Tampilkan postingan dengan label John Hick. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label John Hick. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Oktober 2018

Dialog Tentang Pluralisme



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra, pada 28 Juni 2011 pukul 20:52



Sabara Putra Borneo: Teologi Pluralisme: “Hanya DIA yang Tunggal, selain DIA adalah plural”. 

Sinar Agama: Kata-kata antum itu bermakna: “Hanya Dia yang Tunggal, selainNya adalah beda- beda tetapi sama-sama benar.” Jadi artinya “Dia/Haq itu bisa tunggal dan bisa tidak tunggal, karena semua pandangan adalah benar.” Semoga antum segera taubat dari jalan-jalan di tepian agama dengan menyiarkan agama. 

Pluralisme bukan plural. Yang pertama bermakna sama-sama benar (lihat buku John Hick sang bapak Pluralisme), sedang plural adalah banyak atau majemuk. Tetapi plural di kata-kata antum di atas itu kita maknai pluralisme, karena judulnya adalah “Teologi Pluralisme”. 


Sabara Putra Borneo: Siapa yang bilang kalo yang beda-beda itu sama-sama benar? Kok kesimpulan antum sampe kesitu? 

Sinar Agama: Ketika antum katakan selain Dia itu adalah Plural, dan maksud Plural di sini adalah Pluralisme (semua yang berbeda sama-sama benar), maka arti tulisan antum itu seperti itu. Dengan demikian semua akidah tentangNya, karena temasuk selain Dia, maka Pluralisme, yakni sama-sama benar. 

Sabara Putra Borneo: Afwan antum membatasi defenisi pluralisme sebatas yang diucapkan oleh john hick saja. 

Afwan. Dengan defenisi John Hick tentang pluralisme antum langsung memberikan judge tunggal tentang pluralisme bahwa yang majemuk itu sama benarnya. Bukankah masih banyak tokoh- tokoh yang mendefenisikan pluralisme bukan pada penyamaan kebenaran sebagamana john hick? Sekalipun John Hick dianggap sebagai bapak pluralisme, dapatkah defenisi pluralisme hanya dapat diambil dari dia saja? 

Augusto Comte disebut sebagai bapak sosiologi, tetapi apakah pendefenisian & penjelasan tentang sosiologi hanya bisa melulu dari dia? 

Afwan apakah antum yang menyatakan/mengkalaim diri sebagai sinar agama telah berjalan di tengah-tengah agama? Afwan. 

Sinar Agama: Sabara, Inilah akibat berjalan di tepian, tetapi merasa di kedalaman dan menerangi manusia lagi. Belajar dulu mas Islam itu dengan benar. Ini tentang agama. Tentang Pluralisme itu adalah bahasa yang sudah diletakkan pada arti kata keseharian oleh peletaknya. Dan alam bahasa istilahnya sudah diletakakan pula oleh pencetusnya, yakni John Hick. Jadi, kalau antum mau buat bahasa tersendiri silahkan saja, tetapi untuk antum sendiri. Dan kalau masalah Pluralisme ini, maka orang yang layak didengar maknanya adalah Peletaknya, bukan tokoh. Antum jangan menutupi kekurangan dengan yang lebih menghancurkan, karena malu-maluin. 

Sekarang kalau kita mau keluar dari makna yang meletakkannya, maka silahkan antum katakan apa maksud antum itu. Tetapi ingat bahasa kita sudah tidak lagi bahasa paten, jadi sudah karangan sendiri. 

Nah, ok sekarang dengan bahasa sendiri itu, tolong terangkan maksud antum itu apa. 

Kalau aku pakai bahasa antum, yakni ngarang-ngarang sendiri, atau tidak merujuk kepada peletaknya, maka sinar agama itu bisa kumaknai dengan sinar matahari, yakni maksud agama adalah matahari. Nah, kalau hal itu terjadi, jadi bahasa kita ini sendiri-sendiri. Lalu mengapa harus ada dialog? Antum tanya aku ini sudah dalam agama selalu atau tidak. Maka kujawab iya, yang maksudnya tidak. Atau kujawab tidak yang maksudnya iya. Atau kujawab iya dan tidak dilihat dari karepku sendiri dan dari dimensi-dimensi yang berbeda-beda. Kan kacau kalau ghitu mas? Lalu anggap aku berbahasa dengan yang paten, lalu apa gunanya mengatakannya kepada antum yang tidak punya ukuran kebenaran agama? Karena kalau kubilang aku di jalan agama, antum mau jawab apa? Dan kalau kujawab tidak selalu dalam agama, maka antum juga bisa berkata apa? Aku mengira kalau kubilang selalu dalam agama antum akan cenderung tidak percaya dan kalau kubilang tidak selalu, maka antum akan cenderung percaya? Jadi, heran banget apa hubungannya namaku dengan kesalahan antum tentang pluralisme itu? Apa maksudnya kalau aku sesekali salah berarti antum mengakui kesalahan antum? Tetapi dari koment-koment antum ini antum sepertinya tidak ngakui. 

Yono Jelangkung: Guru Sabbara, kadang pluralisme susah di terapkan kehidupan sosial, tetap ada sentimen mayoritas dan minoritas, kaum minoritas selalu di abaikan. 

Sinar Agama: Mas Yono: Tunggu dulu mau dia itu apa dari kata Pluralisme itu. Karena dia mendakwa memiliki makna tersendiri yang tidak dibuat oleh pencetus dan penemunya (John Hick). 

Yono Jelangkung: Guru Sabbara dia yang tunggal, selain dia plural, maksudnya ? 

Sinar Agama: Mas Yono: Plural di kalimat itu akan ditentukan maknanya dari kata Pluralisme di awal kalimat statusnya itu. Nah, biar dia sendiri jelasin dulu “Opo kareppe”. Dan biar dia juga sebut tokoh yang mengatakannya itu, supaya kita tahu tokoh itu pengarang pluralisme itu atau ikut-ikutan dan salah, seperti almarhum cak Nur dan Abdurrahman Wahid... 

AnZi Ahmad: Salam. Afwan ustadz, ana coba untuk memahami pemaparan ustadz tentang pluralisme dan plural, mohon koreksinya: 

Ketika ustad membedakan antra pluralisme dan plural, apakah garis pembedaannya itu karena pluralisme jadi bermakna lain dari plural karena telah menjadi pandangan-dunia (di isyaratkan dengan -isme)? 

Kemudian, ketika ustad menyatakan pluralisme = berbeda tetapi benar semua. Siapakah yang menjadi sumber adanya perbedaan? Kalau Allah yang menjadi sebab, apakah teori pluralisme di atas menjadi benar? Karena semua perbedaan itu bersumber/bersebab dari al haq. Mohon koreksinya stad. Syukran. 

Sabara Putra Borneo: Kenapa sebuah istilah harus dibatasi maknanya menurut pencetusnya? Berart (misalnya) makna istilah sosiologi dibatasi berdasarkan maksud pencetusnya (Augusto Comte)? Ohya, bagaimanadengandefenisi& kategorisasi pluralismeyangdibuat oleh Legenhausen yaitu pluralisme aletic, pluralisme soteriologis, pluralisme epistemologis, & pluralisme deontis (& Legenhausen sepakat dengan istilah terakhir), apakah yang dilakukn Legenhausen ini salah? Btw, ada yang salah ga dari proposisi: selain DIA adalah plural? Kalaupun dilekatkan dengan pluralisme yah proposisi inilah yang menjadi basis teologis mereka, selain DIA plural, adalah sebuah fakta. Pemahaman tentang DIA saja berbeda-beda (plural) & tidak selamanya didudukkan dalam nalar benar-salah, perbedaan tersebut bisa juga disebabkan tingkatan pemahaman yang brbeda. Oh ya, antum suruh saya belajar Islam yang benar, maksudnya yang benar yang sesuai dengan yang antum pahami ya? Hehehe... Hebat. 

Sinar Agama: Anzi: Salam dan terimakasih atas pertanyaannya, karena sepertinya aku yang ditanya: 

(1). Plural itu artinya “majemuk”. Itu arti katanya. Akan tetapi setelah John Hick mengalami proses batin nan bergejolak, ia mencetuskan apa yang ia istilahkan sebagai “Pluralism”, yakni “Kebenaran Majemuk” atau “Semua Benar”.

(2). Peristiwa itu bermula dari pergaulannya. Ia yang beragama Nasrani itu, banyak memiliki teman-teman dari agama lain. Terutama Islam/muslim. Teman-teman dia itu, setelah ia perhatikan, juga sangat taat dalam beragama sesuai dengan agamanya masing-masing. Terutama muslim yang tiap hari melakukan lima kali shalat, tidak mabok-mabokan, tidak judi, tidak zina dan seterusnya. 

Akhirnya batin dia bergejolak dan berkata, masak iya orang-orang taat ini, walaupun salah dalam agamanya, akan diazab oleh Tuhan Bapak? Jadi, batin dia itu berantem dalam dirinya dengan keyakinannya selama ini, terutama dengan apa-apa yang sering didengarnya dari pendeta-pendeta gereja. 

Akhirnya, renung punya renung, dia menuliskannya dalam bentuk makalah-makalah yang diseminrkan dan kemudian dikumpulkan menjadi buku. Nah, ia dalam tulisannya itu membuktikan dengan dalil, kebenaran kayakinannya yang mengatakan “Semua agama dan bahkan pemikiran apapun itu adalah benar”. Karena “benar” bagi dia, bukan yang sesuai dengan obyeknya, tetapi karena sangat dipengaruhi oleh subyeknya. Karena tidak ada ukuran nyata yang, sekalipun dikatakan obyek. Yakni semua obyek itu tetap subyek, yakni subyeklah yang menentukan ke-obyekan obyek itu. Tentu saja banyak lagi dalil-dalilnya. 

(3). Antum “kalau” tidak mengalami pendidikan sistematis akademis tentang filsafat agak susah memahami dimana letak tindihan dan kekuatan argument itu dan bagaimana membantah- nya. Memang, secara umum bisa digambarkan dan dipahami, tetapi pahaman yang tidak menge-ruh dan membatin, yakni hanya pahaman badaniah saja, alias lahiriah. 

Beberapa tokoh kampusan Iran (yang ada) sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari yang terpengaruh dengan keyakinan dia itu. Seperti Syurus. Syurus ini memperkaya dalil-dalil Hick itu dengan dalil Qur'an, Islam dan filsafat serta Irfan dimana sebagiannya tercium dalam pertanyaan antum itu. 

Salah satu dalil Syurus adalah dalil irfan yang ringkasannya sebagai berikut: 

Syurus berdalil bahwa sumber semua yang ada di alam ini, apakah nabi atau iblis, Musa as atau Fir’un, semuanya bersumber dari al-Haq. Yakni materi (yang memiliki salah-benar) dari Malakut (barzakh), Malakut dari Jabarut (makhluk-makhluk Akal) dan Jabarut dari al-Haq. 

Artinya semua warna dan beda, bersumber dari Maha Sederhana, yakni Al-Haq. Karena itu, maka Musa as dan Fir’un di dalam maqam Ahadiyyah, yakni di Zat al-Haq itu, adalah bertemu dan sama. Jadi, semua beda adalah benar semua, karena dari Dia dan menyatu di Dia. 

Si Syurus ini, sekalipun merasa guru filsafat, tetapi sangat dangkal, karena di Iran, kekuatan filsafat itu ada di Hauzah (pesantren) bukan di kampus (hal ini diakui barat, sekalipun filosof medern), maka ia lupa bahwa secara umum tidak ada orang yang sampai ke maqam Zat Tuhan itu. Artinya, sekalipun hidayah dan sesat bersumber dariNya, sebagai Tuhan Tunggal (tidak seperti yang meyakini Tuhan baik yang buat kebaikan dan Tuhan jahat yang mencipta kejahatan), akan tetapi terlepasnya nilai buruk itu, yakni semuanya menjadi benar dan baik serta Haq, hanyalah di maqam Zat Tuhan itu. 

Padahal kita, membicarakan hal-hal yang di bawah, baik di alam materi sebagai maqam terendah yang di dalamnya terdapat kandungan nilai-nilai akhlak dan kebiasaan (karakter), atau di Barzakh sebagai tempat Surga dan Neraka. 

Jadi, memang bisa dikatakan bahwa yang di bawah itu adalah manifestasi dan bersumber dari yang di atas (al-Haq), akan tetapi tanggung jawab dan balasannya juga bersumber dari atas, dan kita tidak akan pernah naik ke atas (Dzat Tuhan). 

Artinya, sekalipun Fir’un itu tajaalli murka Tuhan, tetapi ia bukan terus menjadi Tuhan dan tidak tersiksa. Bahkan sebaliknya, ia akan sangat tersiksa, karena dia hanya manifestasi secara selamanya (sebab selamanya siapapun tidak bisa jadi Tuhan). 

Bagitu pula, yang di atas (al-Haq), menghendaki kita mengikuti tajalli hidayahNya, bukan murkaNya, dan kita diberinya akal dan ikhtiar. Jadi, yang sesat harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. 

Maksud saya, bahwa sekalipun Fir’un itu tajalli murka Tuhan, tetapi dia telah mengingkari tajalli hidayah Tuhan dengan ikhtiarnya sendiri dan harus mempertanggung jawabkannya, yakni masuk neraka dan kepanasan tersiksa di sana dimana neraka itu juga tajalli dari Tuhan tapi dari sisi murkaNya, bukan ridhaNya. 

(5). Kalau di tingkatan lokalan Indonesia, sepertinya banyak yang salah memahami Pluralism ini dan rata-rata mengembalikannya ke makna katanya itu, yakni “Plural” dan “Majemuk”. Saya sendiri sekitar 15 th lalu pernah baca makalah almarhum Cak Nur yang mengatakan bahwa kita mesti hidup “Plural” dalam penjelasannya tentang “Pluralisme”. Artinya, kita harus mengakui keberadaan agama-agama lain dan menghormatinya. Nah, ini namanya “Toleransi”, bukan “Pluralisme”. 

Saya juga pernah ditanya tentang pendapat almarhum Gus Dur yang sependapat dengan Cak Nur itu. Jadi, Pluralisme bukan bermakna menghormati perbedaan karena hal itu adalah Toleransi. Akan tetapi Pluralisme itu bermakna semua agama dan apapun pandangan, adalah benar. 

Kesimpulan sementaranya: 

(a). Maksud “Pluralisme”, sesuai pengarang nama, kata dan istilahnya, bukan pengarang rumus dari sebuah nama (misalnya sosiologi), adalah semua agama dan bahkan semua pandangan, seperti Marxisme dan Kapitalisme adalah benar. 
Karena kebenaran agama dan pemikiran, tergantung penilai Subyeknya (subyektif) dan tidak akan pernah menjadi Obyektif. 

(b). Karena itu kebenaran di Pluraisme adalah kebenaran siapa, bukan kebenaran sesuai nyata karena baginya yang dikatakan nyata itu juga subyektif yang bukan nyata yang sebenarnya. 

(c). Perbedaan itu mencakupi semuanya, mulai dari agama, pemikiran, ide-ide dan pemahaman agama dan seterusnya dari semut terkecil sampai kepada Tuhan Yang Maha Besar. 

(d). Ingat, tekanan dan maunya Pluralisme ini adalah di dalam bidang “Keyakinan”, sedang “perbuatan” itu hanyalah sebagai aplikasinya, bukan dasar dari pemaknaan “Pluralisme” yang dimaksud. 

Kesimpulan Akhir: 

Jawaban terhadap pertanyaan antum tentang kebenaran semua beda karena kebersumberannya dari al-Haq, sudah dapat dirasakan. Yakni, sekalipun sudah merupakan keseyogyaniaan, bagi yang mayakini Satu Tuhan, bahwa semua benar dan salah itu bersumber dariNya, yakni pahaman dan aplikasi salah dan benar itu bersumber dariNya, karena keduanya adalah ada, dan yang ada adalah dariNya, akan tetapi kita tahu bahwa kita ini bukan Dia. 

Artinya, kita bukan Dia yang Maha Tidak Berangkap. Kita adalah hakikat rangkapan-rangkapan yang warna warni dimana yang satu benar dan yang lainnya yang bertentangan dengannya adalah salah. 

Jadi, di sini, di derajat ini (bukan di derajat Zat Allah) ada yang namanya keberadaan yang tidak terpengaruh dengan akal dan aplikasi kita sebagai manusia. Itulah yang kita katakan kenyataan. 

John Hick juga kenyataan. Kalau kita ikut John Hick, keberadannya pun harus diingkari dan apalagi pikirannya. Karena kesungguhan adanya Hick tergantung pada subyeknya (kita-kita), apakah ia dihitung ada atau tidak, berfikir dan punya ide atau tidak, punya kepercayaan atau tidak. Padahal, pasti Hick tidak menginnginkan hal ini, karena itu ia menulis dan berseminar. 

Nah, kalau dia-nya sendiri dan audiennya itu, ada-tidaknya tergantung kepada subyek penilainya (subyek), maka tidak mungkin akan ada pemikiran, tulisan dan seminarnya itu, dan debat-debat yang ada di ruang seminarnya itu. 

Nah, ketika kita mengakui adanya kenyataan dan keberadaan, maka itulah yang akan dijadikan ukuran kita menilai ilmu-ilmu kita itu apakah benar atau salah. Karena itulah dalam logika ada Ilmu Mudah dan ada Ilmu Pikir. 

Nah, Ilmu Mudah itulah yang jadi ukuran kebenaran Ilmu Pikir, dan dijadikan premis-premis untuk membuktikan kebenaran Ilmu Pikir/dalil. Seperti ilmu panca indra dan semacamnya yang menjadi landasan bagi ilmu-ilmu pikir dan dalil. 

Jadi, Tuhan, satu atau tidak dalam pikiran manusia, tidak akan terpengaruh karenanya. Bagitu pula alam ini, agama ini, surga neraka ini, ide-ide ini, sosial politik ini, budaya ini dan seterusnya. 

Artinya wujud nyatanya tidak akan terpengaruh dengan apa yang dipahami manusia. Kalau si Sabara ini mengatakan Tuhan Tunggal, itu hanyalah pandangan dia. Belum lagi apa maksud tunggal disini, itu hanya ide dia. Coba saja tanyakan apa arti Tunggal padanya, pasti dia tidak akan bisa menjawab dengan benar. Karena dalam aplikasi, dia kadang menentang ke-TunggalanNya itu. Saya tahu, dia tidak sengaja melakukan itu, artinya kedangkalannya memahami Tunggal itu, akan tetapi sebab-sebabnya, bisa saja disengaja. Misalnya tidak mau belajar agama, atau malas 

belajar agama yang akademis, tetapi merasa tahu tentang agama dan bahkan mengajar orang. 

Kalau dia tahu makna Tunggal, maka pasti dia tidak akan melakukannya, apalagi mencerca orang yang belajar agamaNya dengan berkata “apakah kamu selalu benar dalam agama”. Padahal, apa hubungan salah dengan tanggung jawab dan usaha? 

Apakah kemestian adanya salah pada setiap insan bisa dijadikan alasan untuk tidak profesional? 

Jadi, kebenaran itu ada standarisasinya dimana dengan itu manusia ini juga bisa berkomunikasi, berdialog dan tukar pendapat. Karena kalau tidak ada standarisasinya, maka semua itu tidak akan terwujud. Nah, kebenaran itu harus bersumber kepada ilmu-mudah, dan dalil gamblang, karena sekali lagi, hal-hal mudah dan gamblang itulah dasar pikir kita dan hidup kita serta sosial kita ini. 

Tambahan

Hal mudah dan gamblang itu bisa mengantar manusia bahkan untuk memahami Tuhannya sekalipun. Jadi, jangan remehkan yang mudah dan gamblang itu. Karena ia adalah alat tunggal untuk memahami apapun hakikat dan kenyataan. Karena itulah di filsafat, selama argumen itu belum bersandar pada Ilmu Mudah, maka ia belum dikatakan argumentatif. Wassalam untuk Anzi. 

Untuk Sabara

(1). Ana sebenarnya tidak ingin heboh dengan antum karena setidaknya kita sama-sama muslim dan syi’ah. Karena itulah, maka ana tidak langsung tancap gas. Karena itulah saya, sedikit- sedikit menaikkan tancapan gasku. Jadi, afwan dalam hal ini. 

Bagi ana tidak penting antum percaya atau tidak, menerima atau tidak, karena aku bukan Tuhan dan Nabi serta bukan juga ukuran kebenaran. Karena ana hanya melakukan yang kurasakan secara GR sebagai tugas dan kewajiban (itupun secara relatif). Dan yang ke dua, yang penting bagi ana, adalah menuliskan sebagai perbandingan untuk orang lain yang membacanya. Biar mereka menilainya sebelum kita nanti melihat penilaian Tuhan di akhirat. 

Jadi, siapkanlah dalil-dalil antum di sana, karena lebih berat dari di dunia ini. Ana juga akan mempersiapkannya semampunya, sejujur dan seakademis mungkin.

(2). Ana menyuruh antum belajar Islam itu adalah demii antum sendiri. Dan belajarnya sudah pasti yang akademis, metodologis, bukan otodidak yang biasa melahirkan pemahaman- pemahaman siksak dan berubah-rubah dari setiap halaman buku yang dibacanya. Belajar Islam itu tentu di sekolah Islam, kampus Islam atau pesantren dan hauzah Islam. Itu kalau antum mau jadi guru dan menulis-menulis tentang agama. 

Tetapi kalau mau untuk diri sendiri, ya di kajian-kajian, buku-buku, bulletin-buletin, status- status dan seterusnya, juga boleh dan harus. Tetapi kalau mau jadi guru kek, pemikir kek, penulis kek, pentrainer kek...dan seterusnya, maka harus belajar secara akademis. 

Dan antum harus tahu bahwa kalau sudah belajar, bukan berarti terus menjadi benar. Saya yang puluhan tahun belajar ini, sangat-sangat ketakutan padaNya, jangan-jangan banyak tulisan dan ceramah-ceramahku yang salah atau tidak ada yang benar sama sekali. Karena itu, kita akan tahu salah benarnya, kelak di akhirat. 

Tetapi di dunia ini, kan sudah menjadi konsekuensi ilmiah dan akal sehat untuk tidak sembarangan, apalagi diskusi di fb yang dilihat orang banyak. Dalam kesendirian saja, kita tidak boleh sembarangan karena akan dipertanyakanNya kelak. Jadi, belajar agama tidak mesti berpandangan benar, apalagi sama denganku, tetapi usaha secara akalis dan akademis untuk tidak ceroboh, itu saja. Dan itu adalah tanggung jawab kita. 

Dalam bidang selain agama juga begitu. Antum tidak bisa mengoperasi ginjal orang kalau antum bukan dokter dan bukan ahli bedah. Padahal untuk jadi dokter bedah itu, paling-paling 10 tahun sudah cukup. Tetapi menjadi sarjana agama, 20 tahun bisa sangat tidak cukup. Jadi, kalau aku menyuruh belajar agama, itu kalau antum mau jadi pendakwah. Dan belajarnya terserah, tetapi tidak otodidak. Seperti jangan otodidak belajar kedokteran supaya pasien antum tidak mati. Dan kalau otodidak dalam agama, bisa-bisa pasien antum masuk neraka. 

Ingat, kesalahan yang tidak akan dimaafkan Tuhan adalah yang dilakukan dengan ceroboh, bukan yang sudah hati-hati, tulus dan akademis. Antum kalau dimarahi dokter karena membedah ginjal orang, tidak bisa berdalil dan mengatakan “Emangnya dokter tidak pernah salah?” Karena tanggung jawab asli kita itu bukan di salah benarnya, tetapi di tidak cerobohnya dan di mestiprofesionlannya itu. Inilah ruhnya Deontis, sebagaimana yang akan saya ulas secara awam di bawah ini. 

(3). Kalau Legenhausen itu, semoga Tuhan meninggikan derajatnya, sudah tentu bukan pencetus Pluralisme. Karena itu maka dalam penjelasannya tentang Pluralisme, dimana ia mengakui tentang makna yang diberikan Hick yakni “benar semua”, akan tetapi dalam masalah deont atau aksinya, ia mengatakan bahwa Islam menerima hal itu. Ini adalah kontradiksi dia. 

Karena dalam “Aksi” tekanannya kepada profesionalisme yang biasa saya katakan akademis kalau dalam hal ilmu. Yakni kalau boleh dikatakan dengan ekstrim, deontis itu maksudnya tergantung kepada pelaksanaan tanggung jawab. Jadi, kalau seseorang telah melakukan kewajiban akidah dan aplikasinya dengan profesional secara akalis, maka sekalipun salah, akan tetap dimasukkan ke surga. Nah, Legenhausenpun menyandarkah hal ini kapada syahid Muthahhari ra dalam buku ke-Adilan Ilahinya. 

Artinya berdasar pada ke-Adilan Tuhan, maka siapapun yang telah melakukan tanggung jawabnya dengan profesional, maka layak mendapatkan ganjaran dan surga, sekalipun salah. Karena kesalahannya pasti tidak disengaja atau tidak semi disengaja (seperti tidak belajar agama secara akademis, tetapi menjadi pengajar agama, dan kalau ditegur mengatakan “Kamu yang ustadz juga belum tentu benar atau tidak selalu benar”). 

Jadi, kalau seorang itu sudah benar-benar berusaha dan profesional, misalnya tidak belajar agama ke dokter gigi atau sarjana ekonomi, atau sebaliknya, maka ia layak mendapat ampunan dan bahkan pahala dalam kesalahannya itu. Karena dilihat dari usahanya tersebut. 

Nah, semua itu, bukan Pluralisme, karena bukan pembenaran kepada semuanya. Akan tetapi, yang benar masuk surga dengan keridhaanNya, dan yang salah masuk surga dengan ampunanNya (tentu bagi yang sudah gigih secara profesional itu). 

Karena itulah Legenhaussen berkata –yang isinya kurang lebih- bahwa kalau Islam tidak perlu Pluralisme, karena ia sudah memiliki konsep ke-Adilan Tuhan itu. Tetapi kalau Masehi, dimana nabi Musa-pun dan nabi-nabi sebelum nabi Isa as, tidak bisa masuk surga karena belum dibabtis (tetapi tidak dimasukkan ke neraka karena tergolong orang-orang yang baik, karenanya akan diletakkan di tempat yang tidak sakit dan tidak nikmat), maka mereka dalam melihat kenyataan keberbedaan yang alami karena jaman dan tempat yang beda ini, sangat perlu kepada Pluralisme. Artinya untuk mencari pemecah masalah perbedaan, hingga selain Masehi juga bisa masuk surga. 

Akan tetapi, seakan-akan Legenhaussen lupa bahwa pemasukan orang salah ke surga dalam Islam, tidak lewat pembenaran, tetapi pengampunan. Sementara kalau Pluralisme, melewati pembenaran terlebih dahulu, atau pemasukan ke Masehi dulu seperti pandangan Raner. 

Jalan yang diambil oleh Raner, yang menganggap orang baik itu, sekalipun Islam atau Budha, adalah sebagai Masehi di Mata Tuhan, tidak dianggap cukup oleh Hick untuk mengasasi Pluralismenya. Karena itulah ia mencetuskan Pluralismenya itu yang, terus menjadi dasar bagi pemikiran-pemikiran barat baik Liberalisme, agama, politik...dan seterusnya. 

Dengan demikian, maka deontis itu adalah Islam yang berdasar kepada aksi dan tanggung jawab profesional yang sesuai dengan ke-Adilah Tuhan. Artinya yang benar layak mendapat 2 pahala karena usaha dan benarnya, sedang bagi yang salah layak mendapat satu pahala karena usahanya dan satu ampunan karena ketidakcerobohannya. Ini adalah Keyakinan Islam, Bukan Pluralisme. 

Jadi, kalau ini maksud antum, maka jangan berteriak bahwa hal di atas itu keyakinan Pluralisme. Karena ia adalah Islam. Islam adalah Islam, dan Pluralisme adalah Pluralisme. 

Tentang masalah plural dalam status antum itu, sudah ana jawab dengan jelas di komen sebelumnya, harap renungi dengan baik, kalau mau. 

Tambahan

Sebagai tambahan: Untuk Legenhaussen itu (semoga Tuhan meniggikan derajatnya), sekalipun beliau bisa dihitung adik kelas sepupu dari hamba hina ini dalam filsafat Islamnya, dan sekalipun beliau itu adalah doktor dalam filsafat baratnya, begitu pula, sekalipun beliau itu penuh fadhilah dan kemuliaan dalam bidang keilmuan (semoga Tuhan mengganjarnya hingga bisa bersama para imamnya) dan sangat kuhormati, namun sekali lagi, bukan ukuran penilaian terhadap Pluralisme ini. 

Jadi, hanya bisa dijadikan bandingan bagi kakak kelasnya, sekelasnya dan seperingkatnya. Artinya tidak dijadikan panduan dasar bagi penilaiannya. Semoga Tuhan selalu menyertai orang-orang yang mengutamakan pencarian dari pemberian, tapi bukan pencarian yang diniatkan untuk pemberian. Dan semoga Tuhan memaafkanku yang kadang merasa harus tancap gas karena kecemburuan dan kecintaan yang tiada batas bagi sesama manusia ini, amin. Wassalam dan afwan. 

Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Eman Sulaeman dan 10 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Eman Sulaeman: Allahumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad. 

Muh Kasim: Allahumma sholli alaa Muhammad Wa aali Muhammad....mantaap Sinar Agama. 

Agil: Ahsantum.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 17 Agustus 2018

Lensa (Bgn 1) : Analisis Kritis Pluralisme dalam Al Quran « HMINEWS.COM.



Oleh : Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:44


Ketahuilah bahwa di Iran sempat muncul beberapa saat tentang pemikiran pluralisme ini, tetapi dengan gigihnya ulama dan Sayyid Ali Khamenei Rahbar kita, maka usaha Sayaurus dan sebangsannya untuk menyebarkan pluralisme ini menjadi mentah total. 

Dalam makalah yang jauh dari keselarasan dan penuh dengan kontradiksi itu, serta jauh dari spesialisasi Qur'an, penulis telah me-robek-robek tatanan berfikir logis-filosofis dan tentu saja me-robek Qur'an itu sendiri. Dan dengan tanpa memahami dasar pemikiran Rahbar kita hf, penulis juga telah merendahkan petuah-petuah Logis, filosofi dan agamisnya, menjadi sastrais- sayaairis, na’udubillah. 

Mungkin orang-orang mengira bahwa buku-buku semacam karya Sayaurus tersebut seperti “Jalan-jalan Lurus Yang Banyak” telah diberangus di Iran oleh para intelektual dan ulama serta Rahbar hf. Sama sekali tidak. Tetapi yang diberangus itu adalah dalil-dalil dan argumennya yang sastarais yang berusaha menipu manusia menjadi logis, filosofi, agamis dan Qur’anis. 

Mungkin juga Anda berkata, bahwa “Kalau ghitu berarti plural dong higga tidak dilarang bukunya terbit? “ 

Jawabanya: “Iya Plural, tetapi bukan Pluralisme”. Plural yakni majemuk, dan konsekwensinya adalah Toleransi, Bukan Pembenaran. Sementara kita tahu (bagi yang tahu bukan sok tahu), Pluralisme adalah “Semua agama dan pemikiran adalah benar” seperti yang dibawa penciptanya John Hick, walaupun dia juga terilhami dari beberapa Pastor dan tulisan-tulisan lama sekiter(sekitar) abad 18. 

Penulis makalah di situs ini, bukan hanya tidak tahu Qur'an yang memang tidak pernah ia pelajari dengan sistematis dan akademis, tetapi tentang pemaknaan dan konsekwensi Pluralisme ini saja dia tidak memahami hakikatnya. Dia kadang-kadang menukik ke Pluralisme, kadang turun lagi ke Plural. Maju mundur dan turun naiknya pemikirannya menandakan ketidakjelasannya dalam masalah ini. Buru-buru tentang Qur'an yang dia jelaskan sok tahu padahal jelas tidak pernah mempelajarinya secara akademis. 

Inti kebenaran Islam, terkhusus yang dibawa oleh Ahlulbait as, adalah Kebenaran Agama itu Satu, begitu pula tentang madzhab. Tetapi bukan berarti agama dan madzhab yang tidak benar itu mesti masuk neraka. Tidak sama sekali. Yakni, orang yang beragama atau bermadzhab yang tidak benar itu, bisa masuk surga kalau kebenaran agama atau madzhab belum sampai kepadanya, atau kalaulah telah sampai, tetapi belum terlalu jelas baginya sementara ia telah berusaha memahaminya. 

Dengan demikian, walau kita menghadapi tetangga kita yang kafir atau yang Sunni, maka kita tidak boleh menveto bahwa mereka pasti masuk neraka, karena sudah bertemu Islam atau Syi’ah dan sudah berulangkali diskusi. Karena mungkin mereka telah berusaha dan belum mendapatkan titik kuatanya kita atau agama/madzhab yang benar. 

Namun demikian, bukanlah tidak masuknya mereka ke neraka atau bisa masuknya ke surga itu karena mereka benar seperti yang dikumandangkan Pluralisme, tetapi karena memang tidak ada alasan untuk dimasukkan ke neraka lantaran tidak melakukan kezhaliman atau penganiayaan terhadap diri, agama dan orang lain. Jadi, yang masuk neraka itu hanya yang zhalim pada dirinya atau agamama/zhhab yang benar. Dan itu maknanya adalah menolak kebenaran setelah ia tahu yang ditolaknya itu kebenaran. 

Tetapi kalau dia belum benar, atau mungkin menolaknya, dikarenakan belum sampainya kebe- naran itu padanya baik secara lahir atau secara pemahaman, sementara dia sudah berusaha, maka orang seperti ini tidak layak dimasukkan ke neraka. Artinya ia akan mendapat maaf dari Allah sesuai janjiNya dalam Qur'an dan akal/fitrah. 

Jadi, masuk surganya karena dimaafkan, bukan karena dibenarkannya agama atau madzhabnya seperti yang digaungkan Pluralisme. 

Tentang pidato Rahbar hf yang tidak dipahami penulis itu, adalah bentuk dari Toleransi yang dianjurkan agama sebagai Tidak Ada Paksaan Dalam Agama. Sebenarnya bagi yang jeli dan hatinya bersih, ayat toleransi ini sadah menunjukkan bahwa yang benar itu satu, tetapi tidak boleh dipaksakan di dunia ini. Artinya mau ikut silahkan dan nanti masuk surga, dan kalau tidak mau juga silahkan dan nanti di akhirat masuk neraka. 

Toleransi, selain memiliki makna tidak memaksa, juga memiliki makna bekerjasama dalam hal-hal yang sama. 

Nah, Rahbar hf tercinta kita, dalam pidatonya itu, mengajak para agamawan selain Islam dalam forum yang sama untuk mengentas ber-sama-sama apa-apa yang bisa dientas dari kezhaliman dan ketidak adilan di dunia ini, bukan membenarkan agama dan madzhab meraka. 

Kalau kita melihat orang jatuh, apakah kita tanya dulu agama dan madzhabnya sebelum kita menolongnya? 

Atau kalau kita dirampok dan dijajah, apakah kita tanya dulu agama orang yang lewat dekat kita sebelum kita minta tolong padanya? Atau kalau kita mau gotong royong bikin jembatan di kampung kita, apa kita hanya mengajak yang Islam atau Syi’ah, dan melarang mereka yang kafir atau yang bermadzhab lain? 

Nah, Rahbar hf tercinta itu berpidato di hadapan mereka yang kafir itu dengan bahasa yang sama untuk memerangi kazhaliman dan pejajahan. Oleh karenanya sudah tentu wajar dan bahkan harus, untuk membawa dalil-dalil yang sama di antara agama-agama tersebut. 

Jadi, sangat wajar dan wajib bahkan, untuk menyebut sekalipun dalam siratan, tentang keadilan dan memerangi kezhaliman yang disebutkan dalam semua agama. Tetapi bukan pembenaran terhadap agama atau madzhabnya, tetapi pembenaran terhadap ajaran yang dinukilkannya itu. Persis kalau kita menukil hadits Abu Bakar atau Mu’awiyah tentang misalnya fadhilah imam Ali as. 

Kita dengan penukilan itu bukan membenarkan mereka, tetapi membenarkan apa yang mereka nukil Islamnya kita, Syi’ahnya kita, belajarnya kita dan seterusnya adalah bukti dari ketidakbenaran secara fitrawi dan agami (seperti yang penulis katakan) konsep Pluralisme ini. Bukan sebaliknya seperti yang dikatakan penulis. Adalah sangat tidak fitrawis, agamis, Qur'anis dan logis-filosofis, manakala kita seumur hidup jungkir balik belajar mencari kebenaran dan memintanya pada Tuhan, terkhusus jalan lurus, dan seterusnya, manakala kita dalam pada itu, mengimani dan mengatakan bahwa kebenaran itu milik semua orang, semua agama dan madzhab. 

Untuk dalil-dalil penguat lainnya mungkin di tempat dan waktu yang lain, semoga saya sempat menulisnya, karena sekarang sedang sangat sibuk hadapi kelas, seminar, wahhabi, soal-jawab wahdatul wujud dan Pokok-pokok ajaran Syi’ah yang sedang dikerjakan. 

Tambahan: Di Iran selama puluhan tahun ini, kalau ngadain seminar nasional atau internasional tentang persatuan, selalu mengatakan bahwa: “Bukan tujuan kami untuk saling pindah agama/ madzhab, atau saling membenarkannya, tetapi untuk saling toleransi dan mengerjakan hal- hal yang sama terkhusus dalam menghadapi kezhaliman global dunia dan semacamnya, oleh karenanya konsentrasi kita kepada yang sama-sama tersebut, tetapi tidak terlarang siapapun membahas yang berbeda kalau diinginkan, asal dalam koridor ilmiah dan santun serta tidak mengarah kepada perpecahan. 

Wassalam dan afwan.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ