Tampilkan postingan dengan label Syahadat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syahadat. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Agustus 2020

Wahdatu Al-Wujud, bagian 16


seri tanya jawab: Giri Sumedang dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250780354966768/ by Sinar Agama (Notes) on Saturday, September 17, 2011 at 7:01am


Giri Sumedang: Salam kak..mau nanya..

  1. Sejauh mana kita bisa menembus ke-Tuhan-an kita?
  2. Bagaimana (sedikit) gambaran alam ahadiyah?
  3. Bisakah ada pertemuan esensi kemanusiaan dan esensi keTuhanan? Sebelumnya terimakasih ya kak he..senang berteman dengan kakak ku yang pinter.

Dharma Narendra T P, Faqir Man, dan Giri Sumedang menyukai ini.

Kamis, 02 Agustus 2018

Hakikat Kesaksian atau Syahadat Kepada Nabi Muhammad saww (disempurnakan di akhirnya)





by Sinar Agama (Notes) on Saturday, December 4, 2010 at 2:15 am


Anwar Mashadi, bertanya kepada Sinar Agama

Assalamu’alaikum. Tak berlebihan jika kemajuan teknologi (seperti FB ini) mengungkap kebenaran ”lihatlah yang dkatakan, bukan siapa yang mengatakan...” Jika benar demikian maka pondasi utama untuk menguukur dinamika info (sistematis atau semrawut) yang diterima, menurut saya, cuma 1, yaitu argumentasi/akal gamblang, ilmu mudah & istilah semakna lain, (seperti kerap dismpaikan). Soal bagaimana selanjutnya, kembali pada masing-masing orang. Dan saya merasa banyak dapat inspirasi dari catatan-catatan & komen-komen Anda pada diskusi-diskusi yang berlalu. Oleh karena saya setuju dan juga yakin seperti itu, maka ingin juga minta Pak Sinar memmberi penjelasan untuk tanya saya sebagai berikut: 

(1) Meski saya masih haus dengan penjelasan-penjelasan lanjutan atau pendalaman tentang topik-topik tauhid, tetatpi saya minta (kali ini) Pak Sinar juga mau uraikn (secara filsafat dan irfan) tentang 

(2) syahadat ke-2: Muhammadar Rasulullah, lalu shalawat, salam pada Nabi saw, assalamu’alaina wa ’ala ibadillahissholihin, dan salam wr.wb. (Bacaan tasyahud akhir dalam fiqih/syariat Islam yang saya yakini. 

(3) Teks Ilahi, wahdini limahtulifa fihi minal haqqi bi-idznika, innaka tahdi man tasya’u ila shirotim mustaqim... 

Sinar Agama: Salam, tolong pertanyaannya diulang lagi dengan penomeran yang jelas. Terimakasih. Pertanyaannya saja, yang pertama tanya apa, ke dua juga begitu dan seterusnya. 

Anwar Mashadi: Salam, 

1. Pak Ustad, minta penjelasan tentang makna dan maksud Muhammadarrasulullah (sebagai sahadat ke-2 dalam tasyahud). 

2. Minta penjelasan tentang makna dan maksud shalawat dalam tasyahud. 

3. Minta uraian tentang makna dan maksud assalamu’alaika ayyuhannabi wr.wb. 

4. Mohon uraian tentang makna dan maksud assalamu’alaina wa ’ala ibadillahish-sholihiin. Dan assalamu’alaikum wr.wb. Terima kasih. 

Sinar Agama: Bismillaah. Salam. Nah, Sekarang baru mantap dan tidak ragu lagi terhadap pertanyaannya. Semoga jawabannya bisa mantap juga, sekalipun saya ragu tentang hal itu. 

1. Kesaksian lengkap kita kepada Nabi saww adalah "Aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hambaNya dan rasulNya" 

a. Kesaksian ini didahului dengan kesaksian terhadap kebudakan beliau saww kepada Allah. Dan hal ini adalah membuat beliau saww lebih menyukainya ketimbang mendahulukan kerasulannya terlebih dahulu. Mungkin, karena beliau ingin selalu tawadhu dihadapan Tuhannya dan segenap makhluk. Begitu pula, ingin mengajarkan kepada kita bahwa nilai terpenting itu adalah kehambaan seseorang. Yakni tanpa kehambaan, maka tidak mungkin seseorang itu mencapai maqam apapun, termasuk kenabian ini. 

b. Karena kenabian itu dicapai dari penghambaan (ketaatan mutlak), mk dapat dipahami bahwa kerasulannya itu dicapai dengan usaha, bukan karena pengangkatan yang semacam dilotre/diundi oleh Tuhan yang namanya keluar dalam undian itu. Atau bukan juga karena dadanya dibedah dan dikeluarkan syetannya sampai dua kali atau beberapa kali seperti di sebagian riwayat saudara kita ahlussunnah. 

c. Bahwa arti sesungguhnya hamba itu adalah ketidak ketidakpemilikan apapun (sekalipun dirinya sendiri) dan kepemilikan maula atau tuannya secara penuh. Jadi bukan hanya taat. Tapi tidak memiliki apapun karena pemiliknya adalah tuannya yang, dalam hal ini adalah Tuhannya. Jadi, Nabi saww itu sudah sampai ke tingkat ketidak merasa pemilikan apapun. 

d. Ketidakpemilikan apapun secara mutlak, adalah ke-fanaa’an mutlak. Jadi, Nabi saww berarti sudah jelas, bahwa sebelum menjadi rasul sudah sampai ke derajat fanaa’ dan fanaa’ dalam fanaa’, yakni ketidak ketidakmerasaan terhadap fanaa’ atau ketiadaannya itu sendiri. Hal ini, jelas menguatkan konsep filsafat dan Irfan. Jadi dalam syahadat tsb tersembunyi pelajaran filsafat dan irfan yang tinggi dan meyakinkan. 

e. Fanaa’ adalah maqam yang dicapai manakala orang sudah sampai ke Akal-Pertama dan tidak merasakan ke-Akalan-Pertamanya itu. Fanaa’ dalam Fanaa’ adalah ke-tidak- merasaan terhadap kefanaa’an atau ketiadaannya itu sendiri. Karena kalau seseorang itu masih merasa Fanaa’, berarti dia masih memiliki diri hingga ”merasa” tiada. Jadi Fanaa’ mutlak adalah ”Ketidak merasaan diri sekalipun dalam ketiadaannya sekalipun”. 

f. Sekali lagi, bahwa dalam syahadatain saja sudah terdapat pelajaran filsafat dan Irfan yang tinggi. Maksud saya bahwa hal seperti ini, yakni ilmu filsafat dan Irfan ini, atau yang biasa dikenal dengan makrifah ini, adalah ilmu yang diajarkan Islam. Namun, karena tidak semua orang memahaminya, maka secara lahiriah cukup dengan penyaksian akan kahambaan dan kerasulan beliau saww, tanpa harus berfikir dalam hubungan keduanya, yakni kehambaan dan kerasulan tersebut. 

g. Tentang tidak dibedahnya dada Rasul saww itu, karena kalau dibedah berarti keham- baannya itu tidak berfungisi sebagai sebab kerasulannya. Hal itu karena apapun ketaatan Nabi saww, baik sebelum atau sesudah kenabian, adalah akibat dari pencucian terhadap hatinya yang dioprasi malaikat Jibril as itu. Artinya ketaatannya karena kesucian hatinya, dan kesucian hatinya karena dicuci Jibril as, serta pencucian Jibril as karena diperintah Allah. Ini semua akan menghasilkan bahwa ketaatan Nabi saww adalah karena dipaksa Allah, bukan karena Ikhtiarnya. 

h. Kalau kebaikan Nabi saww karena paksaan Allah, maka sudah tentu beliau saww tidak layak lagi menjadi Uswatun Hasanatun. Karena yang lain melakukan segala perbuatannya dengan ikhtiarnya sendiri, artinya dengan hati yang kotor dan banyak syetannya, sedang Nabi saww dengan hati yang sudah dibersihkan. Jadi perintah bahwa kita harus mengikuti Nabi saww, adalah perintah yang akan menjadi perintah di atas kemampuan manusia. Karena manusia manapun tidak akan mempu menirunya, karena pencucian tadi. Dan kalau dikatakan bahwa kita diperintah mengikuti sebagiannya, maka kata-kata ini adalah karangan yang tidak ada sumbernya. Karena perintah mengikutinya itu adalah mutlak, bukan ”Ikuti Rasul saww semampu kalian”. 

Dan begitu pula, kalau ternyata ada yang mampu mencontohnya, walau dalam per- buatan kecil saja, maka orang tersebut akan melebihi pahala Nabi saww dalam hal tersebut. Karena si pengikut mengikutinya dengan modal nol dan dada kotor yang banyak syetan, artinya banyak melalui liku-liku jihad besar dan kecil, sementara Nabi saww tinggal lakukan saja. Jadi, mutu dan bobot perbuatannya, pasti lebih berat yang menirunya. Jadi, sudah selayaknya kalau dia yang mesti dicontoh Nabi saww, bukan sebaliknya, na’udzubillahh. 

i. Kalau saya menulis tentang Fanaa’, dan ada pembaca yang ingin tahu seluk beluknya, maka harus merujuk ke tulisanku sebelumnya, yaitu tentang Wahdatul Wujud dari bag 1-6 

j. Jadi maqam penghambaan itu bisa dikatagorikan dua tingkatan: Pertama maqam taat mutlak kepada Allah. Ke dua, melihat dirinya tidak memiliki apapun dan melihatnya semua yang ada pada dirinya adalah milikNya. Baik kepemilikan itu yang defakto, atau yang dalam amalan. Artinya ketaataannya itu hanya dikarenakanNya karena memang tetap milikNya, bukan milikNya yang dipinjamkan ke kita lalu penggunaannya kita niatkan untuk mendapat PahalaNya. Jadi tingkat inilah yang akan mengantar manusia ke maqam Fanaa’ itu. 

2. Tentang shalawat kepada Rasul saww 

a. Shalawatnya berbunyi “Allahumma Shalli ‘Ala Muhammadin wa aali Muhammadin”. 

b. Shalawat itu memiliki, setidaknya dua makna. Pertama memintakan kesejahteraan untuk Rasul saww dan keluarga sucinya dimana shalawat ini adalah shalawat kita dan para malaikat. Ke dua, memberikan kesejahteraan kepada Nabi saww dan keluarganya yang suci dimana shalawat ini adalah shalawat Tuhan. Karena dalam QS: 33: 56 diterangkan bahwa Allah dan para malaikat bershalawat kepada beliau saww, dan memerintahkan kita semua untuk bershalawat kepada beliau saww. 

c. Sebenarnya, permintaan shalawat kita kepada Allah untuk Nabi saww dan Ahlulbaitnya itu, adalah sesuai dengan derajat masing-masing orang. Karena kesejahteraan itu memiliki tingkatan yang terbentang dari kesejahteraan Dunia, Barzakh yang memiliki ribuan tingkatan, dan Akal yang juga memiliki ribuan tingkatan, serta Asma-Asma Allah yang juga memiliki ribuan tingkatan. 

Sebagaimana yang telah diterangkan di Wahdatul Wujud (bab-bab sebelumnya), alam ini memiliki tiga tingkatan global, Materi, Barzakhi (tempat surga-neraka) dan Akli/Aqli. Barzakhi dan Akli/Aqli tentu saja memiliki ribuan tingkatan. Jadi permintaan masing- masing orang, tidak akan melebihi kapasitas dirinya sendiri. Seperti orang yang ingin rejeki yang dipanjatkan dalam do’a pengemis, tukang kebun, pegawai tingkat 1 A, 3 A, bupati, mentri, presiden, konglomerat....dst. Artinya, ketika masing-masing orang berdo’a, maka yang akan tergambar dalam dirinya adalah apa-apa yang ada dalam dirinya. Jadi, kapasitanya itu menentukan isi dan muatan doanya tersebut. 

d. Ketika do’a seseorang tidak akan melebihi kapasitas ilmu dan taatnya (sebagai ukuran hakiki tingkatan manusia), maka sudah tentu semua tingkatan kita akan berada jauh di bawah tingkatan Nabi saww. Kalau demikian halnya, sama dengan memintakan Nabi saww kepada Allah uang satu rupiah sementara Nabi saww memiliki seluruh isi dunia ini. Berarti doa kita itu tidak ngangkat/ngatrol dan tidak akan memadahi. 

e. Mengapa berdo’a itu ditentukan kapasitas seseorang, dan bukan ditentukan bayangan- nya, hingga serendah apapun seseorang itu akan bisa mengkhayal ketinggian yang tertinggi sekalipun? Jawabnya adalah, 

Pertama, karena khayal yang akan dikhayalkan itupun tidak ada. Bagaiamana seseorang bisa mengkhayal kalau belum pernah melihat dan mengkasyafnya? Paling-paling hanya berupa lamunan gelap yang diringkas salam ”setinggi-tingginya”. 

Ke dua, karena do’a dalam kacamata hakikat dan filsafat adalah bukan bacaan do’a. Yakni bukan yang dilontarkan lewat hati dan mulut saja, karena itu, namanya membaca do’a atau berkretek do’a (do’a di hati). Sedang berdo’a, adalah ”Kehendak hati yang disuarakan lewat mulut dan diusahakan pencapaiannya lewat aplikasi dari isi ucapan atau do’anya itu”. Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa do’a masing-masing orang akan sangat ditentukan dengan kadar ilmu dan taatnya. 

f. Karena kita lebih rendah di bawah Rasul saww dan Ahlulbait as, maka do’a kita dan shalawat kita, tidak akan pernah mencapai diri mereka as. Karena tingkatan mereka as sudah di atas surga, di atas al-Lauhu al-Mahfuzh, di atas Akal-Pertama, di Asma-Asma tertinggi Tuhan yang, bahkan para anbiyaa’ dan rasul lainpun as tidak menjangkaunya. 

g. Kalau shalawat kita tidak naik kecuali di tingkatan kita dan tidak akan bisa menyentuh Nabi saww dan Ahlulbait as, maka untuk apa Allah mewajibkan kita shalawat kepada mereka as? Jawabnya bisa dari berbagai segi. 

Pertama, supaya manusia tetap punya hubungan dengan mereka as. Karena hubungan ini, walau hanya hubungan ingatan saja, atau di tinggakatan tajalli yang lebih rendah, akan tetap bermanfaat bagi kita, karena keingatan kita akan membuat semakin mencintai dan meniru mereka as. 

Ke dua, supaya kita tidak putus asa dalam menjangkau maqam tertinggi. Artinya Allah tidak pilih kasih kepada siapapun dan semua yang mencapai maqam tertinggi itu adalah hasil usahanya sendiri. Jadi semua manusia bisa berusaha mencapai maqam mereka as sekalipun. Artinya pintu tetap terbuka, walau Tuhan tahu tidak akan ada orang yang akan melebihi usaha mereka as. Akan tetapi, yang penting, Tuhan menyatakan bahwa maqam-maqam itu terbuka bagi siapapun. 

Ke tiga, supaya kita selalu berusaha mendekati mereka as. Artinya dengan merasa mengantarkan do’a sejahtera, akan membuat kita semakin dekat dengan maqam mereka as. Allamah Thaba Thabai ra mengatakan, ibarat kita berjalan di pinggir kebun bunga milik mereka as, dan karena kita mencari alasan untuk mendekati mereka yang sedang duduk-duduk di tengah kebun bunga mereka itu, maka kita beralasan dengan memberikan bunga kepada mereka as. Akan tetapi bunga yang kita petik dari kebun mereka as sendiri. Jadi, mengantar bunga yang juga miliki mereka kepada mereka, adalah alasan kita mendekati mereka. 

Ke empat, tentu saja kedekatan atau semakin dekatnya derajat kita kepada mereka, akan menaikkan derajat kita sendiri, bukan derajat mereka. Dan derajat ini, sudah pasti derajat hakiki, bukan kesepakatan seperti derajat presiden. Tapi hakiki yang membuat kita yang semakin dekat, benar-benar semakin menguat tingkatan kewujudan kita. 

Ke lima, shalawat kita itu adalah tawassul kita dengan meraka as kepada Allah swt. Jadi dalam do’a kita kepada mereka as itu terdapat bobot hakikat tawassul, bukan do’a, atau setidaknya bukan bobot do’a semata. Yakni supaya kita dilirik oleh mereka as dan disyafaati. Jadi, shalawat kita itu bukan sumbangan kita kepada mereka, tapi sumbangan kita pada diri kita sendiri. 

Ke enam, sebagai penguat dari yang sebelum-sebelumnya, adalah suatu kenyataan bahwa guru akan memiliki seluruh pahala muridnya yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya. Nah, karena mereka as adalah guru kita semua, maka apapun yang kita lakukan, termasuk shalawat ini, maka pahalanya akan mengalir kepada mereka as juga. Dengan demikian, maka anggaplah bahwa shalawat kita berpengaruh kepada mereka as, maka tetap hal itu merupakan pahala mereka as sendiri, bukan sumbangan kita. 

Ke tujuh, mungkin dengan hakikat ke enam ini maka shalawat itu akan mengalir kepada mereka sesuai dengan derajat mereka as sendiri. Artinya karena mereka mengajarkan shalawat kepada kita di tingkatan yang paling rendah sampai kepada tingkatan yang paling tinggi, maka sekalipun kita hanya melaksanakan di tinggkat yang paling rendah, tapi mereka as akan tetap mendapatkan yang paling tinggi tersebut, karena pahalanya disesuaikan dengan derajat mereka as sendiri. 

Ke delapan, kemungkinan ke tujuh itu, bagi alfakir ini sangat kecil, karena pelaksanaan yang dibawah tetap tidak akan mengusik yang di atas. Jadi, kemungkinan besarnya adalah tetap bahwa mereka as, tidak tersumbangi oleh kita dengan shalawat itu, akan tetapi malah kita dan para nabi sebelumnya yang tersumbangi dengan perintah shalawat ini. yakni dengan memgambil barakah dari mereka as. 

Ke sembilan, ketika semua derajat dibawahnya tersumbangi dengan shalawat yang dibawahnya kepada mereka as yang diatanya, maka hal ini cocok sekali dengan QS: 21: 107, bahwa Nabi saww (termasuk Ahlulbait as karena dirinya adalah diri mereka) adalah rahmat bagi segenap alam atau alam-alam. 

h. Ketika shalawat itu diwajibkan ke atas kita untuk mensholawati Nabi saww dan Ahlulbaitnya as, maka sudah tentu terdapat hikmah di idalamnya) Dan beberapa diantaranya sudah dijelaskan di poin sebelumnya. 

g. Oleh karena itu sangat diherankan bagi orang yang bershalawat kepada keluarga Nabi saww, akan tetapi tidak menghormati mereka as dan tidak pula mengikuti mereka as. tp bahkan mengikuti yang memerangii mereka as. 

Peringatan
kalau saya lagi nulis, maka saya tidak bisa melihat tulisan teman-teman yang di sela-sela, karena memang tidak kelihatan, jadi saya akan menulis terus sebelum lelah, dan akan keluar, lalu setelah itu masuk lagi maka akan ketahuan tulisan teman-teman dan baru nanti saya komentari lagi, in syaaAllah. 

3. Tentang salam pada Nabi saww dalam tasyahud shalat kita 

Seyogyanya, dalam shalat, sang pelaku sudah sampai ke tingkat Fanaa’ dalam Fanaa’. Artinya, kalau shalat seseorang itu khusyuk, maka dia tidak akan melihat apapun kecuali Allah. Dunia haram, lewat. Dunia halal, lewat. Kasyaf neraka, lewat. Kasyaf surga, lewat. Kashaf al-Lauhu al-Mahfuzh, lewat. Kasyaf ’Arsy Allah, lewat, Kasyaf Akal-Akal atau Malaikat tertinggi, juga lewat. Kasyaf Akal-Pertama, juga lewat. Jadi yg(yang) tersisa adalah Asma-AsmaNya sesuai dengan derajat kemampuannya menyerapi Asma-Asma tersebut. 

Ketika shalat itu seperti itu, maka sudah pasti pelaku sholatnya sudah mencapai Fanaa’ dan bahkan di atasnya. Mencapai Fanaa’ berarti ia lupa akan segalanya, selain Tuhan. Nah, ketika sudah selesai shalatnya, maka harus turun lagi ke alam materinya, supaya bisa hidup secara sosial sebagaimana mestinya orang hidup. 

Nah, ketika harus turun itulah kita harus berakhlak. Dan akhlaknya sudah tentu tidak mengucap salam kepada Allah, karena Allah adalah Hakikat Salam itu dan tidak terbatas dan tidak perlu dido’akan dengan keselamatan. Jadi, untuk turun ke bumi lagi, harus berpamitan dulu dengan maqam tertinggi setelah Allah. Itulah maqam Nabi saww. Jadi, kita harus mengucap salam dulu kepada beliau saww sebagai tanda ingin pamit turun ke bumi dan kehidupan lagi. 

4. Tentang salam kepada kita-sekalian " 'alaina" dalam shalat 

Setelah kita mengucap salam kepada Rasul saww sebagai maqam tertinggi, maka dalam kelanjutan proses turun ke bumi lagi, maka seorang yang Fanaa’ akan ingat dan menyadari kembali terhadap keberadaan dirinya lagi. Bagitu pula lingkungannya orang-orang yang terbang dalam kesempurnaan itu. Jadi Allah menyuruh kita untuk mengucapkan selamat atau do’a keselamatan kepada diri kita sendiri dan para penerbang yang terbang ke derajat kamal atau kesempurnaan itu. 

5. Tentang salam kepada "kamu sekalian" dalam shalat 

Adalah, setelah kita mengucap salam-akhlak kepada Nabi saww, dan salam-do’a kepada diri kita dan lingkungan kita yang ada di alam dan maqam tinggi itu, yakni di ketinggian ”Sadar” setelah Fanaa’ itu, dimana masih tetap maqam yang tinggi, dan sekarang mau hidup lagi di muka bumi atau materi yang posisinya lebih rendah secara derajat, maka kita mengucap salam kepada alam materi yang akan dimasuki ini. 

Jadi, salam kepada Nabi saww adalah salam-akhlak sebagai salam pamitan, salam kepada diri sendiri dan para penerbang lain di maqam itu adalah salam-do’a sebagai do’a kelanggengan dalam maqam tersebut yang juga berfungsi sebagai penyadar terhadap adanya diri kita dan orang-orang yang ada di tingkat itu, dan salam kepada kamu sekalian adalah salam kepada alam materi semuanya sebagai tanda masuk dimana terhitung akhlak ijin masuk dan doa kepada alam materi semuanya. 

Wassalam, semoga bermamfaat untuk dunia-akhiratku dan segenap pembaca. 

Pertanyaan: Apakah perlu tulisan ini dibuat catatan dan ditag ke antum-antum semua sebagaimana biasa???? 

Anto Cicak: Salam wa Rahmah bagi kita semua...., Melalui kemuliaan Muhammad dan keluarga sucinya, semoga Allah selalu memberikan Rahmat-Nya kepada kita semua...afwan, saya mengikuti pertanyaan dan jawaban ini, sangat mencerahkan ditambah dengan penyabaran yang logis dan menarik. ada baiknya, apa bila dibikin note sendiri ustadz...sehingga memudahkan untuk di share dan disave... wassalam. 

D-Gooh Teguh: Menurut istilah Jawa kerasulan dan sebagainya adalah ”Tumbu Ketemu Tutupe”. Jawaban berkali-kali alangkah baiknya jika disatukan dalam sebuah note. Tetapi sebaiknya tidak dengan sistem ”kiriman ke-x” karena untuk note yang sama sepertinya bisa men-tag sebanyak fren yang ada. Dengan demikian seluruh komen dan pertanyaanpun menyatu hanya di sebuah note dan tidak tersebar. 

Sinar Agama: A-C: ok terimakasih. 

Sinar Agama: Bisa diajari cara mentag ke semua teman? Wahai mas Teguh, maklum ana awam nih bener nih tentang fb, terimakasih. 

Penyempurnaan

Karena derajat ilmu, baik Hushuli atau Hudhuri setiap orang berbeda-beda, begitu pula dalam penghudhuriannya itu berbeda-beda sesuai dengan aplikasi masing-masing, maka sudah tentu kesaksian dan syahadat itu juga bertingkat. Secara global sebagai berikut: 

1. Kesaksian awam, alias kesaksian taqlid. Yakni yang imannya kepada Nabi saww dan apalagi kedudukannya, masih berupa kepengikutan terhadap atau kepada orang lain. Baik orang yang diikutinya itu adalah orang tua, guru atau makshumin as sekalipun. Jadi, orang seperti ini belum memahami dalil-gamblangnya kenabian Nabi saww dan apalagi kedudukannya. 

2. Kesaksian di atas awam. Kesaksian ini sudah disertai argumentasi terhadap kenabian Nabi saww. Tapi ilmunya masih memiliki kesemrawutan dan tidak rapi. Apalagi terhadap kedudukan Nabi saww, mungkin orang seperti ini sama sekali tidak mendengarnya. 

3. Kesaksian sedang. Yaitu yang kesaksiannya sudah disertai dengan dalil. Namun masih berupa dalil yang sopan yang biasanya disertai dengan taqlid. Biasanya orang seperti ini sudah mendengar tentang kedudukan Nabi saww, tapi masih global pula. 

4. Kesaksian Lumayan. Yaitu kesaksian yang sudah dibarengi dengan dalil yang gamblang yang telah mengalahkan keliaran dan ketidaksopanan sebelumnya. Biasanya orang seperti ini mementingkan dalil, dan tidak tunduk terhadap adat dan adab dalam berfikir. Memang, dia beradab dan beradat, yaitu dalil-gamblang. Memang orang seperti ini tidak kurang ajar terhadap orang lain, akan tetapi karena ketidak ketidakterikatannya kepada selain dalil, seperti guru, lingkungan, pengalaman, sejarah....dst, maka dia akan digolongkan oleh umat sebagai orang yang liar dan kurang sopan. 

5. Kesaksian agak tinggi. Yaitu yang dibarengi dengan dalil-dalil akal-gamblang terhadap kena- bian Nabi saww dan juga kedudukannya secara arif (berdalil), yakni maqam irfaninya Rasul saww. Dalam hati gelapku ini, mengatakan, bahwa yang memahami tulisanku ini, maka ia telah mencapai kesaksian yang agak tinggi ini. Ya ...Allah aku berlindung dari keburukanku sendiri kepadaMu yang Maha Melindungi Yang Mau Dilindungi. 

6. Kesaksian tinggi. Yaitu kesaksian yang dibarengi dengan penghudhurian tingkatan-tingkatan sabelumnya, terkhusus tingkatan ke 5 di atas ini. Karena semua tingkatan sebelumnya adalah tingkatan ilmu Hushuli atau kesaksian Hushuli yang berupa Aksidental. Yakni yang bisa pergi kapan saja kondisinya berubah. Nah, ketika kita mati, maka ruh kita akan menjadi non materi dan di non materi sudah tidak ada lagi ilmu-Hushuli itu. Jadi kesaksian itu tidak akan tersisa ketika kita mati nanti. Dan kesaksian yang ke 6 ini akan tersisa. Hal itu karena ianya telah menjadi hudhuri, yakni telah menjadi bagian substansi kita yang baru. Oleh karenanya akan terbawa mati dan ke alam akhirat kelak. 

Memang, karena kita juga menaati Rasul saww dalam kehidupan ini, maka kesaksian-kesaksian itu, dalam tingkatan masing-masingnya itu, akan terpengaruh oleh sejauh mana kita menaati Rasul saww, dan yang tertaati sampai mati itulah yang akan tersisa setelah kita mati nanti. 

Dan karena amalan dan aplikasi itu memiliki milyaran tingkatan dan landasan, baik secara lahir dan batinnya, maka sebanyak itu pula tingkatan kesaksian ini. Jadi, tingkatan itu terbentang dari sejak Materi sampai Barzakhi dan Akli, yakni Nasut, Malakut dan Jabaruut. Dan sekalipun sudah di atas Fanaa’, maka di sana masih terdapat milyaran tingkatan lagi. Yaitu di tingkatan Asma-asma) Allah swt. 

Memang, seorang wali dan nabi, setidaknya harus mencapai tingkatan Akal-Pertama dan iapun harus Fanaa’ di sana. Yakni batas pelanglangan kemakhlukan dalam kemakhlukan memang berakhir di Akal-Pertama itu. Akan tetapi di tingkatan Asma-asma Allah, masih terdapat milyaran tingkatan lagi. Dan tinggakan di sana justru jauh lebih banyak dan beragam dari tingkatan ke-tiga alam tsb. Dan, sudah tentu di sana tidak ada keseragaman dan akhiran dari pelanglangannya. Dan, di sana Kanjeng Nabi saww dan Ahlulbait as, tidak bisa disaingi oleh yang lainnya. 

Ya ...Allah....sudahkah kusebut AsmaMu, sudahkah aku mencintaiMu semata, sudahkah aku menyaksikan NabiMu saww, sudahkan aku berteduh di naungan Ahlulbait NabiMu as, sudahkah...sudahkah....Oh...sudahkah aku di Karbala HusainMu, sudahkan aku mengalir dalam darah HusaiMu yang dikorbankan, sudahkan aku tergorok hingga egoku terkubur bersama egoku,...sudahkah...sudahkah aku.....aku....aku....ya Tuhan.... ya Tuhan.... 

Anwar Mashadi: Syukran.. terima kasih..! 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua dan jempolnya serta komentarnya, semoga kebahagiaan antum semua dapat menghangatkanku di kuburanku kelak. 

D-Gooh Teguh: Wow... melanglang buana kemana-mana alam pikir dan khayalku... jauhnya diri dari yang diurai di atas... liarku masih mendominasiku. Jadi malu.... Semoga bisa menjadi debu di kaki para penapak jalan spiritual sejati yang menemui rasulullah saaw dan ahlulbaitnya as. Tak berani berharap terlalu banyak untuk menjadi sekadar debu di kaki makshumin. Mohon doanya untuk kebaikan akheratku. 

Akalku jauh meninggalkan diriku yang masih bergelut dengan keliaran kehidupan. :-(( 
Btw, bentuk pengiriman berkali-kali is oke saja... matur nuwun atas segala pencerahannya. 

Ksatria Alamaya: Sukron katsir. Allahumma sholli ’ala Muhammad wa ali Muhammad waajjil farojahu. 

Sinar Agama: Sekali lagi salam dan terimakasihku kupersembahkan untuk para teman atau saudara/i, semoga keridhaan dan kebahagiaan antum bisa menjadi selimutku dalam menhadapi dinginnya kuburku kelak. 

Sinar Agama: Untuk Mas Teguh, habisnya antum nggak ngajari-ngajari aku cara mentag untuk teman-teman biasanya minta ditag, katanya bisa ditag kesemua temen, tapi aku tanyakan ke antum, eh malah antum tidak jawab, jadi kukirim seperti biasa. Atau jangan-jangan antum sudah jawab disana tapi sayanya yang belum lihat? Btw, udah juga kelanjur, dan btw kalau memang ada cara mentag ke semua teman, maka terimakasih sekali kalau aku diajari. 

D-Gooh Teguh: Gak papa kok ustadz. Malah jadi baca berkali-kali. Jadi semakin lebih memahami. Saya pernah menulis dan men-tag ke banyak orang bisa. Standar saja. Di bagian tag nulis semua fren yang ingin di-tag. Tetapi no problemo. Malah jadi terundang untuk membaca berulang-ulang. Tulisan ustadz tidak cukup hanya dibaca sekali dua kali. Makin dibaca makin melayang-layang. 

Makin mengasyikkan. Kadang di pembacaan ke-X makin bisa memahami maksudnya. Tentunya dugaan dan pemahaman sesuai kapasitas diri saja yang mungkin salah mungkin benar. 

Sinar Agama: he he he akhirnya jawab juga, tapi aku belum paham, betul nih, karena yang kupahami untuk semua itu adalah tulisannya nongol di publikasi umum, tapi tidak nongol di akun teman-teman yang bisa minta di tag, akhirnya aku jadi malu nih kalau memang masuk ke akun antum secara berulang...wah....kirain tidak masuk ke akun...ghimana nih,,,taubat dan ampun nih kalau ghitu...hem... 

D-Gooh Teguh: [Write A Note] 

Title: 
Body: 
TAGS: ..........(ketik nama frend yang hendak ditags then klik done) Photos: agar lebih menarik diberi gambar yang suai dan tepat. 
Privacy: jika dipandang boleh dibaca seluruh orang (fren maupun bukan dan seterusnya), fren only, dan pilihan lainnya sesuai yang diinginkan. 
[Publish] [Preview] [Save Draft] [DIscard] 
Karena saya sering komen/tanya di status maka muncul di wall saya banyak pula. Tetapi hal ini tidak masalah sedikitpun. Kemarin masalah hanya karena saya lupa mengkomen di pengiriman keberapakah. Jadinya tidak dalam satu note dan tersebar. Padahal seringkali pertanyaan fren lain bisa memperkaya. Sayang jika terlewatkan. 

Sinar Agama: D-G-T: sepertinya yang antum ajarkan itu yang aku lakukan selama ini, btw berarti tag-nya tidak bisa langsung kesemua orang. Dan karena banyak yang minta ditag, maka terjadilah beberapa pengiriman. Oleh karenanya kalau tidak mau pusing, komentar aja yang ada di akun antum, jangan di beranda umum. Tapi bagi ana sih, nggak masalah, hanya antumnya yang bisa pusing-pusing sikit, hem... 

Tapi kalau memang ingin memperkaya dari komentar-komentar yang ada, jadinya ya....terpaksa antum membaca komentar di semua kiriman, masih mending ketimbang ana, yang biasanya habis nulis harus ngedit dulu karena tulisannya berjerawat banyak sekali tanda span, sampai mata ini mendelik-mendelik mencari dan menghapusnya, setelah itu masih harus ngirim lagi beberapa kali ke peminat dan pelanggan. Belum lagi nanti di akhriat kalau keliru yang disebabkan sejarah diri, ego, ngentengin orang lain,...dst, maka tinggal nunggu pentunganNya dan para tentaranya yang bernama malaikat. Jadi, hitung-hitung harus bersabar, kalau memang tidak bisa dicari jalan lain yang lebih mudah...hem...hari ini saja, hanya menangani pertanyaan pribadi, tulisan ini dan komentar di ust M Labib tentang keterikatan Tuhan terhadap hukum kausalitaspun sdh(sudah) memakan hampir 19 jam tanpa istirahat kecuali makan, ke kamar kecil dan shalat. Do’akan semua, do’akan,,,semoga semuanya menuju ke kemanisanNya dan/atau setidaknya ke pengampunanNya, amin. 

Eh ...sekitar 14 jam, bukan 19 jam, afwan 

D-Gooh Teguh: IC... dengan senang hati berpusing-pusing kok. Insyallah manfaat bagi kita semuanya. Dedikasi-nya insyallah akan dilirik oleh makshumin seluruhnya. Berkah untuk kita semuanya baik yang komen maupun yang tidak. MLM Ilmu dan Pahala. 

HenDy Laisa: Terimakasih tagnya..salam..izin share ya... 

Sinar Agama: D-G-T: Terimakasih atas perhatian dan do’anya, semoga Tuhan medengarnya, amin. Karena Tuhan Samii’u al-du’a’, yakni Maha Mendengar Doa, yakni Maha Mengabulkan Doa. 

Sinar Agama: Hendi: salam, silahakan gunakan tulisanku untuk kebaikan apa saja, selain bisnis. 

Sinar Agama: Y-A: ok sama-sama, tolong konfirmasi setiap ada tagku walau hanya jempol, terimakasih. 

Fayroz Chaneman: Salam warahmah ,, Sangat banyak Terimakasih “Sinar Agama” yang sudi menyertakan aku di majlash ini** 

Betapa dahsyatnya “Shalawat” kita sangat berkepentingan Sehingga Rosulullah saw mengingatkan & bersabda; “Doa akan selalu terhalangi Sehingga ia bershalawat Kpd~Ku (Kifayatul Atsar; 39 )** Imam Ali bin Abi Thalib sa berkata; “Semua Do’a akan terhalang sehingga ia berShalawat kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad” (Majma ‘Uz Zawaid, 10, 160)** 

Sinar Agama: Salam dan terimaksih untuk semua dan semua jempol serta komentnya. 

Sinar Agama: F-C: semoga kebahagianmu dan teman-teman lainnya dapat menjadi selimutmu di kuburan nanti dari rasa dingin yg mencekam. Banar, betapa bermaknanya shalawat kita dan aplikasi dalam kehidupan kita, kubur dan bahkan akhirat kelak. 

Bin Ali Ali: Syukran katsir ya ustadz............. 

Rizal Alwy: Allahumma sholi ala Muhammad wa ala ali Muhammad, alhamdullilah sukron Ustad. 

Sinar Agama: Bin Ali dan M Rizal, terimakasih atas terimakasih serta senangnya, karena itu yang kuharapkan menjadi temanku di kesepian kuburku besok. 

Malik Al-Asytar: ALHAMDULILLAH SANGAT BERMANPAAT NEH... SUKRON UDEH MAO BERBAGI... ALLAHUMMA SHALLI ALA MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD... 

Sinar Agama: Ahlan al-akh Malik. 

Gunawan Harianto: Yaa Allah...senangnya diriku duhai Guru setelah membaca tulisan antum ini... kesenanganku bercampur rasa haru karena dari beberapa point di atas juga menjadi tanyaku selama ini terjawab sudah... semoga Allah selalu memberikan Rahmatnya kepada Guru... terima kasih atas sedekah guru untuk kami di sini, semoga menjadi amal ibadah guru kepada Tuhan semesta alam... 

Guru... saya pernah mendapatkan pertanyaan seperti ini : ”makna bersaksi adalah melihat/ berjumpa, ibarat dalam ilmu hukum saksi adalah yang mendengar, menyaksikan kejadian / perkara.. jika tidak ada syarat tersebut maka saksi tersebut dikatakan sebagai saksi palsu... lalu kaitannya dengan menyaksikan Ar Rasul saw sendiri padahal kita belum pernah berjumpa beliau secara fisik... lalu bagaimanakah tentang kesaksian kita tersebut?? 

Sudilah kiranya guru memberikan jawaban kepada diri yang pandir ini... Jazakumullah khairan katsiron... 

Dino Aja: Salam wa rahmah ... Ya ustadz sungguh pelajaran yang sangat berharga buat saya yang pemula ini , saya bahagia dan terharu membaca tulisannya ustadz, apalagi di bagian akhir kata-kata antum, sehingga membuat dada ini berdetak keras dan air mataku pun mengalir, saya berharap antum tidak bosan-bosan untuk selalu mentag saya. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad wa ajjil farajahum. 

Sinar Agama: Gunawan-H, 

(1) Terimakasih atas komentar dan perhatian serta do’anya, semoga sejuta kali lipat kembali meliputi antum dan para teman yg lainnya, amin. 

(2) Sebenarnya, dalam tulisanku di atas itu sudah tertera secara inplisit dari apa-apa yang antum tanyakan itu. Kesaksian bagi seorang hakim adalah yang melihat dan mendengar dan kalau tidak demikian, maka kesaksiannya menjadi palsu. Ini benar. Mengapa demikian? Karena sang hakim adalah manusia yg tidak mengerti batin seseorang. 

(3) Hal ini jelas beda kalau kesaksian itu di depan Yang Maha Tahu Ghaib. Karena kesaksian di sini bukan untuk memberi informasi kepadaNya bahwa Muhammad saww adalah RasulNya. Akan tetapi justru kita ingin menyatakan kepadaNya bahwa kita telah beriman kepada kerasulan beliau saww. 

(4) Karena kita mau menyatakan keimanan kita terhadap kerasulan beliau saww itulah maka tingkatan pengetahuan yang Hushuli dan tingkatan pencapaian yang Hudhuri, akan sangat mempengaruhi nilai dari kesaksian tersebut. 

(5) Kalau dalam aqidah Syi’ah, sangat jelas bahwa dalam Ushuluddin atau Dasar Agama atau Ke- Imanan, tidak dibolehkan taqlid atau ikut-ikutan. Mengapa demikian? Karena ke-rasul-an itu adalah pangkat yang ghaib yang tidak bisa dilihat mata dan didengar telinga. Yang ke dua, nabi Muhammad saww, bagi umat setelahnya, adalah sesuatu yang juga bisa dikatakan ghaib, yakni tidak bisa dilihat mata dan didengar telinga. 

Nah, ketika beliau saww dan pangkat beliau saww adalah yang tidak bisa dilihat mata kita dan didengar telinga kita, maka sudah jelas untuk mengimani atau mempercayainya, wajib dengan dalil. Seperti mempercayai ada kebakaran di tempat yang jauh yang apinya tidak bisa dilihat mata tapi asapnya bisa terlihat. Jadi perpindahan dari asap ke api atau dari dalil apa saja ke Nabi saww dan pangkatnya, merupakan DALIL dalam peristilahan logika, agama, umum, dan filsafat. Karena DALIIL adalah PERPINDAHAN AKAL DARI SESUATU KE SESUATU YG LAINNYA. 

(6) Dengan demikian maka info dan ilmu yang apa saja yang mengantar kita kepada beliau saww dan pangkatnya itu, maka ia bisa dikatagorikan sebagai dalil kita terhadap keduanya. 

(7) Tingkatan dalil ini, seperti yang sudah dijelaskan di catatan di atas, memiliki milyaran tingkatan. Paling rendahnya adalah info yang biasa kita kenal dengan (taqlid itu. Yakni dari info ke Nabi saww dan pangkatnya. Ini yang terendah. Jadi kalau secara umum, orang hanya mendengar info ini dari turun temurun, dan mempercayainya, maka dia sudah bisa dikatakan orang beriman dan kesaksiannya tidak dusta sama sekali. Karena ia sudah berdalil. Yakni dengan info yang turun temurun tentang Nabi saww dan pangkat kenabiannya termasuk kebaikan akhlak dan mukjizatnya ditambah lagi dengan kepercayaannya kepada orang tua dan guru yg secara umum tidak mungkin menipunya (walau juga tentu bisa salah). 

(8) Dari tingkatan paling rendah itu, yakni yang sekedar berdalilkan info turun temurun yang secara umum tidak mungkin tipuan terhadap kenabian Nabi saww dan keberadaannya, maka mulailah makrifat tentang beliau saww dan pangkatnya serta hakikatnya beranjak meninggi, baik hanya ke tingkatan ilmunya saja, atau ilmu dan aplikasinya juga. Dan baik ilmu itu secara ilmu Awam, Kalam, Filsafat dan Irfan. Dan baik aplikasinya itu Awami, Kalami, Filsafati atau Irfani, sebagaimana juga sudah diterangkan di catatan di atas. 

(9) Jadi semua kesaksian itu benar dan tidak dusta serta tidak bohong, akan tetapi memiliki milyarand tingkatan sesuai dengan ilmu dan jenisnya serta sesuai pula dengan aplikasi dan jenis aplikasinya. Wassalam. 

Sinar Agama: Dino-S: Antum percaya atau tidak, bahwa akupun dalam menulis dan membaca komentar atau berkomentar, juga sering melinangkan air mata, karena aku benar-benar ingin Tuhan menerimaku dan begitu pula teman-teman semua. Aku memang merasa paling keras dan kadang tidak kenal ampun dalam berdalil, tapi itu semua demi mempertahankan kebenaran- relatif-terjangkau ini, dan demi melihat apakah memang yang kita tahu ini sudah benar. Jadi kalau aku menang diskusi, maka akan merasa senang karena yang diketahui secara relatif ini memiliki bau kebenaran, dan kalau kalah dalam adu argumentasi, maka aku juga merasa senang karena sebelum mati kutemukan kebenaran-repatif yang lebih kuat dan harus diambil dan dipertahankan secara profesional (fair). 

Jadi ketersentuhan batin antum tidak mustahil karena getaran dadaku yang bergemuruh ini sudah dapat antum rasakan lewat catatanku ini. Mungkin ini yang dikatakan bahwa dari hati akan menclok di hati. Tentu saja hati yang tulus dan profesional-argumentatif-gamblang. Semoga tanda yang kita rasakan ini, adalah tanda dari RestuNya. 

Tapi ingat ya akhi dan semua teman-teman yang lain, dalam ilmu, semua ikatan akhlak, sejarah, pengalaman, guru, orang tua...dst harus sedikit dikesampingkan. Yakni tidak boleh dicampurkan dalam dalil-dalil kita, karena akan membuat kita keluar dari ikhlash yang profesional dan Ilahiah. 

Jadi, terimalah dan tolaklah apa saja dengan dalil-gamblang (termasuk tulisanku dimana saja), serta jauhkan jiwa kita dari nuansa ta’ashshub terhadap pengalaman masing-masing semacamnya itu. 

Dalam sosial kita, kita harus hormati siapa saja yang harus dihormati. Yang kumaksudkan dalam tulisanku ini adalah, jangan campurkan penghormatan itu ke dalam dalil karena akan mengotori dalil tersebut dan mengotori keikhlashannya. 

Satu lagi, menolak dan menerima dengan dalil dalam segala hal itu, bukan berarti juga berarti dengan emosi. Jadi terimalah dan tolaklah dengan cermat dan manis (tanpa emosi). wassalam 

Gazali Rahman: Syukran Ust atas kesediaan untk tagg dan memberikan pencerahan yg sangat bermanfaat. Semoga antum selalu dlm petunjuk NYA. 

Sinar Agama: G-R: salam dan terimakasih buat antum dan semua teman, baik dukungannya (jempolnya) atau komentar dan apalagi do’anya, semoga kita semua selalu berusaha untuk mencari dan masuk tanpa keluar lagi dari selimut hangatNya yang memang tidak pernah Ia singkap dari kita semua.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatu Al-Wujud, (Bagian: 8) Hakikat Kesaksian atau Syahadat Kepada Nabi Muhammad saww



Seri Tanya Jawab : Anwar Mashadi dan Ustad Sinar Agama Oleh Anggelia Sulqani Zahra 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 6:52 am


Anwar Mashdi: Assalamu ‘alaikum warohmatullahi, wabarokaatuh. Tak berlebihan jika kemajuan teknologi (seperti FB ini) megungkap kebenaran ”lihatlah yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan”. Jika benar demikian maka pondasi utama untuk mengukur dinamika info (sistematis atau semrawut) yang diterima, menurut saya, cuma 1, yaitu argumntasi/akal gamblang, ilmu mudah & istilah semakna lain, (seperti kerap disampaikan). Soal bagaimana selanjutnya, kembeli pada masing-masing orang. 

Dan saya merasa banyak dapat inspirasi dari catatan-catatan & komentar-komentar Anda pada diskusi-diskusi yang berlalu. Oleh karena saya setuju & juga yakin seperti itu, maka ingin juga minta Pak Sinar memberi penjelasan untuk tanya saya sebagai berikut: 

(1) Meski saya masih haus dengan penjelasan-penjelasan lanjutan atau pendalaman tentang topik-topik tauhid, tetapi saya minta Pak Sinar juga mau uraikan (secara filsafat & irfan) tentang 

(2) syahadat ke-2: Muhammadar Rasulullah, lalu shalawat, salam pada Nabi saw, assalamu’alaina wa ’ala ibadillahissholihin, dan salam wr.wb. (Bacaan tasyahud akhir dalam fiqih/syariat Islam yang saya yakini. 

(3) Teks Ilahi, wahdini limahtulifa fihi minal haqqi bi-idznika, innaka tahdi man tasya’u ila shirotim mustaqim... 

Sinar Agama: Salam, tolong pertanyaannya diulang lagi dengan penomeran yang jelas. Terimakasih. Pertanyaannya saja, yang pertama tanya apa, ke dua juga begitu dan seterusnya. 

Anwar Mashadi : Salam.. 

1. Pak Ustad, minta penjelasan tentang makna dan maksud Muhammadarrasulullah (sebagai sahadat ke-2 dalam tasyahud). 

2. Minta penjelasan tentang makna dan maksud shalawat dalam tasyahud. 

3. Minta uraian tentang makna dan maksud assalamu’alaika ayyuhannabi wr.wb. 

4. Mohon uraian tentang makna dan maksud assalamu’alaina wa ’ala ibadillahish-sholihiin. Dan assalamu’alaikum wr.wb. Terima kasih. 

Sinar Agama: Bismillaah. Salam. Nah, sekarang baru mantap dan tidak ragu lagi terhadap pertanyaannya. Semoga jawabannya bisa mantap juga, sekalipun saya ragu tentang hal itu. 

1. Kesaksian lengkap kita kepada Nabi saww adalah ”Aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hambaNya dan rasulNya” 

a. Kesaksian ini didahului dengan kesaksian terhadap kebudakan beliau saww kepada Allah. Dan hal adalah membuat beliau saww lebih menyukainya ketimbang mendahulukan kerasulannya terlebih dahulu. Mungkin, karena beliau ingin selalu tawadhu dihadapan Tuhannya dan segenap makhluk. Begitu pula, ingin mengajarkan kepada kita bahwa nilai terpenting itu adalah kehambaan seseorang. 

Yakni tanpa kehambaan, maka tidak mungkin seseorang itu mencapai maqam(maqam) apapun, termasuk kenabian ini. 

b. Karena kenabian itu dicapai dari penghambaan (ketaatan mutlak), maka dapat dipahami bahwa kerasulannya itu dicapai dengan usaha, bukan karena pengangkatan yang semcam dilotre oleh Tuhan yang namanya keluar dalam undian itu. Atau bukan juga karena dadanya dibedah dan dikeluarkan syetannya sampai dua kali atau beberapa kali seperti di sebagian riwayat saudara kita ahlussunnah. 

c. Bahwa arti sesungguhnya hamba itu adalah ketidakpemilikan apapun dan kepemilikan maula atau tuannya secara penuh. Jadi bukan hanya taat. Tapi tidak memiliki apapun karena pemiliknya adalah tuannya yang, dalam hal ini adalah Tuhannya. Jadi, Nabi saww itu sudah sampai ke tingkat ketidak merasa pemilikan apapun. 

d. Ketidakpemilikan apapun secara mutlak, adalah ke-fanaan mutlak. Jadi, Nabi saww berarti sudah jelas, bahwa sebelum menjadi rasul sudah sampai ke derajat fanaa’ dan fanaa’ dalam fanaa’, yakni ketidakmerasaan terhadap fanaa’ atau ketiadaannya itu sendiri. Hal ini, jelas menguatkan konsep filsafat dan Irfan. Jadi dalam syahadat tersebut tersembunyi pelajaran filsafat dan irfan yang tinggi dan meyakinkan. 

e. Fanaa’ adalah maqam yang dicapai manakala orang sudah sampai ke Akal-Pertama dan tidak merasakan ke-Akalan-Pertamanya. Fanaa’ dalam Fanaa’ adalah ke-tidak-merasaan terhadap kefanaa’an atau ketiadaannya itu sendiri. Karena kalau seseorang itu masih merasa Fanaa’, berarti dia masih memiliki diri hingga merasa ”tiada”. Jadi Fanaa’ mutlak adalah ”ketidakmerasaan diri sekalipun dalam ketiadaan sekalipun”. 

f. Sekali lagi, bahwa dalam syahadatain saja sudah terdapat pelajaran filsafat dan Irfan yang tinggi. Maksud saya bahwa hal seperti ini, yakni ilmu filsafat dan Irfan ini, atau yang biasa dikenal dengan makrifah ini, adalah ilmu yang diajarkan Islam. Namun, karena tidak semua orang memahminya, maka secara lahiriah cukup dengan penyaksian akan kahambaan dan kerasulan beliau saww, tanpa harus berfikir hubungan keduanya, yakni kehambaan dan kerasulan tersebut. 

g. Tentangtidakdibedahnyadada Rasulsawwitu, karenakalaudibedahberartikehambaannya itu tidak berfungsi sebagai sebab kerasulannya. Hal itu karena apapun ketaatan Nabi saww, baik sebelum atau sesudah kenabian, adalah akibat dari pencucian terhadap hatinya yang dioperasi malaikat Jibril as itu. Artinya ketaatannya karena kesucian hatinya, dan kesucian hatinya karena dicuci Jibril as, serta pencucian Jibril as karena diperintah Allah. Ini semua akan menghasilkan bahwa ketaatan Nabi saww adalah karena dipaksa Allah, bukan karena Ikhtiarnya. 

h. Kalau kebaikan Nabi saww karena paksaan Allah, maka sudah tentu beliau saww tidak layak lagi menjadi Uswatun Hasanatun. Karena yang lain melakukan segala perbuatannya dengan ikhtiarnya sendiri, artinya dengan hati yang kotor dan banyak syetannya, sedang Nabi saww dengan hati yang sudah dibersihkan. 

Jadi perintah bahwa kita harus mengikuti Nabi saww, adalah perintah yang akan menjadi perintah di atas kemampuan manusia. Karena manusia manapun tidak akan mempu menirunya. 

Dan kalau dikatakan bahwa kita diperintah mengikuti sebagaiannya, maka kata-kata ini adalah karangan yang tidak ada sumbernya. Karena perintah mengikutinya itu adalah mutlak, bukan ”Ikuti Rasul saww semampu kalian”. 

Dan kalau ternyata ada yang mampu mencontohnya, walau dalam perbuatan kecil saja, maka orang tersebut akan melebihi pahala Nabi saww dalam hal tersebut. Karena si pengikut mengikutinya dengan modal nol dan dada kotor yang banyak syetan, artinya banyak melalui liku-liku jihad besar dan kecil, sementara Nabi saww tinggal lakukan saja. Jadi, mutu dan bobot perbuatannya, pasti lebih berat yang menirunya. Jadi, sudah selayaknya kalau dia yang mesti dicontoh Nabi saww, bukan sebaliknya, na’udzubillahh 

i. Kalau saya menulis tentang Fanaa’, dan ada pembaca yang ingin tahu seluk beluknya, maka harus merujuk ke tulisanku sebelumnya, yaitu tentang Wahdatul Wujud dari bag 1-6. 

j. Jadi maqam penghambaan itu bisa dikategorikan dua tingkatan: Pertama maqam taat mutlak kepada Allah. Ke dua, melihat dirinya tidak memiliki apapun dan melihatnya semua yang ada pada dirinya adalah milikNya. Baik kepemilikan itu yang defakto, atau yang dalam amalan. Artinya ketaataannya itu hanya dikarenakanNya karena memang tetap milikNya, bukan milikNya yang dipinjamakaan ke kita lalu penggunaannya kita niatkan untuk mendapat PahalaNya. Jadi tingkat inilah yang akan mengantar manusia ke maqam Fanaa’ itu. 

2. Tentang shalawat kepada Rasul saww. 

a. Shalawatnya berbunyi ”Allahumma Shalli ’Ala Muhammadin wa aali Muhammadin”. 

b. Shalawat itu memiliki, setidaknya dua makna. 

Pertama, memintakan kesejahteraan pada Rasul saww dan keluarga sucinya dimana shalawat ini adalah shalawat kita dan para malaikat. 

Ke dua, memberikan kesejahteraan kepada Nabi saww dan keluarganya yang suci dimana shalawat ini adalah shalawat Tuhan. Karena dalam QS: 33: 56 diterangkan bahwa Allah dan para malaikat bershalawat kepada beliau saww, dan memerintahkan kita semua untuk bershalawat kepada beliau saww. 

c. Sebenarnya, permintaan shalawat kita kepada Allah untuk Nabi saww dan Ahlulbaitnya itu, adalah sesuai dengan derajat masing-masing orang. Karena kesejahteraan itu memiliki tingkatan yang terbentang dari kesejahteraan Dunia, Barzakh yang memiliki ribuan tingkatan, dan Akal yang juga memiliki ribuan tingkatan, serta Asma-Asma Allah yang juga memiliki ribuan tingkatan. 

Sebagaimana yang telah diterangkan di Wahdatul Wujud, alam ini memiliki tiga tingkatan global, Materi, Barzakhi (tempat surga-neraka) dan Akli. Barzakhi dan Akli tentu saja memiliki ribuan tingkatan. 

Jadi permintaan masing-masing orang, tidak akan melebihi kapasitas dirinya sendiri. Seperti orang yang ingin rejeki yang dipanjatkan dalam doa pengemis, tukang kebun, pegawai tingkat 1 A, 3 A, bupati, mentri, presiden, konglomerat, dst. Artinya, ketika masing- masing orang berdoa, maka yang akan tergambar dalam dirinya adalah apa-apa yang ada dalam dirinya. Jadi, kapasitanya itu menentukan isi dan muatan doanya tersebut. 

d. Ketika doa seseorang tidak akan melebihi kapasitas ilmu dan taatnya (sebagai ukuran hakiki tingkatan manusia), maka sudah tentu semua tingkatan kita akan berada jauh di bawah tingkatan Nabi saww. Kalau demikian halnya, sama dengan memintakan Nabi saww kepada Allah uang satu rupiah sementara Nabi saww memiliki seluruh isi dunia ini. Berarti doa kita itu tidak ngangkat dan tidak akan memadahi. 

e. Mengapa berdoa itu ditentukan kapasitas seseorang, dan bukan ditentukan bayangannya, hingga serendah apapun seseorang itu akan bisa mengkhayal keitnggian yang tertinggi sekalipun? 

Jawabnya adalah, 

Pertama, karena khayal yang dikhayalkan itu pun tidak ada. Bagaiamana seseorang bisa mengkhayal kalau belum pernah melihat dan mengkasyafnya? Paling-paling hanya berupa lamunan gelap yang diringkas salam ”setinggi-tingginya”. 

Ke dua, karena doa dalam kacamata hakikat dan filsafat adalah bukan bacaan doa. Yakni bukan yang dilontarkan lewat hati dan mulut saja, karena itu, namanya membaca doa atau berkretek doa (doa di hati). Sedang berdoa, adalah ”Kehendak hati yang disuarakan lewat mulut dan diusahakan pencapaiannya lewat aplikasi dari isi ucapan atau doanya itu” 

Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa doa masing-masing orang akan sangat ditentukan dengan kadar ilmu dan taatnya. 

f. Karena kita lebih rendah di bawah Rasul saww dan Ahlulbait as, maka doa kita dan shalawat kita, tidak akan pernah mencapai diri mereka. Karena mainnya mereka sudah di atas surga, di atas al-Lauhu al-Mahfuzh, di atas Akal-Pertama, di Asma-Asma tertinggi Tuhan yang, bahkan para anbiyaa’ dan rasul lainpun as tidak menjangkaunya. 

g. Kalau shalawat kita tidak naik kecuali di tingkatan kita dan tidak akan bisa menyentuh Nabi saww dan Ahlulbait as, maka untuk apa Allah mewajibkan kita shalawat kepada mereka as? Jawabnya bisa dari berbagai segi: 

Pertama, supaya manusia tetap punya hubungan dengan mereka as. Karena hubungan ini, walau hanya hubungan ingatan saja, akan tetap bermanfaat bagi kita, karena keingatan kita akan membuat semakin mencintai dan meniru mereka as. 

Ke dua, supaya kita tidak putus asa dalam menjangkau maqam tertinggi. Artinya Allah tidak pilih kasih kepada siapapun dan semua yang mencapai maqam tertinggi itu adalah hasil usahanya sendiri. Jadi semua manusia bisa berusaha mencapai maqam mereka as sekalipun. Artinya pintu terbuka, walau Tuhan tahu tidak akan ada orang yang akan melebihi usaha mereka as, akan tetapi, yang penting, Tuhan menyatakan bahwa maqam- maqam itu terbuka bagi siapapun. 

Ke tiga, supaya kita selalu berusaha mendekati mereka as. Artinya dengan merasa mengantarkan doa sejahtera, akan membuat kita semakin dekat dengan maqam mereka as. Allamah Thaba Thabai mengatakan ibarat kita berjalan di pinggir kebun bunga mereka as, dan karena kita mencari alasan untuk mendekati mereka, maka kita berasalan dengan memberikan bunga kepada mereka as, akan tetapi bunga yang kita petik dari kebun mereka as sendiri. Jadi, mengantar bunga yang juga milik mereka kepada mereka, adalah alasan kita mendekati mereka. 

Ke empat, tentu saja kedekatan atau semakin dekatnya derajat kita kepada mereka, akan menaikkan derajat kita semndiri, bukan derajat mereka. 

Ke lima, tawassul kita kepada mereka as. Jadi dalam doa kita kepada mereka as itu terdapat bobot hakikat tawassul, bukan doa. Yakni supaya kita dilirik oleh mereka as dan disyafaati. Jadi, shalawat kita itu bukan sumbangan kita kepada mereka, tapi sumbangan kita pada diri kita sendiri. 

Ke enam, sebagai penguat dari yang sebelumnya, adalah suatu kenyataan bahwa guru akan memiliki seluruh pahala muridnya yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya. Nah, karena mereka as adalah guru kita semua, maka apapun yang kita lakukan, termasuk shalawat ini, maka pahalanya akan mengalir kepada mereka as juga. Dengan demikian, maka anggaplah bahwa shalawat kita berpengaruh kepada mereka as, maka tetap hal itu merupakan pahala mereka as sendiri, bukan sumbangan kita. 

Ke tujuh, mungkin dengan hakikat ke enam ini maka shalawat itu akan mengalir kepada mereka sesuai dengan derajat mereka as sendiri. Artinya karena mereka mengajarkan shalawat kepada kita di tingkatan yang paling tinggi, maka sekalipun kita hanya melaksanakan di tinggkat yang paling rendah, tapi mereka as akan tetap mendapatkan yang paling tinggi tersebut, karena pahalanya disesuaikan dengan derajat mereka as sendiri. 

Ke delapan, kemungkinan ke tujuh itu, bagi alfakir ini sangat kecil, karena pelaksanaan yang di bawah tetap tidak akan mengusik yang di atas. Jadi, kemungkinan besarnya adalah tetap bahwa mereka as, tidak tersumbangi oleh kita dengan shalawat itu, akan tetapi malah kita dan para nabi sebelumnya yang tersumbangi dengan perintah shalawat ini. 

Ke sembilan, ketika semua derajat dibawahnya tersumbangi dengan shalawat yang dibawahnya kepada mereka as yang diatanya, maka hal ini cocok sekali dengan QS: 21: 107, bahwa Nabi saww (termasuk Ahlulbait as karena dirinya adalah diri mereka) adalah rahmat bagi segenap alam atau alam-alam. 

h. Ketika shalawat itu diwajibkan ke atas kita untuk menshalawati Nabi saww dan Ahlulbaitnya as, maka sudah tentu terdapat hikmah di dalamnya. Dan beberapa diantaranya sudah dijelaskan di point (g). 

Oleh karena itu sangat diherankan bagi orang yang bershalawat kepada keluarga Nabi saww, akan tetapi tidak menghormati mereka as dan tidak pula mengikuti mereka as, tetapi bahkan mengikuti yang memerangi mereka as. 

3. Tentang salam pada Nabi saww dalam tasyahud shalat kita. 

Seyogyanya, dalam shalat, sang pelaku sudah sampai ke tingkat Fanaa’ dalam Fanaa’. Artinya, kalau shalat seseorang itu khusyuk, maka dia tidak akan melihat apapun kecuali Allah. Dunia, haram, lewat. Dunia halal, lewat. Kasyaf neraka, lewat. Kasyaf surga, lewat. Kashaf al-Lauhu al- Mahfuzh, lewat. Kasyaf ’Arsy Allah, lewat, Kasyaf Akal-Akal atau Malaikat tertinggi, juga lewat. Kasyaf Akal-Pertama, juga lewat. Jadi yang tersisa adalah Asma-AsmaNya sesuai dengan derajat kemampuannya menyerapi Asma-Asma tersebut. 

Ketika shalat itu seperti itu, maka sudah pasti pelaku shalatnya sudah mencapai Fanaa’ dan bahkan di atasnya. Mencapai Fanaa’ berarti ia lupa akan segalanya, selain Tuhan. Nah, ketika sudah selesai shalatnya, maka harus turun lagi ke alam materinya, supaya bisa hidup secara sosial sebagaimana mestinya orang hidup. 

Nah, ketika harus turun itulah ia harus berakhlak. Dan akhlaknya sudah tentu tidak mengucap salam kepada Allah, karena Allah adalah Hakikat Salam itu dan tidak terbatas dan tidak perlu didoakan dengan keselamatan. 

Jadi, untuk turun ke bumi lagi, harus berpamitan dulu dengan maqam tertinggi setelah Allah. 

Itulah maqam Nabi saww. Jadi, kita harus mengucap salam dulu kepada beliau saww sebagai tanda ingin pamit turun ke bumi dan kehidupan lagi. 

4. Tentang salam kepada kita sekalian ” ’alaina” dalam shalat. 

Setelah kita mengucap salam kepada Rasul saww sebagai maqam tertinggi, maka dalam kelanjutan proses turun ke bumi lagi, maka seorang yang Fanaa’ akan ingat dan menyadari kembali akan keberadaan dirinya lagi. Bagitu pula lingkungannya orang-orang yang terbang dalam kesempurnaan itu. Jadi Allah menyuruh kita untuk mengucapkan selamat atau doa keselamatan kepada diri kita sendiri dan para penerbang yang terbang ke derajat kamal atau kesempurnaan itu. 

5. Tentang salam kepada ”kamu sekalian” dalam shalat 

Tenrang salam kepada “kamu sekalian” dalam shalat, adalah, setelah kita mengucap salam-akhlak kepada Nabi saww, dan salam-doa kepada diri kita dan lingkungan kita yang ada di alam dan maqam tinggi itu, yakni di ketinggian ”Sadar” setelah Fanaa’ itu, dimana masih maqam yang tinggi, dan sekarang mau hidup lagi di muka bumi atau materi, maka ia mengucap salam kepada alam materi yang akan dimasukinya ini. Jadi, salam kepada Nabi saww adalah salam-akhlak sebagai salam pamitan, salam kepada diri sendiri dan para penerbang lain di maqam itu adalah salam- doa sebagai doa kelanggengan dalam maqam tersebut, dan salam kepada kamu sekalian adalah salam kepada alam materi semuanya sebagai tanda masuk dimana terhitung akhlak ijin masuk dan doa kepada alam materi semuanya. 

Sekian – terima kasih. 

Al-fatiha – sholawat. Wassalam. Semoga bermamfaat untuk dunia-akhiratku dan segenap pembaca. 

In this note: Sinar Agama, Haerul Fikri, Syaharbanu Bob, Muhammad Yusuf S Tarigan, Natsir Said, Amran Abstrack, Fatimah Zahra, Saiful Makshum, Saiful Bahri, Alia Yaman, Bin Ali Ali, Annisa Asiyah Khadija, Andi Bachtiar Mavhazoy, Nebucadnezar Pecinta Keadilan, Don Flores, Ali Petra, Hati Kecilku, Hendy Al-Qaim, Noer Aliya Agatha 

Bin Ali Ali dan 16 orang lainnya menyukai ini. 

Romeo Kampar: Kamu sendiri gak mau jawab kalau lagi ditanya....hehehe... 

Sinar Agama: Anggelia: terimakasih banget, semoga Tuhan selalu menunjuki kita semua, amin, kutunggu yang ke: 9-nya, terimakasih. 

Anggelia Sulqani Zahra: iye, ustad. in syaaAllah. Semoga kami semua dapat mengambil manfaat atas kehadiran ustad di antara kami.. 

Roman Picisan: Ustadz... saya pernah baca dalam buku karangan Ahmad Chadzim tentang dalam mistik dan makrifat sunan Kali Jogo tentang hadist ana Ahmad bila mim itu adalah maqam ketika Nabi mengalami maqam Majdzub/Jadzba. Kesimpulan beliau jadi siapa saja yang akan mencapai tingkatanan ke-walian ia pasti mengalami Majdzub....dan setelah melihat penjabaran ustadz tentang hadist di atas saya lebih bisa memahami penjelasan ustadz daripada apa yang disampaikan Ahmad Hadizm. Soalnya, bagaimana seorang Rosul sampai Jadzab yang lebih identik dengan kegila-an (maaf) meski saya sendiri belum tahu hakikat sebenarnya apa di Jadzab atau majdzub... bila ada kesempatan mohon ustadz jelaskan hakikat JADZAB-MAJDUB...? 

Ali Petra: Syukran katsir atas Ilmunya.. sangat bermanfaat.. 
Allâhumma shalli ’alâ Muhammad wa âli Muhammad wa ’ajjil faraja âli Muhammad. 

Sinar Agama: Roman, Jadzb/jadzbun itu bukan gila, begitu pula dengan majdzub. Jadzb adalah sedotan atau tarikan dan majdzub adalah tersedot. Jadi, kalau seseoang sudah berusaha membersihkan dirinya, maka ia akan tersedot kepada wahdatulwujud, hingga cepat meniggalkan dirinya dan apa-apa selain Allah. Karena apapun usaha kita, dalam filsafat dikatakan sebagai sebab penyiap, bukan sebab pemberi. Karena yang tak punya tak mungkin memberi. 

Nah, kita yang tak punya kesempurnaan apapun, kok bisa dengan usaha bisa menjadi memiliki kesempurnaan? Jadi, usaha hanya sebab penyiap, yakni yang mengantarkan kondisi potensial kita kepada siap menerima. Dan setelah itu baru Tuhan memberikan kepada kita sebagai Sebab Pemberi atau Faa’ili-nya. 

Tapi memang, karena banyak dari yang berusaha menjelaskan masalah pelik irfan tidak belajar filsafat, maka hanya bisa menukil lahiriah kata-kata orang arif tanpa mengerti maksud sebenarnya. Akhirnya menjelma dengan barbagai kesesatan sufiah atau akidah seperti takdir dsb. Atau seperti jadzb ini. Karena yang Rasul saww itu dimana dan yang jadzb-nya orang lain dimana. Begitu pula maksud Rasul saww itu apa dan maksud selainnya, terlebih yang tidak belajar itu apa. 

Jadi,masing-masing memiliki posisinya dan idenya sendiri.(Ada yang benar ada yang salah. Ada yang di bawah, tengah dan ada yang diatas...dan seterusnya. 

Sinar Agama: Jadzb atau majdzub yang bermakna gila itu adalah bahasa arab ’amiah, atau arab slank, terkhusus di Indonesia. Memang, orang kalau kesedot itu kayak gila, seperti kesedotnya Majnun oleh Laila. 

Karena sudah tidak tahu apa-apa lagi kecuali Allah. Dari situ dikatakan orang gila. Tapi bukan gila yang dimaksudkan dalam bahasa arab slank tadi. 

Roman Picisan: Syukron penjelasannya..... 

Don Flores: Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad. 
Saudari Anggelia, terimakasih dengan seri tanya jawab bag 7 & 8. Dengan ilmu ini semoga kita smua mendapatkan manfaatnya dan semoga kita smua selalu dalam keberkahan-NYA.... amin ya Rabbal alamin. 

Bin Ali Ali: Barakallah ustadz dan ukhti Angelina. Terima kasih banyak atas ilmunya, Semoga berkah bermanfaat....amin.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ