Tampilkan postingan dengan label Jabaruut. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jabaruut. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 13)




by Sinar Agama (Notes) on Sunday, February 6, 2011 at 6:54 am


Jajar Genjang: Sinar Agama, Salam. 

1. Dalam penjelasan mengenai perjalanan irfan, dikatakan bahwa makhluk sanggup mencapai tingkat ke akal pertama. Sedangkan akal pertama adalah non materi mutlak, dimana tidak terjadi gerak dan proses. Padahal pencapaian makhluk hingga ke akal pertama merupakan sebuah proses. Hal ini sepertinya berkontradiksi. Mohon penjelasannya! 

2. Apa yang dimaksud dengan alam lahut? Sedang susunan alam besar ada 3, yakni; jabaruut, malakut kemudian nasut. 

3. Apakah pahaman-pahaman yang ada di akal juga dikatakan derajat ”ada” dalam pandangan filsafat, atau setidaknya tajjaliah dari ”ada” dalam pandangan irfan, sebagaimana ’’ada’’ yang ada di balik aksiden dan substansi? 

4. Apakah metode-metode dan persoalan teknis dalam ajaran islam yang dibawa nabi saw dalam ilmu makrifat tidak begitu menyeluruh menyentuh segala aspek alat pengetahuan pada manusia sehingga para filosof muslim mengadopsi metode-metode yang dipakai filosof Yunani? Terima kasih! 

Jajar Genjang: Maaf sebelumnya, tulisannya saya singkat karena ternyata untuk menulis di dinding jumlah hurufnya dibatasi. Terima kasih! 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas pertanyaannya: Semoga Tuhan menaufiki kita untuk selalu mencari dan bertahan dalam KepenunjukanNya, amin. 

1a. Salah satu keunggulan manusia yang paling menonjol dari malaikat tertinggi sekalipun adalah karena kenonmaterian ruhnya menyatu (secara alami dan fitrawi) dengan badan dimana badan adalah materi dan materi adalah satu-satunya pembawa potensi. 

b. Keberadaan potensi pada materi adalah kenyataan bisa berubahnya materi dari satu esensi seperti mati, atau biji padi, kepada esensi yang lain seperti manusia atau pohon padi. Atau padi, menjadi pohon padi, pohon padi membuahkan biji-biji padi, biji-biji padi menjadi nasi, nasi menjadi mani, mani menjadi darah, darah menjadi daging, daging menjadi bayi dan bayi menjadi manusia. Manusia ini, badannya, menjadi sakit dan mati, lalu menjadi tanah, tanahnya menjadi pohon padi kalau ditanami padi setelah berabad tahun, lalu pohon padinya menjadi mani kambing (kalau dimakan kambing) lalu maninya, menjadi darah, daging, bayi kambing dan akhirnnya menjadi kambing. Begitu seterusnya dan begitu pula yang terjadi pada benda-benda lainnya. Dengan demikian, maka hanya materi yang bisa menjadi esensi lain dan berubah. 

c. Perubahan yang dimaksud dalam kata ”Proses” adalah perubahan dalam waktu dan jaman, secepat apapun dia. Keterprosesan materi tidak lain, disamping kenyataan perubahan tadi, adalah kemestian terikatnya dengan tempat/volume dan waktu. Jadi yang tidak memiliki volume dan waktu, non materi, sama sekali tidak akan pernah mengalami proses, alias perubahan dalam waktu. 

d. Yang dimaksud dengan ”waktu” dalam filsafat, bukan menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad. Karena waktu yang demikian itu adalah waktu yang disepakati bersama dari gerakan yang bisa dilihat secara bersama pula, yakni gerakan matahari. Jadi, waktu dalam filsafat adalah ”Ukuran Gerak”. Ketika semua benda memiliki gerak dalam dirinya (atom- atomnya), atau dalam esensinya, seperti esensi substansi (dari mani ke bayi) atau aksidentnya seperti putih ke merah, kecil ke besar), maka masing-masing benda memiliki waktunya sendiri. Artinya, memiliki ukurannya sendiri, bukan diukur dengan gerak matahari. Jadi, kalau gerak atom-atom dua pohon padi dari sejak ditanamnya biji padinya, ketika keduanya menjadi tinggi setengah meter, maka mereka telah menempuh jarak jangkau yang sama, sekalipun mungkin waktunya berbeda. Misalnya yang satu setelah seminggu mencapai setengah meter itu, dan yang lainnya setelah dua minggu. Nah, ketika jarak tempuh yang dicapai biji padi pertama itu seminggu (setengah meter), dan yang lainnya masih seperempat meter misalnya, maka gerak padi pertama lebih cepat dari padi ke dua. Jadi, sebenarnya gerakan mereka dihitung dengan gerakan proses mereka sendiri, tidak diukur dengan gerakan matahari. 

Disinilah mengapa orang yang belum syi’ah selalu menggaris bawahi imam makshum yang masih berumur lima tahun dsb. Mereka tidak sadar bahwa waktu 5 tahun itu adalah waktu matahari, bukan waktu mereka. Padahal waktu mereka sendiri adalah yang dicontohkan dalam Qur'an surat al-Insan itu. Dimana asbabun nuzul surat tsb adalah berkenaan dengan puasa nadzarnya imam Ali as dan siti Fathimah as. Karena telah sembuhnya imam Hasan as. dan Husain as. Yang kala itu sedang tidak punya uang, hingga berhutang tepung gandum untuk makanan seukuran 3 hari dengan sekali makan. Akan tetapi setiap mau makan setiap harinya selalu ada orang mengetuk pintu dan mengatakan beberapa hari tidak makan dimana mereka menyerahkan roti mereka dan akhirnya mereka tidak makan selama tiga hari puasa. Jadi mereka buka sahurnya hanya dengan air saja. 

Yang ingin saya ceritakan bukan mereka berdua, tapi imam Hasan dan Husain as yang masih kesil dan tidak ikut bernadzar. Tapi ikut puasa dan menyerahkan rotinya dalam tiga hari itu. Padalah umur mereka baru sekitar 3-5 tahunan untuk ukuran gerakan matahari. Bayangin, gerakan taqwa dan proses ruh mereka itu, dalam keadaan masih muda untuk ukuran matahari itu, sangat-sangat tidak bisa diikuti oleh kita-kita sekalipun telah berumur 200 tahun sekalipun. 

Kembali ke masalah kita, maka dengan penjelasan di atas itu, dapat dilahami bahwa setiap benda memiliki waktunya sendiri karena waktu adalah ukuran atau volume gerak dari benda itu sendiri, bukan matahari. 

e. Nah, ketika ruh manusia memiliki 3 atau 4 daya, tambangi, nabati, hewani, dan akli, dan ianya menyatu secara fitrah dengan materi, maka ia memiliki kesempatan untuk menyempurna. Tidak seperti malaikat baik Malakut (Barzakh) atau Jabaruut (Akal) yang seluruh kesempurnaan mereka diberikan dalam sekali jadi dan sekali beri di awal penciptaannya. 

f. Dengan potensi yang ada itulah manusia bisa menyempurna melanglangi kesempurnaan
seperti yang sudah dijelaskan di wahdarulwujud 1-12 dan di tempat-tempat lainnya. Artinya manusia dengan ruhnya yang bisa berproses dalam waktu itu, bisa melanglangi derajat- derajat wujud dari dirinya sendiri ke Barzakh, lalu ke Akal dan ke Asma-asma Allah dalam Perjalanan ke Dua itu. 

g. Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu dapat dipahami bahwa perubahan ruh manusia di tingkat Akal-akal yang tidak mengenal proses dan perubahan apapun itu adalah DIMOTORI dengan kepotensiannya karena masih bersama badan, dan perubahan yang terjadi di puncaknya sana adalah perubahan tidak dalam waktu, alias perubahan kun fayakun. Persis nanti ketika manusia di akhirat berubah posisi dari neraka ke surga. Artinya tidak dalam waktu, tapi dalam pewujudan non materi dan di luar jaman/waktu, seperti kalau antum mimpi berjalan, keluar rumah, nikah, makan,..dst dimana semua kejadian di dalam mimpi antum itu tidak terjadi dalam waktu. Begitu pula kalau antum melamun dari satu hal ke hal lainnya dan semacamnya. 

h. Dengan semua penjelasan itu, semoga dapat ditangkap hal mudah yang dibingungkan antum itu, yakni kontradiksi antara Akal non prosesi dengan ruh yang mencapainya yang masih dalam naungan prosesi.

2. Lahut adalah susunan alam pertama, yaitu ILMU ALLAH YANG TIDAK BISA DIMITSALKAN/ DIUMPAMAKAN. 

Yang biasa diterangkan tentang susunan alam adalah 3 alam, karena secara umum memang hanya itu, yaitu, Jabaruut, Malakuut dan Naasuut. Sementara kalau mau disebutkan semuanya adalah Laahuut sebagai susunan teratas dan pertama. Tapi hal ini tidak terlalu dibahas karena hanya berkenaan dengan Tuhan, yaitu sebagai IlmuNya yang mana hanya Dia-lah yang tahu. 

3. Pahaman-pahaman juga termasuk susunan alam keberadaan. Akan tetapi derajatnya tidak terlalu tinggi manakala tidak dilakukan secara konsisten hingga menjadi substansi yang tahu. Artinya ilmu-ilmu itu, karena masih berupa argumentasi, maka ia tidak memiliki kedudukan yang terlalu tinggi. Hal itu karena ketika masih berupa argumentasi, maka ia masih berupa ilmu Gambaran saja, seperti Gambaran tentang manisnya kurma dengan dalil-dalil yang akurat dan gamblang. Akan tetapi manakala sudah berupa ilmu-Hudhuri atau pewujudan, yakni dengan mengamalkannya bertubi-tubi dan tidak pernah berhenti, maka ia akan memiliki derajat yang layak dan sesunggunya dan juga jauh lebih tinggi. Karena ilmu-tashawwurinya atau ilmu-gambarannya itu telah menjadi ilmu-Hudhuri atau pewujudan dalam diri atau substansi diri. Kalau ilmu pertama seperti tahu tentang manisnya kurma, sekarang ini ia telah memakan kurma itu. Jadi, jangan terlalu bangga dengan keluasan ilmu apapun, baik Qur'an, Hadits, agama, akidah, akal, irfan...... dst dari yang dimiliki kita kalau belum diamalkan. Karena semua itu akan sirna manakala ruh kita sudah berpisah dari badan. Karena ilmu gambaran itu masih tergolong ruhani badani, sementara kematian dan akhirat adalah ruhani ruhani, bukan ruhani badani. 

Akan tetapi, ilmu argumentatif itu harus dicari dengan susah payah, karena tanpanya, apapun yang dilakukan manusia akan sia-sai, karena tidak di atas ilmu yang benar. Kata Imam Ja’far as. ”Orang beramal tidak dengan ilmu, seperti musafir yang tidak berjalan di atas jalannya, maka semakin cepat ia berjalan (semakin banyak melakukan taat), maka akan semakin cepat jauh dari tujuannya”. 

Jadi ilmu argumentatif itu harus dicari karena menjadi penentu selamatnya kita dan sampainya pada tujuan. Begitu pula harus disyukuri keberadaannya, karena tanpa pertolongan Tuhan semua itu tidak akan terjadi sekalipun kita telah bersusah payah berusaha menjangkaunya. Karena usaha itu tidak lain hanyalah sebab-potensi atau sebab-pendekat bagi kita untuk mencapai kebenaran dan hakikat, bukan sebab-pemberi, karena satu-satunya pemberi hanya Dia, tapi sudah tentu kita harus berusaha. Btw ilmu inipun adalah ilmu yang merupakan derajat sekalipun tidak terlalu tingi, tapi harus dicari dan disyukuri. 

4a. Agama Tuhan itu mengajarkan hal yang sama, yakni tentang tauhid dan pencapaiannya. Akan tetapi karena peradaban manusia seiring dengan bertambahnya jaman, selalu dalam, proses perubahan peradaban. Karena itulah maka cara pencapaiannya, kadang, satu agama dengan agama lainnya berbeda sekalipun sama-sama dari Tuhan. 

b. Dengan penjelasan itu, maka dapat dimengerti bahwa agama apapun memiliki ruh yang sama. Dan para nabi yang berjumlah 124.000 orang itu adalah mengajarkan agama dan aturan Tuhan sesuai dengan peradaban masing-masing yang, sudah tentu memiliki ruh yang sama. 

c. Karena itulah, karena pernyataan para filosof lama itu sangat argumentatif dan masuk akal serta tidak berubah sampai sekarang, maka para filosof Islam mengatakan bahwa mereka itu mustahil dari golongan orang-orang biasa, artinya, kalau bukan nabi maka pastilah murid nabi, seperti hakim/filosof/bijak seperti Lukman as. 

d. Dengan penjelasan di atas itu, maka jelas bahwa agama Tuhan itu, semakin diturunkan untuk manusia yang semakin beradab, atau setidaknya memiliki potensi untuk beradab dengan adab yang lebih tinggi, maka agamanya pasti labih sempurna. 

e. Begitu pula, ketika agama itu memiliki posisi yang terakhir, seperti agama kita ini, maka ia pasti merupakan agama yang tertinggi dan terlengkap dari agama-agama sebelumnya. 

f. Dan karena agama Islam kita ini adalah agama tertinggi, maka ia akan sesuai dengan peradaban tertinggi sekalipun. Karena itulah maka kecanggihan apapaun yang dicapai manusia dalam teknologi dan semacamnya, masih dalam naungan keperundangan Islam. Artinya, Islam yang sebagai agama pengaturan hidup bagi manusia yang memiliki alat-alat kehidupan tercanggih pun, maka ia tetap dalam ketinggian peradabannya dari sisi mental dan kepengaturan serta kesepernafasan pencapaian insan kamil itu. Dengan bahasa yang lebih ekstrim, Islam tetap mampu mengatur manusia tercanggih sekalipun, karena ia adalah agama yang mengatur kehidupan berakidah dan berakhlak dengan baik hingga bisa mencapai insan kamil. Ia bukan agama yang mengajari membuat alat-alat hidup seperti komputer, pesawat dan semacamnya. 

g. Ketika agama Islam kita ini adalah agama tertinggi, maka pedoman apapun di masa lalu, asal masih sesuai dengan peradaban masa kini, maka ia akan tetap ada dalam ajaran Islam kita sekarang ini. Jadi, ajaran para nabi terdahulu dan bahkan yang paling dahulupun seperti nabi Adam as, akan tetap terpakai dalam ajaran kita ini asalkan masih sesuai dengan syarat sesungguhnya pencapaian insan kamil. 

h. Dengan penjelasan di atas, maka kita tidak usah merasa aneh, kalau ajaran Islam kita ini memiliki kesamaan dengan Yahudi atau Nasrani, karena agama-agama itu adalah agama Tuhan, dan tidak hancur secara keseluruhan, yakni hanya tercampur kebatilan. Jadi, bisa saja ada kesamaan. 

i. Ketika agama-agama terdahulu itu merupakan agama-agama dari Tuhan dan orang-orangnya merupakan nabi-nabi utusan Tuhan, begitu juga murid-murid para nabi itu adalah murid kesayangan dan alim di dalamnya, maka mereka sudah pasti saudara kita, guru kita, contoh kita...dst. Artinya, kita tidak mesti menolak mereka dengan alasan bukan umat Nabi saww. Karena itulah Tuhan banyak mengisahkan mereka dalam Qur'an yang menjelaskan kepada kita bahwa Tuhan menginginkan dari kita untuk meniru mereka, karena Qur'an bukan kitab sejarah. Jadi, hukum dan akhlak yang diajarakan Tuhan kepada kita lewat Qur'an, tidak mesti berupa perintah, anjuran atau larangan, tapi bisa berupa contoh-contoh kehidupan orang- orang terdahulu dari orang-orang yang dicintai Tuhan atau yang dimusuhiNya. 

j. Penjelasan di atas adalah sebuah dukungan bagi kenyataan bahwa Islam ini memiliki ajaran yang paling lengkap dan tinggi. Tapi dari sisi kelengkapan cara pencapaiannya, yakni dari sisi syariatnya. Akan tetapi dari sisi tauhidnya, sudah pasti sama dengan ajaran-ajaran sebelumnya. 

k. Ketika ajaran tauhid kita sama dengan orang-orang terdahulu, lalu mengapa harus mera- sa rendah berguru kepada orang-orang hebat di jaman sebelum Islam? Apakah Islam mengajarkan membumi hanguskan kebenaran? Atau melarang kita belajar kebenaran yang argumentatif dari para nabi atau wali sebelum Islam? Kalau begitu lalu buat apa Tuhan sering menyebut mereka dalam Quran? 

l. Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pedoman apapun kalau tidak betentangan dengan akal-argumentatif-gamblang, maka ia adalah ajaran Islam, baik Islam Nabi saww atau islam nabi-nabi atau wali-wali sebelumnya. 

m. Memang, Islam adalah agama terhebat, Nabi saww dan para imam as adalah orang terhebat, akan tetapi umat islam bukan umat terhebat. Artinya umat Islam, sebagai manusia yang bercampur antara bodoh dan pandainya, baik dan bejatnya, memilki potensinya sendiri. Artinya, kalau tidak belajar , ya....biar agamanya islam, maka tetap bodoh dan tidak tahu apa-apa. Jadi, keunggulan Islam dari agama terdahulu, tidak menjadi dalil bagi keunggulan umatnya dari umat terdahulu. Karena itulah, maka ketika orang-orang Masehi melihat kepala imam Husain as maka mereka berkata ”Kalau kami yang punya nabi kalian itu, maka jangankan anaknya, bekas kakinyapun akan kami tabarruki” (terjemahan ruh dan maksudnya, bukan matannya). 

Antum lihat, Nabi saww masih baru wafat dan badannya masih hangat, umatnya sudah meninggalkannya sampai 3 hari baru datang untuk menguburkannya. Mereka lebih memilih ribut pemiluan yang tidak diajarkan Islam, ketimbang meminta wasiat dan petunjuk Nabi saww. Bahkan, karena Nabi saww sudah menunjuk khalifahnya dan meminta kertas untuk menuliskannya tapi mereka menentangnya dan mengatakan bahwa Nabi saww telah mengi- gau seperti yang diriwayatkan di Bukhari dan Musalim, maka jelas sahabat-sahabatnya itu paling buruknya shahabat sepanjang sejarah kenabian. Nah, dengan kenyataan ini, maka umat Islam tidak bisa berdalil bahwa ia lebih hebat dari umat sebelumnya dan lebih pandai. 

n. Dari sisi lain, setiap kebenaran, bisa dijangkau dengan dua hal, akal dan Qur'an. Memang jumlah jangkauannya bisa berbeda. Akan tetapi keduanya adalah alat untuk mencapai kebenaran, karenanya dikatakan ilmu. Yakni Qur'an adalah ilmu dan akal juga ilmu. 

o. Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Qur'an adalah Qur'an, artinya, lengkap, tinggi dan paling sempurna. Tapi kita, umat Islam adalah umatnya, bukan Qur'an. Jadi, kalau kita ingin tahu Qur'an, maka harus meningkatkan daya pikir dan daya tangkap kita serta memperbanyak argument. Karena itulah Tuhan dalam Qur'an menyuruh kita merenungi Qur'an, alam, dan Tuhan sendiri. Yakni MERENUNGI, bukan hanya membaca Qur'an dan apalagi MEMBANGGAKAN Qur'an. Memang, bangga boleh dan harus, tapi bukan itu yang meninggikan kita secara sesungguhnya, karena bangga itu baru merupakan langkah awal dalam mengimani Qur'an dan ketinggian serta kelebihannya dari agama lainnya. Dan hakikat ketinggiannya dalam kita, bukan dalam Qur'an, adalah ketika kita memahaminya dengan akal kita dalam kemasan argument yang jelas, kuat dan gamblang. 

p. Ketika Tuhan Qur'an, Nabi saww dan para imam suci as, tidak bisa dipahami penjelasannya dengan baik, lantaran mereka berbahasa sesuai dengan umat yang dihadapinya (beda kalau menghadapi Plato), yakni umat yang kebanyakan kasar dan tidak pandai, maka sudah jelas mereka mengemas ajarannya dalam bentuk bahasa yang bisa dipahami secara gradasi. Karena itulah dalam ilmu Ushulfikih dikatakan bahwa dalam memahami hukum harus merujuk ke peradaban bahasa waktu adanya para makshum, bukan sekarangan. Hal itu supaya dapat kita pahami di waktu sekarangan ini, apa maksud sebenarnya di waktu dulu sesuai dengan maksud pengucapnya, yakni Tuhan, Nabi saww dan para imam makshum as. 

q. Ketika mereka (Tuhan, Qur'an, Nabi saww dan para imam makshum as) mengajar dalam bentuk bahasa yang bergradasi, dan di lain pihak mewajibkan kita menggunakan perenungan akal dan dalil, maka dalam ajaran-ajaran yang berupa makrifat, yakni yang bukan hukum, maka kita harus menggunakan rumus dalil-dalil kebenaran yang gamblang. Dari manapun dalil-dalil itu. Baik ditemukan kita, atau umat terdahulu, seperti benda lebih besar tidak bisa masuk ke dalam benda yang lebih kecil. 

r. Nah, ketika kita melihat, bahwa ilmu-ilmu dari umat terdahulu itu, sebagiannya memiliki rumus-rumus dalil yang akurat dan gamblang (filsafat), maka layak sekali untuk dijadikan alat memahami ajaran mereka itu (Tuhan ...dan seterusnya itu itu). 

s. Karena itulah kalau kita melihat secara seksama, betapa kayanya agama kita dan betapa hebatnya. Bayangin, dulu dikala hanya para filosof yang mengerti bahwa Tuhan hanya mencipta satu makhluk dari satu itu mencipta yang lainnya, dalam Islam dengan mudah dapat dijumpai hadits yang mengatakan bahwa makhluk pertama adalah Akal, Nur Muhammad.... dst, atau ”Aku dan Ali dari pohon yang sama”.....dan seterusnya. 

t. Akan tetapi umat Islam, karena belum terlalu tinggi berpandangan ilmu kala itu, maka sudah tentu yang ditonjolkan dalam ajaran-ajaran makrifat alias selain fikih itu mendasarkannya kepada keimanan dan kepercayaan kepada Rasul saww sekalipun tidak paham dengan sejelas-jelasnya apa yang dimaksudkan Nabi saww. 

u. Karena itulah maka rumus pemikiran, asal jelas dan gamlang, bisa digunakan untuk menguak ajaran-ajaran makrifat itu, bukan fikih. 

v. Jadi, Islam sama sekali tidak perlu kepada ilmu umat terdahulu, tapi untuk memahaminya bisa dikatakan perlu seperti dimakrifat dan bisa dikatakan tidak perlu seperti di fikih. Dan ingat, yang perlu itu adalah kita, bukan Nabi saww dan para imam makshum as, karena mereka sudah mencapai tingkat sesungguhnya Qur'an itu dengan kesucian dari dosa yang mereka ikhtiari-i yang ditempuh dalam waktu yang super cepat dan yang tidak bisa dijangkau oleh yang lainnya. 

w. Ilmu-ilmu terdahulu itu, tidak beda dengan ilmu-ilmu sekarang yang didapat dari umat Islam atau barat yang kafir. Artinya, kalau ia benar dan argumentatif, maka mengapa tidak dijadikan alat memahami Islam? Apakah dulu ada pelajaran matematika, fisika, kedokteran, ushulfikih, kalam, hadits, tafsir, metodologi tafsir...dst? Nah, kalau kita mengatakan bahwa Islam ternoda karena telah memakai ilmu-ilmu orang terdahulu, maka ia juga ternoda karena telah mengambil dari umatnya sendiri atau orang kafir pada masanya. Anda akan berkata bukan, bahwa semua itu adalah alat menjabarkan Islam? Nah, seperti itu pula posisi ilmu-ilmu terdahulu. 

x. Sementara untuk metode pencapaiannya, bukan makrifatnya, baik yang berupa hukum atau akhlak atau irfan, maka jelas Islam memiliki jalan yang lebih lengkap. Karena itulah maka bagi yang pandai menggalinya, akan menjadi setingkat dengan nabi-nabi as terdahulu. Karena itulah maka dalam suluk atau cara pencapaian, Islam memiliki ajaran yang kaya yang bisa dipahami dengan lebih mudah dari ajaran makrifatnya. Karena itulah suluk dalam Islam sangat lengkap dan hebat serta tinggi. 

Wassalam. 

Jajar Genjang: Luar biasa! Terima kasih banyak atas penjelasan yang begitu terperinci. Hal sangat bermanfaat bagi para awamis seperti saya. Semoga anda senantiasa berada dalam kasih & sayang Allah swt. Amin. Terima kasih. 

Sinar Agama: Salam, terimakasih atas doanya, semoga meliputi antum dan semua teman- teman fb lainnya juga, amin. Semoga antum menerbitkannya untuk umum ketika mengirimkan pertanyaan antum hingga bisa dilihat orang lain di beranda umum, bukan hanya saja di beranda saya.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ