Prakata Penulis (Syi'ah Dan KeIndonesiaan)







Beberapa Mukaddimah


1. Syi’ah adalah Islam itu sendiri, tidak lain dan tidak bukan. Hanya saja, kalau dinamakan Islam, maka firqah-firqah yang lain akan keberatan disebabkan mereka dianggap tidak masuk ke dalamnya. 



2. Kehakikian Islamnya Syi’ah dapat dengan mudah dilihat dari ajarannya dan keseusiannya dengan Qur an dan Sunnah Nabi saww. 

3. Ajaran Syi’ah dalam akidah adalah: Mengimani seluruh hal-hal yang berhubungan dengan keimanan yang jelas-jelas ada dalam Qur an dan Hadits, seperti iman pada Tuhan dan EsaNya serta sifat- sifat muliaNya terutama sifat keAdilanNya (seperti tidak menentukan nasib manusia); Iman pada Nabi saww dan seluruh para nabi/rasul lainnya as; Iman pada kitabullah Qur an dan yang lainnya; Iman pada malaikat-malaikat; Iman pada adanya jin; Iman pada adanya kebangkitan; Iman kepada imamah sejak jaman Rasul saww yang dimulai dari Rasulullah saww sendiri (sebab beliau saww di samping nabi dan rasul, juga diangkat menjadi imam sebagaimana nabi Ibrahim as sesuai dengan firman Allah dalam QS: 2:124) sampai pada 12 imam setelah beliau saww; Iman pada kemakshuman Ahlulbait as sebagaimana disebutkan dalam QS: 33:33; Iman pada kemestimakshumannya para imam seperti yang disebutkan di QS: 76:24; Iman bahwa Qur an yang ada sekarang ini adalah asli dari Tuhan baik huruf-hurufnya atau ayat-ayatnya dan bahkan susunan surat-suratnya, artinya bukan susunan Rasulullah saww apalagi Utsman dan begitu pula tidak ada penambahan walau bismillaah di setiap awal suratnya (tidak seperti yang diyakini selain Syi’ah yang mengatakan bahwa Qur an disusun Utsman dan bismillaah yang asli hanya yang ada di surat Faatihah); Iman pada adanya surga dan neraka dengan seluruh isinya; Iman pada adanya sihir; Iman pada siksa kubur; Iman pada kedudukan para wali; Iman pada Ka’bah sebagai rumah Tuhan dan kiblat shalat; Iman pada batu Hajar Aswad sebagai batu surga; Iman pada kesucian tanah Makkah; dan seterusnya. 

Namun dari semua keimanan-keimanan itu, yang menjadi dasar Islam, yakni kalau tidak diimaninya maka tidak akan mengamalkan fiqih dengan baik dan penuh keyakinan, maka hanya lima hal yang dijadikan asas atau ushul atau dasarnya. Yaitu, iman pada Allah (dan sifat-sifatNya), pada keAdilanNya, pada kenabian, pada keimamahan dan pada hari kiamat/akhirat. Iman-iman yang lainnya disebut sebagai Furu’u al-Ushuul atau cabang dari yang dasar. Tentu saja kalau sengaja tidak mengimaninya, akan dihukumi kafir. 

Dengan penjelasan ini, maka di Syi’ah tidak ada istilah rukun Iman dan konsekuensinya. Yang ada hanya Ushuuluddin dan maknanya yang sudah diterangkan di atas itu. 


4. Kafir dalam istilah Syi’ah ada setidaknya tiga golongan: 

    a- Kafir yang berarti bukan Islam dan/atau keluar dari Islam. Yaitu yang memeluk agama lain, atau dengan sengaja mengingkari keimanan-keimanan di atas setelah jelas permasalahannya dan jelas dipahaminya. 

   b- Kafir yang tetap muslim dan mukmin. Kafir yang ini menjadi dua golongan secara umum, yaitu: 

b-1- Kafir dari imamah. Yang kafir dari imamah ini, tetap dihukumi sebagai muslim dan mukmin. Akan tetapi kalau sengaja, yakni sudah mendapatkan penjelasan yang benar dari penyampai yang benar, dan sudah dipahami dengan benar, begitu pula sudah dipahami bahwa imamah inilah yang benar dan yang lainnya salah, akan tetapi tetap tidak mau menerimanya, maka sekalipun tetap dihukumi sebagai muslim dan mukmin, akan tetapi diyakini bahwa amalan- amalannya tidak akan diterima oleh Allah. swt. 

b-2- Kafir nikmat dan semacamnya yang tidak membahayakan bagi keimanan dan keislaman seseorang walaupun membahayakan dari sisi dosa dan siksa nerakanya, setimpal dengan dosanya tersebut dimana hanya Tuhan yang Maha Tahu apakah nanti, akan diadzab atau diampuni. 

5. Sedangkan untuk urusan syari’at atau hukum fiqih, maka Syi’ah juga mengamalkan apa-apa yang umum dilakukan muslimin yang lainnya seperti syahadatain, shalat lima kali (dalam tiga waktu seperti yang difirmankan Tuhan dalam QS: 17:78 dan 11:114), puasa, haji di Makkah (bukan di Karbala seperti yang difitnahkan secara nyata karena kewajiban ini dilakukan Syi’ah sejak jaman Nabi saww sampai sekarang tanpa ada yang bisa mengingkarinya), zakat, khumus, dan lain sebagainya. 

Dalam Syi’ah juga memiliki fiqih-fiqih Sunnah, baik yang dikenal oleh Sunni dan Wahabi seperti shalat malam, puasa sunnah, haji sunnah dan semacamnya, juga ada yang tidak dikenal atau tidak mau dikenal seperti sunnahnya membaca doa ‘Arafah di mana saja pada hari ‘Arafah. Hal ini kemarin (sekitar sebulan yang lalu) sempat dimanfaatkan oleh para penfitnah untuk melemparkan tuduhan haji di Karbala karena orang Syi’ah membaca doa ‘Arafah di Karbala. Mereka tidak tahu atau sengaja tidak mau tahu bahwa doa ‘Arafah sunnah dibaca pada hari ‘Arafah dimana saja di dunia ini, baik di Karbala atau di Indonesia dan Amerika. 

6. Ajaran Syi’ah ini dapat diketahui dimana saja karena kitab-kitabnya dicetak untuk siapa saja. Hanya karena sebagian saudara selain Syi’ah tidak ingin kitab-kitab Syi’ah ini tersebar di kalangannya, maka mereka sering mencegah diri dari penyebaran dan penjualannya. Padahal percetakan Syi’ah ada di mana-mana di dunia ini seperti Iran, Pakistan, India, Iraq, Suriah, Libanon dan negara-negara lain. 

7. Ajaran Syi’ah yang sudah diIndonesiakan juga teramat banyak dan sudah ratusan atau ribuan buku. 

8. Awal Islam masuk ke Indonesia adalah Syi’ah sebagaimana ditulis sejarawan-sejarawan dunia dan Indonesia seperti Prof Abu Bakar Aceh, Prof A. Hasjmy dan lain-lainnya. Prof A. Hasjmy dalam bukunya “Syi’ah dan Ahlussunnah”, dalam halaman 45-47 menuturkan bahwa Islam yang masuk ke tanah air pertama kalinya adalah Syi’ah, pada tahun 173 Hijriah (800 Masehi). Mereka pendatang yang memang membawa misi dakwah Islam, terdiri dari bangsa Arab, Iran dan India. Lalu setelah menyebarnya Islam dan menjadi kuatnya maka mereka mendirikan pemerintahan Islam (kerajaan Islam) yang pertama kali di Indonesia pada tanggal 1 Muharram tahun 225 Hijriah. Yaitu di Peureulak (Perlak) Aceh. Beliau juga menuturkan bahwa setelah itu kerajaan Abbasiah mengirimkan secara rahasia orang-orang Sunni ke dataran Peureulak dan berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Dan seterusnya, bisa dilihat di buku dan halaman yang dimaksud. Prof Abu Bakar Aceh juga kurang lebih menulis seperti itu dalam bukunya “Aliran Syi’ah di Nusantara”. 

9. Jasa Syi’ah dalam menyebarkan Islam di bumi Indonesia ini tidak bisa diingkari dari sejak awal masuknya. Tokoh-tokoh dan para wali seperti Sunan Sungai Kali Jogo dan yang lainnya juga demikian, yakni tidak bisa diingkari jasanya dalam menyebarkan agama Islam. 

10. Walaupun dengan berbagai pasang surutnya yang dialami Madzhab Syi’ah ini, ia tetap bertahan walau dalam bentuk nisan-nisan batu di Aceh dan berupa budaya seperti Tabot di Sumatra. Sampai akhirnya revolusi Islam Iran (1979) mengingatkan kita kembali akan Islam riwayat Ahlulbait as di Indonesia ini dan banyak orang menyadari kebenarannya dan kembali ke madzhab asli Islam bumi Pertiwi ini. 

11. Penjelasan tentang Syi’ah di Indonesia disampaikan dengan berbagai cara. Seperti menyampaikan dengan cara fitnah (biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka terhadap Syi’ah), dengan cara tidak jelas alias samar (karena memang dirinya masih kabur), dengan cara liberal, dengan cara ortodoks dan campuran ajaran Masehi (seperti melukai diri) dan ada juga yang dengan cara mengatasnamakan Syi’ah akan tetapi menghancurkan sendi-sendi paling penting dan paling mendasarnya (seperti mengingkasi imamah yang meliputi vertikal-horizontal, mengingkari taqlid dan wali faqih, dan semacamnya). 

12. Di samping itu ada juga yang menyampaikan dengan apa adanya. 

Penyimpulan 

Dengan semua mukaddimah di atas, kami ingin menyampaikan bahwa kami berusaha untuk melakukan metode yang terakhir, yaitu penyampaian apa adanya. Dan karena apa adanya itu tidak mudah, disebabkan harus mengetahui apa adanya, maka kami berusaha mempelajari Syi’ah ini selama puluhan tahun tanpa berhenti. Lebih dari tiga puluh tahun kami belajar dalam berbagai bidang ilmu di Hauzah Ilmiahnya (seperti Pesantren tradisional). Untuk Fiqih dan Ushul Fiqih, tingkatan Doktoralnya sudah diselesaikan tahun 2007 (agak lambat karena kami memilih menyelesaikan dulu tingkatan tertinggi dari pelajaran Filsafat dan Irfan disebabkan beberapa alasan tertentu). Untuk Kalam dan Filsafat (untuk kitab Asfaaru al-Arba’ah Mulla Shadra ra yang merupakan akhir pelajaran filsafat) selesai sekitar tahun 1998, untuk Irfannya (kitab Tamhiidu al-Qawaaid dan Fushuushu al-Hikam yang merupakan akhir pelajaran Irfan) selesai sekitar tahun 2000. Tentu saja selain ilmu-ilmu lainnya seperti Tafsir, Hadits, Rijal, Sejarah dan lain-lainnya. 

Akan tetapi karena ilmu itu tidak bertepi, maka tidaklah kami mendapatkan semua itu kecuali teramat sedikit dan itupun sesuai dengan kemampuan yang kami miliki serta ‘inayahNya. Oleh karenanya, kami sama sekali tidak merasa mewakili Syi’ah walaupun sudah berusaha semaksimal mungkin belajar dan menjelaskan masalah-masalahnya sesuai dengan apa adanya tanpa taqiah. Karena taqiah dalam ilmu sudah bukan masanya lagi pada jaman sekarang. Karena di samping informasi dapat dengan mudah dijangkau melalui internet, juga kitab-kitab Syi’ah dapat dibeli dimana saja, terlebih yang bahasa Indonesianya sudah ratusan dan bahkan ribuan judul yang juga dapat dijangkau dengan mudah. 

Metode umum yang dipakai dalam buku ini adalah tanya jawab dan kadang-kadang dalam bentuk penulisan catatan atau makalah. 

Bahasa yang dipakai adalah bahasa santai walau mengandungi berbagai argumentasi yang memerlukan fokus dan kecerdasan tertentu. Bahasa anak muda juga tidak dibatasi. Mulai dari bahasa gurau, setengah bertengkar sampai pada bahasa serius, semuanya ada. Hal itu sengaja kami lakukan supaya dapat meliputi semua lapisan usia dan pendidikan serta latar belakang, dan demi tidak segan-segannya bertanya, berdiskusi dan berdebat dalam masalah keilmuIslaman ini. Sebab sekali saja basa basi masuk dalam keilmuan dan argumentasi, maka kita tidak akan mendapatkan apa yang sebenarnya. Kata-kata yang teramat kasar sudah kami edit. Tapi mungkin saja masih ada yang terlepas. Apapun itu, kasar atau tidaknya, atas nama Syi’ah atau Sunninya, tidak bisa dihubungkan kecuali pada pengatanya belaka dan bukan pada madzhab Syi’ah atau Sunni. 

Wassalam, 

4-10-2016 (2 Muharram 1438)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar