Selasa, 07 Agustus 2018

Wilayatulfakih Dalam Diskusi Lagi






Seri tanya-jawab: Giri Sumedang dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, August 9, 2011 at 5:42 am


Giri Sumedang: Salam kak sinar.. aku mau nanya...semalam aku bertemu orang yang dari Qum dan telah belajar di sana selama hampir 6 tahun. Dia bilang bahwa dalil atau hadits tentang wilayah alfaqih itu tidak ada. Yang ada hanya dalil akal saja (atau asholatul ishlah atau kemendasaran pada mashlahat) padahal kan ada ”man kana minal fuqoha, shoinan linafsihi, hafidzon lidinihi, falil awam anyuqoliduhu”.. ini bagaimana ya kak penjelasannya? 

Widodo Abu Zaki, Siti Handayatini, Teratai Di Rawa Pasee dan 7 lainnya menyukai ini.

Sinar Agama: Kalau masalahnya akidah, maka dengan dalil akal yang gamblang karena memang tidak boleh taqlid. Tapi kalau tentang fikih maka dalilnya adalah fatwa. Dan pemahaman fatwanya, juga dengan dalil ’uruf dan akliah yang gamblang.

Giri Sumedang: Ya kak makasih... dalam beberapa hal sih giri nyambung banget gitu lho ama kak sinar secara eksistensial apa-apa yang telah kakak paparkan. Makasih ya kak.

Sinar Agama: Dalam hadits yang kamu bawa itu, yang mengatakan bahwa imam Mahdi as, mewajibkan kita mengikuti mujtahid yang menjaga diri dari maksiat, melakukan taat dan tidak serakah kepada dunia, sangat cukup untuk membuktikan bahwa ketaatan pada marja’ itu tidak hanya dalam hal-hal najis, wudhu, mandi, shalat dan puasa atau hal-hal lainnya dari ibadah- ibadah sehari-hari.

Tidak hanya itu saja. Tapi imam Mahdi as mengatakan ”fa lil’awam an yuqalliduhu”, disini tidak ada pembatasan kepada ibadah-ibadah pribadi.


Karena itu, yang membatasinya itu benar-benar memang belum menguasai dalil-dalil fikih. Dan, di hauzah, memang dengan beberapa tahun saja tidak akan mengerti dalil-dalil ini. Karena memang belum sampai.

Nah, kata-kata imam Mahdi as yang mengatakan ”maka bagi orang awam harus menaqlidinya -mujtahid”, tidak ada pembatasan kepada ibadah-ibadah pribadi. Akan tetapi ”muthlaq” (mut- lak), dalam istilah ushulfiqih. Yakni mutlak dan meliputi semuanya. Karena itu, selama tidak dikondisikan oleh hadits shahih lainnya yang membatasinya, maka ia harus diterima sebagai yang mutlak dan mencakup. Karena itu, maka hadits tersebut mencakupi seluruh ketaatan dalam masalah-masalah pribadi, keluarga, sosial, politik, ekonomi, kenegaraan dan dunia. Walhasil meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Dan hal seperti ini, merupakan hal yang sangat jelas bagi semua atau mayoritas ulama Syi’ah.

Giri Sumedang: Apakah ada referensi dari ayatullah atau setingkat marja’ dengan apa yang telah kakak katakan, sebab kalau ini diungkapkan pada dia.. dia akan ngomong apa dasarnya? Siapa yang ngomong? Marja’ atau bukan? Kalau bukan marja’ maka tidak wajib kita ikuti, begitu kak pernyataannya. Lucu sih kak orangnya.. jauh-jauh ke Qum eh malah begitu statemennya..he.

Sinar Agama: Uwwah ... kalau ditambah lagi dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa siapa yang menghukum tidak dengan hukum Tuhan maka ia telah kafir, taat pada pemimpin (yang juga mutlak), menegakkan keadilan agama dalam segala sisi kehidupan, ................. dan seterusnya, maka hadits itu akan sangat gamblang dan mudah dipahami tentang keumumannya itu. 

Uwwah ... kalau ditambah lagi dengan hadits-hadits yang mengatakan bahwa kalau ada dua orang saja diantara kalian harus ada satu yang menjadi imam, maka hadits dari imam Mahdi as itu, sangat mudah dipahami.

Kalau dia mengatakan seperti itu, yakni dari siapa, marja’ atau bukan, maka balas juga kamu tanya pada dia. Bahwa yang kamu katakan, yakni bahwa hadits imam Mahdi as itu hanya untuk ibadah- ibadah pribadi dan tidak mencakupi semua ketaatan, maka yang kamu katakan itu dari mana? Dari marja’ atau dari kamu? Kalau dari kamu yah ... berarti tidak harus didengarkan. Kalau dari marja” maka tanyakan marja’ siapa dan di dalam kitab apa?

Giri Sumedang: Ya kak dia kan ustadz.. jadi Giri masih punya adab mau berkata seperti itu.. he.

Sinar Agama: Itu untuk debatannya. Yakni dengan mengembalikan masalah kepadanya. Dan untuk penjelasannya, maka sudah cukup apa yang ditulis oleh para marja’ dalm semua kitab fikihnya. Karena semua marja’ menulis hukum-hukum fikih itu dari masalah-masalah pribadi ke masalah-masalah negara dan politik. Artinya, banyak hal yang difatwai itu yang tidak bisa dilaksanakan kecuali kalau memiliki negara Islam. Seperti hukum qishash, hukum cambuk, ...dan seterusnya. Nah, dengan adanya fatwa-fatwa itu, maka sudah jelas apa yang dimaksudkan hadits imam Mahdi as di atas itu.

Yang ke dua, banyak sekali kitab tentang wilayatulfaqih ini. Yang sudah di Indonesiakan sudah ada, yaitu alhukumah al-Islamiyyah karya imam Khumaini ra. Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang ada bahkan yang berjilid-jilid hanya menerangkan tentang wilayatulfakih ini seperti karya Muntazhiri. Ada lagi karya ayatullah Jawadi Omuli hf...dan lain-lainnya.

Giri Sumedang: Oo begitu ya kak.. wah Giri kayaknya harus baca kitab itu.

Sinar Agama: Terkahir, katakan ke ustadznya itu, bahwa dalil taat yang ada di hadits imam Mahdi as di atas itu adalah mutlak. Trus antum menkondisikannya, atau mentaqyidnya, dengan dalil apa? Pertanyaan ini kelihatan lebih sopan.

Giri Sumedang: Giri sudah sampaikan kitab dari Javadi Amoli.. eh dia mengatakan saya tidak tahu.. karena saya belum baca.. lucu sih kak orangnya he.

Sinar Agama: Kitab itu seingat saya terbitan Cahaya.

Giri Sumedang: Dia bilang karena Javadi Amoli bukanlah seorang maroji’... he.

Sinar Agama: Lah .. kalau dia tidak tahu, kok bisa menkondisikan hadits mutlak tadi???? Ya ampun ngawur banget dia itu he he he ...ayatullah Jawadi hf itu sudah lama jadi marja’.

Dan yang ingin taqlid kepada beliau, beliau menyuruhnya merujuk kepada fatwa-fatwa Imam Khumaini ra.

Giri Sumedang: Dia asal saja mengatakan bahwa kesepakatan seluruh ulama Iran bahwa hadits itu tidak untuk dijadikan dasar adanya wilayatul faqih.

Sinar Agama: he he ... kesepakatan dimana? Tanya saja dimana ada kata sepakat itu?

Giri Sumedang: Jadi dia ustadz yang tergolong ngawur ya kak?

Sinar Agama: iyalah pasti ... tentu saja dalam hal ini, tapi dalam hal-hal lain mungkin tidak. Dan ketahuilah, bahwa 5-6 tahun di Qom itu memang tidak akan mengerti hal ini. Memang belum dipelajari fikih berdalil yang agak tinggi. Baru dasar-dasarnya saja. Apalagi kalau jurusannya bukan fikih atau ushulfikih, maka sangat mungkin memang tidak akan mempelajarinya.

Giri Sumedang: ooo begitu.. he memang sih kak tidak semuanya dia ngawur.. maaf perkataan Giri tadi.

Sinar Agama: Nah, itu dia, belajarlah ke siapa saja, tapi dengan dalil yang gamblang. Memang belajar ke yang lebih ahli tentu lebih afdhal. Tapi kalau tidak ada, yah .... apa mau dikata. Tapi asal dengan dalil gamblang tadi.

Hormat sih boleh tetap, karena demi menjaga tatanan sosial. Tapi berdiskusi dengan ustadz itu harus dibiasakan karena tidak terhitung kurang ajar di hadapan Islam.

Giri Sumedang: Terus kak, dia nanya apakah ada wilayatul faqih sebelum imam Khumaini ra? Wilayatul faqih itu secara konsep betul harus ada tapi orangnya tidak wajib ada.. itu kata dia kak? Jadi Giri semakin aneh aja ngelihat cara berpikir dia kak he. Dia bilang konsep nabi dan rosul itu harus ada tetapi nabi dan rosulnya boleh tidak ada gitu katanya kak..he.

Sinar Agama: He he he he ketika konsep wilayatul fakih itu ada, maka ini yang menjadi ukuran bagi kita untuk diikuti. Bukan ada tidaknya orangnya. Ini yang pertama

Yang ke dua: ketidak adaan wilyatul fakih sebelum imam Khumaini ra itu, dikarenakan tidak adanya umat yang menerimanya hingga melakukan revolusi dan mendirikan negara Islam. 



Persis seperti imam-imam makshum as sebelum imam Mahdi as. Apakah karena mereka tidak memegang tampuk pemerintahan, lalu konsep imamah itu kita ingkari dan orangnya juga kita ingkari? Kan malah wilayatulfakih itu masalah negara. Artinya, tidak hanya berdiri dengan satu tiang yang namanya pemimpin, baik makshum as atau wilyatulfakih? Tapi berdiri dengan dua tiang dimana yang satunya lagi adalah umat? 



Nah, di umat ini, jangankan wilayatulfakih, imam makshum as saja tidak diikuti hingga membuat negara? Lah ... imam Mahdi as itu untuk apa ghaib kalau diikuti umat dan bisa mendirikan negara di dunia ini? Lah ... apakah kalau para imam makshum as itu tidak menegakkan negara. Begitu pula para nabi-nabi sebelumnya, atau para wilyatulfakih itu juga tidak menegakkan negara, lalu konsepnya salah dan orangnya yang nabi, yang imam makshum atau yang fakih itu, juga tidak ada?

Giri Sumedang: Giri sih paham kak.. tapi ustadz itu tetep mengatakan bahwa wilayatul faqih boleh tidak diikuti dan tidak menjadikan kita kafir atau keluar dari keimanan kita kak, begitu katanya he 

Sinar Agama: Nah, dari para nabi itu hanya segelintir yang sempat mendirikan negara, misalnya nabi Sulaiman as, nabi Muhammad as, nabi Yusuf as, dan beberapa nabi lainnya. Begitu pula para imam makshum, hanya imam Ali dan imam Hasan yang sempat mendirikan negara. Begitu pula para mujtahid, yang katakanlah hanya imam Khumaini ra yang sempat mendirikan negara. Lah .... apakah mereka itu terus diingkari konsep kebenarannya dan keberadaannya?????? 



Kan tidak???? Karena punya negara atau tidak itu tergantung kepada umat yang mau mendukung atau tidaknya. Kalau didukung, maka berdirilah negara. 



Tambahan: Konsep wilayatul fakih ini terkadang bisa dicuatkanwalau tidak ada negaranya. Seperti ayatullah Syirazi yang mengharamkan rokok kepada seluruh umat dan bahkan marja’-marja’ketika petani tembakau Iran dizhalimi Inggris sebelum adanya negara Islam di Iran.

Giri Sumedang: Setuju kak.. ini baru kakak ku he. 

Sinar Agama: Nah, itu salah satu bukti dari adanya konsep wilayatulfakih dan adanya orangnya juga, yaitu para mujtahid tersebut. Tentu saja, yang menjadi wilayatulfakih hingga bisa membuat para marja’pun taat itu adalah yang a’lam. 



Giri Sumedang: Wah sangat mencerahkan sekali kak..he..kayaknya mendingan kakak aja dech yang jadi ustadz giri he..bercanda kak maaf he. 



Sinar Agama: he he he ... nggak apa-apa kalau kamu mau jadi murid he he he ... 



Widodo Abu Zaki: Pemikiran seperti ini makin banyak di Indonesia. Ternyata sudah merasuk kemana-mana ya? Padahal menunggu Imam Mahdi lebih baik aktif apa pasif pasti semua menjawab aktif. Tidak bakalan ada yang berani jawab pasif. Dengan pasif instrument hukum kan libur. Anehnya banyak yang ikut. Maaf ustadz saya ikut nyela, habisnya gerah dengan hal-hal seperti ini, kalau tidak karena Revolusi Islam dan Imam Khomeinii Mustahil ana syiah. 

Giri Sumedang: Hai kak Zaki apa kabar?? Ya begitulah kak.. eh tapi kak, biasanya yang punya ide juga harus ikut bertanggung jawab lho.. he maksudnya ikut membangun dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara ini..cek ila.. ambil sistem yang ada dimana kakak gelutin saat ini.. hatta itu cuma peran di yayasan pendidikan ya kan kak he....

Sinar Agama: Abu: Benar yang antum katakan, benar ... semoga antum selalu dalam bayang sang imam besar revolusi itu... 

Sinar Agama: Giri: benar begitu, asal tidak menolak yang keseluruhannya. Jadi, walau aktif kayak apapun seperti di pendidikan (yang memang hanya seperti ini yang digeluti mereka-mereka itu), tapi kalau menolak yang universal (seperti menolak berjuang mencerahkan dan menegakkan hukum-hukum Islam tanpa paksa), maka semua itu bisa tidak berguna. Bagaimana bisa berguna, kalau kamu mengajar di sekolah yang disampingnya muslimat-muslimat diperkosa zionist, atau di sampingnya banyak bangkai muslimin yang dibunuh zionist, atau di sebelahnya banyak perumahan-perumahan muslim digusur zionist, atau di sampingnya banyak kezhaliman yang berlaku ke atas muslimin dan muslimat .... dan seterusnya??????!!!!! 



Wassalam.







اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar