Tampilkan postingan dengan label Logis-Filosofis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Logis-Filosofis. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Desember 2018

Logika dan Filsafat dalam Qur'an



Seri tanya jawab Wirat Djoko Asmoro dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Sunday, January 6, 2013 at 3:36 pm


Wirat Djoko Asmoro mengirim ke Sinar Agama: 14 November 2012,

Salam. Ustadz sering nyinggung di sini tentang ilmu logika dan filsafat, Apakah kedua ilmu ini juga pernah diajarkan Nabi saaw? Syukron.


HenDy Laisa: Filsafat=hikmah, afwan Ustadz jika keliru

Sang Pencinta: Salam, afwan ikut bantu nukilkan link Ustadz Sinar ya,

Ada Apa Dengan Filsafat??!! (Mengapa Sebagian Muslimin Anti Filsafat?), Oleh Ustadz Sinar Agama: http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/379026705475465/,

Dalil Ayat-Riwayat Belajar Filsafat dan Ilmu-ilmu Lainnya, Oleh Ustadz Sinar Agama : http://www. facebook.com/groups/210570692321068/doc/379050932139709/,

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Coba baca dulu yang dinukilkan Pencinta itu, semoga sudah bisa menyelesaikan masalah antum, amin.

Sekedar manambahkan, bahwa dalam Qur'an dikatakan bahwa barang siapa yang diberi hikmah, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak (QS: 2: 269).

Hikmah adalah sesuatu yang kuat. Apa saja yang dalilny kuat adalah hikmah seperti fikih, filsafat, logika, matematik dan seterusnya.

Nah, logika itu mengajarkan cara berfikir benar, dan hal-hal seperti ini banyak di Qur'an dan hadits, baik berupa aplikasinya atau rangsangan menggunakan akal. Sampai-sampai ada ayat yang menantang dalil kepada orang kafir kalau mereka merasa yakin bahwa mereka benar (QS: 2: 111).

Kalau dilihat dari sisi hadits, juga terdapat berbagai perintah, rangsangan dan aplikasi terhadap logika ini.

Kalau filsafat yang membahas tentang semua wujud, maka lebih banyak lagi di Qur'an dan apalagi hadits. Perintah-perintah Tuhan untuk mengetahui DiriNya, dan dalil-dalilnya seperti “Kalau di langit itu ada Tuhan lain selain Allah, maka keduanya akan hancur.” (QS: 21: 22).

Wirat Djoko Asmoro: Syukron Ustadz, Bang Hendy dan Sang Pecinta. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 17 Oktober 2018

Tidak Terbantahkan, Belum Tentu Benar



Seri tanya jawab Ahmad Bahagia dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Monday, July 2, 2012 at 11:29 pm


Ahmad Bahagia: Salam ustadz.. mohon penjelasannya.. 

Apakah jembatan antara pengetahuan argumentatif tentang aqidah yang tak terbantahkan menjadi suatu keyakinan, lalu menjadi keyakinan yang berimplikasi pada amal sehari-hari. Bagaimana mengelola dunia agar tidak menjadi jurang pembatas antara keduanya. Terima kasih ustadz atas pemaparannya.. 


Ahmad Bahagia: Sebagai contoh misalnya orang-orang kafir yang hidup pada zaman Rasulullah saaw. Misalnya para pendeta najran, atau sebagian besar “sahabat-sahabat” Rasulullah saww yang pastinya telah menerima penjelasan masalah aqidah dari Rasulullah saaw.. Saya yakin pasti Rasulullah saww menjelaskannya secara jelas, gamblang, terperinci dengan argumentasi yang tidak terbantahkan, sangat pasti diterima akal. 

Tetapi mereka tidak menerima seruan Rasulullah saww sebagaimana orang-orang yang masih dalam kekafirannya atau tidak menerima keseluruhan seruan Rasulullah saww sebagaimana para “sahabat-sahabat”.. 

Yang jelas berpengaruh pada amal-amal yang dilakukan oleh mereka, misalnya tidak menerima keimaman Imam Ali as., dan seterusnya malah bahkan tega menganiaya Ahlulbayt as.. 

Ahmad Bahagia: Saya pernah berfikir bahwa semuanya karena kecintaan dunia, ataupun ego diri.. apa emang hanya itu masalahnya ustadz? Dan apa cara paling jitu buat mengelolanya ustadz? Terima kasih..

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya, tapi afwan saya belum paham maksud pertanyaan antum. Bisa dijelaskan lagi? Karena saya mengira yang ditanyakan itu adalah “jem- patan”-nya. Tapi antaranya, hanya satu saja. Jadi antara pengetahuan .... DENGAN APA??!!! 

Karena ...argumentatif tentang aqidah yang tak terbantahkan menjadi suatu keyakinan, lalu menjadi keyakinan yang berimplikasi pada amal sehari-hari..... ini adalah sifat dari pengetahuan itu. Tapi kalau antum punya maksud lain, coba terangkan secara lebih mudah. 

Pagi ini saya lihat lagi pertanyaan antum, kok ada terusannya di komen. Kemarin sewaktu saya menjawabnya, pertanyaan lanjutan di koment ini belum tampak. Apapun pertanyaan dan maksud antum dari uraian-uraian pertamanya sampai ke sebelum pertanyaan akhirnya, maka saya hanya akan menjawab pertanyaan akhirnya saja. 

Cara paling jitu untuk selamat adalah mencari ilmu Islam dengan akal-gamblang dan mengamal- kannya dengan seikhlash-ikhlashnya. Kalau hal itu dilakukan, maka semua perasaan dan kesukaan pada dunia, dengan sendirinya akan menjadi semakin tersingkir hinggga pada akhirnya antum atau kita semua, menjadi hamba-hamba yang hakiki, budak-budak yang hakiki, budak-budak yang tidak merasa memiliki apapun kecuali kenistaan dan kehinaan. Beribadah dan taat pada Tuhan untuk semakin menjadi hamba yang sempurna. Dan kesempurnaan hamba itu ada di tidak mulia dan tidak kepemilikannya itu. Jadi, taat bukan untuk mulia dan bersanding dengan Tuhannya, tapi taat untuk semakin hina di hadapannya, baik di dunia ini atau di akhirat kelak.

Ahmad Bahagia: Maaf ustadz kalau mutar-mutar.. saya juga agak bingung, karena logikanya seperti yang ustadz bilang pengetahuan menjadi keyakinan itu sifat dari pengetahuan itu.. sifat itu kan selalu mengikuti yang disifatinya ustadz, tapi realitanya kok kayaknya gak begitu. 

Sepertinya pengetahuan menjadi keyakinan itu cuma nampak sebagai sifat pada kehidupan nyata (duniawi). Mudah-mudahan ustadz bisa menangkap maksud saya.. terima kasih ustadz.. 

Orlando Banderas: Ahmad, menurut saya pengetahuan itu hanya teori tidak ilmu aplikatif karena banyak sebab seperti gengsi, cinta dunia, wanita, dan lain-lain. Salam. 

Ahmad Bahagia: Orlando, Salam dan terima kasih komentarnya.. saya juga berfikir +- sama, makanya saya menanyakan pertanyaan kedua. 

Diberi tahu sesuatu itu benar, lalu percaya sesuatu itu benar, lalu yakin sesuatu itu benar, lalu kebenaran yang diyakini itu berefek pada pola pikir dan perilaku.. normalnya, seharusnya, mustinya.. 

Mungkin saya salah mendefinisikan pertanyaan.. atau pertanyaan saya seharusnya.. sesuatu yang tidak dapat dibantah itu kok tidak bisa meyakinkan? 

Orlando Banderas: Sebenarnya sudah sering dibahas oleh Ustadz. Coba cari lagi. Salam.

Sinar Agama: Sesuatu yang tidak bisa dibantah itu belum tentu benar, karena mungkin yang mau membantahnya tidak mampu untuk membantah. Tapi kalau ketidakterbantahan sesuatu itu karena kegamblangannya, maka ini bisa dijadikan petunjuk tentang kebenarannya. 

Kebenaran gamblang yang tidak terbantahkan ini, juga belum tentu diyakini oleh hati yang memahaminya. Karena yakin itu ada dua, yakin hati dan yakin akal. Akalnya, sudah yakin, tapi hatinya belum yakin. 

Hati, ada dua makna. Hati yang tempatnya rasa dan perasaan, yakni di ruh yang daya-hewani (tempat pengaturan gerak ikhtiari, rasa dan perasaaan) dimana hati dengan makna ini adalah hati yang sering dipakai oleh umum, seperti tempat cinta, marah, benci, rindu, dendam ... dan seterusnya. Tapi ada hati yang bermakna akal-aplikatif. 

Nah, ketika seseorang sudah memahami dengan akal-gamblang tentang keberan sesuatu, maka hatinya memiliki dua sikap. Mengikuti kata akal-gamblangnya itu, sebagai obornya, karena akal- gamblang itu adalah akal-pahaman, atau tidak mengikutinya. Kalau mengikutinya, maka hatinya menjadi yakin dan kalau tidak maka sebaliknya. 

Kalau yang tidak yakin itu adalah hati yang bermakna ruh-daya-rasa/perasaan, maka kemung- kinan besar sebabnya adalah belum jinaknya hati tersebut selama ini. Karena bagi dia, kalau lapar yang penting makan, kalau syahwat yang penting disalurkan ... dan seterusnya. Tak peduli benar salahnya, dosa tidak-nya, karena ia memang tidak mengerti hal itu. Karena yang mengerti itu adalah akalnya, bukan rasa/perasaannya. Karena itu, sudah merupakan tugas akal untuk menjinakkannya. Yaitu dengan mengarahkannya kepada hal-hal yang dibenarkan saja. Termasuk mengarahkan untuk patuh pada pahaman gamblang tadi itu. 

Karena biasanya, ketika akal gamblangnya sudah paham tentang sesuatu yang benar tapi hati ini tidak meyakininya, biasanya yang dipahami akalnya itu sesuatu yang tidak disukai hati ini. Seperti lapar di siang bulan Ramadhan, atau mencegah pacaran, atau mencegah apa-apa yang ia inginkan. Karena itu, hati ini perlu dilatih dan dibiasakan. Tapi kalau yang diketahui gamblang itu adalah hal-hal yang disenangi hati rasa/perasaan ini, maka biasanya lancar-lancar saja. 

Kalau yang tidak yakin itu adalah hati yang bermakna akal-aplikatif, maka caranya, adalah tengok lagi kepahamannya itu. Kalau memang benar sudah merupakan akal gamblang terhadap kebenarannya itu, seperti “racun itu membunuh”, maka akal-aplikatif sudah semestinya malu kalau tidak mengaplikasikan ilmunya dan meminum racun tersebut. Jadi, penyakitnya bukan berantem dengan perasaannya, tapi berantem dengan konsekuensi dari pengatahuannya itu. Artinya, maukah kita mengaplikasikan konsekuensi itu atau tidak. Yakni maukah kita mengaplikasikan ilmu pahaman gamblang itu atau tidak. 

Karena itulah, maka ilmu-gamblang itu belum sepenuhnya cahaya dan petunjuk. Persis seperti Qur'an dan Hadits. Karena petunjuk yang lengkap, sinar yang lengkap, adalah manakala pahaman terhadap ilmu-gamblang, Qur'an dan hadits itu, sudah diaplikasikan oleh akal-aplikatifnya dimana hal ini pertanda pengetahuannya sudah sempurna, karena tahu-pahaman dan tahu-aplikatif, dan pertanda juga bahwa hati rasa/perasaannya sudah terkedali oleh akalnya secara penuh. 

Inilah yang disebut manusia yang sebenarnya, karena ia telah ikut akalnya, baik akal-pahaman atau akal-aplikatifnya dan, sudah tentu meninggalkan hati rasa/perasaannya dimana hal ini adalah makam binatang tak berakal.

Ahmad Bahagia: Terima kasih ustadz.

Saya langsung teringat dengan pekerjaan saya yang berkaitan dengan sistem manajemen mutu yang dibuat berdasarkan persyaratan dan proses yang harus dijalankan dibuat berdasarkan ilmu, akal gamblang agar tidak terjadi suatu kesalahan atas hasil pekerjaan.. walaupun sudah gamblang pada pelaksanaannya juga tidak bisa terjadi begitu saja.. harus dipaksa, lalu terpaksa, lalu terbiasa, sampai terbentuk suatu budaya.. Harusnya hal yang sama bisa diaplikasikan ke kehidupan beragama juga ya ustadz.. penerimaan hati akal tetap harus dipaksa dulu agar hati rasa/perasaan bisa tunduk/jinak. 

Maaf kalau saya simpulkan demikian (mohon koreksi kalau saya salah menyimpulkan). 

Kalau inputnya adalah diri kita yang sekarang dengan spesifikasi yang keyakinannya masih dipertanyakan, kotor dan masih banyak maksiat, sedikit ibadah dan dekat dengan hal-hal yang dimurkai Allah (jauh dari Allah).. 

Dan output yang diharapkan adalah diri kita kelak harus memenuhi spesifikasi memiliki keyakinan yang kuat, bersih, tidak bermaksiat, banyak ibadah dan dekat dengan hal-hal yang diridhoi Allah (dekat dengan Allah).. 

Maka awalnya kita harus dipaksa untuk menjauhkan diri dari yang diharamkan dan memperbanyak ibadah walaupun dengan perasaan terpaksa, terus memaksa diri sampai terbiasa, terus membia- sakan diri sampai menjadi suatu adat kebiasaan.. 

Sinar Agama: Ahmad: Ahsantum, memang seperti itu adanya. Karena itu juga Tuhan sering memberitakan adanya neraka, supaya manusia mau takut dan taat padaNya walau terpaksa. Begitu pula sering mengimingi surga, supaya manusia dapat memaksa dirinya menekan hawa nafsunya dan memilih taat kepadaNya. Walau Tuhan tidak ingin manusia melakukan taat itu karena neraka dan surga, tapi demi kelayakannya menjadi yang terbaik karena akalnya tersebut. (Akal-pahaman yang untuk tahu bahayanya racun misalnya, dan akal-aplikatif yang menyuruh menghindari racun misalnya). Karena itu, Allah selalu memuji hamba-hambaNya yang hebat yang tidak melakukan taat karena keduanya itu (neraka dan surga). Yaitu yang ketaataannya hanya dan hanya karenaNya semata, seperti para anbiya dan rasul dan orang-orang shalih yang kelas tinggi (auliyaa’). 

Orang, KADANG-KADANG sering bergaya-gaya dengan mengatakan: 

“Saya jujur dan tidak mau membohongi diri, hingga karena itu sebelum saya ingin benar-benar taat, maka saya maksiat dulu, saya pacaran dulu, saya tidak shalat dulu ...dan seterusnya... karena saya tidak mau munafik.” 


Ini lagu syaithan yang paling laris di kalangan kaula muda, terutama mahasiswa/i. Lucu amat, maksiat jadi kejujuran dan ketidakmunafikan, lalu taat menjadi sebaliknya. 

Mereka mengira bahwa kalau ingin makan, maka harus makan walau di siang Ramadhan; kalau ingin lawan jenis, maka harus cari pacar; kalau malas shalat, maka harus tidak shalat..... dan seterusnya. Mereka tidak tahu bahwa inginnya rasa/perasaan itu adalah keinginan yang normal sebagai hewan. Sudah tentu yang baligh ingin kawin, yang kosong perutnya ingin makan ... dan seterusnya. Semua itu karena memang fitrah yang diberikan secara rata kepada semua binatang, termasuk binatang rasional ini. 

Tapi kalau manusia selain kebinatangan, juga memiliki kerasionalan, maka sudah merupakan tanggung jawab akal untuk mengatur nafsu-nafsu tersebut. Karena itu, sudah pasti banyak pertentangan seperti jauhnya perbedaan peradaban manusia dengan semua binatang di dunia ini. 

Karena itu kejujuran dan ketidakmunafikan, adalah mengikuti akal-gamblang dan menekan nafsu-nafsunya hingga takluk pada akal gamblangnya itu dan, di kemudian hari, menjadi terbiasa dengannya hingga, jadilah peradaban yang shalih yang menguasai kemasyarakatannya, bukan sosial yang amburadul seperti amburadulnya pergaulan binatang.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 26 Agustus 2018

Logika (Bgn 1)



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:20


Fluktuasi Manusia = Ketika manusianya manusia itu ditentukan akalnya, maka dalam hal apapun, seperti tentang dirinya, Tuhannya, agamanya, keluarganya, tetangganya, temannya, lingkungannya, negaranya, dunianya, bisnisnya, seninya, ilmunya, hukumnya, politiknya, kerjanya… dst.. Haruslah diukur dengan akalnya. Jadi, kapan saja ia tinggalkan AKAL dan masuk dalam INGIN, maka kala itulah ia bukan lagi manusia.

Dan AKAL = DALIL GAMBLANG.

Bento B D’Blueisland : Bagaimana dengan daya imajinasi & daya khayal ustadz? Termasuk dalam Akal atau Ingin? Atau malah tidak ada hubngan sama sekali? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Mujahid As-Sakran : Ustad, kaitannya dengan qalbu gimana? Sering disalahfahami antara aqal dengan qalbu, mohon pencerahannya, syukran.

Sinar Agama
Jawaban untuk Bento:

1. Khayal itu ada dua makna, filosofis dan umum. Kalau Filosofis, semua gambaran yang ada di akal itu adalah khayal. Khayal ini dibagi dua, memiliki hukum (subyek predikat) atau tidak, yang tidak dikatakan Gambaran/khayal, dan kalau memiliki hubungan hukum atau diterangkan menerangkan dan diyakini kebenaran atau kesalahannya maka dikatakan Yakin, dan kalau tidak diyakini keduanya, dikatakan Gambaran/khayal. Sedang makna umumnya adalah pikiran yang melantur.

2. Dengan sedikit mukaddimah itu, maka ketahuilah bahwa Akal secara filosofis adalah: Pahaman universal. Tapi makna tersiratnya adalah: Pahaman Universal dan penerapannya pada individunya serta memajukan khazanahnya dan memperbaiki kekeliruan info dan argumentnya.

3. Jadi, selain itu, maka ia adalah bagian dari Ingin atau Rasa atau Nafsu. Artinya, gambaran yang ada di akalnya itu hanyalah sebuah gambaran bagi kepengaturan daya-daya ruh yang dibawahnya, seperti hewani, nabati dan tambangi. Walaupun maksudnya di sini adalah yang hewani karena ia adalah rasa dan gerakan ikhtiar.

4. Resep umumnya, seperti yang kutulis di status itu bahwa Akal = Dalil Gamblang. Yakni Akal yang dimaksudkan dalam status tersebut adalah yang argumentatif gamblang.

Jawaban Untuk Mujahid:

1. Qalbu itu dalam bahasa Arab bisa bermakna Akal. Ini makna bukan kiasan atau majazi atau simbolik dan semacamnya, tetapi memang secara hakikinya. Jadi, makna itu ada dalam kitab-kitab kamus bahasa arab, Qur'an, Hadits, syair-syair arab dan percakapan keseharian arab.

2. Makna ke duanya, adalah hati. Yang dimaksudkan hati di sini adalah yang memompa darah. Dan ini tidak ada hubungannya dengan ilmu kecuali ilmu kesehatan.

3. Makna ke tiganya adalah hati. Yang dimaksud dengan hati di sini adalah tempat rasa dan perasaan manusia, seperti cinta, benci, marah, sabar, rindu, ...dan seterusnya.

4. Dengan sedikit mukaddimah itu akan menjadi mudah mengembalikan masalahnya kepada hati yang dimaksudknannya. Dan, sudah tentu, qalbu yang menjadi pedoman hidup dan harus ditaati adalah yang bermakna akal, bukan perasaan. Dan bahkan yang perasaan ini harus dipimpin oleh akal, yakni oleh argument. Jadi, kalau bingung maka harus mencari dalil dan argumentnya, bukan kembali ke hati yang perasaanis ini.

5. Hati yang perasaanis ini bisa jadi ukuran kalau ia sudah bersih dari keinginan yang tidak diridhai Tuhan. Dan cara membersihkannya adalah dengan cara membiasakannya mengikuti akal (argument). Dan kalau sudah sampai ke tingkat tinggi, seperti maksum, maka ia bisa menjadi cermin bagi kebenaran di alam nyata. Tetapi sebelum itu, jangan sekali-kali mengikutinya, apalagi manakala dalam keadaan bertentangan dengan akal.

6. Memang, hati yang perasaanis ini, bisa dijadikan pengingat, baik kita punya dalil akan kebe- narannya atau tidak. Artinya pengingat agar kita lebih hati-hati dalam menyusun argument dan dalil. Tetapi pedoman terakhirnya tetap akal dan dalil itu.

7. Orang yang ikut akal dan dalil, kalau salah, asal bukan karena egois, sombong dan fanatik dan lain-lain sebab yang bisa mengeluarkan akal dari dalil, maka ia akan dimaafkan Allah, dan cara hidupnya akan dihitung sebagai ibadah dan dipahalai.

Tetapi kalau mengikuti perasaan dan dijadikan pedoman, maka kalau salah tidak akan mendapat ampunan dan kalau benar, belum tentu diberi pahala. Karena ia mengikuti yang ia suka, bukan kebenaran, dan menghindari yang ia tidak suka, bukan yang dilarang Tuhan.

Jadi, sebagaimana amal itu tergantung niatnya, maka pahala dan tidaknya pun akan tergantung niatnya ini, bukan hanya karena mengikut benarnya dan menghindari salahnya. Tetapi karena apa dan siapa mengikuti yang benar dan menghindari yang salah.

Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Ammar Dalil Gisting, Heriyanto Binduni dan 10 lainnya menyukai ini.


Kharisma Kahr: Salam.. maaf ustad, boleh bertanya.. maksud poin ke 6 itu bagaimana ustad? Boleh saya tau contohnya, hati yang perasaanis bisa dijadikan pengingat baik kita punya dalil ataupun tidak..

Zainal Syam Arifin: Ijinkan saya yang dhaif ini ikut berkomentar pak ustadz : Jika kita bahas makna kedua tentang qalbu maka yang lebih tepat adalah hearth (jantung) bukan liver (hati). Dan ini sangat sesuai dengan tafsiran ahlul bayt (Imam ‘Ali) yang menyebutkan segumpal daging dan pembuluh darah dan hanya jantung yang berbuat begitu. Begitu pula di al Qur’an qalbu selalu disebutkan di dalam dada, sedangkan liver (hati) letaknya di bawah rongga data sebelah kanan (bukan termasuk rongga dada). Maka sebaiknya kita mengikuti cara sebutan orang barat atau tetap memakai bahasa arab. Kalaupun mau pakai bahasa Indonesia kenapa tidak dipop- ulerkan dan dibiasakan untuk menyebut “jantung”? Afwan pak ustadz.

Sinar Agama: Sufa: Maksud hati di situ adalah Ruh yang berdaya Hewani. Ruh manusia itu kan memiliki 4 daya: Daya tambang; Daya nabati; Daya Hewani; dan Daya akal. Daya tambang adalah yang mengatur atom-atom badan. Daya Nabati adalah yang mengatur pertumbuhan badan. Daya hewani adalah yang mengatur rasa-rasa dan perasaan, seperti cinta, benci, marah, sakit hati, suka, tidak suka ..dan seterusnya. Sedang Daya akal adalah yang mengatur akal dan pemikiran kita. Ruh kita itu satu dan non materi, akan tetapi dalam satunya itu, memiliki 4 daya yang tidak bisa dipisah seperti bagian-bagian materi.

Nah, pada poin 6 itu, hati yang dimaksud adalah perasaan manusia tersebut. Jadi, kadang ia menjadi petunjuk bagi kita terhadap kebenaran. Misalnya menyintai orang shalih atau imam- imam as dan nabi-nabi as. Akan tetapi karena kebelumtentuan benarnya perasaan tersebut, maka harus terlebih dahulu dibangunkan argumentnya.

Sinar Agama: Mas Zainal: Untuk masalah hati dan Qalbu ini sepertinya saya sudah menjelaskan- nya di asal tulisan di atas.

Dan dada itu, tidak mesti bermakna dada yang terdiri dari tulang dan daging ini. Tapi bisa juga perasaan itu. Karena itu maka penyabar dikatakan lapang dada. Artinya perasaan emosinya dapat ditekan dan perasaan pemaaf dan penyabarnya dilapangkan.

Karena, hati atau jantung atau apa saja, kalau ia berupa bagian materi dari badan, maka tidak berhubungan dengan pengetahuan, perasaan dan pemilihan apapun. Ringkasnya tidak ada hubungannya dengan ikhtiar dan perbuatan manusia.


3 Agustus 2011 pukul 20:52 · Suka · 2


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ




Jumat, 17 Agustus 2018

Lensa (Bgn 1) : Analisis Kritis Pluralisme dalam Al Quran « HMINEWS.COM.



Oleh : Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:44


Ketahuilah bahwa di Iran sempat muncul beberapa saat tentang pemikiran pluralisme ini, tetapi dengan gigihnya ulama dan Sayyid Ali Khamenei Rahbar kita, maka usaha Sayaurus dan sebangsannya untuk menyebarkan pluralisme ini menjadi mentah total. 

Dalam makalah yang jauh dari keselarasan dan penuh dengan kontradiksi itu, serta jauh dari spesialisasi Qur'an, penulis telah me-robek-robek tatanan berfikir logis-filosofis dan tentu saja me-robek Qur'an itu sendiri. Dan dengan tanpa memahami dasar pemikiran Rahbar kita hf, penulis juga telah merendahkan petuah-petuah Logis, filosofi dan agamisnya, menjadi sastrais- sayaairis, na’udubillah. 

Mungkin orang-orang mengira bahwa buku-buku semacam karya Sayaurus tersebut seperti “Jalan-jalan Lurus Yang Banyak” telah diberangus di Iran oleh para intelektual dan ulama serta Rahbar hf. Sama sekali tidak. Tetapi yang diberangus itu adalah dalil-dalil dan argumennya yang sastarais yang berusaha menipu manusia menjadi logis, filosofi, agamis dan Qur’anis. 

Mungkin juga Anda berkata, bahwa “Kalau ghitu berarti plural dong higga tidak dilarang bukunya terbit? “ 

Jawabanya: “Iya Plural, tetapi bukan Pluralisme”. Plural yakni majemuk, dan konsekwensinya adalah Toleransi, Bukan Pembenaran. Sementara kita tahu (bagi yang tahu bukan sok tahu), Pluralisme adalah “Semua agama dan pemikiran adalah benar” seperti yang dibawa penciptanya John Hick, walaupun dia juga terilhami dari beberapa Pastor dan tulisan-tulisan lama sekiter(sekitar) abad 18. 

Penulis makalah di situs ini, bukan hanya tidak tahu Qur'an yang memang tidak pernah ia pelajari dengan sistematis dan akademis, tetapi tentang pemaknaan dan konsekwensi Pluralisme ini saja dia tidak memahami hakikatnya. Dia kadang-kadang menukik ke Pluralisme, kadang turun lagi ke Plural. Maju mundur dan turun naiknya pemikirannya menandakan ketidakjelasannya dalam masalah ini. Buru-buru tentang Qur'an yang dia jelaskan sok tahu padahal jelas tidak pernah mempelajarinya secara akademis. 

Inti kebenaran Islam, terkhusus yang dibawa oleh Ahlulbait as, adalah Kebenaran Agama itu Satu, begitu pula tentang madzhab. Tetapi bukan berarti agama dan madzhab yang tidak benar itu mesti masuk neraka. Tidak sama sekali. Yakni, orang yang beragama atau bermadzhab yang tidak benar itu, bisa masuk surga kalau kebenaran agama atau madzhab belum sampai kepadanya, atau kalaulah telah sampai, tetapi belum terlalu jelas baginya sementara ia telah berusaha memahaminya. 

Dengan demikian, walau kita menghadapi tetangga kita yang kafir atau yang Sunni, maka kita tidak boleh menveto bahwa mereka pasti masuk neraka, karena sudah bertemu Islam atau Syi’ah dan sudah berulangkali diskusi. Karena mungkin mereka telah berusaha dan belum mendapatkan titik kuatanya kita atau agama/madzhab yang benar. 

Namun demikian, bukanlah tidak masuknya mereka ke neraka atau bisa masuknya ke surga itu karena mereka benar seperti yang dikumandangkan Pluralisme, tetapi karena memang tidak ada alasan untuk dimasukkan ke neraka lantaran tidak melakukan kezhaliman atau penganiayaan terhadap diri, agama dan orang lain. Jadi, yang masuk neraka itu hanya yang zhalim pada dirinya atau agamama/zhhab yang benar. Dan itu maknanya adalah menolak kebenaran setelah ia tahu yang ditolaknya itu kebenaran. 

Tetapi kalau dia belum benar, atau mungkin menolaknya, dikarenakan belum sampainya kebe- naran itu padanya baik secara lahir atau secara pemahaman, sementara dia sudah berusaha, maka orang seperti ini tidak layak dimasukkan ke neraka. Artinya ia akan mendapat maaf dari Allah sesuai janjiNya dalam Qur'an dan akal/fitrah. 

Jadi, masuk surganya karena dimaafkan, bukan karena dibenarkannya agama atau madzhabnya seperti yang digaungkan Pluralisme. 

Tentang pidato Rahbar hf yang tidak dipahami penulis itu, adalah bentuk dari Toleransi yang dianjurkan agama sebagai Tidak Ada Paksaan Dalam Agama. Sebenarnya bagi yang jeli dan hatinya bersih, ayat toleransi ini sadah menunjukkan bahwa yang benar itu satu, tetapi tidak boleh dipaksakan di dunia ini. Artinya mau ikut silahkan dan nanti masuk surga, dan kalau tidak mau juga silahkan dan nanti di akhirat masuk neraka. 

Toleransi, selain memiliki makna tidak memaksa, juga memiliki makna bekerjasama dalam hal-hal yang sama. 

Nah, Rahbar hf tercinta kita, dalam pidatonya itu, mengajak para agamawan selain Islam dalam forum yang sama untuk mengentas ber-sama-sama apa-apa yang bisa dientas dari kezhaliman dan ketidak adilan di dunia ini, bukan membenarkan agama dan madzhab meraka. 

Kalau kita melihat orang jatuh, apakah kita tanya dulu agama dan madzhabnya sebelum kita menolongnya? 

Atau kalau kita dirampok dan dijajah, apakah kita tanya dulu agama orang yang lewat dekat kita sebelum kita minta tolong padanya? Atau kalau kita mau gotong royong bikin jembatan di kampung kita, apa kita hanya mengajak yang Islam atau Syi’ah, dan melarang mereka yang kafir atau yang bermadzhab lain? 

Nah, Rahbar hf tercinta itu berpidato di hadapan mereka yang kafir itu dengan bahasa yang sama untuk memerangi kazhaliman dan pejajahan. Oleh karenanya sudah tentu wajar dan bahkan harus, untuk membawa dalil-dalil yang sama di antara agama-agama tersebut. 

Jadi, sangat wajar dan wajib bahkan, untuk menyebut sekalipun dalam siratan, tentang keadilan dan memerangi kezhaliman yang disebutkan dalam semua agama. Tetapi bukan pembenaran terhadap agama atau madzhabnya, tetapi pembenaran terhadap ajaran yang dinukilkannya itu. Persis kalau kita menukil hadits Abu Bakar atau Mu’awiyah tentang misalnya fadhilah imam Ali as. 

Kita dengan penukilan itu bukan membenarkan mereka, tetapi membenarkan apa yang mereka nukil Islamnya kita, Syi’ahnya kita, belajarnya kita dan seterusnya adalah bukti dari ketidakbenaran secara fitrawi dan agami (seperti yang penulis katakan) konsep Pluralisme ini. Bukan sebaliknya seperti yang dikatakan penulis. Adalah sangat tidak fitrawis, agamis, Qur'anis dan logis-filosofis, manakala kita seumur hidup jungkir balik belajar mencari kebenaran dan memintanya pada Tuhan, terkhusus jalan lurus, dan seterusnya, manakala kita dalam pada itu, mengimani dan mengatakan bahwa kebenaran itu milik semua orang, semua agama dan madzhab. 

Untuk dalil-dalil penguat lainnya mungkin di tempat dan waktu yang lain, semoga saya sempat menulisnya, karena sekarang sedang sangat sibuk hadapi kelas, seminar, wahhabi, soal-jawab wahdatul wujud dan Pokok-pokok ajaran Syi’ah yang sedang dikerjakan. 

Tambahan: Di Iran selama puluhan tahun ini, kalau ngadain seminar nasional atau internasional tentang persatuan, selalu mengatakan bahwa: “Bukan tujuan kami untuk saling pindah agama/ madzhab, atau saling membenarkannya, tetapi untuk saling toleransi dan mengerjakan hal- hal yang sama terkhusus dalam menghadapi kezhaliman global dunia dan semacamnya, oleh karenanya konsentrasi kita kepada yang sama-sama tersebut, tetapi tidak terlarang siapapun membahas yang berbeda kalau diinginkan, asal dalam koridor ilmiah dan santun serta tidak mengarah kepada perpecahan. 

Wassalam dan afwan.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ