Sabtu, 25 Juli 2020

Golongan-Golongan Islam Di Indonesia


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250778684966935/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 20 September 2011 pukul 16:44


Setiawan Ardi Sembiring: Assalamu’alaikum ustadz. Saya ingin bertanya , hal-hal apa sajakah yang membedakan golongan-golongan islam di Indonesia ? Seperti Muhammadiyah, sunni, syi’ah. Mohon penerangannya. Syukron.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Sunni adalah yang mengikuti dan bertaqlid kepada salah satu 4 imam fikih, seperti Hambali, Hanafi, Malaiki dan Syafi’i. Tetapi kebanyakan atau bisa dikatakan bahwa semua sunni di Indonesia mengikuti Syafi’i. Jadi, mereka tidak mengikuti Qur'an dan hadits langsung, tetapi harus mengikuti ulama yang mujtahid karena hanya mujtahid yang lebih tahu tentang Qur'an dan hadits tersebut. Dan sunni dalam akidah memiliki dua aliran global, yaitu Asy’ari dan Mu’tazilah. Memang masih ada beda-beda aliran di dalamnya, tetapi kecil-kecil dan tidak terlalu penting.

(2). Syi’ah adalah yang mengikuti 12 imam maksum dari keluarga Nabi saww. Tetapi karena sudah jauh dari masa imam maksum as tersebut, dan imam terakhirnya masih belum diperintah Tuhan untuk keluar yang akan dibantu nabi Isa as itu, maka cara beramal fikihnya seperti cara sunni. Yakni tidak bisa ikut Qur'an dan hadits secara langsung kecuali mujtahid. Karena itu, mereka taqlid kepada ulama atau mujtahid yang dikenal dengan marja’. Beda syi’ah dan sunni disini, kalau di syi’ah mujtahidnya itu harus hidup tapi kalau di sunni tidak harus hidup dan bahkan tidak boleh mengikuti selain dari yang 4 itu. Karena bagi mereka, sudah tidak mungkin lagi orang bisa mencapai derajat ijtihad itu kecuali mereka berrempat tersebut. Tetapi kalau di syi’ah justru pintu ijtihad itu terbuka sampai sekarang dan bahkan sudah jauh lebih maju dari yang di jaman dulu. Ada lagi bedanya antara syi’ah dan sunni. Bahwa kalau di syi’ah, dalam akidah dan keimanan, tidak boleh taqlid pada siapapun. Tetapi harus berdalil dengan akalnya (rujuklah catatanku yang berjudul: Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah).

(3). Kalau Muhammadiah adalah pengikut Muhammad bin Abdulwahhab dan Ibnu Taimiyyah. Biasanya mereka menentang taqlid itu dan madzhab itu. Karena diyakininya sebagai bid’ah. Mereka mengatakan bahwa semua orang, alim dan bodoh, SD dan Doktor, semua dan semua, harus mengikuti Qur'an dan hadits secara langsung. Karena itu, di dalam setiap buku fikih mereka, selalu menyertakan ayat dan riwayat. Tidak sama dengan dua aliran sebelumnya yang tidak menyertakan dalil Qur'an dan hadits, kecuali kalau bukunya atau kitabnya itu ditulis untuk murid-murid agama dan calon ulama yang sudah mengerti bahasa Arab, ushulfikih, rijal, hadits, matan dan seterusnya.


Ciri aliran ini, banyak mengatakan ini dan itu bid’ah. Atau ini dan itu syirik. Paling gampang membid’ahkan orang dan menyirikkan orang. Bagi mereka, tidak ada yang layak masuk surga kecuali diri mereka. Dan tidak ada yang berhak menyandang mengikuti Qur'an dan hadits kecuali mereka.

Bagi mereka, tidak ada aliran yang selamat kecuali mereka, karena selain mereka diyakin ahli bid’ah dan musyrik. Karena selain mereka mengikuti ulama atau taqlid pada ulama dan mengikuti madzhab, dan banyak melakukan penyimpangan seperti tawassul, ziarah kubur dan memohon di kuburan, membangun kuburan, menjadikan kuburan sebagai masjid dan lain-lain.


Yulis Sutisna: Ustaz, afwan mau ikut nimbrung. Pertama, poin terakhir yang mungkin ustadz maksudkan adalah paham Wahabi. Tetapi yang disoal penanya adalah Muhammadiyyah yang notabene sebuah ormas yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan yang sedikitnya memang terinspirasi oleh gerakan Wahabi.

Kedua, terkait dengan definisi Syi’ah sebagai “yang mengikuti 12 Imam ...maka cara beramal fikihnya seperti cara sunni. Yakni tidak bisa ikut Qur'an dan hadits secara langsung kecuali mujtahid. ”Pertanyaan, jika “amalan fikih” mereka harus merujuk mujtahid, apakah berarti mereka bisa menerapkan hadis-hadis akhlak secara langsung dari al-Quran/riwayat? Ataukah, hadis-hadis akhlak yang terkait fikih harus nanya mujtahid, tetapi hadis akhlak yang umum ga perlu nanya, bisa alias langsung nerapin? Soalnya, saya lagi menelaah Nahjul Fashahah, apakah saya harus merujuk dulu fatwa mujtahid? Mohon maaf. Terimakasih.

Anandito Birowo: Afwan ikut nimbrung.. Muhammadiyah pada awalnya justru lebih dekat ke arah ahlulbait, walau menyuarakan anti TBC (Takhayul-Bid’ah-Churafat), saat pembentukan ormas wanita awalnya hendak dipilih nama Fatimiyah namun atas usulan pihak-pihak tertentu nama Aisyiyah yang keluar. Sejak itu pengaruh ahlulbait mulai redup di Muhammadiyah.


Sinar Agama: Yulis S’

(1). Saya sudah jelas dalam tulisan poin 3 di atas. Bahwa Muhammadiyyah itu adalah kelompok wahabi. Jadi mesti dimengerti bahwa apapun bentuknya, ia adalah pewujudan dari wahabi itu sendiri. Apakah ormas di jaman sekarang, atau partai di jaman Orde Lama. Atau apakah ia anti aliran dan mdzhab atau tidak. Karena Muhammadiyyah itu adalah suatu ormas yang memiliki disiplin tertentu dalam akidah dan fikih yang saya istilahkan di atas dengan akidah wahabi dan fikih tidak boleh taqlid. Ini dilihat dari esensinya. Tetapi kalau dilihat dari sisi hukum negaranya maka ia sekarang adalah sebuah ormas yang sudah semestinya tidak mesti beranggotakan orang-orang yang sepaham dalam akidah dan fikih tadi. Jadi, orang syi’ah atau sunnipun bisa menjadi anggota ormas tersebut. Saya membahas dari sisi esensinya, bukan dari sisi hukum negaranya yang dinamakan ormas.

(2). Kalau tentang merujuk kepada hadits-hadits atau ayat-ayat akhlak, sebenarnya tidak beda dengan fikih itu. Karena yang akan tahu makna sesungguhnya adalahah mujtahid. Mereka yang akan tahu apakah mengandung hukum atau tidak, atau dalam hukumnya itu mengandungi makna wajib, sunnah, mubah atau lainnya.

Akan tetapi, tentu lebih terbuka dari yang jelas-jelas memuat hukum-hukum yang lima itu dalam sebuah hadits atau ayat (mubah, wajib dan lain-lainnya) itu. Tetapi ingat hanya lebih terbuka. Karena hadits-hadits dan ayat-ayat itupun kebanyakannya justru tidak memuat wajib, sunnah, mubah dan lain-lainnya, akan tetapi dengan alat-alat pemahaman yang ada seperti ushulfikih, bahasa dan lain-lainnya, dapat dipahami bahwa maksud hadits atau ayat ini, misalnya wajib, sunnah atau lain-lainnya.

Jadi, merujuk ke hadits-hadits atau ayat-ayat akhlak juga tidak bisa sembarangan. Akan tetapi bisa dilakukan dengan tanpa penyimpulan pasti. Jadi, selalu dikatakan pada diri sendiri (ketika membacanya) atau pada audien (ketika menyampaikannya), bahwa yang saya pahami ini adalah sejauh yang saya bisa jangkau dimana tidak ada kepastian dari sisi benarnya. Karena itulah kalau antum sering membaca tulisanku, maka akan sering membaca istilah rabaan. Padahal, sudah pakai argumen logika, filsafat, ushulfikih dan lain-lainnya, tetapi karena memang takut salah dan takut dosa sekalipun benar kalau sok memastikan, maka sering dipakai kata-kata Rabaan.

Karena itulah, maka mendengar penjelasan ulama tentang hadits-hadits akhlak itu, adalah cara terbagus dan termudah. Tetapi jelas tidak menutup kemungkinan menelaahnya sendiri terutama di kala tidak ada ulama yang bisa ditanyai. Akan tetapi, itu tadi, bahwa jangan dipastikan akan benar dan tidaknya pahaman yang antum pahami atau yang orang lain pahami.


Sinar Agama: AB, Muhammadiyyah itu seperti langit dan dasar lautan bedanya dengan syi’ah. Karena syi’ah pasti dianggap ujung pangkalnya bid’ah dan syiriknya sunni. Karena banyak hal yang menyangkut budaya sunni, tidak ada haditsnya, seperti tahlilan. Tetapi di syi’ah ada dan justru merupakan sumbernya tahlilan di sunni. Tentu saja bentuknya beda, tetapi malam-malam satu hingga tujuh dan empat puluhnya sama dan memang merupakan sumber budaya sunni tersebut. Dan kalau kebetulan ada, maka bisa juga ditemukan di hadits syi’ah. Karena itu, Gus Dur pernah menyatakan bahwa sunni itu adalah syi’ah secara budaya. Karena memang banyak kesamaannya dan banyak yang memang dari syi’ah.

Kalau tentang penamaan dan sebagainya, tidak ada hubungannya dengan aliran atau setidaknya tidak mesti berhubungan dengan aliran. Apalagi siti Faathimah as sebagai figur Islam yang suci di Qur'an (maksum) sebagai salah satu anggota Ahlulbait, sudah pasti disenangi oleh semua golongan muslimin. Bukan muslim kalau ia tidak suka kepada beliau as.

Lagi pula, walaupun golongan-golongan ini berbeda jauh, tetapi bukan berarti tidak ada samanya. Seperti dalam masalah penokohan. Jadi, kalau Muhammadiyyah dulunya ingin membuat nama hdh Faathimah as sebagai nama divisi kewanitaannya, atau imam Syafi’i mengatakan bahwa shalat tanpa shalawat pada Ahlulbait itu bukanlah shalat atau menyintai Ali as itu membuat kita menjadi gila (kebenaran), bukan berarti terus meyakini bahwa hdh Faathimah as itu adalah ibu para imam as dan imam Ali as itu adalah ayah para imam as. Jadi, persamaan tokoh, bukan berarti persamaan persepsi tentang tokoh itu sendiri.

Chi Sakuradandelion, Bande Husein Kalisatti, Norman El-Farizi dan 4 lainnya menyukai ini.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar