Sabtu, 29 September 2018

Akhlak dan Fiqih



Seri tanya jawab: Zainab Nainawa dan Sinar Agama


Zainab Naynawaa: Salam, semoga ustad senantiasa diberikan keberkahan... Afwan Ustad pertanyaan banyak nich. Apakah ahlak dan fiqih bisa dipisahkan? Jika akhlak tidak dibarengi pengamalan fiqih yang benar apakah akan mencerminkn ahlak yang baik? Jika pengamalan fiqihnya benar mungkinkah tidak memiliki ahlak baik? 

Hidayatul Ilahi: Adakalanya fiqih di atas akhlak, dan adakalanya akhlak di atas fiqh....fiqh dan akhlak saling menghargai.....(kata seorang teman)....afwan. 

Salam sejahtera untuk uztad sinar agama....salam juga dari kakanda saya,,salam sejahtera untuk ukhti zainab.... 

ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD,WA AALI MUHAMMAD. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Sepertinya saya sudah sering menjelaskan hal ini. 

(2). Akhlak, kalau yang dimaksudkan dalam hadits Nabi saww yang bersabda: “Aku diutus Tuhan untuk menyempurnakan Akhlak”, maka akhlak ini mencakup semua ajaran Islam. Karena itulah yang dibawa Nabi saww. Jadi, masuklah akidah, fikih, akhlak, politik, ekonomi, budaya, ilmu-ilmu Qur'an dan hadits .....dan seterusnya. Karena semua itu adalah akhlak kita pada Allah, diri sendiri, keluarga dan sosial serta negara dan dunia internasional. 

(3). Akhlak, kalau yang dimaksudkan adalah ilmu akhlak yang merupakan bagian-bagian ilmu keIslaman, seperti akidah, fikih, sejarah ...dan seterusnya, maka ia memiliki makna tersendiri. 

Makna umum dan awamnya adalah berakhlak baik, baik pada diri sendiri, Tuhan, keluarga dan sosial kita. Tentu saja yang dimaksudkan adalah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan halal dan haram serta wajib. Artinya diluar ketentuan fikih yang dalam artian halal, haram dan wajib. Artinya yang bersifat baik dalam sikap dan akhlak, bukan wajib atau haram. Gampangannya yang bagian fikih tapi yang sunnah-sunnahnya. Seperti senyum pada orang, memaafkan orang, mendahului mengucap salam, menghormati orang (sopan), mengalah, tidak emosian, pemurah, mendahulukan orang lain ....dan seterusnya. 

Makna ilmiahnya adalah karakter manusia, baik itu karakter baik atau karakter buruk. Jadi, akhlak di sini tidak lagi bermakna yang baik-baik, tapi maknanya adalah kebiasaan seseorang. Akhalk di sini bermakna “karakter”. 

(4). Untuk Akhlak makna pertama di bagian ke dua ini, yakni sebagai ilmu yang berdampingan dengan akidah dan seterusnya, dan yang bermakna berlaku baik pada orang lain atau diri sendiri ini, maka posisinya sudah tentu di bawah fikih sebagaimana ia juga dibawah akidah. Karena itu, tidak akan berarti akhlak seseorang kalau akidahnya atau fikihnya belum beres. 

Senyum pada orang, atau mengucap salam terlebih dahulu, sekalipun memiliki pahala kesunnahan, akan tetapi kalau akidahnya atau fikihnya belum benar, seperti tidak shalat, atau shalatnya tidak benar, atau wudhu’nya atau cara membersihkan najisnya belum benar sehingga shalatnya batal, maka pahala senyuman dan mendahului salam itu tidak akan pernah mengatrol dosa atau kekurangan yang diakibatkan oleh batal shalatnya itu. 

(5). Untuk Akhlak dalam arti karakter yang tidak terikat dengan kebaikan saja, maka sudah tentu akhlak di sini adalah bagian ilmu psikologi. Artinya dalam posisi aplikatifnya, tidak bisa dibandingkan dengan akidah dan akhlak. Ringkasnya Akhlak dalam makna ke dua di golongan ke dua ini hanya bersifat ilmu tentang karrakter manusia dan bagaimana bisa membuat karakter bagus dan menghindari karakter buruk. Jadi ia adalah teori yang tidak layak dibandingkan dengan akidah dan fikih yang aplikatif tersebut hingga kemudian bisa dinilai apakah ia di atas keduanya atau di bawah keduanya. 

(6). Untuk Akhlak dalam makna golongan pertama, maka ia adalah Islam itu sendiri. Artinya ia bukan bagian dari ajarannya hingga dibandingkan dengan yang lainnya. Yakni ia bukan bagian seperti akidah, fikih, tafsir, psikologi islam, hadits ...dan lain-lainnya. Tapi ia adalh semua semua itu. Karena itu Nabi saww datang untuk menyempurnakan semua itu dengan Islam tersebut. 

Dengan semua penjelasan itu, maka akhlak yang dimaksud dalam pertanyaan Anda itu adalah akhlak yang bermakna umum dan di golongan ke dua (bukan yang bermakna islam secara utuh sebagai ajaran penyempurna akhlak yang dibawa Nabi saww). Yakni berbuat baik yang, biasa dikatakan dalam fikih sebagai sunnah-sunnah. 

Nah posisi akhlak yang bermakna demikian ini, kalau dibanding fikih, maka jelas ia berada di atas fikih. Karena ia di atas halal dan haram. Artinya ia adalah hukum sunnah itu. Artinya perbuatan lebih dan tambahan dari seorang hamba setelah melakukan kewajibannya. Nah, dari sisi ini, akhlak ini jelas di atas fikih, yakni di atas wajib (Akan tetapi, dari sisi bahwa sunnah itu juga termasuk fikih, maka akhlak yang seperti ini, juga bagian dari fikih. InsyaAllah, di bahasan berikutnya –di bawah- akan kita bahas lagi tentang akhlak ini, bahwa ia adalah dimensi lain dari cara memandang masalah perbuatan manusia. Sebab akhlak dalam bahasan ini, adalah pandangan kita terhadap perbuatan manusia, dilihat dari sisi baik-tidaknya saja, tanpa membawa-bawa pahala, surga dan neraka. Karena logikanya, hanya apa yang dianggap baik dan buruk dari perbuatan manusia, bukan hukumnya, pahalanya atau dosanya. Btw.). 

Akan tetapi dilihat dari masing-masingnya, yakni kalau kita tidak melihat akhlak tersebut sebagai pelengkap dari fikih yang bermakna wajib dan halal, maka jelas akhlak ini berada di bawahnya. Karena tanpa melakukan kewajiban, dan tanpa memperhatikan halal dan haramnya, maka akhlak ini tidak akan ada gunanya. Seperti orang yang suka senyum dan mencium tangan orang yang lebih tua atau mendahului dalam mengucap salam, tapi ia tidak shalat, atau shalat tidak dengan wudhu yang benar, atau shalat tapi dengan harta yang belum dibayarkan zakat dan khumusnya,.... dan seterusnya, maka jelas pahala yang akan didapat dari akhlaknya itu sama sekali tidak akan bisa menutupi lubang pelanggarannya atau kekurangannya terhadap fikih tersebut. Wassalam. 

Tambahan

Sebenarnya tidak ada perbuatan apapun yang tidak diatur oleh fikih. Karena itu akhlak yang umumnya kebaikan lebih inipun ada fikihnya, yaitu sunnah, atau kalau melakukan yang kurang baik tapi tidak haram, disebut makruh. Jadi, akhlak yang berarti melakukan perbuatan baik bisa dihukumi sunnah, dan akhlak yang bermakna meninggalkan keburukan yang tidak haram, seperti ke masjid dengan bercelana pendek atau selutut bisa dihukumi sunnah (bc: meninggalkan makruh). 

Dengan demikian, maka jelas tidak ada perbuatan apapun dari manusia ini kecuali sudah diatur dalam fikih. Akan tetapi biasanya, orang yang menghadapkan akhlak dengan fikih, atau fikih dengan akhlak, adalah wajib lawan sunnah itu, atau haram lawan makruh itu. Jadi, mereka yang mengharuskan pendahuluan akhlak di atas fikih, maknanya adalah sekalipun sesuatu itu wajib, tapi kalau menyakiti orang lain karena dianggap tidak sopan, maka “tinggalkanlah demi akhlak”. Begitu pula kalau hal itu haram, akan tetapi kalau kita tinggalkan membuat orang lain yang tidak sepaham sakit hati, maka ”lakukanlah demi ahlak”. 

Nah, membela sunnah dan makruh, dengan meninggalkan kewajiban dan/atau melakukan haram, maka ia tidak akan memiliki arti apapun di hadapan Tuhan. Apalagi kalau hanya demi membela akhlak yang bersifat budaya, seperti tidak menyakiti orang yang tidak sepaham atau tidak seiman. Ingat, menyakini di sini, bukan menyakini yang bermakna umum, melainkan hanya karena kita melakukan apa-apa yang kita yakini dari yang tidak sama dengan keyakinan, agama (kalau lain agama) atau fikih mereka (kalau sesama muslim). 

Misalnya, kalau kita shalat tidak sedekap (karena wajib tidak sedekap) bisa membuat tuan rumah yang kita kunjungi itu tersinggung, maka shalatnya dilakukan dengan sedekap. Atau ketika mau berbuka dengan hanya tenggelamnya matahari dimana hal itu jelas haram, tapi karena bisa membuat tersinggung orang yang mengundang kita berbuka, dimana hal itu makruh atau tidak akhlaki (menurut akhlak khayali mereka), maka makan buka bersama tuan rumah di waktu matahari tenggelam tanpa menunggu hilangnya mega merah di sebelah timur sampai ke atas kepala kita, adalah merupakan kemestian yang wajib dilakukan. 

Kedua amalan di atas jelas, tidak benar dan salah serta dosa. Karena itu shalatnya batal dan harus diulang lagi, sedang puasanya, juga batal dan harus diqadhaa’ serta harus pula membayar kaffarah (misalnya puasa 2 bulan berturut-turut). 

Memang kalau kita shalat dengan tangan lurus bisa dibunuh, dipukuli, diperkosa atau dirampas harta kehidupan kita (empat sebab taqiah), maka kita bisa shalat dengan sedekap dan berbuka puasa bersamaan waktu dengan waktu berpuka mereka. Tapi walaupun tidak dosa dan shalatnya syah, tetap saja puasanya harus diqadhaa’ lagi (walau tidak dosa dan tidak harus bayar kaffarat). Namun demikian, hal ini bukan lagi diatur akhlak. Yakni kebolehan bertakiahnya itu. Tapi sudah diatur fikih di bagian halal-haram atau wajib tidaknya. Wassalam lagi.

Tambahan lagi

Mungkin Anda bertanya bahwa kalau akhlak itu adalah sunnah itu, mengapa tidak dibahas di fikih saja, dan akhlak dihapus saja?

Jawabnya

Akhlak Islam, adalah suatu pendidikan Islam tentang berkarakter baik. Jadi pandangannya bukan dari sudut hukumnya. Tapi dari sudut perbuatan yang baik untuk diri sendiri, Tuhan, keluarga, tetangga dan sosial serta negaranya. Artinya, Islam memiliki aturan akhlaki dan perbuatan baik ini dalam segala lapisan manusia. Jadi, ketika membahas ini, maka tidak lagi membahas dari sudut pandang fikihnya, tapi hanya melihat baik dan tidaknya suatu perbuatan itu. Karena itu, sering juga masuk ke dalam pembahasan akhlak sekalipun ia adalah wajib dilihat dari sudut pandang fikihnya. Atau kadang haram secara fikih, tapi masuk ke dalam bagian pelajaran akhlak, yakni bagian-bagian perbuatan yang harus dihindarkan. 

Misalnya, dalam akhlak, kita dilarang mengghibah atau iri. Di sini hukumnya jelas haram dari sisi fikihnya. Tapi akhlak Islam ketika membahas akhlak, hanya melihat dari sisi tidak baiknya perbuatan itu dan efek-efek buruknya bagi manusia dan sosialnya. Begitu pula tentang menolong orang. Kadang kala dan bahkan seringnya menolong orang ini hukumnya wajib dalam fikirh, seperti menolong orang yang jatuh, tenggelam dsb. Akan tetapi ketika dibahas di akhlak, maka ia hanya menyoroti dari sudut pandang baiknya perbuatan itu dan efek baiknya pada diri dan sosialnya. Karena itulah, maka akhlak Islami ini sama sekali tidak layak dan tidak memiliki kelayakan untuk dihadapkan dengan fikih atau disejajarkan dan, apalagi dilebihkan. 

Memang, kalau semua kewajiban seseorang dari sisi fikihnya sudah lengkap dan sempurna, maka akhlak ini akan menjadi sangat berarti dan menjadi pelengkapnya, yakni melebihtinggikan derajatnya. Tapi kalau fikihnya masih amburadul, apalagi mengorbankan yang wajib atau melakukan yang haram, maka akhlak ini tidak lebih dari nyanyian syetan yang menyesatkan. Apalagi mengatakan untuk tidak melakukan fikih demi akhlak, maka ini jelas kesesatan yang nyata. Wassalam lagi. 

Hidayatul Ilahi: Alhamdulillah....syukron penerangannya ustadz,, jadi bagaimana dengan kata teman saya itu ustadz??? 

Zainab Naynawaa: Syukron atas penjelasannya. 

Sinar Agama: Ok, sama-sama. Wassalam. 

HenDy Laisa, Haidar Dzulfiqar and 23 others like this. 

Aufa Opa: Maaf ustadz.. Mau tanya benar atau tidak pernyataan salah satu ulama ini, apakah Beliau ulama syiah apa bukan ; Ibnu Babawaih Al -Qummi yang dijuluki Ash-Shaduuq – yang selalu berkata benar – mengatakan: “Keyakinan kami bahwa taqiyah adalah wajib, meninggalkan taqiyah sama seperti meninggalkan shalat, tidak boleh ditinggalkan hingga keluarnya Imam Mahdi, siapa yang meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya Imam Mahdi maka telah keluar dari agama Allah (Islam), keluar dari agama Imamiyah dan menyelisihi Allah, Rasul dan para imam.” (Kitab Al-I’tiqadat, hal. 114) 

Ana sudah coba bertanya dengan asatidz..namun kurang puas mohon penjelasannya syukron. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Aufa: 

(1). Apapun pernyataan beliau itu, atau bahkan pernyataan Tuhan dalam Qur'an dan para makshum as dalam hadits, tidak boleh dijadikan pijakan berbuat oleh orang Syi’ah secara umum. Karena orang Syi’ah itu wajib bertaqlid pada marja’. Jadi, semua amalan, baik shalat, puasa, jihad, haji, zakat, khumus ....dan apa saja, kalau dilakukan tidak berdasarkan fatwa marja’nya, maka hukumnya batal. 

(2). Untuk memahami ayat-ayat dan hadits-hadits fikih saja diperlukan waktu yang tidak sedikit. Kira-kira 30 tahun untuk mencapai derajat ijtihad atau mujtahid itu. Dan hauzah atau sekolah untuk itu, dibuka untuk umum dan bertebaran di muka bumi ini. 

(3). Dalam Syi’ah kalau ada orang yang bukan mujtahid menyimpulkan hukum atau mengatakan- nya, dan dia bersandar pada ayat atau riwayat, sementara hukum yang ia pahami dan katakan itu ternyata memang benar di sisi Allah, maka tetap saja orang tersebut melakukan dosa. Yakni dosa nekad dan tajarri. 

(4). Sekarang setelah adanya beberapa mukaddimah di atas itu, maka saya akan menjelaskan perkataan syaikh Shaduuq itu.. 

(5). Yang dimaksud kata-kata diatas itu adalah takiah itu merupakan salah satu kewajiban. Artinya ia merupakan suatu hukum yang harus ditaati. Dan hukum ketaatan tentang taqiah ini harus dengan syarat, sesuai dengan ayat taqiah dan hadits-hadits taqiah lainnya. Yaitu dengan sebab yang empat itu (takut dibunuh, dipukuli, diperkosa dan diambil harta kehidupannya). Jadi, taqiah itu bukan disembarang tempat, tapi di empat kondisi itu. 

(6). Ketika sudah terkondisi dengan satu saja dari empat kondisi di atas, maka seseorang boleh taqiah, tapi tidak wajib taqiah. Jadi, yang dilarang itu bukan tidak melakuakn taqiah, tapi mengangkat hukum taqiah dan mengatakan taqiah itu bukan ajaran Islam, misalnya. 

Kesimpulan: Boleh tidak taqiah itu harus mengikuti fatwa yang telah diambil dari ayat dan hadits dengan derajat ijtihad. Dan taqiah itu hanya di empat kondisi itu, kecuali Rahbar hf dan beberapa marja’ lain, yang menambahkan satu lagi untuk persatuan (jadi shalatnya misalnya, harus dengan cara Syi’ah tapi jamaa’ahnya bisa dengan Sunni). Kemudian yang diperangi oleh Ahlulbait as dan para ulama itu adalah orang-orang yang ingin menghapus taqiah dari ajaran Islam sebagaimana mut’ah. Jadi, bukan mewajibkan taqiah dengan maksud kalau tidak taqiah maka mati bodoh dan bukan syahid. 


Aufa Opa: Terima kasih ustadz,, doa kami selalu biar ust tetap sehat,,,, 

Sinar Agama: Zahar dan Aufa: Terimakasih banget perhatian dan doa serta shalawatnya, semoga kita selalu tidak henti-hentinya mecari dan mencari kebenaran setinggi-tingginya, dan semoga mencapai yang selalu menunggui kita dan selalu menyinari dan melapangkan jalan kita, amin... 

Bani Masyithah: Semoga berkah Allah tercurah kepadamu juga. 

Sinar Agama: Bani, terimakasih doanya, semoga Dia juga menyelimutimu dan teman-teman yang lain, amin. 

Bande Husein Kalisatti: Syukron..ustadz. 

Sinar Agama: Bande, ok, sama-sama. 

Sinar Agama: Muhammad (karena sudah terhapus dari komentar, saudara kita Muhammad ini, memberikan komentarnya bahwa yang dimaksudkan meninggalkan fikih untuk mendahulukan akhlak, yaitu seperti meninggalkan fikih tidak wajibnya memberitahu istri yang dicerai demi akhlak, yaitu dengan memberitahukannya), Antum telah membuat istilah sendiri dalam mendahulukan akhlak di atas fikh ini. Karena yang dimaukan oleh pengistilah sebelumnya adalah meninggalkan fikih. Artinya, diperintahkan untuk mengamalkan akhlak dan meninggalkan fikih demi pengamalan akhlak itu. 

Nah, kalau antum mau mendahulukan akhlak di atas fikih dalam istilah yang sebelum antum itu, dan dalam kontek antum itu (contoh), maka berarti antum hanya boleh memberitahukan istri antum telah dicerai akan tetapi tidak mencerainya. Karena harus meninggalkan fikih cerai dengan hanya mendahulukan akhlak cerai, bukan tidak melaksanakan ketidakwajiban memberitahunya. 

Yang kedua, kalau maksudnya itu adalah tidak meninggalkan fikihnya, maka itulah yang kami inginkan. Artinya, mau berakhlak kek atau tidak, yang jelas fikihnya harus dilaksanakan. Apalgi kami sudah sering menjelaskan bahwa akhlak itu nilai positif dan melebihi fikih, akan tetapi dengan syarat bahwa fikihnya harus dilaksanakan. Karena, apa artinya senyam senyum akhlaki, kalau kita tidak shalat. Apa artinya, kita suka mendahulukan salam kalau tidak puasa Ramadhan? 

Karena itulah, maka akhlak itu kalau mampu maka bisa dilaksanakan, akan tetapi setelah mengamalkan fikihnya. Dan tanpa fikih, maka akhlak tersebut tidak bisa mengimbangi dosa-dosa yang diakibatkan meninggalkan fikih tersebut. 

Lagi pula, yang dimaksudkan fikih bahwa tidak wajib memberitahu istri itu, dalam hubungannya dengan syah atau tidaknya talaq. Artinya, mentalaq istri itu, akan menjadi syah kalau sekalipun tidak memberitahu istrinya dan tanpa ridhanya sekalipun. Perhatikan fatwanya: 

مسألة 9 : ال يعترب ىف الطالق إطالع الزوجة عليه فضال عن رضاها به 

“Masalah 9: Tidak disyaratkan dalam syahnya talaq, pengetahuan istri dan apalagi ridhanya terhadap talaqnya tersebut.” 

Lagi pula, ketika fikih mengatakan bahwa tidak menjadi syarat tentang syahnya talaq, untuk mem- beritahu bekas istrinya dan mendapatkan ridhanya, maka bukan berarti tidak memberitahukan- nya bahwa ia sudah diceraikannya. Karena itu, sudah semestinya memberitahunya bahwa ia sudah diceraikan, untuk melakukan apa-apa yang menjadi kewajibannya, seperti memulai meng- hitung masa iddahnya, bahwa suaminya sudah bukan lagi suaminya dan bukan mahramnya dan seterusnya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar