﷽
Seri tanya jawab, Bocah X Arus dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, November 27, 2011 at 1:43pm
Bocah X Arus: Salam...Ustadz...Mau tanya apakah urgensinya bertawasul kepada Nabi, Ahlulbait dan orang-orang sholih...
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
Keharusan bertawassul itu memiliki berbagai dimensi:
1. Banyaknya dosa kita hingga doa-doa dan harapan-harapan kita bisa terganjal karenanya. Karena itu, perlu kepada tawassul seperti yang diungkap di QS: 4: 64:
”Dan Kami tidak mengirim seorang rasul kecuali untuk ditaati dengan ijin Allah. Kalaulah mereka -umat- menzhalimi diri mereka sendiri -dengan dosa- lalu datang kepadamu -Muhammad- dan meminta ampun kepada Allah dan RasulNyapun memintakan ampun untuk mereka, maka sudah pasti mereka akan mendapati Allah itu Maha Penerima Taubat dan Maha Kasih.”
2. Menerimanya (bc: penerimaan) manusia akan apa-apa yang disayang Allah dan memang harus diimani manusia, seperti para nabi dan rasul. Karena itu, jangankan manusia biasa, para nabi dan rasul sendiri, saling bertawassul diantara mereka. Karena itulah maka Tuhan menyembuhkan buta mata dari nabi Ya’quub as dengan usapan baju anaknya, nabi Yusuf as.
Kasih sayang Tuhan memperlancar dan menajamkan serta memustajabkan setiap doa seorang hamba manakala ia mengakui kemuliaan orang-orang yang dipilihNya seperti nabi, rasul dan Imam makshum. Dan, tawassul itu adalah pengikraran penerimaan dan pengagungan serta pemuliaan terhadap manusia-manusia mulia yang telah Tuhan pilih sebagai kekasihNya karena ketaatan yang hebat dari mereka-mereka yang dipilih itu.
3. Pengaplikasian dari penerimaan di atas. Artinya, Tuhan itu tidak hanya merestui orang- orang yang mencintai manusia-manusia pilihanNya saja tanpa alasan dan hikmah yang lebih luas dari sekedar hikmah pribadi-pribadi yang mengakuinya. Akan tetapi sungguh memiliki dampak aplikatif. Yakni, ketika seseorang mengakui dan bertawassul dengan para manusia suci, maka sudah pasti ia menerima mereka sebagai tauladan dalam hidup. Karena itu, sosok penawassul ini, akan berusaha berkarakter seperti yang ditawassuli itu. Karena itu, maka tawassul ini selain memiliki dampak pribadi yang baik untuk setiap pribadi itu, ia juga memiliki dampak aplikatif yang juga baik untuk dirinya. Yaitu berupa ketakwaan kepadaNya. Karena, itu, tawassul itu, di samping mengurangi dosa dan memustajabkan doa-doa kita, ia juga akan memotivasi kita untuk taat dan taqwa kepada Allah swt.
4. Karena itulah maka Tuhan dalam QS: 5:35, berfirman: ”Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kalian kepada Allah dan hendaknya kalian berpegang teguh dengan perantara -wasilah/ tawassul- dan berjihadlah kalian di jalanNya agar kalian menjadi menang.”
Jadi, tawassul ini jelas perintah Allah. Dan, sudah tentu hal-hal di atas itu, merupakan satu- dua dari sejuta hikmah dari tawassul ini.
5. Kalau ingin lebih dalam lagi mengkajinya, yaitu dengan sedikit menggunakan kaidah filsafat, maka ketahuilah bahwa para nabi dan rasul atau Imam itu, sudah menapaki titik balik kepada Allah (wa ilaihi rooji’uun). Karena itu, maka ruh mereka itu memanjang dari tingkatan terendah materi sampai pada Akal-satu. Karena itulah, maka mereka bisa mengatur alam semesta semuanya (materi dan non materi) dengan ijin Allah dan, sudah tentu karenanya maka hanya manusia yang bisa menjadi khalifah Allah, bukan yang lainnya walau malaikat termulia atau Akal-satu sekalipun (lihat catatan-catatan yang lalu tentang maqam khalifah ini).
Nah, ketika para manusia suci itu telah kembali menjadi sebab-sebab mereka dan alam semesta ini (materi dan non materi), maka sudah tentu mereka ada diantara kita dan Tuhan. Karena kita tetap berada di tingkatan rendah serta mereka di tingkatan tinggi. Nah, antara rendah dan Maha Tinggi, dijedahi dengan maqam tinggi, yaitu mereka-mereka para makshum (nabi dan rasul atau Imam).
Dengan demikian, maka filsafat tawassul ini dapat dipahami dengan lebih mudah dan meyakinkan secara ilmiah dan akliah. Karena mau dan tidak mau, sengaja atau tidak sengaja, semua yang ada di bawah harus menjumpai mereka-mereka para suci itu dulu, sebelum doa- doa dan perhatiannya menuju kepada Allah. Karena itu, bukan hanya doa yang ditawassuli dengan mereka, tapi ilmu dan perhatian, juga harus melalui mereka. Sungguh unik Tuhan ketika mengatakan bahwa Nabi saww itu diutus sebagai rahmat bagi semua alam. QS: 21: 107:
”Kami tidak mengutusmu -Muhammad- kecuali sebagai rahmat bagi segenap alam.”
Lihatlah pada kata-kata segenap alam. Di sini sudah tentu tidak hanya manusia saja, tapi mencakup semua tanah, batu, air, pohon, hewan dan para malaikat sekalipun. Dan, sudah tentu manusia, tidak hanya manusia baik, tapi manusia bejatpun tetap dirahmatiNya melalui kanjeng Nabi saww. Itulah mengapa di Syi’ah/islam, Nabi saww dan manusia-manusia pilihanNya, tidak hanya dikongklusikan di hubungan ngajar mengajar agama dan pimpinan sosial, akan tetapi mencakup semua hal termasuk hubungan wujud dan wujud, sebab dan akibat ....dst dimana diistilahkan dengan maqam ”wilayah” dan dimana makan ”wilayah” ini mencakup agama, sosial dan keterkaitan kealamsemesetaan.
Tambahan:
Ketika orang-orang yang bertawassul itu, dalam menatap para orang-orang yang ditawassulinya itu, seperti itu, maka sudah tentu cara menatap Tuhan mereka dan aplikasinya, akan diambil dari para orang-orang yang ditawassulinya tersebut. Karena itu, mereka hebat-hebat dalam memaknai agama, baik secara naqli atau apalagi akli. Hal itu, karena mereka telah menimba ilmu dan pengabulan doanya dari para orang-orang yang dipilih Tuhan. Yakni mereka para penawassul itu telah mengambil semuanya dari sumbernya yang benar sesuai dengan pilihan dan perintahNya.
Tapi para penolak tawassul itu, karena tidak tunduk dan tawadhu kepada kekasih-kekasih Tuhan tersebut, maka mereka di samping tenggelam dalam kegelapan yang nyata, juga selalu menarik Tuhan itu menjadi sederajat dengan mereka. Karena itulah, maka Ibnu Taimiyyah telah menjadi Imam dari orang-orang yang mematerialkan Tuhan (tajsiim). Karena, ketika ia dan golongan- golongan wahabi lainnya itu berada di derajat rendah, dan tidak mau bertawassul dengan orang- orang yang ada di tengah-tengah antara Tuhan dan dirinya, maka sudah tentu mereka dalam mengartikanNya, akan menarikNya ke derajat dirinya sendiri. Karena itu, maka akidah mereka dan ilmu mereka sangatlah rendah dan telah menjadi orang-orang yang kembali jahiliyyah yang biasa membendakan Tuhannya.
Mereka selalu berdalih bahwa Tuhan lebih dekat dari urat nadi setiap manusia hingga karenanya tidak perlu tawassul (dalam ilmu dan doa serta aplikatif). Tapi mereka lupa bahwa yang dekat kepada kita itu Tuhan, bukan kita. Nah, karenanyalah Tuhan mereka itu telah mereka jadikan seperti diri mereka sendiri. Padahal, kalau mereka memiliki akal sedikit saja, sudah tentu akan mengerti bahwa kedekatan Tuhan itu, tidak akan berfungsi bagi diri kita sama sekali kalau kita di posisi rendah ini (rendah ilmu dan takwa).
Kedekatan Tuhan itu adalah untuk mengawasi kita hingga Ia akan menanyakan kepada kita terhadap semua amal-amal dan niat-niat kita. Tapi kita kepadaNya, belum tentu dekat. Karena yang dekat itu hanya yang taat dan taqwa yang, sudah tentu para nabi, rasul dan Imam makshum serta wali-wali lain yang ada di posisi setelahnya.
Kedekatan Tuhan kepada manusia untuk mengontrol semua niat dan amalnya. Dan kedekatan Tuhan ini, adalah terhadap semua manusia dan makhluk-makhluk lainya, baik taqwa atau bejat. Dan kedekatakan manusia, adalah untuk disayang Tuhan dan didengarkan doa-doanya. Nah, orang-orang yang tidak dekat kepadaNya (yang tidak taqwa dan berilmu benar atau makshum), sudah tentu doa dan harapan-harapannya tidak akan didengarkanNya dalam arti dikabulkanNya.
Jadi, doa mustajab atau tidak, tetap didengar Tuhan karena Tuhan dekat dengan semuanya. Akan tetapi, dengar dalam arti mustajab, hanya pada orang yang dekat kepadaNya dengan taqwa yang tinggi. Memang, sering pula Tuhan mengabulkan doa-doa orang rendah, akan tetapi bukan karena keberhakan orang tersebut, akan tetapi karena maaf dan kasihNya. Tentu saja kalau Tuhan mau. Begitu pula sudah tentu tidak ada doa yang ditolak, akan tetapi tidak mesti berupa yang dimintanya. Yakni bisa saja berupa pengampunan terhadap dosa-dosanya yang banyak demi mengurangi pedihnya adzab yang akan diterimanya di akhirat kelak (lihat tulisan tentang doa di tulisan-tulisan sebelum ini). Akan tetapi, mustajabnya doa pada yang dimintanya (tidak berupa hal lain), hanyalah dari hamba-hamba pilihanNya, atau yang ditawassulkan dengan hamba-hamba pilihanNya atau orang-orang yang dimaafkanNya. Wassalam.
13 people like this.
Riani Azri: Afwan ustadz ijin share, boleh saya copy status ini ya.
Sinar Agama: Abu: Terimakasih simpatinya, tapi kemestian itu kadang terhadap pengertian dan esensinya.
Sinar Agama: Riani: Silahkan saja, semua tulisanku di fb ini adalah gratis untuk apa saja asal kebaikan dan tidak untuk bisnis. Kunjungi pula kalau ada waktu, catatan-catatanku atau dokumen- dokumenku yang ada di akun ini atau di group Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama.
Riani Azri: Syukron ustadz saya sedang belajar dan untuk dokumentasi pribadi.
Satria Karbala: Mungkinkah kita menuju Tuhan tanpa melalui wasilah/tawassul, ustadz?
Ahmar Wijaya Sdb: Baginda nabiullah Rasulullah Muhammad saw adalah manusia yang paling sempurna di alam raya ini baik akal fikiran ??? Segalanya.. Saya berpendapat menjudge ulama seperti Ibnu Taimiyyah tidaklah pantas. Dalam kitab Utsul stalasah, qawaidul arba’ tauhid’ maupun Kasifusi syubhat, saya belum pernah mendapati pendapat mereka yang keliru atau menyimpang dari Islam.
Sinar Agama: Satria K: Sampai kepada Tuhan itu tidak bisa tanpa tawassul. Karena arti tawassul itu luas. Kalau tidak ada Nabi saww, bagaimana kita bisa tahu Islam? Ini salah satu dimensi atau hikmah tawassul. Karena itu Allah mewajibkan kita memegangi tawassul ini sebagaimana sudah diterangkan di atas (catatan).
Nah, ketika seseorang harus datang kepada yang akan ditawassuli itu untuk menimba Islam, maka berarti derajat orang yang kita datangi itu sudah pasti lebih tinggi dari diri kita yang mendatanginya. Karena menjadi sumber Islam itu adalah ketinggian takwanya yang diakui Tuhan, terlebih kalau sampai ke tingkat makshum yang disaksikan dan dinyatakan Tuhan, seperti Ahlulbait as.
Dengan demikian, maka dalam olah akhlak dan batin kita dalam bermunajat kepada Allah, juga harus menggunakan wasilah ini. Karena sudah jelas antara kita dan Tuhan memiliki jarak yang jauh dan sudah tentu dijaraki mereka-mereka yang tinggi dan apalagi makshum tersebut. Jadi, sudah tentu kita harus menfokus mereka-mereka juga dalam munajat-munajat kita. Allah memang dekat, tapi kitanya yang jauh karena menjauh dari ketaatan padaNya dan menjauh dari keMaha SucianNya dengan banyaknya dosa-dosa kita dan cinta dunia kita. Dengan itu, maka kita harus bertawassul.
Lagi pula, tawassul itu kan tanda kita menerima ketinggian derajat ikhtiari mereka-mereka itu dan menerima kepenunjukan Tuhan atas mereka sebagai rasul atau Imam yang mewakiliNya menyapa dan mengajar manusia. Jadi, tawassul, juga memiliki dimensi ketundukan kepada keputusan Maha BijakNya itu.
Kemestian yang diterangkan itu adalah secara akliah dan filsafat serta penafsiran Qur'an dan hadits. Kalau dilihat dari hukumnya, maka mungkin kita bisa mengatakan bahwa tawassul itu adalah sunnah. Artinya, yang tidak bertawassul dalam doa-doanya, tidak haram, asal tidak anti tawassul yang dianjurkan agama. Karena anti itu adalah masalah lain.
Sinar Agama: Ahmar: Kamu ini bagaimana? Apakah kamu membenarkan fatwa Ibnu Taimiyyah yang bukan hanya mengharamkan tawassul, tapi menghalalkan darah dan hartanya? (lihat di: Ziyaaratu al-Qubuur wa al-Istinjaadi bi al-Qubuur, hal 156; al-Hidaayatu al-Sunnatu, hal. 40). Apakah kamu membenarkan akidah Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa Tuhan itu benda yang berserakan di berbagai kitab-kitabnya?????
December 6, 2011 at 1:37am · Like
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar