Senin, 30 Juli 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 3)





Seri Tanya – Jawab Haerul Fikri dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 8:51 pm



Haerul Fikri: ustad.. saya sangat tertarik dan mengikuti diskusi anda dengan Anggelia tentang wahdatul wujud Ibnu Arabi dan wahdatul wujud mulla Shadra distatusnya, bisakah ustad menguraikan tingkatan-tingkatan wujud dalam keber”ada”annya, sebagimana yang dimaksud Mulla Shadra ?

Apakah tingkatan-tingkatan wujud tersebut bersifat kekal sejak adanya atau mengalami evolusi, perubahan, perombakan, atau bahkan pemusnahan ?

Apakah alam materi yang sekarang ini merupakan alam materi pertama.. lalu, apakah ada penciptaan makhluk di alam materi setelah hari pembalasan ?

Sinar Agama: Maaf lambat karena semalam gangguan singal/sinyal dan sudah mulai lagi kelas- kelas kami. Yang dimaksud dengan tingkatan wujud yang kembali kepada wujud dan tidak kembali kepada essensi, seperti wujud sebab dan akibatnya. Kalau dalam pandangan orang awam tentang filsafat, beda sperma dengan darah,(spasi)daging dan bayi adalah ke-spermaan-nya dan ke darahan, kedagingan dan kebayiannya.

Karena bagi orang yang awam terhadap filsafatnya Mulla Shadra, melihat perbedaan itu di esensinya.

Tetapi bagi yang mengerti filsafat muta’aliahnya Mulla Shadra, maka beda-beda itu ada pada wujudnya, yaitu pada tingkatannya. Dimana dalam contoh ini, sperma terbedakan dari darah, daging dan bayi, dari sisi tingkatan wujudnya sebagai sebab. Kembali sebab lebih tinggi dari akibatnya yang tergantung kepadanya dalam ”mau-adanya” dan keberlangsungan adanya. Jadi, sebab lebih tinggi dari akibat dan akibat lebih rendah.

Tentang derajat-derajat wujud itu apakah kekal atau tidak, maka sudah pasti tidak kekal kalau wujudnya materi.

Karena definisi dan hakikat materi adalah ”suatu keberadaan yang bervolume atau memiliki tiga dimensi - panjang, lebar dan tebal- dan gerak/proses/perubahan.”

Jadi, karena materi memilii zat yang namanya perubahan, maka dia tidak akan pernah tetap sedetikpun. Karena itu, batu, pohon, manusia dan apa saja yang materi, tidak pernah tetap sedetikpun walaupun kita lihat pohon di depan rumah kita misalanya, tidak berubah esensi. Bagitu pula, yakni tidak pernah tetap, wujud-wujud non materi yang terkait dengan materi, yakni ruh.

Wujud-wujud ruh tersebut, tidak pernah diam walau sedetikpun karena mengikuti kebergerakan dan keberprosesan materinya/badannya. Tetapi rahasia/sebab keberprosesan ruh atau esensi- esensi materi seperti pohon, manusia, dllnya itu, ada pada kebendaan materi. Jadi, kebendaan (volume) dari pada materi itulah yang menjadi landasan bagi perubahan semua esensi materi dan non materi yang terkait dengan materi, yakni ruh yang ada pada setiap materi. Lihat Wahdatul Wujud Bgn 1 dan 2.

Kebendaan materi ini (matter) menjadi tumpangan semua perubahan esensi materi atau non materi yang terkait dengan materi (ruh). Dan matter ini sendiri tidak pernah berubah dari sisi kebendaan atau ke-matter-annya. Jadi, dia tetap saja panjang,lebar dan tebal, sekalipun sudah berubah sejuta kali.

Misalnya sperma, dia adalah panjang, lebar dan tebal, tetapi memiliki form atau katakanlah esensi sperma.Ketika berubah jadi darah, maka yang berubah hanya formnya/esensinya atau defrentia dekatnya, bukan bendawiyahnya saja. Yakni bukan panjang, lebar dan tebalnya.

Nah, dua kenyataan ini, yakni keberubahan benda yakni esensinya dan ketetapan benda yakni volumenya sebagai volume bukan sebagai beda ukurannya, dan ditambah lagi dengan kemestian adanya gerak pada benda atau materi, maka semua esensi berubah-ubah dan benda sebagai tumpangannya tetap tidak berubah, dari sisi kebendaannya atau kevolumeannya maka dapat dipahami bahwa esensi-esensi itu tidak pernah diam. Dan karena gerak itu selalu menyempurna (saya tidak akan buktikan di sini), maka semua esensi selalu bergerak atau berubah ke arah yang lebih sempurna.

Tetapi ingat, bahwa matter (panjang, lebar dan tebal) atau bahkan esensi materi seperti sperma, sekalipun dia dikatakan sebab dari darah, daging dan bayi, tetapi dia adalah sebab materinya.

Yakni kelebihsempurnaannya hanya dari ke-matter-annya, bukan dari wujud utuhnya. Terus siapa penyebab hakiki dari perubahan sperma ke darah atau daging atau bayi itu?

Penyebab hakiki dan penyebab wujudnya adalah tuhan spesiesnya, atau malaikat pengatur manusia. Maka dari itu sperma tidak dikatakan sebagai ”sebab-pelaku”, tetapi hanya sebagai sebab-potensi” atau ”sebab-penyiap”.

Nah, benda-benda yang menua dan mati, seperti manusia, binatang dan pohon, sebenarnya, esensi) dan hakikatnya tidak hilang. Tetapi kembali ke tuhan-spesiesnya itu, dan bendawiyahnya yakni panjang, lebar dan tebalnya, berputar kembali dan menunggu form/esensi berikutnya.

Daging yang jadi sperma, lalu jadi darah, daging dan bayi lalu jadi manusia dan kemudian mati akan kembali lagi ke bendawiyahnya, misalnya tanah ketika sudah menjadi tanah di kuburan. Tetapi esensi akhir dari yang dicapainya, kembali kepada tuhan-spesiesnya atau malaikat pengaturnya dimana proses itu dikatakan dengan ”wa innaa ilaihi rooji’uun”.

Bagitu pula gerakan esensi lain. Misalanya pohon padi yang ditebang, dia akan mati. Yakni matternya kembali ke tanah, dan spesiesnya kembali ke malaikat pengaturnya, yakni malaikat padi. Gampangannya adalah tubuh padi kembali ke tanah, dan ruh padi ke malaikat padi.

Dengan semua penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa semua materi atau non materi yang menyangkut pada materi (ruh) semuanya bergerak menyempurna. Tetapi berbeda- beda capaiannya, ada yang hanya sampai ke padi, dan kambing dan ada sampai pada tingkatan manusia. Dan manusia ini juga ber-beda-beda. Ada yang ke taqwa dan surga dan ada pula yang ke amoral dan neraka. Yang taqwa juga bertingkat dan begitu pula yang amoral.

Dan karena penyempurnaan itu adalah penambahan hakikat baru terhadap hakikat yang lama (lihat jawabanku pada wahdatul wujud bagian 2), maka sudah pasti bukan penghancuran, tetapi ”penambahan”. Hal inilah yang dikenal dalam makna sudah pasti bukan penghancuran, tetapi ”penambahan”. Hal inilah yang dikenal dalam filsafat sebagai ”al-lubsu ba’da al-lubsi”. Yakni ”berbaju setelah berbaju”. Yakni beresensi setelah beresensi. Yakni menumpuk esensi, yakni menumpuk diferentia akhir (lihat jawabanku pada wahdatul wujud bagian 2)

Sedangkan apakah alam materi yang sekarang ini adalah yang pertama? Sebabnya hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas kalau dalam filsafat, materi ini sebagaimana ada permualaannya, begitu pula ada akhirnya.

Yakni sebagaiamana sebelum mulanya dia tidak ada, maka setelah akhrinya dia juga tidak akan ada. Yakni akan menjadi seperti semula, yakni tidak ada. Tetapi ingat, karena ”tiada” itu ”tiada”, artinya tidak bisa diapa-apain, apalagi dicipta, maka alam ini sewaktu tidak ada, dia bukan tidak ada secara mutlak. Karena yang tiada tidak bisa dijadikan ada.

Karena ”dijadikan” perlu kepada obyek. Dan kalau ’tiada” mana bisa dijadikan obyek. Misalnya membuat tiada menjadi tempe atau alam. Tiada, adalah tiada secara zati, tidak bisa diapa-apain walau oleh Tuhan. Karena memang tiada.

Dengan demikian maka alam ini tidak mungkin dari tiada, tapi dari ada. Sudah tentu dari ada yang lain dan dari tiada yang nisbi atau dinisbahkan, yakni yang dinisbahkan kepada alam yang lain dan dari tiada yang nisbi atau dinisbahkan, yakni yang dinisbahkan kepada alam hingga menjadi ”tiadanya alam”. Jadi, alam dari tiadanya alam, alias dari keberadaan yang lain.

Katakanlah dari malaikat alam materi. Jadi, alam ini sebagaiamana dari malaikat itu, dia juga akan kembali ke malaikat tersebut. Dan karena penyebab hakiki itu adalah Allah, maka sebenarnya alam ini dariNya dan akan kembali padaNya, bukan dari tiada dan kembali pada tiada.

Setelah semua ini diketahui, maka ketahuilah bahwa setelah ketiadaan alam materi ini, yakni setelah kembalinya dia kepadaNya, maka akan terjadi penciptaan kembali.

Apa alasan dan dalilnya? Alasan dan dalilnya sama dengan penciptaan pertamanya. Apa saja alasan Tuhan mencipta pertama kalinya, alasan tersebut juga akan menjadi alasan penciptaan berikutnya.

Kecuali kalau Tuhan menjadi kapok, salah, bakhil, linglung, lupa, jera, dan seterusnya dimana hal-hal tersebut tidak mungkin terjadi pada Allah yang tidak terbatas, yakni yang tidak memiliki kekurangan sedetikpun.

Ini tentang penciptaan ke depan yang akan berulang tanpa henti. Sedangkan yang telah lalu hanya Tuhan yang tahu.

Akan tetapi ada isyarat dari imam Shadiq as bahwa nabi Adam as ayah kita adalah yang kesejuta adam. Yakni kalau dimaknai dengan bahasa matematik, maka alam kita ini adalah yang kesejuta alam. Tetapi kalau dimaknai dengan bahasa penggelobalan, maka berarti alam kita ini adalah alam yang sudah tidak terhitung kalinya.

Sekian dan wassalam..

Semoga manfaat. Al-Fatihah - Sholawat. Anggelia Sulqani Zahra’.





اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar