Sabtu, 29 September 2018

Beda Adil dan Makshum






Seri tanya-jawab antara Dadan Gochir dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, June 22, 2011 at 2:36 am



Dadan GochirSalam, ..................................., terus untuk menjadi marja/marja yang lebih a’lam dan adil harus ada kesaksian dari mujtahid lain, bagaimana kita tau atau mujtahid lain tau seorang marja tidak melakukan dosa besar & kecil, karena kita tau dosa bisa di dilakukan sendirian..apakah dikembalikan kepada Allah atau gimana?


Atau yang a’lam dan adil meniscayakan tidak mungkin melakukan dosa sedikitpun, karena pengetahuan mereka akan dosa..atau gimana ustad , afwan.



Sinar AgamaUntuk kesaksian akan dosa tidaknya seseorang, baik ia orang biasa yang akan jadi saksi cerai, saksi pengadilan, imam shalat, marja’, wilayatulfakih mutlak ...dan seterusnya, sama dengan kesaksian ilmu di atas. Akan tetapi justru lebih mudah. Karena kalau untuk kesaksian tentang ijtihadnya atau kelebih a’lamannya harus disaksikan oleh ulama dan mujtahid yang biasa disebut dengan Ahlulkhibrah, akan tetapi dalam kesucian dari dosa besar dan kecil ini cukup disaksikan oleh semua orang, baik awam atau alim.

Artinya, semua orang bisa menjadi saksi dan tidak harus ulama. 



Namun kesaksian ini adalah kesaksian manusia. Artinya yang diwajibkan Allah untuk menyaksikan keadilannya, adalah kesaksian lahiriah dan sejauh bisa dikenali. Jadi tidak menyangkut hati seperti riya’ tidaknya, atau tidak menyangkut hal-hal yang pribadi seperti ketika ia sendiri di dalam kamar misalnya. 

Salah satu beda antara adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil) yang biasa disebut dengan makshum dari dosa ini dengan makshumnya para nabi as dan imam as, adalah bahwa ketidakberdosaan adil adalah bersifat lahiriah, dan ketidakberdosaan makshum adalah lahir batin. 

Bukan maksud dari lahiriah dan lahir batin itu adalah yang adil tidak dosa lahiriah tapi batinnya berdosa, dan makshum itu tidak dosa lahir batin. Bukan itu. Tapi maknanya, keyakinan kepada ketidakberdosaan kita kepada adil itu bisa disandarkan kepada lahiriahnya saja, tapi pada yang makshum tidak bisa hanya menyandarkan diri pada lahiriahnya saja. 

Jadi, kalau adil, cukup kesaksian lahiriah, tapi kalau makshum harus mencari data-data yang bisa menembus batin mereka, seperti ayat-ayat dan hadits-hadits yang menyaksikan kemakshuman mereka (para nabi dan imam). 

Memang, dalam penerapan adil, bermacam-macam. Misalnya orang yang tahu dirinya tidak adil karena masih melakukan dosa, baik besar atau kecil, tapi kalau diyakini orang lain sebagai adil dan mereka ingin bejamaa’ah dengan kita dengan alasan keyakinan mereka itu, maka bisa dilayani. Artinya, dia yang tahu dirinya tidak adil itu, bisa melakukan shalat jama’ah dan shalatnya tidak batal dengan syarat diyakini makmumnya sebagai adil. 

Akan tetapi adil dalam penceraian, harus adil hakiki. Yakni di samping kesaksian lahiriah orang yang ingin menjadikannya saksi cerai, ia juga harus yakin dengan keadilan dirinya sendiri. Karena kalau adil yang dipakai disaksi cerai harus hakiki dimana kalau tidak, maka cerainya batal. Jadi, kalau yang dipercaya adil itu tahu dirinya tidak adil, maka ia telah melakukan dosa dan ia tahu kalau cerai itu batal dan kalau si istri kawin lagi, maka ia tahu kalau itupun batal dan zina. 

Akan halnya siapa yang akan menanggung dosanya, maka bukan yang meyakini itu. Karena ia telah melakukan sesuai dengan perintah agama, yakni meyakini keadilan saksi tersebut karena sudah melihat lahiriahnya tiap saat. Jadi, orang lain, termasuk yang cerai, selama belum tahu bahwa 2 orang saksinya itu tidak adil, maka ia syah dalam cerainya dan si perempuannya boleh kawin lagi. Tapi kalau ternyata nanti tahu bahwa pada waktu menjadi saksi itu kedua orang itu atau salah satunya, tidak adil, maka ia harus membatalkan kawin ke duanya itu dan menuntut suami pertamanya untuk menceraikannya lagi. Jadi, semua dosa dari hubungan itu, yang tidak dosa bagi pelakunya karena tidak tahu, sangat mungkin akan ditanggung saksinya yang tahu dirinya tidak adil itu. 

Tapi merepotkan orang, terutama si istri, yang harus membatalkan kawinnya dengan suami ke dua yang mungkin sudah punya anak itu, dan meminta suami pertamanya untuk menceraikannya lagi, maka semua kerepotan ini yang menurut saya jelas dosa, sudah pasti akan ditanggung oleh saksi-saksi palsu itu. 

Salah satu beda antara adil dan makshum adalah kalau adil cukup bersih dari dosa (dimana hal ini juga dapat dikatakan makshum dari dosa atau makshum shaghir atau makshum kecil), akan tetapi kalau makshum, atau makshum kabir, atau makshum besar, adalah harus bersih dari dosa dan kesalahan lainnya yang tidak dosa sekalipun. 

Maksudnya, kalau seseorang melakukan kesalahan, tapi tidak sengaja (tahu hukum tapi tidak tahu obyeknya, misalnya tahu bahwa makan harta orang lain itu haram, tapi ia telah memakannya dengan ketidaktahuannya bahwa harta tersebut milik orang lain), dan tidak semi sengaja (tidak tahu hukum hingga salah dalam prakteknya, dimana biasanya dosa dari hal ini tidak diangkat, misalnya ia makan riba dan tidak tahu kalau riba itu haram), maka ia sudah bisa dikatakan adil hakiki dan tidak melakukan dosa secara hakiki. Karena kesalahannya itu tidak disengaja, karena ia telah belajar dan tahu hukum, tapi salah dalam melihat obyeknya, seperti shalat dengan keyakinan bajunya bersih dari najis yang dia ketahui macam-macam najis dan hukumnya itu, akan tetapi tidak tahu kalau di bajunya itu ada salah satu najis yang menempel di bajunya. Atau seorang mujtahid yang telah berijtihad dengan segala persyaratannya dan sudah melakukan kehati-hatian, akan tetapi secara tidak sengaja, fatwanya salah. Begitu pula para muqallid yang taqlid kepadanya. Mereka ini, tetap dikatakan adil, karena tidak melakukan kesalahan dengan sengaja hingga tidak bisa dikatakan berdosa. 

Akan tatapi makshum, tidak bisa hanya mencukupkan diri dengan bersih dari dosa itu. Karena makshum ini sifat yang harus ada pada pembawa syariat, baik pencetus seperti nabi atau penerus seperti imam. Artinya, kalau mereka tidak bersih dari kesalahan yang tidak sengaja ini, maka tak seorangpun di muka bumi ini yang bisa meyakini bahwa ajarannya itu benar-benar dari Tuhan seratus persen tanpa kesalahan sedikitpun, baik disengana atau tidak. Karena itu mereka harus makshum dari kesalahan yang sengaja atau semi sengaja (dosa) dan dari kesalahan yang tidak sengaja sekalipun. 

Untuk bersih dari dosa bagi yang adil dan makshum itu, harus dari ikhtiarnya sendiri-sendiri, karena kalau tanpa ikhtiar, maka tidak layak menjadapat pujian dan pangkat. Tapi bersih dari kesalahan yang tidak sengaja, seperti lupa, maka bisa saja dijaga oleh Allah dan tidak mengurangi sedikitpun fadhilah dan keutamaan orang makshum dari yang tidak makshum. 

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa bersih dari dosa itu tidak hubungannya dengan tingginya ilmu seseorang seperti mujtahid atau ilmu makshumin. Yang diperlukan hanyalah tahu hukum fikih dari amal-amal dan perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan sehari-hari. Karena itu semua orang harus makshum dari dosa yang disengaja atau semi sengaja ini. Karena itulah dalam Syi’ah belajar fikih keseharian itu wajib hukumnya dan yang tidak belajar maka ia telah melakukan dosa, bukan hanya tidak melakukan yang utama, tapi benar-benar telah melakukan dosa. 

Semoga penjelasan ini dapat membuka benang bulet (bc: kekurangpahaman) yang antum hadapi, amin dan wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar