Minggu, 26 Agustus 2018

Logika (Bgn 2)



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:22


Saepul Rochman : Assalamu’alaykum. wr.wb. Ustadz Sinar, mohon dijelaskan mengenai epis- temologi, cara-cara, kaidah-kaidah penafsiran/takwil Al-qur’an menurut Ahlu Bait dan bagaimana pendapat ustadz tentang Kritik Teks (naqd An-nash) Ali Harb, saya sedang belajar dan masih terasa kering jika berbicara tentang Islam yang sebenarnya, Wassalamu’alaykum.wr.wb.

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya. Pertanyaan antum ini perlu jawaban sebuku setidaknya. Tetapi alfakir akan berusaha memberikan gambaran ringkasnya, tetapi tolong sabar, karena sudah beberapa jam belum selesai. Nanti baru akan dikirimkan di koment ini, doakan.

Salam dan terimakasih pertanyaannya : Pertanyaan antum ini memerlukan jawaban dalam satu buku, setidaknya. Hem. Tetapi karena kata orang Arab: Kalaulah tidak terjangkau keseluruhannya, jangan ditinggalkan semuanya. Jadi saya akan coba saja.

Tentang Mengenal ilmu al-Qur'an, maka perlu diketahui bahwa Qur'an itu adalah ilmu juga seperti ilmu-ilmu lainnya. Karena Qur'an diturunkan oleh Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar. Artinya sesuai dengan alamiah ciptaan dan sistemNya. Karena itulah Qur'an menjelaskan semua hal, terutama yang berkenaan dengan diri manusia, alam sekitarannya yang berhubungan dengannya, dan tujuan penciptaannya, seperti Tuhan, surga, insan kamil dan semacamnya.

Karena itulah Qur'an adalah informasi terhadap hakikat sesuatu, baik dari mananya, di mana- nya dan kemananya. Yakni dari mana berasal, dan memiliki potensi apa, serta bagaimana menggunakannya. Walhasil Qur'an adalah manual alam semesta ini, baik yang berurusan dengan manusia atau makhluk yang lainnya. Jadi, dari sisi ini, maka Qur'an tidak beda dengan ilmu-ilmu lainnya yang menginfokan keniscayaan, potensinya dan cara penggunaannya untuk mencapai tujuan penciptaannya, yakni kesempurnaan.

Ilmu yang lain dari ilmu Qur'an, maksudnya adalah yang didapat dengan cara selain Qur'an, banyak sekali bentuknya. Bisa melalui Panca Indra yang ilmunya biasa dikenal dengan Ilmu Panca Indrawi. Ada yang dengan insting yang biasa dikenal dengan Perasaan. Ada yang dengan akal, yang biasa dikenal dengan ilmu-argumentatif-akliah. Ada juga yang dengan eksperiment yang bisa dikenal dengan Ilmu Laboratoris. Ada juga ilmu yang dicapai dengan pembersihan jiwa tingkat biasa yang disebut dengan Kasyaf dan ilmu Ladun. Ada yang lewat meditasi. Ada yang lewat bertapa. Dan semacamnya.

Sedang Qur'an sendiri itu, diturunkan lewat renungan yang dibarengi dengan pembersihan jiwa tingkat sangat tinggi hingga ruh seseorang (Nabi saww.) menjadi menjadi kertas putih yang layak untuk dijadakan lembaran-lembaran yang di atasnya Tuhan menuliskan beberapa ilmuNya yang perlu diketahui manusia yang, dikenal dengan Wahyu-syariat, yakni Qur'an dalam hal ini. Dan kalau tingkatan pembersihannya sama akan tetapi bukan syariat, maka dikatakan wahyu ilmu (bc: bukan syariat).

Beda ilmu yang ada dalam Qur'an dengan ilmu-ilmu lainnya setidaknya ada beberapa hal:

(a). Dari sisi kelengkapan obyek bahasan ilmunya. Yakni bahwa di Qur'an sudah dijelaskan semua sesuatunya, terlebih yang menyangkut nilai prilaku manusia, baik yang dibahasakan dalam bentuk hukum/fikih (sebagai dasar hidup yang wajib dan minimal) atau dalam bahasa akhlak (yang tidak wajib dan hanya pelengkap dan maksimalnya hanya dianjurkan) atau bahkan dalam bentuk Irfan/wahdatulwujud (yang semakin tidak wajib dan tidak dianjurkan secara umum).

Jadi, dalam Qur'an apapun yang ada di alam ini, khususnya yang secara naturalnya, dan potensi yang dikandung di dalamnya, dari masa lalu, sekarang dan akan datangnya, semua, sudah dijelaskan. Artinya natural dan potensinya yang berhubungan dengan prilaku dan ikhtiar manusia. Jadi, apa saja yang menyangkut makhluk dan potensinya, terutama yang berhubungan dengan ikhtiar dan karakter manusia, sudah diterangkan. Karenanya, yang bisa menguaknya hanyalah orang-orang yang spesialis mengkajinya. Ada obyek lain yang tak kalah pentingnya dan bahkan dasar dari semua yang diterangkan di dalam Qur'an. Yaitu tentang Tuhan itu sendiri. Baik ZatNya, Sifat ZatNya, Sifat Fi’ilNya, PerbuatanNya dan seterusnya. Sementara ilmu-ilmu selain Qur'an tentu saja tidak menyeluruh dan berkembang sesuai dengan kemampuan setiap masanya.

(b). Beda lainnya adalah dari sisi kepastian benarnya. Mengapa al-Qur'an pasti benar informasinya? Sudah tentu karena penginfonya, penulisnya dan penurunnya adalah Allah swt sendiri yang mencipta alam ini dengan segala sistem yang ada dimana Ia pasti tahu seluk beluknya. Karena itulah ilmu yang ada dalam Qur'an pastilah benar. Namun demikian, kebenarannya adalah kebenarannya. Artinya Qur'an yang benar itu adalah Qur'an yang Qur'an. Yakni Qur'an yang dimaksudkan olehNya, bukan Qur'an yang kita pahami.

Karena Qur'an yang kita pahami, sangat-sangat belum tentu sesuai dengan maksudNya. Jadi, Qur'an yang kita pahami ini, bisa benar dan bisa juga salah. Dan yang benarnya, bisa di tingkatan bawah, dan bisa di tingkatan tengah dan bisa pula di tingkatan atas.

Begitu pula, ilmu yang bukan dari Qur'an itu tidak mesti salah atau apalagi pasti benar. Tidak demikian. Jadi, ilmu selain dari Qur'an bisa salah dan bisa benar juga. Dengan demikian, Qur'an dan selainnya sama-sama menunjukkan kepada kenyataan, tetapi yang pertama pasti benar dan yang ke duanya belum tentu benar. Tetapi yang pertamapun harus Qur'an yang Qur'an, bukan yang salah pemahamannya.

Karena itulah maka Qur'an yang Qur'an dan ilmu-ilmu lainnya yang benar, sama-sama obor, sama-sama cahaya yang menerangi akal dan ruh kita untuk mengetahui obyek ilmunya atau kenyataan yang sesungguhnya. Kalau terjadi perbedaan antara ilmu Qur'an dan ilmu lainnya, maka bisa saja ilmu Qur'annya yang salah dan bisa juga ilmu lainnya, dan bisa saja sama-sama salah, dan bisa saja sama-sama benar yang belum diketahui titik temunya.

Semua ilmu, baik Qur'an dan bukan, ada yang mudah dan ada pula yang perlu dipikir. Tentu saja perbandingan di sini ini adalah antara Qur'an yang kita ketahui, artinya yang belum tentu sesuai dengan yang dimaksudkan Allah dan Rasul saww. atau para imam maksum as.

Pertentangan keduanya itu bisa dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

(a). Ilmu Qur'an yang mudah lawan ilmu lain yang juga mudah. Di sini, sulit ditemukan kejadiannya. Karena secara fitrah dan seyogiyanya, akal dan keAdilan serta keBijakan Tuhan, keduanya harus seiring. Artinya, tidak mungkin Tuhan tidak meyakini-i atau menge- ya-i ilmu-ilmu mudah kita, seperti panasnya api, bahayanya harimau, cairnya air, padatnya batu, adanya marah dalam hati, cinta, rindu dan dendamnya, dan seterusnya. Karena itulah Tuhan mengatur semua itu. Coba bayangkan kalau Tuhan belum mengiyakan ilmu-ilmu mudah kita itu, maka Tuhan harus menerangkan dulu maksud marah dan baru bisa memberikan hukumnya, menerangkan dulu maksud makan dan minum baru menerangkan hukumnya dan seterusnya.

Nah, karena ilmu mudah itu adalah diperlukan seperti nafasnya manusia, maka pernyataan Tuhan dalam Qur'an yang berpijak pada hal-hal mudahpun pasti mauNya adalah yang dipahami manusia itu. 

Memang, ilmu mudah ini tidak mesti diketahui oleh setiap manusia dan/atau disadarinya. Karena itu ia memiliki beberapa syarat: Tidak dipikir; Sehat panca indra; Tidak gila; Tidak berpenyakit ragu; Disadari (konsen/fokus).

Yang dimaksudkan dengan “lawan” adalah “kontradiktif” atau saling menolak. Tetapi kalau hanya berbeda saja, maka sangat mungkin sama-sama benar.

(b). Ilmu mudah Qur'an lawan (bertentangan) ilmu sulit (yang perlu renungan) atau sebaliknya, yakni ilmu mudah selainnya (akal) lawan ilmu sulit Qur'an. Di sini, kita seyogyanya mengambil yang ilmu mudahnya. Apakah Qur'an atau selainnya. Dan meninggalkan yang sulitnya, apakah Qur'an atau selainnya.

Akan tetapi, untuk lebih hati-hatinya, maka harus ditengok ulang terlebih dahulu, apakah kemudahan ilmunya itu –Qur'ani atau selainnya itu- sudah benar-benar demikian, atau kita yang salah menerka hingga mengatakan bahwa ilmu pikir itu sebagai ilmu mudah. 

(c). Ilmu sulit Qur'an berlawanan dengan akal gamblang. Disini kita harus ambil yang akal gamblangnya. Kemudian mencarikan jalan keluar bagi pemahaman akan Qur'annya itu, dengan dalil-dalil akal gamblang tadi. Seperti., di dalam Qur'an dikatakan bahwa Tuhan mencipta nabi Adam as. dengan dua tanganNya. Di sini, kalau tangan ini dimaknai dengan arti yang biasa dipakai sehari-hari secara lebih banyak, maka Tuhan akan menjadi Benda. Karena akal gamblang mengatakan bahwa kalau punya tangan pasti punya tubuh, kepala dan semacaamnya. Karena itu pasti terangkap seperti yang diyakini Kristen (satu dalam tiga dan sebaliknya).

(d). Kalau sama-sama sulitnya, maka dilihat, mana yang memiliki dasar argument yang berakhir pada ilmu-mudah dan gamblang. Kalau salah satunya memiliki, maka ialah yang kita ambil. Dan kalau sama-sama, tidak memiliki karena belum ditemukan, maka tugas kita adalah tawaqquf, yakni no koment dulu.

Sementara untuk memahami Qur'an, maka banyak sekali syaratnya. Seperti bahasa Arabnya (termasuk sastranya), akal sehat, dalil sehat, asbabunnuzulnya, sejarah, hadits- hadits, ayat yang berhubungan.....dan seterusnya.

Sedang Untuk Pendekatannya:

(a). Bisa memakai metologi Pemahaman Qur'an lewat Qur'an. Yakni, bisa dikatakan metologi konstektual. Yaitu membandingkan ayat yang mau dipahaminya dengan ayat-ayat lain yang berhubungan, dan melihat kondisinya. Jadi tidak bisa memahami Qur'an hanya dengan tekstualnya saja. Yakni memahami satu ayat dan tidak membandingkannya dengan ayat-ayat lainnya.

(b). Bisa memakai metodologi Hadits. Yakni melihat penjelasannya dari hadits-hadits yang ada, baik menyangkut langsung atau tidak langsung. 

(c). Bisa memakai metodologi ilmu Kalam. Yakni memakai dasar-dasar pemikiran dan konsep yang ada dan sudah teruji di ilmu Kalam, lalu menerapkannya pada pemahama ayat-ayat Qur'an.

(d). Bisa juga memakai metologi Filsafat. Yakni memakai kaidah-kaidah dan konsep-konsep yang sudah diyakini kebenarannya di filsafat sesuai dengan dalil gamblangnya, lalu menerapkannya kepada pemahaman ayat-ayat.

(e). Bisa juga memakai metodologi Irfan. Yakni menggunakan nilai-nilai dasar yang ada dalam Irfan, lalu menerapkannya pada pemahaman ayat Qur'an.

(f). Dan lain-lain metodologi, seperti sejarah dan seterusnya.

Pendekatan paling bagusnya adalah memakai semua metodologi yang ada. Karena semua itu tidak bertentangan, akan tetapi bisa saling melengkapi.

Tentang buku kritikan terhadap penafsiran teks itu saya tidak bisa koment, karena harus cari bukunya dulu dan membacanya dengan bijak. Tetapi kalau yang dimaksudkan teks itu adalah teks ayat tanpa mengkomparasikannya dengan ayat-ayat lain setidaknya, maka penafsiran seperti itu, memang lebih menyesatkanya dari benarnya, kecuali kalau hal-hal yang terbukti mudah.

Saepul Rochman : Terima kasih jawabannya, ustadz. Afwan jika saya bertanya lagi, tidak bermaksud mendebat, karena apa yang ustadz katakan memang benar adanya. Hanya kegelisahan saja. Akhir-akhir ini sering muncul persoalan-persoalan, seperti “membebaskan Al-qur’an dari sejarah turunnya”, atau “asbabun nuzulnya hari ini”, “membahasakan Al-qur’an sebagai asas-asas teori sosial”. Kemudian saya pernah membaca Teorinya Asghar Ali tentang pendekatan teologi sosial, yang saya pahami adalah mendekati ayat-ayat teologis sebagai analogi dari proses sosial. Menurut ustadz sendiri tentang persoalan tersebut bagaimana...??. ,. Wassalam.

Sinar Agama: Saepul, Tak masalah antum bertanya atau berdebat. Yang diutamakan adalah memakai dalil, dan terlihat mencari kebenaran. Karena saya sendiri juga dalam pencarian yang tidak pernah henti. Memang, kalau debatannya itu dibahasakan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing orangnya, maka akan lebih nyaman.

Membebaskan Qur'an dari Asbabunnuzulnya, bukan berarti mensosialkan bahasanya. Karena kedua- nya itu, tidak bertentangan, tetapi bahkan saling teriring. Kecuali kalau maksud pensosialisaiannya itu, adalah sosial sekarang. Karena, sosial sekarang, banyak yang tidak sama dengan sosial masa diturunkannya Qur'an. Karena itu, kalau sosial sekarang ini dijadikan tolok ukur pemahamannya, maka sudah pasti Qur'an akan keluar dari maknanya. 

Namun demikian, sosial manusia di setiap jaman tetap bisa menjadi pertimbangan makna Qur'an. Akan tetapi setelah memaknai terlebih dahulu dengan kondisi diturunkannya Qur'an itu. Artinya, kita harus tahu dulu makna asalnya. Setelah itu, baru menyesuaikannya dengan kondisi sekarangan. Hal itu agar tidak terjadi penyelewengan makna, dan tidak pula terjadi penyesuaian liar terhadap kondisi sekarang.

Kalau ulama, sudah sangat mengerti apa yang harus dilakukan. Karena dari masa ke masa hanya mengkaji Qur'an dan hadits-hadits. Jadi, mereka mengerti makna awal diturunkannya Qur'an itu yang tentu disesuaikan dengan kondisi sosial di masa turunnya Qur'an. Setelah itu, mereka mencoba mengerti makna sesungguhnya yang, biasa dikenal dengan ‘ilalusysyaraayi’ (filsafat atau sebab hukum). Dan setelah itu, ditranfusikan dari ulama sebelumnya ke ulama setelahnya secara akademis dan sistematis sampai pada hari ini. Jadi, penyesuaian itu sangat dilakukan dengan hati-hati pada setiap estafet sosial masyarakat, alias tidak sembarangan. Karena itulah yang tidak membidangi agama, mesti ikut mereka yang membidanginya.

Misalnya, dulu kita tahu bahwa yang memabokkan itu hanya ada satu macam, yaitu khamer (minuman memabokkan) yang juga telah dihukumi dengan haram. Tetapi kita juga tahu bahwa pengharamannya itu karena kemabokannya itu, bukan karena minuman kerasnya semata. Misalnya dengan adanya hadits yang mengatakan bahwa “Minuman keras itu diharamkan karena memabokkan.” Maka dengan ini kita menjadi tahu bahwa yang diharamkan itu bukan minuman keras itu sebagai minuman keras, tetapi sebagai sesuatu yang memabokkan (menghilangkan kesadaran).

Karena itulah maka apapun yang memabokkan, hukumnya adalah haram. Apakah ia beer, heroin, ganja ...dst. memabokkan. Jangan lupa, bahwa pembahasan sosial itu, adalah sebab dasar ke dua setelah akidah dari diturunkannya Qur'an. Artinya, hukum-hukum Tuhan itu diturunkan untuk menata sosial. Jadi, bahasa Qur'an memang sosial. Jadi, justru Qur'an itu untuk menata sosial kita manusia. Tentu saja dengan memahaminya terlebih dahulu dengan cara di atas itu.

Tentang teori teologi menuju sosiologi, itu memang inti dari Qur'an seperti yang diterangkan di atas itu. Artinya, apa arti kita bertauhid, kalau dalam urusan-urusan sosial kita mengambil dari hukum dan tata cara selain dariNya. Apa gunanya kita mengatakan Allah Maha Alim, Tahu, Kuasa, Kasih, Penyayang, Adil, Bijaksana......dan seterusnya, tetapi aturan hidup bersosial, berpolitik, berseni, berekonomi, berdakwah, .......dan seterusnya mengambil dari kocek sendiri, budaya sendiri dan, apalagi dari barat yang kafir? 

Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Bande Husein Kalisatti, Khommar Rudin, dan 13 orang lainnya menyukai ini.

Ammar Dalil Gisting: Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad..

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Saifulbahrein Abdullah: http://www.facebook.com/.../Melawan.../434230616597552 Melawan Propaganda Musuh Membina Kesatuan Islam

Saifulbahrein Abdullah: Afwan enggak tahu mahu dikongsi dimana. Afwan. 

Daris Asgar: Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum. 

Khommar Rudin: Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum. 

20 April pukul 17:36 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 1)



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:20


Fluktuasi Manusia = Ketika manusianya manusia itu ditentukan akalnya, maka dalam hal apapun, seperti tentang dirinya, Tuhannya, agamanya, keluarganya, tetangganya, temannya, lingkungannya, negaranya, dunianya, bisnisnya, seninya, ilmunya, hukumnya, politiknya, kerjanya… dst.. Haruslah diukur dengan akalnya. Jadi, kapan saja ia tinggalkan AKAL dan masuk dalam INGIN, maka kala itulah ia bukan lagi manusia.

Dan AKAL = DALIL GAMBLANG.

Bento B D’Blueisland : Bagaimana dengan daya imajinasi & daya khayal ustadz? Termasuk dalam Akal atau Ingin? Atau malah tidak ada hubngan sama sekali? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Mujahid As-Sakran : Ustad, kaitannya dengan qalbu gimana? Sering disalahfahami antara aqal dengan qalbu, mohon pencerahannya, syukran.

Sinar Agama
Jawaban untuk Bento:

1. Khayal itu ada dua makna, filosofis dan umum. Kalau Filosofis, semua gambaran yang ada di akal itu adalah khayal. Khayal ini dibagi dua, memiliki hukum (subyek predikat) atau tidak, yang tidak dikatakan Gambaran/khayal, dan kalau memiliki hubungan hukum atau diterangkan menerangkan dan diyakini kebenaran atau kesalahannya maka dikatakan Yakin, dan kalau tidak diyakini keduanya, dikatakan Gambaran/khayal. Sedang makna umumnya adalah pikiran yang melantur.

2. Dengan sedikit mukaddimah itu, maka ketahuilah bahwa Akal secara filosofis adalah: Pahaman universal. Tapi makna tersiratnya adalah: Pahaman Universal dan penerapannya pada individunya serta memajukan khazanahnya dan memperbaiki kekeliruan info dan argumentnya.

3. Jadi, selain itu, maka ia adalah bagian dari Ingin atau Rasa atau Nafsu. Artinya, gambaran yang ada di akalnya itu hanyalah sebuah gambaran bagi kepengaturan daya-daya ruh yang dibawahnya, seperti hewani, nabati dan tambangi. Walaupun maksudnya di sini adalah yang hewani karena ia adalah rasa dan gerakan ikhtiar.

4. Resep umumnya, seperti yang kutulis di status itu bahwa Akal = Dalil Gamblang. Yakni Akal yang dimaksudkan dalam status tersebut adalah yang argumentatif gamblang.

Jawaban Untuk Mujahid:

1. Qalbu itu dalam bahasa Arab bisa bermakna Akal. Ini makna bukan kiasan atau majazi atau simbolik dan semacamnya, tetapi memang secara hakikinya. Jadi, makna itu ada dalam kitab-kitab kamus bahasa arab, Qur'an, Hadits, syair-syair arab dan percakapan keseharian arab.

2. Makna ke duanya, adalah hati. Yang dimaksudkan hati di sini adalah yang memompa darah. Dan ini tidak ada hubungannya dengan ilmu kecuali ilmu kesehatan.

3. Makna ke tiganya adalah hati. Yang dimaksud dengan hati di sini adalah tempat rasa dan perasaan manusia, seperti cinta, benci, marah, sabar, rindu, ...dan seterusnya.

4. Dengan sedikit mukaddimah itu akan menjadi mudah mengembalikan masalahnya kepada hati yang dimaksudknannya. Dan, sudah tentu, qalbu yang menjadi pedoman hidup dan harus ditaati adalah yang bermakna akal, bukan perasaan. Dan bahkan yang perasaan ini harus dipimpin oleh akal, yakni oleh argument. Jadi, kalau bingung maka harus mencari dalil dan argumentnya, bukan kembali ke hati yang perasaanis ini.

5. Hati yang perasaanis ini bisa jadi ukuran kalau ia sudah bersih dari keinginan yang tidak diridhai Tuhan. Dan cara membersihkannya adalah dengan cara membiasakannya mengikuti akal (argument). Dan kalau sudah sampai ke tingkat tinggi, seperti maksum, maka ia bisa menjadi cermin bagi kebenaran di alam nyata. Tetapi sebelum itu, jangan sekali-kali mengikutinya, apalagi manakala dalam keadaan bertentangan dengan akal.

6. Memang, hati yang perasaanis ini, bisa dijadikan pengingat, baik kita punya dalil akan kebe- narannya atau tidak. Artinya pengingat agar kita lebih hati-hati dalam menyusun argument dan dalil. Tetapi pedoman terakhirnya tetap akal dan dalil itu.

7. Orang yang ikut akal dan dalil, kalau salah, asal bukan karena egois, sombong dan fanatik dan lain-lain sebab yang bisa mengeluarkan akal dari dalil, maka ia akan dimaafkan Allah, dan cara hidupnya akan dihitung sebagai ibadah dan dipahalai.

Tetapi kalau mengikuti perasaan dan dijadikan pedoman, maka kalau salah tidak akan mendapat ampunan dan kalau benar, belum tentu diberi pahala. Karena ia mengikuti yang ia suka, bukan kebenaran, dan menghindari yang ia tidak suka, bukan yang dilarang Tuhan.

Jadi, sebagaimana amal itu tergantung niatnya, maka pahala dan tidaknya pun akan tergantung niatnya ini, bukan hanya karena mengikut benarnya dan menghindari salahnya. Tetapi karena apa dan siapa mengikuti yang benar dan menghindari yang salah.

Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Ammar Dalil Gisting, Heriyanto Binduni dan 10 lainnya menyukai ini.


Kharisma Kahr: Salam.. maaf ustad, boleh bertanya.. maksud poin ke 6 itu bagaimana ustad? Boleh saya tau contohnya, hati yang perasaanis bisa dijadikan pengingat baik kita punya dalil ataupun tidak..

Zainal Syam Arifin: Ijinkan saya yang dhaif ini ikut berkomentar pak ustadz : Jika kita bahas makna kedua tentang qalbu maka yang lebih tepat adalah hearth (jantung) bukan liver (hati). Dan ini sangat sesuai dengan tafsiran ahlul bayt (Imam ‘Ali) yang menyebutkan segumpal daging dan pembuluh darah dan hanya jantung yang berbuat begitu. Begitu pula di al Qur’an qalbu selalu disebutkan di dalam dada, sedangkan liver (hati) letaknya di bawah rongga data sebelah kanan (bukan termasuk rongga dada). Maka sebaiknya kita mengikuti cara sebutan orang barat atau tetap memakai bahasa arab. Kalaupun mau pakai bahasa Indonesia kenapa tidak dipop- ulerkan dan dibiasakan untuk menyebut “jantung”? Afwan pak ustadz.

Sinar Agama: Sufa: Maksud hati di situ adalah Ruh yang berdaya Hewani. Ruh manusia itu kan memiliki 4 daya: Daya tambang; Daya nabati; Daya Hewani; dan Daya akal. Daya tambang adalah yang mengatur atom-atom badan. Daya Nabati adalah yang mengatur pertumbuhan badan. Daya hewani adalah yang mengatur rasa-rasa dan perasaan, seperti cinta, benci, marah, sakit hati, suka, tidak suka ..dan seterusnya. Sedang Daya akal adalah yang mengatur akal dan pemikiran kita. Ruh kita itu satu dan non materi, akan tetapi dalam satunya itu, memiliki 4 daya yang tidak bisa dipisah seperti bagian-bagian materi.

Nah, pada poin 6 itu, hati yang dimaksud adalah perasaan manusia tersebut. Jadi, kadang ia menjadi petunjuk bagi kita terhadap kebenaran. Misalnya menyintai orang shalih atau imam- imam as dan nabi-nabi as. Akan tetapi karena kebelumtentuan benarnya perasaan tersebut, maka harus terlebih dahulu dibangunkan argumentnya.

Sinar Agama: Mas Zainal: Untuk masalah hati dan Qalbu ini sepertinya saya sudah menjelaskan- nya di asal tulisan di atas.

Dan dada itu, tidak mesti bermakna dada yang terdiri dari tulang dan daging ini. Tapi bisa juga perasaan itu. Karena itu maka penyabar dikatakan lapang dada. Artinya perasaan emosinya dapat ditekan dan perasaan pemaaf dan penyabarnya dilapangkan.

Karena, hati atau jantung atau apa saja, kalau ia berupa bagian materi dari badan, maka tidak berhubungan dengan pengetahuan, perasaan dan pemilihan apapun. Ringkasnya tidak ada hubungannya dengan ikhtiar dan perbuatan manusia.


3 Agustus 2011 pukul 20:52 · Suka · 2


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ




Lensa (Bgn 29): Penjelasan (QS Ali ‘Imran [3] : 54) Tentang Tipu Daya Orang-Orang Kafir



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 15:54



Haidar Dzulfiqar : Salam Ustadz. Semoga Antum dalam keadaan sehat wal’afiat. Mohon izin bertanya dan penjelasan Ustadz atas pemahaman dan pertanyaan saya dibawah ini :

“Tipu Daya (Makar) Allah ?”

Hidup dalam kejujuran dan kebenaran, merupakan salah satu prinsip moral dalam ajaran Islam, dan semua agama tentu sangat menganjurkannya pula. Apakah lagi Allah SWT dan Rasulullah SAWW dan Ahlul Baitnya as, yang pada masa Pra Kenabiannya, Beliau SAWW telah menyandang dan mendapat pengakuan gelar sebagai Al-Amin (Yang Sangat Terpercaya).

Namun demikian, masih saja ada orang-orang yang menolak dakwah Beliau SAWW dan men- dengki terhadap Ahlul Bait Beliau as. Mereka berharap, dengan menyakiti Ahlul Bait as, mereka dapat menyakiti hati Rasulullah SAWW. Sedemikian gencar dan sengit permusuhan yang mereka lancarkan, mereka buat makar dan tipu daya yang juga sedemikian hebatnya untuk “mengganyang” gerakan Rasulullah SAWW dan Ahlul Baitnya as hingga hari ini.

Aku membaca sejarah dan menyaksikan dengan kedua mataku, bagaimana penolakan, per- musuhan dan dan serangan-serangan mereka terhadap para pengikut Islam Yang Murni, Islam Ahlul Bait as yang sedemikian gencar dan sengitnya. Sehingga aku coba renungi kembali menatap ayat Al-Qur’an, yang disitu Allah SWT berfirman :

”Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”. (QS Ali ‘Imran [3] : 54)

Aku berhenti sejenak dan bertanya, apakah makar itu sama dengan tipu daya ?

Lalu bagaimana dengan penafsiran ayat tersebut ? Apakah Allah juga “menipu” dan “memperdaya” mereka, sementara Allah mengajak mereka kepada kebenaran ? Apakah “Tipuan” boleh dibalas dengan “Tipuan” ? “Kejahatan dibalas dengan kejahatan” ?

Padahal, MAHA SUCI ALLAH DARI SEGALA SIFAT-SIFAT YANG BURUK.

Ayatullah Jawadi Amuli dalam sebuah buku mengatakan tentang beberapa sifat :
  1. Membalas kejahatan dengan kejahatan merupakan sifat anjing.
  2. Membalas kebaikan dengan kebaikan, itu sifat keledai.
  3. Membalas kejahatan dengan kebaikan, itu sifat manusia. 
Bukankah sifat Allah tak sebanding dengan sifat-sifat makhluk-Nya, dalam hal ini sifat manusia. Bagaimana semestinya kami memahami ayat tersebut? Bersediakah Ustadz menjelaskannya ? Mohon berikan penjelasannya demi menghindari kesalah-pahaman kami. Terima Kasih Banyak sebelumnya. ^_^

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas pertanyaannya:

1. Kejahatan itu ada ukurannya, ada yang harus dibalas ada yang bisa dimaafkan.

2. Salah satu bentuk balasan itu adalah hukum Islam tentang qishash. Kalau seseorang membuta- kan mata orang lain atau membunuhnya dengan batil, maka matanya juga harus dibutakan dan juga harus dibunuh. Tentu kalau dituntut oleh yang teraniaya dan dalam negara Islam.

3. Namun ada kejahatan-kejahatan yang layak diperhatikan, seperti digunjing, diolok-olok .. dan semacamnya dimana di sini bisa dimaafkan. Tapi boleh membela diri dan harus manakala difitnah atau olok-oloknya itu mempengaruhi kredibilitasnya.

4. Tetapi ada olok-olok yang tidak bisa dimaafkan dan harus dibalas, yaitu manakala dalam pe- perangan dengan kafirin untuk saling menjatuhkan mental misalnya. Seperti perang dingin, atau mukaddimah sebelum perang panas.

5. Akan halnya makar dan tipu daya, itu harus dilakukan dalam perang. Seperti mengatur jebakan-jebakan dan semacamnya. Jadi makar ini adalah bagus asal benar penggunaannya. Misalnya mau menjebak intel lawan dan semacamnya.

6. Kalau dengan Tuhan, maka Tuhan tidak perlu memakar karena Ia Maha Kuasa, bukan karena harus memaafkan. Karena ada makar yang bisa dimaafkan ada yang tidak bisa. Terutama makar untuk menjatuhkan kebenaran. Taktik-taktik licik untuk memerangi kebenaran, tidak bisa dimaafkan oleh siapapun karena ia berperang dengan Yang Maha Benar.

Sebenarnya, ketika pemakar itu dengan melakukan makarnya, maka ia telah memakar dirinya sendiri. Karena itu adalah hakikat senyatanya. Semua orang yang bohong, menipu, mencuri, menzhalimi ...dan seterusnya orang lain atau agama, sebenarnya, ia telah berbohong, menipu, memakar, mencuri ...dan seterusnya dirinya sendiri. Inilah salah satu yang disebut makar Tuhan.

7. Yang ke dua makar Tuhan itu bisa bermakna menggunakan tentaranya seperti malaikat dan manusia shalih, untuk menghancurkan makar mereka yang ingin menghancurkan kebenaran itu. Artinya, makar mereka itu akan menjadi makar dan jebakan untuk diri mereka sendiri dengan kehendak dan KuasaNya. Ini dulu yang bisa saja jawabkan, kalau masih ada yang belum jelas bisa ditanyakan lagi.

Haidar Dzulfiqar : @Sinar Agama : Khair Ustadz, Jazza kumullah khairan katsiran... Syukran atas penjelasannya yang cukup rinci. Insya Allah cukup jelas. Dan semoga melalui lisan dan pena Antum kami semua terselamatkan dari kesesatan dalam mempelajari petunjuk-petunjuk Allah dalam kitab suci-Nya dan Ahlul Bait, itrah Rasulillah saww. Semoga Allah mengganjar Antum dengan sebaik-baiknya ganjaran. Do’a kami untuk Antum selalu. Semoga Antum tak pernah lelah mengajarkan dan membimbing kami. Terima Kasih sekali lagi atas segalanya. Salam. ^_^

Sinar Agama : Salam dan terimakasih baik sangkanya, terlebih doanya, semoga Tuhan mengabul- kannnya untuk kita semua, amin..

Haidar Dzulfiqar: Amin Ya Allah...Ya Rabb... 

Tika Chi Sakuradandelion dan 8 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Lensa (Bgn 28): Cara Menyatukan Akal dan Hati



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 15:42


Adzar Alistany Kadzimi : Assallammu’alayka warrohmah, numpang nanya ustadz bagaimanakah cara menyatukan akal dengan hati yang sudah sedemikian lama terpisah,,,,?

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya, Hati itu, kalau maksudnya tempat menyim- pannya rasa-rasa, seperti marah, benci, cinta, suka, tidak suka, sedih, jengkel, gemes, bahagia, meratap, percaya, tidak percaya... dan seterusnya memang ia tidak boleh dijadikan ukuran dan pedoman. Karena Islam dan akal melarang hal itu. Jadi, yang jadi pedoman kehidupan itu adalah akal yang dibersihkan dari perasaan yang ada di hati itu. Jadi, tugas kita adalah mencari ilmu gamblang dan argumentatif, lalu diamalkan, baik hati ini suka atau tidak. Hingga nanti hatinya bisa bermakmum sepenuhnya dengan akalnya. Dan di Qur'an, hati itu banyak yang bermakna akal (begitu pula dalam bahasa Arab). Hal ini yang semacam tidak diketahui oleh kebanyakan orang Indonesia. Karena itu mereka sering mengutamakan hati dari akal. Saya dulu sudah menjelaskan hal ini dengan ayat-ayat nya, tetapi sudah lupa. Coba tanya pada Anggelia Sulqani Zahra, tetapi yang foto kepalanya lebih kecil. Karena ada dua akun ini.

Adzar Alistany Kadzimi : Jazzakallah ahsana wa afdolal jaza yaa Ustadz, kemudian bagaimana dengan bisikan yang ada di kepala bagian atas tengah, atas kanan, dan atas kiri saya Ustadz apakah itu termasuk bagian dari akal? Tentang pengartian Qolbu dalam pengertian sebenarnya adalah akal dan bukan hati, ana sudah membacanya sekilas di tafsir Al-Amtsalnya Ayatullah Al- Udzma Syaikh Nashir Makarim As-Syirazi.

Sinar Agama : Bisikan itu bukan pada kepala, tetapi pada ruh kita. Tuhan tidak mengatakan bahwa iblis akan mendatangi kepala bagian depan, belakang, kanan-kiri. Tetapi mengatakan bahwa akan mendatangi manusia dari arah-arah tersebut. Lihat QS: 7: 17:

ثُمَّ لَتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Kemudian akan kudatangi mereka dari depan, belakang, samping kanan-kiri mereka, hingga Engkau tidak akan menemui kebanyakan mereka yang bersyukur”.

Dan yang dibisiki jin/iblis ini adalah ruh kita. Tentu saja tergantung apa yang akan dijejelkan kepada kita. Kalau tentang rasa-rasa dan perasaan, maka ia akan membisiki hati kita, dan kalau ilmu-ilmu menyesatkan akan membidik akal kita. Karena itulah saya sering mengatakan bahwa akal ini harus didasarkan pada dalil gamblang, bukan suka tidaknya, cenderung tidaknya kita, karena kalau kita sudah berusaha obyektif dan telah pula melihat argument yang kuat (tanpa pamrih) tetapi ternyata masih salah, Allah akan mengampuni kita. Tetapi kalau kita mengikuti suka tidaknya, yakni mengotori akal dan hati, maka kesalahannya tidak akan dimaafkanNya.

Ketahuilah bahwa agama ini diturunkan untuk manusia karena manusia punya akal, bukan hati. Karena binatang juga punya hati itu. Karena itu binatang juga menyayangi anaknya dan melindunginya. Tetapi mereka tidak dituruni syariat karena tidak memiliki akal.

Akal adalah kekuatan menyimpulkan universal dan menerapkan premis-premis universal kepada individunya, serta dapat mengembangkan info-info dan ilmu-ilmunya.


Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Eman Sulaeman, dan 28 orang lainnya menyukai ini.


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Eman Sulaeman: Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa Ali Muhammad. 

Matahari Senja: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Roni Tacconi: Istimewa.... Alafu, ijin share ya... 


16 Mei 2013 pukul 0:28 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 24 Agustus 2018

Lensa (Bgn 27): Qada dan Qadar dalam pandangan Syiah dan Sunni



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 15:39


Yustanur Jambak: Salam ustad, jumpa lagi... Saya berkesimpulan perbedaan yang mendasar antara shiah dan suni adalah tentang Qada dan Qadar .. bagai mana menurut pendapat ustad..?

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya: Bukan disitu letak beda dasarnya, tetapi di imamah. Yaitu kemestian diteruskannya kepemimpinan setelah Nabi saww oleh orang maksum di ajaran Syi’ah, tetapi sebaliknya di Sunni. Kalau kita mau bicara isi, biar tentang Tuhan, juga banyak perbedaan. Misalnya Tuhan di pandangan sunni bisa dilihat dengan mata, baik di dunia (bagi sebagian shufi dan ahli thariqat) atau di surga (secara muttfakun ‘alaihi). Tetapi menurut syi’ah, Tuhan itu tidak akan pernah bisa dilihat dengan mata di alam manapun juga.

Nabi saww juga begitu, kalau di pandangan sunni (walau mungkin tidak semua) kemaksumannya hanya di waktu ketika beliau mengajar agama, tetapi dalam menjadi suami, pemimpin negara, pemimpin perang, waktu makan, tidur, kawin ...dan seterusnya tidak maksum. Tetapi di syi’ah harus maksum dalam segala hal. Karena semua hal itulah yang dijadikan hadits sebagai rukun ke dua setelah Qur'an untuk mengerti Islam.

Qur'an juga begitu. Menurut sunni disusun oleh selain Tuhan tetapi oleh tim yang dipimpin oleh Utsman (walau ada juga saudara sunni yang sama dengan syi’ah) dan Bismillaahnya tambahan (berarti ada tambahan 112 ayat dalam Qur'an). Tetapi kalau menurut syi’ah susuran ayat dan surat Qur'an jangankan Utsman, Nabi saww saja tidak boleh menyusunnya, tetapi harus Tuhan sendiri sebagaimana di QS: 75: 17, yang mengatakan: “Sesungguhnya hanya Kami yang berhak mengumpul dan membacakannya -Qur'an.”

Masih banyak perbedaan lainnya. Akan tetapi kesamaannya juga sudah tentu lebih banyak dari perbedaannya. Karena itu, kalau ingin tahu beda kedua ajaran ini (sudah tentu tidak sebanyak persa- maannya), bisa merujuk ke kitab yang berjudul “Ma’aalimi al-Madrasatain”, “Ajaran dua sekolah.”

Catatan: yang melakukan perpecahan di kalangan kaum muslimin, di saat Palestina, Iraq, Afghanistan, negara-negara Arab dan dunia Islam pada umumnya masih dalam jajahan militer, negara, politik, ekonomi dan sosial, oleh kafir-kafir barat yang bergandeng tangan dengan para wahhabi, adalah dosa besar yang taubatnyapun sulit diterima (kata Rahbar hf) karena akibat yang ditimbulkannya biasanya sulit untuk dihapus (kata Rahbar hf). Maksud kata-kata beliau hf ini adalah, menghapus akibat dosa kita di dunia, merupakan syarat diterimanya taubat. Misalnya kalau kita mencuri ayam tetangga, maka syarat diterimanya taubatnya adalah mengembalikan ayam itu ke tetangga yang dimaksud. Tetapi kalau taubat dari membuat perpecahan, dimana mungkin sudah terjadi jatuh korban, atau sehari saja bertambahnya umur penjajahan zionis di Palestina, dan semacamnya, maka akibat-akibat buruk itu tidak biasanya tidak mungkin bisa dihapuskan. Karena itulah maka taubat dari membuat perpecahan ini sulit diterima Tuhan. Memang, bagi pelakunya harus segera berhenti. Tetapi dosa yang telah lalu, hanya bisa diharapkan pengampunanNya, tetapi bisa dipastikan di dunia ini. 

Wassalam.


Yustanur Jambak : Terimakasih ustad, banyak hal yang belum saya ketahui tentang sunni apalagi shiah... menyimak dari uraian ustad di atas amat lah mustahil terciptanya persatuan antara keduanya, seperti yang sudah lama sekali diimpikan banyak orang. Bagaimana menurut pendapat ustad ..?

Sinar Agama: Yustanur: Apa arti persatuan buat antum? Apa sama pendapat? Itu mah ...satu namanya, bukan persatuan. Persatuan itu justru ketika berbeda.

Yustanur Jambak : Ha ha saya senang kalau ustad berfilsafat... Kembali ke pertanyaan saya, kapan islam mencapai kejayaan...

Sinar Agama : Kejayaan Islam sepertinya sudah mulai sejak berdirinya negara Islam di Iran yang seperti jaman Nabi saww yang mengayomi semua manusia, baik seagama atau tidak, semadzhab atau tidak, asal tidak memerangi Islam dan membuat kekacauan terhadap hukum Islam yang sudah disepakati bersama sebanyak 98 persen rakyatnya.

Kini negara-negara Arab sudah menggeliat, sudah sampai ke Maroko. Dan kata Rahbar hf, tuntutan keadilan ini akan menyeruak sampai ke Eropa. Karena itulah Obama sudah menyatakan perang cybery untuk menanggulanginya. Tetapi kita punya hati dan perasaan serta bukti di depan mata. Karena itu berhati-hatilah menghadapi perang cybery yang memang dimulai secara praktiknya beberapa tahun lalu. Karena mereka bisa memuat apa saja, termasuk foto pengkhianatan dari orang-orang yang setia. Menipu data dan memalsu berita tetapi nampak seperti benar-benar ada. Mengatasnamakan negara atau dubes atau apa saja bagi suatu negara tetapi tidak ada. Seperti kejadian kemarin di Suriah itu. Semua orang yang mengaku begini dan begitu di Suriah, dan dengan nama wanita, dan dianiaya, ternyata dia adalah lelaki Amerika yang ketahuan setelah itu, yakni agen-agen Amerika.

Pastinya, Tuhan telah berjanji dengan kemenangan internasional. Yakni ketika imam Mahdi as telah mengenalkan dirinya. Tanda-tanda itu walau kita tidak dapat pastikan, sudah bergulir, seperti revolusi Qom (Iran sekarang), kebangkitan Yaman dan lain-lainnya, semoga saja kiraan hati ini benar adanya.

Yustanur Jambak : Terimaksih ustad.. mohon diulas lagi pertanyaan saya, apakah sebab yang fundamental penyebab islam itu menjadi berjaya selain itu memang sudah dijanjikan Allah swt..? (dalam bentuk ikhtiar kalau bukan takdir) dalam pandangan sar'i ... maaf agak nyinyir he he he.

Sinar Agama : Sudah tentu ikhtiar donk, jadi hakikat janji itu adalah beritaNya. Kalau taqdir, buat apa dibanggakan Tuhan? Bukankah Tuhan dari dulu bisa memenangkan agamanya? Jadi, yang dimaksud dengan kemenangan akhir jaman adalah kemenangan hamba-hambaNya.

Jadi, dengan adanya kebangkitan menuntut keadilan di dunia yang mulai menyeruak di berbagai negara itu ... bisa dijadikan indikasi (walau tak pasti) bahwa umat dunia ini sudah semakin siap untuk menerima kedatangan imam Mahdi as.

Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, dan Roni Astar menyukai ini.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 23 Agustus 2018

Shalat Ayat & Filsafatnya Dan Hukum Mengambil Berita Fikih dari Sinar Agama



Seri tanya jawab Ali Assegaf & Widodo dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, September 7, 2011 at 8:26 am



Ali Assegaf Dpd Jatim : Tanya : Mohon penjelasan awal waktu dan batas akhir waktu kewajiban- nya Solat ayat dalam shia dan apakah keterlambatan melakukannya tergolong orang yang melalaikan solat dan wajib menqadhaa’ solat ? Jika ada kelalaian - apa juga ada kaffarah yang harus dibayarkan. (tambah lagi mendapat jawaban dari facebook dengan seorang yang tak kita ketahui namanya seperti Sinar Agama bisa dijadikan hujjah sebagai orang yang tsiqoh dalam dien untuk di ambil kesaksiannya dalam mengikuti fatwa rahbar sah?)

Paidi Bergitar dan Agoest D. Irawan menyukai ini.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Shalat ayat adalah salah satu shalat yang diwajibkan dalam Islam dimana meninggalkannya atau melalaikannya adalah dosa besar, karena dosa meninggalkan shalat itu adalah dosa besar. Dan, shalat ayat adalah satu dari shalat-shalat wajib itu.

(2). Penyebab shalat ayat adalah: Gempa bumi, gerhana bulan, gerhana matahari, angin taupan dan petir dan lain-lainnya dari kejadian-kejadian alam yang umumnya menakutkan.

(3). Waktu shalat ayat yang disebabkan oleh gerhana bulan atau matahari, maka dimulai dari sejak gerhana dimulai sampai ke waktu menghilangnya. Misalnya, kalau gerhananya itu 100%, maka ketika ia mulai berkurang, katakanlah 1%, maka itulah akhir waktunya. Atau kalau gerhananya 80%, maka ketika mengurang menjadi 79% itulah akhir waktunya.

(4). Kalau shalat ayat karena hal-hal lainnya, seperti gempa bumi dan semacamnya, maka dimulai sejak kejadiannya sampai kapanpun. Jadi, kalaulah tidak menyegerakan diri, maka shalatnya tetap adaa-an, dan bukan Qodhoo-an.

(5). Mungkin lebih hati-hatinya, kalau shalat ayat yang disebabkan kedua gerhana itu, dilakukan di luar waktunya, maka diniatkan saja sebagai ”shalat yang ada dalam tanggungan”. Artinya, kalau adaa-an, maka adaa-an, tapi kalau qadaa-an, ma qadhaa-an. Dalam istilah fikih, niat seperti di atas itu (yakni tidak menentukan secara pasti adaa-an atau qadhaa-an-nya) disebut dengan “Maa fii al-dzimmati” atau “Qashdu al-Qurbati al-muthlaqati”.

(6). Menerima fatwa marja’ sudah diatur dalam semua kitab fikih mereka. Yaitu bisa dari 2 orang adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil), atau 1 orang adil, atau dari orang yang jujur yang tidak mungkin berbohong (meyakinkan).

Karena itu yang diutamakan itu adalah sifatnya, bukan namanya, terutama di orang ke tiga di atas. Dan, nama, juga tidak harus nama KTP. Jadi, kalau ada nama di fb, lalu ia jujur hingga membuat hati menjadi tentram alias muthmain dan yakin akan kebenarannya, maka boleh dijadikan transferer bagi fatwa marja’ yang ditakdilinya.

Dan kalau belum yakin, maka tidak boleh mengambilnya. Tapi boleh menanyakan nukilan fatwanya. Karena itu, kalau si sinar agama ini, telah diyakini kejujurannya dalam menukil fatwa dan kebenarannya dalam memahmi fatwa, maka antum bisa mengambilmya.

Keyakinan seperti itu dapat dilihat dari tingkah lakunya di fb selama ini. Misalnya, kalau diminta menukilkan fatwanya bisa langsung memberikannya. Dan kalau berdalil tentang kepahamannya ia bisa membuktikannya dengan uraian yang logis yang diambil dari paduan- paduan fatwa marja’nya .....dan seterusnya.

Tapi kalau antum belum yakin, maka belum bisa mengambil dari sinar agama ini. Tapi antum bisa membuat diri antum yakin, dengan meminta padanya, misalnya nukilan-nukilanfatwa marja’ yang antum inginkan.

Tapi kalau antum juga tidak yakin dengan kejujurannya walaupun sudah menukilkan fatwanya, apapun alasannya, maka antum jelas tidak bisa mengambil dari sinar agama ini.

Ali Assegaf Dpd Jatim: Wkwkwk -- Ihwan seluruh FB -- Saksikan Ali Assegaf -- telah mengambil saksi bagi dirinya untuk fatwa rahbar dari Sinar agama ini -- Syukron, insya Allah ana akan teruskan pertanyaan-pertanyaan ini -- agar dapat berfungsinya Sinar Agama dalam melayani Ummat.

Sinar Agama: Ahlan wa sahlan, terimakasih atas baik sangka antum, semoga diwujudkanNya untukku hingga alfakir ini bisa menjadi orang yang amanat dalam menyampaikan agamaNya. Walaupun antum agak lambat beberapa bulan dalam hal ini, sungguh-sungguh tidak masalah bagi ana, karena kita baru saja saling berkenalan.

Karena teman-teman antum yang lain, sudah menjalin hubungan persaudaraan dan kajian serta diskusi ini, sudah lama sekali. Dan masalahnya juga tidak terikat di fikih saja, bisa Kalam, filsafat, irfan dan semacamnya. Ana benar-benar membuka pintu fb alfakir ini untuk antum sebesar- besarnya seperti kepada yang lainnya. Sekali lagi ahlan wa sahlan.

Ali Assegaf Dpd Jatim, Tanya : Mohon penjelasan -- cara melakukan solat ayat. Berapa rokaat dan surat yang disyaratkan di dalamnya. (informasi gempa di Aceh Singkil apa bagian dari kewajiban solat ayat ini ? -- mohon kejelasan, apa kewajiabn solat ayat itu oleh sebab gempa itu jika terjadi dalam 1 negeri (maka semua penduduk negri tersebut, baik yang sedang di dalam negeri atau di luar negeri saat kejadian) - atau diukur dalam jarak ( seperti Malaysia lebih dekat dari Aceh juga berkewajiban) atau diukur dalam sampainya berita ? (tak dibatasi kejadiannya). Aditya Budi Setyawan menyukai ini.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
Seingat saya, alfakir sudah merincikan shalat ayat ini di catatan-catatan sebelumnya.

(1). Yang terkena kewajiban shalat ayat ini hanyalah daerah yang terkena gempa, gerhana dan semacamnya itu. Jadi, tidak mesti meliputi satu negeri.

(2). Cara shalatnya:

a. Jumlahnya 2 rokaat dan salam.

b. Pada masing-masing rokaatnya melakukan lima kali ruku’ dengan diselingi masing-masing- nya dengan membaca alfatihah dan surat.

c. Setelah melakukan ruku’ ke lima, maka kembali tegak dan mengucap takbir untuk ke sujud.

d. Rokaat ke dua juga demikian. Dan membaca qunut (sunnah) sebelum rukuknya yang ke lima di rokaat ke duanya ini (yakni rukuk’ ke 10 dari semuanya).

Cara pendek:

Setelah membaca alfatihah dan berniat membaca surat terntentu (ingat di setiap shalat, niat membaca surat tertentu ini wajib dilakukan sebelum membaca Bismillaahnya. Jadi, niat pilih surat, baru memulai membaca Bismillaah), maka jangan baca seluruhnya. Tapi baca satu ayatnya saja, yakni Bismillaahnya saja. Lalu pergi ruku’. Setelah bangun, tidak perlu membaca alfatihah lagi, dan tinggal meneruskan ayat ke dua dari surat yang dipilih itu. Lalu pergi ruku’. Begitu seterusnya sampai selesai dari ruku’ ke empat. Setelah itu tinggal meneruskan ayatnya dari surat yang dipilih itu (tanpa alfatihah tentunya) sampai ke akhir surat. Lalu melakukan ruku’ ke lima. Setelah ruku’ ke lima, tegak kembali (i’tidaal), lalu pergi ke sujud.

Dengan cara pendek ini, maka alfatihannya hanya dua kali dan begitu pula suratnya setelah alfatihah itu. Kalau memilih surat setelah alfatihah itu yang berjumlah ayat lima ayat, seperti surat tauhid (Qul huwallaahu ahad), maka pada masing-masing bacaan ayat sebelum rukuk, maka cukup satu ayat saja. Tapi kalau memilih surat yang lebih dari lima ayat, maka dalam satu atau dua pembacaannya sebelum ruku’ harus membacanya dua atau beberapa ayat tergantung panjang pendeknya surat. Tapi kalau ingin mudah, baca saja terusannya itu di akhir bacaan sebelum ruku’ ke lima. Misalnya, suratnya terdiri dari sepuluh ayat. Setelah ruku’ ke empat, maka tinggal 6 ayat yang belum terbaca. Karena itu, 6 ayat tersebut dibaca pada bacaan terakhir sebelum ruku’ ke lima tersebut.

Peringatan untuk cara pendek:

Baik suratnya yang dipilih itu 5 ayat atau lebih, tapi kalau pembacaannya kelewatan dari satu ayat hingga membuat suratnya habis sebelum ruku’ ke empat atau sebelumnya, maka bacaan suratnya tidak boleh mundur dan/atau digagalin. Jadi, harus diteruskan. Dan ketika suratnya habis di sebelum ruku’ ke empat atau bahkan sebelumnya, maka ketika sudah berdiri tegak dari sujudnya, harus membaca alfatihah lagi dan membaca satu surat lagi seperti semula. Yakni bisa dibaca habis atau dicicil juga. Yang jelas, sebelum ruku’ ke lima, bacaan surat tersebut harus habis sampai pada akhir ayatnya.

Yang Taqlid/taqlid Rahbar hf:

Pada shalat apa saja tidak mesti meniatkan dulu untuk membaca surat tertentu sebelum memulai membaca Bismillaah. Jadi, bisa saja membaca bismillaah .... dan baru berniat membaca surat tertentu sebelum kemudian membacanya. Ini yang pertama. Yang ke dua, bacaan bismillaah pada setiap surat, tidak bisa dihitung sebagai ayat pertama. Jadi, kalau mau membaca surat yang dipecah-pecah pada shalat ayat, maka bismillaah-nya tidak bisa dihitung sebagai ayat pertama. Artinya, sekalipun bismillaah itu adalah ayat pertama, akan tetapi dalam penghitungan ayat pada shalat ayat tersebut, tidak cukup dihitung sebagai ayat pertama. Karena itu mesti diteruskan dulu pada ayat berikutnya.

Widodo Abu Zaki: Salam ustadz, berkenaan dengan gerhana baik bulan maupun matahari, juga dengan banyaknya bencana. Apa hikmah dan falsafahnya shalat ayat yang wajib? Dan sejauhmana kewajiban itu, apakah hanya yang berdampak saja? Makasih ustadz.

Sinar Agama: Salam dan trim pertanyaannya:

1. Kewajiban shalat ayat itu adalah dikala alam mengalami kejadian yang pada umumnya menakutkan. Seperti gempa bumi, gerhana, taufan, tsunami ...dan seterusnya.

2. Saya tidak tahu apa falsafahnya yang pasti. Karena yang tahu adalah yang membuat syariat (Allah swt). Akan tetapi karena memerintahkan kita untuk merenungi apa saja, maka kita bisa merenungi hukum-hukumNya asal tidak memastikannya.

3. Kalau kita lihat nama shalatnya, yaitu shalat ayat, artinya tanda-tanda dan dalil-dalil, maka mungkin maksud shalat ayat adalah shalat yang menyangkut dengan dalil-dalil Tuhan atau ayat-ayat Tuhan, alias tanda-tanda Kebesaran Tuhan.

4. Kalau kita beranjak dari Kebesaran Tuhan itu, maka lawannya adalah kerendahan dan ketidak berartian. Yakni ketidak berartian kita manusia dan siapa/apa saja.

5. Dengan beberapa point di atas itu dapat diperkirakan bahwa falsafah shalat ayat adalah menyambut keAgunganNya. Karena itu sudah semestinya kita merendahkan diri yang memang rendah ini. Artinya mengakui keAgunganNya dan kekecilan diri kita.

6. Artinya, Tuhan ingin kita ini selalu merasa dan meyakini kekecilan dan ketidak berartiannya di setiap saat dengan mengingatkannya melalui ayat-ayat alam tersebut. Karenanya hiduplah, melangkahlah, berbicaralah, berkegiatanlah, beraktifislah, berceramahlah, menulislah...dan seterusnya dengan keyakinan diri sebagai budak tak berarti.

7. Ketika semua sudah dilakukan dengan keyakian kecil itu, maka harus taat penuh dengan semua peraturan dan hukum-hukumNya. Artinya lakukan semua aspek kehidupan itu di bawah naungan fikihNya. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ