Mut’ah dan Filsafatnya serta Liku-likunya
(seperti apakah sunnahnya bisa bertahan ditekan hukum wajib yang melawannya?)
﷽
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, June 7, 2011 at 11:17 pm
Haera Puteri Zahrah: Salam, ustadz boleh tanya dari sisi afdalnya untuk saling menjaga yang mana lebih baik jika dua orang bersama bukan muhrimnya dalam waktu tertentu puasa atau mut’ah.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
1. Mut’ah bagi yang bukan janda itu wajib ijin pada walinya (ayahnya) dan kalau tidak maka mut’ahnya tidak syah dan jadi zina.
2. Mengapa bisa seorang wanita harus berbareng dengan lelaki yang bukan muhrimnya? Maksud saya adalah keluarlah dari kondisi itu hingga tidak membuat pilihan yang dirancang sama lelaki hidung belang. Karena terkadang mereka sering menjebak dan mengatakan ”Dari pada kita semobil ini dosa, maka kita mut’ah saja”. Lah .. mestinya mengatakan ”Kita bukan muhrim maka jangan semobil.”, atau mengatakan: “Dari pada kita semobil ini dosa, maka kita lebih baik jangan semobil saja.”
3. Dan ingat, kalau ijin ayahnya, harus jelas bahwa wakinnya adalah kawin mut’ah yang dimulai dari tanggal sekian dan berakhir tanggal sekian. Tidak boleh ada bahasa diplomasi yang bisa ditakwil dengan berbagai versi atau yang multi tafsir.
4. Jadi, pilihan dari dua pilihan yang diberikanmu itu, bisa memilih puasa, dan bisa memilih tidak bareng. Karena bareng adalah haram, kalau bisa membuat maksiat. Apalagi tidak pakai hijab, atau senyam senyum, manis-manis kata dan sikap, bermake up (berbedak dan lain-lain), pakai parfum (wanitanya) ...dan semacamnya dimana semua itu jelas haram.
Nasihat: Kalau Anda seorang wanita, maka peliharalah hati, dan tubuh Anda itu dari tangan-tang- an jahil dan kotor penuh nafsu, untuk disajikan kepada suami Anda kelak ketika sudah kawin, hingga anda tidak menyajikan tubuh yang sudah pernah terjamah kepadanya.
Haera Puteri Zahrah: Syukron ustadz.
Aziz Letta: Ustad, permudahlah pernikahan itu (mut’ah maupun daim). Sekiranya bukan karena Umar yang mengharamkan mut’ah maka tidak adalah orang yang berzina kecuali benar-benar orang celaka! Banyak jalur yang disediakan Tuhan untuk menghindari zina. Lagipula tidak semua orang berada pada kondisi dan situasi yang sama persis!
Sinar Agama: Aziz, sudah cukup penjelasanmu untukmu, silahkan saja pilih cara hidup yang an- tum maukan. Antum mau kawin banyak, makan banyak, minum banyak, tidur banyak, ngobrol banyak, fb-an banyak, duduk di rumah banyak, mau bisnis banyak, mau berenang di laut banyak, makan coto banyak, makan cabe banyak, merokok banyak, minum coca cola banyak, minum teh banyak, olah raga banyak, baca Qur'an banyak, belajar agama banyak, malas banyak, baju hitam di siang hari, keluar rumah pakai celana pendek, keluar rumah pakai kaos singlet, mau jalan me- rangkak, mau jalan loncat-loncat, mau jalan cepat, mau jalan lambat, mau ngebut bermotornya, mau lambat bermotornya, mau bisnis cabe rawit, mau bisnis tarik becak, mau jadi kenet kopaja, mau jadi orang kantoran, mau jadi peminta di jalanan, mau jadi ...... apa saja terserah antum. Terserah karena tidak ada larangan. Karena itu kita tidak ada hak melarangnya. Terlebih kalau melarang, antum akan bilang, ”mengapa dilarang yang ini dan yang itu -mengemis misalnya- pa- dahal tidak dilarang Tuhan?”
Jadi, untuk kami kehidupan kami dan begitu pula kehidupan antum. Tapi ijinkan saya mendoakan antum tiap hari sebagaimana kudoakan ikhwan-akhwat lainnya. Dan, semoga saja antum bukan penyaji wanita-wanita bekas rabaan antum kepada para lelaki ikhwan antum sendiri.
Aziz Letta: Terimakasih banyak doanya ustadz. Kok ”penyaji wanita-wanita rabaan antum kepada para lelaki ikhwan antum sendiri” maksudnya apa utasdz” perjelas. Memangnya wanita-wanita itu makanan siap saji apa? Saya cuma ingin agar ikhwan dan akhwat yang sudah layak dan kebelet nikah yang diberikan kemudahan begitu.
Haera Puteri Zahrah: Mengapa pakai kata kebelet, apakah pernikahan hanya di diidentikkan dengan penyaluran nafsu atau sebgai pelengkap perjalanan.
Aziz Letta: Zahra, maksudku kebelet, mau sekalian menikah untuk menyalurkan sahwatnya den- gan halal. Pernikahan jelas bukan hanya untuk melampiaskan nafsu secara syari, tapi banyak yang lainnya. Misalnya mencari keturunan dll.
Sinar Agama: Aziz, kalau itu maksud antum, maka benar. Karena bagi yang sudah kerja dan ber- kecukupan sangat disunnahkan kawin dan kalau tidak kawinnya bisa membuat maksiat, maka hukum kawinnya menjadi wajib.
Saya tadinya masih menafasi tulisan antum itu dengan gaya berfikir kemarin-kemarin yang per- nah terjadi diskusi denganku itu. Kalau pikiran itu sudah antum tinggalkan, yakni memudahkan mut’ah yang dilakukan tanpa melindungi dan menyantuni wanita dimana akan ditinggalkan se- telah itu hingga ia akan menjadi wanita bekas-an untuk ikhwan atau saudara seiman yang lain, terlebih kalau kawinnya salah-salah karena tidak ijin walinya dimana semua hubungannya sama dengan zina, semua pikiran-pikiran itu sudah antum tinggalkan, maka memang harus memaha- mi lain dari tulisan antum di atas itu. Karena ana membacanya sesuai dengan pikiran antum sebelumnya, maka komentarku seperti di atas ini. Ok, afwan dan ana ikut bahagia antum sudi kembali pada jalan fatwa dan ajaran murni Islam dimana melarang hanya melihat satu sisi saja.
Aziz, sekarang, dengan penjelesan maksud antum yang semoga tulus itu, tidak melakukan kesa- lahan berfikir dan menulis. Tidak seperti kemarin-kemarin itu, yang tega menggertakku dengan mau menyerahkan anaknya kepadaku untuk dimut’ah dan setelah itu rela ditinggalkan dimana tentu tega juga pada anaknya sendiri... he he he...
Aziz, maju terus. Tataplah Islam dengan ajarannya yang agung itu. Idamkanlah dalam tiap saat akhlak yang agung itu. Jangan hanya membayangkan dan mengenang hukum mut’ah yang antum sendiri belum tahu sepenuhnya, hingga tidak jatuh korban seperti yang kutulis di atas itu.
Sinar Agama: Haera, tujuan pertama kawin memang bagi umumnya orang, adalah menyalurkan syahwatnya. Dan yang lainnya itu adalah tujuan dan hikmah berikutannya. Memang, bagi sebagian orang yang sudah tidak dipengaruhi syahwatnya, maka orang-orang seperti ini, yakni yang lebih dekat kepada manusia dari binatang ini, yakni yang ukuran hidupnya bukan sekedar halal dan haram, yakni yang tatapannya dari berbagai dimensi ajaran Islam, maka orang-orang seperti ini bisa sangat mungkin niat kawinnya itu, bukan karena syahwatnya.
Aziz Letta: Sinar Agama, menurutku yang jelas mut’ah itu halal, tentu dengan syarat-syaratnya. Siapapun boleh melakoninya. Hatta hanya untuk bersenang-senang sehari atau dua hari.
Sinar Agama: Aziz, silahkan saja, yang jelas kalau belum janda (pernah kawin dan dikumpuli sete- lahnya) harus ijin walinya dengan jelas baik orangnya, maskawinnya, tanggal mula dan akhirnya. Dan kalaulah antum mendapat medan seperti itu, maka silahkan saja kalau antum mau melaku- kannya (tentu saja para imam as tidak menyukai yang tidak darurat, sebagaimana akan dijelaskan di tulisan-tulisan berikutnya.
Akan tetapi kami, yang merasa harus menyantuni wanita sebagai amanat Tuhan yang harus dil- indungi, dan mengingat nanti akan habis masa waktunya dan dia akan kawin dengan orang lain, maka kami tetap tidak akan melakukannya. Karena kami tidak ingin memakan tanaman yang ha- rus dikasihi dan dilindungi dan tidak ingin memproduksi wanita bekas rabaanku kepada saudara sekajianku, seperjuanganku (tanpa mereka tahu). Karena itu, maka sudah jelas apa yang kupaha- mi di komentar awalku itulah, adalah yang benar tentang diri antum (smg Tuhan belum menutup hidayahNya untuk antum).
Bukalah mata hati antum itu, jangan dikira bahwa Syi’ah itu hanya memiliki satu ajaran yang na- manya mut’ah. Tapi juga mengajari kebijakan, seperti perlindungan terhadap wanita yang tidak matang dan terbuai nafsu hingga mengajak kita mut’ah padahal ia belum janda yang juga belum diberi ijin walinya. Karena itu, belajarlah yang benar tentang agama, hingga tahu apa itu agama dan kemuliaan. Jangan pasang tutup mata, telinga dan hati dengan menempel hukum halalnya mut’ah di dahi kita lalu kita lontang lantung di dunia bagai nabi yang tidak memiliki kesalahan dan kekurangan yang tahunya hanya satu hukum yang belum dirinci, yakni “halalnya mut’ah”.
Ingat, wanita pernah zina itu tetap dihitung bukan janda. Artinya tetap diwajibkan/disunnahkan (tergantung marja’nya yang ditaqlidi) ijin pada walinya secara jelas sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Saya tulis ini, setidaknya kalau antum tega memakan tanaman sendiri atau tega menye- diakan anak belum janda antum padaku atau siapa saja, dan tega membuat wanita-wanita bekas di dunia ini, dan tega menghancurkan hati wanita setelah itu, dan tega membuat kenangan-ken- angan manis/pahit di benak mereka dan benak antum dalam kehidupan rumah tangga antum dan mereka, dan tega akan munculnya ingatan bersama ketika ketemu lagi dengan keluarga ma- sing-masing,..... dan seterusnya, setidaknya, dengan tulisan ini, antum tidak masuk neraka karena dosa.
Semoga karakter itu belum mensubstansi hingga masih bisa berubah dan tidak membuat kacau anak-anak antum yang akan menirunya.
Aziz Letta: Terimakasih saran saran dan nasihat-nasihatnya. Saya pikir ajaran Islam bukan hanya untuk orang orang selevel antum yang sangat amat menjaga ”kesuciian perasaan”. Tapi juga orang orang yang selevel denganku yang jauh di bawah maqam antum. Mengenai kenangan-kenangan yang antum maksud, bagaimana dengan suami istri yang cerai (baik cerai mati maupun hidup). Kemudian apakah setiap mut’ah mengharuskan adanya hubungan seks? Mengenai anak-anakku, sepanjang mereka tidak berzina saya ok ok saja. Saya tidak akan malu atau merasa malu karena mereka suka mut’ah. Tuhan saja yg MAHA SUCI tidak malu menjelaskan dan menghalalkan mut’ah.
Saya melihat antum hanya menerima teori nikah mut’ah tapi tidak mau menerima realita prak- teknya. Saya pikir karena Tuhan itu amat sangat menyayangi hambaNYA dan tidak ingin melihat mereka berzina, maka ditunjukkanlah jalan MUT”AH. Prinsipnya Mut’ah Yes, Zina No....
Sinar Agama: Aziz,:
(1). Susah nian membuatmu tunduk pada argument. Entah apa yang bisa saya bantu untukmu. Tapi akan kucoba lagi, semoga bisa masuk ke akalmu yang mungkin sedang kacau pikiran itu hingga tidak bisa memahami tulisanku dengan baik. Cobalah kosongkan pikiran antum itu dari nafsu benar sendiri itu, dan baca sekali lagi tulisan-tulisan di atas dan yang dulu kita pernah debat itu. Renungkanlah baik-baik sebelum anak-anak antum menjadi korban dari kekurangjernihan pikiran antum itu. Tentu saja, sambil meminta petunjukNya.
(2). Kedudukan setiap orang, hanya Tuhan yang tahu. Kalau kita diskusi dan menasihati, bukan berarti yang menasihati sudah di atas dan yang dinasihati. Karena diskusi atau saling menasihati, sekedar mengandalkan argumentasi. Sebab yang benarpun, kalau tidak melaksanakannya, hanya ibarat penyanyi agama yang mencari dunia, alias pengamen.
(3). Pikiran antum ini, sungguh-sungguh berbahaya. Karena mengijinkan anak perempuan antum mut’ah sana sini sejak gadisnya. Sungguh-sungguh keluar dari seorang ayah yang sudah pasti eror batinnya DILIHAT DARI KACA MATA ISLAM, bukan kacamataku dan maqamku. Tapi tanyakanlah pada lingkungan antum, marja’ antum, atau diri antum ketika antum di sisi anak perempuan antum yang lagi nyenyak-nyenyaknya tidur, coba tanyakan sekali lagi, apakah antum akan mengijinkan dia kawin sana dan sini ketika sudah dewasa/baligh, yakni sejak kelas 6 SD, atau kelas 1 SMP, atau kelas 1 SMA dengan alasan karena Tuhan membolehkannya?
Emangnya antum sekarang duduk di jalanan mengemis atau akan meyuruh anak antum mengemis di jalanan dengan alasan Tuhan saja membolehkannya?
(4). Islam itu memiliki berbagai hukum dan ajaran. Ada yang haram dan ada yang makruh. Ada yang wajib dan ada yang sunnah. Ada juga yang sunnah yang tidak dianjurkan untuk dilakukan, sekalipun ia sunnah. Kenapa? Karena tidak maslahat ke depannya. Dan hal itu, yakni tidak menganjurkan itu, juga dari Islam. Contohnya seperti apa? Seperti mengijinkan anak perempuannya yang masih kelas 6 SD atau 1 SMP atau perawan, untuk melakukan nikah mut’ah sana sini, yakni tanpa kepastian daim yang sudah direncanakan dengan matang. Karena akal ijtima’i/sosial, atau akal normal manusia, tidak mengijinkan hal ini. Dan kawin seperti ini sudah pasti tidak diinginkan Islam sekalipun dalam hukumnya ia adalah sunnah.
Jadi, dasar hukum dalam Islam itu, masih bisa dikondisikan lagi dengan ajaran-ajaran lainnya yang bisa mengkondisikannya (mengqaidnya). Seperti keharusan orang tua untuk menjaga anaknya dari kerancuan dan ketidakkaru-karuan hidup, dari ketidakpunyaan sasaran hidup yang benar, dari ketidakberencanaan hidup yang sehat, dari sekedar mengumbar nafsu seks yang halal dan sunnah sekalipun dan dari kerancuan sosial yang akan ditimbulkan dari hubungan halal sana sini itu.
Begitu pula, orang tua harus membimbing anaknya ke arah kehidupan yang sehat yang tidak hanya mengandalkan seks dan nafsu ....dst dimana hal seperti itu terlalu banyak bisa didaptkan di Qur'an dan hadits-hadits makshumin as. Camkan baik-baik, karena antum adalah awam dalam agama. Jangan merasa sok sudah penuh dengan hanya membawa satu hukum kehalalan mut’ah. Karena itu, janganlah mengijinkan anak antum yang masih SD, SMP, SMA, kuliah, untuk mut’ah dengan orang yang belum siap berumah tangga, hanya dengan dalil bahwa Tuhan menghalalkannya. Jangan sampai, anak antum yang masih SMP itu, diijinkan mut’ah karena kalau tidak mengijinkan nanti didebat anak antum bahwa antum hanya menerima konsep mut’ah akan tetapi pada kenyataannya, tidak menerima mut’ah.
(5). Kenangan yang muncul akibat cerai atau ditinggal mati suaminya itu, jauh beda dengan yang diakibatkan mut’ah. Bedanya seperti langit dan dasar sumur. Karena kawin, pada dasar dan awal tujuannya, adalah membangun keluarga sakinah. Yakni setidaknya merupakan tujuan ke dua setelah penyaluran syahwatnya. Dari awal dia sudah merencanakan hidup bahagia, keluarga sakinah, punya anak-anak yang sehat yang dinaungi ajaran Islam dalam seluruh ajarannya (bukan hanya mut’ah), ...dst. Akan tetapi di tengah jalan, karena tidak kuat dengan cobaan yang dihadapi, maka mereka cerai. Beda halnya dengan mut’ah yang dari awal memang bertujuan mengumbar nafsu. Nah, hal ini, sekalipun bagi yang bukan janda itu dan sudah dengan ijin walinya, tetap beda manakala tidak ada rencana pasti untuk ke kawin daim. Apalagi antum yang pernah mengatakan mau kawin mut’ah dalam beberapa tahun (di diskusi kita di tempat lain). Jadi, beda antara kawinnya pemburu nafsu seks dengan orang yang mengejar filsafat kawin yang salah satunya membentuk keluarga sakinah yang diperintahkan Islam.
(6). Kenangan kawin daim yang cerai itu, juga beda jauh dengan kenangan dari kawin mut’ah walau hanya pegangan dan hubungan selain seks. Karena yang pertama adalah pemburu keluarga sakinah yang diridhai/dianjurkan Tuhan, sedang yang ke dua adalah pemburu nafsu di selain hubungan seks yang hanya dibolehkan Tuhan (tentu kalau sudah ijin walinya).
(7). Antum mengatakan, Tuhan saja tidak mengharamkan mut’ah, lah... memang benar begitu, tapi Tuhan tidak suka antum mengijinkan anak perempuan antum main mut’ah sana dan sini sejak SD atau SMP atau tanpa perencanaan daim yang pasti.
(8). Saya memberi contoh kelas 6 SD atau kelas 1 SMP, karena sejak umur 9 tahun penuh, seorang wanita sudah bisa kawin dengan ijin walinya dalam artian sudah boleh jimak setelah kawin dengan seijin walinya. Nah, kalau antum hanya mengandalkan SATU KEMAUAN TUHAN, dan TIDAK MEMPERHATIKAN KEMAUANNYA YANG LAIN, maka sudah pasti antum harus mengijinkan anak perempuan antum itu mut’ah sana sini dan gonta-ganti pasangan sejak masih kelas 6 SD.
(9). Dengan penjelasan di atas, antum tidak bisa lagi mengatakan bahwa antum tidak malu karena Tuhan saja tidak malu dan telah menghalalkan mut’ah. Karena dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa kemauan Tuhan itu banyak. Diantaranya tidak menginginkan kita mengijinkan anak-anak kita kawin mut’ah sana sini mengumbar nafsu tanpa perencenaan untuk membangun rumah tangga dan keluarga sakinah. Karena keluarga sakinah, dan mengatur hidup dan semacamnya yang sudah diterangkan di atas itu, merupakan kehendakNya yang lain dalam ajaranNya yang lain. Dan kehendak ini, kalau dilihat dari ilmu ushulfiqih, dapat menumpangi dan mengalahkan kemauan pertamaNya yang menghalalkan mut’ah bagi anak wanita yang sudah baligh kalau seijin walinya walaupun untuk kawin satu jam. Pahamilah ya akhi supaya tidak bikin malu orang Syi’ah dan para imam makshum as.
(10). Mungkin ada orang yang lambat berfikirnya karena ditumpangi syahwatnya (bukan tidak cerdas) hingga tidak memahami penjelasan di atas itu dan bertanya: ”Kalau memang Tuhan itu tidak menginginkan kawin mut’ah sana sini bagi anak umur 9 tahun, lalu mengapa membolehkannya dan bahkan mensunnahkannya?”
Jawabnya: Hukum yang diberikanNya itu bertingkat dan berkondisi. Dan hanya orang alim yang bisa tahu seluk beluknya. Karena itu mendengarkan orang yang ahli dalam agama,
merupakan kewajiban setiap manusia, seperti merujuk ke dokter dikala sakit.
Tuhan melihat ribuan kondsi manusia tentang kawin mut’ah ini dimana tidak mungkin dirinci satu-satu karena tidak akan membuat masyarakat umum secara rata-rata, tidak akan mampu mengembannya. Karena itu, hukum yang Ia turunkan itu bisa saling memberikan kondisi atau qarinah hingga dengan mudah dapat dipahami misi utama perkawinannya itu.
Misalnya: Dalam satu rumah, tinggal juga orang yang bukan muhrim, akan tetapi mukmin (dapat dipercaya). Supaya sang ibu tidak perlu pakai hijab terus dalam rumahnya, maka suami sang ibu itu mengawinkan anaknya yang 6 SD atau bahkan lebih muda lagi dengan lelaki mukmin yang ada di rumah itu dan mensyaratinya dengan tidak boleh menyentuhnya (karena dalam mut’ah boleh diadakan syarat). Nah, dengan kawinnya itu, maka si anak kecil yang baru berumur 9 tahun atau lebih itu, dan begitu pula ibunya, tidak perlu lagi harus pakai hijab yang ketat. Maka di rumah, bisa memakai baju yang sopan dan normal, tanpa harus pakai jilbab dst.
Ini salah satu tujuan dan hikmah dari kebolehan kawin mut’ah bagi anak kecil yang tanpa perencanaan kawin daim itu (yang seijin walinya itu). Jadi, bukan merupakan hukum yang tanpa tujuan. ATAU BUKAN HUKUM KAWIN YANG BIASA YANG UNTUK MENYALURKAN NAFSU SEKS SANA-SINI.
(11). Saya tidak akan menuntut antum di hadapan Tuhan karena telah mengatakan ana tidak mau mau menerima praktek hukumNya. Walaupun ana layak menuntut antum karena sudah panjang lebar kujelaskan di atas.
(12). Bacalah buku-buku Islam tentang perkawinan yang ditulis oleh para ulama seperti aytullah Muthahhari ra dan lain-lainnya. Jangan hanya berbekal satu hukum, lalu tabrak sana dan sini. Dan di atas itu sudah kujelaskan sekelumitnya. Semoga saja antum teliti membacanya.
(13). Ketika antum melihat kawin hanya dari dimensi penyaluran syahwat, atau menyelipkan hal itu, maka sudah pasti antum akan selalu mengarahkan hikmah kawin itu kepada penyaluran syahwat. Padahal banyak sekali hikmah-hikmah lain dari kawin itu, bahkan sekalipun mut’ah dimana diantaranya sudah saya berikan contohnya di atas sebagaimana saya ambil contoh umum di kitab-kitab fikih.
(14). Nah, kesalahan antum pada langkah awalnya, menyebabkan antum jatuh ke jurang berikutnya. Karena itu, antum melihat sebagai kasih sayang Tuhan manakala antum menyantapkan anak perempuan antum yang baru berumur 9 tahun itu, untuk dinikmasti teman-teman kelasnya secara bergiliran dengan dijaraki iddahnya masing-masing. Lah, ... kalau ini adalah kasih sayang Tuhan, maka bagaimana MurkaNya???!!! Na’uzhubillah. Antum mesti taubat dan beristighfaar kepadaNya karena telah menghubungkan sesuatu padaNya yang salah dan tanpa ilmu.
Sungguh antum ini merupakan ujian bagi kita semua dengan keras pemikiran dan hati yang antum miliki. Semoga saja tidak seperti kata ayatullah Jawadi Aamuli hf yang mengatakan:
”Kalau seserang itu sudah tidak mau menerima nasihat (tentu nasihat yang argumentatif), maka malaikat Jibril as sekalipun yang turun, ia tidak akan pernah mengambilnya.”
Ya akhi, carilah ilmu dengan merasa tidak tahu. Atau kalau memang antum harus merasa tahupun, sesuaikanlah perasaan tahu antum itu, dengan yang antum tahu saja, jangan lebih. Misalnya tahu halalnya mut’ah hanya dari kata orang sana sini dan sangat-sangat tidak rinci. Karena kalau tidak, maka akan membuat antum keras hati dan kepala (afwan). Misalnya, belajarlah dengan hanya merasa tahu satu hukum mut’ah saja. Atau belajarlah dengan merasa tahu karena sudah pernah baca beberapa buku yang sekarang sudah dilupkan isinya (artinya harus kosong lagi), atau belajarlah dengan merasa tahu karena pernah mendengar orang bicara tapi tidak tahu argumentnya hingga tidak tahu bisa tidaknya dipertanggungjawabkan
....dst. Itupun kalau antum harus dan harus, merasa tahu Islam. Wassalam.
Aziz Letta: hehehehehehe, terimakasih.... terimakasih. Saya bukannya keras kepala atau keras hati. Tapi memang saya awam masalah agama. Tapi saya suka membenturkan isi kepala/hatiku tentunya dengan argumentasi yang saya tahu, agar kebenaran yang lebih tinggi (karena katanya kebenaran itu bertingkat-tingkat). Saya juga tidak akan ngotot untuk mempertahankan argumen- tasiku yang lemah dari segi agama.
Saya salut dengan antum yang begitu sabar dan sopan menuntun saya (dan juga tentunya pem- baca debat/dialog kita berdua atau bertiga) hehehehehe. Terimakasih....terimakasih. Tapi satu permintaaku jagn bosan bosan kalau sewaktu waktu kita akan kembali ”berbenturan” pada te- ma-tema yang lain. Ok. Saya menerima kebenaran argumentasi antum. Tapi tentunya dengan se- mentara. Siapa tahu suatu saat saya menemukan argumentasi yang menggugurkan argumentasi antum. hehehehehe......
Foto antum cocok, bahwa sinar matahari itu memberikan sinarnya kepada bumi tanpa berharap balasan. Tapi saya berdoa kepada Allah agar antum diberi tambahan ilmu biar bisa diajarkan kepadaku dan kepada setiap orang, juga kesehatan dan umur yang panjang. Tentunya saya juga berharap diberikan yang serupa.....allahumma shalli ala muhammad waali muhammad waajjil farajahum. Alhamdulillah.
Sinar Agama: Aziiz, komentar ana untuk antum akan kutulis dalam munajat hinaku di bawah ini:
“Syukurku padaMu ya Tuhan, yang mengurangi beban yang melilit jiwaku selama dua pekan ini. Karena sudah hampir dua minggu serasa tersita umur ini lantaran diskusi di dua tempat yang seperti tak kunjung padam, yang seakan menembus kabut tebal yg tiada bertepian.
Aku ya ... Allah kadang dengan dada sesakku karena sempitnya, dengan air mataku, dengan emosi kalbuku yang kutahan, dengan jemariku yang sering penat dan kram, kucoba bertahan dan kula- lui. Sungguh hanya demiMu dan demi mauMu yang menyuruh sampaikan agamaMu dengan dalil dan hikmah.
Ya .. Allah tiada aku sesali hidup seperti ini. Yang pasti akan kussesali adalah, kalau Engkau tiada sudi memaafkanku dan memaafkan saudara-saudara seimanku yang mungkin kadang terlihat nakalan seperti saudaraku Aziz ini. Ya ... Allah, tiada apapun yang bisa kami sajikan padaMu ke- cuali tangisan.
Ya ... Allah bimbinglah kami semua kepada agama yang lengkap dan komplit, bukan agama yang kurang dan sempit. Dan berilah kesabaran pada semua ikhwan dan akhwatku hingga memaaf- kanku manakala kadang kuselentik dengan sedikit kata tak lembut, yang terpaksa kulakukan demi memecahkan kerasnya hati yang diakibatkan gelora hawa nafsu dan tak terbangunnya dengan argumentasi yang tertata cantik. Amin.”
Terakhir: Terimakasih telah meringankanku mengerjakan yang lainnya. Kalau nanti ketemu argu- ment yang lebih kuat silahkan ajukan lagi. Tapi sebelum itu ada, maka antum tidak boleh meng- aplikasikan kecuali yang sudah antum terima dengan argumentasi ini. Semoga kita semua bisa menjaga kesucian agama Islam dan terutama madzhab Ahlulbait as dengan pikiran, pemahaman dan aplikasi yang baik di tengah masyarakat, amin.
Aziz Letta: Ana juga minta maaf karena kebodohanku yang dibalut nafsu dunia yang hina telah membuat antum membuang waktu dan umur untuk memberiku setitik pencerahan dalam hidupku yang diliputi kegelapan. Ya Allah demi kemuliaan Nabi Terakhir Muhammad SAAW dan Ahlulbaitnya, persatukanlah hati hati kami dalam melangkah melewati dunia ini menuju padaMU. Ya Allah mudahkannlah kami untuk menlaksanakan ketaatan kepadaMU, Tolonglah kami ya Allah untuk menghindari kemaksiatan kepadamu. Allahumma shalli ala muhammad waali muhammad waajjil farajahum. Alhamdulillah.
Maya Zahra: Salam wa rahmah ustadz.. saya mau bertanya. apakah seorang laki-laki mut’ah maksimal 4 wanita seperti hukum dipoligami? Dan dari yang saya baca (buku hak-hak wanita, murthada muthahhari) bahwa seorang suami yang sudah Daim tidak boleh mutah kecuali ia se- dang berada dalam jarak yang jauh dengan istrinya sehingga tidak bisa berkumpul. Bagaimana hukumnya? Af1 ustad, mohon penjelasannya mungkin saya salah menafsirkan kata-kata dalam buku tersebut. Syukron ustadz...
Sinar Agama: Azis, kuamini doamu dengan tambahan:
“Permudahlah kami untuk taat padaMu dengan mengerti hakikat hukum dan mauMu sebelumnya, hingga tidak menggunakan sebait hukumMu sebagai hakikat agama dan mauMu. Tunjukkan ke- benaranMu sebagai mana ia dan berikan kekuatan untuk mengamalkannya. Hindarkan kami dari agama yang semu, pahaman yang semu, ketaqwaan semu, yaitu yang hanya berdasar pada satu bait syariatMu di tengah-tengah jutaan bait syariatMu. Bimbinglah kami kepadaMu melalui Nabi saww dan Qur'anMu, bimbinglah kami kepada Nabi saww dan Qur'anMu melalui imam-imam makshumMu as, dan bimbinglah kami kepada imam makshumMu as melalui para ulama/marja’ yang dengan sepenuh hati telah mengorbankan hidupnya untuk memahami dan menaati aga- maMu, serta hindarkanlah kami dari merasa menjadi nabi, imam makshum atau ulama yang me- mahmi MauMu. Amin.”
Aziz, selamat berjuang, jangan putus asa. Aku selalu ada di sisimu untuk selalu menengkarimu dengan santun (pertengkaran ilmiah dan persaudaraan, bukan permusuhan) melalui dalil-dalil, manakala aku diperlukan dan sertakan aku dalam doamu, terimakasih.
Sinar Agama: Maya, mut’ah itu tidak dibatasi jumlahnya dilihat dari sisi hukumnya. Jadi boleh saja lebih dari empat dan kapan saja. Asal semuanya memenuhi syarat diantaranya adalah si wanita- nya itu janda (sudah pernah kawin dan dikumpuli setelah itu, bukan tidak gadis karena diperkosa misalnya). Dan kalau wanitanya itu belum janda, maka wajib ijin dengan ayahnya dengan jelas. Ini dari sisi hukum.
Yang kita debatkan di atas itu bukan dari sisi hukumnya, dalam arti satu hukum ini saja. Karena Islam itu luas ajarannya. Termasuk hukum wajib yang ada di tangan orang tua untuk menjaga anaknya dari ketidakterarahan hidup. Karena itu, maka sungguh tidak layak bagi orang tua yang mengijinkan anaknya mut’ah sana sini sejak masih kelas 6 SD. Karena sekalipun boleh, dan bah- kan sunnah dalam mengawinkan anaknya itu, baik daim atau mut’ah, akan tetapi hal ini berten- tangan atau bertabrakan dengan hukum wajib yang lain. Yaitu wajibnya orang tua untuk menga- rahkan dan memimpin anaknya itu kepada hidup yang terarah dan keluarga sakinah.
Karena itu, maka kalau di antara para orang yang ngerti agama, masalah seperti ini tabu dibahas. Karena masalahnya, sudah jelas. Mana mungkin islam menganjurkan orang tua untuk mengijin- kan anaknya yang masih SD atau SMP dst untuk mut’ah sana-sini tanpa tujuan hidup yang jelas dimana akan membuat kehidupannya di kemudian hari akan menderita. Orang yang tidak ngerti, dikira hal ini termasuk yang dianjurkan dengan alasan hukum kawin itu adalah sunnah. Padahal
hukum sunnah ini telah bertabrakan dengan hukum wajib yang lain, yaitu wajibnya orang tua untuk memimpin anaknya kepada kehidupan terarah yang tidak mengutamakan syahwat.
Karena itu maka hukum mut’ah bagi yang anak-anak kecil ini, adalah hukum yang bisa dipakai dalam kondisi-kondisi tertentu yang dianggap darurat, seperti yang saya contohkan di atas, yaitu hidup di rumahnya seorang yang bukan muhrim (yang juga karena terpaksa), atau mau menitip- kan ke orang yang bukan muhrim untuk digendong di hutan yang gelap atau jalanan yang terjal
....dan seterusnya.
Maya Zahra: Melihat dari apa yang terjadi, terkadang dari sisi hukumnya saja banyak yang tidak tahu, sehingga banyak juga remaja yang menyalahgunakannya. Contohnya saja masih banyak yang tidak tahu bahwa mut’ah seorang gadis harus denga) ijin ayahnya, alasan mereka karena ada fatwa marja lain yang membolehkan tanpa ijin dari ayahnya (kalo tidak salah mereka merujuk pada Hasan Fadollah, af1...kalo tidak salah ingat seperti itu), padahal ia bermarja pada rahbar. Dan selama ini yang saya kira pun bahwa laki-laki yang sudah daim walaupun tidak berada berjau- han dengan istrinya, maka ia bebas melakukan mut’ah. Lalu saat saya baca buku tsb, ternyata malah tidak diperbolehkan seorang suami yang sdh daim melakukan mutah kecuali ia berada jauh dengan istri daimnya. Untuk itu saya mohon penjelasan ustadz, sekiranya hukum ini jelas semoga tidak ada oknum-oknum yang menyalahgunakan hukum tsb. Maaf jika pertanyaan saya merepotkan...syukron...
Sinar Agama: Maya,:
(1). Seseorang itu tidak bisa menyandarkan fatwa kepada seorang marja’ hanya dengan kata- katanya. Ini pertama.
(2). Dan kalaulah fatwa sayyid Fadhlullah itu ada, maka tidak bisa diikuti oleh orang yang tidak taqlid padanya.
(3). Kalaulah ada fatwa itu, maka ia untuk wanita yang Rasyidah, bukan wanita yang hanya mencapai dewasa. Dan rasyidah/rosyiah itu adalah matang. Artinya wanita yang tidak mengejar nafsu dan tahu kemaslahatan dirinya di masa kini dan masa datang. Artinya tidak bisa ditipu nafsunya dan apalagi orang lain dan cowok ghombal yang cari mangsa sejak SMA atau Kuliah.
(4). Wanita yang masih bisa dengan mudah digombali, dipacari, diajak nonton, diajak jalan, dibonceng motor, dicumbu, disebtuh....dst dengan hanya sebuah kata “aku cinta kamu dan relah sehidup semati”, tidak bisa disebut wanita yang matang atau rosyidah, akan tetapi ia adalah wanita yang malang yang mengorbankan kemaslahatannya demi nafsunya.
(5). Nah, walaupun mau merujuk ke ayatullah Fadhlullah, kalaulah fatwa itu ada, maka pasti kepada wanita rasyidah/matang, karena hal ini sudah kaidah fikih dan tempatnya kemungkinan bedanya fatwa, bukan di wanita yang tidak matang/rasyidah. Malah sebagian marja’ seperti ayatullah Khui, mensyaratkan kemandiriannya dari sisi kehidupan dan ekonomi, terlebih dahulu selain masalah kerasyidahannya tersebut.
(6). Dan sekarang beliau sudah meninggal, dimana tidak bisa lagi diikutinya. Jadi walaupun ada wanita yang sudah matang banget, maka tidak boleh merujuk kepadanya karena sudah meninggal, walaupun ingin taqlid kepadanya.
(7). Untuk jumlah dan syarat lelaki mut’ah itu, sudah saya jawab di atas. Silahkan rujuk lagi. Dan dimana anti/Anda membaca tidak bolehnya mut’ah bagi lelaki yang berada di dekat istrinya?
Maya Zahra: Saya baca di buku Perempuan dan hak-haknya dalam islam karya muthadha
muthahhari (penerbit lentera). Nanti kalo saya bawa bukunya saya tuliskan hadisnya. Syukron penjelasannya ustadz.
Haera Puteri Zahrah: Ustadz bagaimana pernikahan yang beda paham bisa atau tidak? 2) Jika sekiranya dalam mut’ah itu terlahir anak apakah anak itu berhak juga mendapat warisan dari orang tuanya. Syukron sebelumnya.
Sinar Agama: Maya: Ok, ana tunggu.
Sinar Agama: Haera,:
(1). Kalau lelakinya Syi’ah maka tidak masalah, tapi kalau wanitanya yang Syi’ah maka ada yang tidak membolehkan dan ada yang memakruhkan, tergantung marja’nya.
(2). Anak dari mut’ah tidak beda dengan anak dari kawin daim, termasuk hak nafakah (seperti makan, baju dan sekolah dan lain-lain) yang harus dipenuhi oleh ayahnya dan begitu pula ia berhak mendapatkan warisan orang tuanya.
Bande Husein Kalisatti and 28 others like this.
Haladap Saw: SALAM USTAD izin share, ya.
Halimah Aliyah Az-Zahra: Jazakallah, Ustadz...
Yusuf Salam: Terimakasih, dokumentasi diskusi yang bagus...izin copas ustaz...
Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. Tulisanku selama untuk kebaikan dan tidak untuk bisnis, maka silahkan digunakan dalam bentuk apapun, baik sha- re, copy, print dan seterusnya.
Besse Tanra Wajo: Salam Ustad. Izin copas...
Sinar Agama: Besse: SIlahkan saja.
Besse Tanra Wajo: Syukron Ustad.
Sinar Agama: Maya, salam dan terimakasih perhatiannya, maaf karena kelupaan hingga tidak terjawab.
(1). Sepertinya Maya harus lebih teliti membaca buku tsb. Karena ruh dari pada buku itu bukan melarang mut’ah bagi orang yang sudah punya istri dan istrinya dalam jangkauannya. Tapi menerangkan folosofis dari diturunkannya hukum mut’ah itu. Yakni bahwa Islam bukan agama yang merangsang penghamburan nafsu sex. Jadi, maksud awal dari halalnya mut’ah itu adalah untuk yang belum mampu kawin daim (tapi dengan janda, sebab kalau dengan bukan janda harus ijin ayahnya dengan jelas) atau yang sudah punya istri tapi jauh dari istrinya. Ini maksud pertama hukum mut’ah itu. Akan tetapi bukan berarti ia melarang orang yang mau menghamburkan nafsunya. Mirip dengan makan, maka Islam menghalalkan makanan akan tetapi bukan untuk makan ini dan itu sepuas-puasnya. Makan dalam Islam adalah untuk kese- hatan dan seperlunya dan kalau perlu sederhana. Akan tetapi tidak melarang orang yang ingin menjadi mirip binatang yang hanya mengandalkan halal lalu makan terus dan makan terus.
(2). Jadi syahid Muthahhari ra sedang berusaha menjelaskan kepada kafirin bahwa Islam bukan agama yang menganjurkan nikah mut’ah bagi yang tidak perlu hingga mengorbankan para wanita. Tapi tujuan pertamnya adalah memudahkan yang kepepet. Jadi, Islam mengajarkan kezuhudan akan tetapi juga memberikan jalan keluar bagi kebuntuan, bukan mengajarkan dan merangsang umat untuk menjadi pemburu nafsu sex. Nah, itu yang diterangkan oleh beliau ra. Bukan mau menerangkan haramnya bagi yang tidak perlu.
(3). Tentang hadits imam Ja’far as itu sudah jelas tekanannya kepada ketidakdiharapkannya seseorang yang tidak kepepet untuk melakukan mut’ah. Yakni bukan pengharaman. Itulah mengapa Maya harus berhati-hati membaca buku itu, yakni harus fokus dan menyambungkan atau menghubungkan semua kata-kata di buku itu dari mukaddimahnya sampai ke akhirnya. Jangan hanya di ambil satu halaman lalu melupakan halaman lainnya. Dan, karena itu pulalah mengapa seseorang yang bukan mujtahid harus taqlid kepada marja’. Karena sudah pasti tidak akan memahami hadits-hadits para makshum as karena tidak punya alatnya. Contohnya di hadits ini. Artinya sergahan imam kepada muridnya itu, bermakna kemakruhan atau ketidakafdhalan, bukan pengharaman.
(4). Buku beliau ra itu juga dalam rangka ingin menangkis serangan kafirin yang mengatakan bahwa Syi’ah sangat merangsang mut’ah seperti berpahala ini dan itu, begini dan begitu ...dan seterusnya. Karena itulah hadits-hadits rangsangan terhadap mut’ah itu dihadapkan dengan hadits-hadits yang terlihat melarang atau tidak merangsang mut’ah. Artinya, serangan ransangan itu ditangkal dengan hadits larangan (makruh) atau tidak utama, bukan haram.
(5). Dari dua hadits yang nampak bertentangan itu, yaitu hadits rangsangan mut’ah dan larangan bagi yang tidak perlu dan kepepet, lalu ditambah dengan pelarangan Umar, maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari hadits rangsangan itu sekedar memerangi dakwah sebagian orang yang telah mengharamkan mut’ah. Artinya untuk menangkal penghapusan hukum ini. Karena itu maka dikatakan misalnya, pahala mut’ah itu seperti syahid (seingat saya) dan semacamnya. Yakni yang mut’ah itu berarti berjuang mempertahankan hukum Tuhan yang diturunakn kepada Nabi saww dimana sedang diusahakn oleh sebagian orang untuk dihapus.
Jadi ruh buku itu adalah mau mendudukkan hadits rangsangan itu, pada poin perjuangannya, bukan para rangsangan pengumbaran syahwat binatangnya. Akan tetapi di lain pihak, bukan untuk mengharamkannya. Jadi kalau didapat kata tidak boleh, berarti tidak diutamakan atau makruh. Pahaman seperti ini akan dapat dipahami manakala semua buku itu dihubungkan semuanya, artinya tidak dipenggal-penggal.
(6). Untuk hadits imam Ali as itu (yang melarang mut’ah), maka Maya fatal di sini. Karena syahid Muthahhari ra benar-benar menolak hadits yang diriwayatakn Sunni itu karena bertentangan dengan hadits-hadits lainnya sebagaimana dikutip sendiri oleh beliau ra di kitabnya itu. Yakni beliau menerangkan mengapa hadits larangan mut’ah dari imam Ali as yang diriwayatkan Sunni itu tidak bisa dipakai.
Tapi beliau ra mengatakan bahwa kalaulah mau dishahihkan, yakni kalaulah, maka maknanya bukan ini dan itu sebagaimana yang diterangkan oleh penukil hadits yang beliau nukil itu (Sunni), akan tetapi maknanya begini dan begitu menurut beliau ra dan para ulama Syi’ah lainnya. Begitulah yang ada di kitab tsb.
Kesimpulan: Beliau tidak mau menerangkan haramnya mut’ah bagi yang tidak kepepet, akan tetapi mau menerangkan bahwa Islam bukan ajaran yang merangsang umat untuk menghambur- kan syahwatnya seperti binatang dengan menghamburkan mut’ah yang tidak perlu walau sudah dengan janda atau dengan perawan yang sudah diijinkan walinya sekalipun. Itu saja. Wassalam.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar