Tampilkan postingan dengan label Sistani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sistani. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Mei 2019

Fikih Adalah Hiriz/Ajimat Untuk Keselamatan Dunia-Akhirat


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 11:00 am

Sang Pencinta: 8 Maret 2013, Salam, mohon penjelasan. Sebelum mandi, setiap anggota tubuh yang hendak dibasuh harus disucikan terlebih dahulu, akan tetapi tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk mensucikan seluruh tubuhnya sebelum mandi, oleh karena itu bila anggota tubuh telah disucikan sebelum mandi, maka mandinya dihukumi benar. 

(Ajwibah al-Istifta’at, no.179, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 93). terimakasih ust. — bersama Sinar Agama. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: Salam,, kalau dalam Fikih Sistani,, sesuatu yang najis dan yang berbatasan/berdekatan dengan najis teresebut,, akan seketika menjadi suci ketika proses pensucian berakhir. 

Seperti orang yang memandikan jenazah,, dia juga akan menjadi suci ketika dia selesai mensucikan jenazah ... 

Untuk fikih Ali Khamene’i,, saya menunggu ustadz Sinar Agama 

Sang Pencinta: Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: kalau punya fikih Sistani format PDF Indonesia, tolong share ya. Terimakasih. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Maksudnya adalah, yang wajib disucikan sebelum mandi itu, adalah anggota yang mau dibasuhnya. Jadi, kalau kakinya najis, tidak wajib disucikan kalau masih mau membasuh bagian pertama (kepala dan leher) atau bagian tubuh yang masih di bagian atasnya. Nah, baru setelah kepala leher dan tubuh bagian atasnya itu sudah dibasuh dengan basuhan yang diniatkan mandi besar itu, maka baru kakinya disucikan dari najis sebelum mandi-besarnya. 

Sinar Agama: Nou: Saya tidak melihat hubungan komentar antum dengan yang ditanyakan Pencinta dan saya tidak dapat memahami pertanyaannya. Dan saya mengira bahwa antum salah memahami fatwa tersebut karena yang biasanya dimaksudkan adalah, kesucian bittaba’ atau kesucian dengan mengikuti. Seperti jenazah yang najis dan menajisi tempat pemandiannya dimana ketika jenazah sudah selesai dimandikan dan menjadi suci, maka tempat pemandiannya itu juga menjadi suci. 

Sang Pencinta: Nou: Ketika seseorang menyentuh mayat/memandikannya, ia wajib untuk mandi menyentuh mayat’ jika ingin sholat dan amalan yang memerlukan kesucian. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: @ sang pecinta : afwan,, kalau memakai pc,, bisa ke http://sistani.org 

Seseorang yang menyentuh mayat yang belum dimandikan,, memiliki hukum yang berbeda dengan orang yang memandikan jenazah,, 

@ ustadz sinar : afwan,, mungkin memang saya salah memahami ... Dalam Risalah Amaliah Ali Sistani masalah 378. 

378. It is not necessary that the entire body of a person should be Pak before Irtimasi and Tartibi Ghusl. So, if the body becomes Pak while diving in water or pouring water over one’s body with the intention of the Ghusl, the Ghusl will be in order. 

Terjemah

378. Tidak perlu mensucikan seluruh tubuh seseorang sebelum mandi Irtimasi and Tartibi. Jadi, jika badan menjadi suci ketika menyelam dalam air, atau menyiramkan air ke tubuh dengan niat Ghusl, maka mandinya sah. 

Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan fatwa antara Rahbar dengan Ali Sistani. Mungkin ustadz bisa sedikit menambahkan penjelasan ... Syukran. 

www.sistani.org 

Sang Pencinta: Nou: Seseorang yang memandikan jenazah, apabila hendak shalat, maka (setelah mandi menyentuh jenazah) dia harus berwudhu, karena tidak sebagaimana mandi janabah, mandi menyentuh jenazah tidak mencukupi kewajiban wudhu. 

(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 104) 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: benar,, wajib berwudhu,, tapi tidak wajib mandi menyentuh jenazah. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: untuk fikih Ali Sistani,, link rujukan 

http://www.almujtaba.com/malay/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/www.al-shia.com/html/id/islamic-laws/65.html 

afwan,, saya belum membuat terjemahnya. 

Ghusl for touching a dead body 

www.almujtaba.com 

Sang Pencinta: Coba perhatikan kalimat di atas (setelah mandi menyentuh jenazah)), di sini terlihat wajib pemandi jenazah wajib mandi. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: hmm ... 

Tolong bantu penjelasan kalimat berikut 

532. If a person touches a dead body after it has been given three obligatory Ghusls, Ghusl for touching will not be wajib. However, if he touches any part of the dead body before the completion of 3 Ghusls he should do Ghusl for touching the dead body, even if the 3rd Ghusl of that part which he has touched may have been done. 

219. When a person washes something with water to make it Pak, his hands washed along with that thing, will be Pak when the thing is Pak. 

Sinar Agama: Nou: Belajar fikih itu tidak bisa sekali baca. Kalau antum memang taqlid pada Rahbar hf seperti yang antum katakan di inbox, maka tolong baca fikih Rahbar hf itu secara berulang kali supaya tidak terjadi kekeliruan. 

Beberapa kali saya melihat antum ada kesala pahaman memahami fatwa yang antum nukil itu. Perlu antum ketahui bahwa hal ini wajar. Saya yang puluhan tahun di hauzah dan sudah dibimbing para guru, masih saja kadang salah memahami fatwa. Oleh karena itu, jangan tambah beban lagi. Pelajari satu fatwa dari marja’ antum itu dengan seksama dan berulang kali, karena ia adalah ajimat atau hiriz menuju keselamatan dunia-akhirat. 

Kalau memang antum mau cari pelarian dari ihtiyath-nya Rahbar hf, untuk bisa memakai fatwa Sistani hf itu, maka cari yang ihtiyath-ihtiyath wajib yang punya Rahbar hf dan bandingkan dengan fatwa Sistani hf, supaya kalau ada perbedaan, antum bisa nukilkan ke diri antum dan orang lain (kalau antum mau). 

Contoh ke dua yang sempat ana lihat dari kekeliruan tentang tidak mandi junubnya orang yang memandikan mayit di atas itu. Kalau dari fatwa lain, mungkin saja seperti yang antum katakan. 

Tapi kalau dari fatwa yang antum nukil itu, jelas tidak ada hubungannya sama sekali. Karena fatwa itu mengatakan bahwa wajib mandi ketika menyentuh mayat (yang sudah dingin walau tidak disebut di nukilan fatwa antum itu) yang belum dimandikan dengan tiga pemandian sebagaimana yang sudah diatur dalam bab memandikan mayat. Dan di fatwa itu dikatakan bahwa kalaupun sudah dimandikan, tapi belum lengkap tiga kali (dengan air campur bidara, dengan air yang dicampur kafur dan dengan air murni) dan sekalipun yang ke tiga itu sudah diperkirakan sudah dilakukanpun, maka tetap wajib mandi kalau menyentuhnya. 

Saya juga tidak ada waktu dan tidak merasa perlu untuk menyimak pemahaman-pemahaman terhadap fatwa Sistani hf itu karena tidak diperlukan bagi yang taqlid pada Rahbar hf. 

Anjuranku, bacalah dengan seksama fatwa marja’ antum dan fokuskan pada hal itu karena biar sudah puluhan tahun belajar agama dengan guru sekalipun, masih bisa terjadi salah paham dan semacamnya. Kalau antum lihat ana sendiri beberapa kali meralat informasi fikih ini, maka antum akan lebih merasakannya. Lah, kalau kita kira-kira sama dalam kecerdasan, lalu yang puluhan tahun belajar spesifik masih bisa melakukan kesalahan, apalagi yang baru mempelajari fikih secara otodidak dan hanya bermodal bahasa. 

Menyentuh mayat yang tidak wajib mandi itu dalam tiga kondisi (mayat): 

1- Yang mayatnya berupa mayat syahid dan matinya di medan perang (bukan mati syahidnya di rumah sakit setelah luka di medan perang, misalnya). 

2- Yang badan mayatnya masih hangat. 

3- Yang sudah dimandikan tiga kali (sebagaimana yang sudah diterangkan di atas). 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ