Selasa, 31 Juli 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 6) Dalam Tinjauan Naql: seri penjelasan-1






by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 9:52 pm


Sebelum saya meneruskan penjelasan naql (Qur'an-Hadits) tentang wahdatu al-wujud ini, perlu kiranya merangkum beberapa hal penting dari yang sudah kita bahas dengan dalil secara panjang lebar tentang wahdatu al-wujud ini, demi mempermudah penerapan atau pemahaman dari naql yang akan dipaparkan setelah ini. Jadi, bagi yang belum membaca kajian-kajian sebelumnya, maka diharap membaca penjelasan-penjelasan tentang Wahdatu al-wujud ini sejak dari bag: 1 s/d bag: 5 = seri tanya-jawab. Maksud saya kurang, profesional kalau belum membaca tulisan-tulisan itu lalu mempermasalahkan penjelasan berikut ini, karena mempermasalahkannya berarti harus mengulang yang telah lalu. Beberapa kesimpulan yang diperlukan di sini adalah sebagai berikut: 

1. Wahdatu al-Wujud artinya bahwa Wujud itu hanya satu dan Dialah Tuhan, dengan dalil ke- TidakterbatasanNya, sebagaimana maklum. 

2. Wujud tsb tersembunyi dibalik semuanya dari selain wujud yang, sudah tentu membuat selainnya itu kelihatan wujud. 

3. Yang dimaksud selain wujud itu adalah esensi, baik yang jelas nampak bagi kita seperti diri dan lingkungan kita, atau yang kita percayai adanya dengan dalil seperti esensi-esensi non materi. 

4. Selain wujud, yakni esensi (seperti manusia, pohon, malaikat, dan lain-lainnya), sudah tidak wujud, karena mereka memang bukan wujud. 

5. Esensi-esensi yang tidak/bukan wujud itu, menjadi nampak wujud ketika ditemani dan dinafasi oleh wujud. Jadi, mereka tidak pernah benar-benar menjadi wujud. Maka, dari itu, keyakinan Ittihad (menyatunya manusia sempurna dengan Tuhan) atau Hulul (merasuknya Tuhan dalam hati manusia yang hatinya bersih dari selainNya) yang ada pada ajaran Sufi, adalah kesalahan yang fatal yang, diakibatkan keyakinan mereka terhadap kewujudan mereka yang terbatas yang, kemudian kembali kepadaNya atau kepada Yang Tidak Terbatas. 

6. Esensi-esensi yang tidak pernah menjadi wujud itu, fungsinya hanya menjelaskan ke-wujudan wujud tersebut. Jadi, orang yang dengan melihat pohon mengatakan bahwa pohon itu ada, adalah salah penisbatan. Dan yang benarnya adalah dengan melihat pohon tsb maka semestinya kita mengerti bahwa “wujud itu yang wujud” bahwa “wujud itu yang ada” bahwa “ada itu yang ada” atau bahwa “ada itu yang wujud”, bukan pohon. 

7. Dengan demikian, maka esensi-esensi itu dinamai oleh Tuhan, Makshumin as dan para ‘Arif dengan nama-nama seperti “WajahNya”, “ZhilNya/BayangNya”, “CerminNya”, dll. 

8. Gradasi wujud dalam filsafat terbentang dari alam Nasut/materi ke Malakut/Barzakh ke Jabaruut/Akal terus ke Tuhan. Tapi dalam Irfan, karena Wujud itu hanya Satu, maka Gradasi itu hanya terjadi pada esensi. 

9. Dengan point: 8 dipahami bahwa Wujud itulah tempat bergelantungannya Nasut, Malakut dan Jabaruut. 

10. Dan karena wujud itu, baik dalam pahaman atau kenyataannya, hanya satu dan tempat bergelantungannya semua esensi, maka wujud tersebut tidak akan pernah terpengaruh dengan warna-warninya esensi. 

11. Dalam kajian Empat Perjalanan telah diterangkan bahwa perjalanan ke dua manusia adalah diantara Nama-nama Tuhan. Artinya dimulai dari Nama Sifat yang paling bawah, yakni Sifat- Perbuatan atau Fi’liyyah yang tidak Qodim, seperti Penyembuh, Pemberi Rejeki, Pencipta...dst, sampai kepada Sifat Zat, yaitu Sifat-sifat yang Qodim seperti Hidup, Ilmu, Kuasa dst. 

Untuk rincian lebih lanjut tentang hal ini akan dijelaskan kemudian, yaitu di bab yang sekarang kita bahas ini (tinjauan naql). 

1. Dalil pertama dari ayat-ayat Qur'an yang telah kita bahas adalah QS: 20:10-12; 28:30. Sekarang mari kita lihat ayat-ayat lainnya. Dan sudah tentu pemahaman tentang wahdatul wujud ini tidak wajib diterima sekalipun ada di dalam Qur'an, karena, bisa dikatakan bahwa ianya merupakan pahaman yang memerlukan kedalaman ilmu yang, diluar jangkauan rata-rata akal manusia. Dan juga bukan lagi pembahasan Syi’ah-Sunnah, karena kebanyakan orang-orang (dan ulama) di dua kelompok itu, menentangnya, dan karena bagi yang tidak menentangnya dapat dipertemuakan dan memang telah bertemu, kecuali yang dikenal dengan Sok Sufi sebagaimana maklum dalam tanya-jawab dan dialog-dialog sebelum ini. Oleh karenanya yang wajib diterima dan menentukan surga-nerakanya seseorang dalam Islam, hanyalah penjelasan Kalamnya, bukan Irfannya. Jadi, kalau ada pembaca yang tidak bisa menjangkaunya, maka biarkan saja hal ini berlalu. 

2. Ayat ke dua adalah di surat Qoshash (28:88): 

َوَلَ تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَ إِلَهَ إِلَّ هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّ وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ ترُْجَعُونَ

Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Baginyalah segala penentuan, dan hanya kepadaNyalah kamu dikembalikan” (terjemahan DEPAG). 

Penjelasan Ringkas

Kata “pasti binasa” disini, memiliki arti “akan binasa”. Ini tafsiran Kalamnya. Yakni menafsirkan “Halikun” (binasa) sebagai ismu Fa’il kepada salah kemungkinan maksudnya, yaitu “di masa yang akan datang”. Dengan demikian, maka arti “Binasa” di sini adalah “Akan binasa”. Dan ayat tersebut akan memilki arti “Tiap-tiap sesuatu akan binasa (secara pasti)”. 

Kata “wajhahu” diartikan sebagai Allah, karena bagi mereka yang biasa memakai ilmu Kalam “wajhun”, yang memiliki makna lahiriah dan bahasanya sebagai “wajah”, disini, mereka tidak mampu mengartikannya dengan arti bahasanya (wajah Tuhan). Oleh karenanya mereka di sini menggunakan “takwil”, yakni meninggalkan makna lahirnya dan mencari makna yang sesuai dengan dalil-dalil dan ayat-ayat yang lain, sesuai persepsi penafsir dan penakwil. Tentu saja “takwil” ini dibolehkan, manakala memang dipandang perlu, seperti ayat yang berbunyi “Tangan Allah di atas tangan mereka (manusia)” yang, sudah tentu tidak bisa diartikan tangan lahiriah, tapi “Kekuatan” misalanya. Mungkin karena itulah, kalau kita lihat kamus Arab-Arab, berbeda antara yang ditulis orang muslim dan yang bukan muslim. 

Di kamus yang dikarang oleh orang muslim seperti al-Mu’jamu al-Wasith menyebutkan bahwa salah satu makna “Wajhun” adalah “zat sesuatu” atau “diri sesuatu”. Dan dalil yang dipakai adalah ayat ini. Tapi kalau al-Munjid yang ditulis oleh orang Kristen, maka makna seperti ini tidak terlihat. Artinya hanya menyebutkan makna “wajah” dan lain-lainnya yang selain makna “zat/diri sesuatu” itu. Mungkin, sebelum Islam, makna zat dan diri sesuatu itu memang tidak ada, dan diadakan setelah adanya ayat ini dan ketidak ketidakmampuan penerimanya akan makna ‘Wajah Tuhan”. Saya katakan mungkin, karena perlu pelacakan ilmiah tentang munculnya makna “zat/diri sesuatu” itu yang, tentu saja sekarang ini saya tidak memiliki waktu dan kesempatan yang cukup. 

Makna Kalam ini adalah makna minimal yang harus diterima oleh seorang muslim, dimana kalau tidak menerimanya bisa tidak dianggap sebagai muslim lagi. Yakni maksudnya harus mengimani bahwa “selain Allah akan binasa”. 

Kalau makna Irfannya, maka “Halikun” diartikan kepada masa sekarang, bukan yang akan datang. Karena Ismu Fa’il atau “Kata Pelaku” dalam bahasa Arab bisa memiliki dua maksud, “Sekarang” dan “Yang akan datang”. Dengan demikian, maka makna Irfannya dari ayat di atas adalah “Tiap-tiap sesuatu dalam keadaan binasa (secara pasti)”. Yakni, sekarang ini, setiap esensi itu adalah BINASA alias TIDAK ADA atau TIDAK PUNYA WUJUD. 

Sedangkan makna “Wajhahu”, dalam Irfan, diartikan “WajahNya”. Jadi, makna ayat tersebut adalah “Tiap-tiap sesuatu adalah binasa/tiada (sekarang ini dan secara pasti) selain WajahNya”. 

Mungkin Anda bertanya, bukankah selain Allah, yakni esensi-esnsi itu adalah wajahNya, lalu mengapa di ayat ini justru menjadi lenyap dan kemudian WajahNya yang tidak lenyap? Bukankah kalau “Wajah” itu alam ini berarti dia telah lenyap? 

Atau di ayat Irfan yang lain yang sering disebutkan, yaitu pada QS: 2: 115 yang mengatakan bahwa kemana saja kamu berpaling maka kamu akan mendapatkan WajahNya, dimana berarti disini artinya alam ini adalah WajahNya, yang kalau dilihat dari ayat di atas (QS: 28:88) itu berarti tidak akan menjadi hilang, maka jelas hal ini merupakan dua pernyataan yang jelas kontradiksinya. 

Ada dua jawaban dan pendekatan untuk pertanyaan tersebut

a. Bahwa esensi-esensi itu memang tidak ada dan selalu bisana dimana yang tersisa hanyalah kewajahan mereka bagiNya, sebagaimana maklum. Yakni kewajahannya terhadap “Ada/ wujud”. Artinya, dengan menatap mereka, perhatian kita akan tertuju kepada Ada/wujud, sebagaimana ketika kita menatap wajah seseorang dikala berbicara dimana perhatian kita tidak kepada alis, hidung, mata dsb dari wajahnya (sekalipun kita menatapnya), tapi bahkan kepada jati dirinya. Di sini juga demikian. Yakni seorang yang Kamil/sempurna akan melihat Ada/wujud manakala melihat diri, lingkungan dan alam semesta alias esensi- esensinya itu. Nah, ke-wajahan mereka terhadap Ada itulah yang tidak akan pernah binasa. Yakni tidak akan pernah menjadi sama sekali tidak berarti. 

b. Bahwa “Ada” yang tersembunyi di balik esensi-esensi, yang hanya terlihat dengan mata hati seorang Kamil itulah yang dikatakan “Wajah”. Artinya, “Ada/wujud” yang selama ini kita buktikan keberadaannya itu, dimana hanya milik Allah itu, dimana Ia membentang dari Nasut, Malakut dan Jabaruut itu, sebenarnya, masih merupakan “WajahNya”, bukan “Dia”. Jadi, esensi-esensi itu adalah “Wajah-Ada” dan “Ada” adalah “WajahNya”. 

Dalam Irfan, sebagaimana akan lebih jelas nanti di ayat-ayat berikutnya, maqam tertinggi Tuhan itu adalah “Maqam Huwa/Dia”, bukan “Allah”. Karena Allah ini adalah salah satu NamaNya saja. Maqam “Dia” ini tidak bisa dijangkau akal dan kasyaf siapapun, sekalipun Nabi Muhammad saww. Maqam Huwa inilah yang dikatakan sebagai “Gelap Secara Mutlak” atau “Gelapnya Kegelapan”. Oleh karenanya Dia hanya mengenalkan DiriNya dengan “Al-Ilah/ Allah”, “Kuasa”, “Hidup”, “Ilmu”....dst dari Asma-asma HusnaNya itu. 

Jadi, manusia dan semua makhluk yang mampu, hanya bisa mengenali “Dia” dengan Nama- nama tersebut dan hanya itulah yang wajib dikenali oleh manusia sebagaimana terlihat dalam perintahNya untuk mengetahuiNya yang terdapat di banyak sekali ayat-ayat Qur'anNya, seperti: “Ketahuilah bahwa tiada tuhan kecuali Allah” (QS: 47:19); “Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Mulia dan Bijaksana” (QS: 2:209); “Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Pengampun dan Penyayang” (QS: 5:34); “Ketahuilah bahwa Allah itu Penguasa kalian” (QS: 8:40). 

Kata “Ketahuilah” itu jelas “kata perintah” yang menunjukkan kepada arti “wajib dilaksanakan”. Jadi, kita wajib mengetahui makna dan arti dari Asma-asma Allah tersebut, tidak terlarang sebagaimana sebagian muslim mengatakannya. Yakni yang mengatakan bahwa kita tidak boleh membahas Allah. 

3. Ayat ke tiga adalah QS: 7:180: 


بسم الله الرحمن الرحيم
وَلِلَّهِ الَْسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يلُْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang” 

“Allah mempunyai Asmaa-u al-Husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut Asma-u al-Husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) Nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (terjemahan DEPAG). 

Keterangan Ringkas

Jelas sekali, dalam terjemahan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Nama- nama Allah yang baik atau Asmau al-Husna di sini adalah kata-kata, seperti: al-Syaafi/ Penyembuh, al-Ghafuur/Pengampun, al-Rahmaan/Pengasih, al-Rahiim/Penyayang, al-Samii’/ Melihat, al-Khaliq/Pencipta, al-Hayyu/Hidup, al-Wujud/Ada, al-Qadiim/Tak-Berawal, al-‘Azali/ Tak-Berakhir,...dst. 

Oleh karena itulah perintah do’a dengan Nama-nama itu adalah dengan menyebutkannya. Ini adalah makna ilmu Kalamnya yang merupakan makna minimal yang mesti dipercayai seorang muslim. 

Nama-nama yang baik di atas adalah Nama-nama yang dimiliki Allah, tapi dalam ayat 

Bismillaah, jelas sekali bahwa Allah merupakan salah satu NamaNya. 

Dengan dua penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pemilik Nama itu adalah Maqam Huwa/Dia tadi. Jadi, terkadang Allah, maknanya kembali kepada Huwa/Dia, yang memiliki Nama-nama baik itu dimana termasuk Allah. Dan terkadang kembali kepada Nama itu sendiri seperti yang ada di ayat Bismillaah. Jadi, selain Nama Allah adalah milik Allah dan semua Nama dimana termasuk nama Allah ini adalah milik Dia/Huwa tersebut. 

Kalau Nama-nama itu dikembalikan kepada kata-kata, maka jelas jauh dari maksud Qur'an sesuai dengan dalil yang paling sederhana sekalipun. Misalnya, kata-kata tersebut adalah kata-kata Arab. Padahal, agama Allah tidak saja berbahasa Arab, seperti Taurat, Zabur dan Injil. Dengan demikian, maka sudah pasti yang dimaksudkan Nama di sini adalah Maknanya, bukan kata-katanya. 

Kalau sudah berupa makna, apakah makna yang ada di kepala kita itu yang dimaksudkan Allah dengan NamaNya? Sudah tentu tidak mungkin. Karena ianya adalah pahaman kita terhadap kata-kata tersebut. Apalagi, sesuai dengan ayat-ayat tambahan di atas, Allah menyuruh kita mengerti bahwa Dia adalah Pengampun, Maha Mulia, Bijaksana ...dan seterusnya. 

Lagi pula sangat tidak cocok dikala Allah menyuruh kita memahami Nama-namaNya, seperti Maha Pengampun/al-Ghafuur, akan tetapi yang dimaksudkanNya adalah pahaman kita itu sendiri. Jelasnya, sebagai contoh, Allah berfirman “wahai manusia ketahuilah bahwa Aku ini punya Nama dan mintalah kepadaku dengan Nama-nama itu dimana diantaranya adalah Pengampun/al-Ghafuur”, lalu di lain pihak Allah mengatakan “wahai manusia NamaKu itu adalah yang ada dalam pahamanmu tersebut”. 

Lagi pula “Pengampun” baik dalam kata atau makna yang ada di kepala kita ini, tidak akan pernah mengampuni kita. Karena makna “Pengampun” adalah “Yang Mengampuni”. Jadi, yang dimaksud dengan “Pengampun” adalah “Makna yang ada di luar kepala kita” artinya “Makna sesungguhnya dimana berupa sifat Allah”. Dengan kata lain “Sifat Yang Timbul Dari Pekerjaan Allah Dalam Mengampuni”. Dan secara lebih menyeluruh dari arti Nama Tuhan ini, adalah “Makna Yang Aktual Yang Bersumber Kepada Allah (kalau selain Nama Allah) dan/atau bersumber kepada Huwa/Dia (kalau Nama Allah)”. 

Dengan penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa yang dimaksud dengan Nama Tuhan adalah Keberadaan Aktual dimana Keberadaan Aktual inilah yang sesungguhnya memberikan efek, seperti kesembuhan, pengampunan, penciptaan...dan seterusnya. 

Jadi, Allah dari kenyataan sifatNya yang berupa Penyembuh, Pengampun, Pencipta ..dst itulah yang telah memberikan efek, bukan kata-kata, bukan makna yang ada di kepala kita, dan bukan pula Allah dari sisi ZatNya. 

Mungkin Anda berkata bahwa kalau demikian halnya berarti Allah terangkap dari ZatNya dan semua Sifat-sifatNya itu dimana hal ini akan membuatNya terangkap dan akhirnya menjadi terbatas dan makhluk sebagaimana telah dijelaskan dalam bab ilmu Kalam dan Filsafat. 

Apa yang Anda katakan itu sangat benar adanya, kalau kita meyakini keberadaan selainNya. Yakni meyakini bahwa kita dan alam ini adalah “Ada” yang terbatas dan bersumber dariNya yang Tidak Terbatas, sebagaimana sering saya singgung dalam pembuktian Wujud Allah atau Pencipta. Dengan keberadaan kita dan alam kita yang terbatas inilah kita membuktikan Yang Tidak Terbatas. Dan karenanya, maka kalau Tuhan memiliki rangkapan dari Zat dan seluruh Sifat-sifatNya, maka juga akan bernasib sama dengan makhlukNya, yakni “Terbatas” dan, akhirnya menjadi Makhluk. 

Tapi dalam Irfan, semua selainNya itu tidak memiliki Wujud/Ada. Oleh karenanya hanya Dia-lah yang memilikinya. Jadi, “Ada” yang dibentangkan dan/atau ditajjalikan dan/atau diwajahkan dari sejak Nama Allah sampai dengan materi ini, adalah “Ada” Yang Langgeng, Tidak Bergeming, Tidak Terpengaruh dengan segala menifestasiNya itu dan, sudah tentu, tidak akan mungkin terangkap. Karena rangkapan-rangkapan yang dibayangkan itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah Tajalli-tajalliNya, ManifestasiNya, WajahNya dan BayangNya. Artinya tidak pernah wujud hingga akan membuat rangkapan. 

Dengan penjelasan ini dapatlah dimengerti apa yang diistilahkan oleh para ‘Urafa terhadap Wujud itu sebagai “al-Nafasu al-Rahmani”. Disamakan dengan Nafas yang tidak memiliki Bentukan huruf-huruf. Sementara semua bentangan tajalli itu dikatakan sebagai huruf- hurufnya. Dan dapat dimengerti pula bahwa nama yang berarti kata-kata ini, seperti kata Allah, Rahman dan Rahim dsb adalah NAMANYA NAMA, bukan Nama itu sendiri. 

Perlu diketahui, bahwa, sekalipun Pemilik Ada itu adalah maqam Huwa/Dia, yang membentangkan NafasNya atau AdaNya dari sejak dan hingga menjadi Huruf-huruf (bukan huruf abjad, tapi hakikat-hakikat selainNya) Nama Zat Allah, Nama Sifat-Zat, Nama Sifat-Perbuatan, Akal, Barzakh dan Alam Materi, namun, karena maqam Huwa itu tidak bisa dipahami, dikasyafi, dikisahkan dan dibahas, maka sebagai ganti pembahasan dan pengkasyafannya sesuai dengan kemampuan dan kewajiban manusia, adalah Allah. 

Jadi, pembahasannya mentok di Allah, sehingga apapun penisbahan atau penghubungan atau pentajallian atau pemanifestasian atau pewajahan atau kepemilikan, semua dan semua, dinisbahkannya kepada Allah. 

Dengan penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa Wajah Dia yang berupa Wujud itu, terbentang dari Nama Allah, terus ke Nama Sifat-sifat atau Nama Sifat-Zat (seperti Ada, Hidup, Kuasa, Qodim, ‘Azali, ‘Alimun..dst), terus ke Nama-nama dari Sifat-Perbuatan/Fi’liyyah (seperti Pencipta, Pengampun, Pemberi Hidayah...dan seterusnya), terus ke Akal-satu, Akal-dua....dst sampai ke Akal-akhir, lalu Barzakh dan kemudian terus ke Alam-Materi/nasut. 

Ketika kita sudah mengerti arti Nama dan ditumpukannya semua permasalahan kepada Allah, maka mari kita coba sekarang untuk mengerti arti dari ayat Bismillaah itu. Sudah tentu, tidak akan lagi bermakna seperti yang diterjemahkan DEPAG di atas itu. 

Artinya akan menjadi: “Dengan hakikat Allah Yang dengan hakikat sifat Kasih dan PenyayangNya”. Yakni dengan Nama Allah Yang Merupakan Hakikat Keberadaan, yaitu Zat Allah itu sendiri, mentajallikan atau mewajahkan DiriNya itu kepada Sifat PerbuatanNya -Pengasih dan Penyayang- lalu melalui keduanya tertajallikanlah atau termanifestasikanlah Akal/Jabaruut, Barzak/Malakut dan Materi/Nasut yang, kemudian dikenal dengan alam-alam (‘Aalamiin, bukan satu alam). Oleh karena itulah hakikat dan makna pujian (bukan kata-kata pujian) hanyalah untuk Allah Pengatur/ pewajah alam-alam yang banyak itu (Jabaruut, Malakut dan Nasut). 

Dengan penjelasan ini dapat dipahami bahwa Ba’ pada Bismillaah bermakna hakikat “Keter- dengan-an”, bukan “dengan” yang dalam artian kata. Dengan kata yang lebih bersifat keilmuan dikatakan sebagai Ba’-u al-sababiyyah. Yakni Ba’ yang berarti “Sebab”. Artinya, dengan “De- ngan Sebab Hakikat Allah itulah maka Rahman dan Rahim dan seluruh ketiga alam itu mejadi tertajallikan hingga menjadi seperti TERLIHAT ada”. 

Dan kalaulah Anda mau mengambil makna “Ada” secara sebenarnya kepada selain Allah, dimana dalam ilmu Kalam dan Filsafat seperti itu, maka Ba’ disini tetap bermakna ke-sebab- an dari keberadaan lainnya. Yakni Sifat-Zat dan Perbuatan dari ZatNya, dan semua alam-alam itu dari DiriNya. Dan kalau mengambil makna Irfannya, ke sebab-an di sini adalah dalam Tajalli atau Manifestasi atau Keberwajahan. 

Maka dari itulah tidak heran kalau imam Ali as mengatakan, bahwa seluruh yang ada di Qur'an (lahir dan batinnya, kata dan arti aktualnya, yakni alam dan hukum-hukumnya) itu berada di surat al-Fatihah, dan semua yang ada di al-Fatihah itu ada di Bismllahi al-Rahmani al- Rahimi, dan seluruh yang ada di Bismillaahi al-Rahmani al-Rahimi itu ada di Ba’. Yakni seluruh keberadaan (kalau selain Irfan) atau seluruh ketertajallian (kalau Irfannya), semua dan semua, bersumber dari ketersebabanNya (ba’). 

Akan tetapi karena makrifat dan ayat-ayat Qur'an itu memiliki tingkatan, baik lahiriah atau maknanya, seperti yang difirmankanNya “Dan ikutilah yang terbaik dari ayat-ayat yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian...” (QS: 39:55), maka bolehlah kita merenungi ayat Bismillaah ini dengan dihubungkan dengan ayat ke dua di atas, yakni ayat yang menerangkan kepemilikan Tuhan terhadap Nama-nama itu, dimana sudah terbukti bahwa ianya bukanlah kata-kata, tapi makna. Nah, dari satu sisi Nama itu adalah Makna Aktualnya, dan dari sisi lain Allah termasuk NamaNya, maka dapat dipahami bahwa dari Allah sampai dengan Materi adalah NamaNya, yakni Nama dari Wujud, bukan Wujud itu sendiri. 

Tapi ingat, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bahwa karena maqam Huwa itu tidak terjangkau, maka kita hanya memakai ayat Bismillaah ini dalam membuktikan kenamaan siapapun (termasuk Nama Allah) terhadap Wujud dimana memberikan arti ketidak pemi- likkannya terhadap wujud itu sendiri, dan kita setelah itu mundur selangkah dengan menum- pukan (tumpu) keberadaan itu pada Allah sebagai wakil dari Huwa tersebut. 

Jadi, hasilnya adalah, “Dengan Wujud Allah Maka Tertajallikanlah Sifat-sifat dan Alam-alam ini”. Dengan ini, maka terbuktilah bahwa Wujud itu hanya miik Allah dan selainNya hanyalah Nama, Tajalli, Manifestasi, Wajah dan BayangNya. 

4. Ayat ke empat dan seterusnya, akan menjadi lebih mudah dipahami, seperti: 


الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالَْرْضَ

"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit-langit dan bumi” (QS: 6:1) 

Keterangan Ringkas

Kata Khalaqa ini dalam Qur'an, setidaknya dipakai sebanyak 115 kali dan, biasanya selalu diartikan dengan penciptaan, serta tidak ada yang berani mengartikannya dengan makna asalnya, atau setidaknya salah satu maknanya yang sesunggunya (buka takwil). Yaitu “Qad- dara” atau “Mengqadarnya/Membatasnya/Membentuk”, kecuali yang dikatakan nabi Isa as ketika beliau bersabda “Akhluqu –kubentuk- untuk kalian burung dari tanah...” (QS: 3: 49). 

Padahal kalau digabung dengan ayat lain, seperti QS: 15: 21: 


إِلَّ عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا ننَُزِّلُهُ إِلَّ بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ وَإِنْ مِنْ شَيْ

Dan tidaklah sesuatu apapunjugakecuali dari sisi Kami gudangnya, dan Kami tidak menurunkannya kecuali sesuai kadar/ukurannya yang jelas” 

Kalau ayat ke dua ini kita perhatikan, kita akan lihat bahwa Allah mengatakan bahwa tiada apapun juga kecuali dari sisiNya. Ini berarti, bahwa semua keberadaan selainNya adalah dari SisiNya, bukan dari Tiada sebagaimana maklum di penjelasan-penjelasan terdahulu. Ini yang pertama. 

Yang ke dua, kalau kata “Khalaqa” yang bermakna “Qaddara” ini, yakni 

“pengkadaran/pembatasan” dilihat secara filosofi, maka akan menjadi makna ilmiahnya, yakni “Peng-esensian”. 

Dengan menggabungkan semua mukaddimah di atas, maka dapat dipahami bahwa semuanya dari Wujud, dan keluar dariNya tidak lain hanyalah peng-esensiannya atau pengkadarannya atau pembatasannya. Dan “turun” dalam ayat itu adalah “tajalli” atau penurunan derajat dari Wujud kepada esensi tersebut, bukan kepada wujud-terbatas. Karena khalaqa adalah pembatasan-wujud semata, bukan pewujudan, sebagaimana maklum. 

5. Ayat ke lima adalah QS: 85: 9: 


الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالَْرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu” 

Keterangan Ringkas

Kata “Syahid” adalah Ismu “Fail” atau “Pelaku”, yakni memiliki makna “Menyaksikan”. Akan tetapi kata tersebut bisa juga diambil sebagai Ismu “Maf ‘ul” atau “Penderita”. Dan ini juga bukan berupa takwil, tapi memang makna asal yang bisa dipakai kepada keduanya. 

Para ‘Urafa’ memaknai Syahid di sini sebagai “penderita” hingga makna ayat tersebut akan menjadi “Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, dan Allahlah yang terlihat dalam segala sesuatu”. Dengan kata yang lebih jelas adalah “Yang tetap milikNya segala yang ada di langit dan bumi, dan hanya Allah yang terlihat dalam segala sesuatu”. Dan dengan kata yang lebih ekstrimnya adalah “Setiap yang di langit dan bumi tetap milikNya karena memang tidak pernah diberikanNya kepada meraka dan tidak pernah berpisah dariNya karena mereka adalah dan hanyalah alat penyaksian kepadaNya”. Jadi, wajahNya, seperti manusia, adalah yang melihat AdaNya dengan diri dan alam semesta, dan begitu pula sekaligus menjadi alat melihatNya bagi manusia atau esensi yang lainnya. 

6. Ayat ke enam adalah QS: 43:84: 


وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الَْرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ

Dan Dia-lah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (DEPAG) 

Keterangan Ringkas

Bagi sebagian orang, Allah itu di atas-atasnya langit yang dikatakan al-‘Arsy. Dan bagi sebagian yang lain, seperti ulama Kalam (Teolog) dan filosof, Allah itu Non Materi. Oleh karenanya, Allah berada di maqam yang tinggi yang, diibaratkan dengan langit dalam ayat ini. Yakni maqam di atas Akal-Satu. Sementara dari Akal-satu sampai ke alam materi, sudah tentu merupakan makhlukNya. 

Dengan itu, mereka ada yang mengatakan Allah itu benar-banar ada di atas ‘Arsy dan turun ke langit materi tiap sepertiga akhir dari malam, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’u Fatawa Ibnu Taymiyyah juz 1, hal 479; Shahih Bukhari hadits ke: 1145; 6321; 7494; Shahih Muslim hadits ke 1265; 1813; dllnya yang sangat banyak terdapat di dalam kitab-kitab Sunni seperti hadits, tafsir dllnya (padahal kalau Allah turun pada setiap sepertiga akhir dari pada malam, di samping hal itu mengkonsekwensikan ke-materian bagiNya, juga membuatNya terpenjara di langit bumi hingga tidak bisa naik lagi ke ‘Arsy, karena sepertiga malam selalu sambung menyambung mengelilingi bumi dan tidak pernah putus sampai hari kiamat tiba. 

Namun bagi sebagian yang lainnya, yakni sebagian Teolog dan Filosof, karena mereka mau menjaga Tuhan dari keterberangkapan dan kematerian, maka mereka mengatakan bahwa maqamNya itu diatas makhluk non materi pertama dan paling hebat yang disebut dengan Akal-satu atau Nur Muhammad. 

Oleh karenanya, terjemahan DEPAG itu adalah salah satu dari yang sebaik-baik terjemahan. Hingga artinya adalah Allah-lah yang disembah di langit dan di bumi. Yakni disembah para makhluk langit atau malaikat, dan di bumi oleh makhluk materi. Atau bisa diterjemahkan dengan “Allahlah Penguasa Langit dan Bumi”. 

Akan tetapi kalau dalam Irfan “Dialah Tuhan di langit dan bumi” artinya “Dialah Wujud di langit dan di bumi” atau “Dialah wujud di non materi dan materi”. Maka karena itulah di ayat-ayat serupa Tuhan mengatakan: Dialah Yang Awal dan Akhir (QS: 57: 3), Dialah Yang Lahir dan Batin (QS: 57:3)....dan seterusnya. 

Artinya, apapun yang terlihat ada ini, baik esensi non materi atau materi, semuanya dan semuanya adalah hanya Allah. Yakni, keberadaan mereka hanya milikNya semata, dan mereka hanyalah bayangNya saja. 

Karena itulah dalam ayat lain Allah dalam QS: 25: 45, mengatakan bahwa: 


أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ

Tidakkah kamu lihat Tuhanmu bagaimana Dia membentangkan Bayangan...?”. 

Artinya, bagaimana Tuhan membentangan bayanganNya, yakni bayangan WujudNya. Dan sebagaimana bayangan materi, bahwasannya ia dalam keadaan ketiadaan cahayanya itu, tetap dapat dilihat seperti layaknya keberadaan, maka esensi-esensi itu (langit-bumi dan seisinya) juga demikian halnya. Yakni mereka semua adalah bayangan Ada sehingga nampak seperti menjadi ada, padahal mereka adalah ketiadaan Ada/Wujud itu sendiri dan hanya merupakan bayangNya 

Sekian saja sekelumit dalil-dalil Naql dalam Irfan ini yang , sudah tentu di hadits-haditsnya lebih banyak lagi. Kalau Tuhan mengijinkan dan menginginkanNya, maka mungkin suatu saat saya akan melengkapinya walau hanya dengan mencukupkan beberapa contohnya saja. Tolong sambung do’a, supaya kita selalu terhindar dari bahaya lahir-batin, dunia-akhirat, badani-akli dan hati. 

Billy Joe Hernandez, Roesdie Adie, Muhammad Rizal dan 19 lainnya menyukai ini

Rizky El Hallaj: Sinar Agama: tolong di ralat tulisannya.. Maaf.. 

Cut Yuli: Ya sama jadi sulit bacanya. 

Sinar Agama: Sudah dibetulin. 

Anggelia Sulqani Zahra: Allahumma Shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad, Ustad. Mohon penjelasannya untuk memahami ini: Dalam penjelasan di atas dapat dikenali bahwa sifat-sifat Allah itu terdiri dari :...Sifat azalli /dzati /kadzimSifat fi’li yakni sifat perbutan artinya bahwa sifat fi’li tersebut merupakan sifat yang baru’ jika dikatakan sifat yang baru maka akal memahami setiap sesuatu yang baru memiliki awal’atau terbatas’ sementara wujud itu sendiri tidak terbatas,. Apakah sifat fi’li ini bisa dinisbatkan langsung ke Tuhan secara hakiki sebagaimana sifat zatNya….? 

Win Panay: Terimaksih Sinar Agama, saya menyukai tulisan, Anda. 

Oma Moy: Nyimak. 

Rizky El Hallaj: Woyyy.. Jangan coment dulu selain pertanyaan seperti pertanyaan Anggelia... Ok! Sinar Agama ga butuh terima kasih ko... Huhuhuhyyyy. 

Bunda Kamila: Syukran Sinar Agama atas ilmu yg bermanfaat ini.... Butuh waktu untuk memahami secara mendalam.. 

Husain Jonam: Syukron sudah ditag. 

Sinar Agama: Terimakasih atas semua terimakasih dan komentarnya dan termasuk yang tidak terimakasih dengan tulisan tapi dengan dada yang bahagia, semua itu sudah cukup untukku sebagai kawan yang menyukakan apa-apa yang kusuka kepada saudara-saudara seiman, seislam dan semanusiaan kalau perlu. 

Sinar Agama: Untuk Anggelia, tolong dilanjutin tagnya sebagaimana yang biasa kamu lakukan kepada teman-temanmu, yakni jadikan tulisanku ini catatanmu juga seperti selama ini. Terimakasih sebelumnya. Dan untuk tanyamu itu, maka Irfan ini sudah keluar dari Ilmu Kalam dan Filsafat. Kalau kamu jeli maka sudah kujelaskan di sana, ketika menjawab semacam pertanyaan akan terbagi- baginya Tuhan kalau kita mengatakan bahwa Sifat-sifatNya itu ada sejak dari yang paling bawah (fi’liyah) sampai kepada Asma Zat. Jadi, nggak pengembalian-pengembalian segala kayak di Kalam atau Irfan, yakni pengembalian sifat fi’liyah kepada sifat Zat untuk menyatakan ketauhidanNya. Karena semua Nama-nama itu seperti esensi-esensi lainnya, semuanya bergelantungan kepada Wujud itu secara langsung. Memang kemunculan masing-masing Nama Tuhan atau esensi-esensi itu, yang satu disebabkan yang lainnya. Misalnya sifat Fi’liyyah dari Sifat-Zat dan sifat Zat dari Zat, begitu pula esensi-esensi tajalli dari sifat fi’liyyahNya. Tapi aktifis asli dari semua itu adalah Ada/ wujud itu sendiri. Jadi, tanpa pengembalian sifat fi’liyyah kepada sifat zat, dan sifat kepada Zat, maka kewahdatul wujudanNya tidak pernah bergeming, bahkan sekalipun dengan munculnya milyaran esensi-esensi. Dialah yang Ada di langit dan Dialah yang Ada di bumi. 

Dian Damayanti: Syukron ustad... 

Oma Moy: Apa perbedaan antar zat dan sifat? 

Bande Huseini: @Ustadz Sinar.. semua tulisan antum ana save/print dan ana diskusikan dengan ikhwan di Bogor..(salah satu ikhwan bilang..”Kita Print semua tulisan sinar Agama, kita diskusikan JANGAN SAMPAI KETINGGALAN”) 

Sinar Agama: Bande Husein: Untung antum tidak ganti Huseinnya, kalau nggak maka tidak akan kebagian tag-an. Oh antum di Bogor toh, ghitu ya. Kalau ghitu di Bogor banyak ikhwan AB ya? Kalau ghitu saya kirim salam buat mereka semua, semoga tulisan-tulisan alfakir bermamfaat untuk semua. Sebenarnya tulisan-tulisanku sudah kacau dilihat dari pertopiknya, “Kedudukan Fantastis Imam” belum selesai sudah ke Wahdatul wujud, “Pokok-pokok Ajaran Syi’ah” belum selesai sudah ini dan itu. Hah ...itu dia,..... karena saya, ngikuti arus friend-friend di fb. Semoga suatu saat saya bisa ke kota antum yang katanya cukup bersih dan sejuk. Habis baru dengar duank namanya tapi belum pernah ke sono. 

Sinar Agama: O-M: Zat mirip substansi, tapi labih luas zat. Zat yakni yang tidak perlu kepada tumpangan untuk eksis, dan sifat sebaliknya. Mirip sekali dengan substansi dan aksiden. Tapi kalau Zat dan sifat bisa diterapkan pada yang bukan esensi, seperti Tuhan, sedang substansi dan aksiden harus pada esensi saja atau wujud-wujud terbatas. Antum mesti simak dulu semua tulisan-tulisan sebelumnya. Tapi antum boleh saja tanya, kalau nanti saya rasa harus merujuk ke yang sebelumnya nanti saya akan arahkan. Tapi kalau pendek-pendek saja seperti sekarang, maka bisa saya terangkan. 

Anggelia Sulqani Zahra: Iye ustadz. Terima kasih atas penegasan penjelasannya, maaf atas cara memahamiku yang sangat lambat..... mohon izin untuk saya jadikan dalam catatan-catatanku, biar saya dapat membagi dengan teman-teman kelas filsafat ini....syukron.... 

Mukmin Pencinta Yesus (gerakan sadar khumus): Sinar... salam wa syukran. Pendekatan masih sangat khlasik, terutama terkait dengan Wajah Tuhan. Antum hidup di zaman yang fasilitas pensyarah sudah sangat kaya, maka gunakan. Jangan sia-siakan, ya ustadz. Afwan, tolong tanggapi 2 ini, mudah-mudahan antum dapat bantu ana: 1. Umum: Ayat 9.40 menulis KALIMATULLAH HIYA AL-’ULYA, maka, apabila HIYA diganti HUWA, menjadi KALIMATULLAH HUWA ’ALI. Silahkan tanggapi, terkait juga dengan pengertian Antum tentang HUWA dalam tulisan Antum. 2. Khusus: Wajah Tuhan dalam representasi Angka 12. Misalkan 1 Tahun, bisa 29 x 12, 30 x 12, maka 12 sebagai BASIS atau STRUKTUR, tetap. Yang berubah adalah RUANG, dalam contoh adalah 29 atau 30. Afwan. 

Martha Adnesia: Syukron ustadz... memang sangat membutuhkn tulisan tentang wahdatul wujud secara rinci dan tuntas karena setiap kali kajian tentang ini tidak pernah sekalipun terbahas secara tuntas.. Makasih banyak ya ! 

Sinar Agama: Salam, untuk gerakan sadar khumus; terimakasih atas komentar dan nasihatnya. Saya rasa saya tidak mampu menaggapi anda, karena bahasa kita jauh berbeda. Dan saya tidak ada waktu sekarang ini memahami bahasa antum. Jadi, kalau memang mau diskusi tidak dari awal, maka tolong baca semua tulisan tentang wahdatul wujud ini dari bag-1 s/d 6. Afwan. Misal dari kejauhan beda bahasa kita, adalah seperti angka dan ruang. Bagi kami angka itu adalah akseiden yang tidak ada wujudnya di kenyataan, sedang ruang adalah substansi dari setiap benda yang merupakan fondamental baginya. Karena dengan ruang inilah materi itu jadi materi. Yakni karena volume itulah yang menjadi penentu zati bagi kematerian materi. 

Saya juga tidak dapat memahami keklasikanku (dasar orang klasik hem...),tapi coba antum mundur bacanya, barangkali akan ditemukan sesuatu yang tidak klasik. Bagi saya argumentasi gamblang adalah pedomannya. Sejak jaman Aresto, Plato, nabi Isa.....sampai ...ke Nabi saww, biasanya, selama berkaidah akal-gamblang, akan terus dipakai oleh para filosof sekontemporer apapun, karena akal-gamblang tidak akan pernah berubah. 

Yang ke dua saya disuruh memanfaatkan apa oleh antum, tolong kalau memang ada nasihat, jgn ditahan-tahan, arahkan saya dengan sejelas-jelasnya. Saya sih dalam menjalaskan wahdatul wujud sudah mengerahkan tenaga yang ada, dan telah saya ambil dari intisari kajian selama puluhan tahun dari pengajaran asfarnya Mulla Shadra, irfannya Ibnu Arabi melalui guru-guru besar kontemporer yang sekarang saya tidak bisa menyebut namanya. Jadi, kalau antum nasihati saya untuk memanfaatkan sesuatu, tolong diberikan pengarahan yang jelas. Begitu ya ustadz, supaya saya tidak kebingunagan. 

Mukmin Pencinta Yesus: Iya, ana baru dapat yang nomor ini, nomor sebelumnya ga antum tag kali ya. Insya Allah ana baca. Tapi ana minta agar saran ana diapresiasi. Syukran. Kita hidupkan diskusi dengan segala bahasa dan pendekatan. 

Sinar Agama: G-S-Kh: benar antum, saya karena melihat ada khumus-khumusnya maka saya kira bagus kalau kukirimi, maka dari yang terakhir itu ana kirim ke antum. 

Anwar Mashadi: Salam kenal Pak Sinar.. moga boleh ikutan bergabung dalam pembahasan- pembahasan ilmiah Anda.. Saya baru dapat yang “Wahdatul Wujud” (bag: 6), ini. Kalau Pak Sinar atau teman yang mau berbaik hati mengirimkan yang Bag-1 sampai Bag-5 saya minta tolong untuk kirim.. terimakasih. 

Lucy ‘uciel’ Susanti: Masih harus dibaca secara perlahan supaya lebih bisa dipahami, syukran atas ilmu.. Jazakallah khairan katsiran. 

Sinar Agama: Anwar-M: Kalau antum tidak keberatan, maka antum bisa masuk ke catatannya Anggelia Zulkani Zahra, dia yang membuatkan rangkuman dari tulisan-tulisanku yang terserak. Nanti kalau masih kesulitan lagi, kabari kami. Terimakasih atas perhatiannya. 

Mukmin Pencinta Yesus: Ustadz, entar ana add antum dengan akun Fisika Ekonomi Khumus, tolong notes antum tag ke akun itu. Afwan. 

Roman Picisan: Ustadz... ana udah baca perlahan-lahan tapi masih juga belum merasa paham. 

Komar Komarudin: Sukron... akhii atas Tagnya....... sepertinya harus di reviuw ulang lagi pen_ dalaman logika.. biar lebih mantap memahaminya........... Ya Allah bantulah Hamba-Mu yang hina ini untuk membuka tabir ini, sehingga tidak salah menuju jalan-MU... amin. 

Sinar Agama: R-P: Coba antum baca semua wahdatul wujud dari bag 1-6, kalau perlu diprint dan dipelajari. Tentu saja kalau minat mengerti wajdatul wujud ini. Tapi kalau tidak, maka tidak dosa dan tidak terlalu penting, maka belajarlah yang lain, terserah mau tanya apa, akidah kek apa kek, ghitu, nanti ana akan bantu dengan ijinNya. Untuk Mas K-K juga disarankan menyimak semua tentang wahdatul wujud itu dengan baik dari 1-6. 

Mohd Khamis Haroon: Fahamannya sama seperti agama yang lain, Kemuskilan; Agama yang sembah matahari, sembah pokok, sembah apa ajae yang katanya ada Tuhan. Kan sudah ada di dalam AlQuran,” Sudah ditanya dengan langit serta gunung tentang AMANAH Allah”. Di situ sudah disebut ... hanya Manusia Insan yang ada Amanah tersebut, kok Api juga bisa disamakan dengan Manusia Insan, emangnya kesemua yang di dalam Bumi Allah mahu di masukin ke dalam Shurga Allah? Kan sudah disebut hanya manusia yang dipindahkan Alam kehidupannya di Akhirat yang lainnya akan dibinasakan oleh Allah. Tidakkah Manusia itu yang tergolong sebagai Maujudnya ”WAJAH ALLAH”. Jangan salah Takwil tentang firman yang mengatakan,” Dimana saja kamu pandang, di situ ada wajah ALLAH”. Sedangkan yang empunya Penglihatan adalah Dzat Allah, dan yang Melihatkan adalah Sifat Allah yang ada pada Manusia Insan sebagai pendukung Amanah Allah. Tidak ada Mahluk ciptaanNya yang sama seperti Manusia Insan. Kok API juga bisa ditakwil sebagai adanya Allah juga. Itu KONYOL. Itu kan sama dengan mereka yang menyembah MATAHARI di Jepang atau kaum AMERICAN INDIAN yang Sembah API. Kan sudah tahu banyak yang melakukan demikian. Jangan disamakan Agama Suci Islam serendah itu. Jangan Reka Akidah yang BARU. Coba dipandang ke dalam Diri akan maksud ayat tersebut, dan bukan dipandang ke luar Diri. Jika kalian mencari Allah di Luar Diri, maka kalian akan menjadi Kafir. (Dari Hadith Nabi S.a.w). 

Mohd Khamis Haroon: Persoalannya; ”Setiap yang mengambil dasar dari al-Qur’an dan hadis itu pasti benar!” Tetapi; Jika Ada Hadith pasti ada ayat pokok perbicaraan dari AlQuraan sebagai pendukungnya yang diturunkan sebagai Wahyu dari Allah ....... Maka kita bisa menjawab, bahwa ”al-Qur’an atau Hadis itu memang benar, tetapi penjelasan orang terhadapnyalah yang belum tentu benar”. Maka sikap kita ketika ada orang yang menjelaskan ayat al-Qur’an atau hadis, waspadailah dengan cara mengkonfirmasikannya kepada para guru atau alim ulama yang sudah dikenal dan diakui di masyarakat. Yang sedemikian agar kita selamat dari penjelasan yang ganjil atau sesat yang seringkali menipu kalangan awam sehingga diyakini sebagai kebenaran. Wsalaam. 

Sinar Agama: M-K-H : 

1. Kelihatan kalau kamu tidak baca sama sekali tulisan kami. 

2. Kalaulah baca berarti tidak ada yang dipahami atau setidaknya salah paham. 

3. Usahakan kalau bicara pakai dalil, jangan hanya dakwa diri dan nasehat. 

4. Sesekali keluarlah dari sangkar berfikir anda untuk membaca tulisan orang lain sesuai dengan maksud penulisnya. Karena kalau tidak, maka anda kemanapun pergi dan tulisan apapun yang anda baca selalu akan dikurung dalam sangkar anda sementara anda akan terus merasa memahami penulisnya. 

5. Maknailah tulisan kami sesuai maksud kami baru setelah itu anda boleh menerima, menolak atau mengkritisinya. 

6. Terimakasih atas komentar anda dan tulisan saya lebih dari cukup untuk menjawabnya. 

7. Jangan kurung Tuhan anda itu dalam diri anda dan manusia karena keberadaanNya tidak terbatas dan karena anda bisa menjadi yesus ala kristen. 

8. Nasihat yang dibarengi dengan beribu maaf saya: Bacalah wahdatul wujud 1-6 dengan baik dengan ikhlas profesional dan dengan mengosongkan ilmu-ilmu sebelumnya sekalipun untuk sementara hingga tulisan kami bisa dipahami anda sesuai dengan maksud kami dan supaya anda dapat merasakan dalil-dalil yang kami sajikan yang sudah dijauhkan dari kecenderungan dan fanatisme dan telah dibangun diatas ilmu-mudah. 

9. Belajarlah dengan baik dan do’a kami untuk anda. Wassalam.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar