Tampilkan postingan dengan label Buku Syiah Menurut Syiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Buku Syiah Menurut Syiah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Desember 2019

Hukum Menolak Wali Faqih Muthlaqah

Sinar Agama: Bismillaah: Hukum Menolak Wali Faqih Muthlaqah (inbox) Terharu terhadap penanya di inbox yang menunjukkan kepahamannya dalam membaca tulisan-tulisan si hina ini dan semoga ia selalu mendapatkan inayah dariNya dan perlindunganNya, begitu pula si hina ini dan semua teman-teman yang dimuliakan, amin. Sebagaimana biasa, saya akan menginisialkan namanya karena takut dia tidak rela dimuat di status:

Hari Ini (inbox)

Y: Ass wr wb, afwan ustad. Saya telah membaca diskusi antum tentang hukum penolakan wali faqih muthlak bagi orang Syi’ah. Dan saya alhamdulillah merasa memahami maksud antum (kalau salah tolong dikoreksi sebelum antum menjawab pertanyaan saya) bahwa menolak wali faqih mutlak itu adalah hal besar yang sekalipun belum dapat dipastikan kemurtadannya, akan tetapai ia merupakan hal yang sudah sampai ke derajat yang berbahaya sekali. Ini yang saya pahami dari penjelasan antum baik di asal penjelasannya atau dalam diskusi-diskusinya. Karena itu, saya juga melihat antum menolak mengomentari teman kita yang berisial Z.H, karena ia telah salah kira kepada antum. Ana memahami seperti itu ustad. Tolong kalau salah diluruskan.

Yang menjadi pertanyaan saya, sudikah kiranya antum menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya tentang masalah ini, supaya saya sendiri tidak sekedar berhati-hati sesuai dengan pesan antum, melainkan lebih jelas melangkah. Syukran ustad dan semoga antum sehat selalu dan sudi menerangkan pada ana yang ingin mendapatkan kepastian ini. Hari Ini (inbox)

Sinar Agama: Salam, ahsantum. Pemahaman antum sudah benar mengenai tulisanku itu. Yakni maksud saya untuk menghati-hatikan tindakan teman-teman supaya tidak sampai ke arah dan arena terebut karena sudah sangat berbahaya.

Menolak wali faqih muthlaqah itu, bisa bermacam bentuk seperti:

1- Bisa karena mujtahid yang memiliki pandangan tidak wajibnya wali faqih muthlaqah/muthlaq.

2- Muqallid (taqlid) pada yang mujtahid poin 1 di atas itu.

3- Jaahil, tidak tahu hukumnya.

4- Tahu bahwa hukum itu dari Islam dan menolaknya.

Hukumnya:

1- Tidak murtad, tapi haram membuat perpecahan di kalangan muslimin. Yang saya pahami seperti menghalang-halangi orang lain untum mempercayainya, atau membuat perseteruan dengan pengikutnya, atau memusuhi wali faqihnya itu sendiri.

2- Sama dengan hukum poin 1 di atas.

3- Sama dengan hukum poin 1 di atas.

4- Untuk poin 4 ini, ada dua pandangan dari sama-sama wakil Rahbar hf. Bagian fatwa bahasa Parsi mengatakan murtad. Dengan alasan karena sudah tahu hukum Islam akan tetapi terang-terangan menolaknya. Itu sama dengan menolak Islam. Ini penjelasannya. Bagian fatwa bahasa Arab, hanya mencukupkan kepada dosa dan tidak memurtadkannya. Saya juga kebetulan punya nomor telpon ayatullah Khatami hf, imam Jum’at Tehran dan mengatakan sama dengan yang bagian fatwa Parsi itu bahwa kalau seseorang tahu bahwa wali faqih muthlaq itu dari Islam dan ia menolaknya dan ia tahu bahwa penolakannya itu menolak Islam atau Nabi saww, maka ia murtad.

Kesimpulan: Kalau kita mau melakukannya, maka bentengilah diri kita ini dengan hukum yang berat itu, yakni murtad. Tapi kalau melihat orang lain melakukannya, maka hati-hatinya tidak perlu memurtadkannya. Hal itu karena di samping berbagai kemungkinan di atas itu, juga barang kali penjelasan bagian bahasa arab itu yang benar. Dan kita juga tidak rugi tidak memurtadkannya. Tapi kalau mau hati-hati tentang kenajisannya, asal tidak disebar-sebar ke orang lain, maka hal itu bagus dan sama sekali tidak bertentangan dengan agama.

Saya sendiri, dengan bekal informasi yang terlalu cetek/dangkal ini, memang memahami fatwa itu seperti yang dipahami wakil fatwa bagian bahasa Parsi itu. Akan tetapi, karena urusan memurtadkan seseorang itu tidak mudah, maka lebih baiknya kita hati-hati kalau berhubungan dengan orang. Karena barangkali sebenarnya ia belum tahu bahwa hal itu ada dalam Islam. Tapi kalau jelas ia mengatakan tahu bahwa hal itu ada dalam Islam, dan menolaknya, maka sekalipun tidak memurtadkannya kepada khalayak yang karena demi kehati-hatian itu, akan tetapi saya pikir, wajib kita berhati-hati pada kenajisannya untuk diri kita pribadi dan ingat, hati-hatinya juga tidak mengheboh-hebohkannya atau bahkan tidak mengatakannya kepada orang lain.

Kalau saya menulis ini, karena harus menjelaskan hukumnya. Sedang yang dibicarakan di atas itu, adalah masalah penerapannya manakala kita bertemu dengan penolak wali faqih muthlaq seperti yang terpahami di buku sms itu.

Karena itu, kembali ke tulisan sebelum-sebelumnya bahwa cukup mengatakan “bisa terhukumi murtad”, yakni tidak pasti murtad, dan sangat dianjurkan untuk tidak melakukannya dan tidak pula menghukumi orang lain.

Semoga suatu saat saya bisa menanyakannya langsung kepada Rahbar hf sendiri. Kalau antum masih penasaran dan tidak cukup dengan semua penjelasan di atas itu. Wassalam.

Sinar Agama: Syukur padaMu ya Rab, ada saja orang yang meringankan beban ini karena kejelian dan kecerdasan pahamannya, semoga Engkau sudi membantuku dan semua teman, untuk jeli, teliti dan cerdas dalam memahami apa-apapun hal sebelum Engkau ambil amanatMu ini, amin.

Abdurrahman Shahab: Maaf ustadz SA, point no 4 dan no satu memiliki ambiguitas yang sangat parah, seolah olah antum ingin mengatakan bahwa para mujtahid yang berada di point satu itu bukan islam...Mohon point no.4 antum koreksi kalimatnya agar antum tidak membuat perpecahan di kalangan kaum muslimin !!! Afuan sebelumnya...

Sinar Agama: Fahmi, opo gletek iku?

Bima Wisambudi: Apanya yang ambigu?

Abdurrahman Shahab: Semoga Ustadz SA diberi Allah ketulusan hati nya untuk dapat menjauhkan dari “kesombongan kaum berilmu” sehingga ia tidak pernah mau menundukkan hatinya dari nasehat dan peringatan...Afuan...

Ali Heyder: Maaf ustadz, apakah ada pandangan dari marja yang menyatakan bahwa wilayatul faqih itu bagian dari ushuluddin ?

Aries Wahyu Hidayat: Pembahasannya berat untuk saya yang bodoh ini.... semoga semua mendapat petunjuk dari Allah...... shalawat....

Sinar Agama: A.Sh dan lain-lainnya: Semua yang ditulis di atas itu sudah diambil dari fatwa. Misalnya

poin 1, Rahbar hf mengatakan:

نمز يف - اديلقت وا اداهتجا - ةقلطملا هيقفلا ةيلاوب داقتعلاا مدع)دئاقلا ديسلل لئاسملا ريرحـ( 14 :ةلأسم
ناهربلاو للادتسلاا هلصوا نمو زملاسلاا نع جورخلاو دادترلاا بجوي لا )هجرف للها لجع( ةجحلا ماملاا ةبيغ
نيملسملا نيب فلاخلاو ةقرفتلا ثب عل زوجي لا نكلو روذعم وهف اهب داقنعلاا مدع يلا

“Yang tidak meyakini wali faqih muthlaqah secara ijtihad atau taqlid, di masa ghaibahnya imam Mahdi (ajf) tidak membuatnya murtad dan keluar dari Islam. Siapa yang mendapatkan dalil dan argumentasi hingga penyimpulan tidak mesti meyakininya, maka ia ma’dzur (dimaafkan). Akan tetapi tidak boleh baginya untuk membuat perpecahan dan perbedaan di kalangan muslimin.”

Dan untuk nomor 4 itu kurasa sudah sangat terang benderang.

Sang Pencinta: Abdurrahman, hal itu sudah jelas, sepertinya antum sedikit emosi saat membacanya.
Mujtahid yang menolak WF mutlak sesuai ijtihadiiyahnya tidak menyebabkan murtad, coba lihat fatwa Rahbar berikut:

SOAL 59: Apakah orang yang tidak meyakini wewenang mutlak wali fakih dianggap muslim sejati? 

JAWAB: Tidak meyakini wewenang mutlak wali fakih pada masa kegaiban Imamul Hujah (semoga jiwa-jiwa kita menjadi tebusannya), baik berdasarkan ijtihad atau taqlid tidak menyebabkan kemurtadan atau keluar dari Islam.

Sinar Agama: Ali, bukan bagian dari ushuluddin, tapi cabang dari ushuluddin. Rahbar hf sendiri berfatwa:

عمتجملا ةدايق نع ةرابع يهو نيدلاب فراعلا لداعلا هيقفلا ةموكح ينعت هيقفلا ةيلاو)لئاسملا ريرحت( 14 :ةلأسم
روذج اهلو يرشع ينثلاا بهذملا ناكرا نم نامزو رصع لك يف ةيملاسلاا ةملال ةيعامتجلاا لئاسملا ةراداو
.ةماملاا لصا يف

Masalah ke 41 (bagian pertama dan yang di nukilan kolom sebelum ini adalah bagian ke duanya): “Wali faqih adalah kekuasaan seorang faqih (mujtahid) yang adil (tidak melakukan dosa) dan mengerti betul agama. Wali faqih adalah kepemimpinan sosial dan pengaturan masalah-masalah kesosialan terhadap kaum muslimin di setiap waktu dan jaman, dan DARI RUKUN MADZHAB SYI’AH DUA BELAS IMAM, DAN JUGA MEMILIKI AKAR DI USHULUDDIN-IMAMAH.”

Ali Heyder: Apakah sama posisi Rahbar sebagai wali faqih dan sebagai marja? Wilayatul Faqih adalah urusan tata negara, berbeda dengan marja. Misalnya seorang Iran yang bertaqlid bukan pada Rahbar tetap terikat pada keputusan konstitusionil Wali Faqih. Vis a vis, seorang yang bertaqlid pada rahbar namun bukan warga Iran, berarti tidak ada keterikatan kenegaraan. Dari sini ada dikotomi fungsi antara marja dan wali faqih, mohon pencerahan.

Bima Wisambudi: Afwan, ustadz, bagaimana dengan sebelum adanya revolusi Iran? Apakah sudah ada WF? Afwan, saya pernah baca catatan ustadz mengenai hal ini namun lupa belum ketemu.

Sinar Agama: Bima, itu antum lupa mulu sih he he.... Wali faqih itu tidak beda dengan imam Makshum as itu sendiri. Mereka memiliki wilayah itu baik diakui orang atau tidak. Jadi, wali faqih itu selalu ada dan mengatur umat, tapi sebatas penerimaan umat itu sendiri. Di dunia, tidak ada paksaan seprti yang sudah sering dijelaskan. Karena itulah, saya katakan terlalu naif kalau ada orang membuat wali faqih ini momok untuk Indonesia. Sebab Nabi saww sendiri hidup dalam berbagai keadaan, berkuasa dan tidak berkuasa, Umat Nabi saww juga demikian, ada yang dalam kekuasaan Islam dan ada yang dalam kekuasaan lain. Pada jaman imam Makshum as, apalagi.  Karena itu, jangan lupa mulu he he...

Sinar Agama: Ali, sepertinya antum harus baca lagi jawaban-jawabanku. Wali faqih itu dalam segala kondisi, tidak hanya negara. Lihat definisi yang diberikan Rahbar hf di atas itu. Antum simpan dulu ajaran orang, dan tatap ajaran Rahbar hf, nanti ketemu benang merahnya. Wali faqih itu seperti imam Makshum as, selalu ada dan wajib ditaati walau tidak ada negara Islam.

Ahmad Haidar:



ALito Alfian Mehmud: Abdurrahman Shahab, afwan silahkan antum pahami dulu kedudukan mujtahid dalam Syi’ah. Saya yakin jika antum pahami hal ini antum tidak akan berkomentar “....memiliki ambiguitas yang sangat parah.....” dan seterusnya. Apalagi sampai antum mengatakannya agar tidak membuat perpecahan di kalangan muslimin. Bagi saya pribadi apa yang disampaikan oleh beliau sangat jelas & tidak ada ambiguitas sama sekali. Apakah antum tidak mengetahui bahwa seorang yang telah sampai pada tingkatan mujtahid maka ia sudah harus mengambil keputusan sendiri berkenaan dengan hukum-hukum agama. Apabila dalam ijtihadnya yang benar-benar didasari qurbatan ilallah mereka benar maka dapat dua pahala & apabila salah dapat satu pahala. Olehnya itu bagi mereka sudah tidak dikenai lagi hukum dosa dalam apa-apa yang mereka ijtihadkan. Sedangkan pada poin 4 jelas-jelas berbeda di atas tertulis jelas coba antum perhatikan kalimatnya “,Tahu bahwa itu dari Islam dan menolaknya”. Ia mengetahuinya secara sangat yakin bahwa wilayatul faqih adalah wajib akan tetapi ia menolaknya/mengingkarinya. Maka bagaimana mungkin antum ini menilai hal ini ambigu.

Deddy Prihambudi: Salam. Teruslah diskusi. Jangan terputus. Terlepas apakah substansi diskusi ini kita terima atau kita tolak, namun KEBEBASAN untuk menyampaikan ide dan gagasan harus tetap dihormati, dan dijaga.

Sinar Agama: @Alito dan teman-teman lainnya, semoga antum semua dan saya yang terlalu hina ini, selalu dalam peluk hangat perlindungan Allah dan syafaat Nabi saww serta Makshumin as amin.

Bima Wisambudi: Afwan ustadz, bagaimana jika ada yang menerima WF namun menolak rahbar?

Sinar Agama: Ada teman seorang sayyid di inbox yang mengatakan “Ustadz, katakan yang haq itu haq dan yang batil itu batil, jangan menyembunyikan kebenaran.”

Dalam kondisi sesak dada seperti belakangan ini, karena tidak suka membahas buku sms itu akan tetapi karena terpaksa, maka sokongan sayyid luar Jawa itu, telah membuatku semakin merasa nyaman dan tenang. Rupanya hati-hati suci dan bersih yang tanpa kepentingan apapun, masih terlalu banyak di bumi pertiwi kita ini, syukur padaMu ya Rab.

Apapun itu, teman-teman tidak boleh keluar dari akhlak karimah walau panas dada sekalipun melihat Tuhan, Nabi saww, para imam as dan ulama dilecehkan. Kita memilih cara ilmiahnya saja yang indah tapi tefas seperti bunga merah.

Ali Heyder: Maaf ustadz, ana sudah baca, justru karena keterbatasan pemahaman ana minta penjelasannya. Ada definisi baru yang antum kemukakan dan baru buat ana, khususnya mengenai posisi wali faqih yang tidak terikat ada negara. Apakah mungkin terdapat beberapa wali faqih baik berbeda negara maupun di negara yang sama? Dan mengenai maulay Rahbar, ketika beliau naik menduduki jabatan wali faqih apakah benar beliau belum memproklamirkan marjaiyahnya? Hal tersebut menarik perhatian karena justru inilah yang membuat ana tiba pada kesimpulan bahwa wali faqih dan marjaiyah itu berbeda. Mohon pencerahannya ustadz.

Sinar Agama: @Bima, ana rasa bahasannya bercabang. Misalnya dia menolak Rahbar hf itu dengan alasan apa. Misalnya, apakah dia meyakini wali faqih yang lain? Misalnya apakah wali faqih yang lainnya itu mengaku wali faqih? ... dan seterusnya.

ALito Alfian Mehmud: Amien, terimakasih Pak Ustadz Sinar Agama....Btw, saya sangat berharap semoga suatu saat saya bisa bersahabat dengan antum di Fb ini. Apabila ada lowongan persahabatan sudilah antum memasukkan saya yang hina ini sebagai sahabat antum. Afwan....

Sinar Agama: Deddy, kita akan terus sesuai dengan fatwa marja’ in syaa Allah. Menjelaskan masalah merupakan tugas yang tahu. Setelah itu, maka terimalah dengan jelas, atau tolaklah dengan jelas. Bagi kami urusan di dunia ini hanya menjelaskan saja. Siapa yang mau tolak atau terima, maka hal itu sudah menjadi urusan masing-masing.

Bima Wisambudi: Semoga ustadz tidak keberatan menjelaskan di tengah kesibukan ustadz, dan semoga dirahmatiNya. Bagaimana bisa wali faqih yang lainnya itu mengaku sebagai wali faqih, sementara sudah ada rahbar yang disepakati ulama-ulama a’lam sebagai yang paling a’lam (wf)?

Sinar Agama: @Ali, silahkan merujuk ke catatan-catatan sebelumnya. Ringkasnya, wali faqih itu fungsinya adalah memberikan pengaturan umum, bukan fatwa khusus seperti ibadah-ibadah. Jadi, bersifat sosial dan politik. Dan di bidang sosial politik ini, sekalipun marja’, wajib mengikutinya.

Sebelum negara Islampun wali faqih ini ada, seperti pengharaman rokok oleh ayatullah Syirazai ra. Walhasil, kurasa tengok-tengok catatan yang sudah ada, bagus kalau antum ada waktu dan mau.

Sinar Agama: @Alito, apa antum sudah menjadi pendaftar?

Sinar Agama: Sebenarnya perndaftar pertemanan sampai sekarang masih sekitar seribu (900 lebih). Mungkin kalau antum sudah mendaftar, bisa dipertimbangkan untuk dikonfirmasi.

Ali Heyder Toyeb: Ustad, syukran atas waktunya wal afu.

Sinar Agama: @Ali, ahlan bikum.

ALito Alfian Mehmud: Afwan ya sayyidi, saya sudah sejak awal-awal dulu mencoba untuk menambahkan antum sebagai teman di fb ini. Akan tetapi saya bingung selalu ada pemberitahuan seperti ini dari fb : anda belum dapat menambahkan Sinar Agama sebagai teman anda saat ini. Afwan ya sayyidi, jadi saya belum bisa menjadi pendaftar.

Deddy Prihambudi: Salah satu ‘buku pengantar’ saya untuk memahami WF adalah 2 buku Kang Jalal itu, yang kini telah menjadi buku ‘klasik’ di antara kita. Sangat jelas sebenarnya. Seingat saya , yang awam ini, dahulu, Imam Khumayni QS, jika tidak keliru, memberikan syarat “mujtahid mutlak” untuk seorang Wali Faqih. Namun, karena beratnya beban syarat ini, konon syarat ini diubah menjadi agak lebih rendah. Jika saya keliru, mohon dikoreksi.

Deddy Prihambudi: Dan seingat saya pula, Imam Al Khamene’i HF tatkala ‘terpilih’ menjadi Wali Faqih, (atau menjadi Rahbar ? (mohon koreksi) juga belum sampai pada derajat Mujtahid. Bahkan konon, Imam Ali Khamene’i HF adalah pribadi yang sangat enggan untuk segera menjadi mujtahid.

Deddy Prihambudi: Saran saya : jika tema diskusi ini sudah dianggap cukup, maka tugas Sang Pencinta untuk merapikan semua tulisan, dikompilasi dengan baik, dan dijadikan buku. Agar semua diskusi ini menjadi “milik publik”. Salam.

Bima Wisambudi: Jangan buru-buru pak Deddy, masih menunggu jawaban ustadz.

Deddy Prihambudi: Ha ha ha... setuju ! Beta selalu ‘ingatkan’ agar kita semua menjadi peramu ilmu dengan baik. Dalam contoh sederhana yang pernah saya sampaikan di waktu lalu, perdebatan sengit antara almarhum Cak Nur dengan tokoh Masyumi Mohammad Roem, berhasil menjadi buku dengan baik. Dan publik mampu membacanya. Artinya : jadikan tradisi debat dan diskusi menjadi tradisi tulis dengan baik. Salam.

Dadan Gochir: Deddy Prihambudi, setahu ana ustad SA sudah menjelaskan bahwa rahbar hf sudah mujtahid, bahkan sebelum terpilih jadi Wali faqih.. mungkin Sang Pencinta bisa nukilkan..

Deddy Prihambudi: Ya, matursuwun pada Tuan Gochir. Mungkin benar Ustadz Sinar Agama sudah menjelaskan. Saya mungkin tidak menyimak kala itu, karena sedang terjadi ‘ketegangan’ yang tidak perlu tatkala item ini dibahas sehingga, saya ikut malas membacanya. Tapi, tetap saja terimakasih. Tetaplah bersuara, jangan takut !

Fahmi Husein: Sinar, gak tau nang bangil antum? Gletek, agak susah diartikan ke bahasa Indonesia. Yang ana maksud, sebelumnya dianggap murtad gak taunya tidak, gletek ae.

Satria Pmlg: Matur suwun ustadz.

ALito Alfian Mehmud: Salam Deddy Prihambudi dan juga teman-teman yang lainnya, silahkan antum merujuk kesini : https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/rahbar-hf-imam-khumaini-qs-dan-shirazi-bersaudara/676398572410052

Dan juga kesini

https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/seluk-beluk-wilayatul-faqih/657291477654095
ALito Alfian Mehmud: Kesini :

https://www.facebook.com/sinar.agama/posts/138429356210985

Juga yang ini :

http://sinaragama.org/111-kesaksian-2-orang-adil-atas-ke-alam-an-rahbar-hf.html

Widodo Abu Zaki: Alhamudullah baru ngerti maksudnya.

Sinar Agama: Deddy, seperti yang telah diterangkan sekitar satu dua tahun lalu, dan juga yang dinukil Alito, Rhabar hf atau sayyid Ali Khamenei hf itu, sudah mujtahid muthlaq sejak 30 tahun sebelum diangkat menjadi Rahbar hf.

Wali faqih itu wajib mujtahid muthlaq. Yang dirubah itu bukan kemujtahidannya akan tetapi kemarja’annya. Artinya, yang dipilih itu tidak mesti dari marja’. Karena yang paling dipentingkan adalah wali faqih itu a’lam dari mujtahid lain termasuk marja’ dari sisi urusan-urusan sosial dan politik.

Sinar Agama: Fahmi, ahsantum tentang gleteknya.

Fahmi Husein: Sinar, sebelumnya ana tidak meneliti komentar-komentar, setelah ana baca dengan seksama, ada dua hal yang ingin ana tanggapi/tanyakan.1. Antum memuji ALito Alfian Mehmud dengan pernyataannya, mujtahid kalau salah dapat pahala satu kalau benar dapat dua. Ini bukannya di Sunny?? Emangnya di Syi’ah juga demikian?? 2. Tentang Sayyid yang antum juga puji karena sarannya (meneruskan katakan yang haq..). Apakah antum kira yang menolak kritikan antum pada buku sms itu karena ‘ras’-nya?? Bahwa ada kepentingan golongan?? Bukannya yang menolak kritikan antum pada buku tersebut banyak juga yang bukan Sayyid?? Dan afwan, satu orang yang berbicara juga di inbox kepada ana bahwa kalian (ustadz sa dan iip) tidak muhibbin (kurang dalam penghormatannya pada durriyah), ana balas dengan menanyakan daerah dia, setelah dia bilang dari daerah ini (afwan ana gak bisa sebutkan), ana tanggapi yang ana tahu dari daerahmu itu juga gak ada muhibbin. Perlu alfaqir perjelas, tiada Sayyid yang mengikuti ashobiyah jahiliyyah, hanya tuduhan nashibi saja. Dan perlu alfaqir ulang lagi, alfaqir menolak sikap/cara mengkritik, bukan kritikan terhadap buku tersebut. Dan itupun tidak merubah sikap penghormatan alfaqir kepada antum tentang keilmuan antum (merasa banyak hutang budi, semoga dibalasNya).

Chai Syahrie: .

Sinar Agama: @Fahmi:

1- Itu justru di Syi’ah, sebab di Sunni sudah tidak ada mujtahid.

2- He he,,,,terimakasih banget ya sayyid. Saya mengatakan seorang sayyid, karena hanya ingin menghormatinya saja. Bukan mau menjadikannya sebagai alat untuk berkelahi dengan sayyid lain, na’udzubillah. Atau bukan saya ingin mengatakan bahwa beberapa sayyid yang diskusi beberapa hari ini membantahku karena kesayyidan mereka.

Antum peka banget dan saya pikir itu baik karena antum merasa harus menjadi insan kamil dan menemani, mengayomi dan mengasihi selain sayyid. Dan saya juga tidak perlu mengatakan siapa saya sebenarnya, dalam masalah ini. Btw, terimakasih perhatiannya.
Terimakasih banget pula telah mendoakan, semoga diterimaNya untuk kita semua, amin.

3- Kalau saya dalam puisi kemarin mengatakan di sini Indonesia dan bukan Yaman, sebab menurut sejarah, para Syi’ah yang saadaat yang hijrah ke Yaman, melalukan taqiah habis-habisan hingga keturunannya sendiri, tidak tahu tentang kesyi’ahan aba mereka. Hal itu demi supaya tidak terbunuh.

Nah, di Indonesia yang tidak ada bunuh membunuhnya. Karena itu, saya meminta dalam puisi itu, untuk tidak meYamankan Indonesia dan meminta untuk menghormati budaya kami di sini yang tidak suka kepada pertikaian dan bunuh membunuh seperti arab-arab barbar kala itu di Yaman.

Fahmi Husein: Ke masalah nomer satu dulu, betul-betul ana baru tau neh (tentang mujtahid yang salah dapat pahala satu, dan benar pahala dua, karena itu yang kami kritiki selama ini), di Sunny sudah tidak ada mujtahid? Mujtahid versi Syi’ah kali?? Anggap benar (udah gak ada mujtahid), berarti dulu juga dapat pahala satu kalau salah? AUU itu? Ajib. Mohon lebih dijelaskan lagi (detail lagi) 3. Perlu antum ketahui (kalau belum tahu), yang hijrah ke Yaman (hadramaut) tetap Syi’ah, hingga Al-Faqih al-muqaddam yang bermula ‘pindah madzab’ yang emang para nashibi sangat menentang mereka pada jaman beliau. Betul antum taqiyah habis-habisan hingga keturunan mereka sendiri tidak tahu tentang kesyiahan kakek mereka. Masalah nashibi ini dimana-mana, Indonesia juga demikian, juga Syi’ahnya. Kalau aman jelas Imam Mahdi afs muncul, hanya perlu 313 orang saja kan?!

Fahmi Husein: Tentang Ijtihad dalam Sunny (kebetulan majlas dengan staf Mufti Kerajaan Brunei), Dalam Sunny menggunakan hukum hakam, kalau ada sesuatu perkara (yang tidak jelas hukum hakamnya) yang pertama merujuk pada Alqur’an, kalau tidak menemukan jawabannya maka merujuk kepada hadits, bila masih belum juga menemukannya maka merujuk pada Qiyas (contoh, al-homru muskirun, kullu muskiriin haram, fal homru haram. Disini tentang semua yang memabukkam itu haram. Tentang narkoba misalnya yang tidak ada dalam al-qur’an dan hadits), lalu bila tidak menemukan di qiyas baru ke ijmak (kesepakatan), setelah tidak ada di ijmak baru ijtihad. Contohnya merokok. Fatwa mufti brunei rokok haram. Kalau benar dapat pahala dua, kalau salah dapat pahala satu.

Sinar Agama: Fahmi, saya tidak merasa perlu menambahkan penjelasannya. Saya kalau menulis lagi, sama dengan yang tulisan sebelumnya itu.

Ida Faridah: Heuheu rafidhah...Allah Yahfadz...semoga Allah menjaga iman umat Islam agar tidak terperosok ke dalam kehinaan..aamiin Ya Rabb...

Ida Faridah: Imam jafar ash shadik..»jangan banyak bicara dengan kaum Syi’ah terutama rafidhah kerna di setiap perkataannya penuh dusta....

Fahmi Husein: Sinar, cukup dapatnya diberikan dalilnya (Al-Qur’an atau Hadits) bahwa Ijtihad mujtahid (dalam Syi’ah) kalau salah dapat pahala satu kalau benar dapat pahala dua. Karena sepertinya kontradiksi dengan status antum di atas, Mujtahid menolak WF, (salah, dapet pahala satu dong) ??

Fahmi Husein: Dalil al Quran tentang Mujtahid sebagai Pemimpin/Pembesar yang diikuti, kalau salah disiksa 2x lipat:

﴾ Al Ahzab:67 ﴾ Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).

﴾ Al Ahzab:68 ﴾Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.

Nagie Alcatraz: Hmmm

ALito Alfian Mehmud: Fahmi Husein, afwan ya sayyid. Antum Sunni atau Syi’ah. Jika antum Sunni maka saya maklum dengan permintaan antum kepada Ustadz Sinar Agama mengenai dalil dari hal ihwal pahala seorang mujtahid. Namun jika antum Syi’ah maka sebagaimana yang sudah sering disampaikan oleh Pak Ustadz bahwa seorang tasyayyu tidak boleh asal minta dalil. Karena kalaulah diterangkan juga, maka kita tidak akan mengerti. Karena penjelasannya akan memakai semua alat dan perangkat ijtihad itu sendiri. Seperti ilmu-ilmu, bahasa Arab, Logika, Ushul fikih, Kaidah fikih, Hadits, Rijal, Tafsir.....dan seterusnya yang diringkas dalam 4 perkara, Qur’an, Hadits, Akal dan Ijma’. Nah apakah kapasitas kita (antum & saya juga yang lainnya yang belum mujtahid) sudah sampai atau menguasai semua perangkat itu....

Fahmi Husein: ALito, afwan, mungkin itu Syi’ah versi anda. Syi’ah versi saya mesti berdalil, dan apa-apa yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits jelas batil. Andaikan Fatimah mencuri niscaya aku potong tangannya. Syd Fatimah aja gak kebal hukum, apalagi ulama. Hanya karena ulama yang bilang gitu, ra’sye. Jadi keraknya neraka ulama yang ngaku-ngaku salah dapat pahala itu!!

Nagie Alcatraz: Kalau merasa Syi’ah ya harusnya malah kritis..bisa dicerna dengan logika akal sehat..Syi’ah kalau ga boleh minta dalil ga beda jauh dengan wahabi..ajarannya hanya penuh dengan doktrin,pokoknya kalau ustadnya sudah ngomong ya harus di iyakan, ga boleh banyak nanya...ckckck

ALito Alfian Mehmud: Fahmi Husein, ya sayyid nampaknya antum belum begitu memahami dengan apa yang saya nukilkan dari yang sering disampaikan oleh Ustadz Sinar Agama. Justru tidak dilarang meminta dalil asal sudah memenuhi atau menguasai perangkat-perangkat ijtihad tersebut di atas. Btw, saya tidak akan mengulanginya lagi karena kalau mengulanginya akan menulis sama seperti yang di atas & saya cukupkan hanya sampai disini. Syukron wa afwan ya sayyid.

Muhammad Zakariya: Kata siapa ga boleh minta dalil, yang disampaikan oleh marji’ itu bahasa yang sederhana yang dapat dicerna oleh pengikutnya.

Muhammad Zakariya: Kemudian nash dan dalilnya saya ingin tahu terkait wajib mengikuti WF. Kemudian kalau ga ikut maka murtad.

Muhammad Zakariya: Syarat seorang mujtahid itu apa sich? Kenapa kok bisa dikatakan dia mengeluarkan fatwa yang salah.

Muhammad Zakariya: Fatwa yang SA sampaikan ini mana teks aslinya kemudian dalil dan nashnya apa.

https://www.facebook.com/sinar.agama/posts/758563474197567



Artikel sebelumnya:
====================



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 02 Desember 2019

Republik Islam Iran

Republik Islam Iran menurut Buku SMS

https://m.facebook.com/notes/abil-ghifari/republik-islam-iran-menurut-buku-sms/748826935200716/?refid=21


Anggelia Sulqani Zahra: Salam ustadz Sinar Agama, mau tanya tentang Republik Islam Iran yang termuat dalam buku Syi’ah Menurut Syi’ah pada halaman 342 – 343:

“hal penting yang kerap tidak diperhatikan ialah bahwa Republik Islam Iran tidak berarti islam telah menjadi sistem negara di Iran. Disebut Republik islam Iran, yang lebih tepat diartikan Republik Islami di Iran ( jomhouriye islami-te Iran atau Al-jumhuriyyah Al-Islamiyah Al-Iraniyyah), karena bersifat islam. “islam” objektif bukan substantif. Artinya, dalam republik (negara yang kedaulatannya dibangun dengan kontrak sosial melalui referendum) itu, islam merupakan sifat yang diprediksikan atas “Republik” sebagai subtansi, bukan islam menjadi substansi dan Republik menjadi predikat. Dengan kata lain, undang-undang negara Iran disarikan (melalui penafsiran) dari teks suci Alquran dan sunnah...

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya, yang kalau sudah sampai masalah SMS ini, jantung berdebaran mata ingin menangis dada bergemuruh karena takut salah langkah. Akan tetapi, karena saya sudah sering menjelaskan bahwa bahasan kita di fb ini, hanya dan hanya masalah keilmuan dan tidak bernuansakan politik dan saya juga tidak menghalalkannya seperti itu, terutama perpecahan umat, maka saya beranikan terus menulis setegas mungkin tanpa taqiah sedikitpun.

Hal ini perlu, karena kita baru Syi’ah yang mana kalau tidak didudukperkarakan secara benar dalam keilmuan, maka akan mengekarkan pohon yang tidak diharapkan dari tunas-tunas seperti

kita ini di masa sekarang dan terutama masa mendatang, dan juga membuat selain Syi’ah bukan hanya salah memahami Syi’ah, akan tetapi bahkan akan terombang ambing.

Karena itulah, maka ajaran harus jelas dan gamblang, sementara persatuan umat dan keutuhan bernegara, mengikuti perintah dan fatwa para ulama dan marja’ yang tidak asing dalam sepanjang sejarah mereka sampai sekarang di seantero dunia ini dimana mereka selalu mengajarkan santun pada sesama muslimin dan bahkan sesama manusia (kafirin), seperti perintah imam Ali as kepada

Malik Astar ra ketika mengutusnya untuk menjadi wakil beliau as di Mesir. Karena itu, maka jawabanku terhadap pertanyaan antum adalah:

1- Untuk mengomentari masalah yang dinukilkan di atas itu, perlu memperhatikan beberapa hal.
Tapi saya tidak akan membahas terlalu rinci, sebab di samping sebagiannya sudah dibahas di diskusi sebelumnya, juga adanya berbagai hal. Semoga saja tidak terlalu mengecewakan.

2- Sepintas, tulisan di atas, berakar pada beberapa peristilahan yang perlu diketahui bersama hanya sebagai penegasan dengan merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indoneisa –KBBI- dan Kamus Ilmiah Populer Kontemporer –KIPK-, seperti:

  • a- Ajektif. Antum menulisnya Objektif. Yang benar di bukunya yang saya juga punya, adalah Ajektif. Ajektif artinya adalah kata sifat; selalu disertai dengan sifat.
  • b- Substantif. Artinya adalah indipenden; berdiri sendiri; merdeka; hakiki; sesungguhnya.
  • c- Predikasi. Artinya adalah pendapat; pernyataan; ceramah tentang pelajaran (KPK).
  • d- Predikat. Artinya, gelar; sebutan; julukan; sifat; bagian kalimat yang menandai apa yang dikatakan oleh pebicara tantang subyek; sebutan; kehormatan; ..dan seterusnya.
  • e- Republik. Artinya bentuk negara yang pada umumnya dipimpin oleh presiden. Atau bentuk pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang presiden.
  • f- Jumhuuriy (bahasa Parsi).

هديزگرب دودحم یارب روشک مدرم یوس زا نآ سيير هم یتموکح زا یعون :یروهمج :نيعم همان تغل -
یروهمج ،یسارکومد یروهمج ،یتسيلايسوس یروهمج ،یملاسا یروهمج :دراد فلتخم عاونا نآو دوش
هريغ و لاردف


Kamus Mu’iin: Jumhuuriy adalah bentuk pemerintahan yang pemimpinnya dipilih oleh rakyat untuk memimpin dalam waktu tertentu. Ia memiliki beberapa bentuk: Jumhuuriy Islaami; jumhuuriy Sosialis; jumhuuriy Demokrasi; jumhuuriy Federal.


ناونعب ینيعم تدم یارب مدرم فرط زا نت کي هاشداپ یاج هب هک یتموکحو ماظن -1 :ديمع همان تغل -
یروهمج :تسا مکاح نآ رد ماظن نيا هک یروشک }زاجم{ )مسا( 2 .دوش یم باختنا روهمج سيير
.ناريا یملاسا

Kamus ‘Amiid: 1- Sistem dan pemerintahan yang sebagai gantinya kerajaan, satu orang yang dipilih rakyat, untuk memimpin dalam batas waktu tertentu, dipilih sebagai presiden. 2- (nama) [majazi/tidak-hakiki] Sebuah negara yang sistem pemerintahan ini (makna no.1 di atas, yakni yang dari rakyat) berkuasa: Jumhuuriye Islaamiye Iran (Republik Islam Iran).

3- Untuk memahami makna kalimat di atas (yang dipertanyakan itu), perhatikan potongan-potongan berikut ini:

  • a- “Hal penting yang kerap tidak diperhatikan ialah bahwa Republik Islam Iran tidak berarti islam telah menjadi sistem negara di Iran.”
  • b- “ Disebut Republik islam Iran, yang lebih tepat diartikan Republik Islami di iran...karena bersifat islam”
  • c- “”Islam” ajektif bukan substantif.”
  • d- “Artinya, dalam republik .... itu, islam merupakan sifat yang diprediksikan atas “Republik” sebagai subtansi, bukan islam menjadi substansi dan Republik menjadi predikat.
  • e- “Dengan kata lain, undang-undang negara iran disarikan (melalui penafsiran) dari teks suci Alquran dan sunnah.”

4- Perkiraan makna dan maksud kalimat:

  • a- Mengingkari kesistemIslaman republik Islam di Iran. Hal itu, dapat diperhatikan melalui perakitan poin a yang jelas-jelas mengingkarinya. Dan poin d yang menerangkan bahwa Islam di Iran hanya “dipredikasikan”, artinya hanya dinyatakan dan dipendapatkan. Kasarnya, keIslamanrepublik di Iran, hanya sebagai dakwaan, pengakuan, pendapat (orang Iran) serta perkiraan dan penafsiran sesuai dengan poin e.
  • b- Mengingkari kehakikian Islam, dalam sistem yang dipakai oleh pemerintahan Iran pasca revolusi, dimana sangat tampak di poin c. Yaitu keajektifan Islam pada republik, bukan sebaliknya.

5- Perkiraan sasaran kalimat:

Melihat dari berbagai sisi di atas, maka sangat dimungkinkan bahwa kalimat itu memiliki sasaran seperti berikut:

  • a- Negara Islam di Iran itu, bukan hakiki. Karena itu, jangan dianggap sebagai suatu yang benar secara mutlak.
  • b- Apapun itu, mau hakiki kek atau tidak kek, kita orang Indonesia tidak harus mengikutinya. Karena ia adalah sebuah keIslaman yang dipredikasikan alias dipendapatkan alias dinyatakan orang Iran terhadap sistem pemerintahannya. Sementara ia adalah bukan sistem Islam yang substantif.
  • c- Meneruskan poin b, yang juga bisa menjadi sasaran penulis adalah, bahwa kalaulah substansifpun, maka itu urusan Iran dan bukan urusan kita bangsa Indonesia.
Terutama kalau dihubungkan dengan dua paragraf setelahnya yang memulai penulisannya dengan:

“Iran yang relatif homogen (terdiri dari jenis yang sama, SA) berbeda dengan Indonesia yang heterogen (terdiri dari jenis yang berbeda, SA). Karena itu, pengalaman negara Islam di Iran, tidak serta merta bisa diterapkan di Indonesia.......”

Yang kemudian dilanjutkan di paragraf ke tiga setelahnya, yaitu:

“Sebagai warga negara Indonesia ketaatan kepada wali faqih (bukan Rahbar) – yang saat ini sebagian besar percaya dipegang Ali Khamenei – adalah sebatas ketaatan dalam hal fikih atau ibadah, bukan ketaatan politis tentunya.”

6- Komentar terhadap penafsiran-penafsiran di atas:

  • a- Dalam bedah buku SMS itu, dimana lebih tepat dinamai SMTPABI (Syi’ah Menurut Tim Penulis Ahlulbiat Indonesia) yang dilakukan di UIN Jakarta, dikatakan bahwa orang-orang yang tidak tahu Syi’ah, diminta diam. Saya tahu maksud utamanya adalah wahabi-wahabi atau yang bukan Syi’ah walau, mungkin juga selain golongannya. Akan tetapi, menurut saya, obyek tergamblang dari pernyataan itu, adalah tim penulis sendiri. Karena di samping tidak tahu Syi’ah, telah menyombongkan diri dengan mengatasnamakan Syi’ah dan telah sangat tidak mengormati ulama Syi’ah di dalam sepanjang sejarahnya hanya karena mereka mengajarkan bahwa imamah Makshum itu meliputi vertikal dan horisontal, dengan diperintah-perintah dan diejek dengan gontok-gontokan, seperti yang ditulis di hal. 357:

“Selanjutnya para pemikir kedua kelompok (ulama Syi’ah dan Sunni, SA) ini harus mengubah energi gontok-gontokan menjadi energi saling mendukung dan membahu mencerdaskan akar rumput dan awamnya serta membuang semua isu elementer yang menjadi biang kebencian mutual (imbal-balik, SA).”

Perhatikan kalimat yang sangat tidak sopan di atas itu. Para ulama dan bahkan para imam Makshum as yang selalu dipenjara dan dibunuh sampai sesadis di Karbala karena mengajarkan kemencakupan imamah untuk hal-hal vertikal dan horisontal itu, disalah- salahkan dan diperintah-perintahkan serta diolok sebagai penggontok-gontokan dan, sudah tentu juga sebagai tidak mencerdaskan akar rumput. Na’uzhubillah. Semoga Tuhan menghidayahi mereka kalau masih mau menerimanya, dan mengembalikan semua ini kepada mereka sendiri, kalau tidak mau menerima hidayahNya, amin.

Emangnya para ulama kedua belah pihak, di samping tetap bersikokoh dengan pendapatnya masing-masing, selalu gontok-gontokan dan tidak bersatu dan saling toleran? Emangnya kalau kita lihat di ilmu hadits, para masyaayiikhulhadiits (guru besar, sumber perawi dan penghafal ribuan hadits) tidak saling menghormati yang sama-sama tsiqah di antara mereka.

Emangnya di dalam berabad tahun ini, para ulama dari kedua belah pihak itu saling perang?

Emangnya murid imam Ja’far as dan murid-murid pada imam Makshum as yang lain itu semuanya adalah orang Syi’ah???!!! Bukankah yang saling perang itu secara globalnya hanya wahabi yang kebiasaannya main kafir dan paksa atau para raja-raja Bani Umayyah dan Bani Abbas yang berkepentingan politis dan kekuasaan? Emangnya persahabatan para ulama itu tidak terjalin dari seribu tahun lebih itu sampai detik hari ini??? Emangnya di Iran itu ulama dan umat golongan Syi’ah dan Sunni saling berperang, begitu pula di Iraq, Pakistan, Hindia, Libanon, Mesir, Libia, Suriah, Turki, .................dan semua negara? Bukankah yang ribut memerangi itu hanya wahabi dan, segelintir ulama dan umat madzhab-madzhab yang tidak pernah merusak keutuhan mayoritas ulama dan umat masing-masing dalam seribu tahunan lebih ini???!!!

DIMANA ADA AJAKAN DAN DENGUNGAN PERSATUAN DENGAN MENGORBANKAN AJARAN MASING-MASING DALAM SEPANJANG SEJARAH MANUSIA DAN ISLAM KECUALI OLEH ORANG-ORANG TIDAK TAHU TAPI MERASA TAHU SERAYA MENYERU KEPADA KETIDAKTAHUANNYA ITU DAN MEREKAPUN TIDAK MENYERU KEPADA APA DAN DARI MANA??!! BUKANKAH LEBIH BAIK PARA PENGAJAK INI BELAJAR BAIK-BAIK HINGGA JADI ALIM DAN BARU MENYERU KEPADA YANG DIWAJIBKAN TUHAN, BUKAN KEPADA YANG DIWAJIBKAN KETIDAKTAHUANNYA DAN KEPENTINGANNYA???!!!

  • b- Mengingkari keIslaman sistem pemerintahan di Iran, sama dengan mengingkari adanya matahari di siang bolong. Dan, sudah tentu bertentangan dengan semua marja’ dan wali faqih sendiri serta para Makshumin as.
  • c- Saya sudah sering menjelaskan sesuai dengan terlalu cetek dan relatif dari informasi yang saya dapatkan dari “belajar di hauzah” bahwa mengikuti dan menaqlidi marja’ itu adalah perintah Tuhan dalam Qur an, Nabi saww dalam Hadits dan perintah para imam Makshum as dalam Hadits-hadits mereka as. Itulah mengapa dalam pendapat semua ulama sepanjang sejarahnya, dengan mengambil dari Qur an dan hadits-hadits serta akal dan ijma’ itu, selalu menfatwakan bahwa AMALAN SEORANG HAMBA YANG TIDAK SAMPAI KE TINGKAT MUJTAHID DAN MUHTAATH, KALAU TIDAK BERTAQLID, MAKA AMALNYA BATAL. AMALAN dalam fatwa mereka itu, bukan hanya ibadah-ibadah seperti shalat, puasa dan semacamnya. AKAN TETAPI MENCAKUP SEMUA KEGIATAN HIDUP BERBUDAYA, BEREKONOMI, BERSOSIAL DAN BERPOLOTIK.
KARENA ITU, YANG BERAMAL APAPUN, APAKAH IBADAH KHUSUS SEPERTI SHALAT, ATAU IBADAH UMUM SEPERTI POLITIK, KALAU TIDAK BERTAQLID, MAKA SEMUA MENJADI BATAL.

Tentu masih ada kerinciannya (taqlid) di kitab fikih. Saya hanya menukilkan pokok-pokoknya saja karena tujuannya hanya ingin menerangkan bahwa dasar keabsyahan atau kebenaran dan penerimaan Tuhan, Nabi saww dan imam Makshum as, terhadap perbuatan manusia yang bukan mujtahid dan muhtaath, adalah taqlid kepada marja’ dan tidak bisa tanpa taqlid.

KARENA ITU, MENGINGKARI KEISLAMAN SISTEM NEGARA DI IRAN DAN MENGINGKARI KEWAJIBAN SEORANG MANUSIA UNTUK MENAATI WALI FAQIH (marja’, baik mutlak atau tidak, baik marja’ atau ulama seperti di golongan Akhbariah) DALAM SEGALA HAL SEPERTI POLITIK, BUKAN HANYA MENGINGKARI DHARURIAT AGAMA (yang mudah dipahami dan bagian mesti ciri agama Islam), AKAN TETAPI JUGA MENGINGKARI –SECARA KONSEKUENSI- KEWENANGAN PARA IMAM MAKSHUM as, NABI saww DAN WILAYAH TUHAN ITU SENDIRI.

  • d- Hubungan Islam dan Negara Islam. Islam sebagai ajaran yang meliputi akidah, ibadah, fikih, ekonomi, sosial, akhlak dan politik, sudah tentu lebih luas cakupannya dibanding dengan Negara Islam yang “boleh dikata secara global” hanya mengatur secara politisnya, baik politisnya politik, politisnya ekonomi, politisnya pertanian, politisnya pertahanan, politisnya kepemimpinan, politisnya budaya, politisnya pendidikan, politisnya kenelayanan, pertanian, pertamabangan.....dan seterusnya.
Dengan demikian, maka Islam dan Negara Islam atau Sistem Kenegaraan, hubungannya adalah “Lebih Umum dan Lebih Sempit”. Yakni lebih umum Islam dan lebih sempit pemahaman Negara Islam atau Sistem Negara Islam.

Kalau kita sudah mengerti hal ini, yakni melihatnya dari ilmu logika tentang pengertian dan hubungan keduanya, maka kita sekarang bertanya, apakah keduanya adalah substansi (substantif) atau keduanya aksident (ajektif) atau salah satunya aksident dan yang lainnya substansi?!!

Sebelum menjawab hal itu, perlu diberikan isyarat, apakah setiap subyek kalimat itu berupa substantif dan predikat itu ajektif, atau sebaliknya, atau bebas-bebas saja. Dengan melihat benarnya kalimat-kalimat berikut ini:

“Manusia itu binatang rasional” + “Husain itu adalah manusia” + “Manusia itu berpendidikan” + “Yang berpendidikan itu adalah manusia” + “Berpendidikan itu adalah baik” + “Kebodohan itu jelek” + ............ dan seterusnya =

Maka subyek dan predikat itu, yakni mubtada’ dan khabar itu, keduanya bebas-bebas saja, apakah sama-sama ajektif seperti dua kalimat terakhir, atau sama-sama substantif seperti dua kalimat pertama, atau campuran seperti kalimat ke tiga dan ke empat (dengan saling bergantian posisisi dimana kalimat yang ke tiga subyeknya yang subsntantif dan di kalimat yang ke empat, predikatnya).

Sekarang mari kita lihat maksud dari Jumhuuriye Islaamiye Iran atau Republik Islam Iran.

Penulis SMS (SMTPABI, baca: bukan semua anggota ABI) menuliskan bahwa Republik yang menjadi obyek dan dipredikati dengan Islam, dipahaminya bahwa Islam di sini, adalah ajektif dan Republiknya adalah subtantif.

Padahal bisa saja keduanya adalah substantif, yaitu kalau dilihat dari bahasa Indonesianya, Republik Islam. Dan bisa juga satu substantif dan lainnya adalah ajektif sebagaimana dikatakan tim penulis, yaitu manakala melihat ke bahasa Parsinya.

Keduanya tidak penting, karena tidak membawa kepada esensi masalah. Sebab inti masalahnya adalah apakah keIslaman sistem negara di Iran itu hakiki atau tidak.

Sebagaimana saya sudah pernah menulis sebelum ini, tim penulis sepertinya tidak fokus dalam beberapa atau banyak tulisannya. Alur tata arugmentasinya agak tidak teratur. Seperti yang sekarang ini. Karena tim penulis ingin membuktikan bahwa di Iran itu bukan bersistem negara Islam, lantara Islam di sini, adalah ajektif. Padahal, tidak ada hubungannya antara keajektifan Islam di sini atau kesubstantifannya.

Karena ketika menjadi ajektif dan sifat sekalipun bagi nizhaam atau sistem atau pemerintahan negara di Iran, maka tidak serta merta menjadikannya relatif dilihat dari sisi keIslamannya atau kepastian Islamnya.

Saya sudah sering menjelaskan bahwa kalau yang dimaksudkan relatif itu, selain makshum, maka tidak ada pemerintahan atau ilmu siapapun, yang tidak relatif dan tidak predikatif.

Artinya, walaupun belajar kepada Makshum atau sedang menjalankan pemerintahan Makshum, maka akan tetap bersifat predikasi atau penafsiran.

Kalau maksud penulis adalah mentidakhakikatkan Islam pada sistem negara di Iran lantaran Islam pada penyebutan negara Islam itu predikasi dan penafsiran, di hadapan Islam substantif yang makshum, maka jelas tidak hanya di Iran sekarang, akan tetapi di jaman Nabi saww dan para imam Makshum as serta pada pemerintahan imam Mahdi as sekalipun, yang memahami dan mengikuti Islam substantif.

Kehakikatan Islam itu, bukan hanya dilihat dari kemakshuman pemahamannya. Akan tetapi, bisa dilihat dari beberapa sisi sebagai berikut:

    • d-1- Dari sisi kewajiban memahaminya dan mengaplikasikannya sekalipun pada hal-hal yang bersifat relatif atau predikasi (pendapat, penafsiran). Saya sudah sering menerangkan bahwa belajar agama itu wajib kifayah untuk jadi panutan umatnya kalau sudah menjafi faqih (maksudnya bab taqlid dan umat tidak mesti umat tertentu dan faqihnya mesti a’lam sebagaimana dirincikan dalam hadits-hadits dan akal sehat serta gamblang), sebagaimana yang ada di QS: 9:122:

“...mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”


Nah, di sini, yang belajar dan ditaati, atau yang menaatinya, jelas merupakan nash Qur an yang gamblang dan muhkamaat. Tidak ada keraguan sedikitpun. Sementara dari satu sisi, Islam juga menerangkan bahwa yang makshum dalam ilmu dan amal itu (ilmunya tentang Islam lengkap dan benar seratus persen) hanya Nabi saww dan Ahlulbait as beliau saww.

Ini berarti, bahwa belajar sampai pada tingkatan faqih/mujtahid dan mengeluarkan pengajaran dan perintah serta fatwa, serta mengikuti mujtahid dan faqih, adalah hakikat Islam sekalipun mujtahidnya tidak makshum alias relatif dan predikasi serta penafsiran. Persis seperti kalau belajar ke Makshum as atau menerima perintah dalam pemerintahan Makshum as. Sebab bagaimanapun, yang namanya tidak makshum, ilmu dan kepahamannya untuk dijadikan pedoman taatnya dalam suatu pelajaran dan pemerintahan Makshum as, tetap bersifat tidak makshum dan tetap bersifat relatif dan penafsiran serta predikasi.

ITULAH MENGAPA SAYA KATAKAN BAHWA YANG MENGINGKARI KEHAKIKATAN ISLAM DI PEMERINTAHAN IRAN, YANG APALAGI DITAMBAHI DENGAN MENGINGKARI KEWAJIBAN TAAT PARA MARJA’ WALI FAQIH (baik mutlak atau tidak, baik marja’ atau ulama seperti di Akhbari) DALAM POLITIK LANTARAN BEDA NEGARA DAN SEMACAMNYA, ADALAH MENGINGKARI YANG SANGAT JELAS DAN MERUPAKAN CIRI YANG TIDAK BISA TIDAK, DARI AGAMA ISLAM. KALAULAH PENGINGKARNYA MUNGKIN TIDAK SAMPAI KE TINGKAT NAJIS, AKAN TETAPI, SUDAH SAMPAI KE TINGKAT SANGAT BERBAHAYA.

AKAN TETAPI KALAU TENTANG WALI FAQIH YANG MUTLAK, MAKA MENGINGKARI KETAATAN PADANYA, DARI SEORANG YANG BUKAN MUJTAHID YANG JUGA BUKAN KARENA TAQLID PADA MARJA’ YANG TIDAK MEWAJIBKAN TAQLID MUTLAK (dalam segala urusan seperti politik) KEPADA SEORANG WALI FAQIH, MAKA SANGAT BISA MASUK KE DALAM MURTAD DARI AGAMA DAN MENJADI NAJIS. PERHATIKAN FATWA BERIKUT INI:


اديلقت وا اداهتجا اهب داقتعلاا مدعف هيلعو ‘لقعلا هديؤي يدبعت يعرش مكح هيقفلا ةيلاو :71 ةلأسم

ملاسلاا نع جورخلاو دادترلاا بجوي لا


MASALAH KE 17 (dari kitab fatwa Rahbar hf, Muntakhabu al-Ahkaam):


“WALI FAQIH ITU (yang mutlak/muthlaq) ADALAH HUKUM SYARI’AT YANG BERSIFAT KETAATAN (kepada agama) YANG JUGA DIDUKUNG AKAL. KARENA ITU, BAGI YANG TIDAK MEYAKININYA SECARA IJTIHADI (bagi yang sampai ke ijtihad dan sudah menjadi mujtahid) ATAU TAQLID KEPADA MUJTAHID YANG TIDAK MEWAJIBKAN HAL ITU (taat mutlak dalam segala bidang kepada wali faqih), MAKA TIDAK MENYEBABKAN KEMURTADAN DAN KELUAR DARI AGAMA ISLAM.”

ITU TANDANYA, KALAU TIDAK MEWAJIBKAN TAAT PADA WALI FAQIH DAN DIA BUKAN MUJTAHID DAN TIDAK TAQLID PADA MUJTAHID YANG TIDAK MEWAJIBKAN TAAT MUTLAK KEPADA WALI FAQIH TERSEBUT, MAKA BISA DIANGGAP DAN DIHUKUMI, MURTAD DAN TELAH KELUAR DARI AGAMA ISLAM.

    • d-2- Dari sisi banyaknya hukum Islam yang bersifat nash yang muhkaamaat atau gamblang atau jelas. Dari sisi ini, maka sistem negara Iran yang telah dirumuskan oleh marja’ dan bahkan dibantu oleh para mujtahid-mujtahid yang lain, setidaknya di dalam masalah-masalah yang muhkam dan gamblang ini, seperti wajib mengikuti mujtahid adil, wajibnya qishaash (hukum rajam), cambuk bagi penzina, keadilan uang negara, dan ribuan hukum lainnya, adalah pasti merupakan hakikat Islam.
    • d-3- Kalau dalam yang tidak muhkaamaat sekalipun, tetap bisa dikatagorikan hakikat hukum Islam. Hal itu karena di samping dilihat dari kewajiban berusaha tahu sampai mencapai faqih dan kewajiban memimpin umat dan kewajiban taatnya umat seperti yang sudah dijelaskan di atas itu, juga dari sisi bahwa seringnya, para marja’ itu, mengambil jalan yang paling hati-hati yang mana maknanya adalah dapat diyakini sebagai kepastian benarnya. Misalnya, kalau tidak jelas apakah membaca dzikir dalam rukuk itu tiga atau cukup satu, maka dihati-hatikan tiga. Hal ini, jelas merupakan kepastian benarnya. Sebab satu itu dikandung dalam tiga. Sementara pentigaannya, tidak dikatakan wajib, sehingga kalau salah dikatakan bid’ah dan menambah hukum, melainkan dikatakan hati-hati atau ihtiyath. Begitu pula dalam hukum-hukum pemerintahan. Seperti tidak memerangi kafirin kecuali kalau diperangi mereka.
    • d-4- Saya tidak mau berkata bahwa sistem di Iran sudah sempurna seperti yang dipahami dan dibuat Makshum as. Akan tetapi saya hanya mau berkata bahwa sistem pemerintahan Islam di Iran itu, sekalipun ia berupa tafsiran dan predikasi serta relatif, akan tetapi ia adalah hakikat Islam yang wajib dihormati, dicintai, dibelai dan ditaati. Sebab, sekalipun kelak imam Mahdi as sudah keluarpun (semoga dipercepat keluarnya beliau as, amin), tetap saja pemahaman kita dari pengajaran beliau as dan perintah beliau as dalam pemerintahan dan sistemnya, adalah predikasi, relatif dan tafsiran. Karena itu, kehakikatan Islam itu, tidak melulu apa yang dipahami dan diamalkan secara makshum.
    • d-5- Jangan lupa, bahwa yang saya bicarakan di sistem pemerintahan Iran, adalah sistemnya, bukan pelaksanaanya. Sebab dalam pelaksanaannya, sebagaimana di jaman Nabi saww, imam Ali as, imam Hasan as, imam Husain as, dan kelak di jaman imam Mahdi as, bisa saja ada kekurangan, kesalahan atau bahkan pelanggaran. Hal seperti ini, akan selalu ada kecuali kelak di surga.
7- Penutup:

Sekali lagi, tulisan ini hanya dalam rangka menjawab pertanyaan dan merupakan tanggapan keilmuan saja. Tidak ada hubungannya dengan sisi lainnya, seperti politisnya. Tulisan saya ini, tidak mewakili siapa-siapa dan bisa saja telah terjadi kesalahan yang kalau nampak dengan jelas di kemudian hari, apakah kesalahan tulisan atau materinya, in syaa Allah akan dirubah.

Apalagi saya sering tidak memeriksanya lagi, karena di samping seringnya kelelahan, juga mengandalkan mas Daris yang selalu setia mengedit dan memeriksa tulisan-tulisanku dengan sabar.

Saya tidak rela, kalau tulisan saya yang ditujukan secara ilmiah ini, atau setidaknya ingin ilmiah ini, dipergunakan di jalan-jalan politis yang terutama kalau membuat perpecahan di tengah-tengah umat muslimin atau bangsa tercinta Indonesia. Wassalam.

Irsavone Sabit “WALI FAQIH ITU (yang mutlak/muthlaq) ADALAH HUKUM SYARI’AT YANG BERSIFAT KETAATAN (kepada agama) YANG JUGA DIDUKUNG AKAL. KARENA ITU, BAGI YANG TIDAK MEYAKININYA SECARA IJTIHADI (bagi yang sampai ke ijtihad dan sudah menjadi mujtahid) ATAU TAQLID KEPADA MUJTAHID YANG TIDAK MEWAJIBKAN HAL ITU (taat mutlak dalam segala bidang kepada wali faqih), MAKA TIDAK MENYEBABKAN KEMURTADAN DAN KELUAR DARI AGAMA ISLAM.”

ITU TANDANYA, KALAU TIDAK MEWAJIBKAN TAAT PADA WALI FAQIH DAN DIA BUKAN MUJTAHID DAN TIDAK TAQLID PADA MUJTAHID YANG TIDAK MEWAJIBKAN TAAT MUTLAK KEPADA WALI FAQIH TERSEBUT, MAKA BISA DIANGGAP DAN DIHUKUMI, MURTAD DAN TELAH KELUAR DARI AGAMA ISLAM.

......................................

Afwan Ustadz, saya belum paham betul antara paragraf pertama dan kedua diatas meskipun saya membacanya berulang-ulang takutnya saya salah memahaminya, apakah bisa diuraiakan dan dijelaskan lagi...kalau saya bisa memahami nya, paragraf pertama dan kedua diperuntukkan pada tingkatan orang yang berbeda, atau bagaimana?

Sinar Agama:

I.S, kalau antum baca atau ingat catatan-catatan sebelumnya, maka wali fakih itu setidaknya dibagi dua, mutlak (yang meliputi semua hal) dan tidak mutlak (seperti yang tidak memasukkan hal-hal politik dan semacamnya). Nah, wali faqih sebelum dua paragraf yang antum tanyakan itu, mencakup keduanya dan bahkan ditambah sosok keulamaan di Akhbariah yang tidak mayakini ijtihad dan hanya memakai sosok keulamaan.

Akan tetapi, di dua paragraf yang antum tanyakan itu, maka keduanya membaha wali faqih muthlaqah atau mutlak saja. Yang hukumnya, kalau tidak mengimaninya, sementara ia bukan mujtahid yang berpandangan lain (tidak wajib adanya dan menaati wali faqih yang umum seperti politik) tentang wali faqih mutlak ini, atau dia bukan mujtahid dan tidak taqlid pada mujtahid yang berpandangan lain tersebut, maka bisa terancam murtad dan kafir.

Sinar Agama: Jadi, paragraf pertama itu fatwanya, yang menuturkan tentang tidak murtadnya orang yang tidak mayakini wali faqih mutlak (bagi yang Syi’ah tentunya) kalau disebabkan karena ia sendiri mujtahid dan berpandangan tidak adanya wali faqih mutlak dan tidak wajibnya taat pada yang diangkat dan dianggap wali faqih mutlak, atau disebabkan ia taqid kepada mujtahid yang beda ini.

Nah, kalau ketidakmurtadan itu disyarati dengan ijtihad dan taqlid, maka konsekuensinya, bagi orang Syi’ah yang tidak meyakini wali faqih mutlak ini, sedang dia bukan mujtahid dan juga bukan karena menaqlidi mujtahid yang beda tersebut, maka ia murtad. Tapi saya, menghaluskan konsekuensi ini dengan mengatakan “bisa terancam murtad”.

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=860827723968198&set=a.427089434008698.120077.100001229357851&type=1




Artikel Lainnya:
=================

Hubungan Antara Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (5)

5. Hubungan Antara Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (5)

https://m.facebook.com/notes/abil-ghifari/hubungan-antara-tuhan-yang-mutlak-dan-suci-dengan-manusia-5/750247881725288/?refid=21


Surya Hamidi: Ga pake kayaknya, ini post yang sudah jelas arah dan tujuannya. Begitu juga post di wall kamu. Kalian memang suka menyulut perpecahan.

Hendy Laisa: Surya Hamidi, Bener-bener kasyaf, beliau tau sekali ya mata ana dah tertutup kebencian mendalam kepada tim pengarang buku tersebut.. but you make big mistakes brotha.. that’s wrong!!!

Surya Hamidi: Up to you lah mau ngomongin ana apa, yang jelas ana gak pernah musuhi antum.

Azmy Alatas: Hahahahaha... Ta pikir sughulnya emang bikin kritikan mas Abu Alief Al Kepri.

Surya Hamidi: Kalau kalian tidak benci, dan ingin bahu membahu dalam kemajuan Syi’ah di Indonesia ini, datangi kantor ABI atau datangi Rumah Ustadz Muhsin Labib. Kalau kalian tidak tau alamatnya, biar aku antar sampai ke depan pintu rumahnya.

Hendy Laisa: Azmy Alatas> Baiknya antum cari nukilan seperti yang di komen ustadz.

Surya Hamidi: Membedah buku tanpa pengarangnya padahal pengarangnya masih hidup, alamatnya jelas, organisasinya jelas, kantornya jelas... Intinya kalian hanya tim sorak yang sorakan kalian adalah bomb-bomb waktu yang suatu saat akan meledakkan rumah sendiri.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Bukunya jelas, tim nya jelas, penerbitnya jelas, kantornya jelas, organisasinya jelas, maksud dan tujuan penulisan jelas, sasarannya jelas, harapannya jelas. --->tanpa menunggu keterangan dan respon dari keseluruhan yang jelas tersebut muncul nukilan yang bersandarkan pada fatwa: Haram dan Sesat.

Padahal antara penyeru dan yang diseru sama-sama tak punya otoritas dalam keagamaan.

So, cobalah pakai metode akademik yang lazim dalam membangun kritik otokritik. Sama-sama di bidang akademik dan pengajaran, bukan? Sama-sama kelas terdidik, bukan? Buatlah ruang berbantah yang adil...

Hendy Laisa: wah kayaknya Surya Hamidi gak baca penjelasan ustadz soal kritik mengkritik karya ilmia.

Surya Hamidi: Siapa ustadz? Bagiku yang dinamakan ustadz itu yang mendidik, bukan yang menjerumuskan dan berlindung di akun bodong.

Hendy Laisa: Seperti antum gak pernah punya akun bodong aja.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Hihihi..ana tau maksud antum supaya membuktikan bahwa ana punya bukunya..lalu ana supaya nukilkan...karena antum lagi ga pegang buku, secara di yayasan itrah cuma ada 1 buat barengan semua umat kan...

Males banget menukil, wong saya peserta diskusi kok, ada fasilitator buat apa...ini kan lagi penyidangan dan penghakiman sepihak tanpa dihadiri pihak yang diadili... Mestinya kalian punya tim fasilitator yang menyiapkan data lengkap dong... Masak cuma menukilkan saja kok susah amat....atau ga pake data? Ah, ga mungkin... Heheeheehe... Piss..

Hendy Laisa: Bagi antum bodong tapi bagi ana itu gak jadi soal, yang jelas penyampaiannya argumentatif, mendidik, logis bagi ana yang goblok ini...

Azmy Alatas> Owh gak seperti dugaan antum, punya bukunya tau gak itu bukan urusan ana besok antum juga bisa beli kok.

Surya Hamidi: Aku pernah punya akun bodong tapi bukan untuk mengkritik Syi’ah dan menciptakan benih-benih perpecahan. Akun pertamaku dengan nama asli ini juga dan diblok oleh admin. Sekarang akunku ya ini.

Hendy Laisa: Iya iya mas ana tau akun-akun antum kok. Sekali lagi itu pendapat antum soal ciptakan benih-benih perpecahan, bagi kami di sini gak begitu kok.

Said Hasnizar: Surya Hamidi dan Azmy Alatas, Ada yang minta agar diadakan diskusi panel di Ithrah Institude. Saya hanya tolong menyampaikan dan mungkin hanya sebagai pemerhati soalnya buka fb paling cuman sekali seminggu. Saya rasa ini ide bagus, diskusi tentang buku SMS, dari pada di bahas di sebarang dinding.

Surya Hamidi: Ini juga bagian dari sembarang dinding Abu Alief Al Kepri..!! Siapa yang menjadikan ini dinding resmi yang disepakati?

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Hah..ngapain cuma di itrah? Roadshow dong, setiap kota dan basis kita buat! Tentunya setelah ustadz SA melakukan dan menyampaikan tabayun, apakah mungkin...??? Bukankah ustadz SA itu tokoh fiksi, mana mungkin akan terjadi panel. Kalau dia di panel, ya mustahil yang di panel adalah SA. Bukti bahwa yang di panel adalah SA apa.

Hendy Laisa: Azmy Alatas> ide bagus tuh..ente head to head dengan kami..hitung-hitung sebagai warming up.

Azmy Alatas: Hahahaaaha....sama-sama interpretator ngapain menjadi sok tahu atas konten buku...

Mau bikin tambah kabur dan kagak jelas jluntrungannya? Semua yang berkaitan dengan buku SMS adalah JELAS dan wujud. Penerbitnya, teballnya, halamannya,, penulisnya, alamatnya, dan sebagainya. Bisa antum sentuh dan bisa didengar suaranya.

Lantas bagaimana dengan ustadz SA ?

Apakah beliau nya juga siap?!
Bagaimana mewujudkan yang samar itu?

Pake hijab, pake asap, awan, kabut, topeng atau bagaimana pas kelak di panel...
Hhaahahajahahahaha....seru nih...

Hendy Laisa: kita berdua aja dulu, gak usah libatkan orang lain..SIAP GAK???

dr

Said Hasnizar: Surya Hamidi, Ini juga bagian dari sembarang dinding Abu Alief Al Kepri..!!

Siapa yang menjadikan ini dinding resmi yang disepakati?

========================

Kok jadi ga nyambung ya brey?

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Hah..ngapain cuma di itrah? Roadshow dong, setiap kota dan basis kita buat! Tentunya setelah ustadz SA melakukan dan menyampaikan tabayun, apakah mungkin...??? Bukankah ustadz SA itu tokoh fiksi, mana mungkin akan terjadi panel.

Kalau dia di panel, ya mustahil yang dipanel adalah SA. Bukti bahwa yang di panel adalah SA apa.

=========================

Kok bisa dua-duanya ga nyambung nih.

Azmy Alatas: Yang saya maksud diskusi antara antum berdua dengan tim Ithrah Institude, saya ga bilang ada ustadz SA-nya.

Ongen Amq: Man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu. Mudah-mudahan bisa tau diri masing-masing aja.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Ya sama lah..ga penting situ tau ana bukunya atau enggak, yang pasti di hal.269 paragraf terakhir tertulis:

4. Imam Ahmad meriwayatkan hadis berasal dari Jabir bin Samurah tentang dua belas khalifah/ amir....dan seterusnya.

Silakan dicek...hehehehe...pisss..

;-D

Andika Karbala: Mas Surya di balik akun walaupun nama disamarkan bukan berarti tanpa tanggung jawab. Saya jadi saksi bahwa Ustadz- SA adalah seorang terpelajar yang selalu berhujjah dengan dasar ilmu bukan hujatan dan cacimaki dengan kata kotor tanpa dalil. Justru saya melihat orang yang kata-katanya kotor itulah yang bodong karena tidak sadar bahwa setiap ucapannya walaupun di dunia maya ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Saya sependapat dengan Ustadz-SA bahwa Imamah itu merupakan Usuludin dalam keyakinan Syi’ah kalau ada pihak Syi’ah yang meragukan kemakshuman Imam as, lah.. apalagi yang kita banggakan bagaimana kita bisa meyakini marja/ulama kita padahal ulama itu wakil dari Imam Mahdi afs. Ini bukan masalah benci atau tidak benci, hasad atau tidak hasad tapi masalah Usuludin dalam keyakinan kita.

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Ajiiibb...antum mau panel ana dan Surya Hamidi yang tidak terkait dengan bagaimana buku SMS itu terbentuk?

Tujuannya apa?

Apakah tim itrah tidak bisa mengundang tim ABI?

Bukankah antum-antum di sana butuh kejelasan maksud dari buku SMS tersebut?

Atau punya tujuan lain?

Said Hasnizar: Azmy Alatas, Saya hanya menyampaikan saran teman.

Azmy Alatas: Andika Karbala, Emang menurut SMS bukan ushuludin.... Atau menurut arahan dari penjelasan ustadz atas nukilan tersebut sehingga anda berpersepsi bahwa dalam SMS imamah bukan ushuludin? Hehehe...

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Tanya sama Hendy Laisa itu yang dekat dengan orang-orang ABI untuk bisa mempertemukan itrah sama ABI... Hahaha.. Jangan repot-repot..

Said Hasnizar: Azmy Alatas, Mungkin teman itu bermaksud baik dengan mengajak anda dan om Surya Hamidi buat diskusi. hemmm

Hendy Laisa: Nih ada saran nih, saya ga ngerti yang ginian.. Maaf saya mau istirahat. Salam.

SatriaPmlg: Bikinaturanitugampang,,yangsusahitusportifitasdalammelaksanakannya,,,,,khusus buat ,,bang azmiy,,afwan akhiy,,,,

Sang Pencinta: Saya tidak suka menulis ini, tapi karena bahasa ikhwan yang satu ini sudah tidak normal lagi, maka terpaksa saya tulis, ‘Apakah ia pernah bertanya pada Tuan Guru Sinar Agama di wall kami tentang hukum waris’. Kok bisa orang yang dikatai ‘sampah’ dijadikan tempat bertanya!!!. Raksyih. Memang ketika emosional, daya hewaniah membalut akal, maka kebencian begitu mudah menyambar.

Kamal AvicenNa: Jadi betul kalau orang sedang terbawa emosional terlihat sperti orang bodoh..

Sang Pencinta: Perlu dicatet, apa-apa yang terpampang di sini akan kami dokumentasikan sebagai arsip dan khalayak luas ratusan bahkan ribuan pasang mata bisa menyaksikan..

Azmy Alatas: Satria Pmlg, Sudah dibuka halaman bukunya?

Azmy Alatas: @satria pmlg: Anda kasih dong teguran ke akademisi yang sudah puluhan tahun belajar... tapi ga paham gimana kritik ilmiah itu berlaku....

Ini lagi kritik ilmiah atau galang umat buat sepaham sana subyektifitas seseorang? Hehe..piss

Hendy Laisa: Azmy Alatas, Bener-bener gagal paham ckckckck ahsan antum gak usah komen lagi.

Azmy Alatas: Hendy Laisa oh... Hahahaha...

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Oh, antum minta di panel diskusi sama ana? Emang nya elu siapa, dan ane siapa? Tujannya kan bredel buku? Anu, bukannya antum punya kontak orang-orang ABI ya?

Kenapa itrah tidak berani datangkan tim ABI sekalian sebagai narasumber, entar Sinar Agama pake teleconference ya juga gapapa seperti yang biasa dilakukan temen-temen via onlen..... tapi ahsan datengkan Sinar Agamanya entar dipakein topeng biar ga ketauan, ...ada fulusnya kan?!

Hehehe...piss...

Hendy Laisa: Azmy Alatas,

Ali Assegaf sedang saya coba undang ABI dari salah satu ormas NU dan semoga mereka diberi hak bicara ... tidak boleh kita dzalim padanya ... walau ormas dzalim ABI tidak berlaku keadilan ...

Ada bentuk yang jelas ... semoga punya rasa malu itu ormas ABI ... tidak terputus rahmat ALLAH yang menyeretnya pada golongan yang dikutuk ALLAH SWT.

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=854952831222354&set=a.427089434008698.120077.100001229357851&type=1




Hubungan Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (4)

4. Hubungan Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (4)

https://m.facebook.com/notes/abil-ghifari/hubungan-antara-tuhan-yang-mutlak-dan-suci-dengan-manusia-4/750247438391999/?refid=21


Sinar Agama: Teman-teman, saya sudah memberikan paparan yang panjang lebar, kalau ada yang tidak benar, maka itu saja yang dibahas. Kalau bisa, hindari kata-kata yang tidak berhubungan, terlebih kata-kata yang tidak diajarkan Ahlulbait as. Malu pada Tuhan, Nabi saww, Ahlulbait as dan tetangga kita.

Biasakan untuk tidak menyempitkan dada. Jangan hanya kalau mengkritik saja bersemangat, tapi tidak mau dikritik. Saya dulu sudah pernah mengatakan bahwa kadang kita yang sudah jadi Syi’ah, kembali kepada yang sebelumnya. Dulu aktif kritik, tapi sekarang aktif menolak kritik.

Kalau diskusi ilmu, maka itu hal yang dianjurkan agama. Niat masing-masing, maka diserahkan pada Allah, toh sebentar lagi kita akan pada mati. Nanti di sana baru akan melihat amal kita masing-masing, semoga kita semua selamat di dunia dan di akhirat kelak, amin.

Dan siapa saja yang masih menghubungkan paling hinanya manusia ini, yakni saya Sinar Agama, dengan orang lain, maka dengan sangat terpaksa saya akan delete dari pertemanan.

Sekali lagi, diskusi ilmu itu, tidak boleh bermuatan politik. Sebab kalau sudah politik, maka akan keluar dari keilmuannya.

Kritik buku, di dunia manapun, sejak jaman Amirulmukminin as, sampai sekarang, tidak harus ke orangnya atau penerbitnya. Kritik tulisan itu, di mana saja, selalu bisa dilakukan di mana saja.

Syaratnya menukil dengan benar yang mau dikritiki. Jadi, tidak ada syarat untuk mendatangi orangnya. Di mana ada undang-undang atau akhlak seperti itu?

Kalau seseorang tidak ingin dikritiki, maka jangan menulis buku atau tulisan di media umum, seperti majalah, koran dan semacamnya.

Buku yang menulis dengan terang-tarangan bahwa marja’ dikatakan konsultan dan tidak wajib ditaati, sudah jelas merupakan buku yang menyesatkan. Sebab semua mujtahid mengatakan bahwa amal orang yang tidak taklid/taqlid itu adalah batal. Karena itulah, maka dengan sangat terpaksa saya tuliskan pernyataan di atas. Belum lagi masalah imamah dan khilafah seperti yang sudah kita diskusikan sebelumnya.

Sinar Agama: @Surya, kalau benar komentar antum itu, bahwa saya sampah, maka semoga Tuhan mengampuniku, dan kalau salah, semoga Tuhan mengampunimu, demi kesyahidan imam Ridha as yang bertepatan dengan hari ini, amin.

Oh iya, seandainya antum membawa bukti tulisanku yang sama dengan tulisan di buku SMS itu, maka saya akan ucapkan terimakasih. Sebab saya yakin tidak pernah menulis seperti itu. Kalau memang ada, tunjukkan buktinya, jangan hanya berimej saja.

Satria Pmlg: Nyimak ustadz,,,,teruskan ustadz,,,,sportiflah hai kawan semua dengan keilmuan ,,jangan mentang-mentang punya organisasi jadi buat sombong,,,, kepada sesama,,,,, tidak ada gunanya,,, jangan jadikan oraganisasi sebagai beaking kaya anak kecil aja,,, mandiri jangan kroyokan,,

Azmy Alatas: Sinar Agama, Afwan, mungkin dinukil dari hal.16-29...biar utuh..

Sinar Agama: @Azmy, Silahkan nukil. Atau nukil seluruh kitabnya biar sangat utuh.

Sang Pencinta: Azmy, Kalau perlu foto seluruh halaman buku dan tampilkan di sini, supaya yang belum baca bisa baca, supaya yang belum utuh menjadi utuh banget.

Sinar Agama: @Azmy, Kalau mau sehat diskusi, maka nukilkan yang beda dengan persepsi lawan bicara atau teman diskusi antum. Jangan menglobalkan masalah, seperti saya membaca di antara halaman ini dan itu, maka saya beda pahaman. Lah....bok disebutkan bagian mana yang membuat beda dengan pahaman kami-kami. Itu baru benar cara diskusianya. Ingat, jangan membuat rabaan dan persepsi tanpa bukti nukilan, karena saya tidak akan menanggapinya sama sekali. Wong kita diskusi buku kok, bukan diskusi dengan pandangan antum. Jadi, harus bersumber kepada buku, baru pahaman antum tentang bukunya itu. Nah, kalau bukunya berhalaman-halaman, maka nukilkan yang antum maksud dimana membuat antum berpersepsi tertentu yang, katakanlah membuat antum beda dengan kami itu.

Azmy Alatas: Fasilitatornya siapa tuh? Bukannya dari awal memang diskusi ini sudah tak sehat, bahkan dari bulan oktober kemaren.

Azmy Alatas: Justru karena diskusi buku, bukan diskusi 1 cuil nukilan buku...

Satria Pmlg: Ikut bertnya,, pada azmiy,,, kalau menurut buku sms,,, mengatakan bahwa,,,yang mutlaq suci tidak langsung berhubungan dengan yang relatif,,, karna ketika berhubungan lansung akan menciderai dari pada kemutlakan yang suci,,, maka untuk menjembatani hubungan keduanya itu apa,,,??? Wong selain TUHAN, itu tidak mutlaq,,,, afwan akhiy Azmy tolong jawab,,,

Azmy Alatas: Satria Pmlg, Baca buku SMS bab iman mutlak dan iman relatif hal.16-29....
Akan ketahuan jembatannya...

Satria Pmlg: Bang Azmiy,,,, Antum tau ga PENJABARANNYA bahwa NABI MUHAMMAD adalah sayyidil wujud,,,dan penyebab terciptanya mahluq,,,, coba antum kaitkan dengan masalah di atas,,,,,,

Azmy Alatas: Satria Pmlg, Antum sudah baca buku itu atau belum?
Terutama hal 16-29?

Muhammad Wahid: Sekedar me-refresh.. bagi yang bingung mengikuti diskusi ini: https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-1/10152453504393937

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-2/10152453555563937

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-3/10152453570878937

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-4/10152453662393937

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-5/10152453769278937

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-6/10152453831143937

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-7/10152455316408937

Azmy Alatas: Saya kutipkan catatam bagus nih:
Yuk belajar dari tabloid NOVA bagaimana cara mengkritik yang baik dan benar:

Tidaklah mudah melontarkan kritik. Salah-salah, kritik yang kita ucapkan bukannya berdampak membangun, tetapi malah permusuhan yang kita dapat gara-gara rekan yang kita beri kritikan tidak terima atas kritik membangun yang kita beri.

Berikut ini beberapa tips untuk memberikan kritik membangun agar kritikan Anda tidak percuma dan juga tidak melukai perasaan orang yang Anda kritik, serta membuat orang tersebut memberikan respon serta dengan senang hati mau memperbaiki kekurangannya.

Mengabaikan karakter.

Bila ingin kritikan Anda mencapai sasaran yang tepat, usahakan untuk tidak mengungkapkan kekurangan diri rekan yang Anda kritik di dalam kritikan Anda. Bila Anda mulai membicarakan kekurangan dirinya, dia akan menginterpretasikan komentar Anda sebagai sebuah serangan dan hal ini akan menggagalkan tujuan Anda semula. Memang tidak selalu mudah untuk memisahkan seseorang dari pekerjaannya, tetapi di dalam memberikan kritikan Anda harus dapat memilahnya.

Gunakan bahasa yang tepat.

Setiap kata yang Anda ucapkan dapat memberikan arti yang berbeda. Gunakan terminologi yang berhubungan dengan masalah yang ingin Anda sampaikan secara profesional.

Usahakan jangan mencela. Bahkan kritikan yang sangat tajam pun dapat Anda sampaikan dengan bahasa yang halus. Agar tidak tampak arogan ataupun kasar, Anda dapat memulai kritikan Anda dengan: “Menurut saya, kelihatannya kamu….” Atau “Mungkin saya salah, tetapi …”.

Berikan fakta yang sesuai.

Kemujaraban dari kritik yang membangun adalah dengan meyampaikannya sesuai dengan porsinya. Sebaliknya hal-hal kecil yang tidak perlu disampaikan dapat menggagalkan usaha Anda. Bila Anda melihat kritikan tidak mungkin diberikan, lebih baik Anda diam.

Kendalikan emosi.

Memberikan kritikan yang efektif menuntut Anda untuk dapat menetralisir emosi Anda agar tidak mengungkapkannya secara blak-blakan. Untuk situasi tertentu Anda harus memperhitungkan perasaannya dan tidak mempermalukannya. Pada saat yang sama, perasaan Anda pun harus diperhitungkan agar tidak memihak dan dapat membuat Anda menjadi tidak dapat dipercaya.

Fokus.

Pusatkan pada apa yang dapat dilakukan, dan bukan pada apa yang telah dilakukan. Untuk perbaikan, arahkan pada kesempatan yang spesifik dan hindari membeberkan kekurangannya.

Jaga agar kritikan Anda merupakan kritikan yang positif serta bijaksana dan berguna. Seseorang tidak akan merasa diremehkan bila dia diberi kesempatan dan bukannya dikatakan bahwa pendapatnya tidak kompeten atau kurang baik.

Empati.

Salah satu langkah yang paling manjur yang dapat Anda lakukan sebelum memberikan kritikan adalah dengan menempatkan diri Anda pada posisi orang yang akan Anda kritik.

Tidak semua orang senang dikritik dan biasanya seseorang akan merasa diserang dan bila hal ini yang terjadi, sangat wajar bila orang yang dikritik menjadi bersikap membela diri.

Bersikap objektif.

Berikan alasan yang dapat diterima, bukan pandangan yang subyektif. Semua jenis kritikan dapat mengandung berbagai prasangka tetapi Anda dapat mengatasinya dengan menyadari bahwa komentar yang benar dan didasari dengan alasan yang kuat lebih dapat diterima.

Tidak mudah bagi seseorang untuk membela diri terhadap kritikan yang beralasan tetapi sangat mudah mencampur adukkan kritikan yang didasari atas perasaan suka ataupun tidak suka. Kemahiran Anda hilang dalam sekejap bila Anda memberikan komentar yang tidak beralasan dan sembarangan.

Berikan kesempatan.

Beri kesempatan kepada bawahan atau rekan yang Anda beri kritik untuk merespon. Secara psikologis sangat penting adanya jeda antara saat Anda memberikan kritikan dan saat lawan bicara Anda memberikan penjelasan dari sisinya.

Sikap menawarkan penjelasan memberikan kepuasan intelektual dan membantu orang tersebut mempertahankan egonya. Lebih jauh lagi Anda memberikan kesan adil dan memiliki wawasan yang terbuka, meningkatkan kredibilitas Anda dan mengurangi kesempatan komentar Anda diabaikan atau dilupakan.

Sumber : Tabloid Nova

Sinar Agama: Teman-teman, Azmy ini kelihatannya suka muter aja. Halaman-halaman mulu yang diomongin. Sudah dibilang kalau ada hal nukilkan yang mau dijadikan bantahan, kok malah teruuuuusss aja ngomongin halaman. Ana benar-benar ragu, jangan sampai ia tidak punya bukunya. Dan ingat, kalau dia nukilkan panjang lebar yang tidak ada to the poin pada maksudnya, sayapun tidak akan membuang waktu melayaninya. Dakwaan kita sudah jelas seperti ini buku ini menyesatkan karena diantaranya menganggap marja’ itu hanya tempat konsultasi dan tidak wajib ditaati. Nah, Azmy bisa mengambil nukilan selain ini, dan to the poin, baru saya akan layani.

Afwan, hal ini ana harus ambil keputusan karena banyak sekali pekerjaanku dan sudah kita kasih peluang untuk Azmy beberapa kali. Jadi, kalau masih seperti itu, maka tolong jangan gugat ana kelak di akhirat kalau tidak memberikan arahan atau jawaban atau tanggapan. Afwan.

Satria Pmlg: Bang Azmy kira-kira dari komentar antum yang sesuai dengan tabloid nova,,yang mana,,,? Bang Azmy ini kayanya mau bikin aturan cara memberi kritikan,,,terima kasih kawan,,cuman coba antum koreksi lagi komen-komen antum.

Anggelia Sulqani Zahra: Aduuuh gimana mau diskusi kalau akunnya tertutup untuk umum..

Azmy Alatas: Anggelia Sulqani Zahra, Coba dibaca etika kritik yang saya kutipkan...agar elegan dan indah....

Azmy Alatas: Satria Pmlg, Saya orang awam yang tak terdidik dan tak tahu etika mengkritik. Baru saja tahu lewat tabloid Nova barusan.

Namun, bagi mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi, berpuluh tahun dan memang berkecimpung di ruang akademik, rasanya tak pantas jika tak tahu atau tak mau tahu mengenai etika kritik tersebut.

Apalagi jika ruang diskusinya berkaitan dengan agama. Kalau saya lahir dari jalanan dan berandalan, sangat tak pantas meletakkan perbandingan ketakbersantunan saya dengan mereka yang menjadi panutan yang setiap saat bersentuhan dengan risalah etik.

Azmy Alatas: Anggap saja saya tak punya bukunya ustadz, berarti pihak moderator yang sudah dipastikan punya buku dan bahkan membedahnya bisa diminta untuk menukilkannya.

Saya menganggap halaman-halaman yang berurutan tersebut, terutama bagi saya yang awam dan bodoh ini cukup clear dan bisa memberikan penjelasan.

Memang benar, jika kita cuma nukil bait kalimat yang ada di status tersebut akan memberikan kesan tak lengkap.

Setidaknya itu yang saya tangkap dari penjelasan buku tersebut.

Idea Abdul Majid: Pembahasan pendek jadi panjang atas usulan kepongahan dan keangkuhan.
Membosankan.

Said Hasnizar: Surya Hamidi, Beberapa tahun lepas, tatkala baru kenal di Dumay, saya respek anda. Menurut saya, anda adalah seorang Syi’i yang pintar dalam berdebat/dialog di Dumay.

Seiring berjalan waktu, respek itu berkurang separuh, melihat rajinnya anda apdet status (kualitasnya semakin menurun dengan meningkatnya kuantitas statemenmu).

Sampai kemaren, saya juga masih respek.

Namun sedetik setelah anda mengucapkan “SAMPAH” kepada manusia yang banyak menuntun manusia lain yang jahil, respekku padamu jatuh ke titik NOL.

Maaf ya Surya Hamidi, ini ucapan ikhlasku.

Azmy Alatas: Hihihihi....makanya nih, buat yang pinter-pinter di sini....pake etika kritik dan diskusi...ga usah pake kitab 20 jilid...cukup baca nukilan artikel dari tabloid Nova itu loh...udah ku tulis di komen....

Surya Hamidi: Terima kasih... aku pun tidak berharap respek dari siapapun disini. Aku tidak melihat adanya orang yang berakhlaq disini. Semua sudah diboncengi iblis dengan hasad membara untuk memecah belah Syi’ah nusantara.

Surya Hamidi: Mengkritik dengan bahasa preman, mafi akhlaq, berlindung di akun bodong. Yang dikritik orangnya jelas, pakai nama asli, ada organisasi resmi yang bisa didatangi oleh akun-akun bodong disini.

Surya Hamidi: >>>> Yang mau melakukan kritik, saran, diskusi atau apapun namanya, mengenai buku itu dapat langsung ke alamat penerbit yang sudah tertera dalam buku. InsyaAllah kalau tidak bisa memahami akan dipahamkan. Kalau gagal paham itu tergantung pribadi masing-masing.

Jangan cuma jadi banci yang berlindung di akun bodong dan menyulut pertikaian sesama syi’i.

Azmy Alatas: Jleb!!!

Bener juga ya...organisasi jelas, tim penulis jelas, penerbit jelas, tokoh-tokoh yang nulis pasti terdata, daftar pustaka jelas, bukunya sudah wujud jelas juga.....baru ngeh!!!

Lalu pengkritiknya, yang belum pernah baca tabloid Nova itu, asal usulnya bagaimana ya?Ajiiibbb....syukron Surya Hamidi bikin melek mata ane...

Said Hasnizar: Kritik muncul karena yang nulis ngaku-ngaku mewakili Syi’ah tapi terbukti isinya jauh dari apa yang difahami orang Syi’ah. Hatta meski benar sekalipun tulisan yang ada di dalam buku SMS, mereka tak punya hak sedikitpun merasa mewakili Syi’ah, marja bukan, kok bisa mengatakan fahamnya mewakili Syi’ah???

Andai saja judulnya Syi’ah menurut ABI, atau Syi’ah menurut Muhsin Labib, mungkin tak ada yang mau peduli, toh itu faham mereka. Tapi karena judulnya seolah-olah menunjukkan bahwa itu faham Syi’ah secara keseluruhan, maka baik secara langsung atau tidak langsung banyak yang mengkritik.

Masa kritik buku bisa dituduh pemecah belah....sentimentil bingit dah.

Hendy Laisa: Azmy Alatas> Baiknya antum baca baik-baik pernyataan ustadz “Ingat, pernyataan ini, dan diskusi ini atau yang sebelumnya serta yang berikutnya, sama sekali tidak bermuatan politis, tapi benar-benar hanya bermuatan ilmu dan keilmuan. Karena itu, pernyataan dan semua diskusi saya di fb ini, tidak ada hubungannya dengan ormas ABI sama sekali, karena yang saya soroti dan niati, benar-benar hanya buku tersebut yang, kebetulan ditulis oleh penulis-penulis yang kebetulan dari Tim ABI “

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Udah dibahas kemaren di bab judul...baca noh komen ane.. gamblang seterang matahari...

Anggap aja SMS ini, mereka mewakili aliran sesat, nah, kalau mau bantah dan kritik ya pakai metode yang sesuai sama ajaran tabloid Nova itu loh di atas....mau ku kutipkan lagi?

Hendy Laisa: Azmy Alatas> Antum ini lucu banget, mau ngajari orang cara kritik, antum paham siapa yang antum mo ajari kritik? ilmu antum yang berdasar tabloid Nova kok dipake mo ngajar orang yang sudah lama belajar di hauzah.

Said Hasnizar: Azmy Alatas, santai aja kalee.

Saya bukan wahabi yang suka menganggap yang tak sefaham sebagai aliran sesat bro.
Pro dan kontra itu biasa, asal jangan ngaku-ngaku wakili madzhab....hahaha.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Huahahahaha.....saya kritik baju nya bukan kritik yang pakai baju....?
Saya kritik orangnya bukan bajunya? Atau saya kritik bajunya setelah dipakai oleh orang itu?

Eh, Sang Pencinta coba ente kutip lagi link yang bantahan Sinar Agama pada bulan oktober itu.... biar mas Hendy Laisa bisa menilainya, apakah sesuai metode tabloid Nova atau tidak..

Hehehe...piisss...

Surya Hamidi: Kritik aja langsung ke kantor ABI. Kenapa kalian begitu pengecut di sini?

Syi’ah menurut Syi’ah itu sebagai jawaban bagi pandangan umum orang yang menyesatkan Syi’ah dan buku terbitan MUI. Apakah kalian sudah membuat bantahan terhadap buku tersebut? Emilia aja sudah berani membantah, kenapa ga kalian kritik juga buku bantahan yang ditulis emilia yang sok mewakili Syi’ah tersebut?

Sebenarnya bukan bukunya yang jadi persoalan disini. Yang jadi persoalan itu adalah sosok di belakang buku itu yang menurut Sinar Agama jadi pesaing dia dalam keilmuan. Dia hanya ingin dirinya sebagai satu-satunya orang yang dianggap berilmu di Indonesia. Jadi marja tunggal untuk Indonesia.

Hendy Laisa: Azmy Alatas> Gak penting bagi ana metode tabloid nova yang dikarang siapa, yang penting bagi ana kritik ilmunya kena, pas, masuk akal ana yang cetek... daripada ente udah dijelasin ulang-ulang kali masih gak paham-paham juga... bener kata ustadz jangan-jangan antum gak punya bukunya.

Azmy Alatas: Hahaha...wah, ada yang belajar puluhan tahun di hauzah to? Atau ngaku-ngaku, kaya penulis buku SMS yang menurut sebagian orang bisa dibilang ngaku-ngaku Syi’ah?

Said Hasnizar: Sebenarnya bukan bukunya yang jadi persoalan di sini. Yang jadi persoalan itu adalah sosok di belakang buku itu yang menurut Sinar Agama jadi pesaing dia dalam keilmuan.

Dia hanya ingin dirinya sebagai satu-satunya orang yang dianggap berilmu di Indonesia. Jadi marja tunggal untuk Indonesia.

======================

Surya Hamidi kelihatannya anda ini sudah ma’rifat ya,,, bisa baca hatinya Ustadz,SA.

Hendy Laisa: Surya Hamidi> Komen antum terlalu subjektif..di penjelasan ustadz jelas MURNI SOAL ILMU DAN KEILMUAN, SAMA SEKALI TIDAK BERMUATAN POLITIS.

Surya Hamidi: Coba anda yang berkarya biar dikritik orang juga. Jangan cuma mampu mengkritik dengan menyemai bibit-bibit perpecahan.

Said Hasnizar: Surya Hamidi, Dengan komentar anda terakhir, respek saya jadi turun lagi nih... minus.

hahahaha

Azmy Alatas: Hahaahaha...Hendy Laisa kok sekarang antum yang politis?

Hendy Laisa: Jangan berwilayah AB kalau gak mau dikritik.

Azmy Alatas: Makin banyak bicara makin kelihatan muter-muternya ente.

Surya Hamidi: Giliran komentku anda anggap subjektif, tapi koment kalian termasuk akun bodong Sinar Agama pun subjektif tapi kalian tidak bisa melihatnya.

Hendy Laisa: Subjektifnya dimana??? Yang ustadz SA kritik kan ILMU DAN KEILMUAN tanpa nyebut organisasi atau person.

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Tampaknya antum dan Hendy Laisa sudah kasyaf sehingga tahu kalau ustadz tidak politis...hehehehe...

Surya Hamidi: Abu alif, soal respek... aku ga berharap tuh. Siapapun sudah tau kalau aku ga butuh penghargaan siapapun. Emangnya aku butuh penghargaan manusia?

Hendy Laisa: Azmy Alatas> kasyaf sih gak tapi masih ma’rifat.

Said Hasnizar: Azmy Alatas dan Surya Hamidi, Rasanya ga perlu kita saling ejek ya bro dan brey, dengan wahabrot saja saya ga suka saling ejek saling sindir, inikan lagi dengan Syi’i. Maaf ya.

Hiduplah mereka yang selalu objektif. Shalawat.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Alhamdulillah masih bisa muter-muter mas... kalau enggak, saya ga bakal dapat nukilan tabloid Nova itu....hehehe...

Said Hasnizar: Surya Hamidi, Respekku tak pernah aku ucapkan bertahun-tahun bro, kecuali saat respek itu jatuh ke angkan minus....sekarang ini.

Hendy Laisa: bagi-bagi dung ma’rifatnya..

Surya Hamidi: Hendy Laisa... haha.

Sudahlah, mata anda sudah tertutup dan yang ada hanya kebencian yang mendalam kepada tim pengarang buku tersebut.

Ketika Syi’ah disesatkan oleh MUI, kalian hanya bisa terkentut. Namum ketika orang lain berkarya, kalian kebakaran bulu.

Azmy Alatas: Abu Alief Al Kepri, Nasehati juga dong ustadz SA agar kalau kasih kritikan ke orang ada tempat dan metodenya, mestinya mikirin gimana biar para asatid di Indonesia pada bisa duduk bareng dan satuin pikiran, ini malah jadi tim sorak kedengkian dan tendensi.

Said Hasnizar: Azmy Alatas, Sudah bisa ngetik di jam segini aja sudah syukur, saya ga punya waktu buat seperti yang anda katakan. Sibuk cari nafkah.

Hendy Laisa: Surya Hamidi, Ah itu perasaan antum aja, kami di sini sering kok ketemu tim ABI yang datang kemari.. biasa aja tuh, di luar diskusi ilmu pertemanan tetap dijaga... kalau antum kayaknya gak gitu deh...

Surya Hamidi: Ga pake kayaknya, ini post yang sudah jelas arah dan tujuannya. Begitu juga post di wall kamu.



=========

((Bersambung ke : Hubungan Antara Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (5).))

Hubungan Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (3)

3. Hubungan Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (3)

https://m.facebook.com/notes/abil-ghifari/hubungan-antara-tuhan-yang-mutlak-dan-suci-dengan-manusia-3/750246741725402/?refid=21


Idea Abdul Majid: Kenalilah dirimu maka engkau akan mengenali TUHAN atas dirimu, apabila sudah mengenal TUHAN maka akan di perkenalkan pada KekasihNYA. Untuk belajar begitu, ribet soalnya temanmu harus jangan yang itu-itu saja, dan dirimu harus bertemu para Kejawen.
Bicara kesempurnaan saja itu ribet, sebab segala sesuatu di ciptakan ALLAH swt dengan Hukum Kesempurnaan.

Setelah dirimu menyakini bahwa dirimu sempurna dan hanya mengikuti kesempurnaan maka baru memahaminya.

Masuklah ke dalam struktur tingkatan kesempurnaan, mulailah ke dalam lingkungan sempurna. Tapi hati-hati nanti tersesat makanya di situlah Fungsi Utama Ahlul Bait as sebagai Penunjuk Jalan
Yang Lurus.

Setelah mengenal Ahlul Bait as penunjuk jalan yang lurus, mulailah kita melepas pakaian ke akuan.

Batasan kesempurnaan diri itu ada, nah menurutku kemampuan kita mudah mudahan dapat sampai kesempurnaan mengikutin Ahlul Bait as berdasarkan ketentuan Ahlul Bait as..

Azmy Alatas: Sinar Agama: Afwan ustadz..jadi intinya piye...???
Kok aku ga mudeng....hubungannya sama tulisan di buku itu apa???

Idea Abdul Majid: Manusia itu jenisnya sesuai dengan Fakultas di Universitas, nah kebanyakan dijadikan sebagai administratif.

Ali Shofi: Hah.... kalau ada orang yang salah paham sama maksud dari tulisan di buku itu jangan langsung “berfatwa” sesat jangan salahkan bukunya salahkan orang yang membacanya, kenapa ilmunya ga diupgrade...

Idea Abdul Majid: Administratif itu pendidikan umum saat ini ya?, diketawain petani sudah temukan bbm dari jagung..

Azmy Alatas: Sang Pencinta, ni gimana....kok jawaban panjang lebar malah engga nyambung dengan yang lagi dibahas...??!! Cb diskusikan dan dirapatkan dulu dengan para tim sukses antum ...

Idea Abdul Majid: Masalah itu tidak akan sulit apabila kalian sudah masuk ke dalam Naungan Kesempurnaan Ahlul Bait as, tapi karena masih mengira-ngira jadilah kalian pengetahuan kira-kira cam arkeolog gaje.

Sang Pencinta: Azmy, ustadz itu menjawab dari segala sisi, kemungkinan isykal dari segala penjuru sudah dipaparkan. Kalau antum punya dalil dan isykal utarakan saja poin-poinnya, salahnya dimana, benarnya dimana, jangan sampai beretorika belaka.

Azmy Alatas: Hah...membahas maksud dari buku, atau membahas teks?
Yang qu tanyakan nyambungnya dengan maksud buku tersebut dimananya?

Sang Pencinta: Azmy, coba baca lagi apa yang dimaui penanya.

Tinta Hitam: Azmi, kayaknya ilmumu belum bisa memahami tulisan ustadz ya,?...penjelasan ustadz sangat gamblang dan jelas. Ustadz hanya mengomentari satu halaman saja pada buku itu, tapi jawabannya lumayan banyak, kenapa? Karena penulis buku memakai-makai istilah yang masih mubham, makanya ustadz mencoba memahamkan kepada kita dengan beberapa item dengan yang dimaksud penulis.

Inilah kita yang kadang ceroboh dalam memahami sesuatu, maunya memahami instan dan umum. Sehingga kita terkadang salah makna..

Sekarang giliran kamu bung Azmi, coba komentari pendapat dan jawaban ustadz, jangan cuma jadi provokasi dan sok tahu menahu. Kalau memang bung Azmi tahu maksud dari yang ditulis oleh buku ini di hal 16, apa yang engkau pahami? Kalau bertentangan dengan jawaban ustadz, ayoo tuliskan argumen antum jangan terkesan berkoar-koar, karena ini bukan hal yang biasa bung...

Hendy Laisa: Azmy Alatas> Bikin kopi, siapin cemilan, baca baik-baik penjelasan yang sangat panjang lebar tersebut dengan hati-hati, mudah-mudahan antum bisa nangkap maksud penjelasan ustadz.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Sudah amat sangat paham, makanya saya tanya... korelasi topik yang dibahas di buku, dimananya?!

Tinta Hitam: Menurutku, sebelum buku ini tersebar lebih banyak lagi... maka sebaiknya ditarik dari pasaran karena akan membahayakan orang Syi’ah sendiri, apalagi orang yang bukan Syi’ah, pasti bingungnya berlapis-lapis.

Azmy Alatas: Yang kedua, tanpa harus diarahkan oleh beliau, saat saya baca buku tersebut di halaman itu, pun sudah gamblang tanpa harus dijabarkan panjang seperti di atas. Amat sangat gamblang kok.

Tinta Hitam: Bung azmy, Kalau luh paham kenapa masih tanya lagi korelasi topik yang dibahas di buku ini? Itu berarti kamu belum paham bung.

Hendy Laisa: Azmy Alatas> “Sinar Agama: afwan ustadz..jadi intinya piye...???
Kok aku ga mudeng....hubungannya sama tulisan di buku itu apa???” katanya sudah baca tapi kok gak mudeng-mudeng juga mas???

Tinta Hitam: Gamblangnya itu, ketidakjelasan makna yang penulis maksudkan, sehingga ustadz mencoba memaknai kata perkata. Itu berarti ustadz sangat teliti mengkritisi tulisan ini. Kalau tidak ada pendefenisian kata, maka semua akan bias makna, karena kita tidak tahu yang penulis maksud yang relatif itu seperti apa?

Mufida Rahma Laila: kemarin saja diterangin maksudnya sampai 2 jam di kajian. Malah pada mumet raut mukanya.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Yang bikin ga mudeng itu mengkorelasi antara penjelasan ustadz dengan isi dan maksud buku.

Yang kontradiktif itu dimananya?!

Tinta Hitam: Hahaaha....berarti soal metode penulisan saja to???
Maksudnya metode penulisannya harus seperti yang ditulis oleh SA di atas?
Kok kayanya bodoh banget atau bagaimana, sampai harus didikte dan dituntun satu langkah satu langkah...padahal jalanan di depan jelas banget dan anda tak terkendala oleh apapun...

Kalau kita bahas teks saja sekedar teks, bisa saja dikritisi dengan metode di atas.

Tapi kalau kita bahas buku dan hal.16-17 itu nukilan dari keseluruhan buku. Maka apakah masih tepat menyesatkan buku tersebut hanya dari hal.16-17 yang padahal di bagian lain diterangkan pelengkap dari hal.16-17.

Sehingga jelaslah maksud mutlak dan relatif.
Duh, gamblang..gamblang...

Hendy Laisa: Azmy Alatas> Ahsan minum kopi dulu bro.

Azmy Alatas: Hahaha...tapi dari dulu kan emang begitu karakter SA, banyak was-was... sehingga kedetailan menurut beliau sangat penting.

Sehingga kurang cocok jika beliau jadi penulis. Lebih cocok jadi tempat tanya jawab. Hehehe.... musti belajar bikin buku dulu...

Hendy Laisa: Waswas penting daripada sembrono.

Azmy Alatas: Yang penting hati-hati, bukan was-was....hehehe...

Bima Wisambudi: Ketinggalan nih saya, Mufida Rahma Laila.

Tinta Hitam: @Azmi, segala sesuatu kadang kita ingin memahaminya secara umum. Padahal yang sesuatu umum itu masih mempunyai makna yang belum jelas. Kenapa ustadz SA menulis sedetail mungkin? Supaya kita lebih gamblang memahami tulisan tersebut. Lihat saja ustadz SA mendefenisikan kata relatif supaya apa yang kita pahami pada pernyataan yang ada di buku tersebut bisa lebih jelas. Jangan kita langsung memahami secara umum lantas ada kata yang menurut kita masih belum jelas.

@azmi, bukan hanya soal metode bung tapi soal pemahaman, itu yang terpenting.

Azmy Alatas: Haahhaha...berarti kan ustadz SA menjelaskan maksud dari ustadz ML, terus dimana titik kontradiktif antara tulisan ML dan SA? Itu yang ditanyakan....hehehe...

Hendy Laisa: Azmy Alatas> kontradiksinya?? Kok antum pertanyakan lagi mas bro? Kan di atas penjelasannya sangat panjang, sangat detail, sangat argumentatif serta masuk akal menurut saya, gak tau ya kalau menurut antum.

Neo Hiriz: Bukan ustadz SA tapi ustadz HAA.. Ustadz ML diganti dong dengan MHL

Hendy Laisa: Neo Hiriz> itu menurut antum aja.

Neo Hiriz: Karena kalau ML itu ndak enak dibacanya, terus SA itu nama aslinya kan Hasan Abu Ammar (HAA) MHL (Muhsin Labib)

Azmy Alatas: Ya sudah...
Jadi pada dasarnya, masing-masing kubu sudah bicara “siapa” bukan “apa”...
Jadi ruwet kan...hehehe...

Hendy Laisa: Jadi kubu-kubuan nih
Saya gak merasa berseberangan kubu dengan Azmy Alatas ya peace bro.

Neo Hiriz: Ah perasaan mu saja Hendy Laisa.

Hendy Laisa: Iya perasaanmu juga.

Azmy Alatas: Sang Pencinta, Coba tanya sama Sinar Agama, kira kira kalau judulnya diganti masih mau membahas polemik, semisal yang dia ulas di hal.16-17 itu atau tidak? Hehe.

Sinar Agama: Azmy, seandainya ana menanggapi tulisan antum, maka mungkin ana pakai cara tulis dan cara paham antum. Akan tetapi karena saya mengomentari tulisan orang lain yang saya tahu tingkat pendidikannya, maka sudah pasti saya tidak akan memakai cara yang seperti kalau menanggapi tulisan antum. Jadi, afwan banget. Kalau antum sudah paham, mestinya sudah tidak bertanya lagi, “hubungane opo?”. Sebab kalau sudah paham, maka akan menyala sekali hubungan dan dari kedua tulisan itu dan terlalu jelas perbedaannya.

Saya sebenarnya tidak perlu berjam-jam nulis tangapan kalau tidak mengomentari satu tim penulis dan ratusan atau ribuan pembaca yang memiliki latar belakang dan tingkat pendidikan yang berbeda. Akan tetapi, karena sebaliknya, maka ijinkan saya memakai cara saya sendiri.

Antum kok ribet dengan cara saya. Kan mudah saja. Kalau tidak setuju, yah,,,,tidak usah diperhatikan. Kalau setuju dengan caranya, yah....diperhatikan baik-baik supaya kalau komentar, bisa konek/nyambung.

Sinar Agama: Teman-teman:

  • - Pernyataan saya tentang buku itu, bukan hanya hal di atas itu. Akan tetapi banyak hal. Misalnya di dalam masalah imamah, sudah tidak tersisa sama sekali dari ajaran Syi’ahnya. Lihat diskusi sebelumnya.
  • - Yang lainnya, juga ada, seperti penulisan bahwa marja’ itu hanya tempat konsultasi dan tidak wajib ditaati. Lihat di halaman 37.
  • - Sudah tentu masih banyak yang lainnya.
  • - Yang paling parahnya adalah yang berkenaan dengan makna imamah dan khilafah sebagaimana sudah diterangkan sebelum ini. Silahkan merujuk ke sana kalau mau. Wassalam.

Neo Hiriz: Dikusi darat saja dengan tim penulis sms, supaya buku itu bisa lebih disempurnakan.
Sekadar saran.

Azmy Alatas: Afwan, ustadz Sinar Agama sulit bagi saya untuk melepaskan atau menafikkan konteks dan tujuan penulisan buku tersebut..

Jadi ingat buku “makna haji” nya Ali Shariati, ia tidak menjelaskan ritus haji, tapi dengan bahasa berbeda memaknai haji.

Saya menganggap buku SMS dalam rangka membangun pahaman umum soal Syi’ah yang sedang difitnahkan secara membabi buta di tanah air.

Pandangan-pandangan yang ditulis terkait dengan beberapa soalan umum dan populer yang saat ini sedang riskan.

Termasuk tuduhan BIN bahwa komunitas Syi’ah di Indonesia akan melakukan ekspor revolusi Iran dan mengganti dasar negara Republik Indonesia.

Tuduhan gila yang mengatakan bahwa Syi’ah di Indonesia setali tiga uang dengan wahabisme yang akan memberangus NU dan Muhammadiyah.

Saya kira, pembahasan detail soal Syi’ah bukan di buku tersebut pembahasannya.

Jadi ada teks dan konteks... itu sih menurut yang saya tangkap...
Jadi, bagaimana mau konek kalau antara teks dan konteks dipisah-pisah...
Ahsan, bikin buku tandingan dan kritiknya, lalu kopi daratkan...

Neo Hiriz: Saya pikir kurang perlu bikin tandingan, ustadz Hasan bagusnya menjadi tim perbaikan buku tersebut. Manfaatnya banyak kalau seperti itu. Saya kira anda semua tahu.

Azmy Alatas: Neo Hiriz, setujaa.. kenapa beliau kemarin ga sekalian masuk tim penulisan aja ya... sayaaangg banget...

Neo Hiriz: Itu masalah teknis saja pak, sekaranglah waktunya ustadz Hasan masuk dalam tim penting banget ustadz Hasan masuk dalam tim. Ulama sekaliber beliau pasti akan banyak kontribusinya dalam perbaikan buku itu.

Azmy Alatas: Tinta Hitam, kok situ nyuruh aku membantah paparan calon mujtahid, ya ga bakal mampu lah...

Yang saya tangkap malah paparan SA memperkuat pernyataan di SMS.
Makanya aku bilang, kontradiktifnya dimana?

Muslimovic: Tidak perlu berdebat tentang Tuhan dan manusia.

Dany Douan Douan: Pak Sinar Agomo @...Itu pertanyaan TS simple sebenarnya...ko sampe dijawabnya keliling dunia bahkan angkasa antariksa... yang ditanya hubungan langsung Allah swt yang muthlaq dengan manusia tidak muthlaq....HUBUNGAN LANGSUNG pak pertanyaannya “. itu aja dulu dijawab kalau udah clear baru ke bab lainnya masalah agama.....ko sepertinya bapak menjawab pada penulis buku SMS, yang terkesan sentimen ...hati-hati, ujub dan hubbul jah bisa mencelakakan.

Tinta Hitam: @Neo, Apakah pernah SA itu mengaku ustadz Hasan? Atau cuma persangka antum saja?

Hendy Laisa: Dany Douan Douan> Sudah menjadi ciri khas ustadz SA menjelaskan suatu persoalan dari awal, supaya gampang dipahami. Saya rasa tidak ada ujub disini, ini murni diskusi keilmuan tidak ada tendensi apa-apa apalagi seperti yang antum sebutkan: sentimen, ujub, hubbul bla bla bla...afwan.

Dany Douan Douan: Saya rasa kepada siapa khithab saya jelas.

Azmy Alatas: Tinta Hitam, kalau HAA pernah ngaku sebagai SA atau enggak ya?
Atau semacam bikin sumpah atau klarifikasi gitu, kenapa kok namanya terus dikait-kaitkan sama
SA....hehehe....(becanda)

Hendy Laisa: Azmy Alatas> gak pernah tuh ana denger pengakuan begitu.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Harus ada mestinya....bukan SA melulu yang bikin klarifikasi, tapi justru HAA mestinya yang bikin...

Surya Hamidi: Membaca point pertama tanggapan koment, “saya sebagai orang terhina di Ahlulbayt as”

Oh... anda itu ahlulbayt siapa? Ngaku-ngaku ahlulbayt pakai label terhina pula, tapi hidup anda
dihabiskan untuk memecah belah ummat.

Maaf, dulu saya respect sama anda, tapi sekarang sesuai dengan kehendak anda yang anda tulis di point pertama, Anda ini hanya sampah.

Surya Hamidi: Aku pun berlepas diri dari anda karena anda hanyalah sampah yang paling hina.

Surya Hamidi: Belum ada aku melihat sampah yang begitu jijiknya melihat orang lain berkarya.

Surya Hamidi: Salam sampah.

Surya Hamidi: Ingat... aku mengikuti anda bukan sekarang saja. Dulu anda juga menjelaskan pola hubungan khaliq dengan makhluq, anda juga menggunakan analogi yang sama tapi tidak dibantah orang. Namun ketika orang lain yang menggunakan analogi tersebut, anda muter-muter ke angkasa luar untuk membantah analogi yang pernah anda gunakan sendiri.

Jadi sebenarnya anda ini hanya sampah... bukan orang yang ilmiah.

Surya Hamidi: Ini akhir komentku untuk anda Hasad Abu Umar

Firdaus Said: Alhamdulillah ...kalau itu koment terakhir....amiiin....

Margie Ismail: Surya hamidi.. ustadz hasan atau tono?

Hendy Laisa: Style A kok dibawa ke soalan B, ahsan style A dipake hadapi soalan A.

Reinhard Treeanggono: Semua berproses.... bahkan para Nabi dan Imam as.. gak perlu ragu karena cinta seharusnya mengikis keraguan.. salam.

Irsan Fadlullah Al Hajj: Mantabbbsss SA pun pernah marah-marah terhadap buku DADF..... Hadeeech ...... capeekkk dech ....

Hendy Laisa: Sama-sama buku ancur.

Irsan Fadlullah Al Hajj: Kalau ini baru mantabbbb ......

Hendy Laisa: Irsan Fadlullah Al Hajj> Oh udah punya ya antum.

Bintang Az Zahra: SA pun gak berhak menjawab buku SMS ,, kalau ingin tahu dan kurang paham datang lansung ke kantor ABI atau tanya lansung ma yang nulis ,,,

Irsan Fadlullah Al Hajj: Hendy Laisa, Ana blm punya ....

Hendy Laisa: Bintang Az Zahra> Kata siapa gak punya hak? Semua orang punya hak, kalau orang gak berhak jawab buku itu bagusnya diganti aja judulnya.

Reinhard Treeanggono: Mirip sama judul buku ini yaa.. kontennya juga mirip kah ?

Irsan Fadlullah Al Hajj: Dengan yang 1 ini sudah cukup pusing memahami tatabahasanya .... Terlalu tinggi bagi yang belum mengkaji falsafah Aqal.

Bintang Az Zahra: Hendy Laisa...Coba yang punya buku suruh jawab jadi gak simpang siur ,,, koh seneng banget adu argumen lewat dunia maya ..

Reinhard Treeanggono: Seru banget nich,, hehee,, cihuy

Abdul Malik: Yang mau melakukan kritik, saran, diskusi atau apapun namanya, mengenai buku itu dapat langsung ke alamat penerbit yang sudah tertera dalam buku. InsyaAllah kalau tidak bisa memahami akan dipahamkan. Kalau gagal paham itu tergantung pribadi masing-masing.

Abdillah Alcaff: Yang tidak bisa mengkritik/membalas kritikan ustadz Sinar Agama terhadap buku tersebut, ahsan diam. Gak usahlah menjelekkan ustadz SA, dari kemaren ana ga pernah liat tuh, bantahan untuk kritikan ustadz, sudah lumrah suatu buku dikritisi, terlebih membawa nama Syi’ah. Hal ini (mengkritisi suatu buku) sangat mudah untuk dipahami, lalu mengapa pada kepanasan????

Abdul Malik: Akan lebih baik pula kalau ditujukan langsung kepada penulisnya.

Bintang Az Zahra: Ini yang buat postingan kurang gentle ...gak berani negor lansung ma tim penulis ,,,beraninya cuma di kritik ,,,

Abdul Malik: Buku tersebut tidak hanya ditulis satu orang saja. Melainkan hasil musyawarah para ustadz yang tergabung dalam organisasi. Buku tersebut juga mendapat sambutan baik oleh menteri agama. Kalau ada niat baik untuk memperbaiki isi buku itu silahkan datangi pihak yang bersangkutan.. kalau bisanya cuma mengkritik dan memvonis salah, orang yang tidak pernah ‘makan bangku sekolah’ pun bisa.... apalagi cuma modal ngetik di fb....

Andika Karbala: Katakanlah benar meskipun pahit... ABI adalah kebanggan pecinta AB Indonesia tapi dalam hal ini saya setuju dengan Ustadz-SA. Semoga kritikan bisa memberikan dampak positif bagi semua pihak, jangan katakan cerai karena cerai dibenci Tuhan, semoga pecinta AB Indonesia semakin solid dan mencintai ilmu pengetahuan.

Tinta Hitam: Saya sering dengar ustadz-ustadz yang dari Indonesia berkata (untuk menjaga nama baik tidak usahlah kusebutkan namanya), “teman-teman yang belajar di Qom tidak usah lama-lama belajar, selesai s1 sudah cukup. Pulang cepat ke Indonesia untuk mengabdi. Jangan hanya berlama-lama di negeri orang”. Ini sudah hasilnya orang yang hanya beberapa tahun belajar baru disuruh pulang untuk tabligh, bukannya memperbaiki ummat tapi hanya memecah belah ummat, karena belum sempurna apa yang dia pahami tentang sesuatu itu, kemudian dia berani untuk berkoar-koar kesana kemari. Nah orang yang seperti ini yang bahaya.

Abdul Malik: Tergantung persepsi anda.

Bintang Az Zahra: Yang buku tersebut di hongkong ,,,habis ..

Abdul Malik: Bisa pesan lagi buk... ongkir 75 ribu/kg ke Hongkong...

Bintang Az Zahra: Pak Abdul,,,,, kemarin di kirim dari Icc Jakarta.

Abdul Malik: Owww.... iya saya tau. Kalau mau pesen buku lain juga bisa kog. ...

Sang Pencinta: Turut belansungkawa hilangnya penghormatan kepada ulama yang tingkat keilmuannya jauh di atas dirinya itu. Bergetar badanku tatkala membaca ‘sampah’ di atas. Inikah wajah tasyayu di tanah air yang tidak kunjung bisa mengukur bayang-bayang dirinya? Lah mending kalau dia bisa menunjukkan kapasitas dirinya, lah ini hanya mengumpat dan mengolok-olok?!?!
Padahal sadar atau tidak sadar ia pernah bertanya pada yang dikatai ‘sampah’ itu.

Hendy Laisa: Tinta Hitam > Absolutely right, i agree ur comment...brilliant!!!

Abdul Malik: Sampah yang mana nie Sang Pencinta

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Hahaha...asik asik...rame kan...

Abdillah Alcaff: Wong Sinar Agama membahasnya pake perspektif dia, keluar konteks... lantas apanya yang mau ditanggapi? Kalau pake konteks....

Rahman Balakundu: Ini masalahnya SA meyesatkan SMS. Tidak ada hubungannya dengan yang lain-lain....apalagi kaitannya dengan Kebenaran.

Hendy Laisa: @all> Back to status aja kalau mau diskusi.

Azmy Alatas: Hendy Laisa, Bisa tolong dikutip atau tuliskan hal 16-29? Biar enak bahas nya...

Abdul Malik: Bedah buku lebih ajib kalau sama penulisnya, bukan bedah sendiri.

Hendy Laisa: Azmy Alatas, Katanya antum punya bukunya banyak... kutip aja dari buku itu, capek ngetik dikit gapapa lah.

Azmy Alatas: Anda fasilitator kan?

Hendy Laisa: Atau sekedar pelempar isu?

Hendy Laisa: Afwan buku itu hanya ada satu di pihak Itrah, saya gak 24 jam di Itrah.. kebetulan saya malam ini masih di luar jangkauan Itrah, apa salahnya antum Azmy Alatas nukilkan??

Azmy Alatas: Oh, cuma ada 1... saya tunggu antum besok sebagai fasilitator yang baik, dan antum sebagai pelempar isu, hendaknya standby dengan buku tersebut. Paling engga sekarang antum punya taklif untuk menyelesaikannya hingga tuntas.

Sinar Agama: @Neo, Saya ini Sinar Agama, dan siapa saja yang menghubungkan saya dengan orang lain, maka saya mendeletenya dari pertemanan. Tolong jangan diulang lagi. Kemarin karena fokus pada hal lain, maka belum sempat mengingatkan antum. Kalau setelah peringatan ini masih saja hal itu berlaku, maka dengan penuh maaf, kita akan berpisah pertemanan di maya (fb) ini. Afwan.

Sinar Agama: Teman-teman, saya sudah memberikan paparan yang panjang lebar, kalau ada yang tidak benar, maka itu saja yang dibahas. Kalau bisa, hindari kata-kata yang tidak berhubungan, terlebih kata-kata yang tidak diajarkan Ahlulbait as. Malu pada Tuhan, Nabi saww, Ahlulbait as dan tetangga kita.

Biasakan untuk tidak menyempitkan dada. Jangan hanya kalau mengkritik saja bersemangat, tapi tidak mau dikritik. Saya dulu sudah pernah mengatakan bahwa kadang kita yang sudah jadi Syi’ah, kembali kepada yang sebelumnya. Dulu aktif kritik, tapi sekarang aktif menolak kritik.

Kalau diskusi ilmu, maka itu hal yang dianjurkan agama. Niat masing-masing, maka diserahkan pada Allah, toh sebentar lagi kita akan pada mati. Nanti di sana baru akan melihat amal kita masing-masing, semoga kita semua selamat di dunia dan di akhirat kelak, amin.

Dan siapa saja yang masih menghubungkan paling hinanya manusia ini, yakni saya Sinar Agama, dengan orang lain, maka dengan sangat terpaksa saya akan delete dari pertemanan.

Sekali lagi, diskusi ilmu itu, tidak boleh bermuatan politik. Sebab kalau sudah politik, maka akan keluar dari keilmuannya.

Kritik buku, di dunia manapun, sejak jaman Amirulmukminin as, sampai sekarang, tidak harus ke orangnya atau penerbitnya. Kritik tulisan itu, di mana saja, selalu bisa dilakukan di mana saja.

Syaratnya menukil dengan benar yang mau dikritiki. Jadi, tidak ada syarat untuk mendatangi orangnya.



((Bersambung ke : Hubungan Antara Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (4).))