﷽
Jawaban Atas Tanggapan-tanggapan Lanjutan Wahdatul wujud (bgn 5) tahap 2
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 9:41pm
El Rizky Hallaj : Kadangkala kita tinggalkan akal untuk berfikir dengan hati kita, akal memiliki keterbatasan, sedangkan hati dapat menembus segala hijab karena kekuatan hati bisa mengalah- kan segalanya..
Ghufron Mubin : Apa persamaan dan bedanya akal dan hati,
Noer Aliya Agatha : Orang yang Makrifat kepada Allah dengan Dia Maka dia adalah Arif hakiki, orang yang makrifat kepadaNYA dengan Dalil, dia adalah orang ahli kalam. Dan makrifat kepadaNYA dengan takalauid/ikut saja, itulah orang awam. Siapa yang hanya berpegang kepada fikih /syariat tanpa berbagiang kepada ajaran hakikat/tasauf adalah Fasiq. Siapa yang berpegang semata ajaran tasawuf hakikat tanpa fikih syariat adalah Zinqid. Tetapi siapa yang berpegang pada keduanya maka itulah yang benar.
El Rizky Hallaj : Ghufran; walafu, ”apa perbedaan Shalat dan Dzikr...???”
Khana Putra : Secara epistimologi dzikir diambil dari kata ”dzakara-yadzkuru-dzikran” yang berarti mengingat. Jadi makna dzikir adalah mengingat Allah subhanahu wata’ala, kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun. Sholat berasal dari bahasa Arab ( As-Sholah... ) yang berarti Do’a.
El Rizky Hallaj: Khana; walafu, ana ga tanya ente.. kalau ente jelas sudah tau.
Ghufron Mubin : Sholat adalah ibadah khusus yang pelaksanaannya diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dan sholat secara bahasa adalah dzikir, tetepi dzikir belum tentu sholat.
Ghufron Mubin : Maaf saya fikir antum nulis ke ana karena ana lihat Ghufran, itu bagian dari nama saya.
Khana Putra : Allah menutup hati makhluk-Nya dengan hijab yang halus. Para ulama terhalang karena keluasan ilmunya. Para zahid terhijab karena ambisinya. Dan para hukama’ tak mampu menembus karena kehalusan hikmahnya. Orang-orang arif dan para pecinta sejati tak ada yang menghalanginya. Hal itu karena mereka menempatkan kalbu sucinya dalam cahaya Ilahi. (rabiah al adawiyah).
El Rizky Hallaj : Jasmani dan ruhani ini kenapa saling bertentangan..???
Moldi Putra Mahkota Indah : @Khana; apa perbedaan percaya iman dan yakin...?
Ghufron Mubin : Tetapi ingat kawan dia betul karena dia lagi dalam cinta dan orang yang bertaubat dari masa lalunya, imam Syafi’i ra. mengatakan, kalau ulama-ulama yang beramal dengan ilmunya yang ikhlas dengan pengetahuannya itu bukan kekasih Allah maka akan ada kekasih (wali) Allah di muka bumi ini.
Ghufron Mubin: Maaf, tidak akan ada kekasih.
El Rizky Hallaj : Jadilah kalian kekasih di antara kekasih dan berjalanlah dengan cahaya hatimu..!!!
Peesbuk Gaul: Embuh ya enah.
Sinar Agama : Salam untuk semua: Maaf karena lama baru balas komentar-komentarnya. Komentar yang akan kubuat ini adalah untuk semua, tidak satu persatu:
1. Tentang akal dan hati, maka tidak siapapun dibolehkan mengikuti kata hati. Karena hati bukan ukuran kebenaran. Kalau hati di sini dipakai untuk ruh bagian perasa, yakni tempatnya merasa sedih, senang, marah ...dan seterusnya, dimana dalam istilah filsafat disebut ruh-hewani dimana semua binatang juga memilikinya. Tetapi kalau hati yang bermakna akal, maka dia adalah akal itu sendiri dan bisa dan bahkan harus dijadikan tolok ukur. Hati dalam bahasa arab bisa bermakna yang pertama itu dan bisa bermakna akal baik dalam kamus bahasa arab-arab atau arab-indonesia. Dan Qur'an hanya menerima makna kedua kalau untuk dijadikan ukuran kebenaran. Seperti QS:50:37, Allah berfirman : ”Sesungguhnya yang demikian itu (adzab yang menimpa kaum-kaum terdahulu) adalah dzikir (peringatan) bagi Orang yang punya hati atau Orang yang mendengar yang menyaksikan ”. Di sini jelas peringatan ini tidak bisa dikatakan untuk hati, karena dia berasal dari ingat dan sekarangpun memiliki arti ingat alias peringatan. Ingat dan per-ingat-an adalah pekerjaan akal.
Dalam QS: 7:179 Allah berfirman : ”Dan telah Kami jadikan neraka bagi orang-orang yang banyak dari manusia dan jin, mereka itu punya hati tetapi tidak digunakan untuk memahami, punya mata”. Di dua ayat ini jelas bahwa yang dimaksud dengan hati adalah akal bukan perasaan. Oleh karena itu, hati yang bermakna perasaan ini tidak memiliki tempat dalam Qur'an. Kalau dalam filsafat, hati yang untuk merasa ini, masih dimiliki semua binatang. Sementara agama diturunkan Tuhan hanya untuk manusia karena memiliki akal. Jadi, ukuran kebenaran itu haruslah dengan akal, tidak dengan hati yang bermakna merasa.
2. Akal atau hati yang bermakna akal ini memiliki dua peringkat: Pertama memahami masalah yang dihadapi. Ke dua memahami bahwa kalau yang dipahaminya itu hal kebaikan, harus diamalkan, dan kalau keburukan harus ditinggalkan. Yang pertama biasa dikenal dengan akal nazhari dan yang ke dua dikenal dengan akal-amali.
Orang yang baru mencapai yang pertama, dia belum dikatakan orang berakal. Karena baru memahami masalahnya, seperti yang memahami bahwa kalau berjalan di tengah jalan tol bisa tertabrak mobil. Apakah anda akan mengatakan bahwa orang yang paham itu berakal, dengan dia sekarang sedang asyik berjalan di tengah-tengah jalan tol. Anda pasti akan berkata atau bahkan berteriak Gila.
Pada yang ke dua inipun, yakni yang memahami bahwa harus dilakukan (kalau kebaikan) atau ditinggalkan (kalau keburukan), belum juga bisa dikatakan orang berakal. Karena dia baru memahami masalahnya dan baru memahami bahwa pahamannya memiliki konsekwensi. Baru kalau sesudah mengejawantahkannya, yakni mengaktualkannya yang dalam istilah filsafatnya sesudah mencapai akal-amali yang fi’liyyah, maka orang inilah yang dikatakan berakal oleh filosof atau pada hakikatnya. Karena bagi orang umum, asal bisa memahami sesudah dikatakan berakal. Tetapi bagi kenyataan yang sesungguhnya atau bagi filosof, maka hanya yang telah mengaktualkannya.
El Rizky Hallaj : Terus tempatnya Nafsu di mana???
Sinar Agama : Ketika ilmu itu sudah diamalkan, maka mulailah ruh atau jiwa pelakunya tadi tersinari dengan sifat atau aksiden baru yang ada padanya. Dan kalau terus dilakukan, maka akan menjadi substansinya atau hakikat dirinya. Maka ia akan menjadi orang yang memiliki bagian hakikat atau substansi, shalat, manakala shalat tersebut sesudah tidak lagi bisa ia tinggalkan. Tentu shalat yang shalat, bukan shalat yang hanya bentuknya saja.
3. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mau kemana saja, harus melalui akal. Artinya mau ke maqam apapun saja harus melalui akal, supaya, pertama, bisa mengerti masalahnya, ke dua, mengerti kalau harus diamalkan, ke tiga mengaktualkan yang diketahuinya.
4. Ketika seseorang masih di tingkatan pertama, atau di tingkatan ke dua, atau bahkan di tingkatan ke tiga yang belum mencapai derajat substansi, maka yang diketahuinya itu masih bersifat akliah saja, belum mencapai ”Rasa”. Artinya dia masih terhijabi dari hakikat yang diketahuinya itu. Namun, dengan hijab nur atau ilmu, bukan dengan hijab gelap atau ketidaktahuan.
Dan ketika sesudah mencapai substansi, yakni ianya sesudah mencapai substansi yang diketahuinya itu atau telah menjadi satu dengan yang diketahuinya itu, atau dengan kata lain sesudah menjadi tambahan substansinya yang baru, maka kala itulah ia telah benar menyatu dengan yang diketahuinya secara hakikat dan hakiki, tidak seperti sebelumnya dimana yang menyatu dengan dirinya itu hanya ilmu atau info dari yang diketahuinya itu.
Nah, ketika sesudah menyatu itulah yang dikatakan dengan ”Merasakan”. Ibarat orang tahu, setelah diberi tahu dengan argumen, bahwa kurma itu manis, dan stelah itu menjadi tahu bahwa kurma itu baik untuk dirinya, maka ia mencarinya dan berusaha memakannya (kalau dalam perbuatan berusaha melakukan dan istiqamah dalam pelaksanaannya itu), dan kemudian dia mencapai kurma itu dan mencapai pencicipan kurma yang manis itu dengan hakikat pencicipan, bukan info manis dan info pencicipan.
5. Dengan penjelasan terdahulu itu dapat diketahui bahwa ilmu memiliki derajat, pertama ilmu terhadap masalahnya, ke dua ilmu terhadap konsekwensinya, ke tiga ilmu yang di dapat dengan penyatuan dengan obyek ilmunya secara hakikat dan esensi. Dan dengan demikian dapat diketahui bahwa ketidaktahuan juga memiliki derajat-derajat tersebut karena setiap derajat dari ilmu itu sama dengan ketidaktahuan bagi ilmu yang berikutnya. Oleh karena itulah, maka ilmu-ilmu tadi dikatakan nur, karena menjelaskan obyek ilmu, tetapi dikatakan hijab bagi yang berikutnya, tetapi hijab nur,sekalipun belum nur bagi yang berikutnya tersebut.
Dengan demikian hijab memiliki dua bagian secara global, hijab kegelapan alias ketidaktahuan dan hijab cahaya yakni hijab dari nur yang, kalau dibandingkan dengan tingkat berikutnya belum berupa nur atau masih terhijabi.
6. Dalam istilah yang lain ilmu itu adalah Syariat (karena dalam hadits Nabi saww dikatakan
«kata-kataku/ajaranku”), tentu saja ilmu di sini adalah ilmu terhadap masalahnya dan konse- kwensinya. Sedang aktualitas yang belum mensubstansi, dikatakan sebagai Thariqat (dalam hadits disebut ”A’mali” atau ”Perbuatanku”). Dan aktualitas yang sesudah tidak bisa berubah, atau yang sesudah mensubsatansi adalah Hakikat (karena dalam haditsnya dikatakan oleh Nabi saww sebagai ”Hali” atau ”Keadaanku/capaianku”)
7. Kalau agama dan cinta Tuhan, dijadikan obyek ilmu-ilmu tadi, maka kita bisa mengatakan bahwa manusia memiliki beberapa golongan :
a. Orang yang tidak tahu agama, syariat dan cinta Tuhan dengan dalil-gamblang dan argu- mentatif-mudah yang, mungkin sok pakai hati/perasaan/kehewanan.
b. Orang yang tahu ketiganya dengan dalil-gamblang dan argumentatif.
c. Orang yang tahu ketiganya dan tahu konsekwensinya.
d. Orang yang tahu ketiganya dan konsekwensinya serta berusaha mencapainya dengan gigih dalam aktualitasnya.
e. Orang yang sampai pada obyek ilmunya itu dengan manyatu dengannya, bukan dengan infonya, dalilnya, info konsekwensinya.
8. Orang yang sampai pada masing-masing derajat di atas itu, memiliki bahasa sendiri-sendiri:
a. Golongan “a” ini memiliki dua bagian, ”tidak tahu sederhana” dan ”tidak tahu ganda”. Bahasa yang tidak tahu sederhana, mudah dipahami karena dari awal dia sudah tahu kalau dirinya tidak tahu masalah yang dihadapi. Tetapi bagi yang ganda, yakni yang tidak tahu masalah dan tidak tahu kalau dirinya tidak tahu, memiliki bahasa yang ruwet dan tidak teratur. Memang kalau cuma satu baris pendek, belum ketahuan ngacaunya, tetapi kalau disuruh bicara banyak maka akan ketahuan ketidak selarasannya. Tetapi biasanya, sok mantap, dan sering juga sesudah merasa melebihi bahkan para ilmuwan kalau bicara ilmu dan melebihi arif kalau bicara akhlak dan irfan. Atau setidaknya sesudah merasa sama dengan para ilmuwan dan arif.
b. Golongan "b" ini memiliki bahasa yang nyaman karena argumentatif-gamblang. Sesusah apapun masalah yang dibicarakannya selalu selaras dan mudah dipahami, atau, setidaknya bisa terjangkau. Namun, demikian, kalau golongan ini terjebak hanya di sini, maka ia akan selalu mengingkari hal-hal yang bersifat rasa dan pencapaian. Tentu saja karena tidak memiliki argumentasi. Maka dari itulah Mulla Shadra ra sangat berjasa karena dia dapat membangun argumentasi dari rasa-rasa dan pencapaian-pencapaian itu. Tentu saja bukan pelakunya, tetapi masalahnya saja. Jadi, tidak mencakup kebenaran pengaku- sampai pada rasa atau derajat pencapaian itu. Jadi, yang mengaku bisa saja benar, bisa saja salah, baik bohong atau jujur tetapi salah dalam merasa dan mencapainya.
c. Golongan "c" ini tidak berbeda dengan golongan "b", tetapi biasanya bahasa yang dipakainya sering menggunakan penekanan di penerapannya. Yakni selalu menekankan pengamalan dalam ilmu yang juga penekanannya itu juga dibangun di atas argumentasi pula. Kondisi golongan ini, tidak jauh beda dengan yang golongan ”b” tersebut, selain banyak penekanan pada aktualisasinya disamping mengerti masalahnya.
d. Golongan "d" ini, memiliki bahasa yang dicerminkan dengan amal dan aktualisasi. Dan biasanya dikenal dengan ”akhlaki”. Bahasa golongan ini ada dua macam. Ada yang ngacau di masalah yang dia tidak tahu yang dia merasa tahu karena dia kira dengan banyak aktualisasi bisa berkomentar apa saja tentang agama, syariat dan cinta Tuhan, tanpa pendidikan khusus. Mungkin anda bertanya ”mengapa bisa beramal kalau tidak tahu? ”. Jawabnya, dia tahu betulan atau bisa saja merasa tahu terhadap apa-apa yang diaktualisasikan itu. Di sini tidak masalah, kecuali di yang merasa tahu itu. Tetapi walau tidak masalah dalam bidang yang dia aktualkan itu, tetapi bisa terjadi masalah di apa- apa yang dia belum ketahui itu yang, mungkin dia sadari atau tidak.
Maka dari itu sering kita melihat orang baik dan taqwa secara lahiriah, tetapi sok tahu dalam masalah-masalah ke-Islaman atau pemikiran tentang Islam dan kehidupan. Nah, hal ini akan lebih parah lagi, kalau terjadi pada yang tidak taqwa dan tidak aktual itu, tetapi merasa tahu padahal tidak terdidik dengan akademis yang, sudah tentu yang ini, tergolong dari golongan ”a” bagian ke dua sebagaimana maklum.
Golongan ”d” bagian pertama ini, yakni yang ngawur dalam keilmuan, tidak selamanya orang yang sok tahu dan jahat. Tetapi bisa saja orang yang tahu betulan apa-apa yang dia aktualkan itu dimana dia sesudah mulai menyentuh rasa-rasa dan pencapaian- pencapaian itu, tetapi karena dia tidak tahu tentang ilmu dan tidak mempelajarinya dengan peristilahan yang ada, maka ketika ia ingin menjelaskan apa-apa yang dia mulai rasakan itu, maka menjadi kacau dan ngacau.
Golongan ini sebenarnya masih dalam keterombang-ambingan dalam masalah-masalah keilmuan dan bahkan hakikat mulai-merasanya itu. Jadi, ada kekacauan ilmu, tetapi di lain pihak ada ketidakpastian kebenaran dari permulaan rasa-rasa tersebut.
Kekacauan ilmu dari golongan ”d” bagian pertama ini, jelas karena tidak memiliki pengetahuan dan kedisiplinan yang dalam tentang ilmu-ilmu agama, syariat dan cinta Tuhan itu. Dan ketidakpastian permulaan-rasa yang dia rasakan itu, karena dia sendiri tidak memiliki tester untuk membuktikannya kepada dirinya sendiri atau apalagi kepada (orang lain. Golongan ini, banyak sekali yang berantem dan berperang dengan kelompok ”b” atau ilmuan.
Tester yang saya maksud adalah ilmu yang argumentatif-gamblang itu. Nah, peperangan dan adu mulut atau tulisan antara golongan ini dengan golongan ”b” dapat dipastikan akan sengit. Karena yang golongan ”b” tidak memiliki bukti ilmiah (argumentatif) bagi rasa yang mulai dirasakan golongan ini, dan juga sesudah pasti tidak akan memiliki dalil terhadap kepastian benarnya rasa yang dirasakan oleh oknumnya.
Jadi, anggap yang mulai dirasakan itu sesudah benar karena ilmu yang diaktualkan kebetulan benar dan yang pelaksanaannya juga benar hingga permulaan rasa yang dirasakannya juga benar, akan tetapi, karena dia sendiri tidak memiliki ilmu untuk membuktikannya untuk dirinya dan orang lain, maka sudah tentu golongan ”b” tadi tidak akan pernah menerimanya. Paling tidak hanya bisa memungkinkannya. Itupun sangat kecil kemungkinannya. Tentu saja setelah Mulla Shadra, maka memungkinkan itu sesudah lebih mudah, karena rasa tersebut sudah bisa dibuktikan kebenarannya, dan hanya kebenaran seseorang yang merasakan tersebut yang tidak bisa dibuktikannya.
Golongan ”d” bagian ke dua, adalah golongan yang memang datang dari golongan ”b”. Maka dari itu bahasanya enak, nyaman dan argumentatif. Karena ia sebelum aktualisasinya, sesudah belajar sampai lumutan, ilmu-ilmu keislaman dalam berbagai bidangnya itu. Golongan ini tidak memiliki musuh kecuali kelompok orang bodoh yang tidak tahu bodohnya, baik dari golongan yang tidak taqwa atau yang secara lahiriah terlihat taqwa dan taat.
Dikatakan lahiriah karena memang taqwa, tetapi kadang amalannya tidak sesuai kebenaran Islam, atau kalaulah sudah benar, tetapi karena dia berkomentar tentang keIslaman yang tidak dipelajarinya dengan akademis itulah yang menyebabkan dia tidak taqwa dalam hal ini. Karena itulah saya katakan taqwa secara lahiriah. Yakni dalam amalannya yang salah itu, atau dalam komentar-komentarnya saja manakala amalannya sesudah benar.
e. Golongan “e” ini ada dua juga. Pertama, orang yang tidak memiliki ilmu-ilmu yang akademis sistematis, dan ke dua yang memilikinya. Bahasa dari golongan pertamanya, adalah kacau dan tidak bisa dipahami para ilmuan. Dari satu sisi capaiannya terhadap sesuatu yang belum argumentatif (sebelum Mulla Shadra), dan dari sisi yang lain kebenaran kepencapaiannya juga tidak bisa dibuktikan dengan dalil dan argumen-gamblang.
Golongan ”e” bagian pertama ini sering berantem dengan golongan ilmuwan, begitu pula sebaliknya. Dan di sini, menjadi sangat susah untuk melerai mereka. Tuduhan tidak pakai akal, yang lainnya menuduh tidak pakai hati dan semacamnya adalah seperti biasa dalam keterberhadapan mereka-mereka ini. Lebih parah kalau keributan itu muncul dari orang yang jahil murakkab yang merasa ilmuan dan yang lainnya merasa golongan hati. Nah, di sini pergelutannya lebih seru, karena tidak ada konsekwensi batiniah terhadap yang diucapkan. Katakanlah sudah tidak takut lagi sama Tuhan. Beda halnya dengan mereka- mereka itu, karena masih takut Tuhan karena ilmunya dan yang satunya takut Tuhan karena rasa yang muncul dari amalan-amalan gigihnya. Sedangkan yang bodoh-bodoh murakkab ini, sudah tidak belajar secara akademis tetapi merasa tahu, dan yang lainnya masih banyak maksiat sudah merasa punya hati hidayahi.
Sedang golongan ”e” bagian ke dua adalah yang datang dari golongan-golongan sebelumnya, yakni dari golongan ilmu-argumentatif gamblang dan mengaktualkannya dengan gigih hingga mulai ada rasa pencapaian dan sekarang benar-benar sesudah mencapainya. Golongan ini, bisa membuktikan bukan hanya sesuatu yang dicapainya itu, tetapi kebenaran kepencapaiannya juga bisa dia buktikan. Dan biasanya dia tidak tertipu lagi dengan capaian- capaian atau ilham-ilham palsu, karena setiap capaian dan ilham-ilhamnya selalu disaring dengan ilmu argumentatif gamblangnya.
Bahasa golongan ”e” bagian dua ini, enak, nyaman dan argumentatif. Mereka tidak memiliki musuh kecuali orang-orang bodoh murakkab, baik dalam ilmu-ilmu amalan atau capaian- capaian. Namun demikian, apakah pasti capaian-capaiannya itu benar karena sesudah disaring dengan argumen gamblang?
Jawabnya ”belum tentu”. Karena, bagaimanapun hebatnya pernungan akal, tetap saja sulit menjangkau hakikat-hakikat wujud non materi secara rinci. Terus apa ukuran kebe- narannya kalau begitu? Jawabnya sama dengan ukuran kebenaran Ilmu-ilmu Islam se- belumnya. Yakni orang Makshum. Karena dengan orang makshum yang kasyaf dan pemahamannya juga makshum inilah capaian-capaian orang lain bisa ditester. Dengan demikian, maka keperluan dan kebutuhan kepada imam makshum ini bukan hanya dalam syariat lahiriah, tetapi dalam kasyaf-kasyaf batiniyyah juga sangat memerlukannya.
Namun demikian keperluan kepada ketesteran imam makshum ini hanya sebatas se- belum mencapai akal-akhir. Karena sebelum itu banyaknya kekacauan ilmu dan kasyaf yang disebabkan kekentalan hubungan ruh dan badan manusia secara fitrahnya. Tetapi kalau sesudah sampai ke Akal-Akhir dan seterusnya sampai ke Akal-Awal, maka tidak perlu imam Makshum as lagi sebagai tester, karena dia sendiri sesudah menjadi tester itu.
Terus apa sesudah itu tidak perlu sama sekali kepada imam Makshum? Jawabnya, tentu saja perlu, tetapi bukan di ketesteran ilmu dan capaiannya itu, tetapi dalam pengajaran dan syafaat untuk tingkatan dan derajat setelahnya.
Dengan penjelasan yang terakhir ini, dapat dipahami bahwa capaian-capaian itu memiliki derajat pula sebagaimana ilmu. Ada yang salah, ada yang benar tetapi salah dipahami, ada yang benar dan benar dipahami, ada benar dalam capaian dan pemahaman tetapi masih rendah, ada yang sesudah meninggi begitu seterusnya sampai ke Akal-akhir yang biasa kita kenal dengan Lauhu al-Mahfuzh, dan begitu seterusnya sampai ke Akal-awal, terus ke fanaa’ terus ke fanaa’ dalam fanaa’nya, terus ke Asma-asma Allah dan seterusnya sampai ke perjalanan ke empat sebagaimana sesudah dijelaskan sebelumnya.
Dengan tulisan ini, maka saya sudah merasa mengomentari komentar-komentar yang ada. Jadi tolong sesuaikan sendiri dengan kejelian yang tinggi dan konsentrasi penuh. Kalau dengan itu masih merasa belum terkomentari, maka bisa tulis koment lagi dan meminta jawaban, tetapi tolong sebisa mungkin tidak keluar dari fokus bahasan, sekalipun boleh saja kalau berhubungan.
Sekian. Wassalam. Terima kasih. Al’fatiha – Sholawat..
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar