Minggu, 14 Oktober 2018

Arti Tuhan Mengangkat dan Menjatuhkan Pemimpin/ raja yang Dikehendaki



Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama 

by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 4, 2012 at 11:07 pm


Heri Widodo: Ustadz, QS Ali Imron 26 = Apakah Kehendak ALLAH Menjatuhkan seseorang adalah Keadilan Tersembunyi Hikmah untuk orang tersebut ? 


Agoest D. Irawan, Nadi Ali Utomo, dan Irawati Rembang C menyukai ini.. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Naiknya seseorang menjadi raja atau pemimpin, tidak ditentukan dan tidak pula dikehendaki Allah sebagai kehendak tasyri-’ii (syariat) atau kehendak takwini (natural). 

(2). Artinya, kehendak yang bermakna kehendak, itu tidak ada. Begitupula ketidakberkehandakanNya juga tidak ada. Katakanlah, urusan mau jadi pemimpin atau tidak, semua itu, urusan manusia itu sendiri. 

(3). Akan tetapi, karena akibatnya akibat itu, akibat pula bagi sebabnya, dan karena Tuhan itu sebab akhir dari semua keberadaan, maka kemenjadian-pemimpin atau ketidakmenjadian pemimpin seseorang itu, adalah bagian dari makhluk Tuhan dan akibatNya. Dari sisi, inilah dikatakan bahwa menjadi dan tidak menjadinya pemimpin atau raja bagi seseorang itu, tergantung kepada Allah. Ini makna ayat yang ditanyakan itu. 

(4). Mengapa dikembalikan kepada Allah hingga seakan-akan Tuhanlah penentu semuanya? Karena, Tuhan adalah sebab hakiki bagi semua kejadian di alam ini walaupun hal itu adalah perbuatan dan pilihan manusia itu sendiri. Karena akibatnya akibat, adalah akibat pula bagi sebabnya. Dan Tuhan, adalah sebab hakiki dari semuanya dalam arti, tanpa Tuhan, maka sebab-sebab yang berada di tengah antara akibat akhir dengan serentetan sebab-sebab sebelumnya, semua itu, tidak akan ada gunanya dan tidak akan ada fungsinya. 

Shalat dan mencuri, atau menjadi pemimpin, adalah suatu keberadaan yang diakibatkan oleh ikhtiar manusia. Dari akibat akhir ini, untuk sampai kepada Allah sebagai sebab akhir, ada jutaan sebab-sebab perantara, seperti ikhtiar fulan yang menginginkannya, pengaruh lingkungan, mani-ovum yang telah menjadi si fulan yang mau jadi pencuri atau orang shalat atau pemimpin itu. Kemudian mani-ovum itu juga perlu kepada sebab-sebab sebelumnya, dan sebab-sebabnya itu juga perlu kepada sebab-sebab ...dan seterusnya. ... sampai akhirnya kembali kepada Allah. Nah, semua sebab-sebab perantara itu, menjadi sebab karena Tuhan yang telah menjadikannya sebab. Jadi, sebab hakiki itu adalah Allah dan sebab parantara itu adalah sebab-sebab yang tidak akan pernah berarti tanpa sebab akhir tersebut. 

Karena itulah maka sebab hakiki itu hanya Allah dan karena itulah semuanya sering dikembalikanNya kepada DiriNya di Qur'an dan hadits-hadits Nabi saww. 


(5). Akan tetapi ingat bahwa akan bertanggung jawab itu adalah manusia itu sendiri. Hal itu karena sebelum terwujudnya akibat manusia, seperti mencuri, shalat atau jadi pemimpin, harus melalui sebab yang namanya akal dan ikhtiar. Karena itulah, maka manusia ini yang harus bertanggung jawab terhadap pemahaman akalnya dan ikhtiar-ikhtiarnya. 

(6). Karena itulah maka dalam makhluk-makhluk yang berupa perbuatan manusia ini, dibagi menjadi dua bagian: 

a. Makhluk yang sesuai dengan kehendakNya secara Takwini saja, yakni sesuai dengan prosedur di atas itu, yakni dari Tuhan ke makhluk pertama dan dari makhluk pertama ke makhluk ke dua ..... dan seterusnya sampai ke makhluk yang namanya perbuatan manusia ini. Nah, setiap keberadaan di urutan-urutan ini, dikatakan terjadi dengan ijin Allah secara Takwiniyyah (ciptaan naturalinya). Di bagian ini, tidak peduli apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk, hak atau batil. Seperti shalat, mencuri, menjadi pemimpin batil atau hak. 

b. Makhluk yang sesuai dengan kehendakNya secara Tasyrii’ii (syariat atau agama atau hukum-hukum agama Tuhan). Artinya pilihan-pilihan manusianya itu, yakni makhluk yang berupa perbuatan manusia ini, sesuai dengan kehendak Allah yang sudah ditentu- kan dalam agamaNya. Seperti shalat, menjadi pemimpin hak (seperti para nabi, rasul dan Imam makshum). 

(7). Dengan penjelasan itu maka bisa saja, kemenjadian pemimpin seseorang itu dikehendaki Allah secara aturanNya dalam natural saja, dan bisa dari sisi aturan-Nya dalam agamaNya juga. Karena itu, kemasyiyyahanNya (kehendak Allah), tidak mesti membuat seseorang yang menjadi pemimpin itu senang. Karena, kalau kemasyiyyahanNya itu hanya Takwiniyyah saja, maka ia akan menanggung dosa kebatilannya sendiri dan dosa umat yang dipimpinnya ke arah yang batil itu. 

Akan tetapi, kalau seseorang itu menjadi pemimpin karena dikehendakiNya secara agama- Nya, maka dialah yang dipilih Allah dan dikehendakiNya secara agama sesuai dengan potensinya sendiri dan kelayakannya, hingga dapat menjadi bantuan dan rahmat dariNya bagi umat yang dipimpinnya. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar