Senin, 08 Oktober 2018

Filsafat Doa



Seri Tanya jawab “ Anggelia Sulqani Zahra dan Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:06


Anggelia Sulqani Zahra: Assalamu alaikum Uastadz. 

Allahumma sholli alaa Muhammad wa alaa aali Muhammad. Ustadz, mohon penjelasannya tentang FILSAFAT DO’A. 


Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Setiap mau membicarakan filsafat sesuatu, apapun itu, harus selalu mengingat kembali posisi filosofis atau kenyataan dari obyek yang akan dibahas. Karena itu terpaksa, untuk mengingatkan dan/atau memberi tahu teman-teman yang tidak terbiasa dengan filsafat, merangkum kembali apa-apa yang telah ditulis sebelumnya. 

Doa, adalah akibat yang muncul dari sebab yang bernama manusia. Dan karena doa itu ditujukan kepada Allah swt., maka di sini, minimal, mesti merangkum posisi filsafatnya dari tiga hal itu. 

Karena akan dikatakan, tentang Tuhan, bahwa: Ia adalah Wujud Mutlak. Artinya tidak memiliki esensi. Artinya tidak memiliki batasan. Karena itu, ketika Ia adalah Wujud seperti itu, maka Ia tidak akan pernah mengakibatkan keburukan apapun, baik yang berupa bencana, kesesatan atau bahkan siksa neraka. Karena kalau mengeluarkan satu saja keburukan itu, maka sudah pasti akan bermuara pada keterbatasanNya. Karena itu Ia adalah Cahaya Mutlak, Hidayah Mutlak, Keindahan Mutlak, ....dan seterusnya. 

Karena Ia seperti itu, maka Kuasa Yang dimilikiNya, tidak membuatnya menjadi ternodai hingga menjadi penyiksa, penyesat, penipu dan seterusnya. Artinya KeMaha KuasaNya, tidak berarti melakukan semua keburukan dan keterbatasan tersebut. 

Mungkin Anda bertanya, bukankah dalam Qur'an Tuhan mensifati Dirinya dengan Penyesat (Mudhil), Penipu bagi penipu (Khairu Maakiriin), Penyiksa (Muntaqim)....dan seterusnya? 

Untuk menjawab hal itu, maka bisa dengan berbagai jawaban yang diantaranya: 

(a). Bukan Tuhan yang menyesatkan yang keterlaluan, dan bukan Tuhan yang menyiksa yang harus disiksa, serta bukan Tuhan yang menipu para penipu terhadap kebenaran itu, dan seterusnya. Akan tetapi mereka sendirilah yang keluar dari Hidayah, Kejujuran, dan NikmatNya. Artinya, siksa itu sebenarnya tidak lebih dari keluarnya seseorang dari NikmatNya, sesat itu tidak lebih keluarnya seseorang dari HidayahNya, dan tertipu itu tidak lebih keluarnya seseorang dari kejujuran dirinya sendiri. Ringkasnya, siksa, tertipu, sesat, buruk, gelap dan semacamnya yang timbul pada seorang hamba yang secara lahir sebagai hukuman dariNya, semua itu, tidak lebih dari keluarnya seseorang dengan ikhtiarnya sendiri dari Cahaya MutlakNya itu. 

(b). Jawaban (a) itu adalah jawaban yang sesungguhnya. Artinya sesuai dengan kenyataannya. Akan tetapi, mungkin bagi yang belum terbiasa sabaran menelaah dan merenungi tentang kenyataan setiap sesuatu, masih bertanya, dan memang bisa dikatakan layak bertanya bahwa: Bukankan sekalipun merupakan pilihan kita, yakni kesesatan, ketersiksaan dan ketertipuan dan semacamnya itu adalah sesuatu yang buruk dan nyata dimana karena setiap kenyataan atau keberadaan itu datang dariNya, maka berarti juga bersumber padaNya, hingga dengan demikian berarti semua keburukan itu adalah juga merupakan akibatNya? 

(c). Keburukan, dalam kenyataan, tidak memiliki keberadaan. Hal itu karena semua sebab keburukan itu adalah ketiadaan sesuatu atau ketiadaan kesempurnaan. Jadi, apapun yang dikatakan jelek atau buruk, sebabnya adalah ketidak pemilikan suatu keberadaan. Seperti tak berilmu, tak berbadan lengkap, tak sehat, tak akhlak, tak kawin (zina), tak adil, tak … dan seterusnya). Artinya, semua tidak dan tiada-tiada itulah yang membuat kita mengatakan hal tersebut adalah jelek dan buruk. Tak adanya kenyamanan di neraka, adalah penyebab buruknya neraka. Tak adanya hidayah dan jalan benar pada setiap kesesatan, adalah penyebab dari keburukan sesat. Begitu seterusnya.
 
(d). Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa semua keburukan dan kejelekan itu disebabkan ketiadaan sesuatu atau ketiadaan kebaikan atau ketiada kesempurnaan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa keburukan itu tidak ada. Hal itu karena ketiadaan sebabnya. 

Jadi, semua yang kita lihat dari keburukan itu, sebenarnya penilaian pikiran dan tidak ada keberadaannya. Persis seperti satu bagi dua, yang mestinya hasilnya dua, dikatakan setengah. Atau akhir dari garis adalah titik, dimana pada hakikatnya, titik itu adalah garis kecil yang, membuatnya tegolong kepada hakikat garis juga. Padahal titik itu, yang definisinya adalah akhir garis, merupakan ketiadaan. Karena ia di luar garis. Dan karena itu ia tidak ada sekalipun bisa ditunjuk dan diisyarati dengan disini dan disana. Begitu pula dengan satu benda dibagi menjadi dua adalah dua keberadaan. Sementara setengah itu tidak ada wujudnya. Yakni kewujudan setengah itu hanya di alam akal kita yang mengatakan bahwa dua benda ini adalah setengah kalau dibanding dengan benda pertama yang sudah tiada itu. 

Pendekatan di atas, tidak mesti sama dalam setiap dimensi. Penyamaan disini hanya ingin mengatakan dan menguatkan, bahwa betapa banyaknya sesuatu yang tidak ada tetapi dianggap ada oleh akal kita.Begitu pula halnya dengan buruk ini. Ia, keberadaannya, hanyalah di dalam akal dan berupa perbandingan dan komparatif. Yakni dibanding yang adanya, atau adanya kesempurnaannya, maka hal ini adalah jelek atau buruk. 

Jadi, buruk tidak ada dan tidak memiliki kenyataan karena dua hal, pertama karena sebabnya adalah tiada, dan ke dua karena ia berupa perbandingan akal hingga keberadaannya hanyalah di dalam akal. 

Keberadaan dalam akal inilah yang dikatakan dengan nilai atau akhlak, atau hukum atau kesepakatan, atau undang-undang dan semacamnya. 

(e). Sedang kebaikan, karena sebabnya adalah keberadaan sesuatu atau kesempurnaan, maka sebabnya adalah ada dan keberadaan. Dan karena sebabnya keberadaan, maka akibatnya yang bernama kebaikan, ia juga ada dan nyata. Seperti semua keberadaan di alam ini. Apapun keberadaan di alam ini, karena nilai baiknya disebabkan keberadaan, maka nilai itu tidak hanya berada di akal, akan tetapi juga ada di alam nyata dan hakikat. Inilah yang dikatakan dengan kenyataan atau filosofis. Filosofis, yakni nyatais. Filsafat yakni Ilmu Kenyataan. 

(f). Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa kenyataan itu adalah baik dilihat dari sisi keberadaannya. Tidak shalat, tidak kawin, pembunuhan...dan seterusnya semua itu, adalah kebaikan dilihat dari kenyataan wujudnya. Yakni merupakan kesempurnaan. Zina, adalah kesempurnaan wujud dari dua jenis manusia yang memiliki semua kesempurnaan badani dan kenormalan jasmani. Karena itu, pertemuannya itu adalah kebaikan wujud atau kebaikan alami dan naturali. Begitu pula dengan perbuatan buruk yang lainnya. Semuanya, dari sisi naturalinya, adalah kebaikan dan kesempurnaan naturali. Pedang yang tajam, leher yang bisa luka, tenaga yang ada pada pengayun pedang dan seterusnya hingga terjadi pembunuhan dan penganiayaan, adalah kebaikan dan kesempurnaan wujudi, alami dan naturali. 

Sedang keburukannya, dilihat dari ketiadaan kawin, ketiadan hak membunuh, ketiadaan hidayah dan seterusnya yang, membuat semuanya itu tidak ada dalam wujud nyatanya, alaminya, naturalnya. 

(g). Akan tetapi, sebagai manusia berakal, tidak boleh menganggap semua keburukan karakter dan tanpa hukum serta tanpa akhlak itu sebagai sesuatu yang remeh temeh dan tidak perlu diperhatikan. Hal itu karena, penyepelehan itu akan membuat kita, artinya membuat keberadaan kita sebagai manusia yang bukan akliah saja tetapi bahkan nyata, menjadi wujud yang menurun dari hakikat kemanusiaan nyatanya itu. Artinya, kalau kita membunuh orang yang tidak layak dibunuh, atau berzina dan semacamnya dari hal-hal yang buruk di dalam akal dan baik di luar akal (nyata, karena ada), maka akan membuat keberadaan alami dan naturali dari manusia ini menjadi naturalinya keberadaan yang lebih rendah seperti binatang. 

Karena itu, hal-hal yang sekalipun keberadaannya hanya di dalam akal, atau kitab, atau kesepakatan, atau hukum atau undang-undang, atau Qur'an dan seterusnya, tetap harus diperhatikan karena membuat keberadaan alami manusia itu menjadi keberadaan yang lebih rendah derajatnya seara alami. 

(h). Memang, lebih rendah, lebih buruk ..dan seterusnya itu tetap akan berpulang kepada ketiadaan lagi. Artinya dikatakan buruk dan tidak baik karena ketiadaan lagi. Artinya keburukannya tetap tidak ada karena keburukannya disebabkan oleh ketiadaan sebab keburukannya. Karena itu manusia yang menjadi binatang, yang masuk neraka, dan seterusnya tetap merupakan kebaikan karena kalau dilihat dari sisi wujudnya, semuanya adalah kebaikan, seperti panasnya neraka, terbakarnya badan (karena kalau seperti besi badan tidak akan bisa berkembang dan bergerak), begitu pula menjadi binatang yang bisa bergerak, kawin alami (zina) makan harta orang, dan seterusnya adalah kesempurnaan keberadaan. 

Memang demikian halnya. Karena itulah maka semua yang ada sekalipun neraka itu, adalah kebaikan dan rahmatNya yang layak disyukuri. 

Akan tetapi, manusia yang masuk ke dalamnya, ia akan menderita. Artinya ia mendapatkan keberadaan dan kebaikan alami, yang baginya adalah penderitaan. Jangan jauh-jauh, kalau kita sandra Mas Indra Gunawan atau Mas Herry (he he he, hanya contoh), lalu memaksanya untuk masuk ke sekolah TK dimana harus pakai celana pendek seragam TK, dikalungi botol teh untuk minum, disuruh duduk bersama anak-anak TK yang lain, disuruh taat sama ibu gurunya yang menyuruhnya menyanyi, main sepor-seporan (kereta-kereta apian), menari dengan tari bebek, dan seterusnya, maka sudah dapat dipastikan kedua Mas itu akan tersiksa dan dalam waktu seminggu saja keduanya harus dimasukkan ke rumah sakit “tidak sehat akal” (bc: gila). 

Padahal kita tahu, bahwa sekolah TK itu adalah baik dan rahmat bagi keberadaan. Akan tetapi kalau yang memasukinya itu adalah keberadaan yang derajatnya melebihi derajat rahmat itu, maka rahmat tersebut akan menjadi balak dan bencana yang, tentu tetap merupakan kebaikan. Karena sebab kebaikannya adalah keberadaan dan bukan keburukan karena sebab keburukannya tidak ada.
 
(i). Karena itulah semua keberadaan itu adalah baik dan sudah disiapkan untuk keberadaan yang sesuai. Karena itulah Tuhan menurunkan manualNya yang berupa syariat yang untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia, semua itu, agar manusia tidak menempati tempat yang bukan tempatnya. 

Nah, menempati tempat yang bukan tempatnya itulah yang terus dikatakan binatang, kesesatan, ketertipuan, neraka, siksa, sakit psikologi, sakit jiwa, gila, terlaknat, gelap, dhalliin, dan seterusnya. 

(j). Karena itulah manual itu benar-benar rahmatNya, bukan taklif atau tugas atau beban. Jadi, kalau manusia sadar akan kemanusiaannya, maka ia tidak akan pernah menatap syariatNya itu sebagai beban dan, apalagi malah mengatakannya sebagai sesuatu yang tidak meliputi segala aspek kehidupan dan tidak meliputi semua jaman serta keadaan dan, lebih apa lagi tidak mengatakan bahwa hukumku lebih dari hukumNya. Yakni tidak mungkin seperti itu. Karena tiga hal itu akan menurunkannya ke derajat lebih buruk dari binatang. 

Mungkin untuk yang pertama, tidak sampai seperti itu. Artinya, orang yang melihat bahwa hukum-hukumNya itu adalah beban dan taklif, tidak akan sampai dosa dan menjadi binatang atau masuk neraka. Akan tetapi, dia akan selalu atau hampir selalu, dalam melaksanakan ketaataannya, akan merasa berat, beban dan bisa saja terpaksa (sudah tentu terpaksa jauh lebih baik dari tidak melakukan, karena terpaksa ini juga bisa masuk surga). Namun, ketaatan seperti itu bisa gampang berhenti dan berubah ke arah lainnya yang biasa dikatakan maksiat. 

Beda halnya kalau menatap syariat itu sebagai rahmatNya, IndahNya, KasihNya, PerhatianNya, KeadilanNya...dan seterusnya, maka ia akan manis dan asik masyuk dalam melakukan semua kewajibannya dan sungguh-sungguh akan sangat membenci keburukan akhlak dan ketidak teraturan. 

Akan tetapi kedua lainnya, yakni mengatakan hukum-hukumNya tidak meliputi semua aspek kehidupan manusia baik dari sisi niscaya dan jamannya, atau mengatakan bahwa hukumku atau undang-undangku lebih baik dari hukum dan undang-undangNya, maka kedua hal ini benar-benar bisa mengantar manusia ke neraka jahim. 

Kepengakuan Fir’un sebagai Tuhan, sudah tentu bukan dari penciptaan. Karena dapat diketahui dengan nyata bahwa dia tidak mencipta air yang ia minum. Akan tetapi, yang jauh lebih menonjol, adalah di Ketuhanannya dari sisi perundangan dan hukum ini yang, karenanya ia mengatakan “Aku juga membuat manusia hidup dan mati”, yakni kuhukum hidup atau mati.

Dengan semua penjelasan di atas itu, maka dapat dipahami dengan argumentasi gamblang bahwa Tuhan hanyalah sumber kebaikan, kehidayahan, kebenaran, cahaya dan semacamnya. 

Dengan penjelasan di atas itu pula, dapat diketahui bahwa keburukan itu tidak ada, dan yang ada hanyalah penurunan derajat kebaikan ke kebaikan yang lainnya yang, bagi yang diturunkan, akan menjadikannya tersiksa karena ketidakcocokannya itu. Seperti api neraka yang baik kalau ditempati manusia yang turun ke derajat api itu yang sekalipun tetap baik, akan tetapi akan membuatnya tersiksa. 

Dan tersiksa itu, juga kebaikan yang lain dilihat dari dimensi wujud dan keberadaannya. Karena sebab semua kebaikannya adalah keberadaan dan kesempurnaan. Sementara sebab keburukannya adalah ketiadaan yang, membuat keburukan itu tidak ada. 

Karena itulah maka neraka itu tergolong rahmat Tuhan yang besar, karena membuat orang yang tidak suka padanya secara filosofis/hakiki, menjadi menaati manualNya dan bagi yang suka secara hakiki tetap mendapatkannya. Artinya, yang di dunia suka zina, korupsi, aniaya . dan seterusnya, semua itu akan mendapatkan apa-apa yang meraka suka tersebut (neraka). Karena itulah dalam Qur'an: 7: 156, dikatakan bahwa “dan rahmatKu meliputi segala sesuatu”. Artinya nerakapun merupakan rahmatNya. Seperti rumah sakit gila, rumah morfinis, rumah pelacuran, istana kezaliman, sarang perampok, majlis para koruptor, kantor pengadilan yang penipuan, penjara, dan seterusnya. semua itu merupakan kebaikan bagi pemilihnya. 

Jadi, pertama Allah sudah menurunkan manualNya atau syari’atNya, itu sudah kebaikan dan rahmat yang agung. Kalau diamalkan maka ia adalah kebaikan yang lainnya. Menjadi manusia yang baik dan bermoral, serta kemudian menjadi penegak keadilan dan masuk surga, merupakan kebaikan yang bersumber dari taat pada manualNya itu. 

Dan bagi yang tidak taat pada manualNya itu, maka ia berarti memilih kezaliman, kegelapan, ketidak bermoralan, dan api neraka, semua itu, juga merupakan rahmatNya. 

Jadi tergantung kepada manusia mau memilih rahmatNya yang mana. Mau memilih rahmatNya yang membuatnya senang dan bahagia serta sehat secara hakiki, atau memilih rahmatNya yang akan membuatnya menderita secara hakiki walau di dunia ini Nampak bahagia dan senang, na’udzubillah. 

Sampai disini, kita sudah membicarakan Tuhan dari dimensi DiriNya dan sehubungan dengan kebersumberanNya terhadap semua kebaikan. 

Sekarang, kita akan membahas DiriNya sebagai sebab. Artinya bukan sebab dari apa sebagaimana yang sudah dibahas, tetapi arti sebab itu sendiri. Karena itu maka layak dikatakan bahwa: 

Sebab, adalah suatu sifat bagi suatu wujud dimana wujud itu mewujudkan wujud lain. Tentu saja pembahasa sebab seperti ini, bukan pembahasan puncak. Tetapi nanti mungkin kita akan sampai ke tingkatan puncaknya. Tergantung rejekiku dalam menulis, dan rejekimu dan pembaca yang lain dalam membaca. 

Pada tahap ini, cukup dikatakan bahwa sebab itu adalah suatu wujud yang mewujudkan wujud lain. Dan Tuhan, sebagai sumber dari segala keberadaan, maka Ia adalah sebab bagi semuanya. 

Sebab pewujud itu, bukan berarti mewujudkan sesuatu yang sebelumnya tidak wujud. Karena tidak wujud, adalah tiada. Dan tiada tidak bisa diapa-apakan. Dia hanya bisa dimengerti, akan tetapi tidak bisa diapa-apakan. Satu-satunya yang bisa diapa-apakan padanya, adalah berita atau predikat. Artinya, semuanya hanya dalam akal saja. Yakni di luar, tiada itu tidak ada. Karena itu, maka Tuhan mengadakan semua yang ada ini, tentu dari keberadaan juga. 

Karena semua yang ada ini bersumber dari keberadaan juga, dan karena sumber segala sumber itu hanyalah Tuhan, maka semua kebedaraan ini, berasal dari WujudNya. 

Karena itulah maka keberadaan alam ini dikatakan sebagai Makhluuq, yakni yang berasal dari Khalaqa, yakni dikadar dan dibentuk. Jadi, makhluk ini adalah kadaran dan bentukan dari WujudNya yang Maha Tidak Terbatas itu. 

Dari sisi lain, sebab, adalah sebab bagi keberadaan sesuatu secara hakiki. Yakni dalam hal ini sebab keberadaan. Artinya bukan seperti sebab pendekat, seperti ayah ibu yang mendekatkan sebab hakiki badan (mani-ovum), atau tukang yang mendekatkan sebab hakiki bagi tembok. Karena kalau sebab itu bukan sebab hakiki dan hanya pendekat misalnya, maka ia hanya mendekatkan saja dan tidak ada urusan setelah yang didekatkannya itu terjadi. Yakni sebab pendekat ini akan tetap terpisah darinya, karena memang dari awal bukan bagian dari akibatnya itu. 

Akan tetapi, sebab hakiki atau sebab pewujud, maka ialah yang mewujudkan akibatnya itu. Artinya, ketika ia yang mewujudkannya, maka iapun akan tetap menjaganya selama ia mau menjaganya. Artinya, karena wujud akibat ini benar-benar disebabkan oleh sebabnya itu, maka keperluan akibat tersebut, sudah tentu tidak hanya pada awal keberadaannya. Akan tetapi dalam kebersinambungan keberadaannya. Karena kalau sebab keberadaan itu berpisah dari akibat yang ada itu, maka karena akibat yang ada ini dari sebab yang ada itu, maka akibat yang ada ini pasti akan menjadi tiada. Yakni sebagaimana keberadaan akibat benar-benar hanya dari sebabnya, maka keberadaannya memerlukan kepada sebabnya itu. Karena kalau terpisah dari sebab keberadaannya, maka keberadaannya akan menjadi tanpa sebab. Dan, tanpa sebab itu adalah sesuatu yang sangat mustahil. Karena itu akibat yang sudah ada itu, sudah ada karena dan bersama sebabnya. Karenanya kalau berpisah, maka ia akan menjadi tanpa sebab keberadaan. Yakni menjadi tiada kembali. 

Dan karena akibat itu adalah takaran dari diri sebab, maka ketiadaan akibat maknanya kembali kepada sebabnya lagi. 

Dengan semua uraian di atas itu, kita sudah mengerti bahwa apa makna Tuhan itu sebab dan sumber dari segala sesuatu. Artinya sebagai sumber dari apa? Dan juga sudah mengerti apa arti sebab dan kesumberanNya itu. 

Sekarang mari kita lihat apa arti akibat yang manusia ini dan doa itu. 


Karena sebab adalah penakar dari hakikat keberadaan akibat, maka manusia yang sebagai akibat Tuhan, adalah takaran dari keberadaanNya. Artinya, ia adalah kebaikan semata, walaupun memiliki keterbatasn dimana keterbatasannya ini disebakan oleh ketertakarannya itu. 

Sedang arti keakibatan manusia ini, adalah hakikat ketergantungan pada sebabnya. Karena bukan hanya di awal keberadaannya yang bergantung pada sebabnya, akan tetapi, pada kesinambungan wujudnya juga memerlukan sebabnya. Hal itu, karena berpisah dari sebabnya berarti berpisah dari sebab wujudnya dan, itu berarti tanpa sebab dimana ketanpasebabannya ini berarti ketiadaannya kembali. 

Jadi manusia itu, dalam setiap atom badannya, dalam setiap detak jantungnya, dalam setiap nafasnya, dan seterusnya selamanya begantung padaNya, seperti bergantungnya pijaran lampu listrik kepada arus yang mengalirinya hingga terpijar. 

Karena itu, apapun yang akan menimpa manusia, baik berupa kebaikan atau keburukan (tolong ingat pelajaran di atas hingga tidak salah mengartikan keburukan ini), maka akan mengalir padanya dari dalam dirinya sendiri. Artinya, semua yang akan terjadi pada manusia itu, sebenarnya, akan datang dari sebabnya. Dan karena sebabnya adalah hakikat batinnya, maka semua yang akan datang padanya itu dilarikan melalui jati dirinya sendiri. Artinya dari sumbernya yang berupa 

sebab itu menuju kepada manusia, seperti arus listrik yang mengalir lewat dalam lampu dan membuatnya terpijar. 

Dengan penjelasan ini, maka taufik dan petaka itu dari dalam diri manusia itu sendiri. Karena itulah maka apapun yang datang dari luar manusia itu, hanyalah pendekat dan instrument bagi munculnya sebab hakiki atau sebab wujudnya itu. 

Misalnya, perempuan bersoleh nan cantik dan istri orang. Ia bukan sebab manusia untuk men- duduki kebaikan lebih rendah dari kebaikan manusia yang kita katakan sebagai kebaikan binatang sebagaimana yang sudah dibahas di atas. Karena perempuan cantik yang menggodanya itu, hanyalah pendekat dan instrument bagi kebejatannya atau kebaikan lebih rendahnya itu. 

Nah, sebab hakiki bagi kemerosotannya itu, adalah gelora yang tidak dikendalikannya yang berada di dalam dirinya itu. Nafsu yang juga baik itu (baik hewani dan naturali), tidak dipandunya dengan akalnya yang juga keberadaan dan kebaikan yang lebih tinggi karena sesuai dengan derajatnya sebagai manusia. 

Ketika terjadi perzinaan (na’udzubillah min su-i anfusina), maka ia telah melakukan kebaikan naturali. Akan tetapi naturali hewani. Sedang dari tinjuan naturali akli, ia telah melakukan hal yang tidak sesuai dengannya. Yakni tidak sesuai dengan naturali akli yang berada di tingkatan yang lebih tinggi dari naturali hewani itu. 

Dengan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa semua yang akan menimpa manusia itu, berasal dari dalam dirinya sendiri. Artinya dirinya adalah sebab bagi keburukan atau kebaikannya. 

Inilah yang dikenal dengan Ikhtiar dalam ajaran Islam. 

Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kebaikan dan keburukan manusia itu berasal dari dirinya sendiri. Dan inilah yang dikatakan sebagai ikhtiar dan pilihan. 

Dan karena wujud manusia sendiri itu merupakan kadaran dari WujudNya, maka manusia, sekalipun sebab bagi semua yang akan menimpanya, akan tetapi ia dilihat dari sebabnya adalah akibat. Karena itu, akibat manusia itu adalah akibat pula bagi sebabnya. Karena itu, maka kebaikan dan keburukan manusia itu adalah kadaran Tuhan juga. Yakni makhluuq Tuhan juga. Karena itulah maka kabaikan dan “keburukan” juga bersumber padaNya. 

Kebersumberan inilah yang memisahkan freewillnya Syi’ah dari Mu’tazilah. Karena, katanya, kalau di Mu’tazilah itu Tuhan tidak lagi ikut campur urusan manusia karena sudah memberinya segala potensi untuk jadi baik dan buruk serta sudah memberinya syariat. Akan tetapi kalau di Syi’ah, manusia, tetap bergantung padaNya dari dalam diriNya, bukan dari luar yang kemudian diberi atau tidak olehNya dari luar dirinya. Tidak seperti itu. Tetapi justru dari dalam dirinya sendiri. 

Akan tetapi, sekalipun akibat manusia itu adalah akibatNya juga secara hakiki, namun, yang bertanggung jawab itu adalah manusia itu sendiri. Hal itu, karena manusia bukan sebab naturali tanpa ikhtiar pada akibatnya seperti harimau yang memakan mangsanya. Akan tetapi karena manusia sudah diberikan akal, maka ikhtiarnya itulah yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Artinya, karena makhluk Tuhan yang lewat perantaraan manusia itu lewat ikhtiar manusia, maka manusialah yang harus mempertanggung jawabkannya, bukan Dia. 

Setelah kita ketahui semua perbuatan manusia itu adalah akibatnya dan akibatNya, dan setelah kita ketahui pula bahwa pemberiaanNya melaluinya -manusia- sendiri, maka sekarang kita akan melihat apa arti doa itu. 

Doa berasa dari Da’aa-yad’uu yang berarti memintai, mengingini dan mengharapkan. 

Dari arti bahasa ini, dapat dimengerti arti istilahnya yang sebenarnya tidak keluar dari makna katanya itu. Yaitu menginginkan sesutu atau mencarinya atau mengharapkannya. 

Ingin dan mengharap serta mencari adalah suatu rasa yang dirasakan oleh manusia dalam dirinya. 

Ingin dan mengharap serta mencari ini adalah suatu rasa yang dirasakan oleh manusia dalam dirinya. Artinya ia berupa sesuatu yang tersembunyi di dalam diri manusia itu sendiri. 

Ingin dan meminta serta mengaharap itu sendiri, yakni yang berada dalam jati diri manusia itu sendiri, bisa diaktualkan dalam dua bentuk, kata-kata (termasuk isyarat), bisa juga dalam bentuk perbuatan. 

Aplikasi kata yang keinginan itulah yang dikatakan “Membaca Doa”, yakni mengucapkan keinginan- nya. 

Ingin yang diucapkan itu, sudah tentu bukan merupakan aplikasi yang sebenarnya. Karenya aplikasi yang sebenarnya adalah aplikasi terhadap yang diinginkannya itu, bukan terhadap kata- katanya. Karena ia dari awal tidak ingin terhadap kata-kata keinginannya itu. Orang yang ingin hidayah dan surga, adalah ingin mengambilnya dan mencapainya, bukan ingin mengatakan “ingin padanya” atau mengatakan “Berikan padaku” atau “Hidayahilah aku” atau “Masukkanlah aku ke surga” dan semacamnya. Bukan seperti itu bukan?. 

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa doa itu pada hakikatnya adalah aplikasi usaha, bukan aplikasi kata-kata. Dan inilah yang kita katakan bahwa apapun yang akan menimpa manusia itu datang dari dalam dirinya sendiri yang sudah tentu juga dalam kontrol sebabnya yang telah ikut mewujudkan kebaikan dan keburukannya itu. 

Jadi, doa yang berupa kata-kata itu, tidak lain hanyalah sebab luar dan pendekat saja. Karena ia berfungsi mengingatkan manusia dan memicunya. Tentu saja ingat baru doa, bukan sebaliknya, tetapi yang saya maksudkan disini, adalah ketika manusia terbiasa dengan doanya, maka kebiasannya itu akan membuatnya ingat akan apa yang akan diucapkannya dalam doanya itu hingga menjadi ingat pada isi dan keinginannya, seperti yang biasa membaca doa Kumail. 

Tentu saja, karena doa bacaan itu adalah instrument, maka ia juga menghasilkan pahala dan perubahan pada diri manusia. Akan tetapi perubahan yang berkisar ingin dan kemantapannya saja, bukan pencapaian terhadap apa-apa yang diinginkannya itu. 

Dengan penjelasan di atas, doa yang sebenarnya adalah usaha mencapainya. Tentu saja, doa bacaan ini, berfungsi sebagai dzikir, syiar dan pengingat diri sebgaimana maklum. Jadi dia tetap penting dalam kehidupan manusia baik sendiri atau bersosial. 

Akan tetapi, doa yang akan mencapaikan manusia, adalah keinginan yang filosofis dan nyata alias hakiki. Yakni yang disertai usaha gigih, profisional dan tak kenal lelah. 

Dan karena pencarian dan usaha pencapaian itu, tidak bisa dicari kecuali dalam kadaranNya, dan melalui dirinya sendiri dari dalam dirinya, maka doa ini, merupakan ketaklukan yang penuh terhadapNya. 

Jadi, doa bacaan juga bisa berfungsi sebagai ucapan ketaklukan kepada Allah seperti syahadatain yang berupa pernyataan terhadap tauhid, bukan tauhid itu sendiri. Karena hanya pengucapannya. Tetapi hal itu penting dilihat dari berbagai dimensi seperti yang sudah dijelaskan di atas. 

Kalau doa ucapan itu adalah ikrar bagi kepapaan kita dan keserbapunyaanNya, maka doa yang aplikatif perbuatan atau usaha ini adalah hakikat dari padanya. Yakni hakikat dan keyakinan terhadap kepapaannya dan keserbapunyaanNya. 

Dengan demikian, doa, dari dua sisinya di atas, merupakan ketaklukan penuh kepadaNya, penyer- ahan diri padaNya serta harapan satu-satunya padaNya. 

Karena itu, orang yang berdoa dengan segala dimensinya itu, akan terjauhi dari bergantung dan mengharap dari selainNya. 

Tentu saja, ketergantungan padaNya itu, bukan berarti meninggalkan selainNya. Karena meninggal- kan selainNya berarti meninggalkanNya juga, karena selainNya adalah kekadaranNya. 

Tetapi hakikat meninggalkan selainNya itu, adalah dalam diri dan keyakinan serta tatapannya. Artinya, ia melihat semua keberadaan itu adalah instrumentNya. Karena itu kesukaan kepada selainNya itu bukan kesukaan kepadanya, tetapi kepadaNya. Dan memang begitu dalam pan- dangannya. 

Jadi dia hanya menghormati selainnya tetapi tidak mengagungkannya. Dia tidak mencitainya melainkan hanya mencintaiNya. Tidak mencelanya, tetapi tidak mencintainya. 

Orang yang hanya bermain pemahaman dalam point 40 itu, sama sekali tidak akan mendapatkan manisnya pencapaian walau ia merasa mencapainya. Orang yang hanya bermain kata-kata dan ucapan serta untaian tulisan kata dalam makalah atau catatan fb., tidak akan pernah merasakan keindahan IndahNya, kecahayaan CahayaNya, kehidayahan HidayahNya. Karena itu kita semua mesti berhati-hati memahami tulisan ini dan sungguh-sungguh dalam mengamalkannya. Semoga Tuhan selalu menyertai usaha kita, amin. 

Dengan semua uraian itu dapat dipahami dengan akal gamblang, bahwa doa adalah usaha dari dalam yang kadang menggunakan instrument dari luar, yang diaplikasikan dalam ucapan dan usaha, untuk mencapai apa-apa yang diinginkannya. 

Dan semua itu, terjadi seiring dengan keakibatan manusia terhadap kesebaban Tuhannya. Jadi, semua terjadi dalam dirinya dan DiriNya, dan datang dari dalam dirinya dan DiriNya. 

Wassalam. 


Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Khommar Rudin dan 5 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

8 Juli 2012 pukul 10:29 · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar