Sabtu, 11 Juli 2020

Logika (bgn 8): Konsep Kemahiyahan, Konsep Kefilsafatan dan Konsep Kelogikaan. 3 tipologi


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/244652735579530/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 7 September 2011 pukul 3:26


Zulkarnain Syawal: Salam alaikum Ustad, afwan sahaya hendak nanya Ustad : dalam perdebatan kefilsafatan, Ayatullah Muhammad Taqi Mizbah Yadzi begitu menekankan urgennya memahami secara benar konsep kemahiyaan, konsep kefilsafatan, dan konsep kelogikaan. 3 tipologi konsep ini merupakan batu loncatan mensortir pemahaman yang ajek dan solid terhadap seabrek narasi. Bila Ustad berkenan sahaya sangat berterimakasih atas penjelasan tentang tripologi konsep itu secara luas dan sederhana. Sekali lagi terimakasih berat Ustad.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih permintaannya: Saya mungkin hanya akan memberikan keterangan yang bersifat RINGKAS saja, karena kalau mau keluasaannya, maka sepertinya sulit dilakukan. Karena belajarnya saja, tidak kurang dari 25 th-an:

(1). Logika. Logika ini merupakan dasar bagi semua ilmu. Ilmu apa saja, memerlukan kepada ilmu Logika. Mulai dari ilmu berhitung, sejarah, kimia, komputer, sampai para ilmu-ilmu agama seperti tafsir, ushulfikih, fikih,hadits, rijal, dan seterusnya semua dan semua, memerlukan kepada ilmu Logika. Karena itu ilmu Logika ini disebut dengan “ibunya ilmu”.

Kenapa ilmu Logika mendasari yang lainnya dan tanpanya bisa membuat kacau seluruh ilmu? Jawabnya karena ilmu Logika itu adalah ilmu yang menata cara berfikir kita. Berfikir, sebagaimana telah difitrahkan Tuhan, adalah kemampuan manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Seperti fitrah berjalan yang ada pada manusia, atau fitrah kemampuan berbicara.

Namun demikian, fitrah-fitrah itu tidak akan bisa teraplikasikan dengan benar dan baik kalau tidak dibarengi dengan penataan dan bimbingan atau pedoman. Kalau asal berfikir saja, asal berbicara saja atau asal berjalan saja, maka bukan bisa membuat manusia mencapai yang diinginkan, akan tetapi malah bisa masuk ke dalam jurang kesalahan, salah paham, dan jurang di pegunungan yang mamatikan.

Nah, untuk menata cara berfikir itulah akhirnya dibuat konsep yang bernama dengan ilmu Logika.

Sementara obyek bahasannya boleh dikatakan ada dua hal, definisi dan argumentasi. Karena yang mencolok dari berfikirnya manusia itu adalah ingin tahunya terhadap esensi sesuatu, dan ingin tahunya terhadap kenapanya sesuatu, maka untuk dua inilah ilmu Logika itu dibuat. Karena itu ia memiliki dua bahasan pokok: Definisi dan Argumentasi.

Jadi, secara global ilmu Logika mengajari kita berfikir benar dalam dua hal tersebut. Karena itu ia mengajari kita bagaimana cara mendefinisikan sesuatu dengan benar, dan bagaimana cara berargumentasi dengan benar.

Catatan: Saya mendahulukan point 3 antum menjadi point 1 disini karena posisi ilmu Logika mendahului yang lainnya.

(2). Sebagaimana sudah ditekankan di point 1 jawaban di atas itu, maka kita bisa melihat bahwa separuh dari bahasan Logika itu adalah Definisi. Nah, definisi ini dalam bahasa lainnya atau peristilahan lainnya, adalah mengurai atau menjelaskan hakikat sesuatu. Atau juga dikatakan memberikan batasan-batasan terhadap hakikat sesuatu. Karena itu juga dikatakan “batasan” atau “limit”.

Katika sesuatu itu sudah memiliki batasannya atau batasan hakikatnya, maka batasan itulah yang dikatakan dengan esensi atau mahiyyah. Tentu saja, tidak semua batasan itu dikatakan esensi atau hakikatnya. Karena batasan dan definisi itu memiliki tingkatan. Tingkatan paling sempurnanya itulah yang dikatakan dengan esensi atau mahiyyah atau hakikat sesuatu. Yaitu batasan sesuatu yang terdiri dari zat-zat yang dimiliki oleh dirinya. Dengan istilah yang lebih populer adalah batasan sesuatu yang terdiri dari genus dekat dan deffrentia dekat. Yakni terdiri dari jenis dekat dan pembeda dekatnya, seperti binatang rasional untuk definisi manusia.

Esensi ini menjadi hal terpeting ke dua setelah ilmu Logika dalam melacak dan mengetahui hakikat sesuatu. Kalau Logika dalam menata pikiran manusia untuk mendefinisikan sesuatu dengan benar dan mendalilkan sesuatu dengan benar pula dan tertata rapi, tetapi kalau esensi adalah untuk merenungi dan melacak tahapan-tahapan berikutnya.

Manusia, sebelum adu argumentasi terhadap perbedaan-perbedaannya, atau sebelum ia menelusuri hubungan sesuatu dengan yang lainnya, maka ia harus jelas dulu terhadap sesuatunya itu sendiri. Bagaimana mungkin manusia bisa memecahkan perbedaan-perbedaannya, atau melacak hubungan-hubungan antar sesuatu (apakah hubungan sebab akibat dan lain-lainnya) kalau sesuatunya itu sendiri, atau esensi dari sesuatu yang diperdebatkan itu sendiri atau yang mau dihubungkan itu sendiri, belum jelas batasan dan hakikatnya?

Karena itu, kita sering melihat dialog-dialog ilmu yang tidak ketemu, karena definisi terhadap yang diperdebatkan itu belum jelas dan bisa tidak sama. Karena itu, yang satu bicara apa dan yang lainnya bicara apa juga. Jadinya, tidak nyambung.

Jadi, mengerti esensi sesuau itu merupakan modal terbesar ke dua setelah logika, untuk memecahkan kesulitan-kesulitan yang ada, dari sejak ingin mengetahui rahasia-rahasia makhuk atau bahkan ingin mengenali Sang Khaliq.

(3). Kalau masalah-masalah kefilsafatan, saya tidak terlalu jelas apa yang dimaksudkan antum sebenarnya. Tetapi saya akan coba memberikan uraian .

Filsafat, adalah konsep-konsep tentang suatu hakikat. Artinya, karena ia adalah suatu ilmu yang membahas hakikat sesuatu, atau jati diri sesuatu, atau esensi sesuatu, atau substansial (mirip zat) atau aksidental (mirip sifat) sesuatu, maka ia adalah kunci ke tiga setelah logika dan esensi.

Artinya, dengan ilmu logika kita tahu hakikat dan batasan sesuatu dan cara berdalilnya, dan dengan mengerti hakikat sesuatu (esensi) kita bisa mengerti hal-hal lainnya yang bersangkutan dengannya. Seperti hubungan antara sesuatu yang satu dengan yang lainnnya (seperti hubungan sebab akibat), atau tahu akan macam-macamnya sesuatu itu seperti substansi dan aksidental, atau tahu macam-macam substansi dan aksidental dan seterusnya dimana yang terpenting yang lain setelah itu bisa tahu hakikat Tuhannya, agama Tuhannya, kenabian, kepemimpinan, kitab-kitab, hari kiamat dan seterusnya.

Jadi, dengan logika tahu esensi/hakikat, dan dari tahu hakikat akan tahu bahasan-bahasan filsafatnya. Yaitu hakikat suatu keberadaan.

Karena itulah maka hakikat obyek dari ilmu Filsafat ini adalah Wujud atau Keberadaan itu sendiri. Kalau dalam bahasa filsafatnya dikatakan bahwa Ilmu Filsafat itu adalah ilmu yang membahas wujud dari sisi wujudnya. Bukan dari sisi kimianya, ukurannya, anatominya, sejarahnya dan lain-lain. Tetapi membahas wujud dari sisi wujudnya. Maksudnya adalah yang sudah dirinci di atas ini, yaitu di point 3 ini.

Catatan:

Filasat ini ada dua peristilahan. Ada yang memang filsafat seperti yang sudah diurai itu, yaitu tahu tentang wujud dari sisi hakikatnya atau wujudnya itu sendiri. Tetapi ada juga pemakaian kata ilmu filsafat tetapi dipakai pada sejarah filsafat atau sejarah pemikiran filsafat.

Filsafat yang dipelajari di Hauzah/pesantren, adalah hakikat filsafatnya. Tetapi yang dibahas dan dikaji di luar itu, seperti di kampus-kampus, biasanya adalah sejarahnya. Jadi, dua istilah ini sangat jauh berbeda dari sisi makna dan maksudnya.

Karena itulah, kalau belajar di hauzah akan mengerti akar-akar masalah dan esensinya serta akar-akar argumentasinya, tetapi kalau di yang lainnya, hanya mengenal istilah-istilahnya dan benar-benar lebih cenderung menaklidinya. Hal itu, karena pelajarnya tidak memiliki modal logika, esensi dan akar hakikat dan hubungannya. Jadi, sifatnya hanya pengkabaran dari pendapat seorang filosof, dan pengkabaran tentang dalil-dalilnya, dan kalau ada uraiannya adalah pengkabaran terhadap perkiraan-perkiraan dari akar argumentasinya. Karena itu pembelajarnya tidak bisa lepas dari merk dan aliran serta nama filosof yang dikagumi atau ditolaknya, dan menjadikan dirinya terkungkung di dalamnya. Karena itu yang ada adalah anti pati (kalau dalam penolakan) dan/atau taqlid (kalau penerimaan).

Memang anti dan taqlid disini, karena dalam hal-hal yang akliah walau tidak hakiki alias majazi, tetapi karena sepintas menggunakan logika, maka tidak akan terlalu tanpak anti pati atau taqlid dan, penolak atau penerimanya juga tidak akan mau dikatakan dengan orang yang anti pati atau taqlid. Mereka dalam kedua pihaknya itupun, merasa telah menggunakan logikanya.

Padahal yang mereka gunakan adalah logika yang bermakna akal atau berfikir, bukan logika yang berarti akal dan berfikir teratur. Hal itu, karena mereka biasanya tidak mendasari dirinya dengan ilmu logika, dan tidak pula mendasari kajian-kajian filsafatnya dengan pembahasan akar-akar dari konsep-konsep filsafatnya. Karena itulah dikatakan pengkajian terhadap sejarah filsafat saja, bukan filsafat itu sendiri.

Wassalam.

Chi Sakuradandelion, Hidayatul Ilahi dan 9 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Tidak ada komentar:

Posting Komentar