Sabtu, 29 September 2018

Sekelumit Tentang Wilayatulfakih

Sekelumit Tentang Wilayatulfakih {lanjutan catatan: Taqlid dan kelebihpandaian (a’lam) marja}





Seri tanya-jawab Al Louna dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, June 18, 2011 at 11:33 pm




Adlh Murid Sejati: Salam wr. wb. ...mau tanya tentang konsep wilayatul faqih, syukron jawabannya. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Wilayatul fakih itu adalah wewenang para fakih. Pendek kata wewenang para marja’. 

(2). Marja’ adalah orang yang mencapai derajat ijtihad dan adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil). Orang seperti ini, adalah wakil imam Makshum as yang ditunjuk dengan kriteria. Yakni mujtahid, adil dan tidak serakah pada dunia. 

(3). Sekarang, wewenangnya ini sejauh apa? Ada dua pandangan: Pertama, Mutlak (merupakan fatwa mayoritas mujtahid). Yakni marja’ itu menempati posisi imam makshum as dalam sosial karena memang mewakili mereka as. Karena itu harus mengatur masyarakat sejauh masyarakatnya menginginkannya, karena tidak ada paksaan dalam Islam. Karena itu, harus melakukan seruan perjuangan (sesuai dengan kondisi masing-masing tempat dilihat dari keluasan oyek yang akan diperjuangkannya) bila ada penindasan terhadap Islam dan masyarakat. Baik diikuti atau tidak. Dan kalau diikuti, maka harus membuat perjuangan membela Islam dan yang lemah sesuai dengan hukum-hukum islam. Dan kalau sudah berhasil dalam perjuangannya, dan telah pula membuat negara Islam (karena didukung masyarakat), maka harus pula menerapkan hukum Islam seperit qishash dan apa saja dalam sebuah sosial dan negara islam. Jadi, kewajibannya adalah menyeru kepada perjuangan membela Islam dan muslimin tanpa paksa, dan kalau diikuti orang dan berhasil, maka harus membuat negara Islam yang juga tidak boleh tanpa paksa.

(4). Ke dua, Tidak Mutlak. Yaitu yang mengatakan bahwa marja’ itu hanya memiliki wewenang memberi fatwa dan mangatus sedikit tentang sosil yang berupa pengaturan khumus, zakat, wakaf dan semacamnya. Jadi kalau dia berfatwa bahwa pembunuh itu harus dibunuh, bukan berarti harus dibunuh betulan. Tapi harus menunggu imam Mahdi as. Karena bagi mereka perjuangan membela Islam dan muslimin itu tidak boleh dan, apalagi mendirikan negara Islam. 

(5). Jadi, walaupun mereka -yang tidak mutlak itu- melihat para wanita diperkosa dan muslimin dibunuhi, maka mereka tidak boleh mengumandangkan suara perjuangan dan apalagi menegakkan negara Islam. Dan kalau berteriak dan berjuangpun, hanya untuk membela hak diri dari perkosaan dan pembunuhan itu. Artinya, kalau orang zhalim itu tidak memperkosanya dan tidak membunuhnya, sudah cukup, sekalipun di dunia ia melakuakn kekejaman dan kemungkaran. Inilah kira-kira pandangan wilayah faqih yang tidak mutlak itu.

(6). Kalau mereka ini melakukan hal seperti itu memang disebabkan ijtihadnya, yakni murni ijtihad dan bukan karena rasa takut, dengki kepada wali faqih dan semacamnya, atau karena menaklidi mujtahid yang seperti itu (bagi yang tidak ijtihad), maka masih tergolong muslim dan Syi’ah. Artinya di dunia ini, kita tidak bisa menghukumi mereka apa-apa. Jadi urusannya kita serahkan kepada Allah. Entah bagaimana mereka nanti menghadapi wanita-wanita yang diperkosa di depan mata mereka dan orang-orang yang dibunuhi itu, serta bagaimana menghadapi pertanyaan Tuhan terhadap kekacauan hukum sosial dan negara karena mereka tidak membolehkan membuat sistem negara yang sesuai Islam dan hukum Tuhan itu. 

(7). Akan tetapi bagi yang mutlak, keyakinan ini sangat dalam dan mendasar, bahwa Islam diturunkan Tuhan untuk mengatur umat manusia seperti menegakkan keadilan di segala bidang (ekonomi, budaya, politik ...dan seterusnya) dan memberantas kebatilan serta penganiayaan. Tentu saja tanpa dengan usaha-usaha pemaksaan seperti para terorist itu. Jadi, mengajak umat dengan bijak dan argumentatif tanpa boleh ada paksaan sedikitpun. Sementara masalah imam Mahdi as itu adalah masalah janji Tuhan untuk kemenangan di seluruh permukaan bumi ini. Jadi, jauh beda antara tugas di setiap tempat sesuai dengan kondisinya masing-masing, dengan imam Mahdi as yang merupakan janji Tuhan untuk kemenangan di seluruh dunia, bukan hanya di tempat-tempat tertentu. 

Artinya, bukan berarti sekarang tidak boleh berjuang. Jadi, kewajiban sekarang dalam membela Islam, sama persis dengan kewajiban membela islam ketika nanti imam Mahdi as telah datang. Dan, jangan dikira, orang yang tidak berjuang sekarang, nanti pasti berjuang dengan imam Mahdi as. Karena bisa saja ada keraguan di dalam hatinya terhadap beiau yang membuatnya tidak mau berjuang bersama beliau as. 

Misalnya, beliau as mengatakan bahwa perjuangan sebelum beliau as adalah kewajiban yang mereka tidak laksanakan. Nah, kalau mereka menerima teguran ini dan bertaubat, maka ia akan masuk di dalam tentaranya, tapi kalau tidak, maka sebaliknya. Semoga saja Allah membimbing kita ke jalan imam Mahdi as yang hakiki, . 

Tambahan: Dalam urusan agama Islam dan selainnya, yang penting adalah Islam. Dalam urusan madzhab antara Syi’ah dan lainnya, yang penting Syi’ah (tentu bagi pengikutnya). Tapi dalam Syi’ah taqwa dan peduli dengan lingkungannya sesuai dengan hukum-hukum Islam yang tidak pernah libur, dengan yang lainnya, maka di sini tidak bisa dikatakan bahwa yang penting adalah Syi’ah, sehingga dengan demikian para penakut dan penyinta dunia yang tidak peduli dengan derita islam dan umatnya (dari orang-orang Syi’ah) menyembunyikan dirinya. Karena itu, ketahuilah bahwa Syi’ah itu bukan satu-satunya ukuran masuk surga, tapi ketaatan di dalamnya dan kepedulian kepada Islam dan muslimin adalah ukurannya. 

Wassalam. 

Dadan Gochir: Salam, berarti untuk indonesia yang saya tangkap dari catatan ustadz adalah tidak mutlak (4) ya..terus untuk menjadi marja/marja yang lebih a’lam dan adil harus ada kesaksian dari mujtahid lain, bagaimana kita tau atau mujtahid lain tau seorang marja tidak melakukan dosa besar&kecil, karena kita tau dosa bisa dilakukan sendirian..apakah dikembalikan kepada Allah atau gimana? 

Atau yang a’lam dan adil meniscayakan tidak mungkin melakukan dosa sedikitpun, karena pengetahuan mereka akan dosa..atau gimana ustad , afwan. 

Sinar Agama: Gochir, Antum salah memahaminya: Wilyatulfakih mutlak itu tidak mengenal batasan-batasan negara dan tidak mengenal batasan penerapan. Persis seperti imamah itu sendiri. Apakah kalau imam tidak memegang kekuasaan dan tidak memiliki negara Islam (karena tidak didukung umat), lalu konsep keimamahannya atau ketaatannya menjadi terbatas pada masalah-masalah selain politik? 

Dengan demikian, karena wilayatulfakih ini adalah wakil mutlak imam makshum as (tentu selain memulai perang), dan karena ketaatan pada imam makshum as itu tidak dibatasi kekuasaan, maka taat pada wilayatulfakih itu juga demikian. Karena itu kita mesti menaati wilayatulfakih secara mutlak, baik pribadi atau politik, baik mereka memiliki kekuasaan/negara atau tidak, dan baik mereka itu senegara dengan kita atau tidak serta baik di negaranya negara islam dan di negara kita bukan negara Islam. 

Nah, dari sisi ketaatan kita kepada wilayatulfakih itu tidak beda dan tidak bisa dibedakan dengan bedanya keadaan wilayatulfakih atau bedanya keadaan para pengikutnya. 

Yang berbeda itu hanyalah perintah wilayatulfakih itu. Artinya, beliau sebagai marja’ dalam segala bidang, maka akan memberikan fatwa-fatwanya dalam urusan politik, sesuai dengan keadaan para pengikutnya. Misalnya, di Iran wajib mempertahankan negara Islam Iran dan maju perang ketika diserang musuh. Tapi kewajiban itu tidak ada pada Syi’ah di Indonesia sekalipun sama- sama taqlid kepada satu marja’ yang disebut wilayatulfakih itu (yang dalam hal ini adalah Rahbar hf). Akan tetapi ada fatwa-fatwa agama yang berkenaan dengan sosial dan politik Islam yang memang tidak mengenal batas negara dan keadaan. Misalnya muslimin diwajibkan untuk bersatu dan menjaga persatuan dimana kalau membuat perpecahan maka telah melakukan dosa besar. Nah, fatwa politik Islam ini, wajib dilakukan oleh orang-orang yang ada di Iran dan di lain Iran, seperti Indonesia. 

Dengan penjelasan di atas, maka pemahaman antum tidak benar dalam memahami wilayatulfakih itu. Harap teliti. 

Untuk kesaksian akan dosa tidaknya seseorang, ...(dilanjutkan di catatan no. 83. Beda adil dan makshum - seri tanya-jawab antara Dadan Gochir dan Sinar Agama) 

Abdul Malik Karim: Maaf boleh tanya, siapa wali faqih setelah wafatnya wakil imam Mahdi terakhir dan sebelum Khomeini? 

Dadan Gochir: Amin, Terimakasih ustadz ilmunya..semoga ustadz selalu dalam lindungan Allah. 

Dadan Gochir: Ustadz ada wahaboy datang..perusak acara. 

Abdul Malik Karim: Loh orang tanya kok dianggap merusak? Bertanya salah satu cara mencari ilmu, 

Tuan Taajiir: A.M. Karim @ pepesan kosong ngapain di tanggepin, entar ketularan sakit nt wkwkwkwkwkwk. 

Sinar Agama: Malik: he he masih aktif nih,,, kalau antum baca tentang tulisan di atas, maka sudah jelas jawabannya. Karena semua marja’ itu adalah walifakih. Akan tetapi karena belum punya pemerintahan yang disebabkan belum adanya dukungan, maka mereka seperti para imam makshum as yang tidak punya negara. Karena itulah dalam Syi’ah menjadi mujtahid itu adalah wajib kifayah. Karena tidak boleh ada jaman yang tidak ada mujtahidnya. Artinya tidak boleh ada jaman yang tidak ada wilayatulfakihnya. 

Sinar Agama: Kidung, di Syi’ah, belajar 20-30 tahun belum tentu bisa jadi mujtahid, padahal mujtahid itu hanya dalam bidang fikih. Belum lagi kalau mau menguasai filsafat dan lain-lainnya. 

Yang fikih keseharian itu adalah ilmu dasar yang membuat tidak berartinya lmu-ilmu lain tanpanya. Biar membahas filsafat dan irfan dan apa saja, tapi fikih kesehariannya tidak kuat dan apalagi tidak diamalkan, maka semuanya itu sia-sia. Beda halnya kalau fikih kesehariannya dipelajari dengan benar sesuai dengan fatwa marja’nya, lalu diamalkan, maka ia akan mendapatkan banyak ilmu rasa. Artinya ia bisa ke irfan dan makna-makna, walau tidak mengerti peristilahan ilmiahnya. 

Dadan Gochir: Ikut bertanya fikih, ustad maksud terbit matahari waktu akhir subuh..apakah terbit matahari itu mulai terlihatnya matahari di ufuk timur atau bagaimana, bagaimana kalau yang jauh dari laut..sekalian waktu awal subuh apakah ada perbedaan suni dan syiah? 

Sinar Agama: Akhir shubuh adalah munculnya matahari di ufuk timur, baik di lihat dari pinggiran laut atau tidak. Sedang awal shubuh antara Syi’ah dan Sunni tidak ada perbedaan kecuali di tanggal 13-22 setiap bulan hijriah, maka untuk shalatnya diakhirkan sekitar 15 menit, tapi untuk imsak puasa harus dari sejak adzan yang umum di Sunni itu. Tapi di lain tanggal itu sama saja baik shalat atau imsak puasa. Tentu saja mendahulukan imsak dari adzan shubuh sangat dianjurkan. 

Dadan Gochir: Terimakasih ustadz.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar