Tampilkan postingan dengan label Logika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Logika. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Oktober 2020

Hukum Fisika Perjalanan Isra’ Mi’raj


oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/268683179843152/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 30 Oktober 2011 pukul 16:25


Shecha Camenne Empungnya Si Agoago: Salam ustadz. Mohon terangkan pada saya secara logika, bagaimana melogikakan perjalanan supranatural Rasulullah SAW (Isra’ Mi’raj) ketika di perjalankan ke Sidratul Muntaha, karena menurut logika benda langit saja yang masuk ke bumi akan terbakar ketika melewati ozoN. Nah, bagaimana dengan hal tersebut?

Mohon logikanya.

Sabtu, 11 Juli 2020

Logika (bgn 8): Konsep Kemahiyahan, Konsep Kefilsafatan dan Konsep Kelogikaan. 3 tipologi


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/244652735579530/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 7 September 2011 pukul 3:26


Zulkarnain Syawal: Salam alaikum Ustad, afwan sahaya hendak nanya Ustad : dalam perdebatan kefilsafatan, Ayatullah Muhammad Taqi Mizbah Yadzi begitu menekankan urgennya memahami secara benar konsep kemahiyaan, konsep kefilsafatan, dan konsep kelogikaan. 3 tipologi konsep ini merupakan batu loncatan mensortir pemahaman yang ajek dan solid terhadap seabrek narasi. Bila Ustad berkenan sahaya sangat berterimakasih atas penjelasan tentang tripologi konsep itu secara luas dan sederhana. Sekali lagi terimakasih berat Ustad.

Sabtu, 22 Februari 2020

Logika (bgn 8) Wujud Akal Mewujud Diluar Akal


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=223765007668303 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 26 Juli 2011 pukul 15:04



Muhammad Yusuf S Tarigan: Ustadz, bagaimana dengan wujud akal mewujud di luar akal, apakah seperti penggambaran, atau penangkapan, atau cerminan, atau seperti apa??? Ustadz, dan saya juga mohon doanya, juga saya berharap berkah dari setiap tulisan di status ini, dan keikhlasan semua..

Jumat, 17 Januari 2020

Logika (bagian 7) Hubungan Sebab – Akibat dan Argumentasi Gerak


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=220478367996967 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 19 Juli 2011 pukul 12:35


Al Louna: Salam ustadz afwan, satu pertanyaan lagi... Tolong jelaskan:

1. Mengenai hubungan Sebab dan Akibat?
2. Tentang argumentasi Gerak?

Syukran ustadz, semoga amalan ilmu ustadz bisa membawa ustadz ke sebuah akhir yang di mimpikan,,, insya Allah....

Rabu, 24 April 2019

Predikasi Antara Eksistensi dan Esensi


Seri tanya jawab Muhammad Zaranggi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:57 am


Muhammad Zaranggi mengirim ke Sinar Agama: 5 Maret 2013 melalui seluler 

Salam ustadz..afwan... Mohon penjelasan kaidah wujud sebagai berikut : Di dalam akal wujud mensifati esensi. Oleh karenanya kita dapat memberikan atau menarik wujud dari esensi. Sedang di luar akal maka esensilah yang mensifati wujud. Oleh karenanya kita dapat mengabaikan esensi dan hanya memperhatikan ke-wujudan sesuatu. 


Terima kasih... 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Sepertinya ana sudah pernah menjawab soalan seperti ini. Ana tidak tahu yang bertanya itu antum atau orang lain. Kita tunggu dulu Sang Pencinta barangkali dapat membantu. 

Sang Pencinta: 1014. Wujud Tuhan dan Ketiadaan Esensi Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464411396936995/ 

Sang Pencinta: 1016. Posisi Eksistensi dan Esensi Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464412050270263/ 

Sang Pencinta: 996. Presepsi Dan Esensi yang Belum Dikenali Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464406786937456 

Sinar Agama: Sekedar meringkas mungkin (setelah antum baca nukilan Pencinta di atas): Di alam nyata, tidak ada yang bisa mendahului wujud, baik esensi atau lainnya. Karena itu, maka wujud dulu yang ada, baru esensinya. Karena esensi ini adalah batasan wujud itu. Jadi, yang dibatasi dulu harus ada, baru batasannya. Dahulu mendahului di sini, bukan dari sisi waktu. Tapi dari sisi tertib wujud. 

Dengan demikian, maka wujudlah yang harus selalu menjadi subyek dari predikat yang akan ditetapkan padanya. Yakni wujud harus jadi subyeknya dan esensi menjadi predikatnya. 

Akan tetapi di dalam akal, wujud dan esensi ini bisa dipisahkan. Karena akal dapat memahami bahkan yang tidak ada, yakni pahaman “tiada”. 

Yang ke dua, dalam akal, sepintas esensi dulu yang terlihat melebihi wujud atau eksistensinya. 

Misalnya kalau membayangkan pohon. Maka akal, pertama bisa membayangkan pohon tanpa wujud. Lalu ke dua, akal bertanya apakah pohon ini ada atau tidak? Lalu ia menjawab “ada” misalnya. Karena itu, maka di dalam akal, yakni dalam pahaman, seringnya esensi itu yang menjadi subyek dan wujud menjadi predikatnya. 

Padahal sebenarnya, yang benar, bukan “Pohon ini/itu ada”, tapi “Wujud ini berupa pohon.” 

Masih ada lagi yang lainnya hingga bagi kepahaman, wujud seperti nampak lebih jelas dari esensi seperti ketika melihat wujud dari jauh yang tidak jelas esensinya. Akal akan bertanya-tanya “apakah wujud itu?”. Ini tandanya, kurang perhatiannya akal pada beberapa kondisi, selain pada esensi itu sendiri. 

Itulah mengapa dikatakan bahwa wujud itu paling terangnya sesuatu tapi dalam pada itu, ia juga merupakan paling tidak diketahuinya sesuatu. Dan dikatakan bahwa saking terangnya wujud itu, hingga kurang diperhatikan atau kurang dipahami. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Predikat Wujud Harus Berwujud Pula



Seri tanya jawab Muhammad Zaranggi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:55 am

Muhammad Zaranggi mengirim ke Sinar Agama: 5 Maret 2013 melalui seluler, Salam ustadz. 


Mohon penjelasan dan contoh dari kaidah wujud sebagai berikut: Setiap yang mengiringi wujud dari sifat-sifat dan hukum-hukum atau berita -berita maka semua itu tidak keluar dari zatnya. Karena di luar zat-wujud adalah ketiadaan. Afwan ustadz... 



Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Wujud atau eksistensi, adalah keberadaan. Keberadaan ini, kalau dipredikati, apapun predikat itu, maka harus juga ada. Karena kalau mempredikati atau mengabarkan wujud dengan sesuatu yang tidak wujud (tiada), berarti telah membuat kontradiksi yang nyata. Karena itulah, maka wujud, tidak bisa dikabari atau dipredikati dengan sesuatu yang tidak wujud. 

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana mungkin yang tidak wujud bisa dijadikan predikat atau berita? Jawabnya, sesuatu yang dijadikan berita itu tidak seutuhnya tiada. Dia hanya tiada di alam nyata atau di alam realitas, tapi ada di akal dan pahaman kita seperti pahaman tiada itu sendiri, atau sekutu Tuhan, atau ayah nabi Isa as...dan seterusnya....dimana hal-hal itu tidak ada di alam nyata, tapi ada di pahaman kita. 

Bahkan, yang tiada di alam nyata dan hanya ada dalam pahaman kita itu, bisa dijadikan subyek, seperti: “Sekutu Tuhan itu mustahil adanya” atau “Tiada itu tidak bisa dijadikan predikat.” atau “Kontradiksi itu mustahil terjadi”.....dan seterusnya. 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu, maka dapat dipahami bahwa kalau yang diinginkan sebagai subyek itu adalah keberadaan, maka predikat-predikat atau berita-beritanya, harus pula berupa keberadaan. Karena selain keberadaan adalah tiada yang akan kontradiktif dengan keberadaan kalau mau dijadikan predikatnya hingga membuat pemberitaannya atau pempredikatannya, akan menjadi salah. Yakni proposisi atau kalimat berita atau subyek predikat itu, akan menjadi salah kalau dipredikati dengan hal-hal yang tiada. 

Karena itulah maka wujud atau keberadaan, hanya bisa dipredikati atau dengan kata lain diiringi, dengan hal-hal juga ada juga. 

Misalnya: “Ada itu adalah ada”, atau “Ada itu adalah substansi dan aksidental”, atau “Substansi itu adalah substansi”, atau “Substansi itu ada lima macam”, atau “Substansi itu sesuatu”, atau “Substansi itu sesuatu yang keberadaannya tidak perlu kepada pondasi/partner”, atau “Aksidental itu adalah aksidental”, atau “Aksidental itu perlu kepada substansi kalau ingin eksis/ nyata”....................... dan seterusnya. 

Atau seperti “Manusia itu manusia”, atau “Manusia itu rasional”, atau “Manusia itu beradab”, atau “Manusia itu memiliki ruh”, atau “Manusia itu memiliki ilmu”, atau “Manusia itu ada yang sarjana”, ....dan seterusnya. 

Semua berita atau predikat-predikat dari ada atau sesuatu yang ada itu, harus juga berupa ada dan keberadaan, tidak bisa dari hal-hal yang tiada, seperti “Ada itu adalah tiada”, atau “Ada itu sekutu Tuhan”, atau “Substansi atau Aksident itu adalah ayah nabi Isa as atau ayah nabi Adam as.”, atau “Ada/substansi/aksidental itu adalah ayah Tuhan”, atau “Isa adalah anak Tuhan”....dan seterusnya. 

“Tiada”, “Sekutu Tuhan”, “Ayah nabi Isa/Adam as” dan “Ayah Tuhan” dan “Anak Tuhan”, adalah hal-hal yang tiada. Karena itu, tidak bisa dijadikan predikat atau berita atau iringan, terhadap hal-hal yang ada seperti yang disebut dalam contoh di atas tersebut. 

Sang Pencinta: Logika (bgn 6 ): seri Tanya jawab Status Ustadz. Muhsin Labib 

(status) :Muhsin Labib: sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apapun tidak berlaku.. = http://www.facebook.com/home.php?sk=group_210570692321068&view=doc&id=212301118814692 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 22 April 2019

Sulitnya Pertanyaan “Tuhanmu Siapa?” di Alam Kubur/ Akhirat



Seri tanya jawab Bande Husein Kalisatti dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:25 am

Bande Husein Kalisatti mengirim ke Sinar Agama: 4 Maret 2013, Salam, dalam hadits-hadits diberitakan akan ada pertanyaan dalam alam kubur, misal : Siapa Tuhanmu, siapa Nabimu, siapa Imammu..dan lain-lain..pertanyaannya “Apakah Ruh serta merta dapat menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut atau apakah argumentasi-argumentasi yang dibangun dengan akal saat dunia tentang Tauhid, Kenabian, Imamah bisa membantu Ruh dalam menjawab pertanyaan tersebut..? Atau bila salah dalam membangun akidah maka apakah Ruh akan kesulitan menjawab pertanyaan dalam alam kubur tersebut..? Afwan. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 
Ilmu di dunia itu ada dua macam: Hushuli dan Hudhuri. 

1- Ilmu Hushuli adalah ilmu yang belum menyatu dengan ruh, yaitu ilmu-ilmu yang dibangun karena dalil-dalil dan argumentasi. Tentu saja argumentasi-argumentasi yang sudah benar. Sebab kalau argumentasinya salah, maka ia bukan ilmu atau bukan tahu, tapi justru ketidaktahuan ganda (jaahil murakkab). 

Nah, ilmu-ilmu yang dibangun dengan panca indra, baik yang tanpa premis-premis atau dalil-dalil argumentasi, atau dengan aturan premis-premis yang disusun hingga menjadi argumentasi yang kuat, semua itu, adalah ilmu Hushuli. 

Ilmu-ilmu Hushuli ini, jangankan di kuburan dan akhirat, di masa tua saja biasanya sudah dilupakan dan bahkan dalam beberapa jam atau hari, bisa terlupakan. 


Karena itu, ilmu-ilmu yang kuat sekalipun, seperti dengan dalil-dalil filsafat sekalipun, atau dalil-dalil irfan sekalipun, akan tetap ditinggalkan di dunia dan tidak akan pernah dibawa ke alam kubur. 

Jadi, jangan kira bahwa karena kita di dunia ini sudah alim, pandai dan kuat argumentasiargumentasinya, dan bahkan sudah menulis buku atau memiliki jutaan murid, lalu sudah aman dan di kuburan/akhirat pasti bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mudah seperti “Siapa Tuhanmu?” dan seterusnya. Karena ilmu argumentasi tersebut, tidak akan pernah bisa dibawa ke kuburan atau akhirat.
2- Ilmu Hudhuri adalah ilmu yang menyatu dengan ruh, seperti ilmu tentang keberadaan diri kita sendiri, ilmu kita tentang kondisi kita seperti marah, cinta, benci, ridha, senang....dan seterusnya. Ilmu-ilmu ini, akan selalu menemani kita kemana saja karena ia sudah merupakan bagian dari substansi diri kita atau ruh kita. 

Sedangkan ilmu-ilmu Hushuli di atas itu, bisa dijadikan ilmu Hudhuri juga dengan proses gerak-substansi. 

Sebagaimana sudah sering dijelaskan di catatan-catatan, bahwa gerak itu, yaitu perubahan dari titik potensi ke titik defacto (yang dipotensi-i), ada dua macam: Gerak Aksidental (seperti gerak volume mangga kecil ke besar, kualitas mangga masam ke manis...dan seterusnya, atau gerak ruh dari tidak tahu ke tahu seperti dalam ilmu-ilmu Hushuli itu) dan Gerak Substansial (seperti gerak mani ke darah, ke daging, ke janin dan ke bayi sempurna dan ke manusia sempurna). 

Dan sudah dijelaskan juga bahwa gerak Aksidental itu bisa menjadi Gerak Substansial, seperti sifat-sifat manusia yang sudah mengakar dan mengkarakter. Nah, ilmu Hushuli-Hushuli itu, kalau diproses dengan Gerak Substansial, maka ia akan menyatu dengan ruh manusia itu dan selamanya akan menyertainya. 

Mensubstansikan ilmu Hushuli menjadi Ilmu Hudhuri, adalah dengan cara mengaplikasikannya. 

Aplikasi ini, juga tidak bisa hanya sekali dua kali, karena ia akan tetap menjadi sifat atau aksiden. Misalnya, shalat yang dilakukan sekali dua kali, apalagi shalat yang tidak khusyu’ hingga mungkin belum masuk ke dalam kategori shalat secara hakiki, tidak akan membuat pelakunya berkarakter dengan “Pelaku Shalat”. Jadi, dia baru menjadi orang yang memiliki sifat “Pelaku Shalat”. Tapi kalau sudah dilakukan sebegitu rupa hingga mustahil ditinggalkan, maka ia akan menjadi “Binatang Rasional Pelaku Shalat” atau bisa diringkas dengan “Binatang Rasional Shalat.” 

Sudah tentu, mutu shalat yang terkarakterkan itu akan memiliki ribuan macam. Ada shalat yang tidak khusyu’, ada shalat yang agak khusyu’, ada yang shalat riya’ (karena ingin dipuji orang atau ingin sehat), ada yang shalat salah fikihnya, ada shalat.......dan seterusnya. 

Saya hanya mencontohkan satu masalah yang bisa berubah dari Aksidental/sifat menjadi Substansial/dzat. Itu saja, dan tidak membahas apa yang pada hakikatnya telah menjadi substansialnya itu. 

Begitu pula sifat-sifat lain, baik ia sifat baik seperti jujur, penolong, pemaaf (pada tempatnya), atau ia sifat buruk seperti riya’, sombong, tidak menghargai orang lain, ingin jadi pemimpin orang lain, menggunakan teman sendiri, menjual derita orang untuk kepentingan diri dan golongannya, korupsi, pemakan riba, ................dan seterusnya. 

Ringkasan: 

Dengan semua penjelasan itu dapat dipahami bahwa Ilmu Hushuli itu, yakni Ilmu yang sudah benar tentang Tuhan dan keimanan-keimanan lainnya dan sudah dibuktikan dengan panca indra dan akal argumentatif, dapat dijadikan Ilmu Hudhuri dengan mengamalkannya secara istiqomah hingga aplikasi tersebut mustahil terpisahkan dari kita hingga dengan hal tersebut aplikasi itu menjadi bagian dari substansi/dzat diri kita. 

Misalnya ilmu yang mengatakan “Tuhan itu ada”. Ketika kita mengaplikasikan ilmu ini, yaitu bahwa aturan hidup harus dari DiriNya, baik aturan pribadi, rumah tangga dan sosial-politik dan kita mengamalkannya dengan baik, profesional serta ikhlash dan istiqamah sampai mengkarakter kepada kita, maka ilmu Hushuli tersebut, akan menjadi Ilmu Hudhuri dan bagian dzat kita. 

Tapi kalau ilmu “Tuhan itu ada” tersebut tidak dibarengi dengan aplikasi, misalnya tidak meyakini bahwa Ia mengatur kita atau bahkan tahu kalau mengatur kita tapi kita malah menentangnya atau tidak menaatinya, sudah jelas keyakinan dan perbuatan seperti ini bertentangan dengan ilmu “Tuhan itu ada”. Karena keyakinan dan perbuatan seperti ini, jelas sama dengan menganggap bahwa “Tuhan itu tidak ada”. 

Ketika seseorang mengaplikasikan ilmu “Tuhan itu ada” dengan baik, profesional (melalui fikih dari mujtahid yang mengambil dari makshumin as yang mengambil dari Nabi saww yang mengambil dari Allah swt) dan ikhlash yang luar biasa, maka akan menjadi substansinya dan, karenanya, tidak akan pernah berpisah dari dirinya. Karena dirinya tidak akan berpisah dari dirinya sendiri, yaitu hakikat sesuatu itu adalah dirinya itu. Karena itu, ia akan dapat dengan mudah menjawab pertanyaan “Apakah Tuhan itu ada?” atau pertanyaan “Siapa Tuhanmu”. 

Ia akan menjawab “Tuhan itu ada”, dan “Tuhan itu Allah”, atau “Tuhan itu Maha Segala-galanya hingga Ia yang berhak mengatur kita dan berhak ditaati sepenuhnya tanpa menoleh dan mengambil prinsip lain walau nampak indah sekalipun.”.............dan seterusnya. 

Tapi kalau tidak mengaplikasikan ilmu itu, maka ia akan kebingungan tentang apakah Tuhan itu ada, atau atau apa fungsi keberadaan Tuhan bagi manusia di dunia, atau apa tanggung jawab manusia kepadaNya.....dan seterusnya. 

Ayatullah Jawodi hf sampai-sampai mengatakan bahwa saking bingungnya, bisa saja mengatakan bahwa si penanya itu sendiri tuhannya, yakni si malaikat penanya itu dan menjawab “Kamu adalah tuhanku”. Maksud beliau hf, kira-kira, bisa karena saking bingungnya menjawab hal tersebut, bisa juga menyebut siapa-siapa yang ia ikuti di dunia, bisa saja yayasan yang selalu diperjuangkannya, ormas yang diperjuangkannya, partai yang diperjuangkannya, posisi dan harga diri yang diperjuangkannya ...dan seterusnya. Jadi, bisa saja ia akan menjawab “Aku tuhan itu”, yakni kalau ia selalu mengikuti dirinya sendiri di dunia dan tidak mengikuti Tuhannya. Bisa saja ia akan menyebut partainya, organisasinya atau kekasih yang selalu dipuja dan diikutinya. Na’udzubillah. 

Penutup: Walhasil, dengan semua itu, maka jelas kita tidak bisa enteng-entengan tentang kuburan dan akhirat itu. Jangan sesekali merasa sudah mantap bisa menjawab pertanyaan yang diajukan dan diberitakan di hadits itu, yakni seperti pertanyaan “Siapa Tuhanmu”. Sebab kalau hanya enteng seperti itu, maka Nabi saww dan Tuhan, tidak perlu mewajibkan kita taat secara hebat dan luar biasa kepadaNya. Karena pertanyaan-pertanyaan itu sudah diberitakan sebelumnya dan semua manusia sekalipun kafir, sangat bisa mempersiapkan jawabannya dari sekarang. Yakni kalau masalahnya, hanya masalah ilmu Hushuli atau ingatan dan argumentatif itu. 

Dengan demikian, maka tidak ada jalan untuk selamat, kecuali dengan amal. Tentu saja amal yang profesional dan tepat. Karena itu, harus dengan ilmu akidah yang benar yang bisa dibuktikan dengan argumentasi mudah atau gamblang, lalu diaplikasikan secara profesional seperti harus dengan taqlid kepada marja’ yang mengambil dari para makshumin as, lalu harus dengan ikhlash yang luar biasa yang tidak bercampur selainNya sedikitpun hingga menjadi karakter kita (karakter taqwa secara profesional dan tepat itu) yang tidak terpisahkan selamanya, baik di dunia, kuburan dan akhirat. Wassalam. 

Bande Husein Kalisatti: Jad maksudnya, pertanyaan-pertanyaan itu bisa terjawab atau mudah dijawab saat ilmu dan amal sudah menjadi karakter atau mensubstansi, hingga menjadi diri... afwan. 

Sinar Agama: Bande: Benar begitu dan ilmu-ilmu itu akan hilang sebelum menjadi aplikatif yang mengkarakter tersebut. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 09 Desember 2018

Wujud Tidak Bisa Dikonsep



Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 2, 2013 at 12:05 pm


Muhammad Dudi Hari Saputra mengirim ke Sinar Agama: 28 November 2012 

Salam ustadz... Ketika saya mengenal/mengetahui wujud, apakah yang saya ketahui itu adalah wujud nya wujud? atau konsep dari wujud (persepsi)? 

Saya pernah mendengarkan rekaman pelajaran dari Prof.Dr. Ali Shomali yang berkata bahwa ketika mengenal wujud itu ada dua pengetahuan sekaligus, yaitu sebagai persepsi (epistemologi) dan sebagai wujud yang dipahami (ontologi),, 

dan kalau saya tidak salah Allamah Sabzawari pernah berkata bahwa wujud secara konsep itu terang (bisa diketahui) sedangkan wujud sebagai realitas wujud itu sendiri adalah gelap (tak bisa diketahui), mohon penjelasannya ustad? Syukron wa Afwan.. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Tolong bahasa asli dari pragraf ke dua dinukilkan, kalau bisa. 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Maaf ustadz,, saya juga gak hapal bahasa aslinya,, saya dapat ini dari penjelasan salah satu ustadz,, tapi inti pertanyaan saya adalah apakah yang kita ketahui itu hanya konsep wujud atau realitas dari wujud? Afwan ustadz,, 

Sinar Agama: Siapa ustadznya? 

Sinar Agama: Atau antum tanya dulu pada ustadz itu dan nanti kalau sudah jelas apa yang antum pahami dan yang belum dipahami, maka tanya lagi. Karena kulihat, di tulisan antum itu masih terdapat kekurangjelasan atau, setidaknya perlu kerincian maksudnya. 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Sinar Agama: Salam ustadz,, ini kalimat allamah Sabzawari nya: muarrfil wujud syarhul ism. wa laysa bil haddi wa la birrasm. mafhumuhu min a’rafil asyya. wa kunhuhu fi ghayatil khifa. 

dikutip dari Manzumah ustadz,,, syukron.. mohon penjelasannya ustadz,, 

Sinar Agama: Akhi Muhammad: Antum usahakan kalau membahas filsafat dengan bahasa filsafat. Dan usahakan membaca tulisan-tulisanku kalau antum suka/mau. 

Dalam filsafat, seperti yang antum nukil dari Manzhumah itu, jelas dikatakan bahwa wujud itu tidak bisa didefinisi dan semua penjelasan tentang wujud itu hanya penjelasan kata (bukan definisi). Karena kalau definisi harus dengan genus dan pembeda dekat. Sementara wujud, tidak memiliki genus, karena ia adalah pahaman yang paling tinggi dan paling atas dimana tidak ada lagi pahaman yang lebih luas di atasnya. Tidak seperti pahaman “Joko” yang ada pahaman “manusia” di atasnya, dan pahaman “manusia” memiliki pahaman “binatang” di atasnya, dan pahaman “binatang” memiliki pahaman “benda berkembang” di atasnya dan pahaman “benda berkembang” memiliki pahaman “benda” di atasnya dan pahaman “benda” memiliki pahaman “sesuatu” di atasnya dimana pahaman “sesuatu” ini sama makna dengan pahaman “wujud” itu sendiri. 

Karena itu, wujud itu tidak bisa didefinisi karena tidak memiliki pahaman yang lebih luas di atasnya. Beda dengan pahaman “manusia” yang didefinisi dengan “binantang” yang merupakan genusnya (pahaman lebih luas) ditambah dengan deffrentianya atau pembedanya, yaitu “rasional”, hingga menjadi “binatang rasional.” 

Definisi ini, dalam istilah logika dan filsafat, disebut dengan mu’arrif, ta’riif, definisi atau konsep. Karena itu ketika antum tanya apakah wujud yang kita tahu itu hanya konsep atau kenyataan, maka pertanyaannya memperlihatkan tidak jelasnya yang ditanya. Dan pertanyaan yang di komentar antum itu, terlihat tidak sejalan dengan pertanyaan pertama yang antum tulis di dinding itu. Karena itu, saya tidak bisa menjawabnya, karena saya tidak tahu apa sebenarnya yang antum tanyakan. Yakni kalau menggabungkan berbagai kalimat antum yang di tulis di dinding dan di komentar. 

Itulah mengapa saya menyuruh antum untuk tanya kepada ustadz yang antum maksud itu, karena ia yang lebih tahu maksud kata-katanya. Baru setelah itu, antum bisa konfirmasi ke saya, baik dalam bentuk pertanyaan atau lengkap dengan kisah-kisahnya. 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Baiklah ustadz,, saya akan coba konfirmasi ulang lagi kepada yang menjelaskan tentang hal ini. Syukron ustadz. 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Salam ustadz. Begini penjelasan beliau: 

Definisi wujud itu hanya syarhul ism dan bukan definisi hadd dan rasm. Konsep wujud itu adalah konsep yang sangat jelas dan realitas intinya adalah tersembunyi. syukron wa afwan ustadz,, 

Sinar Agama: Nah, sekarang baru jelas. Beliau hf itu, kurang tepat mengartikan bait ke tiganya. Karena mafhuum itu adalah pahaman dan bukan konsep. Karena kalau dikatakan konsep, akan menjadi mahiyyah atau esensi. Ini menurut yang kupahami dari pemakaian istilah secara umum. Memang, mungkin saja orang mengatakan konsep tapi maksudnya adalah pahaman. Tapi hal seperti ini, kurang umum dipakai di istilah filsafat. 

Perlu diketahui bahwa mafhuum itu tidak seluruhnya konsep atau esensi. Wujud, adalah pahaman yang tidak bisa dikonsep atau dibangun pengertiannya dengan genus dan pembeda dekat dimana dikatakan sebagai esensi atau mahiyyah. Karena itu, penerjemahan konsep pada bait ke tiga di atas itu, dalam pengertianku yang cetek ini, kurang tepat. 

Tapi sekali lagi, penjelasan tentang hal ini, belum terlihat sentuhannya terhadap pertanyaan pertama antum di dinding ana itu. 

Jadi, terjemahan yang lebih tepat untuk bait-bait syair filsafat di atas itu adalah sebagai berikut: 

Mu’arrifil wujud syarhul ism 

wa laysa bil haddi wa la birrasm mafhumuhu min a’rafil asyya 

wa kunhuhu fi ghayatil khifa 

Konsep/defenisi wujud itu, hanyalah penjelasan kata (wujud). 

Bukan konsep/esensi dengan batasan penuh atau batasan kurang. 

Pamahamannya (wujud) adalah paling jelasnya sesuatu (karena itu tidak perlu konsep/definisi) 

Akan tetapi hakikatnya, berada di puncak ketersembunyian. 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Melanjutkan ustadz, jadi ketika saya memahami wujud, itu hanya pahaman saya ya ustadz? Bukan hakikat dari wujud itu sendiri? Afwan.. 

Sinar Agama: Kalau antum mau bahas wujud, artinya tanpa merujukkan kepada pemikiran siapapun, maka jawabanku sebenarnya sudah ada di catatan-catatan (seingatku setidaknya). Sekedar mengulang: 

1- Kalau wujud ala filsafat, maka jelas ada dua wujud yang kita ketahui. Pertama dengan ilmu Hudhuri, yaitu kehadiran diri kita pada diri kita. Ke dua, ilmu Hushuli, yaitu mengetahui wujud- wujud lain selain kita yang kita dapat dengan panca indra kita.

a-  Wujud yang dikteahui dengan ilmu Hudhuri ini, adalah hakikat wujud dan wujud ekternal. Tapi bukan pembayangan kewujudannya dan bukan pembayangan keeksternalannya. Artinya, wujud yang kita rasakan (dengan akal dan bukan dengan perasaan) dari wujud diri kita sendiri, itulah yang dikatakan ilmu Hudhuri. Tapi ketika akal kita membayangkannya, maka ia sudah menjadi bagian dari ilmu Hushuli. 

Nah merasa dengan akal tentang wujud kita sendiri ini, merupakan hakikat wujud dan ekternal. Tapi bayangan dan ide-nya, atau bayangan atau ide tentang keeksternalannya, merupakan bagian dari ilmu Hushuli. 

Begitu juga tentang wujud-wujud yang merupakan akibat dari wujud diri kita, seperti perasaan yang kita punya, ilmu yang kita punya, bayangan yang kita punya.......dan seterusnya.., adalah wujud-wujud yang merupakan ilmu Hudhuri dan hakikat wujud dan merupakan wujud eksternal. 

Begitu pula pengetahuan kita tentang sebab kita, juga merupakan ilmu Hudhuri dan konsekuensinya juga merupakan hakikat wujud eksternal itu walau, sebatas wujud kita sendiri. 

b- Sedang pengetahuan kita terhadap wujud-wujud yang lain yang didapat bukan dari kehadiran wujud itu sendiri di dalam diri kita, tapi melalui panca indra yang biasanya hanya bersentuhan dengan esensinya dan bahkan hanya esensi aksidentalnya (bukan esensi substansialnya), maka ia adalah ilmu Hushuli yang, jelas bukan hakikat wujud itu. Jadi, hanya pahaman atau ide (dalam istilah lainnya) dari wujud itu, dan, sudah tentu bukan wujud itu sendiri. 

Tapi karena pahaman dan ide itu bermacam-macam, dan, seperti yang sudah diterangkan sebelumnya, pahaman wujud itu tidak memiliki pahaman yang lebih luas di atasnya, maka ia tidak bisa dikonsep yang, dengan kata lainnya dita’rif atau didefinisikan. Karena itulah, setiap penjelasan mengenai wujud, bukan dari esensi atau definisi atau ta’rif, tapi hanya 

sekedar penjelasan kata/ism saja. Jadi, hanya penjabaran kata dari wujud, bukan hakikat wujud itu sendiri. 

Untuk lebih jelasnya, juga bisa dilengkapi dengan merujuk ke tulisan-tulisan sebelumnya tentang wujud dan ilmu-ilmu Hudhuri dan Hushuli. 

Wassalam. 


Muhammad Dudi Hari Saputra: Syukron ustadz,, Allahuma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad.. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 02 Desember 2018

Logika dan Filsafat dalam Qur'an



Seri tanya jawab Wirat Djoko Asmoro dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Sunday, January 6, 2013 at 3:36 pm


Wirat Djoko Asmoro mengirim ke Sinar Agama: 14 November 2012,

Salam. Ustadz sering nyinggung di sini tentang ilmu logika dan filsafat, Apakah kedua ilmu ini juga pernah diajarkan Nabi saaw? Syukron.


HenDy Laisa: Filsafat=hikmah, afwan Ustadz jika keliru

Sang Pencinta: Salam, afwan ikut bantu nukilkan link Ustadz Sinar ya,

Ada Apa Dengan Filsafat??!! (Mengapa Sebagian Muslimin Anti Filsafat?), Oleh Ustadz Sinar Agama: http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/379026705475465/,

Dalil Ayat-Riwayat Belajar Filsafat dan Ilmu-ilmu Lainnya, Oleh Ustadz Sinar Agama : http://www. facebook.com/groups/210570692321068/doc/379050932139709/,

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Coba baca dulu yang dinukilkan Pencinta itu, semoga sudah bisa menyelesaikan masalah antum, amin.

Sekedar manambahkan, bahwa dalam Qur'an dikatakan bahwa barang siapa yang diberi hikmah, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak (QS: 2: 269).

Hikmah adalah sesuatu yang kuat. Apa saja yang dalilny kuat adalah hikmah seperti fikih, filsafat, logika, matematik dan seterusnya.

Nah, logika itu mengajarkan cara berfikir benar, dan hal-hal seperti ini banyak di Qur'an dan hadits, baik berupa aplikasinya atau rangsangan menggunakan akal. Sampai-sampai ada ayat yang menantang dalil kepada orang kafir kalau mereka merasa yakin bahwa mereka benar (QS: 2: 111).

Kalau dilihat dari sisi hadits, juga terdapat berbagai perintah, rangsangan dan aplikasi terhadap logika ini.

Kalau filsafat yang membahas tentang semua wujud, maka lebih banyak lagi di Qur'an dan apalagi hadits. Perintah-perintah Tuhan untuk mengetahui DiriNya, dan dalil-dalilnya seperti “Kalau di langit itu ada Tuhan lain selain Allah, maka keduanya akan hancur.” (QS: 21: 22).

Wirat Djoko Asmoro: Syukron Ustadz, Bang Hendy dan Sang Pecinta. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 17 Oktober 2018

Tidak Terbantahkan, Belum Tentu Benar



Seri tanya jawab Ahmad Bahagia dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Monday, July 2, 2012 at 11:29 pm


Ahmad Bahagia: Salam ustadz.. mohon penjelasannya.. 

Apakah jembatan antara pengetahuan argumentatif tentang aqidah yang tak terbantahkan menjadi suatu keyakinan, lalu menjadi keyakinan yang berimplikasi pada amal sehari-hari. Bagaimana mengelola dunia agar tidak menjadi jurang pembatas antara keduanya. Terima kasih ustadz atas pemaparannya.. 


Ahmad Bahagia: Sebagai contoh misalnya orang-orang kafir yang hidup pada zaman Rasulullah saaw. Misalnya para pendeta najran, atau sebagian besar “sahabat-sahabat” Rasulullah saww yang pastinya telah menerima penjelasan masalah aqidah dari Rasulullah saaw.. Saya yakin pasti Rasulullah saww menjelaskannya secara jelas, gamblang, terperinci dengan argumentasi yang tidak terbantahkan, sangat pasti diterima akal. 

Tetapi mereka tidak menerima seruan Rasulullah saww sebagaimana orang-orang yang masih dalam kekafirannya atau tidak menerima keseluruhan seruan Rasulullah saww sebagaimana para “sahabat-sahabat”.. 

Yang jelas berpengaruh pada amal-amal yang dilakukan oleh mereka, misalnya tidak menerima keimaman Imam Ali as., dan seterusnya malah bahkan tega menganiaya Ahlulbayt as.. 

Ahmad Bahagia: Saya pernah berfikir bahwa semuanya karena kecintaan dunia, ataupun ego diri.. apa emang hanya itu masalahnya ustadz? Dan apa cara paling jitu buat mengelolanya ustadz? Terima kasih..

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya, tapi afwan saya belum paham maksud pertanyaan antum. Bisa dijelaskan lagi? Karena saya mengira yang ditanyakan itu adalah “jem- patan”-nya. Tapi antaranya, hanya satu saja. Jadi antara pengetahuan .... DENGAN APA??!!! 

Karena ...argumentatif tentang aqidah yang tak terbantahkan menjadi suatu keyakinan, lalu menjadi keyakinan yang berimplikasi pada amal sehari-hari..... ini adalah sifat dari pengetahuan itu. Tapi kalau antum punya maksud lain, coba terangkan secara lebih mudah. 

Pagi ini saya lihat lagi pertanyaan antum, kok ada terusannya di komen. Kemarin sewaktu saya menjawabnya, pertanyaan lanjutan di koment ini belum tampak. Apapun pertanyaan dan maksud antum dari uraian-uraian pertamanya sampai ke sebelum pertanyaan akhirnya, maka saya hanya akan menjawab pertanyaan akhirnya saja. 

Cara paling jitu untuk selamat adalah mencari ilmu Islam dengan akal-gamblang dan mengamal- kannya dengan seikhlash-ikhlashnya. Kalau hal itu dilakukan, maka semua perasaan dan kesukaan pada dunia, dengan sendirinya akan menjadi semakin tersingkir hinggga pada akhirnya antum atau kita semua, menjadi hamba-hamba yang hakiki, budak-budak yang hakiki, budak-budak yang tidak merasa memiliki apapun kecuali kenistaan dan kehinaan. Beribadah dan taat pada Tuhan untuk semakin menjadi hamba yang sempurna. Dan kesempurnaan hamba itu ada di tidak mulia dan tidak kepemilikannya itu. Jadi, taat bukan untuk mulia dan bersanding dengan Tuhannya, tapi taat untuk semakin hina di hadapannya, baik di dunia ini atau di akhirat kelak.

Ahmad Bahagia: Maaf ustadz kalau mutar-mutar.. saya juga agak bingung, karena logikanya seperti yang ustadz bilang pengetahuan menjadi keyakinan itu sifat dari pengetahuan itu.. sifat itu kan selalu mengikuti yang disifatinya ustadz, tapi realitanya kok kayaknya gak begitu. 

Sepertinya pengetahuan menjadi keyakinan itu cuma nampak sebagai sifat pada kehidupan nyata (duniawi). Mudah-mudahan ustadz bisa menangkap maksud saya.. terima kasih ustadz.. 

Orlando Banderas: Ahmad, menurut saya pengetahuan itu hanya teori tidak ilmu aplikatif karena banyak sebab seperti gengsi, cinta dunia, wanita, dan lain-lain. Salam. 

Ahmad Bahagia: Orlando, Salam dan terima kasih komentarnya.. saya juga berfikir +- sama, makanya saya menanyakan pertanyaan kedua. 

Diberi tahu sesuatu itu benar, lalu percaya sesuatu itu benar, lalu yakin sesuatu itu benar, lalu kebenaran yang diyakini itu berefek pada pola pikir dan perilaku.. normalnya, seharusnya, mustinya.. 

Mungkin saya salah mendefinisikan pertanyaan.. atau pertanyaan saya seharusnya.. sesuatu yang tidak dapat dibantah itu kok tidak bisa meyakinkan? 

Orlando Banderas: Sebenarnya sudah sering dibahas oleh Ustadz. Coba cari lagi. Salam.

Sinar Agama: Sesuatu yang tidak bisa dibantah itu belum tentu benar, karena mungkin yang mau membantahnya tidak mampu untuk membantah. Tapi kalau ketidakterbantahan sesuatu itu karena kegamblangannya, maka ini bisa dijadikan petunjuk tentang kebenarannya. 

Kebenaran gamblang yang tidak terbantahkan ini, juga belum tentu diyakini oleh hati yang memahaminya. Karena yakin itu ada dua, yakin hati dan yakin akal. Akalnya, sudah yakin, tapi hatinya belum yakin. 

Hati, ada dua makna. Hati yang tempatnya rasa dan perasaan, yakni di ruh yang daya-hewani (tempat pengaturan gerak ikhtiari, rasa dan perasaaan) dimana hati dengan makna ini adalah hati yang sering dipakai oleh umum, seperti tempat cinta, marah, benci, rindu, dendam ... dan seterusnya. Tapi ada hati yang bermakna akal-aplikatif. 

Nah, ketika seseorang sudah memahami dengan akal-gamblang tentang keberan sesuatu, maka hatinya memiliki dua sikap. Mengikuti kata akal-gamblangnya itu, sebagai obornya, karena akal- gamblang itu adalah akal-pahaman, atau tidak mengikutinya. Kalau mengikutinya, maka hatinya menjadi yakin dan kalau tidak maka sebaliknya. 

Kalau yang tidak yakin itu adalah hati yang bermakna ruh-daya-rasa/perasaan, maka kemung- kinan besar sebabnya adalah belum jinaknya hati tersebut selama ini. Karena bagi dia, kalau lapar yang penting makan, kalau syahwat yang penting disalurkan ... dan seterusnya. Tak peduli benar salahnya, dosa tidak-nya, karena ia memang tidak mengerti hal itu. Karena yang mengerti itu adalah akalnya, bukan rasa/perasaannya. Karena itu, sudah merupakan tugas akal untuk menjinakkannya. Yaitu dengan mengarahkannya kepada hal-hal yang dibenarkan saja. Termasuk mengarahkan untuk patuh pada pahaman gamblang tadi itu. 

Karena biasanya, ketika akal gamblangnya sudah paham tentang sesuatu yang benar tapi hati ini tidak meyakininya, biasanya yang dipahami akalnya itu sesuatu yang tidak disukai hati ini. Seperti lapar di siang bulan Ramadhan, atau mencegah pacaran, atau mencegah apa-apa yang ia inginkan. Karena itu, hati ini perlu dilatih dan dibiasakan. Tapi kalau yang diketahui gamblang itu adalah hal-hal yang disenangi hati rasa/perasaan ini, maka biasanya lancar-lancar saja. 

Kalau yang tidak yakin itu adalah hati yang bermakna akal-aplikatif, maka caranya, adalah tengok lagi kepahamannya itu. Kalau memang benar sudah merupakan akal gamblang terhadap kebenarannya itu, seperti “racun itu membunuh”, maka akal-aplikatif sudah semestinya malu kalau tidak mengaplikasikan ilmunya dan meminum racun tersebut. Jadi, penyakitnya bukan berantem dengan perasaannya, tapi berantem dengan konsekuensi dari pengatahuannya itu. Artinya, maukah kita mengaplikasikan konsekuensi itu atau tidak. Yakni maukah kita mengaplikasikan ilmu pahaman gamblang itu atau tidak. 

Karena itulah, maka ilmu-gamblang itu belum sepenuhnya cahaya dan petunjuk. Persis seperti Qur'an dan Hadits. Karena petunjuk yang lengkap, sinar yang lengkap, adalah manakala pahaman terhadap ilmu-gamblang, Qur'an dan hadits itu, sudah diaplikasikan oleh akal-aplikatifnya dimana hal ini pertanda pengetahuannya sudah sempurna, karena tahu-pahaman dan tahu-aplikatif, dan pertanda juga bahwa hati rasa/perasaannya sudah terkedali oleh akalnya secara penuh. 

Inilah yang disebut manusia yang sebenarnya, karena ia telah ikut akalnya, baik akal-pahaman atau akal-aplikatifnya dan, sudah tentu meninggalkan hati rasa/perasaannya dimana hal ini adalah makam binatang tak berakal.

Ahmad Bahagia: Terima kasih ustadz.

Saya langsung teringat dengan pekerjaan saya yang berkaitan dengan sistem manajemen mutu yang dibuat berdasarkan persyaratan dan proses yang harus dijalankan dibuat berdasarkan ilmu, akal gamblang agar tidak terjadi suatu kesalahan atas hasil pekerjaan.. walaupun sudah gamblang pada pelaksanaannya juga tidak bisa terjadi begitu saja.. harus dipaksa, lalu terpaksa, lalu terbiasa, sampai terbentuk suatu budaya.. Harusnya hal yang sama bisa diaplikasikan ke kehidupan beragama juga ya ustadz.. penerimaan hati akal tetap harus dipaksa dulu agar hati rasa/perasaan bisa tunduk/jinak. 

Maaf kalau saya simpulkan demikian (mohon koreksi kalau saya salah menyimpulkan). 

Kalau inputnya adalah diri kita yang sekarang dengan spesifikasi yang keyakinannya masih dipertanyakan, kotor dan masih banyak maksiat, sedikit ibadah dan dekat dengan hal-hal yang dimurkai Allah (jauh dari Allah).. 

Dan output yang diharapkan adalah diri kita kelak harus memenuhi spesifikasi memiliki keyakinan yang kuat, bersih, tidak bermaksiat, banyak ibadah dan dekat dengan hal-hal yang diridhoi Allah (dekat dengan Allah).. 

Maka awalnya kita harus dipaksa untuk menjauhkan diri dari yang diharamkan dan memperbanyak ibadah walaupun dengan perasaan terpaksa, terus memaksa diri sampai terbiasa, terus membia- sakan diri sampai menjadi suatu adat kebiasaan.. 

Sinar Agama: Ahmad: Ahsantum, memang seperti itu adanya. Karena itu juga Tuhan sering memberitakan adanya neraka, supaya manusia mau takut dan taat padaNya walau terpaksa. Begitu pula sering mengimingi surga, supaya manusia dapat memaksa dirinya menekan hawa nafsunya dan memilih taat kepadaNya. Walau Tuhan tidak ingin manusia melakukan taat itu karena neraka dan surga, tapi demi kelayakannya menjadi yang terbaik karena akalnya tersebut. (Akal-pahaman yang untuk tahu bahayanya racun misalnya, dan akal-aplikatif yang menyuruh menghindari racun misalnya). Karena itu, Allah selalu memuji hamba-hambaNya yang hebat yang tidak melakukan taat karena keduanya itu (neraka dan surga). Yaitu yang ketaataannya hanya dan hanya karenaNya semata, seperti para anbiya dan rasul dan orang-orang shalih yang kelas tinggi (auliyaa’). 

Orang, KADANG-KADANG sering bergaya-gaya dengan mengatakan: 

“Saya jujur dan tidak mau membohongi diri, hingga karena itu sebelum saya ingin benar-benar taat, maka saya maksiat dulu, saya pacaran dulu, saya tidak shalat dulu ...dan seterusnya... karena saya tidak mau munafik.” 


Ini lagu syaithan yang paling laris di kalangan kaula muda, terutama mahasiswa/i. Lucu amat, maksiat jadi kejujuran dan ketidakmunafikan, lalu taat menjadi sebaliknya. 

Mereka mengira bahwa kalau ingin makan, maka harus makan walau di siang Ramadhan; kalau ingin lawan jenis, maka harus cari pacar; kalau malas shalat, maka harus tidak shalat..... dan seterusnya. Mereka tidak tahu bahwa inginnya rasa/perasaan itu adalah keinginan yang normal sebagai hewan. Sudah tentu yang baligh ingin kawin, yang kosong perutnya ingin makan ... dan seterusnya. Semua itu karena memang fitrah yang diberikan secara rata kepada semua binatang, termasuk binatang rasional ini. 

Tapi kalau manusia selain kebinatangan, juga memiliki kerasionalan, maka sudah merupakan tanggung jawab akal untuk mengatur nafsu-nafsu tersebut. Karena itu, sudah pasti banyak pertentangan seperti jauhnya perbedaan peradaban manusia dengan semua binatang di dunia ini. 

Karena itu kejujuran dan ketidakmunafikan, adalah mengikuti akal-gamblang dan menekan nafsu-nafsunya hingga takluk pada akal gamblangnya itu dan, di kemudian hari, menjadi terbiasa dengannya hingga, jadilah peradaban yang shalih yang menguasai kemasyarakatannya, bukan sosial yang amburadul seperti amburadulnya pergaulan binatang.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 07 September 2018

Logika (Bgn 6)



Seri Tanya jawab Status Ustad. Muhsin Labib

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 13:04




Status: Muhsin Labib: sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apapun tidak berlaku.. 

Komentar-Komentar

Afrianto Afri : Apakah maksudnya, penting menemukan subyek sebelum menyebut-nyebut predikatnya ustad ? 

Muhsin Labib: Ya, itu kaidah yang berlaku dalam semua ilmu... 

D-Gooh Teguh: Subjek dalam angan maka predikat juga dalam angan. ^_^

Sinar Agama: Dilihat subyeknya (bc: tergantung subyeknya), kalau yang dimaksud subyek itu adalah maknanya atau ekstensinya (wujud luarnya), maka bisa dipredikati, sekalipun belum diberi nama. Misalnya mas Teguh yang jujur (he he ..) dan alim misalnya, serta cakap memimpin dan benar-benar pengayom. Tapi ia belum punya yayasan. Nah, kalau ia akan mendirikan yayasan, maka walaupun belum diresmikan yayasannya itu, maka kita bisa menghukumi bahwa yayasannya akan baik dan maju. 

Begitu pula kalau keadaan mas Teguh sebaliknya. Karena yang jadi ukuran dalam predikasi disini adalah hakikat luarnya walaupun belum ada subyek yang berwujud kata. Banyak lagi yang bisa dihukumi, seperti: Sekutu Tuhan itu tidak ada: Sekutu Tuhan itu pasti lemah, buta, kikir ...dan seterusnya. Ayah nabi Isa itu tak bisa berjalan. Atau misalnya: Tidak ada itu adalah tidak ada: Tidak ada itu mustahil ada: Kontradiksi tidak mungkin ada dan seterusnya. 

Contoh mencoloknya adalah status di atas: “Sebelum ada subyek, predikat apapun tidak berlaku.” 

Kalau premis ini benar (kita anggap benar), maka kalimat ini membantah isinya sendiri. Karena kalimat ini, terdiri dari subyek yang tidak ada, yakni “Sebelum ada subyek”. “Sebelum ada subyek” yang dijadikan subyek di proposisi ini, adalah sesuatu yang tidak ada. Karena itu, predikatnya dan predikasinya, akan salah. Karena itu, kalau kita membenarkan kalimat ini, maka berarti telah menyalahkan isi dari kalimat ini yang, pada akhirnya menyalahkan kalimat ini. 

Akan tetapi, kalau premis atau proposisi atau kalimat ini, kita anggap salah, maka maknanya dari asal memang tidak benar. Jadi, status di atas, mau dibenarkan atau mau disalahkan, tetap saja hasilnya ketidakbenaran status tersebut. Bedanya, kalau dari awal sudah disalahkan, maka ia disalahkan secara lansung. Tapi kalau di awalnya dibenarkan, maka akan menghasilkan ketidakbenarannya secara tidak langsung. Karena kesalahan status tersebut, akan merupakan konsekuensi dari pembenarannya itu. Jadi, kalau dibenarkan, akan menghasilkan penyalahannya. 

Muhsin Labib: ‎@sinar: terimakasih bila anda bermaksud menunjukan perspektif lain berdasarkan kategori haml (predikasi) karena masih mengkaitkan dengan sengketa status sebelumnya. Terimakasih juga bila bermaksud menunjukkan kepahaman anda tentang haml? Terimakasih juga bila bermaksud mengingatkan kebodohan saya tentang haml mafhum ala mafhum dan haml mafhum ala mishdaq. 

@sinar: borekallah... Anda selalu tampil sebagai penyelesai masalah, penyelamat, dan pemutus kata. Kepiawaian mendedah dengan kata tegas menunjukkan betapa kita makin jauh dari sinar agama yang sebenarnya... Terimakasih telah mengajarkan pada Kita tentang beda mafhum dan mishdaq, maudhu’ dan mahmul, dan lainnya...

Akmal Kamil: Maaf ikut nimbrung.. tapi dengan beberapa indikasi yang ada nampaknya maksud status di atas adalah predikasi konsep atas ekstensi (haml mafhum ‘ala mishdaq) sehingga ketika subyek tidak ada maka penilaian dan judenganment atas predikat tidak akan ada. Predikasi luaran ketika berkaitan dengan wujud luaran harus ada ketika ingin melakukan predikasi konsep atas ekstensi, obyek atau mishdaq.. Sehingga benar atau tidaknya proposisi dapat diafirmasi (tashdiq) dengan alam luaran.. 

Haml mafhum ala mafhum juga saya demikian adanya.. selama tidak ada subyek maka penilaian predikat juga tidak akan ada.. bukan begitu? 

Misalnya sederhana saja.. seperti proposisi yang dibangun oleh Sinar.. Mas Teguh itu Jujur.. di sini subyeknya adalah mas Teguh.. sehingga kalau tidak ada mas Teguh hukum kejujuran itu mau disandarkan kepada siapa? 

Sahaya Dahri: Kok dari ngerti (status ustad Labib) jadi gak ngerti ya saya (setelah komen Sinar), opo emang terlalu becek neh pikiran... 

Jon Ali: Wah, asik nih, para ahlinya pada muncul. Btw, buat saya yang akalnya pas-pasan, contoh ‘Mas Teguh itu jujur...’ dari Akmal Kamil sudah sangat menjelaskan mustahilnya predikat tanpa subjek. Walau pun saya agak ragu sebenarnya, apa benar subjek yang diidentifikasi D-Gooh Teguh itu ‘jujur’ beneran... hehehe.... 

Afrianto Afri: Sepakat dengan akmal Kamil kata Yayasannya itu mereffer ke subyek Teguh yang sudah jelas, tapi bila hanya Yayasan maka memang ini subyek yang masih bersifat umum sekaligus juga tidak/belum bisa diberi predikat. Even pengertian YAYASAN sudah ada konsepnya..CMIW. 

D-Gooh Teguh: Waduh kok jadi ke person sih... JUJUR seingatku saya ini hanya “tidak berbohong” tetapi kalau jujur kayaknya bakalan ajur deh. ^_^

Sinar Agama : ML: Ustadz ... sayyid .... mungkin ana ini pengikut nafsu, tapi GR-ku hanya murni tidak mau mengabaikan kemungkinan seterkecil apapun kewajiban yang saya sendiri mungkinkan. Karena itu, kalau ana rasa harus turun, maka ana turun, karena takut ana ini benar dan wajib mengingati. Ana tidak merasa pasti benar, tapi kalau pas benar, lalu apa kewajiban yang tahu di hadapanNya? Sudah pasti mengingatkan yang tahu tapi lupa atau yang memang belum tahu. Ana biasanya akan berhenti kalau sudah dikatakan “tak usah ingati aku”. Karena kalau sudah seperti itu, berarti kewajiban yang secara GR ana rasakan tapi yang ana mungkinkan bisa benar di hadapanNya itu, sudah gugur. Antum bukan tidak tahu, karena bisa saja antum yang benar, tapi ana yang belum melihat karena hijab ananiyyah dan kebodohan ana, sekalipun bisa saja antum lupa dan semacamnya atau salah tulis. Karena maklum saja, status ini kan sekedar menulis pikiran melayang. 

Ana, karena melihat antum sebagai ustadz yang selalu mengajarkan keilmiahan dan keterbukaan dan keharusan menghormati pandangan orang itulah yang membuat ana dengan penuh kerilekan mengomentari tulisan-tulisan antum yang ana ingin mengomentarinya. Ana yakin antum yang selalu mengajarkan tentang kelapangan itu tidak mungkin tidak gila kepada kebenaran dan argumentatif. 

Masalah yang kemarin dan sekarang ini, sebenarnya merupakan yang boleh dikatakan gampang- gampang susah. Setidaknya dalam menjabarkannya. Banyak orang tahu kalau Tuhan itu satu, tapi dalam argumentnya salah-salah. 

Di sini, anggap ada yang salah (ana atau antum) tapi kemungkinan besar hanya dalam penjabarannya, bukan pada maksudnya. Memang di status ini terlihat lebih sulit ditakwil dari sebelumnya itu. Jadi, ampuni alfakir ini kalau salah berhusnuzhzhan pada antum dan antum terasa terganggu. 

Sinar Agama: Kamil: Koment ana itu justru ketika ia berupa predikasi konsep atau ekstensi. Coba antum lebih teliti lagi. Tentang contoh mas Teguh itu, bukan pada predikasi atas mas Teguhnya yang sudah ada, akan tetapi pada yayasan yang akan ia bentuk. Jadi, sebelum ada itu bisa dipredikasi dengan keyakinan kebenarannya (tashdiiq) walau ia belum ada.

D-Gooh Teguh: Menurut pikiran keawaman saya, kasih contoh yang lebih tegas lagi: pemerintahan “politis” AlMahdi as khan belum mewujud juga tetapi telah dipredikati. Maaf, kalau awur-awuran saja. Dari pada mencontohkannya pun berandai-andai pula...

Sinar Agama: Sahaya: Kalau malah pembahasan hakikat pikiran, subyek dan predikat itu sesederhana yang dibahas dalam ilmu bahasa, maka tidak perlu adanya Aresto, Plaato, Ibnu Sina, Mulla Shadra, Thaba Thabai, Muthahhari, Jawadi ...dan seterusnya. Jadi, tidak usah putus asa. Kalau antum memang minat maka pelajari secara seksama, logika dan filsafat. Memang bukan jaminan, seperti diantara kami-kami yang belasan tahun atau ada yang puluhan tahun belajar, semua itu bukan jaminan memang. Akan tetapi sudah selayakanya hamba-hamba yang ingin mengerti berusaha untuk mengetahuinya. 

Jadi, sebenarnya, debat yang sering menggojlok perasaan dan ego ini, bukanlah makanan yang enak untuk harga diri. Akan tetapi, apalah daya kita penggila kebenaran. Biarlah diri ini kalah di dunia ini, karena kekalahan itu adalah hidayah kepada kebenaran atau, setidaknya kepada yang lebih kuat untuk sementara sebelum diketahui salahnya di kemudian hari. Ya... Allah Engkau menjadi saksi atas kerdilnya jiwaku ini, tapi ijinkanlah kupaksakan untuk tidak kuperhatikannya demi restuMu, karena itu ijinkanlah kutabrakkan yang kutahu dengan apapun demi kulihat kekuatannya atau kesalahannya supaya aku bisa mendapatkanMu. 

Sinar Agama: Afri: Antum mungkin benar, tapi predikati itu terjadi pada subyek yang belum ada. Itu tidak bisa diingkari. Sedang alasan ketidakpengingarannya adalah si keberadaan mas Teguh. Itu tandanya adalah bahwa subyek itu tidak harus ada dalam ekstensi. Karena alasan pembolehannya itu bisa ke arah wujud lain seperti mas Teguh itu, tapi bisa kepada hakikat lain yang justru sangat mustahil untuk ada, seperti “kontradiksi itu mustahil bertemu” dimana kontradiksi ini, sampai di akhirat pun tidak akan pernah ada. 

Sinar Agama: Mas Teguh: Afwan ana contohkan antum dalam hal ini, karena sebelum koment mata ana fokus pada gambar antum yang selalu senyum itu, dan juga teringat pada gerakan yang akan antum adakan yang bernama “Gerakan tanpa partai” itu. he he he ... 

D-Gooh Teguh: Hahahaha... doanya ustad Sinar dan ustad Labib insayaAllah ampuh... ini khan Gerakan Government 7.0, yang mana AlMahdi as mungkin wujud dari Government 8.0 atau 9.0 atau 10.0, ^_^ 1.0: family only –no government, 2.0: kepala suku, 3.0: majelis suku, 4.0: monarki absolute, 5.0: monarki konstitusional, 6.0: multiparty / bi-party, 7.0 : peopulae / direct democracy, 8.0, 9.0, 10.0 beyond my thought. ^_^

Muhsin Labib: @sinar: saya tidak kesulitan utuk menangkap maksud dari pilihan-pilihan kata antum dalam comment-comment beruntun itu. Meski terheran-heran dengan klarifikasi antum, saya menduga antum “terganggu” oleh terimakasih saya. Sebenarnya, status saya di atas tidak terkait dengan contoh Teguh maupun yayasan apapun. Itu sebuah premis umum yang bisa disikapi dengan perspektif haml mafhum ala mafhum atau haml mafhum ala mishdaq, dengan dua konsekuensi masing-masing. Saya khawatir antum merasa perlu menertibkan lalu lintas comment karena khawatiran terjadinya kesalahan dalam logika yang lebih fatal di balik sebuah premis. 

Antum tidak akan pernah dilarang melaksanakan tugas ilmiah dan ruhaniah untuk menjabarkan mafahim falsafiyah, mahawiyah dan manthiqiyah dan semua ilmu yang harus diketahui orang lain. Tapi ada baiknya antum berGR bahwa kami juga memiliki pemahaman yang sama namun (hampir pasti) pilihan dan selera diksi kita berbeda. Meski jauh dari sumber ilmu, antun tidak perlu khawatir soal kesalahanpikir dan konsep-konsep basic... 

Mohon kesudian antum memaafkan kebodohan, keegoan, kesoktahuan ana. Hijab-hijab telah membuat saya, yang tidak beruntung, terpuruk jauh hingga soal “mafhum” dan “mishdaq”, “haml”, “maudhu’” dan “mahmul” aja perlu penjelasan panjang lebar. Ini mungkin bisa jadi bahan pertimbangan untuk menyadari bahwa saya sudah expire, apalagi tidak pernah belajar sesuai prosuder baku, jenjang yang ajek, dan hanya baca krepelan, apalagi memang hanya “transit” di hauzah... Tugas keumatan memang mestinya dipegang oleh orang yang dekat dengan oase ilmu, bukan pemulung-pemulung yang ga jelas...! 

Jon Ali: D-Gooh Teguh: haha..., hanya becanda aja, boss! Biar gak terlalu keriting otakku yang pas- pasan, nih ngliatin para pakar beraksi...! Btw, jujur gak jujur tergantung situasi dan kondisi, lah! Tapi secara eksistensial, jujur = MANJUR, gak jujur = AJUR! ^_^

Sinar Agama: ML: He he he sepertinya kalau diskusi ini diteruskan, maka messege yang terpahami, kalau tidak terselip, akan lebih bisa terlihat. Ok yang masalah ini kita lewatkan saja karena memang tidak ada yang pasti. Namun demikian, diskusi sehat dan transparan sudah pasti merupakan tuntutan setiap insan yang insaf dan apalagi gandrung ilmu. Seseorang seGR apapun dia (seperti saya) tidak boleh jengah dengan sebuah diskusi dan debatan. Karena dunia ini luas. Mungkin saya guru bagi seiribu orang, tapi tidak pada semilyard lainnya. Tak ada keinginan dari kami-kami ini, kecuali itu. Tapi kalau pakai nyengat-nyengat, atau setidaknya seperti menyengat, maka sudah tentu bayan dan penjelasan yang akan dipakai bukan argument dalam istilah logika lagi, tapi mungkin debat dan pengembalian masalah. Karena itu harapan ana sebagai pembaca tulisan-tulisan antum, adalah kelapangan dada, baik dalam benar atau salah. 

Karena hal-hal di luar premis itu yang terlihat mencorai masalahnya, maka diskusi kita tentang status antum itu jadi hilang. Bahkan sepertinya antum sendiri sudah kehilangannya. Karena sudah sekian banyak bayanku, tapi hasil kesimpulan antum masih mengatakan “sama” dan hanya beda selera dan diksi. 

Btw, saya sudah berusaha, dan selain itu tidak ada lagi keharusan akal. Apapun hasilnya, kembali kepada kita masing-masing. Harapanku dari antum untuk ke depan, adalah rilek saja dikritiki orang seperti antum rilek menkritiki orang lain. Supaya saya juga enak nulis komentnya dan enak membaca koment-koment antum.

Billy Joe Hernandez: Semoga saya bisa mengerti semua komen-komen ini, amin:) Yang saya pahami dari status ini adalah peletakan predikasi (penilaian) itu harus setelah subjek dan ini bersifat umum, jadi maksud “ada” dalam status ini menunjukkan posisi dari subjek pada premis yang harus ada di posisi depan sebuah premis sebelum mempredikati, afwan bila komen saya yang awam dan fakir ini cukup ngawur, tidak karu-karuan dan tidak mengikuti kaidah logika... 

Akmal Kamil: @ Sinar.. predikasi konsep atau ekstensi keduanya memerlukan sebuah subyek. Dalam sebuah proposisi sederhana semisal proposisi kategoris ketika subyeknya tidak ada maka bangunan proposisinya tidak memiliki hukum dan penilaian. Karena jantung proposisi kategoris, atributif pada subyeknya ketika ingin menginferensi sebuah hukum. Pada kasus status Ust. ML di atas, saya melihatnya sebagai sebuah kerangka proposisi kategoris yang sederhana bahwa tanpa ada subyek penilaian tidak akan berlaku. Atau dalam bahasa teknisnya saliba bi intifai al-maudhu secara formal proposisi. Maksudnya ketika tidak ada maudhu hukum akan menjadi mentah dengan sendirinya..

Muhsin Labib: Mestinya status saya dipahami seperti comment ust Akmal. Ini juga mungkin mirip dengan hukum al-adam al-muthlaq la yukhbaru anhu. Ala kulli hal, penjelasan filosofis mistik ust Sinar, termasuk bagian yang menyangkut pribadi saya, saya terima sekaligus mengamalkan pesannya agar berlapang dada.

Sinar Agama: Nah, ini baru enak nih diskusi, murni ilmu. Terimakasih untuk ust ML. Semoga selalu diselimutiNya dengan KasihNya. 

@Kamil: Mungkin antum benar. Tapi akibatnya kalau antum benar, maka berarti antum telah menolkan status di atas. Karena status itu tidak memiliki maudhu yang eksis. Karena dari awal sudah dikatakan bahwa “tiadanya maudhu membuat predikat itu tidak berarti”. Karena itu maka maudhu’nya disini adalah ketiadaan. 

Kalau antum mau mengatakan bahwa maudhu’nya itu dalam pahaman, seperti yang diisyaratkan ustadz ML seperti dalam memahami ketiadaan mutlak, maka antum sudah lari dari konsep pertama antum yang menafsirkan bahwa status di atas memandang subyek yang di luar akal, yakni keberadaan nyata. Nah, konsekuensinya, kalau tidak punya keberadaan nyata, maka predikat apapun tidak bisa berlaku. Kan begitu? Nah, konsekuensi dari ini, berarti antum sudah menyalahkan status itu sendiri. Karena status itu tidak memiliki wujud luar. 

Dan salibah bi intifaa-i al-maudhu’ itu bukan hukum yang hanya terdiri dari satu ayat saja, tapi ada hukum-hukum lainnya dimana kalau antum perhatikan contoh-contoh di atas itu, seperti ayah nabi Isa, kontradiksi ..dan seterusnya maka akan antum dapatkan jawabannya. 

Saya sebenarnya mau menerangkan bahwa status di atas itu melanggar dirinya sendiri kalau dimaknai mutlak-mutlakan. Intinya, dan ringkasnya, apapun yang tidak ada itu bisa dipredikati dengan apapun asal bersifat penolakan, persis seperti status di atas itu. “Yang tak ada tak bisa diberitakan”, “Ayah nabi Isa tidak punya kaki, tidak bisa jalan.” “Kontradiksi tidak pernah ketemu” 

.... dan seterusnya. Intinya, saya ingin memberitahu teman-teman bahwa subyek yang tak ada itu bisa diberi keterangan dan predikat kalau bersifat negatif, tapi tidak bisa kalau positif. 

Akan halnya mas Teguh itu, adalah bab lain yang bisa dimasukkan dalam suyek yang tidak ada dan dihukumi positif, tapi ketidakadaannya dalam waktu defakto, akan tetapi ia dekat dengannya. Jadi walaupun tidak bisa dipastikan tentang yang akan dibentuknya itu, akan tetapi bisa dikatakan seperti itu sebagai perkiraan kuat, harapan dan doa misalnya. Walhasil karena ia memiliki batu loncatan yang ada, yakni mas Teguhnya itu, maka proposisi seperti itu masih dibolehkan. Tapi btw intinya yang pertama itu, yaitu ketiadaan subyek tidak melarang prikasi negatif.

Muhsin Labib: Ok, saya yang bonek ini dan pelajar level pemulung ini berusaha untuk berusaha mengambil bagian dalam dikusi ilmiah, meminjam istilah Ust. Sinar. Semoga Allah memberkati setiap lintasan pikiran dan ketukan jari kita. 

1. Saya kira persoalannya enteng, cuma ditanggapi semangat ketajaman folosofis yang ber- lebihan sehingga ceroboh menabrak demarkasi disipulainer. 

2. Tesis yang saya ajukan adalah hukum logika, bukan hukum filsafat. 

3. Dalam logika, ada banyak pembagian predikasi dari aspek subjek, predikat dan kopula. Dalam logika, tidak dibicarakan soal ada-tidaknya sesuatu. (bersambung) 

Dalam logika, segala sesuatu dipandang sebagai realitas mental, yakni logical intellectus sekunda (ma’qul tsani mantiqi), habitat konsep ini ada di mental (dhihn) yang tidak mengacu pada mishdaq (referen) selain konsep yang ada di mental. Jadi, saya ingin kembali ke ashlul matlab, sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apapun tidak berlaku. Dalam logika, predikasi apa pun hanya akan tegak (ma’qud) jika memadai segenap anasirnya. Dalam logika, anasir itu ada tiga: subjek, predikat, dan kopula. Ini kaidah logika. Ingat, mari kita tetap konsisten pada konteks studi di sini, yakni konteks logika, supaya tidak diperlakukan kaidah “awam” melebihi kelugasan logisnya, apalagi dicampuradukkan dengan ketajaman filosofis yang mubazir ibarat memasukkan puluhan bola ke keranjang basket. (bersambung) 

Karena konteksnya adalah logika, maka kata “ada” di awal kaidah itu diperlakukan sesuai konteks dan habitat logisnya, yakni mental. Semua contoh/referen subjek yang diajukan sebagai conterexampulae, sekalipun secara filosofis/ontologis tidak ada secara konkret, tetap saja ada secara abstrak di mental (dhihn) sebagai bagian dari realitas-realitas dzihni yang menjadi materi studi-studi logika. Bagi pelajar pemula saja, gejala tak nyaman ini biasanya dikenal dengan sebutan “mughalatah” atau al-khalth bayna mafhum wa mishdaq” (jus logika dan ontologi). (bersambung) 

Tambahan: status yang saya jadikan sebagai status di atas rupanya terkesan diperalat jadi senjata makan tuan. Perhatikan! “Sebelum ada subyek, predikat apapun tidak berlaku.” Sebelum kaidah ini dikriminalisasi, sebaliknya hakim kita belajar dulu macam-macam proposisi (qodhiyyah), lalu amati kaidah ini: dari macam proposisi apa lalu bandingkan dengan proposisi salibah bi intifa’ almaudhu’. Betulkah ada hubungannya, ataukah dihubung-hubungkan, atau qiyas ma’a alfariq alias ga nyambung. Ini mughalathah kedua. (bersambung) 

Dengan segenap respect dan apresiasi, saya tetap berterima kasih atas tanggapan apapun, sekalipun ga ngena. Juga terima kasih atas pembelaan dari sebagian orang yang dalam kata-kata Khajeh Thusi, “Tasholuh ghoyr mardhiyyun ‘inda shohibihi”. Ciao! (selesai) 

Diskusi ini bikin saya kena musibah... Saya menulis status “gara-gara khusayauk diskusi soal logika predikasi di status, saya nenggak teh yang ternyata sudah jadi danau semut... rasanya “manis asem asin”, rrrrgggghhhh..”

Akmal Kamil: Status di atas, pertama dan utama, harus ditinjau dari sudut pandang tekstual logis bukan kontekstual filosofis. So, memang tidak nyambung ketika Sinar mengealobrasi status di atas dengan tinjauan kontekstual filosofis dan memandangnya sebagai sebuah hal yang tidak benar. Ketika terjadi benturan penafisran mana yang harus dikedepankan? Tentu kita memegang kaidah penulis atau penyusun sentral (muallif mehwar) karena ia yang mengeluarkan teks. Bukan diserahkan sepenuhnya kepada pembaca atau penafsir untuk melakukan upaya bongkar teks dengan tinjauannya. 

Bangunan proposisi kategoris seperti yang diungkap oleh Ust. ML di atas adalah terdiri dari subyek, predikat dan copula (nisbah atau hukum) yang terjalin di antara keduanya. Sehingga ketika status di atas dipreteli dengan pendekatan filosofis ontologis mungkin elaborasi Sinar ada benarnya. Perbedaan tinjauan mengamati sebuah masalah tentu akan menimbulkan kesalahan penghukuman atas satu atau dua persoalan. Allamah SA meninjau masalah ini dengan perspektif kontekstual filosofis ontologis semantara Ust. ML menelisiknya dengan angle teksual logis formal.. Jadi kelihatannya benar apa yang ditasbihkan oleh Ust. ML.. gak ngena atau ga nyambung.. Afwan. 

Jon Ali: Hehe... angle logika vs angle filsafat, ya? Asayaik-asayaik..., biar kata versi pemulung, kalo mulungnya dapet intan-permata kan rejeki nompulaok, tuh! LANGJUTTT...!!!! Btw, turut berduka untuk ustad ML yang sudah ‘dikriminalisasi’ premisnya, ‘dikriminalisasi’ juga tehnya oleh semut... 

- - 

Sinar Agama: ML: Antum jangan masuk ke situ ustadz. Kalau antum masuk ke dzihni/mafhuum antum justru jatuh lebih parah. Karena makna tulisan antum akan menjadi “yang tidak terbayang tak mungkin dipredikasi-i”. Lah, kata-kata ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Karena ia akan merupakan pemberitaan terhadap tidak mungkinya tergambarnya pridikasi yang disebabkan dengan tidak tergambarnya subyeknya. Dan ini akan menjadi kata-kata tidak bermakna. 

Padahal antum ingin menafikan apapun predikat, sebelum adanya subyek. Artinya, prikasi itu sudah ada tapi tidak berlaku. Nah, kalau prikasi itu sudah ada, berarti subyek juga sudah ada dalam benak kita. Jadi, yang benar kaidah yang dipakai untuk status antum itu adalah “Bolehnya menghaml atau mempredikasi-i subyek yang tidak ada, kalau predikasinya merupakan predikasi negatif.” 

Tentang alfakir itu mau meninjau dari sudut pandang apa, itu tidak bisa disalahkan dan tetap berguna. Karena di statusnya tidak dikatakan bahwa dalam rangka kaidah logika dan, katakanlah haram menyorotinya dengan filsafat, he he he. Koment apapun, tidak ada larangan. Jangankan yang dimungkinkan benar, salah juga nggak masalah, asal terbuka didiskusikan tanpa emosi dalam menyalahkan dan membenarkan. Bahkan, sungguh, ana ini telah mengira bahwa status di atas itu bernuansa politik dengan kelahiran ABI. Tapi ana tetap berusaha komitmen dengan prasangka ilmiah dan tidak memastikan ini dan itu. Pemahaman ana terhadap status itu bukan tanpa dasar, walau bisa salah perkiraan. Karena satu dan dua hari ini kan terlihat ada pro dan kontra terhadap ABI. Nah, kalau benar niat itu untuk ABI, kalau benar, maka artinya “Jangan hukumi apapun tentang ABI itu sebelum eksis di lapangan” atau “Apapun kritikan tentang ABI tidak berlaku karena belum eksis.” Ini pesan yang bisa tertangkap dari status di atas. Orang namanya dzihn dan akal, kan bisa saja. Tapi sudah pasti haram untuk memastikan makna itu dalam status tersebut, karena tidak adanya dalil. Karena itu, saya mencoba memaparkan tentang filsafatnya selain kaidah logikanya. Tanpa memastikan apapun terhadap lintasan-lintasan pikiran- pikiran yang datang tanpa bisa manusia mengendalikannya itu. 

Jadi, bahasan filosofisnya sungguh sangat berguna kalau muatan status di atas adalah ABI. Karena makna dari komentarku akan menjadi “Tidak dosa orang menghakimi (dengan yang tak pasti) tentang ABI itu, karena subyek tak langsungnya ada di lapangan dan kita kenal sepak terjangnya selama ini”. Tapi tetap dosa, kalau dipastikan, karena apapun kekuarangan orang di masa lalu (itupun kalau benar-benar ada dan bukan kesalahan informasi) maka untuk ke depan bisa saja berbuat yang baik. Di sinilah alfakir contohkan dengan mas Teguh yang tidak punya yayasan, tapi yayasannya yang akan dibuat bisa dihukumi, walau tetap dalam keraguan dan ketidakpastian, akan tetapi predikasi itu sudah benar-benar boleh dilakukan dalam kaidah logika dalam bentuk proposisi (tentu saja contoh mas Teguh tentang pemerintahan imam Mahdi as yang belum ada tapi bisa dihukumi dengan “pasti adil”, atau “pasti benar dan baik”....dan seterusnya....adalah contoh yang lebih mengena dan mudah dipahami).

Sinar Agama: Kamil: Kita sudah tabayun dengan koment-koment itu, tapi tidak ada penjelasan kecuali barusan itu dari penulis. Jadi, belum ada benturan penjelasan. 

Tambahan logikanya: Subyek dan pridikat itu adalah dua pahaman yang saling menyangkut di mana tidak mungkin satu dipahami tanpa yang lain. Jadi kalau orang tidak membayangkan subyek dalam akal, maka jelas tidak mungkin membayangkan predikat.. 

Jadi sungguh tidak ada artinya kita mengatakan bahwa predikat apapun yang terbayang dalam akal tidak mungkin berlaku pada subyek yang tak ada di akal. Karena predikat itu juga tidak akan ada dalam akal seiring dengan tidak adanya subyek dalam akal. 

Sinar Agama: Kamil: Kita sudah tabayun dengan koment-koment itu, tapi tidak ada penjelasan kecuali barusan itu dari penulis. Jadi, belum ada benturan penjelasan dan yang ada hanya benturan dakwa, persis ketika antum koment yang tidak cocok dengan maunya penstatus itu, he he.. Antum tidak bisa disalahkan, karena itu wajar-wajar saja orang memahami apapun dari siapapun. Cocok tidaknya, itu masalah belakangan, bukan masalah nyambung dan tidak nyambungnya. Terlebih kata-katanya mutlak dan multi tafsir. Nah, kalau Qur'an dan hadits, maka di sini kita tidak boleh main perspektif walau perspektif itu pasti muncul sesuai fitrah, tapi harus dipandu kepada mauNya melalui penjelasanNya di ayat-ayat atau hadits-hadits NabiNya. Tapi kalau seperti pernyataan orang lain, maka tidak ada dalil untuk mengkebiri pemahaman mutlak itu sesuai dengan kemutlakannya, walau si pengata atau penulis atau penstatusnya, menginginkan yang tidak mutlak itu. Wassalam. 

Muhsin Labib: Ana akui bahwa kepiawaian antum dalam soal menggiring konotasi dan detonasi status di atas menjadi tema yang menurut antum bersifat politis (cihui untuk yang satu ini), dari tema logika menjadi tema real kemudian dikerucutkan ke tema pilitis. Yang juga mengagumakaan adalah kemantapan hati antum utuk “menduga” (baca: menghadirkan mishdaq sesuai mindset antum) bahwa penulis status berposisi mewakili lembaga ABI (yang sama sekali tidak tertera) dalam semua bahasan baik dalam status maupun comment), meskipun tidak dilarang secara rasional untuk itu. 

Kekhawatiran antum bahwa penulis status berusaha untuk memberikan justifikasi apalogotik terhadap ABI menurut saya, (afwaaaaan) beraroma “judenganment”, “reduksional”, dan “jumping to natijah”. Untungnya, antum tidak menganggap itu “pasti” karena seperti menurut antum masalalu orang-orang yang antum duga berada di dalamnya mungkin saja sekarang sudah “membaik”. Saya agak terganggu dengan kalimat “masalalu” orang-orangnya, karena tercium aroma generalisasi, dan kesan menganggap lembaga itu identik dengan orang-orang tertentu. Ada baiknya, antum menghemat energi dengan menduga-duga apalagi ana yakin antum belum punya data valid tentang “orang-orang” itu dan lembaga ini. Selain itu, dugaan (negatif) tersebut andaikan tepat, (dan itu tidak menggugurkan lembaganya) tidak berpahala, dan bila meleset, pasti berdosa. (Lagi-lagi ini menurut al-afqar bainakum, lho). 

Sebelum wassalam, saya mau beri pengakuan bahwa saya senang dan banyak belajar dari antum, akhi Akmal dan friends lain. Bahkan berkat polemik ini, saya bisa menemukan mishdq (wujud khariji) di balik mafhum “sinar agama” Ini jelas predikasi konsep atas fakta, hehehehe... Salah satu indikasinya, “diksi”. Frase ini masih mengiang saat saya Sinar Agama sempat berdiskusi di sebuah kota, ya kan? Sayaukran all...

Sinar Agama: ML: he he he antum ini bisa saja tentang mishdaqku yang tiada artinya ini yang tiap hari harus menendangi keegoan dan kecongkakan dan keriaya’an ini. Biarlah itu menjadi rahasiaku saja bib. Kalau aku pandai menyembunyikan diri, maka aku pasti akan memakai bahasa orang yang menurutku sama ilmu dan sifat-sifatnya denganku. Kalau aku ceroboh, maka aku akan menelanjangi diriku dalam setiap tulisan-tulisanku. 

Habibi .. sayyidi ... doakan satu hal untuk yang paling hina ini untuk dapat mengerti dan meresapi kehinaanya. Kadang bolak baliknya hati dan rayuan nafsu ego, sungguh ... gaya tariknya jauh melebihi wanita-wanita cantik sekalipun. Karena itu, bantulah afkir mengatasi ini dengan doa yang aplikatif dari antum dan teman-teman lainnya. Berkelahilah denganku sebagai saudara dengan hujatan argument yang tajam dan kuat, walau terasa pedas, karena aku tidak ingin menghadapi adzabNya yang jauh lebih pedas dan panas. Oh... betapa hina ... betapa hina ... diri yang hanya bisa bangga dengan apa yang sebenaranya milikNya. Ya ... Tuhan di malam-malam Rajab ini ,,, muluskanlah dadaku yang selalu bergelora ini, hingga pada akhirnya aku berhasil membakar berhalaku ini .... Tuhan .... Engkau telah berikan aku segalanya, wujud, iman dan setetes ilmu, ijinkanlah aku untuk tidak pernah merasa memilikinya karena ... semua itu tetap milikMu. Ya Tuhan ... ijinkanlah kudekap saudara-saudaraku dengan penuh rasa cinta yang dalam, namun tidak mengenyampingkan apapun yang namanya ilmu argumentatif, tegas tapi saling sayang 

...Demi KebersaranMu dan kesucian NabiMu saww serta kebenaran Ahlulibat as, amin ... 

Setelah dengan deraian air mata dosa kutulis isi hati itu, semoga tidak mengganggu jalannya diskusi, maka ijinkan sedikit alfakir ini menjawab tulisan antum walau ana rasa sudah tidak ada lagi perkara mendasar tentang keilmuan yang kita bahas, kecuali kalau kang Kamal atau yang lainnya nanti menyusulinya dengan koment lain. 

Demi Tuhan yang ana tulis itu bib, hanya sambaran ide yang muncul secara fitrawi. Jadi bukan direncanakan. Karena itulah, karena ketidakpastian itulah, ana sangat berhati-hati dan hanya menggambarkan dalam bentuk lain hingga membuat contoh mas Teguh itu. Jadi dari sisi ini, ana sama sekali tidak menyalahi kode etik dan agama. Ana menjelaskan tentang fungsi filosofisnya itu karena antum dan Kamil dan yang lainnya sudah mengira bahwa alfakir ini sudah di luar bahasan karena premis logika dimaknai dengan filsafat sehingga dianggap itu mubadzdzir. Karena itulah akhirnya ana menceritkan apa yang ada di balik semua itu. Jadi, benar-benar bukan dramatisir, tapi benar-benar muncul dalam linatasan pikiran dan sudah kuungkapkan dengan jujur kepada semua. Kalau mendramatisirnya, maka tidak mungkin ana ungkap. Jadi, penjelasan filosfis itu benar-benar hanya ingin menjelaskan bahwa ana serasa tidak berlebihan dalam menjabarkan tulisan antum itu ke ranah filsafat. 

Sedang untuk prediksi tentang ABI itu, ana juga tidak memukul rata dan juga tidak mamastikan. Tapi mungkin hampir semua orang yang ada di petingginya ana kenal dengan mata mahjub ini. Karena itulah ana katakan, kalaulah berita dan pemandangan yang kita lihat selama ini adalah benar dan tidak salah info/melihat, maka bisa diprediksi begini dan begitu. Tapi tetap ana katakan bahwa hal ini tidak bisa dipastikan. Jadi, kalau dipastikan, maka ia adalah fitnah. 

Jadi, kalau dipastikan, maka ia adalah fitnah kalau tidak benar, dan bisa jadi ghibah kalau benar (kalau bukan aib yang terang-terangan). 

Tapi karena tidak dipastikan, maka ia adalah prasangka dan zhan. Dan ini, juga dosa kalau tidak ada tanda-tanda. Sementa saya mengisyaratkan adanya tanda-tanda itu dan bahkan mengatakan dalam bentuk sejarah (walau tetap berupa sejarah dalam prediksi yang tidak pasti karena takut salah lihat dan info tadi). Jadi, ramalan seperti itu yang ana dapat ketahui dari sedikit info agama yang ana pinjam dariNya ini, tidak melanggar etis dan agama serta akal.. 

Tapi ingat, bahwa yang diprediksikan ini bukan masalah-masalah pribadi seperti berbuat dosa dan semacaamnya. Bukan itu sorotannya. Tapi menyoroti nuansa politik, dan merenungi masa depan AB Indonesia dengan AB yang sekarang di mana ia datang dari AB yang kemarin yang kita kenal secara global atau rinci itu (tergantung kepada pengetahuan masing-masing). Jadi, sorotannya bisa hanya berfokus pada kelaikan dan kelayakan pengurus-pengurusnya dan sejauh mana ia akan memberikan efek positif dan negatifnya pada umat muslim Indonesia. Tentu saja dengan bukti-bukti sejarah yang sudah ana bilang itu. Sebagian bukti-bukti itu sudah ana tulis dalam menjawab pertanyaan Bintang Ali di statusku. Karena itu, ana pikir belum ada yang kelepasan dari kontrol kesadaranku walau ana sendiri bisa salah tentunya. Tapi niat dan usaha aplikasinya, sudah ketat secara GR-nya. Terimakasih atas kesempatan yang diberikan dan nasihat-nasihatnya. 

Tentang mewakili ABI-nya antum, ana sudah katakan tidak dipastikan dan hanya terbesit begitu saja, mengingat satu dua hari ini kan kita juga lihat pesan-pesan langsung atau tidak dari antum tentang ABI. Nah, lompatan pikiranku itu, lompatan yang lumrah dan wajar (he he). Tapi tetap tidak ana pastikan karena takut terhadap kecongkakan akal yang nempel di kepalaku ini. Ana tidak mau berkata bahwa itu adalah firasat dan kasyaaf hati tentang niat antum, karena ana sampai sekarang belum bisa membedakan bisikan hati yang datang dari syaithan, atau Tuhan. Karena itulah, semua ana tulis tidak dalam kepastian, untuk mengambil jalan fikih dan akhlak. Karena itu, kalau masalah isykal yang dikatakan bahwa ana telah salah sambung tentang memahami status logika antum dengan filsafat, maka apakah hal itu adalah lintasan akal atau hawa nafsu atau firasat Tuhan, saya tidak akan pernah menjelaskannya. He hehe he yang jelas, kita-kita sudah punya dosa sama antum karena saking seriusnya hadapi koment-koment kita sampai-sampai minum teh-semut he he he afwan ya habibi ... ya habibi ... 

Firdaus Said:==Biarlah itu menjadi rahasiku saja bib. Kalau aku pandai menyembunyikan diri, maka aku pasti akan memakai bahasa orang yang menurutku sama ilmu dan sifat-sifatnya denganku. Kalau aku ceroboh, maka aku akan menelanjangi diriku dalam setiap tulisan-tulisanku. 

Sahaya Dahri: Sinar: karena banyak “awam”, khususnya saya, yang baca komen-komen antum yang sudah belasan/puluhan tahun belajar filsafat, agaknya tak salah bahkan akan lebih elegan kalo antum menurunkan bahasanya jadi lebih enteng dan ceria, ketimbang suram, berat, dan berdebam... juga njlimet hehehe. 

Sinar Agama: Said: Serasa sedikit ringan kemarin setelah kutulis curhatan umum, terlebih setelah membaca doa antum, semoga kita semua sudi dan berhasil menapaki apapun kesempurnaan, terutama ilmu dan amal, amin. 

Dahri: Terimakasih usulnya, tapi berusahalah untuk bertahan dengan setiap bahasa dan pantang mudur. Sebab beratnya itu terkadang karena belum biasa aja. Kalau antum perhatikan semua tulisanku dengan yang lainnya, mungkin paling awamnya tulisan, aku hampir tidak pernah menggunakan istilah asing. Memang karena diskusi di atas menjawab yang pakai istilah arab, maka aku mengikuti. Kalau ada yang bisa ana bantu, maka tidak usah segan, tanyakan saja mana bahasa kita yang terkunci itu. Biarkan kami membantu antum dan yang lainnya. Baiklah kusertakan sedikit kamus istilah di atas itu seingat apa yang ada di kepalaku (tanpa membaca lagi ke atas): 

1. Wujud Dzihni = pahaman, ide, ilmu, info, tashawwur, wujud dalam akal. 

2. Ekstensi = wujud luar akal, mishdaq, nyata, eksis. 

3. Haml = pridikasi, berita, menghukumi. 

4. Mahmuul = predikat, hukum, menerangkan (lawan diterangkan dihukum DM). 

5. Maudhu’ = subyek, diterangkan. 

6. Predikasi pertama = haml awwali = predikasi yang mengandalakan kesamaan dalam pahaman atau esensi, baik seluruh esensi atau sebagaiannya. Kan dalam definisi harus ada kesamaan antara definisi dan defined atau antara subyek dan pridikat. Sebab kalau asing kan definisinya atau ketarangannya atau predikatnya akan menjadi keterangan yang asing dan tidak mengena dengan subyeknya? Nah, kalau kesamaannya itu dalam pahaman, maka disebut Predikasi pertama. Seperti manusia itu adalah manusia, atau binatang rasional. Atau relatif itu adalah relatif. Atau relatif itu bukan mutlak. 

7. Predikasi ke dua = haml tsanawi = predikasi yang mengandalkan kesamaan subyek dan predikatnya atau definisi dan definednya (yang didefinisi) di luar akal. Seperti Manusia itu adalah Sahaya Dahri, Husain ..dan seterusnya. Atau relatif itu adalah mutlak. Karena di penerapan dan di luar akal yakni di alam nyata, si Sahaya dan Husain itu manusia. Begitu juga relatif itu mutlak dipakai ke maknanya sendiri. Tapi dalam pahaman Sahaya dan Husain lain dengan manusia, begitu pula relatif dengan mutlak. Yakni di akal tidak ketemu tapi di luar akal ketemu. 

Tika Chi Sakuradandelion, Hendy Laisa, Agoest Irawan dan 72 lainnya menyukai ini. 


Rido Al’ Wahid: Mesti dibaca ulang-ulang biar paham.... copy dan print. 

Bande Husein Kalisatti: Wah..mantap.. mantap.. mantap.. .. kalau para pendekar ilmu sudah turun ana jadi kecipratan, walaupun cuma jadi tukang pungut ilmu.. terimaksih ustad Labib.. ustad Kamal.. ustad Sinar.. 

Bintang Ali: Ternyata dunia ini luas ya,. di atas langit masih ada langit. 

Anggelia Sulqani Zahra: Bang BA.. Maksudnya..? 

Bintang Ali: Maksudnya ya begitu deh,. saya nyimak diskusi ini langsung di statusnya ustad Muh Labib.. seru juga dua ustad saling ngasih pandangan dan ustad Muh Labib sempet shock..) 

Irwan Samson Gaus: Wuiihhh..., 

Achmad Khisnurrobbie: MANTAAAB... 

Anwar Latammu: Bagian.1 - 5 nya? 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Muh Kasim: Alhamdulillah,, bisa dibantu dengan Kosa kata bagi pemula seperti saya. 

Widodo Abu Zaki: Alhamdulillah tidak ketinggalan untuk yang ini. Kalau saya dapet batu koralnya bukan permatanya juga dah syukur. Ilmu mudah-mudahan bisa diaplikasikan. 

Widodo Abu Zaki: Dari komennya Anggelina saya sepertinya sudah mulai tahu, Aggelina kay- aknya teman dekat saya. Hehehehe ini bukan mata batin tapi prediksi. Hhihihih ikut-ikut ustad SA. 

Zahra Herawati Kadarman: Masya Allaaaaaaaaaaaaaah dua ustad kesayanganku - sump- aaaaaaaaaaaah aku gak ngerti.............. buaca lagi baca lagi dari akhir tahun...........sampai seka- rang teteeep gak ngerti ustaaad. 

Aco Abudzar Abudzar: Menarik,,,, memperkaya persfektif,,, sedari awal memang harus dibatasi pembicaraan,,, namun perluasan pembicaraan ini menurutku sangat bermanfaat..... thanks us- tad-ustad YM. 

Sinar Agama: Zahra: Memang sulit belajar logika dan filsafat itu. Kalau memang minat maka baca dari awal, supaya tidak salah mengerti. Kadang walau kita sudah khatam berulang-ulang masih saja salah mengerti. 

Sinar Agama: Aco: Sebenarnya bisa dikatakan bahwa tidak ada peluasan sama sekali. Karena semua itu masih pembahasan logika. Kalau logikanya masih salah, sekalipun di tahapan lain, maka jelas logikanya (tata pikirnya) yang salah, karena kebenaran ilmu lain itu ditentukan ke- benaran logikanya. Nah, kalau logikanya tidak menghasilkan yang benar di penerapannya, yaitu di tempat lain, maka berarti memang logikanya yang tidak benar. Btw, bahasan di atas itu tidak ada peluasannya. 

Mata Hati: Yang saya fahami dalam bahasa awamnya ustad SA seolah hendak mengatakan “ka- lau memang belum ada subjeknya bagaimana pula hendak memberikan predikat kepada sesuatu yang tidak ada wujud luarnya”, sedang dari ustad ML mungkin beliau bermaksud mengatakan “janganla... 

Sinar Agama: Mata: Sepertinya pemahaman antum terbalik. Lagi pula, di samping itu statusnya itu sendiri telah mempredikati yang tidak ada. Kan berarti statementnya itu telah menyangkal dirinya sendiri. Ini kalau mau dikatakan bahwa subyek itu harus ada di wujud luar sebelum dipre- dikati. 

Fahmi Husein: Filsafat vs Logika ? Berarti Filsafat bukan bagian dari logika? Dapat dijelaskan us- tad Sinar Agama? 

Sang Pencinta : Fahmi Husein, http://www.facebook.com/.../21057069.../doc/379050932139709/, 
http://www.facebook.com/.../21057069.../doc/404613572916778/ Berlangganan Catatan2 Sinar Agama

Fahmi Husein: Yang lebih tepat pembahasan perbedaan Logika & Filsafat di https://www.face- book.com/.../2105706.../doc/404613572916778/

Tapi mesti di ulang-ulang kayaknya biar faham, susah untuk dimengerti, dan bahasanya rada as- ing. Btw, Sang Pencinta sukron. 

Berlangganan Catatan2 Sinar Agama

Zainab Nining Aqielah: Wooww...... Statusnya 2 baris .. Komennya. 100 halaman,,, yang seder- hana dibuat rumit ... Hehe, tapi asyik ko bacanya... Sama-sama pinteeerrr sama-sama hebaattt .. salam ustadz SA .. Salam ustadz ML .. WaRahmahmatullahh wabarrakatuh .. 

Sinar Agama: Zainab, kalau antum lebih teliti, akan dapat dilihat bahwa diskusi itu bukan mem- perumit yang sederhana. 

Zainab Nining Aqielah: Ustadz SA, ,,, bagi ana rumiiiiit. 

Raymond Kamil:

Ancha Wallacea: waduh pembahasan dari Tahun 2 masih gini sampe sekarang....mudah-muda- han yah jadi Rausyanfikr semua ditunggu saja implementasi sosialnya.. 

Hendy Laisa: Ini lagi bung Roy Khan. 

Ganendra Erol Bin Saduq: Hmm, 

Nadi Utomo: Amat sangat terasa diriku posisinya jauh dari kata awam... 

D-Gooh Teguh: Waduh... aku sudah gak paham lagi, masih muncul namaku. *_* 

Sang Pencinta: Mas guh, resiko mas, komen di arsip ustad Sinar, sepanjang masa tercantum dan diinget orang, hehe. 

Wishnu Adji: Wuihhh bahasan jeglerr tenan ki. Bagi ustad yang tahu bedanya logika dan filsafat itu apa ya? 

Fredoomandirindependenetral Freedomandirindependenetral: Alangkah awamnya diriku ini 

Joko Kendil: Wong cuma mbulat mbulet thok kok ya jadi rujukan .... Mending jadi rujak an aja nak 

.... Xixixi. 

Ehm. هرينتو غنوان

Dahliani Dwi Putri: Aku nggak tau mana di sini predikatnya. 

Giri Sumedang: sebenarnya logika dari proposisi “sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apap- un tidak berlaku..” ini sudah sangat gamblang dan jelas sekali kak. Kita bisa memandang proposisi di atas dari dua kategori, pertama imma ia sebagai ekstensi yang bersifat esensial? Atau kedua, ia sebagai esensi yang eksistensial? Mana mau dipilih kak? 

30 November pukul 9:01 · Telah disunting · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ