Tampilkan postingan dengan label Imam Ja’far al-Shadiq as. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Imam Ja’far al-Shadiq as. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Juni 2020

Penjelasan Hadits Imam Ja’far Tentang Pengikutnya


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/238687326176071/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 26 Agustus 2011 pukul 2:06


Zen Assegaf: "Jadilah kalian penghias kami dan janganlah kalian mencoreng wajah kami". "Tidak berhak seorang mengatasnamakan Agama atau alasan membela Sinar Agama melakukan dengan cara mencaci maki" (Imam Ja'far as)

Bani Hasyim: Ja'far Shadiq berkata: "Ada sekelompok orang yang berkata bahwa aku ini imam mereka. Demi Allah, saya bukan imam mereka. Sama sekali bukan. Semoga Allah melaknat mereka. Mereka itu, setiap kali saya menutupi sesuatu, mereka malah membukanya. Semoga Allah mengungkapkan keburukan-keburukan mereka.

Dan setiap kali aku berkata "...begini...", mereka berkata: "...maksud imam adalah begitu.."Lihat: Ikhtiyaar Ma'rifat ar Rijaal, Syeikh ath Thuusi, Vol. 2, hal. 590

Selasa, 24 Desember 2019

Meniti Shirat Yang Ada di Dalam Neraka Selama 50.000 tahun Dalam 50 Estafet/Pintu


Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:55 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: 22-4-2013, Assalamu’alaikum, wr. wb. Sholawat. Ustadz, afwan. Apa saja yang terjadi ketika seseorang berada di Alam Kubur. Mohon deskripsikan perjalanan seseorang dari mulai ajal menjemput, diurus jenazahnya, setelah berada di liang lahat, hingga dibangkitkan lalu digiring di Padang Mahsyar, kemudian ditimbang di Al Mizan, dipaksa melewati jembatan Shirathal Mustaqim hingga kecemplung di Neraka lalu menikmati kehidupan Alam Surga hingga menuju ke Alam diatasnya lagi. Apakah Almarhum setiap hari memantau aktifitas-aktifitas keluarga atau orang-orang yang dicintainya yang masih hidup. Apakah putaran waktu pagi, siang, sore, malam, dan sebagainya masih dirasakan bagi si mayit. Mungkinkah orang yang meninggal masih bisa merayu Allah untuk kemaslahatan siapapun yang masih hidup. Surat al Fathihah yang dikirimkan untuk Almarhum di alam kubur langsung mewujud sebagai apa. Faktor apa saja yang melatarbelakangi Hadhrat Maryam binti Imran Sa menjawab seperti ini “bila Allah mengizinkan aku hidup kembali, aku amat merindukan untuk berpuasa diterik siang hari dan bangun munajat didinginnya malam”.

Sulis Kendal, Al Asghar, dan Yoez Rusnika menyukai ini

Sang Pencinta: Salam, ini pernah saya tanyakan, 1162. Ke Dahsyatan Menjelang Kematian Oleh Ustad Sinar Agama:

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/496962047015263/

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Seingatku sudah ada di catatan tentang semua yang antum tanyakan itu. Tolong Pencinta, berikan katalog yang lima seri itu, biar dicoba untuk dicari dulu di sana. Karena kalau ana tulis lagi, akan sangat panjang dari berbagai pertanyaan di atas itu.

Kalau mau cari, carilah pembahasan tentang: Ruh dan pembagiannya; Ruh manusia ketika sudah mati; Makna jalan lurus di akhirat; Makna timbangan di akhirat; Posisi neraka dan surga; Syafaat; Tawassul; Hubungan manusia dengan orang mati; Pengaruh amalan yang hidup seperti hadiah- hadiah ibadah kepada yang mati; dan semacamnya.

Untuk Hadhrat Maryam as itu, sudah tentu karena berbagai faktor yang diantaranya adalah faktor cinta sejati kepada Allah, karena keindahan cinta itu terletak di tiadanya diri yang sudah tentu tidak akan pernah melihat dirinya, deritanya dan seterusnya. Ini yang bisa kita raba dan, hakikatnya, sangat jauh dari yang dapat kita tangkap.

Dan untuk tambahan jalan lurus di akhirat itu, dimana jembatannya sudah pernah dijelaskan sebelumnya bahwa diterangkan dengan dua keterangan hadits yang juga mengatakan bahwa ada di dalam neraka yang memiliki lima puluh pintu pertanyaan dan proses tanya jawabnya. Karena itu cari juga catatan yang menerangkan bahwa semua orang pasti masuk neraka sekalipun para Nabi as dan Imam as, tapi tidak panas bagi mereka karena diselamatkan Tuhan (QS: 19: 71-72):


“Dan tidak seorangpun dari kalian kecuali akan memasukinya -neraka- dan yang demikian itu sudah merupakan ketentuan pasti Tuhanmu. Kemudian Kami akan menyelamatkan yang bertaqwa dan membiarkan yang aniaya di dalamnya dengan keadaan telungkup/membungkuk.”

Tambahannya diambil dari pertanyaan inbox:

Harun Aprianto Baru: Salam Ustadz, pada QS 32:5 satu hari kadarnya seribu tahun pada QS 70:4 satu hari kadarnya lima puluh ribu tahun, apa maksud perbedaannya?

Sinar Agama: Salam:

Banyak tafsiran untuk yang 1.000 tahun itu. Tapi yang terkuat adalah waktu di akhirat kelak.

Sedang di QS: 70:4 itu, dimana menyatakan 50.000 tahun, maka imam Ja’far as pernah ditanya dan jawabannya adalah: Bahwa di akhirat kelak itu ada 50 tahapan dimana masing-masing tahapannya memiliki waktu 1.000 tahun.

Jadi, proses tanya jawab di pintu-pintu Shirathalmustaqim yang berada di dalam neraka itu, memiliki masa waktu 1.000 tahun pada masing-masing proses dan pintunya hingga keseluruhan 50 pintu itu akan memakan waktu 50.000 tahun lamanya. Jadi, selama itu kita akan berada di neraka sampai keluar ke surga atau tenggelam bahkan di pintu awalnya.

Sedang yang taqwa dan terutama para Nabi as dan Imam as, sudah pasti akan terasa ringan dan cepat sebagaimana juga diterangkan oleh Islam bahwa banyak yang bahkan tanpa hisab untuk masuk surga. Tanpa hisab ini, maksudnya adalah dengan penghisaban yang super cepat hingga 50.000 tahun itu, bisa ditempuh dengan sepersejuta detik.

Karena itu, kalau ingin cepat pemeriksaannya di sana, lakukankah pemeriksaan selalu di dunia ini. Dan alat periksanya, tidak lain kecuali akidah dan fikih sebagaimana sudah sering diulang.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 23 Desember 2018

Akal itu Yang Menaati Allah dan Berusaha Menggapai Surga



Pertanyaan page Ali Akbar Velayati dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, March 31, 2013 at 1:27 pm

Ali Akbar Velayati: (10-2-2013), Salam ustadz, afwan ana mau tanya pendapat antum mengenai kalam imam ja’far asshodiq yaitu’’ al aqlu ma abduhur rahman wak tasaba bihil jinan...maksudnya apa ustadz?? Syukron wa afwan. 

Sang Pencinta: Salam, bisa diterjemahkan artinya mas?, mungkin ada di arsip ustadz sinar, yang bisa saya bawakan, terima kasih. 

Ali Akbar Velayati: Wasalam...afwan, oleh karena itu saya tanyakan sama ustadz sinar agama, kalau secara bahasa ana takut mengurangi maksudnya... 

Yayasan Al-Ittihad Al-Islami: Ali buka kamus munjid, maurid, mu’jam maqayis..... 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

1- Mungkin tulisan yang benar seperti ini: al-’aqlu maa ‘ubida bihi al-Rahmaan wa uktusiba bihi al-jinaan, sebagaimana arabnya yang diucapkan oleh imam Ja’far as ketika menjawab pertanyaan shahabatnya dengan pertanyaan “’Aql/akal itu apa?” dengan jawaban: 

ما عبد به الرحمن واكتسب به الجنان 

2- Maknanya adalah: “Apa-apa yang dengannya Allah ditaati dan surga dimasuki.”

3- Maksud Haditsnya (secara rabaan dan kurang lebih): 
  • 3-1- Seperti yang sudah sering saya terangkan tentang akal ini, bahwa ia meliputi dua makna secara hakiki: Pertama, memahami sesuatu dengan benar dan dengan dalil gamblang. Ke dua, memahami bahwa yang benar dari yang diketahuinya itu harus diaplikasikan/ diamalkan dan hal-hal yang dipahaminya sebagai suatu kesalahan itu, harus ditinggalkan. Jadi, akal bukan hanya untuk memahami kebenaran sebagai yang benar dan memahami kesalahan sebagai kesalahan, tapi juga memahami yang benar harus diikuti dan yang salah harus ditinggalkan. 
  • 3-2- Imam Ja’far as merangkai dengan indah makna akal tersebut dalam bentuk kalimat akhlaki yang cukup sederhana walau mengandungi makna filosofis yang sangat dalam. Hal itu, karena beliau as dan para imam as yang lain mengikuti para nabi as yang tidak mengajarkan ilmu tertentu dan hanya mengajarkan agama yang meninggikan masyarakat baik dengan menumpangi berbagai ilmu sekalipun. Karena itulah, para makshum as itu, selain imamnya para umat biasa, juga merupakan imamnya para filosof dan cendikiawan. Karena itulah, kalimat-kalimat yang disampaikan itu dapat dipahami orang yang tidak sekolah dan dapat dipahami pula oleh para filosof dan cendikia yang paling hebat sekalipun, sesuai dengan ilmu-ilmu mereka sendiri-sendiri. 
  • 3-3- Karena itulah imam as meringkasnya bahwa akal itu adalah yang dengannya dapat menaati Allah. Jadi, yang akalnya tidak digunakan untuk mengerti Allah dan agamaNya, dan tidak digunakan untuk menaatiNya, maka ia bukan akal yang sesungguhnya. Karena kalau tidak dibuat tahu dan belajar, maka ia telah difungsikan di posisi yang rendah dimana posisi itu adalah posisi binatang (karena itulah Tuhan mengatakan bahwa orang- orang seperti ini adalah menempati posisi binatang atau bahkan lebih rendah lagi, QS: 25: 44). Dan kalau digunakan untuk belajar tapi tidak diamalkan, maka ia juga bukan hakikat akal itu. Karena apa gunanya tahu bahwa racun itu mematikan dan berbahaya tapi tetap saja meminumnya??. Sudah tahu kalau selain ajaranNya itu tidak benar, tapi tetap saja tidak memakai ajaranNya dalam segala kehidupan??? 
  • 3-4- Jadi, yang tidak belajar tentang Allah dan agamaNya, tidak akan tahu cara taat kepadaNya. Dan yang hanya belajar tapi tidak mengamalkannya, maka ia tidak menggunakan akalnya. Jadi, kedua kelompok ini, yakni yang tidak belajar dan yang belajar tapi tidak mengamalkannya, memiliki satu derajat yang sama, yaitu “Tidak Berakal”. Itulah mengapa imam as mengatakan bahwa Akal itu adalah yang dengannya dapat menaati Allah. 
  • 3-5- Sedang potongan ke dua-nya juga seperti itu, yaitu “yang dengannya berusaha untuk mencapai surga.” Hal itu, karena akal sudah pasti tahu bahwa kita akan mati dan umur kita sangatlah pendek di dunia ini. Dan akal juga tahu bahwa kelezatan dunia ini bagai sedetik saja. Akal juga tahu bahwa kita akan segera mati dan akan dibangkitkan nanti dalam kehidupan yang abadi. Akal juga tahu bahwa kenikmatan surga itu abadi. Akal juga tahu bahwa neraka itu panasnya tidak bisa dibayangkan. Akal juga tahu dan tahu.....dan seterusnya. 

Nah, dalam keadaan seperti itu, lalu masih saja kebanyakan umurnya digunakan untuk dunia dan kelezatannya dan mengabaikan akhiratnya, atau kalau menabungpun tidak seserius pengejarannya terhadap dunia dimana selalu dengan sebegitu seriusnya hingga selalu takut gagal, ....dan seterusnya...maka jelas akal seperti ini tidak layak dikatakan sebagai akal. 

Inilah kurang lebih sebagian kecil dari maksud beliau as itu. Semoga kita semua dapat lolos dengan baik dan profesional menghadapi segala macam ujian hingga menjadi orang yang selamat menurutNya (bukan hanya dakwaan dan khayalan atau harapan kita saja) di dunia ini dan di akhirat kelak, amin. 

Wassalam. 

Ali Akbar Velayati: Ajibb, syukron pemaparannya, jazakumullah khairal jaza’. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 02 Desember 2018

Makna Puasa Hati



Seri tanya jawab Mata Jiwa dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 4:06 pm


Mata Jiwa mengirim ke Sinar Agama: 6-11-2012, 

Salam, pak Ustadz, mohon penjelasannya pada tulisan ini: Imam Ali as: puasa hati dari berfikir lebih afdhal dari puasa perut dari menahan makan(10.000 hikmah Amirul Mu’min), apa yang dimaksud dengan ‘puasa hati dari berfikir’? Terimakasih untuk penjelasannya 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Tolong sebutkan alamat kitabnya dan hikmah ke berapa atau pidato ke berapa. 

Sinar Agama: Hal yang aneh dari hadits itu adalah “puasa hati dari berfikir”. Bukan karena hati yang berfikir, karena hati dalam bahasa arab itu bisa berarti dua hal, akal untuk berfikir dan hati yang untuk merasa/perasaan, sebagaimana sudah sering dijelaskan. 

Jadi, keanehannya, kalau hati di hadits tersebut dimaknai akal lalu disuruh berpuasa dari berfikir. Karena Islam yang dibawa Nabi saww dan Ahlulbait as, adalah Islam yang hanya bisa dikenali dengan berfikir, bukan dengan keluguan. Pikiran dalam Islam, sangat dianjurkan sampai-sampai dikatakan dalam hadits bahwa “Berfikir sesaat, lebih afdhal dari ibadah setahun.” 

Memang, kalaulah juga dimaksudkan berpuasa dari berfikir, misalnya ulama besar mengartikan seperti itu, maka masih bisa dicari jalan keluarnya. Artinya, dicarikan takwilannya yang cocok, seperti misalnya, berhenti dari berfikir dan beranjak ke aplikasi. Maksudnya, berfikirlah dulu, tapi setelah ketemu kebenarannya, maka amalkan. Jangan hanya dipikir melulu atau jangan hanya dipikir saja. Karena itu, puasa dari berfikir melulu, karena terjun kepada praktek atas apa yang dipikirkan sebelumnya itu, lebih afdhal dari puasa dari makan dan minum. 

Akan tetapi, mungkin terjemahannya itu salah. Dan yang benar adalah yang tertera di hadits- hadits itu sendiri seperti: 

صوم القلب خير من صيام اللسان ، و صيام اللسان خير من صيام البطن 

“Puasa hati itu lebih baik dari puasa bicara dan puasa bicara lebih baik dari puasa perut.” 

Puasa hati disini, bisa diraba maksudnya. Yaitu dari menyintai selain Tuhan. Artinya, hati yang perasaan, bukan hati yang berarti akal. Apalagi hadits-hadits lainnya juga menjelaskan seperti yang diriwayatkan dari imam Ja’far al-Shadiq as ini: 

وصوم القلب عن غير الخالق فانه الحق البهى الدائم سرمدا 

“Dan puasanya hati dari selain Pencipta, adalah kebenaran yang indah dan abadi.” 

Jadi, yang dimaksud hati di hadits yang antum tanyakan itu, adalah hati yang bermaksud rasa/ perasaan. Dan yang dimaksud puasa, adalah puasa dari menyukai apalagi menyintai selain Pencipta. 

Akan tetapi, kalaulah yang dimaksudkan puasa disini adalah puasanya hati yang bermakna akal pikiran sekaipun, maka hadits ke dua ini jelas menerangkan dari berpuasa dari selain Pencipta. Jadi, kalaulah diartikan pikiran sekalipun, maka maksud puasa dari berfikir ini, adalah berfikir tentang selain Pencipta dan selain apa-apa yang tidak dimuarakan kepada Pencipta. Jadi, puasa, maksudnya harus berfikir tentang Pencipta dan apa-apa yang berakhir padaNya saja, jangan yang lainnya. 

Memikirkan dunia untuk kebesaranNya adalah bagus, tapi berfikir dunia untuk menguasainya merupakan hal yang tidak bagus. Memikirkan shalat karena Pencipta adalah pekerjaan yang harus dikerjakan dan berfikir tentang shalat untuk kepentingan dunia, harus ditinggalkan. Jadi, berfikir dunia karena keAgungan Pencipta dan KebesaranNya adalah bagus. Begitu pula berfikir tentang agama untuk KeAgunganNya. Akan tetapi berfikir dunia untuk disukainya, dilezatinya, dikuasainya dan/atau berfikir tentang agama untuk tujuan dunia ini, maka hal ini adalah tidak bagus dan harus dipuasai/ditinggalkannya. 

Kalau boleh tahu, antum ambil dari buku yang sudah diterjemahkan atau bagaimana dan siapa penerjemah di buku itu. Wassalam. 

Mata Jiwa: Maaf pak Ustadz, saya baca dari status di fb dari seorang teman, makanya saya langsung tanya ke Ustadz. Alhamdulillah kan langsung dapat koreksinya, pantesan saya bingung, rupanya kurang tepat menyampaikannya, makasih banyak pak Ustadz. 

Sinar Agama: Mata: Ahsanti. Kadang memang orang kurang memahami hadits (Islam), dan hanya memahami bahasa Arab, maka langsung menerjemah. Kalau hanya bahasa Arab membuat seseorang jadi ustadz atau penerjemah, maka semua orang arab adalah orang-orang alim dan tidak perlu lagi sekolah SD, SMP, SMA, Universitas (seperti al Azhar) dan seterusnya. 

Kita memang bisa saja melakukan kesalahan, akan tetapi sudah semestinya berusaha untuk profesional dalam mengerjakan apapun saja di dunia ini, karena di akhirat kelak, urusannya lebih sulit dan pemeriksaannya jauh lebih teliti. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ