Sabtu, 06 Oktober 2018

Filsafat Laknat Allah



Seri Tanya Jawab : Bande Huseini dan Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra, pada 28 Juni 2011 pukul 20:56



Bande Huseini: Sinar Agama semoga antum dan keluarga selalu dalam perlindungan Allah swt dan antum tak bosan membimbing kami..ana mau tanya ustadz: Apa makna atau falsafah “laknat Allah atas orang-orang yang zholim “ dalam alqur’an atau di dalam ziarah asyuro..? afwan.. 

Sinar Agama: Bismillahirrahmanirahiim. 

Falsafah Laknat

Laknat dari bahasa Arab, yaitu La’ana yang berarti menjauhkan dari kebaikan. Jadi, laknat Allah kepada orang zhalim berarti menjauhkannya dari kebaikan. 


Dari penjelasan kata di atas, dapat diketahui, bahwa kepenjauhan orang zhalim dari kebaikan oleh Allah itu, jelas sebagai hukuman terhadapnya, bukan kesemena-menaanNya. Dan bahkan, tidak semua orang zahlim yang dilaknatiNya, tetapi yang sudah keterlaluan. 

Kalau dilihat dari kacamata filsafat, yakni hakikat atau niscayanya, maka hal itu sulit diterima akal yang sudah terdidik dengan ilmu-ilmu hakikat tersebut. Karena dalam hakikatnya, Allah adalah Zat yang sudah tentu tidak terbatas. Artinya, Dia tidak akan mengalami perubahan, baik dari ridha ke murka atau sebaliknya. Ini yang pertama

Yang ke dua, Dia yang sebagai keberadaan tidak terbatas itu, sudah pasti tidak akan memiliki kekurangan apapun. Karena itu, tidak mungkin Dia mengeluarkan gelap, sesat dan semacamnya. Jadi, bukan hanya tidak berproses atau berubah atau bereaksi atau berinteraksi. 

Mengapa yang tidak terbatas itu tidak berubah dan tidak mengeluarkan keburukan sama sekali? Karena kalau berubah, misalnya dari satu kondisi ke kondisi yang ke dua (seperti dari ridha ke murka), maka di dalam ZatNya akan ada bagian-bagian. Yaitu dari sini ke sana, atau dari kondisi itu ke kondisi yang ini dan semacamnya. Itu berarti di dalam ZatNya ada bagian-bagian. Dan kalau ada bagian-bagian itu, maka sudah pasti masing-masing bagiannya terbatas, karena masing-masing saling membatasi. Kalau demikian halnya, maka ZatNya merupakan kumpulan dan gabungan dari hal-hal yang terbatas. Dan kalau demikian, seluas dan sebanyak apapun rangkapan itu, hasilnya tetap akan terbatas. Dan kalau Tuhan terbatas, berarti memiliki awal dan akhir dimana sebelum awal pasti tidak ada. Dan kalau sebelum awal Dia tidak ada maka pasti diadakan. Dengan demikian Dia keluar dari keTuhanan dan masuk ke dalam golongan makhluk. Padahal Dia adalah Tuhan. 

Begitu pula kalau Tuhan memiliki kekurangan, seperti gelap, salah, sesat dan seterusnya. Karena ketika memiliki kekurangan jelas ZatNya menjadi terbatas. Dan kalau dmikian maka Dia memiliki awal dan akhir yang akhirnya berakhir pada kemakhlukanNya, bukan ke TuhananNya. Padahal 

Dia adalah Tuhan. 

Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa Tuhan adalah Zat yang tidak terbatas. Dan karenanya Dia hanya memiliki kesempurnaan dan tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Karena itu, Dia selalu menyinari, menghidayahi, menyantuni, merahmati dan seterusnya dan tidak pernah sebaliknya. 

Dengan demikian pahaman laknat, menyesatkan, murka dan semacamnya, harus dicarikan makna yang sepadan dengan ZatNya. Artinya, yang sesuai dengan kesucianNya yang tidak terbatas dan tidak terangkap itu. 

Pemaknaan yang paling tepat dalam hal ini, adalah bahwa sekalipun Tuhan selalumenyinari dan merahmati serta meberikan kebaikan, akan tetapi bukan berarti manusia ini dipaksa untuk menerimanya. Tentu selain kebaikan badani, seperti tubuh, sehat dan semacamnya. Kita kan sekarang lagi membahas akhlak dan prilaku. Jadi, fokus pembahasannya kepada moral manusia. Jadi kebaikan di sini yang berupa hidayah. 

Nah, hidayah ini, sekalipun tidak pernah putus dari sumbernya, yakni Allah, dan Allah juga tidak pernah mengeluarkan hal lain selain hidayah ini (bc: tidak pernah melahirkan dan mengeluarkan kesesatan), akan tetapi tergantung kepada manusianya sendiri, apakah ia akan menerimanaya atau tidak. Karena itulah orang yang tidak menerimanya itu, berarti ia telah menolak kebaikan dan rahmat Tuhan. Yakni menolak dengan ikhtiarnya sendiri. 

Dan menolak rahmat Tuhan, itu maknanya menjauhkan diri dari rahmatNya. Menolak hidayah Tuhan, itu maknanya masuk dalam kesesatan. Jadi, masuk tidak masuknya seseorang ke dalam hidayah dan rahmat, itu tergantung pada manusianya itu sendiri. 

Dengan keterangan di atas dapat dipaami, bahwa bukan Tuhan yang menjauhkan manusia dari rahmat dan hidayahNya, tetapi manusia itu sendiri. 

Akan tetapi karena keberadaan dan sistemnya ini, semuanya bersumber dariNya, termasuk keluarnya manusia dari rahmat dan hidayahNya, atau masuknya manusia ke dalam sesat dan jauh dari rahmat, maka sering dalam Qur'an dikatakan bahwa Allah-lah yang menghidayahi yang mendapat hidayah dan yang menyesatkan orang yang keterlaluan atau melaknat orang zhalim (menjauhkan dari rahmatNya). Wassalam. 

Haura Samira: Ketidakberbatasan Allah dipersepsikan dalam keterbatasan hamba. Artinya bahwa seorang hamba berusaha menggambarkan kemutlakanNya dalam framenya yang sangat terbatas. Maka dalam pemahaman ini dapat menciptakan jarak antara seorang hamba dan Allah. Dan hamba (manusia) dalam segala keterbatasan sifat kemakhlukannya tidak mungkin menjangkau kesempurnaan Allah dan mengenalNya, kecuali Allah memperkenalkan diriNya. Dia tidak memiliki sifat buruk secara substansial sebab hal tersebut menunjukkan keterbatasan. Dan ini berarti juga bahwa laknat Allah bersifat aksidensial bagaimana dengan pemahaman seperti ini ustadz? 

Sinar Agama: Haura: Dalil akal itu tidak memiliki perkecualian. Jadi kalau akal mengatakan bahwa akal itu tidak bisa menjangkauNya, maka apapun itu tetap tidak bisa menjangkau. Jadi, sekalipun Tuhan mengenalkan DiriNya juga tidak akan bisa dijangkaunya. 

Tapi dalil akal tidak mengatakan bahwa akal tidak menjangkau. Karena yang ingin dijangkau akal bukan hakikat kesempurnaanNya, tetapi pemahaman terhadapNya. Jadi, akal tidak mengatakan harus menjangkau ketidakterbatasanNya itu, tetapi hanya mengharuskan memahami dan meyakini ketidakterbatasanNya tersebut dengan dalil akal. 

Allah itu bukan substansi dan apalagi aksidental. Karena substansi dan aksidental itu adalah dua bagian esensi. Sedang esensi adalah batasan dan juga rangkapan yang terdiri dari genus/ jenis dan deffrentia/ pembeda. Sementara Allah tidak memiliki batasan apapun. Karena itulah dikatakan dalam filsafat bahwa “Tuhan tidak ber-esensi dan hanya ber-eksistensi.” Atau untuk basa basi dikatakan “Esensi Tuhan adalah EksistensiNya itu sendiri.” Sedang selain Tuhan memiliki dua hal, eksistensi dan batasannya yang, biasa disebut dengan esensi. 


Dengan semua penjelasan ini, maka apa yang sudah kuterangkan di jawabanku di atas itu, sudah pada tempatnya dan sesuai dalil gamblangnya. 

Wassalam. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjilfarajahum.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar