau matter, akan tetapi memiliki sifat-sifatnya. Hakikatnya persis seperti api, apel, singa, pohon, ....dan seterusnya yang ada dalam benak dan ide/khayal kita atau yang kita lihat dalam mimpi. Jadi, walaupun ia hakikat non materi, akan tetapi tidak terlalu bersih darinya. Karena itu ia memiliki warna, bentuk, rasa ..dan seterusnya. Walhasil memiliki semua sifat materi selain matter dan bendawiahnya. 

Karena itulah Barzakh ini juga disebut dengan Alam-Khayal (bukan khayalan manusia) disamping disebut dengan Alam-ide, Alam-mitsaal, tuhan-species-materi, kitab qada’ dan qadar, ..dan seterusnya. 

Keberadaan Barzakh ini terwujud dari Akal-akhir. Saya tidak akan ceritakan adanya perbedaan beberapa filosof tentang hakikat Barzakh ini dari sisi hubungannya dengan Akal-akhir. Saya hanya mau membahas yang umum saja tentang asalnya, yaitu bahwa dia berasal dari Akal-akhir. Dan ia juga yang nantinya akan melahirkan Alam Materi sebagai susun akhir dari Tata Wujud Makhluk atau Gradasi Makhluk ini. 

Wujud Barzakh ini, selain terikat dengan Tuhan sebagai pencipta aslinya, ia juga terikat dengan sebab-sebab perantara di atasnya dan, tentu saja ia juga terikat dengan bagian- bagiannya walaupun belum berupa bagian-bagian material dan hanya berupa sifat-sifat materi saja. Akan tetapi, karena ia memiliki bagian-bagian itu, maka ia sudah mulai terikat kepada bagian-bagian dirinya dimana hal ini tidak ada pada makhluk Akal. 

Dalam al-Qur'an, ia disebut dengan alam malaikat, malakut atau malaikat pengatur semesta (mudabbiraati amran) seperti dalam QS: 79: 5: 


فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا



“Demi (malaikat-malaikat) yang mengatur segala urusan-urusan –dunia.” 

Tambahan keterangan penamaan: 

Di atas telah dikatakan bahwa Akal-akhir dikatakan juga sebagai ’Arsy Allah atau Singgasana Allah. dalam QS: 10: 3, Allah berfirman

إِنّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالَْرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّام ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُالَْمْرَ


“Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang telah mencipta langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Ia duduk di atas Singgasana –‘Arsy- mengatur semua urusan.” 

Manusia, dengan akal yang diberikanNya, dapat mengerti kaidah-kaidah gamblang keberadaan yang, biasanya dibahas dalam suatu ilmu yang dikenal dengan Filsafat. Maka ia mengerti susunan tiga alam tersebut (Akal, Barzakh dan Materi). Di lain pihak Tuhan juga memberikan penjelasan untuk membantu yang tidak biasa berfikir filsafati, dengan penjelasan-penjelasan ayatNya di atas itu. Karena itulah dapat disimpulkan bahwa Akal- akhir itu adalah ‘Arsy, karena setingkat di bawahnya terdapat Barzakh sebagai Pengatur Alam Materi (dunia). 

Kata Ayatullah Jawadi Omuliy, Allah swt telah mengumpamakan PengaturanNya dengan para pengatur negara yang disebut raja yang duduk di kursi singgasananya dan mengatur negara/rakyatnya dimana dalam pengaturannya itu jelas tidak langsung, akan tetapi dengan memerintahkan menteri-menterinya. Allah juga, sesuai dengan ayat-ayat di atas, duduk (menguasai, bukan duduk material) di atas (maqom dan bukan tempat materi) ‘Arsy untuk memberikan instruksi-instruksiNya kepada para malaikat mudabbir tersebut (mudabbiraati amran). 

Tambahan penjelasan tentang pengaturan: 

Pengaturan dalam wujud semesta, tidak sama dengan pengaturan sosial manusia. Karena pengaturan dalam sosial manusia, satu sama lain sama-sama mandiri dari sisi wujud, tapi terikat hanya dari sisi sosial dan kesepakatan. Karena itu, presiden, tidak mengakibatkan ada dan wujud rakyatnya. Akan tetapi karena dalam kesepakatan ia telah dipilih oleh rakyatnya untuk mengatur mereka, maka ia mengatur mereka. 

Akan tetapi dalam kepengaturan wujud atau eksistensi, dimulai sejak awal wujud atau keberadaan yang akan diaturnya itu. Jadi, yang akan diaturnya itu adalah akibatnya sendiri. Artinya suatu wujud yang terlahir dari dirinya atas aturan Tuhannya. Dengan kata yang lebih gamblang, bahwa wujud pengatur itu adalah hakikat sebab wujud dan keberadaan bagi yang akan diaturnya tersebut. 

Keberadaan atau wujud, kalau tidak memiliki keterikatan sebab akibat, seperti pohon kelapa di depan rumah dengan pohon jagung yang ada di kebun, maka keduanya akan saling asing dan tidak berhubungan. Karena itu tidak bisa saling terikat dan apalagi mengatur secara wujud, bukan sosial. Begitu pula antara satu makhluk dengan makhluk lainnya. Karena itu, maka bagaimana mungkin bisa saling berhubungan secara wujud dan mengaturnya? 

Karena itulah, karena keterikatan wujud itu, hanya dengan dan hanya dalam, sistem sebab- akibat, maka sebuah wujud hanya akan terikat dengan sebabnya. Dan karena keterikatan kepada sebabnya itulah maka apapun yang terjadi padanya, hanya melalui pengaturan sebabnya, baik dari awal keberadaannya sampai kepada kesinambungan wujudnya. 

Akan tetapi, karena sebab yang juga akibat itu sebenarnya juga tergantung kepada sebabnya sejak dari awal wujudnya sampai kepada kesinambungannya dan seluruh aktifitasnya, dan karena sebab hakiki yang tidak bersebab itu hanyalah Allah, maka Dia- lah penyebab dan pengatur hakiki itu. Dan yang lainnya hanyalah sebab dan pengatur perantara. 

Karena itulah, kadang Tuhan mengatakan: “Aku Mencipta dan menurunkan hujan, ...”, tapi kadang mengatakan: “Kami Mencipta dan menurunkan hujan.” 

Artinya, ketika Tuhan mengatakan “Aku” maka Ia ingin mengatakan bahwa pencipta dan penyebab serta pengatur hakiki itu adalah Dia. Tapi ketika mengatakan “Kami”, maka Tuhan ingin mengatakan bahwa penciptaan kita dan pengaturannya itu tidak langsung. Artinya memakai perantara atau wasilah. 

Karena itulah dalam sistem doa dan berhubungan denganNya, sistem ini juga ada. Yakni sistem wasilah dan perantara ini, dan bahkan Tuhan sangat menekankan tentangnya. Karena itu dalam QS: 5: 35, Ia berfirman: 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

“Wahai orang-orang yang beriman, berperantaraanlah kalian untuk mendekatiNya!” 

Artinya, kalau dalam Tatanan Wujud Ciptaan, wujud yang ada di derajat lebih bawah menjadi ada/wujud karena wujud yang berada di derajat yang labih atas darinya, maka dalam mendekatiNya juga demikian. Yang berada di derajat iman dan ketakawaan yang lebih rendah “wajib” bertawassul dan berperantara dengan orang yang iman dan taqwanya lebih tinggi darinya. 

(1-c). Golongan ke tiga (akhir) adalah Alam-materi. Hakikatnya adalah keberadaan yang memiliki matter atau bendawiah serta sifat-sifatnya. Yaitu alam yang terhampar di hadapan kita ini dimana kita termasuk di dalamnya. 

Ciri khusus materi adalah memiliki panjang, lebar dan tebal alias volume (isi) dan, tentu saja waktu (volume gerak). 

Kalau keberadaan non materi mutlak (Akal dan Barzakh) adalah wujud yang hanya memiliki kebaikan mutlak, artinya tidak memiliki keburukan apapun, akan tetapi kalau Alam Materi sebaliknya. Karena ia juga memiliki keburukan. Akan tetapi keburukannya lebih sedikit dari kebaikannya. Karena itulah maka ia dikenal dengan keburukan di dalam al-Qur'an (seperti): “....dari keburukan apa-apa yang telah Ia cipta”), dan dikenal dengan efek samping di dalam filsafat. 

Efek samping ini tidak bisa dihilangkan karena derajat wujud materi memang tidak bisa lepas darinya. Hakikat dan esensi Alam Materi, adalah suatu hakikat yang terikat dengan ruang (baca: volume/isi) dan waktu disamping keterikatan-keterikatan yang lain. Dan karena hakikatnya yang demikian itulah maka ia memiliki banyak kekurangan dimana kekurangannya itu yang dikatakan efek samping. Misalnya, manusia yang hakikatnya adalah suatu wujud yang bernafas dengan paru-paru, maka ia sudah pasti tidak akan bisa bernafas di dalam air. Jadi, kalau kekurangannya ini harus ditiadakan, maka sama halnya dengan tidak mencipta Alam Materi sama sekali. Karena yang tidak terikat dengan volume (panjang, lebar dan tebal) dan waktu hanyalah wujud-wujud non materi (Akal dan Barzakh). 

Dan sudah tentu kalau Tuhan tidak menciptakannya, sudah pasti Ia akan terbatas. Karena Ia akan menjadi kikir, bakhil, zhalim, tidak mengetahui (jahil), tidak bijaksana .... dan seterusnya. Hal itu karena Ia telah meninggalkan kebaikan yang banyak disebabkan keburukan yang sedikit. Ini berarti kezhaliman dan ketidak bijakan yang nyata. Mengapa demikian? Karena kalau Tuhan meninggalkan 90 % kebaikan supaya terhindar dari 10 % keburukan, maka sama halnya Ia telah melakukan keburukan 90 % demi melakukan kebaikan 10 %. Karena meninggalkan kebaikan sama dengan melakukan keburukan. Begitu pula sebaliknya. 

Karena itulah, maka Alam Materi yang penuh dengan batasan ini, dan mengandungi keburukan yang pada hakikatnya adalah efek samping, mesti dicipta. Hal itu karena ke- Bijakan, ke-Murahan, ke-Maha Kasih, ke-Maha PandaianNya ...dan seterusnya. Jadi, tidak benar kalau ada orang berkata, mengapa Tuhan mencipta alam atau mencipta aku yang tidak memintanya??!!! 

(2). Derajat Alam atau Makhluk Barzakh 

Makhluk Barzak ini dikatakan Barzakh atau “Antara”, karena ia menempati posisi tengah antara Alam Non Materi Mutlak (Akal) dan Materi Mutlak. Mirip dengan alam kubur yang disebut Barzakh (Antara kehidupan dunia dan akhirat). 

Dalam filsafat, telah dibuktikan bahwa Makhluk Barzakh ini adalah Asal dari Alam Materi ini. Karena itu ia disebut juga “Tanah Asal” atau “Negeri Asal” atau “Tanah Air” yang dimaksudkan dalam hadits yang berbunyi: 

“Cinta tanah air/asal adalah bagian dari iman.” 

Dengan demikian, maka esensi atau spesies apapun yang ada di dunia materi ini, sudah pasti berasal dari Barzakh. Karena itu pulalah ia disebut juga dengan “Alam Mitsal” (alam contoh dari semua spesies materi). 

Kita melihat di dunia materi ini milyaran spesies makhluk, dari atom sampai ke manusia sebagai makhluk materi yang paling afdhal. Makhluk Materi ini, diadakan dan diatur oleh Makhluk Barzakh sebagai Pengatur atau Mudabbiraat-nya. 

Akan tetapi, karena Makhluk Barzakh ini adalah wujud non materi mutlak dan merupkan satu wujud global-mencakup (bukan global pahaman), dan karena Alam Materi adalah materi mutlak dan satu wujud yang banyak (individu), maka ia memerlukan kepada perantara dan barzakh lagi. Barzakh ke dua inilah yang dikenal dengan Ruh, Jiwa dan semacamnya. Karena itulah pada setiap wujud atau setiap spesies, diletakkannya wujud Non Materi Tidak Mutlak Dengan Makna Ke Dua (zat dirinya non materi akan tetapi dalam kerja-kerjanya memerlukan kepada materi atau Non Materi Individu (syakhshi atau tasyakhkhush). 

Dengan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa tidak ada satu wujud materipun kecuali ia memiliki ruh yang mengatur jalannya gerak dan apapun proses yang menyangkut dirinya, walau hanya gerakan putaran-putaran atomnya. 

Ruh yang ada di Alam Materi ini memiliki 4 tingkatan: Ruh Tambang; Ruh Nabati; Ruh Hewani dan Ruh Akli (akal manusia). Terkadang, satu materi hanya memiliki satu tingkatan Ruh saja, seperti benda-benda yang nampak mati yang hanya memiliki Ruh-tambang. Akan tetapi ada yang memiliki dua tingkatan ruh, seperti Ruh Nabati yang sudah pasti juga memiliki Ruh-Tambang. Hal itu karena tidak ada Nabati apapun yang tidak memiliki badaniahnya atau matternya atau materialnya yang perlu kepada pengaturan seperti putaran-putaran atomnya. Dan ada juga yang memilki tiga tingkatan (yaitu binatang atau hewani) dan bahkan ada yang memiliki empat tingkatan, yaitu manusia. Tingkatan-tingkatan ruh itu, kalau ada dalam satu materi (spesies), biasanya disebut dengan Quwwah atau Daya. 

(3). Hakikat Surga-Neraka 

Surga-neraka ini, merupakan ajaran agama langit yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Surga- neraka ini, juga merupakan akibat atau hasil dari buah perbuatan manusia. Sudah tentu, sebab tunggalnya adalah karena manusia memiliki daya ruh yang dikatakan dengan akal dan pikiran. 

Karena surga-neraka merupakan akibat dari wujudnya akal, dan akal ini hanya dimiliki oleh manusia, maka sudah tentu kesurgaan surga dan kenerakaan neraka diukur dari sesuai tidaknya kedua makhluk itu (surga-neraka) dengan manusia dan akalnya. Artinya, surga yang merupakan kenikmatan, adalah kenikmatan diukur dari manusia. Begitu pula neraka yang merupakan tempat siksa. Makanan segar dan enak, merupakan salah satu kenikmatan surga. Padahal ia merupakan makanan yang tidak enak bagi wujud lain yang bernama bakteri. Tikus yang merupakan makanan enak bagi ular, tidak akan ditemui di dalam kenikmatan surga. 

Dan karena surga-neraka ini berada di jalan balik manusia menuju Tuhan (dengan mati dan kiamat), maka sudah tentu ia berada di tingkatan yang lebih tinggi dari Alam Materi dan, sudah tentu keduanya berada di Alam Barzakh atau Makhluk Barzakh. Karena itu keduanya merupakan kenikmatan dan siksa yang jauh melebihi kenikmatan dan siksa yang ada di Alam Materi. Hal itu, karena Barzakh adalah sebab bagi Alam Materi. 

Dengan kata yang lebih ilmiah dalam pandangan filsafat, dapat dikatakan bahwa tuhan-tuhan spesies atau malaikat-malaikat pengatur dari spesies-spesies yang ada di Alam Materi inilah yang dikatakan sebagai surga-neraka dan “Negeri Balik” atau “Tempat Balik” atau “Negeri Asal”. Surganya, adalah malaikat-malaikat spesies dari spesies apa saja yang sesuai dengan akal dan manusia, sedang Nerakanya, adalah asal spesies-spesies yang tidak sesuai, seperti api, duri, ular, babi, anjing ...dan seterusnya. 

Di dunia materi ini, hal-hal yang tidak sesuai dengan akal dan manusia itu, tetap diperlukan oleh manusia sebagai bekal hidupnya, baik langsung, seperti api, atau tidak langsung, seperti ular. Tapi di kehidupan setelah mati, maka yang tidak sesuai dengan akal dan manusia itu, terlebih sebabnya dan asalnya dimana kedudukannya pasti lebih tinggi dan kuat, maka akan semakin lebih menyiksanya. 

Dan karena hal-hal yang tidak sesuai dengan akal dan manusia itu adalah wujud-wujud yang tidak berkesesuaian dengan akal manusia, maka sudah tentu derajatnya dibawah wujud-wujud yang sesuai dengan akal manusia. Karena itu, Surga berada di atas Neraka. Artinya, Surga lebih dekat kepada Allah sebagai sumber segala keindahan dan kesempurnaan, sedang Neraka sebaliknya. 

Tapi kalau dilihat dari Alam Materi yang berada dibawah keduanya (surga-neraka), maka Neraka berada setahap di atas wujud Materi, sementara Surga berada di atas derajat Neraka. 

Akal, sebegitu hebatnya, hingga dapat menerima percikan Cahaya-cahayaNya hingga banyak mengetahui rahasia alam ini dengan akalnya dalam bentuk akal-gamblang atau dalil-gamblang. 

Dan Allahpun merestuinya serta membimbing yang lainnya yang tidak terlalu senang berfikir keras, dengan ayat-ayatNya, seperti, QS: 7: 176, dikala Tuhan mensifat orang-orang sesat yang sudah tentu ahli neraka. Yakni yang masuk ke Neraka karena tidak mau dinaikkan ke Surga. Dan penyebabnya, karena mereka tidak mau naik dan bahkan memilih untuk tetap bertahan di bumi/ materi. Akhirnya, karena mereka yang bertahan di bumi ini harus mati, maka tidak ada jalan lain kecuali mereka masuk ke dalam Neraka yang berada diantara Surga dan Bumi (Alam Materi) tersebut: 



وَلَو شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الَْرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَل الْكَلْبِ




“Dan kalau Kami menghendaki, maka Kami angkat –derajatnya- dengannya –ayat-ayat- akan tetapi ia mengekalkan dirinya ke dunia (memilih dunia) dan mengikuti hawa nafsunya, maka ia seperti anjing ....” 

Begitu pula Tuhan berfirman: 

ثم الجحيم صلوه ثم في سلسلة ذرعها سبعون ذراعا فاسلكوه

“Kemudian masukkanlah ia ke dalam Jahim –neraka. Kemudian ikatlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta!” (surat Al-Haaqah, 31-32) 

Nabi tercinta saww bersabda: 

لو أن حلقة واحدة من السلسلة التي طولها سبعون ذراعا، وضعت على الدنيا لذابت الدنيا من حرها

“Kalau saja satu mata rantainya saja dari rantai yang panjangnya 70 hasta –yang ada di neraka itu- diletakkan di dunia, maka dunia ini akan melebur/meleleh karena panasnya.” (Bihaaru al-Anwaar, 8: 280.) 

Nabi saww diutus Tuhan untuk menyelamatkan manusia. Baik manusia ini adalah filosof atau orang biasa. Karena itulah, hakikat-hakikat filosofis disampaikannya dalam bentuk kalimat- kalimat sederhana karena tujuannya adalah supaya manusia mudah memahaminya dan mudah mengimani dan menjalaninya hingga mencapai keselamatan dan terangkat ke derajat yang layak. Yaitu Surga kenikmatan dan, yang terpenting, maqam keridhaan Tuhan. 

Dan sudah tentu maqam Surga dan keridhaan ini, adalah maqam yang sesuai dengan akal manusia. Karena itu, hal-hal yang jauh dari nilai-nilai akal argumentatif gamblang, akan jauh pula dari maqam tersebut. Dan bahkan sebaliknya, ia adalah kedudukan yang cocok untuk menempati maqam Neraka. Oleh sebab itulah, gunakanlah akal itu untuk memahami segala hal terutama Tuhan dan agamaNya, walau mungkin tetap bisa dikatakan relatif, akan tetapi jalan tersebut adalah jalan paling selamat menuju Surga dan keridhaanNya. 

Tambahan: 


Karena Alam Materi adalah wujud paling rendah, maka penyintanya adalah orang-orang yang lebih cocok untuk masuk ke Neraka. Karena ia harus meninggalkan Materi ketika mati, akan tetapi ruhnya tidak bisa naik ke Surga karena sejak ia masih hidup di dunia tidak mau mengangkat martabatnya. 

Sementara yang tidak menyintainya, lebih cocok untuk masuk ke Surga. Karena dari sejak hidupnya, ia tidak menyintainya dan tidak menyukai yang bersifat kebumian dan kematerialan. Manusia seperti ini lebih suka kepada kebenaran akal dan agama serta ke-Maha BenaranNya. 

Neraka, sudah tentu memiliki derajat-derajat yang tidak terhingga karena penyinta dunia materi ini juga memiliki berbagai tingkatan yang tidak terhingga (hiperbolik) pula. Sedang Surgapun juga seperti Neraka. Memiliki derajat-derajat yang juga bisa dikatakan tidak terhingga. Dimulai dari satu derajat di atas Neraka, sampai kepada martabat dan maqam menjelang ‘Arsy atau Akal- akhir, atau bahkan maqam di atas semua itu dimana dikenal dengan Surga Muqarrabun, atau kenikmatan makhluk-makhluk Akal tersebut. 

(4). Langit dan Tingkatannya 

Akal manusia hanya bisa menjabarkan bahwa Neraka dan Surga itu memiliki Tingkatan-tingkatan. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa setiap manusia memiliki karakternya tersendiri yang terbentuk dari perbuatan-perbuatannya dimana satu sama lain pasti berbeda. Dan disebabkan pula oleh kenyataan akan kembalinya manusia ke arah sebabnya dengan karakter-karakternya itu. Karena itulah manusia datang dari wathan atau Negeri asalnya yang bernama Barzakh dalam keadaan bersih dari pengaruh kebaikan dan keburukan perbuatannya, dan akan kembali kepadanya dengan masing-masing perbuatannya. Jadi, kembali ke Barzakh dan dengan amalan- amalan dan karakter-karakter yang saling beda itulah yang menjadi salah satu bukti dari keberadaan tingkatan Surga dan Neraka tersebut. 

Dan Tuhan serta NabiNya saww, memberikan gambaran secara global tentang Tingkatan- tingkatan tersebut. Misalnya dengan mengatakan bahwa langit itu ada tujuh tingkat. Misalnya dalam QS: 23: 86: 

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

“Katakan: ‘Siapa Tuhan ketujuh langit dan Tuhan ‘Arsy –singgasana- yang agung itu?” 

Di ayat ini nampak jelas bahwa ‘Arsy itu di atas ketujuh langit. Sebagaimana juga telah dijelaskan oleh Nabi saww dalam peristiwa mi’raj dengan sabdanya: 

حملت على جناح جبرئيل حتى انتهيت إلى السماء السابعة فجاوزت سدرة المنتهى عندها جنة المأوى حتى 
...........تعلقت بساق العرش فنوديت من ساق العرش: إني أناالله لا


“Aku dibawa di atas sayap Jibril as sampai ke langit ke tujuh, lalu kulewati Sidratu al-Muntahaa yang terdapat surga Ma’waa, hingga pada akhirnya aku sampai di kaki ’Arsy, kemudian aku diseru: Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan kecuali Aku ...” (Tafsir al-Miizaan, tafsir surat Isra’). 



Secara global Tujuh Langit itu bisa dibagi kepada dua bagian: 

(4-a). Bagian Pertama, adalah Langit Pertama yang biasa disebut dengan Langit Dunia atau Langit Alam Materi. Langit ini bisa dipahami sebagai akhir Alam Materi atau batas akhir darinya. Allah berfirman: 

إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ

“Sesungguhnya Kami hiasi Langit Dunia, dengan keindahan bintang gemintang.” (QS: 37: 6) 

(4-b). Bagian ke dua, adalah langit ke dua sampai langit ke tujuh. Disini hampir dapat dipastikan bahwa yang dimaksudkan adalah Alam Non Materi. Karena dalam hadits Isra’ Mi’raj, Nabi saww bertemu dengan nabi Isa as dan Yahya di langit ke dua ini (sebagaimana nanti akan dijelaskan di kronologis Isra’ Mi’raj insyaAllah). 

Dan karena Allah berfirman dalam QS: 53: 14-15: 

عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى * عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى

“Di Sidratu al-Muntahaa * Di dalamnya terdapat Surga Ma’wa.” 

Dan juga berfirman di QS: 51: 22: 


وفي السماء رزقكم وما توعدون



“Dan di langitlah rejeki kalian dan apa-apa yang telah dijanjikan kepada kalian –surga” 

Sementara dalam kronologis Isra’ Mi’raj (sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah nanti) dinyatakan bahwa Sidratu al-Muntaha itu setelah langit ke tujuh, maka dapat dipastikan bahwa Surga itu adalah Wujud Non Materi dan, sudah tentu Barzakhi, karena masih di bawah ‘Arsy. Dan batasan akhir surga itulah yang dikatakan dengan Sidratu al-Muntahaa (sebagaimana akan jelas di kronologis Isra’ Mi’raj nanti). 

(5). Kronologis Isra’ Mi’raj 

Peristiwa isra’ Mi’raj ini merupakan kejadian yang tidak bisa diingkari karena terurai dalam al- Qur'an dan Hadits-hadits yang mutawatir, baik di Syi’ah atau di Sunni. Dalam Tafsir al-Mizaan, karya Allaamah Thaba Thabai ra telah diriwayatkan hadits yang panjang tentang Isra’ Mi’raj ini. Karena menerjemahkan secara detail tidak diperlukan untuk bahasan kita ini, karena bahasan kita ini hanya ingin mengetahui apakah Nabi saww telah melakukan Isra’ Mi’raj dengan badan atau hanya dengan ruh atau dengan dua-duanya atau ada perincian lain, maka yang perlu sekali di terjemahkan adalah kronologisnya, bukan detail-detail kejadian dan apa-apa saja yang telah dilihat Nabi saww dalam peristiwa tersebut. Karena itu ringkasan kronoligisnya sebagai berikut: 

(5-1). Datangnya malaikat Jibril as kepada Nabi saww yang ditemani dengan malaikat Miikaaiil as dan Israafiil as dengan membawa Buraq. 

(5-2). Isra’nya Nabi saww (perjalanan malam) bersama malaikat Jibril as dari Makkah ke Bait Lahm (tempat lahirnya nabi Isa as) dan melakukan shalat dua rokaat. Dalam riwayat yang lain, ke Madinah dulu dimana setelah Nabi saww melakukan shalat dua rokaat sesuai perintahNya, diberitahu bahwa tempat tersebut adalah Madinah yang akan dihijrahi di kemudian hari. Sudah tentu dalam perjalanan beliau itu, beliau banyak melihat hal-hal yang memiliki makna serta takwilan-takwilan. Begitu pula pada perjalanan-perjalanan berikutnya. Akan tetapi saya hindari, supaya catatan ini tidak terlalu panjang. 

(5-3). Isra’nya Nabi saww dari Bait Lahm ke Masjidu al-Aqshaa di Palestina dan melakukan shalat dengan para nabi dengan imam shalatnya beliau sendiri. 

(5-4). Mi’raj Nabi saww dari Masjidu al-Aqshaa ke langit dunia. Di perjalanan ke Langit Dunia ini, beliau banyak menyaksikan sesuatu yang memiliki makna dan takwilannya. 

Di Langit Pertama ini beliau saww melihat Neraka. Dengan pendekatan yang lalu, dapat ditafsirkan bahwa Neraka yang Non Materi ini berada di akhir-akhir Langit Dunia Materi, atau di Awal-awal Langit ke dua. 

Di Langit Pertama ini juga beliau saww melihat nabi Adam as. Karena nabi Adam as adalah di alam Barzakh yang non materi dan karena langit dunia itu dihiasai dengan bintang- bintang, maka dapat dipahami bahwa peristiwa penyaksian tersebut terjadi di penghujung 

Langit Pertama atau di Awal-awal Langit ke dua. Atau bisa juga dimaknai sebagai batinnya langit pertama. Akan tetapi tafsiran pertama itu lebih cocok. 

(5-5). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke dua dimana bertemu dengan nabi Isa as dan Yahya as. 

(5-6). Meneruskan perjalan Mi’raj beliau saww ke Langit ke tiga dimana beliau saww bertemu dengan nabi Yusuf as. 

(5-7). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke empat dimana beliau saww bertemu dengan nabi Idriis as. 

(5-8). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke lima dimana beliau saww bertemu dengan nabi Harun as. 

(5-9). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke enam dimana beliau saww bertemu dengan nabi Musa as. 

(5-10). Meneruskan Mi’raj ke langit ke tujuh dimana beliau saww bertemu dengan nabi Ibarahim as. 

(5-11). Meneruskan Mi’raj sampai ke Baitu al-Ma’muurdan melakukan shalat. 

(5-12). Menerruskan Mi’raj sampai ke Kautsar (telaga di surga). 

(5-13). Meneruskan Mi’raj hingga memasuki surga. 

Perlu diketahui bahwa kronologis di atas itu berdasarkan pada lahiriah riwayatnya yang, kemungkinan besar memang tidak ingin mendetailkan semuanya karena tidak dianggap perlu. Karena itu, bisa saja Ruh-ruh nabi yang ditemui oleh Nabi saww itu menunjukkan derajat- derajat surga mereka, atau bisa saja dalam penyambutan mereka terhadap Nabi saww. Bisa saja Ruh para Nabi saww itu memang belum masuk ke surga dengan sebenar-benarnya karena kiamat dan hisab atau hari perhitungan, sebagai syaratnya masuk surga secara hakiki, belum tiba. 

Untuk masalah Baitu al-Ma’muur terdapat banyak riwayat. Diantaranya mengatakan suatu tempat di Langit Dunia, ada juga yang megatakan di Langit ke Empat. Akan tetapi di hadits Isra’ Mi’raj di atas (yang saya ringkas dalam bentuk kronologis itu) nampak bahwa Baitu al-Ma’muur itu setelah Langit ke tujuh. 

Perbedaan itu bisa disebabkan kesalahan penukilan. Intinya, bisa menguatkan perkiraan ke dua di atas (bahwa) Langit ke dua sampai dengan Langit ke tujuh itu, merupakan tingkatan barzakh atau tengah antara dunia dan surga sesungguhnya). Dengan demikian, maka surga itu sangat mungkin setelah Langit ke tujuh. 

Apapun itu, apakah Surga itu di Langit ke dua, atau setelah Langit ke tujuh, maka tetap merupakan Wujud Non Materi Barzakhi. 

Akan tetapi tidak bisa juga menafikan kemungkinan lain yang mengatakan bahwa surga itu memang sejak dari Langit ke dua, karena adanya riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa nabi Ibrahim as, di Surga, bersama anak-anak kaum mukminin yang mati masih kecil. 

Jalan paling bijaksana, adalah bahwa mereka di surga dalam artian belum seutuhnya. Hal itu karena surga seutuhnya itu hanya akan dimasuki oleh manusia setelah kiamat tiba dan selesai hisab di padang Makhsyar kelak telah selesai dilakukan. Jadi, dari satu sisi mereka tidak di surga, tapi dari sisi lainnya mereka di dalam surga. 

(5-14). Meneruskan Mi’raj sampai ke Sidratu al-Muntahaa. Yakni akhir Surga dan Awal ‘Arsy yang disebut dalam hadits sebagai Kaki ‘Arsy. Nabi saww bersabda: 

وانتهيت إلى سدرة المنتهي ............. فكنت منهاكما قال اهلل تعالى “ قاب قوسين أو أدنى” فناداني 

“.... dan aku berhenti di Sidratu al-Muntaha. ..... maka aku kala itu seperti yang dikatakan Tuhan: ‘Sedekat dua busur atau lebih dekat lagi –dengan Tuhan.’.” 

(5-15). Mendapat perintah shalat 50 kali. Lalu dengan tawassulnya nabi Musa as kepada nabi Muhammad saww untuk kaum mukminin yang merupakan umat Nabi saww, dan dengan diterimanya tawassul itu oleh Nabi saww, maka pada akhirnya Nabi saww mensyafaati kita (kaum muslimin) hingga meminta keringanan kepada Allah swt. 

Pada permintaan pertama itu diturunkan 10 shalat. Lalu peristiwa itu terulang lagi, hingga akhirnya hanya tinggal sepuluh shalat saja. Lalu setelah itu permohonan keringanan itu terulang lagi dan akhirnya diturunkan lagi hingga yang tersisa hanya lima shalat. Sudah tentu dengan pahala yang 50 shalat, karena Tuhan dalam QS: 6: 160, berfirman: 

“Barang siapa berbuat kebaikan, maka ia akan mendapatkan sepuluh kali lipatnya.” 

Rincian dan filsafat tentang tawar menawar shalat ini, mesti dibahas dalam topik tersendiri yang, sepertinya saya sudah pernah menjelaskan dan menuliskannya. 

Hasil Kesimpulannya: 

(1). Dengan berbagai mukaddimah dan keterangan di atas itu, dapat disimpulkan bahwa Isra’ Nabi saww dilakukan dengan Ruh dan Badan beliau saww. Begitu pula Mi’raj beliau yang ke Langit Pertama atau Langit Dunia. 

(2). Sedang Mi’raj beliau saww dimulai dari Langit ke dua, atau akhir Langit pertama, ke seterusnya, dan dilakukan beliau dengan Ruh saja. Akan tetapi bukan berarti lepas dari badan. Melainkan persis dengan perjalanan ruhani manusia yang menjalani hidup taqwa dan irfan yang tinggi atau perjalanan ruhani orang mukmin sejati yang melakukan shalat dengan khusyu’ karena disebutkan dalam hadits bahwa shalat itu mi’rajnya mukmin. 

Perjalanan ruhani ini dapat diyakini keruhaniahannya karena yang didatangi, seperti para nabi as dan Neraka serta Surga, adalah wujud-wujud non materi sebagaimana maklum. Karena itulah perjalanan badani Nabi saww hanya berakhir di akhir Dunia Materi ini. Dan selanjutnya perjalanannya diteruskan dengan ruhani. 

Artinya, ruhani Nabi saww yang Daya Tambang, Nabati dan Hewaninya, tetap mengurusi perputaran badaniah beliau, sementara Daya Akalnya, terus melesat sampai ke Sidratu al- Muntahaa tersebut, tanpa adanya saling ganggu antara Ruh beliau yang Daya Akal dengan Ruh beliau yang Daya di bawahnya itu. Persis seperti ketika Nabi saww melakukan shalat di dunia ini, dimana Ruh Daya Tambang, Nabati dan Hewaninya tetap mengatur mobilitas badannya, sementara Ruh bagian Daya Akalnya melesat ke Sidratu al-Muntahaa. 

Dan ingat, karena Ruh manusia itu satu dan non materi, maka Daya-daya tadi tidak dalam bentuk bagian-bagian dan petakan-petakan. Akan tetapi ia benar-benar berupa satu wujud yang non materi dan tak berbagi, namun dapat mengatur dirinya baik di tingkatan badaniah dan akliahnya secara rapi dan teratur tanpa adanya saling ganggu. Tentu saja, tarik menarik di antara Daya-daya itu tetap ada, manakala manusia belum menempati posisi Fana’ atau setidaknya belum menempati maqam Mati Sebelum Mati. 

(3). Sedang pendapat yang mengatakan bahwa sejak dari Isra’nya saja sudah dilakukan Nabi saww dengan ruh saja, maka hal ini tidak perlu banyak ditanggapi. Karena Isra’ Mi’raj ini termasuk dalam katagori Mu’jizat dimana perlu kepada perjalanan badani. Karena perjalanan ruhani bukanlah mu’jizat yang dapat mencengangkan pada Kuasa Tuhan dan Kebenaran Nabi saww. 

Catatan: 

(1). Terdapat perbedaan dalam waktu terjadinya Isra’ Mi’raj ini. Yang dikuatkan di madzahab Syi’ah adalah tanggal 17 Ramadhan. 

(2). Dan di Sunni lebih menguatkan tanggal 27 Rajab. 
Di Syi’ah, kejadian Isra’ Mi’raj ini terjadi sebanyak dua kali (setidaknya). 

Wassalam. 

Ali Al Hussain and 37 others like this. 

Saleh Aljufri:

اللهم صلي على محمد المصطفى وعلي المرتضى وفاطمة الزهراء والحسن والحسين واهل بيتهم اجمعين 

والحجه القائم -عج-سالم اهلل عليهم اجمعين... 

Bulan Bintang Merah: ini penjelasan paling cerdas ihwal peristiwa itu. sayang sekali bila terhapus. bisakah diulang ke dalam inbox saya ? terimakasih. 

Young Mesa: Salam.... izin nge-save ya ust..afwan. 

Bulan Bintang Merah: iya, mau saya save jadi tulisan indah, dan akan saya kirim via email ke teman teman. gimana caranya ? sebarkan ilmunya dong.... 

Sinar Agama: Salam dan trim atas semua jempol dan komentnya: 

Bulan Bintang Merah: ditunggu di inbox... 

Sinar Agama: Bulan: Tolong usahakan ambil sendiri dulu yah .. karena saya sudah teler dengan penulisannya, jadi bantulah aku dengan mengambilnya sendiri. Tapi kalau nanti ternyata kesulitan, bilang saja mungkin kubantu. afwan 

Dharma N TP: (Ustadz, ijin share, copy, save, dll .... syukron :)) 

Sutan Ferdian: Ijin re-share, Ustadz. Sinar. Terimakasih. 

Sugianto Sahaja: banyak Begitu penjelasannya. 

Sinar Agama: salam dan trim sekali lagi atas jempol dan koment-komentnya. Tulisanku asal untuk kebaikan dan tidak untuk bisnis, gratis untuk dipakai dengan cara apa saja, asal tetap dengan nama sinar agama ini. Karena takut ada pertanyaan dari pembaca, maka biar mereka bertanya kepada alfakir ini. 

Sinar Agama: Bintang: Kan tinggal save saja untuk mengambil catatan ini? Kenapa harus di inbox? 

Eri Medan: Ana ijin copas dan tag ya ustadz, syukran salam wa rahmah. 

Sinar Agama: Eri: ok, silahkan 

Sinar Agama: wa’alaikum salam wr wb 

Arly Aprinaldo Aziz: Assalamu’alaikum, ustadz lagi tolong dong bantu ngambl teks nya,.terima- kasih uztadz. Wassalamu’alaikum. 

Syair Pengembara: ustadz sinar agama, bisakah menjelaskan pengertian “ mati sebelum mati ?” 

Ali Al Hussain: Terima kasih. Sangat bermanfaat. 

Weni Alatas: Syukron ustadz, sangat bermanfaat. 

Sinar Agama: Arly, coba dulu ambil sendiri ya.... karena sudah sangat sibuk ini dan itu nih ... nanti kalau masih tidak bisa, maka bisa hubungi lagi aku. Kan tinggal save saja bukan? 

Sinar Agama: Syair: Mati natural adalah tidak adanya apapun ikhtiar pada manusia. Dari sejak perbuatan menarik nafas sampai pada aktifitas yang besar, seperti mencari nafkah, ibadah dan jihad. Tapi mati ikhtiari, adalah membunuh ikhtiar berbuat buruk dengan pedang ikhtiar berbuat baik/taat. Dan, begitu seterusnya sampai pada tingkatan yang lumayan tinggi hingga seperti orang mati. Yakni tidak cinta apapun dunia ini, baik yang buruknya atau yang halalnya. Inilah maqam yang diperintahkan oleh Nabi saww dalam haditsnya: “Matilah kalian sebelum mati!” Atau dalam hadits lain yang berkata: “Orang mukmin itu dalam sehari -setidaknya- mati 70 kali.” 

Nah, kalau kita latihannya dalam sehari mati 70 kali, maka tidak terlalu lama kita akan mati ikhtiari dimana sudah tentu mendahului mati naturali. 

Sinar Agama: Kasih dan Senja: Ok, sama-sama. 

Syair Pengembara: apakah bisa diartikan bahwa mati 70 kali dalam sehari, sama dengan kita membunuh 70 kali keinginan terhadap dunia ? atau tidak memanjangkan angan angan ?, mohon bimbingannya ustadz. 

Sinar Agama: Syair: Benar demikian: Pertama yang dibunuh adalah kebodohan tentang hukum- hukum Tuhan, karena itu harus belajar fikih supaya tahu mana yang wajib dan mana yang haram/ dosa. Begitu pula membunuh kebodohan tentang akidah. Setelah itu membunuh dosa-dosa. Lalu setelah itu membunuh kesukaan kita pada dunia ini dan seterusnya seperti yang sudah dijelaskan di kajian-kajian irfan (lihat catatan-catatan wahdtul wujud dll-nya). 

Syair Pengembara: ustadz, mohon penjelasannya mengapa sholat itu mi’rojnya mukmin, bukan muslim ?. 

Sinar Agama: Syair: Karena kalau memang khusyu’, maka ia akan melanglangi yang dilanglangi Nabi saww, walau dalam bentuk yang lebih rendah dilihat dari sisi rincian dan kejelasannya. Artinya yang sudah shalatnya khusyu’ akan sampai pada perjumpaan denganNya (tapi jelas tidak dalam bentuk bayangan dan apalagi bentuk dan kebendaan). 

Herry Yuli Sunarno: salam...terimakasih ustadz...sudah saya baca namun masih perlu diulang saya bacanya...pusink gue ustadz kl sudah bcr pusing saya ustadz kalau sudah bicara alam non materi...oke ustadz syukron....semoga antum senantiasa bersama syafaat muhammad dan keluarga muhammad...ilahi amin. Allahumma shalli ala muhammad wa aali muhammad.... 

Mujiburrahman Psy: Saya ijin nge-save, ustadz. syukron. 

Brandal Loka Jaya: ngaji fiqih bisanya cumak tau haram halalnya ja.......kalau leh tau haram, halal bisa di lihat dri apa........??????? 

Karbala: ijin copas. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa muhammad wa aali muhammad. 

June 12, 2012 at 5:34 pm



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ