﷽
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, December 25, 2010 at 12:18 pm
Pembukaan:
1. Suluk adalah amalan-amalan untuk mencapai Wahdatu al-Wujud. Akan tetapi, bukan berarti sekarang ini tidak wahdatu al-wujud. Karena sudah dibuktikan dengan dalil pada catatan Wahdatul Wujud 1-9, bahwa wujud memang hanya satu. Tentu saja, hal ini tidak diwajibkan secara agama. Artinya, yang tidak percaya, tidak mendapat dosa dan apalagi masuk neraka. Tidak sama sekali.
Jadi, suluk ini, pada hakikatnya, adalah cara mencapai kasyaf dan kesaksian Wahadtu al- Wujud. Artinya, cara untuk mengikis kemerasaan ada dari diri seseorang terhadap dirinya, lingkungannya dan semua dari keberadaan selain Tuhan. Dengan kata yang lebih sering dipakai adalah cara untuk mengangkat hijab “banyak” (tafriqah dan katsrah) hingga tersingkap “satu” (wahdah dan jam’ah).
Jadi, suluk adalah alat mencapai kesaksian Wahdatu al-Wujud, bukan masuk surga. Karena untuk masuk surga cukup dengan melakukan kewajiban dan menjauhi maksiat dengan ikhlash.
2. Suluk yang akan dipaparkan di sini, memiliki 10 tingkatan. Dari masing-masingnya bercabang menjadi 10 tingkatan lagi. Yang sepuluh ke dua ini juga bercabang menjadi 10 lagi, hingga menjadi 1000 tingkatan.
Akan tetapi, di sini, dipadatkan menjadi sekitar 300 tingkatan saja. Yakni dari 10 pertama bercabang menjadi 10 ke dua, dan dari 10 ke dua hanya diambil 3 tingkatan dari 10 tingkatannya. Yang diambil dari 10 ke tiga ini adalah tingkatan pertama, tengah dan akhirnya.
Tujuannya, supaya tidak terlalu melelahkan dan terlalu rinci. Begitulah yang dikatakan oleh penulis buku Manazilu al-Sairin yang saya jadikan pedoman di sini.
Tentu saja, di sini saya hanya akan mengambil tingkatan-tingkatannya saja dengan ringkasan penjelasannya (dari al-Anshari sendiri dan al-Qasani), serta berusaha menerangkanya se- mampu, semudah dan seringkas mungkin.
3. Tentu saja, banyak sekali teori yang diberikan ulama pesuluk terhadap teori suluk ini. Jadi, tidak hanya tergantung kepada teori dan tingkatan-tingkatan yang ada di sini. Teori yang di sini diambil dari kasyaf satu orang yang bernama Abdullah al-Anshari dari keturunan Abu Ayyub al-Anshari yang lahir pada tahun 396 H.Q.
4. Yang mencoba memperaktikkan pedoman ini, adalah merupakan tanggung jawabnya sendiri, baik di dunia atau di akhirat. Artinya, diluar tanggung jawab saya, apapun akibat darinya. Apakah cara ini adalah benar menurutNya, atau tidak. Kalau benar, apakah menghasilkan keberhasilan atau kegilaan dan kehancuran.
5. Yang bisa saya katakan tentang buku Manazilu al-Sairin ini adalah bahwa ia adalah salah satu buku yang juga mendapat perhatian dan terkadang dipelajarinya di hauzah syi’ah. Jadi, bagi saya pribadi, termasuk buku standar. Ayatullah Niku Noom adalah salah satu ulama kontemporer yang mengatakan bahwa buku tsb adalah buku bagus/baik dan, sekaligus beliau mengajarkannya juga.
Dan saya melihatnya, terutama di sistematikanya dan penjelasannya, memang bagus dan hebat. Tapi, sekali lagi, penilaian, praktik dan tanggung jawabnya, adalah merupakan tanggung jawab masing-masing, alias bukan tanggung jawab saya lagi.
6. Kalau tidak mau ruwet/susah tentang suluk ini, cukup dengan apa yang sering dikatakan para ulama dan guru Irfan yang secara umum itu. Yaitu, tinggalkan semua haram dan makruh dengan hati dan badan.
Setelah itu tinggalkan yang halal dengan hati, yakni kesukaannya (bukan ketergantungannya, karena ketergantungan jauh lebih parah dari suka).
Setelah itu, tinggalkan dengan hati pula apa saja yang dianggap baik, dari karamat, kasyaf, surga, al-Lauhu al-Mahfuzh dst hingga sampai ke Akal-Satu dan meninggalkannya pula hingga Fanaa’ dan meninggalkan kemerasaan Fanaa’nya (lebih halus dari suka, karena suka lebih parah dari merasa) hingga disebut Fanaa’ dalam Fanaa’, hingga tidak ada lagi yang dirasakannya kecuali Allah swt.
7. Dalam lingkungan Syi’ah, wali terkecil adalah yang sampai ke tingkat Fanaa’ di atas Fanaa’ itu. Jadi, yang bisa karamat, belum dikatakan wali. Malah bisa dikatakan sebangsa dengan dukun dan/atau ahli batin seperti para pendeta (Murtadhin dari Riyadhah, bukan murtadin).
Dan saya melihatnya, terutama di sistematikanya dan penjelasannya, memang bagus dan hebat. Tapi, sekali lagi, penilaian, praktik dan tanggung jawabnya, adalah merupakan tanggung jawab masing-masing, alias bukan tanggung jawab saya lagi.
6. Kalau tidak mau ruwet/susah tentang suluk ini, cukup dengan apa yang sering dikatakan para ulama dan guru Irfan yang secara umum itu. Yaitu, tinggalkan semua haram dan makruh dengan hati dan badan.
Setelah itu tinggalkan yang halal dengan hati, yakni kesukaannya (bukan ketergantungannya, karena ketergantungan jauh lebih parah dari suka).
Setelah itu, tinggalkan dengan hati pula apa saja yang dianggap baik, dari karamat, kasyaf, surga, al-Lauhu al-Mahfuzh dst hingga sampai ke Akal-Satu dan meninggalkannya pula hingga Fanaa’ dan meninggalkan kemerasaan Fanaa’nya (lebih halus dari suka, karena suka lebih parah dari merasa) hingga disebut Fanaa’ dalam Fanaa’, hingga tidak ada lagi yang dirasakannya kecuali Allah swt.
7. Dalam lingkungan Syi’ah, wali terkecil adalah yang sampai ke tingkat Fanaa’ di atas Fanaa’ itu. Jadi, yang bisa karamat, belum dikatakan wali. Malah bisa dikatakan sebangsa dengan dukun dan/atau ahli batin seperti para pendeta (Murtadhin dari Riyadhah, bukan murtadin).
Artinya, masih tergolong yang suka kepada dunia yang rendah, sekalipun berupa batin atau non materi. Terlebih bagi yang mendirikan perguruan dan mengumpulkan murid-murid.
Jadi, kekuatan ghaib dan non materi itu, bisa didapat dengan riyadhah/olah batin, dzikir, energi, konsentrasi, yogha dan sebangsanya. Yakni, terhitung kekuatan biasa yang bisa dicapai oleh setiap orang dengan latihan-latihan dan dzikir-dzikir tersebut.
8. Dalam suluk, tekanannya pada praktik dan perbuatan, baik hati atau badaniah, bukan dzikir seperti yang ada di sufi-sufi yang dijuluki oleh Mulla Shadra ra sebagai Sok Sufi atau Demam Shufi. Terlebih, dzikir-dzikir yang dilakukan bersama-sama.
Dalam syi’ah, dzikir bersama tersebut dipandang sebagai ajaran yang bukan dari Ahlulbait as (Allamah Majlisi Awwal ra), hingga sebagian ulama mujtahid dan irfan mengatakannya sebagai bid’ah (Ayt Jawadi Omuli).
9. Irfan Teori adalah ilmu yang membahas pembuktian Wahdatu al-Wujud. Sedang Irfan ‘Amali adalah yang membahas tiori amal untuk mencapai kesyuhudan dan kesaksian Wahdatu al- Wujud tsb, bukan amal itu sendiri. Jadi, catatan Wahdatul Wujud 1-9 itu adalah Irfan Teori, dan yang sekarang ini adalah Irfan ‘Amali.
10. Tahapan pertama suluk ini adalah 10 tahapan yang akan dirinci pada Tahapan-tahapan Suluk. 10 tahapan pertama itu adalah: Permulaan (bidaayaat), Pintu-pintu (abwaab), Jual beli (mu’aamalaat), Akhlak (Akhlaaq), Dasar-dasar (Ushuul), Lembah (audiyah), Keadaan (ahwaal), Wilayah-wilayah (wilaayaat), Hakikat (haqooiq) dan Akhir (nihaayaat).
11. Tahapan kemudian, tidak akan bisa dicapai kecuali setelah menyelesaikan tahapan sebe- lumnya. Akan tetapi, karena semua tahapan memiliki tingkatan di tahapan yang lainnya, sekalipun tingkatan lainnya itu lebih tinggi, maka yang harus diselesaikannya adalah tahapan yang dihadapinya sesuai dengan tingkataknnya pula.
Misalnya tingkatan Taubat yang ada di tingkatan ke dua dari tingkatan Permulaan. Tingkatan Taubat ini, memiliki tingkatan sampai ke tingkatan Pintu-pintu, Akhlak......dst hingga ke tingkatan Akhir/nihayaat sekalipun. Artinya, setiap tingkatan sebelumnya, di samping ianya mendasari tingkatan berikutnya, ia juga menafasinya sesuai dengan tingkatan yang di berikutnya itu. Jadi, Taubat di samping ada di tingkatakan Taubat yang di tingkatan Pemulaan itu sendiri, ia juga ada di tingkatan yang lebih tinggi, seperti tingkatan Pintu-pintu ..dan seterusnya itu.
Ekstrimnya, Taubat, disamping memiliki tingkatan terendahnya seperti Taubat dari dosa/ keburukannya, ia juga memiliki tingkatan yang lebih tinggi, seperti Taubat dari makruh, mubah, kebaikannya, karamah, surga, al-Lauhu al-Mahfuzh, Akal-akhir, Akal-pertengahan, Akal-Satu dan Fanaa’nya. Dan seseorang tidak akan bisa mencapai tingkatan setelah taubat, atau taubat yang di tingkatan lebih atas, kecuali setelah menyelesaikan taubat yang di bawah.
Jadi, yang masih memiliki dosa, maka ia tidak akan bisa mencapai tingkat berikutnya atau taubat yang di tingkatan berikutnya. Artinya, tidak akan bisa masuk ke tingkatan Pintu-pintu atau ke tingkatan taubat dari mubah. Artinya kemerasamasukan dia ke tingkatan Pintu-pintu, atau kemerasataubatannya dari makruh dan mubah, tidak akan menjadikannya masuk sungguhan ke tingkatan tersebut, karena ia masih memiliki dosa dan belum ditaubati. Ekstrimnya, yang masih punya dosa jangan berkhayal terhadap suluk atau tingkatan setelahnya.
12. Jangan sesekali berlogika dengan ilmu Kalam, Filsafat atau Fikih ketika pembahasannya sudah mulai menderajati penghilangan diri. Karena semua itu setelah terlaksananya Kalam, Filsafat dan Fikih. Jadi, yang terindikasi bagi seseorang yang sudah mulai menapaki wahdatulwujud hanyalah Tuhannya.
Jadi, jangan heran kalau nanti di tingkat tertentu akan dikatakan bahwa semua perbuatan seorang hamba adalah perbuatanNya. Apalagi berdalih dengan keberadaan dan ikhtiar manusia, sebagai konsekuensi pandangan Kalam dan Filsafat, atau berdalih dengan tanggung jawabnya, sebagai konsekuensi Fikih.
Karena mencampuradukkan masalah akan menghilangkan pondasi Kalam, Filsafat dan Fikih. Dan kalau sudah hilang, maka Anda tidak akan naik ke wahdatulwujud sama sekali. Dan yang lebih parah, Anda akan membebaskan diri berbuat semaunya, karena telah menisbahkannya kepada Tuhan dengan wahadatulwujud yang palsu itu.
Tahapan-tahapan Suluk (perjalanan):
1. Tahapan Permulaan
Permulaan adalah tingkatan pertama dari 10 tingkatan pertama, yaitu maqam pemula bagi seorang yang ingin menjalani suluk mencapai kesaksian Wahdatu al-Wujud.
Tingkatan ini memiliki 10 tingkatan sbb: Sadar/yaqzhah, Taubat/taubah, Muhasabah, Kembali/inabah, Berpikir/tafakkur, Ingat/dzikir, Berlindung/i’tisham, Lari/faraar, Latihan/riyaadhah, Mendengar/sima’.
1-1. Al-Yaqzhatu
Al-Yaqzhah adalah pertama kalinya hati seorang hamba tercahayai dengan kehidupan (bangun dari tidur/lengah) dengan melihat cahaya peringatan.
Allah berfirman:”Katakan! sesungguhnya aku mengingatkan kalian kepada satu hal, yaitu bangun/bangkit (an taquumu) untuk Allah” (QS: 34:46).
Bangun atau bangkit, maksudnya dari keterlenaan dan ketertiduran lengah, baik dari dosa, atau dari suka dunia halal, karamat, kasyaf dst-nya sampai kepada merasa adanya wujud lain selain Tuhan. Jadi, ayat tersebut menjangkau semua tingkatan, dimulai dari fikih (dosa), akhlak (suka dunia) dan irfan/suluk (adanya selainNya).
Yang jelas bagi akal-gamblang dan syariat-gamblang adalah bahwa tingkatan yang di depan atau di awal, merupakan dasar bagi tingkatan setelahnya dimana rusaknya tingkatan sebe- lumnya tidak akan membuat seseorang masuk ke tingkatan selanjutnya. Begitu pula dengan tingkatan-tingkatan suluk ini.
Yaqzhah memiliki 3 tingkatan
(1-1-1). Perhatian Hati Terhadap Nikmat-nikmat Tuhan
Maksud dari memperhatikan nikmat-nikmat Tuhan ini adalah perhatian yang penuh dan sungguh-sungguh terhadap nikmat-nikmatNya hingga putus asa terhadap penghitungannya dan terhadap pengetahuan terhadap jumlahnya. Begitu pula menyadari bahwa nikmat- nikmat itu telah diberikan kepada kita bukan atas dasar hak kita (keadilian), akan tetapi karena ke-PemurahanNya (luthfun). Serta, meyakini bahwa kita benar-benar tidak akan pernah mampu untuk mempertanggungjawabkannya sesuai dengan hak-haknya.
Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan tiga hal: mengambil bantuan dari cahaya akal (akal-gamblang), mengharap pemberian makrifah dan mengambil pelajaran dari yang terkena bencana dimana termasuk bencana hijab dan lengah.
(1-1-2). Mengkaji Jinayat atau Pelanggaran
Maksud dari mengkaji maksiat di sini adalah perhatian yang sungguh-sungguh terhadapnya, dan/hingga menyadari efek buruknya, dan/hingga berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjauhinya, dan/hingga terlepas daripadanya, serta/hingga mencari selamat dengan membersihkannya, baik melalui taat atau pembersihan jiwa atau dengan apapun yang bisa dijadikan pembersih dosa dari jiwa kita (seperti istighfar, sedekah, shalawat dan lain-lain).
Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan 3 hal:
Hal pertama, adalah mengagungkan al-Haq (karena semakin kita agungkan Allah maka sekecil apapun dosa atau kesalahan kita, maka akan jelas terlihat semakin besar).
Hal ke dua, adalah sadar diri terhadap kehinaannya (di sinilah, filsafat akan lebih membantu menerangkan apa arti papa dan hina itu secara makrifah).
Hal ke tiga, adalah dengan menseriusi dan meyakini ancamanNya.
(1-1-3). Waspada Terhadap Kurang Lebihnya Usaha
Maksud dari kewaspadaan ini adalah sepenuhnya memperhatikan dengan sungguh- sungguh terhadap frekuensi usaha setiap harinya hingga terhindar dari buang-buang waktu serta mengkikirkannya untuk hal-hal yang tidak perlu serta menggunakannya untuk ketaatan dan menambal dengan segera, lubang-lubang yang ada dengan ketaatan pula.
Hal ini juga, tidak akan terlaksana kecuali dengan 3 hal:
Hal pertama, adalah dengan mendengarkan ilmu (belajar) hingga tahu halal-haram dan baik tidak baiknya sesuatu.
Hal ke dua, adalah dengan melaksanakan ilmunya dalam kehidupan.
Hal ke tiga, adalah menjadikan orang-orang alim yang zuhud dan pesuluk sebagai sahabat berbincang.
Kunci:
Kunci dari ketiga maqam di atas (yaqzhah) adalah melepaskan kebiasaan-kebiasaan sebelum- nya. Karena pada umumnya, jiwa manusia sering mengikuti hawa nafsunya dan ber-apologi. Nah, sekarang ia harus memulai kebiasaan-kebiasaan baru dan menghindari alasan-alasan pembolehannya atau yang biasa dijadikan uzur dan apologinya. Seperti, bahwa kita manusia lemah lah, Tuhan Maha Pengampun lah, besok baru berubah lah....dst.
1-2. Al-Taubatu
Taubat adalah kembali dari maksiat kepada taat. Dan taubat ini, adalah wajib hukumnya karena yang tidak taubat dikatakan aniaya. Artinya, aniaya diatas aniya. Dan sebaliknya, yang bertaubat, akan dikeluarkan dari golongan aniaya.
Allah swt berfirman: “Barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka adalah orang-orang yang aniaya” (QS: 49:11).
Taubat ini, tidak bisa terlaksana kecuali dengan mengerti penyimpangannya, baik yang fikih (haram-halal), akhlaki (baik-tidak baik) atau irfani (banyak ada). Karena itulah maka belajar, dari fikih sampai ke irfan adalah kewajiban sesuai dengan masing-masing tingkatannya.
Tiga hal diperlukan dalam mengerti makna bahaya kesalahan atau maksiat atau penyimpangan itu:
Hal pertama, adalah ditariknya perlindungan dari diri kita ketika melakukan maksiat.
Hal ke dua, adalah senangnya hati ketika mengerjakannya.
Hal ke tiga, adalah munculnya keinginan untuk mengulangnya.
Tiga hal ini, memiliki bahaya sendiri-sendiri. Bayangkan saja, ketika perlindungan diangkat dari diri kita, atau ketika merasa senang kala melakukan maksiat itu dan terlebih muncul keinginan mengulangnya? Betapa hinanya, betapa hinanya? Seperti ketika kita senang melakukan pelanggaran yang membuat Nabi saww tidak perduli, dan bahkan ingin mengulangnya. Maksiatnya saja sudah jelek, apalagi ada perasaan senang di dalamnya, atau bahkan ingin mengulangnya. Bukankah hal ini merupakan keburukan yang tidak terkira tingginya?
Taubat memiliki tiga syarat: sedih, memohon ampun dan berhenti secara telak.
Taubat Memiliki 3 tingkatan
(1-2-1). Hakikat Taubat
Hakikat taubat memiliki 3 hal: mengagungkan pelanggaran/maksiat, mencurigai taubatnya dan meminta maaf pada sesama.
Hal pertama, bagi seorang yang melihat ke-Agungan Tuhan, dan hinanya diri, maka ia akan melihat bahwa sekecil apapun sebuah pelanggaran, ia adalah besar baginya. Karena, bagaimana mungkin Tuhan yang telah memberinya nikmat tak terhitung, dan melihatnya tanpa henti, tetap tidak dihiraukannya? Karena ketika melakukan maksiat adalah sama dengan tidak memperdulikanNya, seperti ketika kita melanggar orang tua di depan mereka.
Hal ke dua, bagi seorang yang serius menghadapi Tuhan, maka ia juga pasti akan selalu curiga dengan taubatnya itu. Apakah ia melakukannya karena Tuhan atau karena hal lainnya. Atau jangan sampai taubatnya belum benar dan belum sesuai dengan yang seharusnya. Inilah yang dimaksud dengan mencurigai taubatnya.
Hal ke tiga, adalah meminta maaf atau kehalalan dari orang-orang yang telah diganggunya. Taubat ini, dikatakan “Taubat Lahiriah” atau “Taubatnya Orang Umum”. Artinya, taubatnya orang-orang yang mengejar ampunan, pahala dan surga, bukan wahdatulwujud. Karena wahdarulwujud adalah kehinaan dan kehancuran diri secara telak.
(1-2-2). Rahasia Taubat
Rahasia taubat juga memiliki 3 hal: membedakan taqwa dari kedudukan; melupakan maksiat; taubat dari taubatnya.
Hal pertama, seorang hamba harus benar-benar teliti dengan niat taubatnya. Jangan sampai karena posisi di masyarakat dan semacamnya. Misalnya, takut dibenci orang, takut penyakit, ingin disukai orang/istri/suami dan seterusnya.
Hal ke dua, ketika seseorang sudah melakukan semua yang terdahulu itu, maka ia mulai sering bersama Tuhannya. Sering berkhalwat dan bermesraan denganNya. Karena itulah maka tidak mungkin dalam keadaan seperti itu akan mengingat dosa dan maksiatnya. Karena mengingat dosanya akan mengganggunya dari khalwatnya itu dan, berarti masih tidak sepenuhnya mengingatNya.
Hal ke tiga, ketika ia sudah semakin sering berkhalwat dengan Tuhannya, maka ia telah bertaubat dari taubat. Karena kalau masih mengingat selaiNya, apakah hal itu adalah dosanya atau taubatnya, maka berarti masih mengingat selainNya.
Dan taubatnya taubat yang tertinggi adalah bertaubat pula dari taubatnya taubat ini. Karena ketika ia masih melakukan taubat, berarti ia masih ada. Karena ia adalah pelaku taubatnya. Jadi, ia bertaubat dari taubatnya ini karena ia masih melihat perbuatannya sebagai selain perbuatanNya.
(1-2-3). Rahasianya Rahasia Taubat
Rahasianya rahasia taubat ini juga memiliki 3 hal: melihat maksiat dari pandangan sesunggunya; melihat dirinya tidak memiliki kebaikan apapun; melihat Hukum Tuhan hingga tidak ada tersisa lagi perkataan baik dan buruk.
Hal pertama, dengan melihat hakikat maksiat, kita akan tahu maksud Tuhan mengapa Dia membiarkan kita melakukan maksiat. Hal itu karena dua hal:
a. Supaya kita tahu ke-AgunganNya dimana tidak ada satupun yang bisa mengganggu ketentuan hukumNya, tahu akan ke-PemurahanNya dikala menutupi kemaksiatan kita dari orang lain, tahu akan ke-Maha PengampunanNya dan Kasih SayangNya ketika menerima taubat kita, dan tahu tentang FadhlNya (pemberian tanpa imbalan).
b. Supaya ada hujjah atau dalil ketika menegakkan ke-AdilanNya, yaitu ketika meng- adzab pendosa.
Hal ke dua, ketika seseorang itu jujur terhadap dirinya dalam melihat semua hal, maka tidak akan tersisa baginya kebaikan apapun dan sesedikit apapun. Karena, kalau taubatnya itu sudah benar dan karena Allah, maka semua itu tidak mungkin kecuali pemberianNya (sering saya katakan bahwa dalam filsafatpun telah dibuktikan bahwa usaha kita adalah sebab-penyiap, bukan pemberi.
Karena yang tidak punya tidak mungkin memberi). Dan kalau taubatnya belum benar, atau niatnya belum ikhlash (murni karena Allah), maka sudah tentu karena kekurangannya.
Jadi, dilihat dari dua sisi itu, apapun kenyataannya, tetap tidak menyisakan untuknya kebaikan apapun.
Hal ke tiga, menyaksikan Al-Hukum, yaitu kenyataan akan tidak adanya ke-wujudan dan efek-efeknya kecuali Tuhan. Kalau pada hal ke dua adalah melihat dirinya serba tidak memiliki kebaikan, karena dirinya tidak memiliki apapun kecuali keburukan. Akan tetapi di hal ke tiga ini ia tidak lagi melihat dirinya sebagai apapun. Artinya, ia telah mulai menyentuh wahdatulwujud.
Karena itulah, sebenarnya, tingkatan-tingkatan yang ada itu, termasuk Yaqzhah seka- lipun, mengarah dan menyentuh wahdatulwujud itu sendiri. Jadi, tingkatan yang di bawah selalu menyertai yang di atas, baik sebagai dasarnya atau sebagai pengiramaan yang di bawah di tingkatan atasnya itu.
Artinya tingkat bawah seperti Taubat ini, memiliki tingkatan juga di tingkatan atasnya, misalnya Taubat di tingkatan Inayah dst di 10 tingkatan Permulaan ini, atau di tingkatan Pintu-pintu, ...dst-nya pada masing-masing 10 tingkatan pertama (Permulaan, Pintu- pintu, Jual-beli, Akhlak, Dasar-dasar, Lembah....dst itu).
Dengan demikian, yang di atas, tanpa yang di bawah, tidak akan pernah terjadi, bukan hanya tidak sempurna. Dan begitu pula, tanpa penafasan atau pengiramaan yang di bawah pada tingkatan yang di atas sesuai dengan tingkatan atasnya itu, maka tingkatan yang di atas tersebut tidak akan sempurna dan tidak akan dapat mengantar kepada tingkatan yang di atasnya lagi.
1-3. Al-Muhasabatu
Al-muhasabah ini merupakan kelanjutan dari al-‘Azimah atau tekad terhadap janji taubat. Tekad (al-‘azimah) adalah mengaplikasikan dan melanjutkan niat. Sedang al-‘aqdu (janji) adalah janji-benar atau jujur, terhadap pelaksanaan niatnya.
Dengan demikian, bertekad terhadap janji taubat adalah melaksanakan niat taubatnya kepada Allah dan melanjutkannya (tidak berubah lagi).
Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taqwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap orang melihat apa-apa yang telah dilakukannya untuk hari esok/kiamat” (QS: 59:18).
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa kita mestilah melihat dan menghitung-hitung apa-apa yang telah kita lakukan untuk akhirat kita. Inilah yang dimaksud dengan al-Muhasabah atau Mengkalkulasi-diri.
Al-Muhasabah ini memiliki 3 tingkatan:
(1-3-1). Membandingkan Nikmat dan Maksiat
Di tingkatan ini, kita harus membandingkan antara nikmat-nikmat yang kita terima dari Allah dan berapa banyak dosa yang kita lakukan, hingga kita tahu bahwa dalam dosa itu terdapat pengkhianatan dan pengkufuran atau pengingkaran terhadap nikmat yang telah diberikaNya. Begitu pula mesti kita bandingkan ketaatan kita dengan kemaksiatannya, hingga dapat dilihat mana yang lebih banyak hingga kita dapat melakukan perubahan.
Perbandingan ini, tidak akan bisa dilakukan kecuali seseorang telah memiliki 3 hal.
Hal pertama, memiliki “Cahaya Hikmah”, yakni “Cahaya Fikih”. Karena tanpa Cahaya Fikih, seseorang tidak akan tahu mana taat dan mana maksiat, atau mana taat yang taat (sesungguhnya) dan mana taat yang hanya sebagai kiraan taat.
Hal ke dua, buruk sangka terhadap diri sendiri. Oleh karena itu harus selalu memper- tanyakan dalil dari setiap pilihan dan apapun perbuatan yang akan dilakukannya dan juga mempertanyakan dalil serta bukti keikhlashannya.
Hal ke tiga, membedakan antara nikmat dan ujian. Karena dalam pemberian Tuhan, kadang dimaksudkan menikmati kita, dan kadang dimaksudkan menguji kita. Maksud menikmati adalah supaya kita tahu bahwa nikmat itu datang dariNya hingga kita mensyukurinya dengan taat dan tidak mengharapkan apapun dari selainNya. Sedang maksud menguji, adalah supaya kita menampakkan identitas diri kita terhadap kepa- paan kita hingga tetap dalam ketawadhuan (kesadaran terhadap kepapaan) dan tidak melakukan keujuban dan kesombongan.
(1-3-2). Membedakan Milik al-Haq dari Milik dan Perbuatan Hamba
Tujuan dari pembedaan ini adalah untuk mengetahui dan meresapi bahwa tiada alasan apapun untuk setiap kesalahan yang dilakuakan manusia.
Dan pekerjaan ini juga memiliki 3 hal:
Hal pertama, adalah semua kesalahan dan maksiat kita adalah dipilih dan dikerjakan oleh kita sendiri. Oleh karenanya ianya adalah pekerjaan kita dan karenanya kita akan diazab kelak di akhirat. Dengan demikian, keburukan kita itu adalah Hujjah Tuhan ke atas kita kelak. Yakni Hujjah dan Dalil untuk mengazab kita.
Hal ke dua, adalah semua ketaatan kita, sebenarnya, merupakan pemberianNya. Karena setiap kewajiban yang kita lakukan adalah karena diwajibkan olehNya. Sementara Dia tidak memerlukan sedikitpun dari pelaksanaan kewajiban kita itu. Artinya, semuanya hanya demi kebaikan kita sendiri. Jadi, semua kewajiban itu hanyalah merupakan pemberianNya, bukan kebaikan kita hingga layak mendapat ganjaran dan balasan surga. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa alat kebaikan kita, yakni diri kita sendiri, adalah pemberianNya juga.
Dengan demikian, kewajibannya, perbuatannya, keuntungannya dan ganjarannya benar-benar hanya berupa pemberianNya belaka, tidak ada yang dari kita. Milik kita disini hanyalah ikhtiar. Dan tanpa pemberianNya, kita juga tidak akan bisa memilih. Oleh karenanya, semua merupakan nikmat dariNya.
Oleh karena itulah, ketika manusia memilih keburukan dalam lautan nikmat itu, maka hujjah Tuhan disini akan semakin kuat dan tidak bisa diingkari. Artinya, tidak ada yang bisa menggugat Tuhan kalau nanti Dia mengazab manusia karena dosa-dosanya.
Hal ke tiga, adalah bahwa “al-Hukum”, yakni ketetapan Allah kepada kita dalam kitab Qadha dan QadarNya, merupakan hujjah pula ke atas kita, bukan untuk kita.
Artinya, kita tidak bisa mengatakan bahwa karena semua yang akan terjadi sudah ditetapkan olehNya (ditulis) dalam kitab Qadha dan Qadar atau di kitab al-Lauhu al- Mahfuzh, maka semua keburukan kita itu dikehendakiNya hingga terlepaslah tanggung jawab kita. Tidak demikian.
Hal itu karena semua hukum dan ketetapanNya itu disesuaikan dengan IlmuNya terhadap semua pilihan dan perbuatan kita sendiri, bukan ketetapan yang sesuai dengan ketentuan dan pilihan serta kehendakNya.
Dengan tiga rincian dan hal di atas, dapat diketahui bahwa kita sama sekali tidak akan pernah memiliki alasan apapun dalam setiap kesalahan kita. Sementara dari sisi kebaikan, kita tidak memiliki hak apapun, seperti ganjaran dan balasan. Bahkan kita mesti pula mensyukuri semua kebaikan kita itu, karena semua itu adalah pemberianNya yang, sebanyak apapun syukur kita itu, tetap tidak akan bisa mencukupinya. Karena syukur inipun tetap merupakan nikmatNya dengan perincian di atas yang, patut dan harus disyukuri pula.
(1-3-3). Mengerti Hakikat Taatmu dan Maksiatnya Teman
Maksud dari tingkatan ini adalah menatap dengan cermat terhadap ketaatan kita/diri dan kemaksiatan teman kita. Karena kalau salah dalam menatap, maka kebaikan kita itu akan berbalik menjadi keburukan. Begitu pula dengan keburukan teman kita, yakni akan menjadi keburukan kita.
Di atas sudah diterangkan bahwa semua kebaikan kita adalah pemberianNya belaka. Dari sejak pilihannya, pekerjaannya, keuntungannya sampai kepada surganya, adalah pemberianNya belaka. Artinya, kita tidak melakukan apapun untukNya dalam semua kebaikan dan ketaatan kita itu.
Dengan demikian, kalau kita memandang kebaikan dan ketaatan kita itu sebagai kebaikan kita, dan kita senang serta lega dan merasa nyaman terhadapnya, bahwasannya kita telah melakukan balasan terhadap kebaikanNya (walau sedikit), maka kita telah jatuh ke dalam keburukan. Karena dengan itu berarti kita telah mengingkari pemberianNya itu, sebagaimana sudah dijelaskan.
Begitu pula ketika kita melihat teman kita berbuat keburukan dan kita merasa lebih baik darinya, maka hal ini juga akan menjadikan kita masuk ke dalam keburukan. Hal itu, karena kita telah merasa ananis (akuis, dibawah ‘ujub/kagum dan sombong), ‘ujub (kagum diri sendiri) dan bisa sampai kepada kesombongan. Ketiga tingkatan ini (ananis, ‘ujub dan sombong) adalah keburukan terhadap kita. Sementara, teman kita itu, bisa saja nantinya segera bertaubat dan jauh bisa lebih baik dari kita sendiri.
Perhatian:
1. Edisi ini adalah edisi pertama dan percobaan, sengaja tidak ditag karena saya tidak merangsangnya, semoga kita terus menyelimuti diri dengan Kehangatan CahayaNya, amin.
2. Saya juga tidak merelakan orang-orang mentag ke orang lain, tapi boleh mengambilnya dalam bentuk apapun untuk dirinya sendiri, dan boleh mengabari orang lain akan adanya catatan ini.
3. Sampai disini, tingkatan yang sudah dibahas dari 10 tingkatan pertama adalah ting- katan pertama, yakni Permulaan. Dan dari tingkatan Permulaan ini, telah dibahas 3 tingkatan (Bangun, Taubat dan Muhasabah). Jadi, baru 9 tingkatan dari kurang lebih 300 tingkatan yang direncanakan.
Walhamdulillah tsumma al-shalatu wa al-salam ‘ala Nabiyyi al-Kirom Muhammadian wa Aalihi al-athhar.
Wassalam.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua yang telah memberikan dukungannya. Pekerjaan yang cukup memelalahkan karena saya sendiri tidak yakin dengan hasilnya. Jadi tulisan ini lebih benyak untuk khazanah keilmuan. Tapi temen-teman hanya punya hak untuk memilikinya dan tidak punya hak untuk menyebarkannya, tapi boleh memberitakan keberadaan catatan ini di catatanku. Oh iya, ada koreksian terhadap angka 3 pada keterangn judul dan pada point Perhatian ke 3 di kalimat ”Jadi, baru 3 tingkatan....”, menjadi 9. Afwan.
Anwar Mashadi: Terima kasih pak ustad. Dalam catatan sebelumnya ada istilah irfan teori dan irfan praktik. Apakah benar jika tulisan suluk ilahih ini masuk dalam lingkup irfan praktik, yakni teori tentang bagaimana mencapai wahdatul wujud?
Anwar Mashadi: Salam.. terus, jika pak ustad berkenan, darimana sumber rujukan yang pak ustad tulis ini? Adakah dia sudah rangkuman dari beberapa sumber atau dari sebuah kitab tertentu? Afwan dan terimakasih..
Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD.
Anwar Mashadi: Maaf kalau saya kesulitan meringkas maksud dalam kalimat. (1) Maksud saya (dari pertanyaan pertama), Saya minta penegasan tentang keeratan hubungan peristilahan dari irfan, suluk, maqam dan wahdatul wujud, agar semakin mantab menyimak uraian-uraian pak ustad. (2) Apakah benar kalau saya katakan bahwa dengan menyimak uraian tulisan antum di sini, itu sama dengan sama membaca rangkungan antum dari kitab Manazilu Sairin karya Abdullah al-Anshari ra saja, atau juga dari kitab lain (karena disebut nama al-Qasani) juga. Dengan demikian, siapa tahu saya juga dapat rizki lain, ketika nanti saya mencari/membaca biografi beliau itu.. thanks.
Adzar Alistany Kadzimi: 0ooooo.... Abdullah yang dari Hassan Ali Anshor atau Hussayn ali Anshor?
Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya.
Sinar Agama: Anwar, saya rasa sudah jelas dalam asal tulisan di atas (catatan), tolong jangan buru-buru membacanya.
Sinar Agama: Adzar: Beliau dan nasabnya sbb: Abu Ismail Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Ja’far bin Manshur bin Matti al-Anshari al-Harawi dari keturunan Abu Ayyub al-Anshari. Lahir pada th 396 Hijriah Qamariah.
Anwar Mashadi: Thanks pak ustad, diingetin.. tampaknya saya terburu-buru membacanya...
Syarifah Hana A. Fathiman: Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad.
Zainab Naynawaa: Allahhumma Sholi ala Bihaqi Muhammad wa aAli Muhammad.
Bande Husein Kalisatti: salam, ana kok gak ditag..
Sinar Agama: Bande: Untuk edisi ini tidak ditag dan tidak boleh ditag oleh siapapun. Walhasil penggunaannya sendiri-sendiri saja. Afwan. Antum lihat judulnya saja sudah dikatakan kalau hanya untuk pribadi yang mau dan tidak boleh disebar. Afwan dan terimakasih untuk semua yang jempolin dan memberikan komentar dan juga shalawatnya.
Gazali Rahman: Syukran Ustadz izin copy dan disimpan agar dapat di baca berulang-ulang soalnya harus sering-sering baca baru bisa di fahami. Semoga antum sehat selalu.
HenDy Laisa: Bisa dicopas ya ustadz...?
Abu Humairoh: Sallam... Afwan ustad ana baru dibaca malam ini, atas permintaan ana tentang suluk menurut irfan, dan ana pernah menjalankan suluk ini tapi dari aliran tarikat akmaliyah waktu ana sekolah di ‘Aliyah, tarikat ini dari ahlu sunnah, sukron atas jawabannya ? Allohuma sholi ‘ala Muhammad wa ali Muhammad.
Sinar Agama: Abu: Antum tidak melakukan apapun kecuali setelah membaca wahdatulwujud bagian 1-9. Karena saya masih yakin bahwa apa yang telah antum lakukan itu, tidak akan sama dengan yang kita tulis dan maukan. Artinya, seseorang harus mengerti dulu apa maksud wahdatulwujud dan baru melakukan suluk. Jadi, harap hati-hati.
Abu Humairoh: Ya, ana akui apa yang ana lakukan pasti tidak sama karena dulu yang ana lakukn cuma bersifat tazkiyah binafsi, dan sudah lama ana tinggalkan karna waku ana belajar sama guru wahabi itu bertentangan tad, lalu sekarang setelah kenal ahlul bait, ana ingin mengenal dan mengetahuinya tad, dan ustad tolong bimbing ana sedikit-sedikit untuk menjalnkannya. Wasallam.
Gunawan Harianto: Ijin share ustadz.
Sinar Agama: Abu: bijaknya adalah memperhatikan semua catatan wahdatulwujud 1-9, dimana disebut Irfan Teori, yakni pembuktian wahdatulwujudnya, dan memperhatikan pula Irfan Amali- nya. Nanti kalau setelah dipelajari seksama, lalu ada pertanyaan, maka bisa ditanyakan.
Sinar Agama: Gunawan; kalau hanya untuk diri sendiri dan tidak untuk orang lain, monggo saja.
Abu Humairoh: Na’am ustad, sukron ana pelajari dari catatan 1 sampai 9.
Sinar Agama: Abu: Ok, dan kunci dari Irfan Teorinya itu ada di :
(1) Memahami hakikat Ada/eksistensi dan Esensi serta seluk beluk keduanya.
(2) Benar-benar mengerti beda esksistensi (wujud) dengan esensi (batasan wujud).
(3) Mengerti benar makna materi dan non materi.
(4) Mengerti kenyataan dan dalilnya tiga alam yang dimulai dati Akal-satu, Akal-pertengahan, Akal-akhir, Barzakh dan Materi.
(5) Mengerti benar apa makna terbatas dan tidak terbatas.
Abu Humairoh: Afwan tad ana masih belum faham tentang akal satu pertengahan dan akal akhir?
Sinar Agama: Abu: makanya baca semua catatan-catatan itu, ana tadi itu hanya mengarahkan antum titik penting pemecahan masalahnya. Jadi hal-hal tadi itulah kuncinya, dan semua sudah ada di catatan-catatanku.
Agas Radityha Cahaya Abadi: Subhanallah masih belum mengerti, harus dibaca berulang kali agar lebih paham,, syukron antum bermanfaat.. met sore dan sukses selalu, hanya yss yang membalas kebaikan antum, amiennn.
Sinar Agama: Agas; orang kita sendiri pahamnya setelah belajar filsafat dan irfan, ya...sudah tentu harus berpikir terus dan berdo’a serta menjauhi dosa.
Agas Radityha Cahaya Abadi: Iya antum syukron,, islam keras namun tegas,, subhanallah masih harus banyak belajar.. Bismillaah, in syaaAllah ana bisa paham..
Candiki Repantu: In syaaAllah selalu berusaha untuk mengamalkan apa yang diketahui.. dan terima kasih atas catatan yang indah ini.. semoga kita dalam rahmat Allah dalam ”mendekat” kepada-Nya..!
Abu Humairoh: Justru ana telah baca tulisan-tulisan ustad, dari 1 sampai 9.. tentang akal satu, kadang-kadang akal akhir ana kurang paham tad, memang ana punya kesimpulan tapi takut salah menafsirkannya seperti akal 1 alam nasut/materi akal pertengahan alam barzakh/alam malakut, akal akhir alam jabaruut terus ke Allah, betul ga ustad ? Di sini masih bingung tad, butuh arahan maksudnya ustad, atau arti keterjawantahkan ana belum tau tad ?
Sinar Agama: Agas: itulah gunanya berteman dan bersaudaraan, saling ingat mengingatkan, diskusi ilmu, mengingati kebenaran, dan saling mendo’akan. Ingat, saling ya...jadi tidak boleh satu arah, kalau memang ada yang harus diucapkan dikritikkan didebatkan, maka lakukan saja dengan rilek tanpa emosi dan akuis. Kita, terkhusus aku, adalah dibawahnya tiada apa-apanya, jadi masih minus jauh dari yang terendah.
Sinar Agama: Candiki: Semoga kita selalu memberadakan diri dalam selimut hangat hidayahNya, amin.
Sinar Agama: Abu: tolong baca terus dan buat ringkasan, lalu baca lagi dan buat ringkasan lagi. Kalau perlu buat seperti sketsa. Terus renungkan. Kalau antum lakukan itu berketerusan tanpa kejenuhan, nanti setelah 6 bulan belum paham, maka antum tanyakan lagi. Tapi In syaa-a Allah, dalam sebulan sudah paham, kalau antum renungi setiap hari, ingat setiap hari. Untuk pengejawantahan itu adalah aplikasi atau pewujudan, apakah pewujudan tekad, ilmu, kehendak, makhluk...dan seterusnya.
Abdul Azis Baeha: Salam Ustad... Apa kabar Ustad? Syukron atas Tulisan Antum ini... Walau belum maksimal untuk ana fahami apalagi untuk diamalkan tapi In syaaAllah dengan terus berhubungan dengan ilmu-ilmu yang antum berikan... Maka keridhaan Allah atas diri ini akan tercapai...
Sinar Agama: A_AB: Terimakasih komentarnya, ana baik alhamd lillah. Semoga antum dan semua teman-teman di fb ini senantiasa dalam lindunganNya.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ