Tampilkan postingan dengan label Ayat Tahrim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ayat Tahrim. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Agustus 2018

Lensa (Bgn 15): Apa Benar Nabi saww Mengharamkan Yang Dihalalkan Tuhan?



Oleh: Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:17


Ayat tahrim ini sebenarnya ayat kecaman Tuhan kepada dua istri Nabi saww. Artinya, Tuhan tidak rela Nabi-nya mengalah terus kepada dua istrinya itu. Kita tahu bahwa Nabi saww. selalu memaafkan orang, apalagi istrinya. Artinya selama masih memiliki hak untuk memaafkannya. Nah, disini, sekalipun Nabi saww. memiliki hak untuk memaafkannya, akan tetapi Tuhan tidak memaafkannya.

Baik di sunni atau di syi’ah, sebab turun ayat itu, adalah berkenaan dengan sesuatu yang dikerjakan Nabi saww. terhadap salah satu istrinya. Lalu kedua istrinya yang lain, tidak menyukainya dan bersepakat untuk menyakiti Nabi saww. Lalu ketika mereka beraksi, maka Nabi saww mengatakan bahwa beliau saww. tidak akan melakukannya lagi. Yakni tidak akan melakukan sesuatu yang dihalalkan Tuhan itu.

Jadi, haram di ayat itu bukan haram yang bermakna hukum Islam, tetapi yang bermakna kata yang, dalam bahasa Arab artinya, mencegah. Yakni Nabi saww. mengatakan bahwa beliau akan mencegah dirinya untuk tidak melakukannya lagi. Tentu saja, karena Nabi saww, sesuai dengan akhlaknya yang mulia itu, karena beliau selalu memaafkan orang yang berbuat buruk padanya selama masih bisa dimaafkan.

Dalam kejadian itu, Tuhan tidak lagi bisa menerima perlakuan buruk pada NabiNya itu. Karena itu Tuhan sendiri yang mengkondisikan (taqyid) maaf Nabi saww. ini, seperti di ayat lain yang mengatakan bahwa: “Kamu sekalipun memintakan ampun 70 kali tetap mereka tidak diampuni” (ini nukilan makna, bukan harfiah).

Dengan keterangan di atas itu, dapat dipahami, bahwa Nabi saww. bukan hendak mengharamkan secara hukum fikih yang berarti kalau dikerjakan mendapat dosa/siksa, terhadap hal-hal yang dihalalkan Tuhan. Akan tetapi bermakna, mencegah dirinya dari hal-hal yang dihalalkan Tuhan demi meredam gangguan kedua istrinya itu. Jadi, Nabi saww. tidak membuat kesalahan, seperti membuat hukum baru dan beda dari hukum Tuhan.

Dari keterangan itu pula, dapat dipahami bahwa hal-hal yang Nabi saww. mencegah diri darinya, adalah bukan sesuatu yang diwajibkan. Artinya, sekalipun Nabi saww. mencegah dirinya karena mengalah dan memaafkan buruk akhlak kedua istrinya itu, akan tetapi bukan mencegah diri dari hal-hal yang diwajibkan Tuhan. Jadi, hanya pada hal-hal yang dihalalkan,. bukan wajib. Jadi, Nabi saww. dalam hal ini juga tidak melakukan kesalahan. 

Dari keterangan di atas itu juga dapat dipahami bahwa Nabi saww. juga tidak melakukan  kesalahan dari sisi memaafkan atau mensyafaati itu. Karena dalam sunnatullah yang diterangkan dalam Qur'an, semua yang punya hak syafaat, tetapi Nabi saww, tidak akan bisa mengaktifkan syafaatnya itu kecuali dengan ijinNya. Nah, ayat di atas, befungsi pengikraran Tuhan bahwa syafaat Nabi saww untuk kedua istrinya itu tidak mendapat ijinNya.

Dari semua keterangan itu, dapat diketahui betapa agungnya akhlak Nabi saww yang berkenan memaafkan kedua istrinya yang menyakitinya dan memprotes perbuatan halalnya itu. Jadi, ayat itu, bukan saja tidak menceritakan kesalahan Nabi saww, tetapi justru menceritakan keagunangan akhlak Nabi saww.

Di lain pihak, ayat itu menceritakan betapa buruknya perlakuan kedua istri Nabi saww. tersebut. Bayangkan saja, sudah punya suami Nabi saww. tetapi tidak menghormatinya sebagaimana mestinya. Padahal, sekalipun suaminya itu bukan nabi Tuhan, sudah pasti mengganggu suaminya dalam hal-hal yang dihalalkan Tuhan itu adalah dosa, apalagi kalau suaminya itu adalah seorang nabi dan nabi pilihan lagi, yakni paling afdhalnya Nabi saww.

Dapat diraba dari ayat dan peristiwa itu bahwa sangat mungkin kedua istri tersebut, sering menyakiti Nabi saww. Karena biasanya, kalau hanya salah sekali, mungkin tidak langsung diancam dengan semacam peperangan dan juga talak. Coba baca terusan ayat di atas itu sampai ayat 3 (QS: 66: 1-3). Di ayat tiga itu, Tuhan mengancam kedua istrinya itu kalau tidak taubat.

Mungkin ada yang bertanya, kalau keduanya tidak bagus, mengapa dikawini dan mengapa tidak diceraikan saja? Jawabnya, bahwa mencari istri yang baik itu adalah kewajiban bagi kita yang lemah iman dan akhlak. Yakni kita, orang biasa, kalau punya istri yang buruk perangai maka bisa bertengkar, terpengaruh menjadi buruk juga dan atau terjadi cerai. Tetapi kalau Nabi saww. dan para nabi yang lain as., maka keharusan itu terangkat dari mereka. Karena mereka tidak akan terpengaruh, baik dalam keburukannya, atau dalam reaksinya hingga keluar dari ajaran agama. Kalau perlu, mereka mesti mencari yang terburuk untuk dijinakkan dan tidak menebarkan keburukannya kepada orang lain. Tentu saja, buruknya yang tidak sampai kepada tingkat pengkhianatan keluarga (selingkuh). Jadi, keburukan yang berkisar akhlak buruk, khianat yang bukan bermkana selingkuh, seperti membocorkan rahasia dan seterusnya.

Ayat ini, juga menjadi saksi bagi kecerobohan yang menafsirkan ayat QS: 33: 33, dimana disana Tuhan membersihkan dosa keluarga Nabi saww (Ahlulbait), sebagai istri-istri Nabi saww. Yakni mereka mengatakan bahwa keluarga yang disucikan itu, adalah istri-istrinya. Padahal ayat di pembahasan kita ini adalah ayat yang menunjukkan kedua istri Nabi saww sedang melakukan dosa besar, dan obyeknya juga tidak tangung-tanggung, yaitu Nabi saww. sendiri, yakni bukan suami biasa yang diganggunya.

Wassalam. 



Tika Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Sarah Soraya dan 16 lainnya menyukai ini.

Kamal AvicenNa: Ali bin Abi Thalib a.s pernah mengatakan bahwa, kekeruhan jama’ah jauh lebih baik daripada kejernihan individu. Kecerdasan individual pun tak akan pernah dapat mengalahkan kecerdasan sebuah jama’ah. Memang benar, perbedaan bukan sesuatu yang mustahil, namun yang diharapkan walaupun mempunyai kepentingan sendiri, jangan sampai menutupi kepentingan bersama untuk menegakkan qalam Ilahi di muka bumi.

Edo Saputra: Dengan mengikuti nabi dan ahlulbaytnya pasti kita selamat...

Aziz Laparuki: Ustadz, sama ada sedikit tanda tanya dalam hati. Dari penjelasan antum di atas seolah olah Nabi SAWW tidak maksum!? Dalam pikiranku perkataan dan tindakan nabi bahkan gerak gerik hati Nabi SAWW pun akan selalu seiring sejalan dengan kehendak Tuhan! Tolong penjelasannya Ustadz. Terimakasih...

Sinar Agama: Aziz: Baca lagi dan baca lagi, dan jangan lupa membaca Bismillaah dan shalawat sebelumnya. Kalau belum tembus juga, kalau perlu dalam keadaan berwudhu dan mengucap salam dulu pada imam Mahdi as. Semoga dapat dipecahkan. Karena menurutku dengan membacanya dengan teliti, maka problem antum bisa diselesaikan. Ingat, jangan baca tulisanku atau tulisan siapa saja, dengan gemuruh pemahaman antum dan gemuruh menolaknya. Tapi baca dulu dengan berusaha memahami yang kita maukan, baru setelah paham benar, bisa ditanyakan atau didiskusikan atau bahkan didebatkan. Tapi berusahalah dulu memamahi sesuai dengan maunya penulis.

Padil Fadilah: Allah hummasoli alla Muhmmad waalli Muhammad. 


28 Mei 2012 pukul 14:28 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ