Tampilkan postingan dengan label Imam Ja’far Shadiq as. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Imam Ja’far Shadiq as. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Juni 2020

Penjelasan Hadits Imam Ja’far Tentang Pengikutnya


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/238687326176071/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 26 Agustus 2011 pukul 2:06


Zen Assegaf: "Jadilah kalian penghias kami dan janganlah kalian mencoreng wajah kami". "Tidak berhak seorang mengatasnamakan Agama atau alasan membela Sinar Agama melakukan dengan cara mencaci maki" (Imam Ja'far as)

Bani Hasyim: Ja'far Shadiq berkata: "Ada sekelompok orang yang berkata bahwa aku ini imam mereka. Demi Allah, saya bukan imam mereka. Sama sekali bukan. Semoga Allah melaknat mereka. Mereka itu, setiap kali saya menutupi sesuatu, mereka malah membukanya. Semoga Allah mengungkapkan keburukan-keburukan mereka.

Dan setiap kali aku berkata "...begini...", mereka berkata: "...maksud imam adalah begitu.."Lihat: Ikhtiyaar Ma'rifat ar Rijaal, Syeikh ath Thuusi, Vol. 2, hal. 590

Selasa, 24 Desember 2019

Meniti Shirat Yang Ada di Dalam Neraka Selama 50.000 tahun Dalam 50 Estafet/Pintu


Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:55 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: 22-4-2013, Assalamu’alaikum, wr. wb. Sholawat. Ustadz, afwan. Apa saja yang terjadi ketika seseorang berada di Alam Kubur. Mohon deskripsikan perjalanan seseorang dari mulai ajal menjemput, diurus jenazahnya, setelah berada di liang lahat, hingga dibangkitkan lalu digiring di Padang Mahsyar, kemudian ditimbang di Al Mizan, dipaksa melewati jembatan Shirathal Mustaqim hingga kecemplung di Neraka lalu menikmati kehidupan Alam Surga hingga menuju ke Alam diatasnya lagi. Apakah Almarhum setiap hari memantau aktifitas-aktifitas keluarga atau orang-orang yang dicintainya yang masih hidup. Apakah putaran waktu pagi, siang, sore, malam, dan sebagainya masih dirasakan bagi si mayit. Mungkinkah orang yang meninggal masih bisa merayu Allah untuk kemaslahatan siapapun yang masih hidup. Surat al Fathihah yang dikirimkan untuk Almarhum di alam kubur langsung mewujud sebagai apa. Faktor apa saja yang melatarbelakangi Hadhrat Maryam binti Imran Sa menjawab seperti ini “bila Allah mengizinkan aku hidup kembali, aku amat merindukan untuk berpuasa diterik siang hari dan bangun munajat didinginnya malam”.

Sulis Kendal, Al Asghar, dan Yoez Rusnika menyukai ini

Sang Pencinta: Salam, ini pernah saya tanyakan, 1162. Ke Dahsyatan Menjelang Kematian Oleh Ustad Sinar Agama:

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/496962047015263/

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Seingatku sudah ada di catatan tentang semua yang antum tanyakan itu. Tolong Pencinta, berikan katalog yang lima seri itu, biar dicoba untuk dicari dulu di sana. Karena kalau ana tulis lagi, akan sangat panjang dari berbagai pertanyaan di atas itu.

Kalau mau cari, carilah pembahasan tentang: Ruh dan pembagiannya; Ruh manusia ketika sudah mati; Makna jalan lurus di akhirat; Makna timbangan di akhirat; Posisi neraka dan surga; Syafaat; Tawassul; Hubungan manusia dengan orang mati; Pengaruh amalan yang hidup seperti hadiah- hadiah ibadah kepada yang mati; dan semacamnya.

Untuk Hadhrat Maryam as itu, sudah tentu karena berbagai faktor yang diantaranya adalah faktor cinta sejati kepada Allah, karena keindahan cinta itu terletak di tiadanya diri yang sudah tentu tidak akan pernah melihat dirinya, deritanya dan seterusnya. Ini yang bisa kita raba dan, hakikatnya, sangat jauh dari yang dapat kita tangkap.

Dan untuk tambahan jalan lurus di akhirat itu, dimana jembatannya sudah pernah dijelaskan sebelumnya bahwa diterangkan dengan dua keterangan hadits yang juga mengatakan bahwa ada di dalam neraka yang memiliki lima puluh pintu pertanyaan dan proses tanya jawabnya. Karena itu cari juga catatan yang menerangkan bahwa semua orang pasti masuk neraka sekalipun para Nabi as dan Imam as, tapi tidak panas bagi mereka karena diselamatkan Tuhan (QS: 19: 71-72):


“Dan tidak seorangpun dari kalian kecuali akan memasukinya -neraka- dan yang demikian itu sudah merupakan ketentuan pasti Tuhanmu. Kemudian Kami akan menyelamatkan yang bertaqwa dan membiarkan yang aniaya di dalamnya dengan keadaan telungkup/membungkuk.”

Tambahannya diambil dari pertanyaan inbox:

Harun Aprianto Baru: Salam Ustadz, pada QS 32:5 satu hari kadarnya seribu tahun pada QS 70:4 satu hari kadarnya lima puluh ribu tahun, apa maksud perbedaannya?

Sinar Agama: Salam:

Banyak tafsiran untuk yang 1.000 tahun itu. Tapi yang terkuat adalah waktu di akhirat kelak.

Sedang di QS: 70:4 itu, dimana menyatakan 50.000 tahun, maka imam Ja’far as pernah ditanya dan jawabannya adalah: Bahwa di akhirat kelak itu ada 50 tahapan dimana masing-masing tahapannya memiliki waktu 1.000 tahun.

Jadi, proses tanya jawab di pintu-pintu Shirathalmustaqim yang berada di dalam neraka itu, memiliki masa waktu 1.000 tahun pada masing-masing proses dan pintunya hingga keseluruhan 50 pintu itu akan memakan waktu 50.000 tahun lamanya. Jadi, selama itu kita akan berada di neraka sampai keluar ke surga atau tenggelam bahkan di pintu awalnya.

Sedang yang taqwa dan terutama para Nabi as dan Imam as, sudah pasti akan terasa ringan dan cepat sebagaimana juga diterangkan oleh Islam bahwa banyak yang bahkan tanpa hisab untuk masuk surga. Tanpa hisab ini, maksudnya adalah dengan penghisaban yang super cepat hingga 50.000 tahun itu, bisa ditempuh dengan sepersejuta detik.

Karena itu, kalau ingin cepat pemeriksaannya di sana, lakukankah pemeriksaan selalu di dunia ini. Dan alat periksanya, tidak lain kecuali akidah dan fikih sebagaimana sudah sering diulang.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 30 September 2018

Ummu Daud Pada Amalan Tanggal 15 Rajab



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 14:29



Nita Ahmad mengirim ke Sinar Agama: 

Salam ustadz mohon pencerahan tentang siapa Ummu Daud pada amalan tanggal 15 rajab ?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Ummu Daawud adalah ibu dari Daawud salah satu dari shahabat imam Shaadiq as. Ada yang mengatakan anak dari al-Husain bin Ali bin Abi Thaalib, tapi ada yang mengatakan anak dari al-Hashiin al-Asadii. Dan yang lebih kuat adalah yang ke dua ini. Ibunya -Ummu Daawud- diajari oleh imam Shaadiq as doa yang kemudian dikenal dengan “amalan Ummu Daawud” itu untuk terlepasnya anaknya dari penjara.

Nita Ahmad : Syukran .. mohon pencerahan tentang keistimewaan amalan ini. 

Sinar Agama : Untuk meminta perlindungan Tuhan dari segala macam bahaya yang mengancam. 

Syaiful Bachri : Ustadz bisa minta teks arab dan terjemahannya amalan ummu daud...., syukron.

Sinar Agama: Syaiful: Amalannya banyak sekali, termasuk doanya, tunggu mungkin bisa di copy.



الخامس : دعاء أمّ داوُد وهو اهمّ أعمال هذا اليوم ومن آثاره قضاء الحوائج وكشف الكروب ودفع ظُلم

الظالمين، وصفته على ما أورده الشّيخ في المصباح هي انّ من أراد ذلك فليصم اليوم الثّالث عشر والرّابع

عشر والخامس عشر : فاذا كان عند الزّوال من اليوم الخامس عشر اغتسل، فاذا زالت الشّمس صلّى الظّهر

والعصر يحسن ركوعهما وسجُودهما، وليكن في موضع خال لا يشغله شاغل، ولا يكلّمه انسان، فاذا فرغ من

الصّلاة استقبل القبلة وقرأ الحمد مائة مرّة، والاخلاص مائة مرّة، وآية الكرسي عشر مرّات، ثمّ يقرأ بعد ذلك
سُورة الانعام، وبني اسرائيل، والكهف، ولقمان، ويس، والصّافات، وحم، السّجدة وحم، عسق وحم، الدّخان،
والفتح، والواقعة، والملك، ون، و (اذا السّماء انشقّت)، وما بعدها الى آخر القرآن، فاذا فرغ من ذلك قال
وهو مستقبل القبلة

Ringkasnya: Doa ini disebut dengan Ummu Daawud, doa untuk kabul hajat dan menghilangkan bencana dan terlepas dari penganiayaan yang zhalim. Doa ini didahului dengan puasa tiga hari di bulan Rajab, yaitu hari tgl 13, 14 dan 15. Di hari 15, di waktu zhuhur, maka mandilah (seperti mandi janabah tapi dengan niat sunnah) kemudian setelah wudhu melakukan shalat zhuhur dan asyr. Lakukan shalat itu di tempat sepi hingga tidak terganggu oleh orang hingga mengajak bicara. Lakukan shalat tadi dengan baik dan khusyu’ tertama ruku’ dan sujudnya. Setelah selesai shalat dengan tetap menghadap kiblat, membaca 100 x surat fatihah dan surat tauhid, lalu 10 x ayat kursi, kemudian membaca surat al-An’aam, Bani Israail, al-Kahf, Luqmaan, Yaasiin, al-Shaaffaat, Haa’ miim al-Sajdah, Haa’ miim ‘aiin siin qaaf, Haa’ miim dukhaan, al-Fath, Waaqi’ah, Mulk, Nuun, wa idza al-samaa-u insyaqqat ..dan seterusnya sampai akhir Qur'an..


Lalu membaca doa ini:


صَدَقَ اللهُ الْعَظيمُ الَّذي لا اِلهَ إِلاّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، ذُو الْجَلالِ وَالاِكْرامِ، الرَّحْمنُ الرَّحيمُ، الْحَليمُ الْكَريمُ، الَّذي
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّميعُ الْعَليمُ الْبَصيرُ الْخَبيرُ، شَهِدَ اللهُ اَنَّهُ لا اِلهَ إِلاّ هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَاُولُو الْعِلْمِ قائِماً
بِالْقِسْطِ لا اِلهَ إِلاّ هُوَ الْعَزيزُ الْحَكيمُ، وَبَلَّغَتْ رُسُلُهُ الْكِرامُ وَاَنَا عَلى ذلِكَ مِنَ الشّاهِدينَ، اَللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ،
وَلَكَ المَجْدُ، وَلَكَ الْعِزُّ، وَلَكَ الْفَخْرُ، وَلَكَ الْقَهْرُ وَلَكَ النِّعْمَةُ، وَلَكَ الْعَظَمَةُ، وَلَكَ الرَّحْمَةُ، وَلَكَ الْمَهابَةُ، وَلَكَ
السُّلْطانُ، وَلَكَ الْبَهاءُ، وَلَكَ الاِمْتِنانُ، وَلَكَ التَّسْبيحُ، وَلَكَ التَّقْديسُ، وَلَكَ التَّهْليلُ، وَلَكَ التَّكْبيرُ، وَلَكَ ما يُرى،
وَلَكَ ما لا يُرى، وَلَكَ ما فَوْقَ السَّمواتِ الْعُلى، وَ لَكَ ما تَحْتَ الثَّرى، وَلَكَ الاَرَضُونَ السُّفْلى، وَلَكَ الاْخِرَةُ
وَالاُولى، وَلَكَ ما تَرْضى بِهِ مِنَ الثَّناءِ وَالْحَمْدِ وَالشُّكرِ وَ النَّعْماءِ،
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى جَبْرَئيلَ اَمينِكَ عَلى وَحْيِكَ، وَالْقَوِيِّ عَلى اَمْرِكَ، وَالْمُطاعِ في سَمواتِكَ، وَمَحالِّ كَراماتِكَ الْمُتَحَمِّلِ
لِكَلِماتِكَ النّاصِرِ لاَنْبِيائِكَ الْمُدَمِّرِ لَِعْدائِكَ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى ميكائيلَ مَلَكِ رَحْمَتِكَ، وَالْمَخْلُوقِ لِرَأْفَتِكَ،
وَالْمُسْتَغْفِرِ الْمُعينِ لَِهْلِ طاعَتِكَ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى اِسْرافيلَ حامِلِ عَرْشِكَ، وَصاحِبِ الصُّورِ الْمُنْتَظِرِ لَِمْرِكَ،
الْوَجِلِ الْمُشْفِقِ مِنْ خيفَتِكَ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى حَمَلَةِ الْعَرْشِ الطّاهِرينَ، وَعَلى السَّفَرَةِ الْكِرامِ الْبَرَرَةِ الطَّيِّبينَ، وَعَلى
مَلائِكَتِكَ الْكِرامِ الْكاتِبينَ، وَ عَلى مَلائِكَةِ الْجِنانِ، وَخَزَنَةِ النّيرانِ، وَمَلَكِ الْمَوْتِ وَالاَعْوانِ، يا ذَا الْجَلالِ وَالاِكْرامِ،
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى اَبينا آدَمَ بَديعِ فِطْرَتِكَ الَّذي كَرَّمْتَهُ بِسُجُودِ مَلائِكَتِكَ، وَاَبَحْتَهُ جَنَّتَكَ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى اُمِّنا
حَوّاءَ الْمُطَهَّرَةِ مِنَ الرِّجْسِ، الْمُصَفّاةِ مِنَ الدَّنَسِ، الْمُفَضَّلَةِ مِنَ الاِنْسِ، الْمُتَرَدِّدَةِ بَيْنَ مَحالِّ الْقُدْسِ، اَللّهُمَّ صَلِّ
عَلى هابيلَ وَشَيْث وَاِدْريسَ وَنُوح وَهُود وَصالِح وَ اِبْراهيمَ وَاِسْماعيلَ وَاِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ وَيُوسُفَ وَالاَسْباطِ وَلُوط
وَشُعَيْب وَاَيُّوبَ وَمُوسى وَهارُونَ وَيُوشَعَ وَميشا وَالْخِضْرِ وَذِى الْقَرْنَيْنِ وَيُونُسَ وَاِلْياسَ وَالْيَسَعَ وَذِي الْكِفْلِ وَطالُوتَ
وَداوُدَ وَسُلَيْمانَ وَزَكَرِيّا وَشَعْيا وَيَحْيى وَتُورَخَ وَمَتّى وَاِرْمِيا وَحَيْقُوقَ وَدانِيالَ وَعُزَيْر وَعيسى وَشَمْعُونَ وَجِرْجيسَ
وَالْحَوارِيّينَ وَالاَْتْباعِ وَخالِد وَحَنْظَلَةَ وَلُقْمانَ،
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، وَارْحَمْ مُحَمَّداً وَآلَ مُحَمَّد، وَبارِكْ عَلى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، كَما صَلَّيْتَ
وَرَحِمْتَ وَبارَكْتَ عَلى اِبْرهيمَ وَآلِ اِبْرهيمَ اِنَّكَ حَميدٌ مَجيدٌ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى الاَوْصِياءِ وَالسُّعَداءِ وَالشُّهَداءِ وَاَئِمَّةِ
الْهُدى، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى الاَبْدالِ وَالاَوْتادِ وَالسُّيّاحِ وَالْعُبّادِ وَالْمُخْلِصينَ وَالزُّهّادِ وَاَهْلِ الجِدِّ وَالاِجْتِهادِ، وَاخْصُصْ
مُحَمَّداً وَاَهْلَ بَيْتِهِ بِاَفْضَلِ صَلَواتِكَ وَاَجْزَلِ كَراماتِكَ، وَبَلِّغْ رُوحَهُ وَ جَسَدَهُ مِنّي تَحِيَّةً وَسَلاماً، وَزِدْهُ فَضْلاً وَشَرَفاً
وَكَرَماً، حَتّى تبَُلِّغَهُ اَعْلى دَرَجاتِ اَهْلِ الشَّرَفِ مِنَ النَّبِيّينَ وَالْمُرْسَلينَ وَالاَفاضِلِ الْمُقَرَّبينَ،
اَللّهُمَّ وَصَلِّ عَلى مَنْ سَمَّيْتُ وَمَنْ لَمْ اُسَمِّ مِنْ مَلائِكَتِكَ وَاَنْبِيائِكَ وَرُسُلِكَ وَاَهْلِ طاعَتِكَ، وَاَوْصِلْ صَلَواتي اِلَيْهِمْ
133
وَاِلى اَرْواحِهِمْ، وَاجْعَلْهُمْ اِخْواني فيكَ وَاَعْواني عَلى دُعائِكَ، اَللّهُمَّ اِنّي اَسْتَشْفِعُ بِكَ اِلَيْكَ، وَبِكَرَمِكَ اِلى كَرَمِكَ،
وَبِجُودِكَ اِلى جُودِكَ، وَبِرَحْمَتِكَ اِلى رَحْمَتِكَ، وَبِاَهْلِ طاعَتِكَ اِلَيْكَ،
وَاَساَلُكَ الّلهُمَّ بِكُلِّ ما سَأَلَكَ بِهِ اَحَدٌ مِنْهُمْ مِنْ مَسْأَلَة شَريفَة غَيْرِ مَرْدُودَة، وَبِما دَعَوْكَ بِهِ مِنْ دَعْوَة مُجابَة غَيْرِ
مُخَيَّبَة، يااَللهُ يارَحْمنُ يا رَحيمُ يا كَريمُ يا عَظيمُ يا جَليلُ يا مُنيلُ يا جَميلُ يا كَفيلُ يا وَكيلُ يا مُقيلُ يا مُجيرُ يا خَبيرُ
يا مُنيرُ يا مُبيرُ يا مَنيعُ يا مُديلُ يا مُحيلُ يا كَبيرُ يا قَديرُ يا بَصيرُ يا شَكُورُ يا بَرُّ يا طُهْرُ يا طاهِرُ يا قاهِرُ يا ظاهِرُ يا
باطِنُ يا ساتِرُ يا مُحيطُ يا مُقْتَدِرُ يا حَفيظُ يا مُتَجَبِّرُ يا قَريبُ يا وَدُودُ يا حَميدُ يا مَجيدُ يا مُبْدِئُ يا مُعيدُ يا شَهيدُ يا
مُحْسِنُ يا مُجْمِلُ يا مُنْعِمُ يا مُفْضِلُ يا قابِضُ يا باسِطُ يا هادي يا مُرْسِلُ يا مُرْشِدُ يا مُسَدِّدُ يا مُعْطي يا مانِعُ يا دافِعُ
يا رافِعُ يا باقي يا واقي يا خَلاّقُ يا وَهّابُ يا تَوّابُ يا فَتّاحُ يا نَفّاحُ يا مُرْتاحُ يا مَنْ بِيَدِهِ كُلُّ مِفْتاح، يا نَفّاعُ يا رَؤوفُ
يا عَطُوفُ يا كافي يا شافي يا مُعافي يا مُكافي يا وَفِيُّ يا مُهَيْمِنُ يا عَزيزُ يا جَبّارُ يا مُتَكَبِّرُ يا سَلامُ يا مُؤْمِنُ يا اَحَدُ يا
صَمَدُ يا نُورُ يا مُدَبِّرُ يا فَرْدُ يا وِتْرُ يا قُدُّوسُ يا ناصِرُ يا مُؤنِسُ يا باعِثُ يا وارِثُ يا عالِمُ يا حاكِمُ يا بادي يا مُتَعالي
يا مُصَوِّرُ يا مُسَلِّمُ يا مُتَحَّبِّبُ يا قائِمُ يا دائِمُ يا عَليمُ يا حَكيمُ يا جَوادُ يا بارِىءُ يا بارُّ يا سارُّ يا عَدْلُ يا فاصِلُ يا
دَيّانُ يا حَنّانُ يا مَنّانُ يا سَميعُ يا بَديعُ يا خَفيرُ يا مُعينُ يا ناشِرُ يا غافِرُ يا قَديمُ يا مُسَهِّلُ يا مُيَسِّرُ يا مُميتُ يا مُحْيي
يا نافِعُ يا رازِقُ يا مُقْتَدِرُ يا مُسَبِّبُ يا مُغيثُ يا مُغْني يا مُقْني يا خالِقُ يا راصِدُ يا واحِدُ يا حاضِرُ يا جابِرُ يا حافِظُ يا
شَديدُ يا غِياثُ يا عائِدُ يا قابِضُ، يا مَنْ عَلا فَاسْتَعْلى فَكانَ بِالْمَنْظَرِ الاَعْلى، يا مَنْ قَرُبَ فَدَنا وَبَعُدَ فَنَأى، وَعَلِمَ
السِّرَّ وَاَخْفى، يا مَنْ اِلَيْهِ التَّدْبيرُ وَلَهُ الْمَقاديرُ، وَيا مَنِ الْعَسيرُ عَلَيْهِ سَهْلٌ يَسيرٌ، يا مَنْ هُوَ عَلى ما يَشاءُ قَديرٌ، يا
مُرْسِلَ الرِّياحِ، يا فالِقَ الاَصْباحِ، يا باعِثَ الاَرْواحِ، يا ذَا الْجُودِ وَالسَّماحِ، يا رادَّ ما قَدْ فاتَ، يا ناشِرَ الاَمْواتِ، يا
جامِعَ الشَّتاتِ، يا رازِقَ مَنْ يَشاءُ بِغَيْرِ حِساب، وَيا فاعِلَ ما يَشاءُ، كَيْفَ يَشاءُ وَيا ذَا الْجَلالِ وَالاِكْرامِ، يا حَيُّ يا
قَيُّومُ، يا حَيّاً حينَ لا حَيَّ، يا حَيُّ يا مُحْيِيَ الْمَوْتى يا حَيُّ لا اِلهَ إِلاّ اَنْتَ بَديعُ السَّماواتِ وَالاَرْضِ،
يا اِلهي وَسَيِّدي صَلِّ عَلى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، وَارْحَمْ مُحَمَّداً وَآلَ مُحَمَّد، وَبارِكْ عَلى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، كَما
صَلَّيْتَ وَبارَكْتَ وَرَحِمْتَ عَلى اِبْرهيمَ وَآلِ اِبْرهيمَ اِنَّكَ حَميدٌ مَجيدٌ، وَارْحَمْ ذُلىّ وَ فاقَتي وَفَقْري وَانْفِرادي وَوَحْدَتي
وَخُضُوعي بَيْنَ يَدَيْكَ وَاعْتِمادي عَلَيْكَ، وَتَضَرُّعي اِلَيْكَ، اَدْعُوكَ دُعاءَ الْخاضِعِ الذَّليلِ الْخاشِعِ، الْخائِفِ الْمُشْفِقِ
الْبائِسِ، الْمَهينِ الْحَقيرِ، الْجائِعِ الْفَقيرِ، الْعائِذِ الْمُسْتَجيرِ، الْمُقِرِّ بِذَنْبِهِ الْمُسْتَغْفِرِ مِنْهُ، الْمُسْتَكينِ لِرَبِّهِ، دُعاءَ مَنْ
اَسْلَمْتَهُ ثَقِتُهُ، وَرَفَضَتْهُ اَحِبَتُّهُ، وَعَظُمَتْ فَجيعَتُهُ، دُعاءَ حَرِق حَزين، ضَعيف مَهين، بائِس مُسْتَكين بِكَ مُسْتَجير،
اَللّهُمَّ وَاَساَلُكَ بِاَنَّكَ مَليكٌ، وَاَنَّكَ ما تَشاءُ مِنْ اَمْر يَكُونُ، وَاَنَّكَ عَلى ما تَشاءُ قَديرٌ، وَاَساَلُكَ بِحُرْمَةِ هذَا الشَّهْرِ
الْحَرامِ، وَالْبَيْتِ الْحَرامِ، وَالْبَلَدِ الْحَرامِ، وَالرُّكْنِ وَالْمَقامِ، وَالْمَشاعِرِ الْعِظامِ، وَبِحَقِّ نَبِيِّكَ مُحَمَّد عَلَيْهِ وَآلِهِ السَّلامُ،
يا مَنْ وَهَبَ لاِدَمَ شِيْثاً، وَلِِبْراهيمَ اِسْماعيلَ وَاِسْحاقَ، وَيا مَنْ رَدَّ يُوسُفَ عَلى يَعْقُوبَ، وَيا مَنْ كَشَفَ بَعْدَ الْبَلاءِ
ضُرَّ اَيُّوبَ، يا رادَّ مُوسى عَلى اُمِّهِ، وَ زائِدَ الْخِضْرِ في عِلْمِهِ، وَيا مَنْ وَهَبَ لِداوُدَ سُلَيْمانَ، وَلِزَكَرِيّا يَحْيى، وَلِمَرْيَمَ
عيسى، يا حافِظَ بِنْتِ شُعَيْب، وَيا كافِلَ وَلَدِ اُمِّ مُوسى، اَساَلُكَ اَنْ تُصَلِّيَ عَلى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، وَاَنْ تَغْفِرَ لِي
ذُنُوبي كُلَّها، وَتُجيرَني مِنْ عَذابِكَ، وَتُوجِبَ لي رِضْوانَكَ وَاَمانَكَ وَاِحْسانَكَ وَغُفْرانَكَ وَجِنانَكَ، وَاَساَلُكَ اَنْ تَفُكَّ
عَنّي كُلَّ حَلْقَة بَيْني وَبَيْنَ مَنْ يؤُْذيني، وَتَفْتَحَ لي كُلَّ باب، وَتلَُيِّنَ لي كُلَّ صَعْب، وَتُسَهِّلَ لي كُلَّ عَسَير، وَتُخْرِسَ
134
عَنّي كُلَّ ناطِق بِشَرٍّ، وَتَكُفَّ عَنّي كُلَّ باغ، وَتَكْبِتَ عَنّي كُلَّ عَدُوٍّ لي وَحاسِد، وَتَمْنَعَ مِنّي كُلَّ ظالِم، وَتَكْفِيَني كُلَّ
عائِق يَحُولُ بَيْني وَبَيْنَ حاجَتي، وَيُحاوِلُ اَنْ يفَُرِّقَ بَيْني وَبَيْنَ طاعَتِكَ، وَيثَُبِّطَني عَنْ عِبادَتِكَ، يا مَنْ اَلْجَمَ الْجِنَّ
الْمُتَمَرِّدينَ، وَقَهَرَ عُتاةَ الشَّياطينِ، وَاَذَلَّ رِقابَ الْمُتَجَبِّرينَ، وَرَدَّ كَيْدَ الْمُتَسَلِّطين عَنِ الْمُسْتَضْعَفينَ، اَساَلُكَ بِقُدْرَتِكَ
عَلى ما تَشاءُ، وَتَسْهيلِكَ لِما تَشاءُ كَيْفَ تَشاءُ اَنْ تَجْعَلَ قَضاءَ حاجَتي فيما تَشاءُ


Kemudian sujud, lalu menempelkan pipinya ke tanah dan membaca ini:

اَللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ امَنْتُ، فَارْحَمْ ذُلّي وَفاقَتي، وَاجْتِهادي وَتَضَرُّعي، وَ مَسْكَنَتي وَفَقْرى اِلَيْكَ يا رَبِّ



Dikatakan bahwa usahakan ketika membaca doa ini untuk khusyu’, khususnya ketika sujud dan menempelkan pipi ke tanah (alas sujud), dan usahakan untuk meneteskan air mata.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Rabu, 22 Agustus 2018

Lensa (Bgn 18): Ruh Para Nabi, Wali



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:22



Imam Ja’far shadiq as berkata :

“Pada para nabi dan para wali terdapat lima ruh, yaitu Ruh Badan (kehidupan), Ruh Kudus, Ruh kekuatan, Ruh Syahwat, Ruh Keimanan sementara pada kaum mukminin terdapat 4 Ruh yakni Ruh Badan, Ruh Syahwat, Ruh Kekuatan, Ruh Keimanan. Dan pada kaum kafir terdapat tiga Ruh yakni Ruh badan, Ruh Syahwat dan ruh kekuatan Ruh Keimanan menyertai jasad kaum mukminin selama jasad itu tak melakukan dosa besar, bila dosa besar dilakukan maka ruh Keimanan meninggalkan jasadnya. Sementara orang yang padanya menetap ruh Kudus tidak akan melakukan dosa besar untuk selama- lamanya.“ ( Biharul Anwar, jil.25 hal 53 )


Sinar Agama: Maksud hadits itu adalah ruh-ruh yang ada itu sebagiannya dari Tuhan tanpa melalui ikhtiar manusia, seperti ruh badan (artinya daya tambang), dan ruh kekuatan (daya nabati dan gerak ikhtiari) serta ruh akal yang berarti kemampuan berfikir.

Tetapi sebagian ruhnya, yakni sebagian daya ruhnya, ada yang dari Tuhan tetapi melalui ikhtiar dan usaha manusia, seperti ruh Qudus atau ruh suci itu.

Jadi, ruh itu hanya satu, akan tetapi memiliki berbagai daya yang fitrawi atau naturalis, ada yang timbul setelah baiknya ikhtiar dan usahanya seperti ruh Qudus atau kesucian itu.

Dan ruh qudus itu dicapai dengan ruh daya akal yang akal secara hakiki. Yakni mengetahui dengan benar dan diikuti dengan benar pula. Karena itu, sangat diwajibkan dalam Islam untuk berdalil dalam segala kepercayaan kita dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Kalau semua itu sudah dilakukan, maka ruh daya qudus itu akan dicapai semua orang. Yakni bukan hanya nabi dan wali.

Jadi hadits di atas itu, hanya berfungsi memberikan kabar kepada kita bahwa kalau sudah jadi nabi artinya sudah mencapai derajat kenabian itu dengan ikhtiarnya, maka ia pasti sudah mencapaikan ruh daya akal natulisnya itu ke maqam akal suci atau qudus karena kebenaran ilmu dan amalnya.

Karena itu, maka ruh ikhtiari itu, yakni ruh yang berdaya dengan daya yang dicapai dengan ikhtiari itu, seperti iman dan qudus, bisa hilang dan pergi sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pembawanya.

Tentu saja, bagi yang sudah sampai ke tingkat sangat tinggi seperti kenabian, bukan kewalian, maka biasa sudah tidak akan jatuh lagi. Karena syethan sudah tidak menjangkau keinginan mereka hingga dapat menipunya.

Tetapi kalau sekedar ruh daya ikhtiari yang sampai ke tingkat wali, maka ia masih bisa berubah menjadi rendah kalau perbuatannya berubah menjadi rendah.

Sebaliknya juga, ruh yang berada di tingkat bawah, ia juga bisa naik dengan ilmu dan aplikasinya. Karena itu tidak ada jalan untuk putus asa dan bangga bagi kita semua.

Jab Gamal Gamal : Berapa daya fitrawi ruhnya imam??? Kenapa yang disebuti cuma nabi dan wali???

Sinar Agama : Entah pertanyaan mas Jab ini ke siapa? Saya akan menjawabnya bahwa penjelasan yang datang dari para nabi dan imam, tidak mesti mencakup segala dimensi. Karena bisa saja dijelaskan di tempat lain. Ayat-ayat Tuhan juga seperti itu. Karena itulah memahami sebuah ayat atau hadits, tidak bisa hanya dengan dirinya sendiri tanpa dikomperasikan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya. Karena itu, maka dapat dikatakan bahwa ruh imam itu adalah ruh yang termasuk daya ikhtiari seperti nabi dan wali. Dan pangkat imam ini, karena ia merupakan maqam di atas maqam kenabian, maka sudah tentu ruhmya memiliki maqam lebih tinggi.

Namun demikian kelebihtinggiannya itu tidak mesti dengan nama lain dari qudus itu. Jadi ruh mereka adalah ruh suci dan qudus akan tetapi lebih tinggi dari maqam ruh kenabian.

Sudah tentu banyak sekali ruh nabi itu yang juga mencapi ruh imam ini. Seperti nabi Nabi Muhammad saww, atau nabi Ibrahim yang diangkat ke maqam imam ini setelah beliau sepuh (tua) dalam kenabian dan kerasulan.

Yang perlu diingat adalah bahwa semua ruh-ruh itu, yakni daya-daya itu adalah daya yang ada setelah ikhtiar. Maksudnya ruh kenabian dan keimamahan itu. Sebagaimana ruh wali juga demikian.



Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion dan 2 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Minggu, 19 Agustus 2018

Lensa (Bgn 7) “Tentang Keraguan Dan Keyakinan” (Penjelasan lanjutan Lensa Bgn : 6)



Oleh : Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:00


Ragu itu tidak buruk, sama sekali. Tapi ragu yang didakwa sebagai ilmu dan kebenaran, itulah yang buruk. Yang ke dua, manusia tidak mungkin menjangkau yang ragu itu dan membuka tabirnya, kecuali dengan ilmu-yakin-benar-gamblang. Jadi, dalam diri manusia itu memang secara fitrah ada ragu, yaitu kepada hal-hal yang memang belum diketahuinya. Tetapi dia tidak mungkin tidak punya sama sekali apa yang dikatakan ilmu-benar-gamblang-yakin. Seperti ilmu tentang keberadaannya sendiri dan sifat-sifatnya serta semua peristiwa yang terjadi setiap detiknya. 

Begitu pula pengetahuannya tentang lingkungannya, rumah tangganya, tetangga dan alam sekitarnya. Nah, ilmu-yakin-benar-gamblang manusia itu banyak sekali dan tidak bisa dihitung. 

Keberadadaan ilmu-ilmu itu juga fitrah karena dia adalah rahmatNya, karena tanpa itu, maka manusia lalu bisa kemana dan berbuat apa. Usaha atau berfikir, tanpa modal dari ilmu-ilmu yakin itu, maka tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin manusia bisa selamat dari kejaran dan terkaman harimau, kalau dia masih ragu bahwa yang mengejarnya itu haramau atau bukan, bahaya atau bukan...dan seterusnya. 

Jadi, ragu dan yakni itu fitrah. Tetapi karena akal kita tidak mau yang salah, maka yang yakin kadang diperiksa lagi supaya tidak salah, dan yang ragu harus dicari dalilnya melalui yang yakin itu. Oleh karena itulah maka teori Rene Des Cartes ‘Cogito Ergo Sum’ itu cukup aneh, karena dia melihat pikirnya lebih jelas dari dirinya sendiri. Padahal pikirnya adalah akibat dari dirinya sendiri. Tentu saja ilmu Rene benar juga, tetapi di tingkatan yang lebih rendah. Karena dirinya diteropong dari pikirnya. Padalah masih ada lagi yang namanya, jalannya, makannya, cintanya, bencinya,...... dan seterusnya. 

Memang dalam kata Ren itu tidak menolak semua akibat dirinya, tetapi pemastian adanya dengan pikirnya, adalah jelas terlalu sempit dan menyempitkan. Setidaknya, kala ia berkata dan fokus pada itu. Jadi, perlu disadarkan lagi dan fokusnya perlu dirusak lagi, dengan menyadarkannya bahwa ia juga punya jalan, tidur, cinta, benci ...dan seterusnya. 

Perlu diketahui, bahwa logika dan filsafat diwujudkan oleh para filosof untuk memudahkan memahami mana yang yakin dan mana yang ragu, dan memudahkan metodologi pencarian ragu itu dengan yakin. Jadi, filsafat itu memudahkan masalah, bukan malah meruwetkannya. Jadi, kalau ada orang berbicara filsafat tapi membuat semakin sulit masalah, maka ada beberapa kemungkinan: dia tidak tahu filsafat dengan baik; dia mau menjual filsafat dengan istilah-istilah yang trendi hingga tidak mudah dimengerti; dia sendiri tidak mengerti istilah-istilah itu; dia tidak mengerti tujuan mulia para fiosof yang ingin memudahkan; dia salah jalan dalam memilih metode penyampaian; ....dan seterusnya. 

wa’budulloha hatta ya’tiyakal yaqiin.. 

U’bud Rabbaka itu bisa memiliki makna luas. Apapun itu, tetap memerlukan ilmu yakin. Jadi harus yakin dulu pada yang akan dilakukan, baru setelah itu akan dapat keyakinan yang lain. 

Penjelasannya

1. Ibadah dalam akal dan Islam, bermakna dua, dan bisa dua-duanya, yaitu beribadah seperti puasa, shalat dan lain-lain, bisa juga bermakna taat. Dan setiap kalimat ini dibawakan dalam agama, maka yang dimaksud, kebanyakannya atau kesemuanya, adalah taat. 

Dan taat ini, bisa dalam bentuk ibadah-ibadah khusus itu, bisa dalam bentuk umum. Nah, mengerti Tuhan, itu juga diperintahkan secara banyak sekali dalam Qur'an, seperti “ketahuilah bahwa Tuhan itu Maha Mendengar dan Melihat, Maha Kuasa, Maha....dan seterusnya” dimana disana memakai kalaimat “KETAHUILAH”. Nah ketahuilah itu adalah perintah untuk mengetahui. Jadi, taat adalah maksud Qur'an yang mengatakan U’bud Rabbaka yakni taati Tuhanmu sampai datang padamu yakin. 

2. Yakin di sini bermakna dua, yakin yang bermakna yakin yang kita bahas disini, dan ada yang bermakna “mati”. Rasul yang sudah pasti Rajanya Yakin, maka beliau saww beribadah atau taaat sampai meninggal, bukan sampai yakin. Tatapi yang belum sampai ke tingkat yakin maka harus taat hingga dapat yakin. Tetapi karena taat itu tidak mungkin tanpa ilmu-yakin- benar, maka kita harus mencapai yakin dulu pada yang diperintahkannya itu. Baru setelah itu, kalau kita kerjakan, maka kita akan mendapatkan ilmu yang lebih tinggi, yakin yang lebih tinggi. 

3. Yakin, juga memiliki milyaran tingkatan, Nabi saww dan para maksum as, sudah tentu sudah sampai ke tingkat tertinggi, karena mereka guru para pemburu yakin. Nah, bagaimana mungkin guru belum sampai kepada yang dikejar muridnya. Padahal dari satu sisi, memburu yakin itu tidak terbatas. Jadi Nabi saww dan imam maksum as sudah sampai ke tingkat yang tidak bisa lagi dicapai manusia lain dalam tingkatan yakin itu. 

4. Untuk manusia selain mereka, maka keyakinan yang didapat dimanapun, tetap harus bersemangat mencapai keyakinan yang di atasnya, jagan pernah sama sekali puas dalam keyakinan lalu berhenti, tapi teruslah berjuang. Tapi tentu saja, sambil mensyukuri yakin yang sebelumnya. 

5. Imam Ja’far Shadiq as pernah berkata: Orang yang beribadah/taat kepada Allah, tatapi tidak dengan ilmu (yakin yang argumentatif), maka ibarat musafir yang melakukan perjalanan tidak di atas jalannya yang benar. Maka semakin cepat ia berjalan (semakin taat), maka akan semakin jauh dari tujuannya. Artinya, kalau kita membuat keyakinan taklidi dan non argumentatif, lalu kita lalukan hal itu hingga dikatakan taat, maka semakin banyak kita taat kepada Allah, akan membuat kita semakin jauh dariNya. 

6. Tentu yakin dalam taat yang umum itu, memiliki dalilnya sendiri-sendiri. Kalau dalam akidah maka dalilnya adalah akal dan tidak boleh taklid, dengan alasan yang sudah saya rinci di Pendahuluan Pokok-pokok dan Ringksan Ajaran Syi’ah. Sedang dalil fikihnya adalah taklid buta kepada marja’ seperti taklid buta pada dokter spesialis. Karena akal dan agama kita mengatakan bahwa masing-masing orang memiliki spesialisnya sendiri-sendiri, dan yang tidak memiliki spesialis terntentu harus mengikuti yang memilikinya. 

Perjalanan nabi Ibrahim as itu bukan dimulai dengan ragu. Beliau as justru memulainya dengan yakin. Beliau as justru bermodal dengan keyakinan akan tenggelamnya bintang, bulan dan mata hari. Dan beliau juga bermodal yakin bahwa yang sirna itu pasti bukan Tuhan. Jadi beliau as bukan memulai dengan ragu, tapi dengan yakin. 

Ayat-ayat tentang nabi Ibrahim as itu memiliki dua makna, yakni beliau sedang berdalil dengan umatnya, bukan untuk beliau sendiri, karena beliau salah seorang nabi yang sudah raja yakin. Yang ke dua, untuk beliau sendiri kalau kejadian itu sebelum beliau as menjadi nabi. Tetapi ingat bintang, bulan dan matahari di sini, bukan bermakna yang kita lihat ini. Karena beliau as tidak perlu menunggu lenyapnya untuk tahu bahwa semuanya itu akan lenyap. Sebab anak kecilpun sudah tahu bahwa bintang, bulan dan matahari itu selalu lenyap setiap hari. 

Jadi yang dimaksud bintang, bulan dan matahari pada beliau as sebelum jadi nabi, adalah kasyaf- kasyaf beliau yang dimulai dari yang kecil menuju kepada yang besar. Yang kecil lenyap karena beliau sudah sampai keduanya. 

Bintang lenyap karena beliau sudah jadi bintang, begitu juga dengan bulan dan matahari. 

Begitulah seterusnya sampai menjadi Fana’ dan melanglangi Asma-asma Allah seperti yang sudah saya terangkan di wahdatulwujud. Kemudian, antum melihat Qur'an dan hadits, seperti melihat tulisan antum sendiri yang mati. Qur'an dan hadits itu adalah sesuatu yang hidup dan nanti akan bersaksi di hadapan Allah swt tentang kita. 

Kalau Qur'an dan hadits mati, maka ia tidak layak dikatakan nur, menentramkan jiwa, menerangi kuburan, mendatangkan pahala, menenangkan orang mati....dan seterusnya. Karena itulah maka tidak heran kalau ia dikatakan Jibril itu sendiri. Tentu saja Qur'an sebagai tulisan, memang tidak bernafas, sekalipun tetap harus dihormati karena ia adalah tajalli yang hidup itu. Akan tetapi sebagai yang wahyu, maka ia jelas hidup hingga karenanya kalau kita tidak membacanya dan sampai berdebu ia akan mengeluh kepada Allah nanti di akhirat. 

Jadi, akal adalah alat mencapi hakikat, dan Qur'an juga demikian. Bedanya kalau akal bisa salah, tapi Qur'an tidak bisa salah. Tapi yang tidak bisa salah adalah Qur'an yang Qur'an, bukan yang kita pahami ini. 

Jadi, bagaimanapun, maka Qur'an akan ditentukan akal kita. Jadi, akal adalah sumber satu-satunya untuk memahami hakikat nyata dan Qur'an itu sendiri. 

Kalau nabi Ibrahim as menjadi tidak percaya kepada Allah yang dikasyafnya dengan simbol bintang yang karena beliau as sudah menjadinya, maka dalam perjalanan beliau as, tidak ada keraguan. Jadi semua kepastian. Bedanya Tuhan yang di kasyaf di tingkat rendah yang disimbolkan dengan bintang, adalah keyakinan yang menjadi punah, bukan keraguan yang punah. Inilah yang dimaksud Tuhan “KepadaNya kalian akan menjadi”, yakni dari satu sisi akan menjadi Allah, jadi Tuhan yang tersimbolkan dengan bintang itu adalah Tuhan juga, tapi dari sisi yang lain Allah berkata “KepadaNya”, yakni tak pernah mencapaiNya karena selalu kepadaNya, bukan menjadiNya. 

Jadi nabi Ibrahim as, berangkat dari keyakinan kepada keyakinan yang lain tanpa kesalahan, terlebih keraguan. 

Sekian. Alfatiha ma’a sholawat. Wassalam. 


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ