Selasa, 31 Juli 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian : 6) Dalam Tinjauan Naql





Seri Tanya – Jawab : Rudiyanto Sudarman dan Ustad’ Sinar Agama”
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 17:28


Rudiyanto Sudarman : Salam!

Saya punya teman yang dikenal kritis dan cerdas, kami biasa diskusi di warung kopi. Yah, sebagai diskusi ala warung kopi, ego dan arogansi sangat terasa yang terkadang pikiran “gila” juga terlontar begitu saja. Saya sih dah maklum sikap teman ini (tak perlu saya sebutkan), tetapi terkadang pikiran dan pertanyaan yang terlontar olehnya seakan menampar dalam..

Ada beberapa pertanyaan yang masih membenam, diantaranya:

1. Tentang percakapan/dialog antara Nabi Musa AS dengan Yang Haq dalam surat at thaha, mulai ayat 10. Bahkan dia menyindir tentang ayat 17. “Loh, koq Tuhan bertanya?” sindirnya. 

2. Dia paling sering mempertanyakan penggunaan kata AKU dan KAMI, dalam Al Qur’an sebagai pengganti Yang Haq. 

Pikiran nyeleneh teman ini juga sudah saya tanyakan ke beberapa orang, semoga saja Sinar Agama juga dapat membantu. 

Terima kasih banyak sebelumnya. 

Sinar Agama : Salam, Sebenarnya, surat Thaha ini adalah salah satu surat yang berkenaan dengan dalil-dalil ayat dari Irfan atau wahdatul wujud yang kami bahas dengan anggelia dan teman-teman. Akan tetapi tentang yang dipertanyakan Anda di sini, sepertinya bukan dari dimensi tersebut. Dan memang, untuk mengatasi teman Anda itu tidak perlu membahas dimensi wahdatul wujudnya itu. dan menurut saya cukuplah dengan jawaban yang saya akan berikan beriktut ini. Tetapi kalau menurut Anda terasa belum cukup juga, maka tolong dikomentari lagi komentar saya ini. 

Sebelum saya jawab tentang fokus utama dari kandungan pertanyaan Anda yang, sebenarnya pertanyaan dan, katakanlah, olokan teman Anda itu, yaitu tentang mengapa Tuhan bertanya pada Nabi Musa as tentang apa yang ada ditangannya, saya akan mencoba menerangkakan dulu maksud sebenarnarnya ayat-ayat Thaha itu. 

Sebenarnya, malam itu Nabi Musa as, sedang dalam pertengahan perjalanannya dari tempat mertuanya, yakni nabi Syu’aib as yang berada di kota atau tempat yang bernama Madyan, yaitu gunung yang berada di sebelah barat-daya Saudi Arabiah, menuju ke negeri Mesir. 

Sudah tentu beliau as bersama keluarganya dan juga bersama ternak-ternaknya. Sesampai di daerah Siyna’ atau Sina, yaitu salah satu daerah padang pasir di Mesir, dalam keadaan malam, gelap dan dingin. Beliau pada waktu itu kehilangan arah perjalanannya, ternak-ternaknya pun sudah berhamburan ke-mana-mana. Sementara itu istri beliau sedang dalam keadaan mau melahirkan. Beliau kala itu ingin membuat api, tetapi selalu gagal (mungkin karena kencangnya angin). Nah, dalam pada itulah beliau melihat api di kejauhan. 

Waktu itulah beliau as, mengatakan pada keluarganya untuk tinggal sebentar menunggu beliau yang akan mengambil api untuk memanasi diri dan menerangi gelapnya malam dan, juga menanyakan jalan yang benar menuju ke arah kota yang ditujunya di Mesir. Karena dengan adanya api, berarti ada api yang bisa diambilnya, dan juga berarti ada orang yang bisa ditanyainya arah yang diinginkannya. 

Akan tetapi ternyata api yang dilihat Nabi Musa as tersebut adalah Cahaya Ilahiyyah yang, katakanlah dalam istilah irfannya Tajalli Allah atau bisa juga Tajalli Ilmu Allah. Dan api ini sebenarnya penyimbolan terhadap kehidupan, semangat, cahaya, kehangatan dan juga pernah dipakai Allah di agama Majusi. 

Perlu dikatahui bahwa agama Majusi itu tadinya agama Allah/Tuhan yang satu, dan dalam penyimbolan kemuliaannya memakai istilah “Api”, tidak seperti Islam kita yang memakai “Cahaya/ nur”. Tetapi lama kelamaan yakni api ini menjadi semacam Tuhan itu sendiri. Tetapi mungkin saja sampai sekarang mereka tidak menyembah api, sebagaimana kita tidak menyembah Ka’bah, tetapi yang umum kita kenal adalah meyakini dua tuhan baik-buruk yang berada dibawah Tuhan yang Satu yang bernama Ahuramazda. 

Saya tidak mau menjelaskan agama Majusi yang tadinya agama Tuhan yang kemudian diseleweng- kan seperti agama Kristen, tetapi ingin sedikit mengomentari, mengapa Tuhan dalam ayat-ayat surat Thaha ini memakai “Api” sebagai pentajallianNya atau Manifestasinya Allah/Tuhan dalam agama Majusi dan agama Nabi Musa as memakai “Api” sebagai TajalliNya yang, katakanlah memiliki spesifikasi cahaya, kehangatan, kehidupan, aktifitas dan semacamnya. Tetapi Allah dalam agama Islam memakai “Nur” sebagai TajalliNya, seperti yang ada dalam hadits Rasul saww dalam merentangkan awal ciptaanNya, yaitu Nur Muhammad saww dimana sebagian muslim, yaitu Syi’ah Ghulat (berebihan) telah terjebak kepada penyelewengan sebagaimana agama-agama terdahulu dengan menuhankan imam Ali as yang juga sebagai Nur yang satu dengan Nabi saww kala awal penciptaan tersebut. 

Dengan uraian-uraian ini, dapat dipahami bahwa “Api” yang dilihat Nabi Musa as, itu bukanlah Tuhan, karena Tuhan tidak bisa dilihat karena Dia tidak terbatas, sebab keterlihatan sama dengan keterbatasan. Sebab kalau sesuatu itu terlihat dengan mata, maka ia secara otomatis terikat dengan depan, secara otomatis memerlukan cahaya karena kalau gelap tidak akan terlihat, atau secara otomatis mengeluarkan cahaya dari dalam dirinya (supaya tidak dikatakan perlu pada cahaya lain sebagaiamana sebelumnya) yang mana pasti menimbulkan keterangkapan padanya dan seterusnya dimana semua itu akan menjadi bukti keterbatasan yang dilihat tersebut. Jadi, kalau Tuhan dapat dilihat dengan mata, baik di akhirat atau di surga, maka pasti menjadi terikat dengan hal-hal itu, dan hal-hal lain yang tidak kita bahas di sini. 

Oleh karenya Allah dalam QS: 7:143 mengatakan kepada Nabi Musa as bahwa “Kamu tidak akan pernah melihatKu”. Artinya dimanapun manusia tidak akan pernah melihat Tuhan. Tidak seperti di Bukhari yang Tuhan ketika menjumpai orang yang sudah masuk surga, mereka menolakNya, tetapi Dia menunjukkan Betisnya maka semua penghuni surga menerimaNya bahwa Dia Tuhan dan mensujudiNya (Bukhari hadits ke 7439 dan +/- hadits lainnya di Bukhari; Muslim hadits ke 302). 

Dengan uraian ini dapat dipahami bahwa “Api” yang dilihat Nabi Musa as itu, bukan Tuhan, melainkan TajalliNya saja. Ini adalah jawaban pertama untuk, katakanlah, pertanyaan nakal dari teman Anda itu. dan sebelum saya lanjutkan ke jawaban yang lain, perlu saya teruskan sedikit di sini hubungannya dengan dalil kewahdatulwujudanNya. 

Yaitu: Kalau ayat melihat “Api” ini dihubungkan dengan ayat lain dalam QS: 28:30 yang mengatakan: “Maka tatkala Musa sampai ke Api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan tempat yang diberkati, Dari Sebatang Pohon, yaitu : Ya Musa sesungguhnya adalah Allah Tuhan semesta alam”, maka dapat dipahami bahwa “Api” itu keluar dari Sebatang Pohon tersebut. 

Dengan ini maka semakin jelaskah bahwa yang dimaksud “Api” di sini, bukanlah “Api” biasa yang membakar pohon, tetapi “Api” yang berupa Tajalli alias “Cahaya Tuhan”. Masalahnya sekarang, apa sebenarnya “Api” itu dan Mengapa Tuhan Semacam Bersembunyi Di Pohon hingga menyeru Nabi Musa as dari Pohon tersebut? 

Dalam pembahasan Wahdatul wujud yang telah lalu (lihat wahdatulwujud 1-5) sudah dibuktikan bahwa esensi apapun, seperti Pohon ini, tidak memiliki wujud sama sekali. Dan wujud itu hanya milik wujud, bukan esensi-esensi. Jadi, kalau kita berkata bahwa “Pohon itu ada/wujud”, maka sebenarnya kita berkata “Wujud/ada itu berwajah dengan pohon itu”. Yakni wujudlah yang wujud dan pohon hanya sebagai tanda bagi kita hingga kita menyadari adanya ada dengan melihat pohon tersebut. 

Yang ke dua, dalam pembahasan wahdatul wujud itu kita sudah membuktikannya bahwa yang wujud ini hanyalah satu dan Dialah Allah itu. Jadi, Wujud=Allah=Tuhan. Dengan menggabungkan kedua hal ini, dapat kita Raba bahwa API itu sebenarnya adalah Wujud itu sendiri. Artinya Nabi Musa as tengah menjalani ke-Fana’-annya, hingga Pohon tersebut sudah tidak lagi terlihat sebagai Pohon, tetapi sebagai Wujud. Namun demikian, karena Wujud ini tetap tidak bisa dijangkau dengan mata, akal, kasayaaf dan apapun saja, maka Tuhan menggunakan kata “Api” karena telah membakar semua esensi yang, terutama esensi Pohon tersebut. 

Dengan demikian Pohon sebagai wakil esensi sudah lenyap di pandangan Nabi Musa as (Fana’), tetapi Wujud tidak terlihat dengan jelas karena memang tidak bisa dijangkau yang, disimbolkan olehNya dengan Api dalam peristiwa tersebut. 

Ok, sekarang kita kembali ke permasalahan kita. Dan sudah tiba saatnya membahas yang ke dua, yaitu mengapa Tuhan menanyakan tongkat yang ada di tangan Nabi Musa as. Sebelum saya jawab, harus diketahui terlebih dahulu, bahwa pembicaraan Tuhan bukanlah seperti manusia, yaitu dengan huruf-huruf dan semacamnya. Karena kalau pakai huruf-huruf dan suara, maka berarti Tuhan adalah materi dan memerlukan pada suara dan huruf-huruf tersebut dimana akan membuatNya menjadi Yang Terbatas, na’udzu billah. 

Kalau kita mempelajari agama ini dengan urut, maka kita pasti sudah mengenal Tuhan sebelum menerima Quran sebagai firman yang diturunkan kepada NabiNya. Dalam hal ini, kita sudah mengetahuiNya bahwa Dia Tidak Terbatas. Nah, kalau Dia tidak terbatas berarti pertanyaanNya di ayat ini pasti memiliki makna lain dari yang umum kita kenal, yaitu bertanya karena tidak tahu. Sebab kalau Allah bertanya karena tidak tahu, berarti ilmuNya terbatas dimana akan berkonsekuensi bahwa DiriNya juga terbatas. Hal mana keterbatasanNya ini akan membuatNya terbatas. Dengan demikian pertanyaanNya bukan karena tidak tahu. 

Di lain pihak, dalam kehidupan kitapun, pertanyaan tidak selalu disebabkan karena ketidak tahuan penanyanya, tetapi bisa saja karena menguji dan semacamnya. Nah, kalau kita gabung kedua hal ini, maka berarti Tuhan bukan bertanya untuk tahu dari tidak tahu, namun karena hal lain seperti menguji. Namun demikian, karena yang ditanya seorang Nabi, dan pertanyaannya hanya sekedar menanyakan apa yang ada di tangan Nabi Musa as, maka pertanyaan sebagai ujian juga jauh kemungkinanannya dalam hal ini. 

Kalau Anda gabung penglihatan kepada Api yang bermakna Fana’ dari segala macam esensi, dan hanya terperangah melihat Cahaya Wujud, Bukan Wujud Itu Sendiri, dan di satu pihak Tuhan menanyakan hal mudah kepada Nabi Musa as, maka pasti Anda akan dapat meraba maksud pertanyaanNya di sini. Sampai di sini saya akan stop dulu jawaban saya ini dan meminta teman- teman yang mengikuti kajian Irfan atau wahdatul wujud ini, untuk merenungi dengan dalam keadaan berwudhu, apa kira-kira maksud pertanyaanNya itu. Saya tunggu, boleh tulis komentar, di sini, tetapi usahakan hanya di sekitaran jawaban terhadap pertanyaanku itu. Kutunggu. Semoga Tuhan Yang Selalu Membimbing kita itu tidak kita sia-siakan. 

Sekian. Terima kasih. Al-fatihah- sholawat. 

Rief Sy dan 4 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar