Rabu, 17 Oktober 2018

Tidak Terbantahkan, Belum Tentu Benar



Seri tanya jawab Ahmad Bahagia dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Monday, July 2, 2012 at 11:29 pm


Ahmad Bahagia: Salam ustadz.. mohon penjelasannya.. 

Apakah jembatan antara pengetahuan argumentatif tentang aqidah yang tak terbantahkan menjadi suatu keyakinan, lalu menjadi keyakinan yang berimplikasi pada amal sehari-hari. Bagaimana mengelola dunia agar tidak menjadi jurang pembatas antara keduanya. Terima kasih ustadz atas pemaparannya.. 


Ahmad Bahagia: Sebagai contoh misalnya orang-orang kafir yang hidup pada zaman Rasulullah saaw. Misalnya para pendeta najran, atau sebagian besar “sahabat-sahabat” Rasulullah saww yang pastinya telah menerima penjelasan masalah aqidah dari Rasulullah saaw.. Saya yakin pasti Rasulullah saww menjelaskannya secara jelas, gamblang, terperinci dengan argumentasi yang tidak terbantahkan, sangat pasti diterima akal. 

Tetapi mereka tidak menerima seruan Rasulullah saww sebagaimana orang-orang yang masih dalam kekafirannya atau tidak menerima keseluruhan seruan Rasulullah saww sebagaimana para “sahabat-sahabat”.. 

Yang jelas berpengaruh pada amal-amal yang dilakukan oleh mereka, misalnya tidak menerima keimaman Imam Ali as., dan seterusnya malah bahkan tega menganiaya Ahlulbayt as.. 

Ahmad Bahagia: Saya pernah berfikir bahwa semuanya karena kecintaan dunia, ataupun ego diri.. apa emang hanya itu masalahnya ustadz? Dan apa cara paling jitu buat mengelolanya ustadz? Terima kasih..

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya, tapi afwan saya belum paham maksud pertanyaan antum. Bisa dijelaskan lagi? Karena saya mengira yang ditanyakan itu adalah “jem- patan”-nya. Tapi antaranya, hanya satu saja. Jadi antara pengetahuan .... DENGAN APA??!!! 

Karena ...argumentatif tentang aqidah yang tak terbantahkan menjadi suatu keyakinan, lalu menjadi keyakinan yang berimplikasi pada amal sehari-hari..... ini adalah sifat dari pengetahuan itu. Tapi kalau antum punya maksud lain, coba terangkan secara lebih mudah. 

Pagi ini saya lihat lagi pertanyaan antum, kok ada terusannya di komen. Kemarin sewaktu saya menjawabnya, pertanyaan lanjutan di koment ini belum tampak. Apapun pertanyaan dan maksud antum dari uraian-uraian pertamanya sampai ke sebelum pertanyaan akhirnya, maka saya hanya akan menjawab pertanyaan akhirnya saja. 

Cara paling jitu untuk selamat adalah mencari ilmu Islam dengan akal-gamblang dan mengamal- kannya dengan seikhlash-ikhlashnya. Kalau hal itu dilakukan, maka semua perasaan dan kesukaan pada dunia, dengan sendirinya akan menjadi semakin tersingkir hinggga pada akhirnya antum atau kita semua, menjadi hamba-hamba yang hakiki, budak-budak yang hakiki, budak-budak yang tidak merasa memiliki apapun kecuali kenistaan dan kehinaan. Beribadah dan taat pada Tuhan untuk semakin menjadi hamba yang sempurna. Dan kesempurnaan hamba itu ada di tidak mulia dan tidak kepemilikannya itu. Jadi, taat bukan untuk mulia dan bersanding dengan Tuhannya, tapi taat untuk semakin hina di hadapannya, baik di dunia ini atau di akhirat kelak.

Ahmad Bahagia: Maaf ustadz kalau mutar-mutar.. saya juga agak bingung, karena logikanya seperti yang ustadz bilang pengetahuan menjadi keyakinan itu sifat dari pengetahuan itu.. sifat itu kan selalu mengikuti yang disifatinya ustadz, tapi realitanya kok kayaknya gak begitu. 

Sepertinya pengetahuan menjadi keyakinan itu cuma nampak sebagai sifat pada kehidupan nyata (duniawi). Mudah-mudahan ustadz bisa menangkap maksud saya.. terima kasih ustadz.. 

Orlando Banderas: Ahmad, menurut saya pengetahuan itu hanya teori tidak ilmu aplikatif karena banyak sebab seperti gengsi, cinta dunia, wanita, dan lain-lain. Salam. 

Ahmad Bahagia: Orlando, Salam dan terima kasih komentarnya.. saya juga berfikir +- sama, makanya saya menanyakan pertanyaan kedua. 

Diberi tahu sesuatu itu benar, lalu percaya sesuatu itu benar, lalu yakin sesuatu itu benar, lalu kebenaran yang diyakini itu berefek pada pola pikir dan perilaku.. normalnya, seharusnya, mustinya.. 

Mungkin saya salah mendefinisikan pertanyaan.. atau pertanyaan saya seharusnya.. sesuatu yang tidak dapat dibantah itu kok tidak bisa meyakinkan? 

Orlando Banderas: Sebenarnya sudah sering dibahas oleh Ustadz. Coba cari lagi. Salam.

Sinar Agama: Sesuatu yang tidak bisa dibantah itu belum tentu benar, karena mungkin yang mau membantahnya tidak mampu untuk membantah. Tapi kalau ketidakterbantahan sesuatu itu karena kegamblangannya, maka ini bisa dijadikan petunjuk tentang kebenarannya. 

Kebenaran gamblang yang tidak terbantahkan ini, juga belum tentu diyakini oleh hati yang memahaminya. Karena yakin itu ada dua, yakin hati dan yakin akal. Akalnya, sudah yakin, tapi hatinya belum yakin. 

Hati, ada dua makna. Hati yang tempatnya rasa dan perasaan, yakni di ruh yang daya-hewani (tempat pengaturan gerak ikhtiari, rasa dan perasaaan) dimana hati dengan makna ini adalah hati yang sering dipakai oleh umum, seperti tempat cinta, marah, benci, rindu, dendam ... dan seterusnya. Tapi ada hati yang bermakna akal-aplikatif. 

Nah, ketika seseorang sudah memahami dengan akal-gamblang tentang keberan sesuatu, maka hatinya memiliki dua sikap. Mengikuti kata akal-gamblangnya itu, sebagai obornya, karena akal- gamblang itu adalah akal-pahaman, atau tidak mengikutinya. Kalau mengikutinya, maka hatinya menjadi yakin dan kalau tidak maka sebaliknya. 

Kalau yang tidak yakin itu adalah hati yang bermakna ruh-daya-rasa/perasaan, maka kemung- kinan besar sebabnya adalah belum jinaknya hati tersebut selama ini. Karena bagi dia, kalau lapar yang penting makan, kalau syahwat yang penting disalurkan ... dan seterusnya. Tak peduli benar salahnya, dosa tidak-nya, karena ia memang tidak mengerti hal itu. Karena yang mengerti itu adalah akalnya, bukan rasa/perasaannya. Karena itu, sudah merupakan tugas akal untuk menjinakkannya. Yaitu dengan mengarahkannya kepada hal-hal yang dibenarkan saja. Termasuk mengarahkan untuk patuh pada pahaman gamblang tadi itu. 

Karena biasanya, ketika akal gamblangnya sudah paham tentang sesuatu yang benar tapi hati ini tidak meyakininya, biasanya yang dipahami akalnya itu sesuatu yang tidak disukai hati ini. Seperti lapar di siang bulan Ramadhan, atau mencegah pacaran, atau mencegah apa-apa yang ia inginkan. Karena itu, hati ini perlu dilatih dan dibiasakan. Tapi kalau yang diketahui gamblang itu adalah hal-hal yang disenangi hati rasa/perasaan ini, maka biasanya lancar-lancar saja. 

Kalau yang tidak yakin itu adalah hati yang bermakna akal-aplikatif, maka caranya, adalah tengok lagi kepahamannya itu. Kalau memang benar sudah merupakan akal gamblang terhadap kebenarannya itu, seperti “racun itu membunuh”, maka akal-aplikatif sudah semestinya malu kalau tidak mengaplikasikan ilmunya dan meminum racun tersebut. Jadi, penyakitnya bukan berantem dengan perasaannya, tapi berantem dengan konsekuensi dari pengatahuannya itu. Artinya, maukah kita mengaplikasikan konsekuensi itu atau tidak. Yakni maukah kita mengaplikasikan ilmu pahaman gamblang itu atau tidak. 

Karena itulah, maka ilmu-gamblang itu belum sepenuhnya cahaya dan petunjuk. Persis seperti Qur'an dan Hadits. Karena petunjuk yang lengkap, sinar yang lengkap, adalah manakala pahaman terhadap ilmu-gamblang, Qur'an dan hadits itu, sudah diaplikasikan oleh akal-aplikatifnya dimana hal ini pertanda pengetahuannya sudah sempurna, karena tahu-pahaman dan tahu-aplikatif, dan pertanda juga bahwa hati rasa/perasaannya sudah terkedali oleh akalnya secara penuh. 

Inilah yang disebut manusia yang sebenarnya, karena ia telah ikut akalnya, baik akal-pahaman atau akal-aplikatifnya dan, sudah tentu meninggalkan hati rasa/perasaannya dimana hal ini adalah makam binatang tak berakal.

Ahmad Bahagia: Terima kasih ustadz.

Saya langsung teringat dengan pekerjaan saya yang berkaitan dengan sistem manajemen mutu yang dibuat berdasarkan persyaratan dan proses yang harus dijalankan dibuat berdasarkan ilmu, akal gamblang agar tidak terjadi suatu kesalahan atas hasil pekerjaan.. walaupun sudah gamblang pada pelaksanaannya juga tidak bisa terjadi begitu saja.. harus dipaksa, lalu terpaksa, lalu terbiasa, sampai terbentuk suatu budaya.. Harusnya hal yang sama bisa diaplikasikan ke kehidupan beragama juga ya ustadz.. penerimaan hati akal tetap harus dipaksa dulu agar hati rasa/perasaan bisa tunduk/jinak. 

Maaf kalau saya simpulkan demikian (mohon koreksi kalau saya salah menyimpulkan). 

Kalau inputnya adalah diri kita yang sekarang dengan spesifikasi yang keyakinannya masih dipertanyakan, kotor dan masih banyak maksiat, sedikit ibadah dan dekat dengan hal-hal yang dimurkai Allah (jauh dari Allah).. 

Dan output yang diharapkan adalah diri kita kelak harus memenuhi spesifikasi memiliki keyakinan yang kuat, bersih, tidak bermaksiat, banyak ibadah dan dekat dengan hal-hal yang diridhoi Allah (dekat dengan Allah).. 

Maka awalnya kita harus dipaksa untuk menjauhkan diri dari yang diharamkan dan memperbanyak ibadah walaupun dengan perasaan terpaksa, terus memaksa diri sampai terbiasa, terus membia- sakan diri sampai menjadi suatu adat kebiasaan.. 

Sinar Agama: Ahmad: Ahsantum, memang seperti itu adanya. Karena itu juga Tuhan sering memberitakan adanya neraka, supaya manusia mau takut dan taat padaNya walau terpaksa. Begitu pula sering mengimingi surga, supaya manusia dapat memaksa dirinya menekan hawa nafsunya dan memilih taat kepadaNya. Walau Tuhan tidak ingin manusia melakukan taat itu karena neraka dan surga, tapi demi kelayakannya menjadi yang terbaik karena akalnya tersebut. (Akal-pahaman yang untuk tahu bahayanya racun misalnya, dan akal-aplikatif yang menyuruh menghindari racun misalnya). Karena itu, Allah selalu memuji hamba-hambaNya yang hebat yang tidak melakukan taat karena keduanya itu (neraka dan surga). Yaitu yang ketaataannya hanya dan hanya karenaNya semata, seperti para anbiya dan rasul dan orang-orang shalih yang kelas tinggi (auliyaa’). 

Orang, KADANG-KADANG sering bergaya-gaya dengan mengatakan: 

“Saya jujur dan tidak mau membohongi diri, hingga karena itu sebelum saya ingin benar-benar taat, maka saya maksiat dulu, saya pacaran dulu, saya tidak shalat dulu ...dan seterusnya... karena saya tidak mau munafik.” 


Ini lagu syaithan yang paling laris di kalangan kaula muda, terutama mahasiswa/i. Lucu amat, maksiat jadi kejujuran dan ketidakmunafikan, lalu taat menjadi sebaliknya. 

Mereka mengira bahwa kalau ingin makan, maka harus makan walau di siang Ramadhan; kalau ingin lawan jenis, maka harus cari pacar; kalau malas shalat, maka harus tidak shalat..... dan seterusnya. Mereka tidak tahu bahwa inginnya rasa/perasaan itu adalah keinginan yang normal sebagai hewan. Sudah tentu yang baligh ingin kawin, yang kosong perutnya ingin makan ... dan seterusnya. Semua itu karena memang fitrah yang diberikan secara rata kepada semua binatang, termasuk binatang rasional ini. 

Tapi kalau manusia selain kebinatangan, juga memiliki kerasionalan, maka sudah merupakan tanggung jawab akal untuk mengatur nafsu-nafsu tersebut. Karena itu, sudah pasti banyak pertentangan seperti jauhnya perbedaan peradaban manusia dengan semua binatang di dunia ini. 

Karena itu kejujuran dan ketidakmunafikan, adalah mengikuti akal-gamblang dan menekan nafsu-nafsunya hingga takluk pada akal gamblangnya itu dan, di kemudian hari, menjadi terbiasa dengannya hingga, jadilah peradaban yang shalih yang menguasai kemasyarakatannya, bukan sosial yang amburadul seperti amburadulnya pergaulan binatang.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar